IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH (PERDA) KOTA YOGYAKARTA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KOTA YOGYAKARTA

(1)

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH (PERDA) KOTA YOGYAKARTA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KOTA

YOGYAKARTA

SKRIPSI

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum Strata-1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh : OSCAR HABIB NIM : 2012 0610 116 HUKUM TATA NEGARA

PROGRAM STUDI HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(2)

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH (PERDA) KOTA YOGYAKARTA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KOTA


(3)

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Oscar Habib

NIM : 2012 0610 116

Judul Skripsi : “IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH (PERDA) KOTA YOGYAKARTA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KOTA YOGYAKARTA”

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa penulisan skripsi berdasarkan hasil penelitian, pemikiran dan pemaparan adalah hasil karya saya sendiri dan seluruh sumber data yang dikutip maupun dirujuk telah dinyatakan benar apabila kemudian karya ini terbukti merupakan plagiat/menjiplak hasil karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi akademik dicabut gelar S-1 yang telah diperoleh karena hasil karya tulis saya ini, dan sanksi-sanksi lain sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa ada paksaan dari manapun

Yogyakarta, 9 April 2016

Yang Menyatakan

Oscar Habib NIM. 20120610116


(4)

HALAMAN MOTTO

Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia

(HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh

al-Albani di dalam

Shahihul Jami’

)

"

Barang siapa yang bersabar atas kesulitan dan himpitan

kehidupannya, maka aku akan menjadi saksi atau pemberi syafaat

baginya pada hari kiamat."


(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk semua yang telah menjadi inspirasi dan sumber

semangat sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Dan secara khusus penulis persembahkan untuk :

 Ayah & Ibu Tercinta (Tom Haryono Harun & Rengga Astuti)

 Abang (Galang Bayu Mahendra & Tomi Satria Anarki)

 Kakak Ipar (Irawati & Yeni Vebrianti)

 Anak Buah/Keponakan (Bintang Pratama Putra, Satria Al-Akbar & Mentari Annisa Putri)

 Keluarga Besar Oscar Habib


(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PERSETUJUAN...ii

HALAMAN PENGESAHAN...iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI...iv

HALAMAN MOTTO...v

HALAMAN PERSEMBAHAN...vi

KATA PENGANTAR...vii

DAFTAR ISI...ix

BAB I : PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang...1

B. Tujuan Penelitian...5

C. Manfaat Penelitian...5

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA...6

A. Pedagang Kaki Lima...6

1. Pengertian Pedagang Kaki Lima...6

2. Sejarah Pedagang Kaki Lima...8

3. Pengelompokkan Pedagang Kaki Lima Menurut Sarana Fisiknya...10

4. Pengendalian dan Pengaturan Pedagang Kaki Lima...13

B. Pemerintahan Daerah...14

1. Pembagian Urusan Pemerintahan Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah...15

2. Azas-Azas Pelaksanaan Pemerintahan Daerah...17

3. Hubungan Dalam Susuan Organisasi Pemerintahan Daerah...24


(7)

C. Peraturan Daerah...29

1. Pengertian Peraturan Daerah...29

2. Peran Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Perda...30

3. Proses Pembentukan Peraturan Daerah...33

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN...37

A. Jenis Penelitian...37

B. Jenis Data Dan Bahan Hukum...37

C. Teknik Pengumpulan Data...39

D. Tempat Dan Waktu Penelitian...39

E. Analisis Deskriptif Kualitatif...40

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...41

A. Gambaran Umum Kota Yogyakarta...41

B. Implementasi Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 26 Tahun 2002 Tentang Pedagang Kaki Lima di Bidang Hak,Kewajiban Dan Larangan Larangan...45

C. Implementasi Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 26 Tahun 2002 Tentang Pedagang Kaki Lima Di Bidang Fasilitas Dan Pembinaan...51

D. Implementasi Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 26 Tahun 2002 Tentang Pedagang Kaki Lima Di Bidang Penyidikan Dan Sanksi Sannksi...57

E. Implementasi Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 26 Tahun 2002 Tentang Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Fakta di Lapangan...60

F. Faktor Penghambat Dalam Proses Implementasi Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 26 Tahun 2002 Tentang Penataan Pedagang Kaki Lima...65


(8)

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN...70 A. Kesimpulan...70 B. Saran...71


(9)

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pedagang kali lima (PKL) adalah satu satu jenis pedagang yang ada di negara ini, ciri khasnya tentu selalu membawa gerobak ataupun tas yang akan membantu mereka dalam menjajakan dagangan mereka. Namun terkadang apa yang dilakukan oleh para pedagang kaki lima ini dianggap dapat mengganggu ketertiban umum, masih adanya beberapa pedagang kaki lima yang tidak tertib dan disiplin dalam menjajakan dagangannya membuat suatu daerah menjadi terlihat tidak teratur . Para pedagang kaki lima terkadang berjualan di tempat yang dilarang oleh pemerintah karena dapat membuat suatu tempat tidak enak di pandang jika terdapat pedagang kaki lima, terlebih lagi keberadan pedagang kaki lima dapat menyebabkan kemacetan yang parah karena mereka berjualan di trotoar bahkan di pinggir jalan

.

Fakta di lapangan juga seperti demikian, kita bisa melihat di berbagai sudut di kota Yogyakarta masih saja ada pedagang kaki lima nakal yang berjualan sembarangan seperti di ruas jalan solo, alun-alun , dan berbagai temppat lainnya. Hal ini sangat merugikan kota Yogyakarta sendiri karena apa yang dilakukan oleh para pedagang kaki lima tersebut dapat merusak keindahan dan tata kota Yogyakarta. Pedagang kaki lima ini merupakan salah satu aspek dari ekonomi kerakyatan yang tentunya tidak bisa kita hilangkan keberadaannya hanya di karenakan persoalan mereka berjualan sembarangan. Sampai saat ini pemerintah kota Yogyakarta sudah melakukaan penataan dengan cukup baik bagi para pedagang kaki lima ini, namun di beberapa titik masih bisa kita jumpai para pedagang kaki lima yang tidak teratur

.

Oleh karena itulah pemerintah membuat suatu aturan yang nantinya akan mengatur para pedagang kaki lima supaya mereka bisa


(11)

lebih tertib lagi dalam menjalankan kegiatan mereka sehingga suatu daerah bisa terlihat lebih indah & rapi. Namun tidak banyak para pedagang kaki lima yang mau menuruti aturan tersebut, berbagai macam alasan seperti sepinya pembeli terkadang membuat mereka nekat untuk melanggar peraturan yang telah di buat oleh pemerintah. Apalagi beberapa waktu terakhir kota Yogyakarta di buat heboh dengan tuntutan sebesar Rp 1.000.000.000,00 yang diajukan oleh seorang pengusaha terhadap 5 pedagang kaki lima karena dituduh telah menduduki lahan milik pengusaha tersebut tanpa izin. Jumlah uang yang tentu dirasa tidak mungkin dibayarkan bagi pedagang kaki lima

.

Salah satu masalah yang sering ditimbulkan dari keberadaan pedagang kaki lima ini adalah keberadaan mereka terkadang dapat mengakibatkan kemacetan hal ini dikarenakan masih banyak pedagang kaki lima yang tidak tertib dalam membuka lapaknya sehingga terkadang mereka menggunakan trotoar dan bahu jalan yang dapat menghambat arus lalu lintas di suatu daerah

.

Sebenarnya pemerintah sudah mencoba untuk merelokasi pedagang kaki lima ke suatu tempat yang lebih layak sehingga tidak menimbulkan kemacetan, namun terobosan ini tidak serta merta langsung diterima oleh pedagang kaki lima tersebut karena mereka beranggapan bahwa tempat baru yang disediakan oleh pemerintah sepi dari pembeli dan lokasinya tidak strategis sehingga di khawatirkan dapat mengurangi penghasilan yang mereka peroleh selama ini

.

Yang sangat dirugikan dari keberadaan pedagang kaki lima yang mangkal di bahu jalan & trotoar ini tentu para pengendera kendaraan pribadi yang terpaksa menghadapi kemacetan parah dan para pejalan kaki yang mana trotoar yang seharusnya menjadi jalur para pejalan kaki namun di isi oleh para pedagang kaki lima

.

Padahal hak pejalan kaki untuk menggunakan trotoar sudah di atur dalam UU Nomor 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan jalan

.


(12)

Sebenarnya pemerintah khususnya pemerintah Kota Yogyakarta telah beberapa kali melakukan penertiban baik terhadap pedagang kaki lima yang berjualan di trotoar maupun terhadap peedagang kaki lima yang berjualan di daerah yang telah dilarang oleh pemerintah Kota Yogyakarta

.

Jika kita melihat sejarah kebelakang kita bisa melihat bagaimana terobosan yang dilakukan oleh Walikota Yogyakarta periode lalu yakni bapak Herry Zudianto, beliau mampu mengayomi para pedagang kaki lima yang berada di sekitar tugu Yogyakarta sehingga mereka mau direlokasi ke suatu tempat yang telah disediakan yakni di Pasar Klithikan. Sebelum direlokasi keberadaan para pedagang kaki lima sangat mengganggu ketertiban karena mereka membuat jalan di sekitar tugu Yogyakarta menjadi macet apalagi ketika musim libur

.

Namun masalah tidak sepenuhnya selesai, saat ini masih menjamur para pedagang kaki lima yang masih membandel dengan nekat berjualan di daerah yang sebetulnya sudah dilarang oleh peraturan daerah kota Yogyakarta nomor 26 tahun 2002 tentang pedagang kaki lima Seperti contoh sebenarnya di daerah kawasan monumen serangan umum 1 maret tidak diperbolehkan berjualan namun kenyataannya para pedagang kaki lima tersebut tidak mentaatinya

.

Hal tersebut mungkin dikarenakan di lokasi tersebut terdapat banyak sekali masyarakat yang berkunjung.

Selain itu juga kita bisa melihat terobosan dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dalam menata para pedagang kaki lima yang ada di Jakarta, seperti yang kita ketahui bersama salah satu penyebab kemacetan di Ibukota adalah keberadan pedang kaki lima yang memakan bahu jalan untuk berjualan, hal ini mengakibatkan jalan menjadi sempit dan terjadi penumpukan kendaraan. Namun kini para pedagang kaki lima tersebut sudah mendapat tempat yang baru, kini mereka ditempatkan di beberapa lokasi khusus sehingga para pedagang kaki lima tidak lagi berjualan di jalanan. Sekali lagi ini menunjukkan bahwa pendekatan secara intens oleh kepala daerah kepada para pedagang


(13)

kaki lima akan memberikan jalan tengah yang baik sehingga kedua belah pihak sama-sama mendapat keuntungan

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembahasan masalah diatas maka permasalahan yang akan kita bahas adalah : Bagaimana Implementasi Peraturan Daerah (Perda) Kota Yogyakarta Nomor 26 Tahun 2002 Tentang Pedagang Kaki Lima (PKL) Di Kota Yogyakarta ?

C. Tujuan Penulisan Skripsi

Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis adalah Ingin mengetahui dan mengkaji implementasi dari Peraturan Daerah (Perda) Kota Yogyakarta Nomor 26 Tahun 2002 Tentang Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Yogyakarta

D. Manfaat Penulisan Skripsi

a. Bagi Ilmu Pengetahuan Akan menjadi salah satu sumbangan pemikiran tentang ke efektifan suatu Perda khusus dan pada umumnya bagi pemerintah daerah

b. Bagi Pembangunan Akan menjadi masukan bagi pemerintah Kota Yogyakarta sehingga diharapkan bisa membuat suatu tempat khusus bagi Pedagang Kaki Lima sehingga tidak merusak tatanan Kota Yogyakarta.Dan akan menjadi masukan bagi pedagang kaki lima sehingga dapat ikut memberikan dampak positif bagi pelaksanaan pembangunan tata Kota Yogyakarta.


(14)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pedagang Kaki Lima

(1). Pengertian Pedagang Kaki Lima

Pedagang kaki lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang melakukan kegiatan komersial di atas daerah milik jalan (DMJ/trotoar) yang (seharusnya) diperuntukkan untuk pejalan kaki (pedestrian). Ada pendapat yang menggunakan istilah PKL untuk pedagang yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan demikian karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga "kaki" (yang sebenarnya adalah tiga roda, atau dua roda dan satu kaki kayu). Menghubungkan jumlah kaki dan roda dengan istilah kaki lima adalah pendapat yang mengada-ada dan tidak sesuai dengan sejarah. Pedagang bergerobak yang 'mangkal' secara statis di trotoar adalah fenomena yang cukup baru (sekitar 1980-an), sebelumnya PKL didominasi oleh pedagang pikulan (penjual cendol, pedagang kerak telor) dan gelaran (seperti tukang obat jalanan)

.

1

Istilah pedagang kaki lima pertama kali dikenal pada zaman Hindia Belanda, tepatnya pada saat Gubernur Jenderal Stanford Raffles berkuasa. Ia mengeluarkan peraturan yang mengharuskan pedagang informal membuat jarak sejauh 5 kaki atau sekitar 1,2 meter dari bangunan formal di pusat kota . Peraturan ini diberlakukan untuk melancarkan jalur pejalan kaki sambil tetap memberikan kesempatan kepada pedagang informal untuk berdagang. Tempat pedagang informal yang berada 5 kaki dari bangunan formal di pusat kota inilah yang kelak dikenal dengan dengan “kaki lima” dan pedagang yang berjualan pada tempat tersebut dikenal dengan sebutan “pedagang kakilima” atau PKL.

1


(15)

Hingga saat ini istilah PKL juga digunakan untuk semua pedagang yang bekerja di trotoar, termasuk para pemilik rumah makan yang menggunakan tenda dengan mengkooptasi jalur pejalan kaki maupun jalur kendaraan bermotor. Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalanan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter. Sekian puluh tahun setelah itu, saat Indonesia sudah merdeka, ruas jalan untuk pejalan kaki banyak dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berjualan. Dahulu namanya adalah pedagang emperan jalan, sekarang menjadi pedagang kaki lima. Padahal jika merunut sejarahnya, seharusnya namanya adalah pedagang lima kaki

.

Di beberapa tempat, pedagang kaki lima dipermasalahkan karena mengganggu para pengendara kendaraan bermotor, mengunakan badan jalan dan trotoar. Selain itu ada PKL yang menggunakan sungai dan saluran air terdekat untuk membuang sampah dan air cuci. Sampah dan air sabun dapat lebih merusak sungai yang ada dengan mematikan ikan dan menyebabkan eutrofikasi. Tetapi PKL kerap menyediakan makanan atau barang lain dengan harga yang lebih, bahkan sangat, murah daripada membeli di toko. Modal dan biaya yang dibutuhkan kecil, sehingga kerap mengundang pedagang yang hendak memulai bisnis dengan modal yang kecil atau orang kalangan ekonomi lemah yang biasanya mendirikan bisnisnya di sekitar rumah mereka

.

2

2(2). Sejarah Pedagang Kaki Lima

Pedagang kaki lima atau yang sering disebut PKL merupakan sebuah komunitas yang kebanyakan berjualan dengan memanfaatkan area pinggir jalan raya untuk mengais rezeki dengan menggelar dagangannya atau gerobaknya di pinggir-pinggir perlintasan jalan

2


(16)

raya. Bila melihat sejarah dari permulaan adanya Pedagang Kaki Lima, PKL atau pedagang kaki lima sudah ada sejak masa penjajahan Kolonial Belanda. Pada masa penjajahan kolonial peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk Para pedestrian atau pejalan kaki yang sekarang ini disebut dengan trotoar

.

3

Selain itu juga pemerintahan pada waktu itu juga menghimbau agar sebelah luar dari trotoar diberi ruang yang agak lebar atau agak jauh dari pemukiman penduduk untuk dijadikan taman sebagai penghijauan dan resapan air. Dengan adanya tempat atau ruang yang agak lebar itu kemudian para pedagang mulai banyak menempatkan gerobaknya untuk sekedar beristirahat sambil menunggu adanya para pembeli yang membeli dagangannya. Seiring perjalanan waktu banyak pedagang yang memanfaatkan lokasi tersebut sebagai tempat untuk berjualan sehingga mengundang para pejalan kaki yang kebetulan lewat untuk membeli makanan, minuman sekaligus beristirahat.

Berawal dari situ maka Pemerintahan Kolonial Belanda menyebut mereka sebagai Pedagang Lima Kaki buah pikiran dari pedagang yang berjualan di area pinggir perlintasan para pejalan kaki atau trotoar y4ang mempunyai lebar Lima Kaki.tidak disertai dengan

ketersediaan wadah yang menaunginya dan seolah kurang memberi perhatian terhadap pedagang kaki lima

.

3

Salah satu karakteristik sektor informal adalah cenderung menggunakan sumber daya lokal dan tidak memiliki izin resmi sehingga usaha sektor informal sangat beraneka ragam seperti pedagang kaki lima, pedagang keliling, pedagang eceran, tukang warung, tukang cukur, tukang becak, tukang sepatu, tukang loak, buruh harian, serta usaha-usaha rumah tangga seperti pembuat tempe, tukang jahit, tukang tenun, dan lain-lain

.

3


(17)

Pedagang kaki lima bermula tumbuh dan semakin berkembang dari adanya krisis moneter yang melanda secara berkepanjangan yang menimpa Indonesia pada sekitar tahun 1998 dimana salah satunya mengakibatkan terpuruknya kegiatan ekonomi. Kebutuhan untuk tetap bertahan hidup dengan menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, menuntut masyarakat dengan modal keterampilan terbatas menjadi pedagang kaki lima

.

Seiring perjalanan waktu para pedagang lima kaki ini tetap ada hingga sekarang, namun ironisnya para pedagang ini telah diangggap mengganggu para pengguna jalan karena para pedagan telah memakan ruas jalan dalam menggelar dagangannya. 5

Namun bila kita menengok kembali pada masa penjajahan belanda dahulu, antara ruas jalan raya, trotoar dengan jarak dari pemukiman selalu memberikan ruang yang agak lebar sebagai taman maupun untuk resapan air. hal ini bisa kita lihat pada wilayah-wilayah yang masih bertahan dan terawat sejak pemerintahan kolonial hingga sekarang seperti di daerah Malang terutama di daerah Jalan Besar Ijen, dan lain sebagainya

.

4

Hal ini sangat berbeda dengan sekarang, dimana antara trotoar dengan pemukiman tidak ada jarak sama sekali, pembuatan taman-taman yang ada di sisi pinggir jalan terkesan seadanya sehingga tidak mampu untuk meresap air apa bila hujan. Ini fakta bukan fenomena, ini kenyataan dan bukan rekaan. Lantas tidak sepenuhnya kesalahan itu teralamatkan pada Pedagang Kaki Lima (PKL) yang notabene memang dirasakan sangat mengganggu para pengguna jalan. Sungguh ironis memang, disatu sisi mereka mencari nafkah, satu sisi mereka juga mengganggu kenyamanan para pengguna jalan. Dalam hal ini pemerintah harus lebih jeli dalam mengambil tindakan dan juga menegakkan peraturan.


(18)

Lapangan pekerjaan yang sulit juga mendukung maraknya Pedagang Kaki Lima (PKL) yang merupakan alih profesi akibat PHK dan lain sebagainya

.

6

(3). Pengelompokkan Pedagang Kaki Lima Menurut Sarana Fisiknya

Sebenarnya ada banyak sekali pengelompokkan jika dilihat dari sarana fisiknya, dibawah ini akan dijelaskan beberapa dari pedagang kaki lima menurut sarana fisiknya:

 Kios

Pedagang yang menggunakan bentuk sara ini dikategorikan pedagang yang menetap, karena secara fisik jenis ini tidak dapat dipindahkan. Biasanya merupakan bangunan semi permanen yang dibuat dari papan

 Warung Semi Permanen

Terdiri dari bebearap gerobak yang diatur berderet yang dilengkapi dengan meja dan bangku-bangku panjang. Bentuk sara ini beratap dari bahan terpal atau plastik yang tidak tembus air. Pedagang kaki lima ini dikategorikan Pedagang kaki lima menetap dan biasanya berjualan makanan dan minuman

 Gerobak Atau Kereta Dorong

Bentuk sara berdagang ini ada 2 jenis, yaitu gerobak atau kereta dorong yang beratap sebagai perlindungan untuk barang dagangan dari pengaruh panas, debu,hujan dan sebagainya serta gerobak atau kereta dorong yang tidak beratap. Sarana ini dikategorikan jenis pedagang kaki lima yang menetap dan tidak menetap. Biasanya untuk menjajakan makanan, minuman serta rokok

4 https://mujibsite.wordpress.com/2009/08/14/sejarah-pedagang-kaki-lima-pkl/ (Diakses Pada Selasa 27 Oktober 2015 12.05 WIB)


(19)

 Jongkok Atau Meja

Bentuk sara berdagang seperti ini dapat beratap dan tidak beratap. Sarana seperti ini dikategorikan jenis pedagang kaki lima yang menetap

 Gelaran Atau Alas

Pedagang menjajakan barang dagangannya diatas kain,tikar dan lainnya untuk menjajakan barang dagangannya. Bentuk sara ini dikategorikan pedagang kaki lima yang semi menetap dan umumnya sering dijumpai pada jenis barang kelontong

 Pikulan Atau Keranjang

Sarana ini digunakan oleh para pedagang keliling atau semi menetap dengan menggunakan satu atau dua keranjang dengan cara dipikul. Bentuk ini dimaksudkan agar barang dagangan mudah untuk dibawa berpindah-pindah tempat 5

7

(4). Pengendalian dan Pengaturan Pedagang Kaki Lima

Keberadaan PKL dapat memberikan keuntungan kepada semua pihak yang bersangkutan jika PKL Tersebut “dikendalikan” Daripada berusaha untuk menghapuskan PKL, lebih baik membuat suatu peraturan sebagai kepastian bagi PKL sehingga dapat menjadi potensi yang baik. Keuntungan dari PKL yang telah “dikendalikan” adalah:

5

Retno Widjajanti,2000,”Penataan Fisik Kegiatan Pedagang Kaki Lima Pa Program Magister Perencanaan Wilayah Dan Kota Program Pasca Sarjana Institut Tekhnologi Bandung” , hlm 39-40


(20)

 Keramahtamahan PKL, keunikan dari gerobak dan aktivitas yang ditimbulkan, seperti duduk-duduk sambil belajar, membaca, berbicara dengan teman, berdiskusi dan lain-lain dapat menciptakan suatu suasana dengan karakter yang hidup.

 Dengan pengembangan desain yang tidak mahal, gerobak PKL dapat menjadi warna-warna yang menarik pada areal ruang basis kegiatan dan ruang kegiatan umum.

 PKL juga menarik karena menawarkan pelayanan yang tidak diberikan pada toko-toko atau restoran besar, seperti harga yang lebih murah dan suasana yang lebih terbuka.

 PKL dapat memelihara kawasan di sekitar tempatnya berjualan, memungut sampah, dan melaporkan kerusakan fasilitas-fasilitas umum.

 Mereka memberikan petunjuk jalan bagi orang baru pertama kali datang dan mengawasi keamanan di areal ia berjualan.

 Keberadaan dapat menambah rasa aman bagi pejalan kaki hingga malam hari.

 PKL sering kali dapat membangkitkan aktivitas positif pada suatu daerah yang tidak terpakai dengan baik di mana sering terdapat aktivitas atau kegiatan ilegal.

 PKL juga dapat memberikan kontribusi berupa kutipan sebagai uang pemeliharaan dan berbagai program manajemen lainnya untuk kesinambungan program penataan PKL6

8

B. Pemerintahan Daerah

Esensi pemerintah daerah berkaitan dengan kewanangan yang dimiliki dalam mengurus dan mengatur urusan rumah tangga pemerintahnya. Kewenangan pemerintah daerah tersebut akan berhubungan dengan pola pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang mengacu dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan

6

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15826/1/sim-des2004-%20%281%29.pdf (Diakses Pada Hari


(21)

Republik Indonesia

.

Ketentuan yang menyangkut tentang pemerintahan daerah telah diakomodasikan dalam pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya. Di dalam mengakui adanya keragaman dan hak asal-usul yang merupakan bagian dari sejarah panjang bangsa Indonesia

.

Kajian pemerintah negara kesatuan diformat dalam dua bentuk sendi utama yaitu sistem pemerintahan yang sifatnya sentralistik dan sifatnya yang desentralistik

.

Kedua sifat ini menciptakan karakter hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang terkait dengan bentuk, susunan dan pembagian kekuasaan atau kewenangan yang ada pada negara

.

Artinya apakah dari bentuk dan susunan negara apakah kekuasaan itu akan di bagi atau diberikan kepada daerah atau kekuasaan itu akan dipusatkan pada pemerintah pusat. Dari sisi pembagian kekuasaan dalam negara akan dapat menimbulkan bentuk sistem pemerintahan sentralistik maupun desetralistik yang secara langsung dapat mempengaruhi hubungan antara pusat dan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan

.

Dengan kata lain, pada suatu ketika bobot kekuasaan terletak pada pusat dan pada kesempatan lain bobot kekuasaan berada pada pemerintah daerah

.

79

10(1). Pembagian Urusan Pemerintahan Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah

a. Urusan Pemerintahan Absolut

Adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pusat. Definisi pusat jika kita masuk bidang eksekutif adalah pemerintah pusat, definisinya sendiri adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik

7

Sijorul Munir,2013,”Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia. Konsep, Azaz Dan Aktualisasinya”,


(22)

Indonesia yang dibantu Wakil Presiden dan menteri. Cakupan urusan pemerintahan absolut terdiri dari masalah bidang politik luar negeri, pertanahan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal serta agama

Meski sepenuhnya berada di tangan pusat, urusan pemerintahan absolut bisa dilimpahkan pada instansi vertikal yang ada di daerah berdasarkan asas dekonsentrasi. Instansi vertikal sendiri adalah perangkat kementrian dan/atau lembaga pemerintah non kementerian yang mengurus urusan pemerintah yang tidak diserahkan kepada daerah otonom dalam wilayah tertentu dalam rangka Dekonsentrasi, contoh instansi vertikal di daerah adalah satuan kerja perangkat daerah atau SKPD

b. Urusan Pemerintahan Konkuren

Totoh W. Tohari mengatakan urusan pemerintahan konkuren Adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintahan pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota, urusan yang diserahkan kepada daerah menjadi dasar pelaksana otonomin daerah. Pembagian itu mencakup berbagai bidang mulai dari pertanian, perdagangan,pertambangan, perikanan dan lain-lain. Tapi prinsip utama dalam pembagian urusan pemerintahan konkuren adalah harus didasarkan pada akuntabilitas, efisiensi, eksternalitas serta harus berkepentingan nasional.

Di dalam undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah ini juga seperti lampiran matriks pembagian urusan pemerintahan konkuren, jika kita masuk ke dalam bidang dan sub bidang maka pusat, daerah provinsi, daerah kabupaten/kota mempunyai porsi kewenangannya masing-masing. Pemerintahan pusat dalam urusan pemerintahan konkuren menetapkan norma,standar dan prosedur dan kriteria yang biasa disingkat NSPK, kewenangan diatas dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan. NPSK inin kemudian menjadi pedoman bagi daerah dalam rangka menyelenggarakan kebijakan daerah yang akan disusunnya


(23)

c. Urusan Pemerintahan Umum

Adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala Pemerintahan. Urusan ini meliputi pembinaan ketahanan nasional, kerukunan antar umat beragama, persatuan dan kesatuan bangsa, penanganan konflik social, pembinaan kerukunan antar suku ataupun intrasuku, koordinasi pelaksanaan tugas antarinstansi pemerintahan yang ada diwilayah daerah provinsi dan kota/ kabupaten, pengembangan kehidupan demokrasi dan, pelaksananan semua urusan pemerintahan yang bukan kewenangan daerah.

Pelaksaan urusan pemerintahan umum adalah gubernur dan walikota serta bupati di daerahnya masing-masing, dibantu oleh instansi vertikal. Pertanggungjawabannya sendiri, gubernur bertanggung jawab kepada Presiden melalui menteri dan bupati/ walikota kepada menteri melalui gubernur. Hal ini karena gubernur diposisikan sebagai wakil pemerintah pusat. Pendanaan urusan pemerintahan umum sendiri berasal dari APBN. 811

(2). Azas-azas Pelaksanaan Pemerintahan Daerah 12

Penegasan bahwa pemerintah daerah adalah suatu pemerintahan otonom dalam NKRI karena kekuasaan negara terletak pada pemerintah pusat bukan pada pemerintah daerah walaupun dalam implementasinya negara kesatuan dapat berbentuk sentralisasi yang segala kebijakan dilakukan secara terpusat. Namun bentuk pemerintahan desentralisasi dalam negara kesatuan sebagai usaha mewujudkan pemerintahan yang demokratis, supaya pemerintah daerah dapat berjalan efektif guna pemberdayaan kemaslahatan masyarakat

Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 57 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka dalam menyelenggarakan

8


(24)

pemerintahan daerah harus berpedoman pada asas penyelenggaraan pemerintahan negara yang terdiri atas :

 Kepastian Hukum

 Tertib Penyelenggara Negara  Keterbukaan

 Proporsionalitas  Profesionalitas  Akuntabilitas  Efisiensi

 Efektivitas , dan  Keadilan

Azas Desentralisasi

Pemaknaan azas desentralisasi di kalangan para pakar dalam mengkaji dan melihat penerapan pelaksanaan pemerintaha daerah masih ada perdebatanperdebatan ini muncul dalam mengartikulasikan desentralisasi diposisikan dalam pelaksanaan pemerintah. Dalam pemaknaan azas tersebut masing masing pakar dapat diklasifikasikan dalam beberapa hal diantaranya : (1) Desentralisasi sebagai penyerahan kewenangan dan kekuasaan (2) Desentralisasi sebagai pelimpahan kekuasaan dan wewenang (3) Desentralisasi sebagai pembagian, perencanaan dan pemberian kekuasaan dan wewenang serta (4) Desentralisasi sebagai sarana dalam pembagian dan pembentukan daerah/wilayah pemerintahan

Azas desentralisasi tumbuh dan berkembang seiring dengan tuntutan dan kebutuhan negara demokrasi sejak lama. Sehingga Pada UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah ini dapat dikatakan sebagai gelombang pertama konsep desentralisasi


(25)

telah mendapat perhatian khusus dan telah diartikulasikan sebagai konsep yang paling relevan untuk memperkuat dan memberdayakan penyelenggaraan pemerintah lokal.

Dalam proses desentralisasi dikatakan bahwa mendefinisikan kembali struktur, prosedur dan pelaksanaan untuk menjadi lebih terbuka kepada masyarakat, pentingnya kepekaan umum dari publik dan ditingkatkannya kesadaran atas maya-maya dan manfaat-manfaat terutama untuk pemegang saham langsung, baik di tingkat pusat maupun daerah untuk ditekankan

Pada hakikatnya desentralisasi itu dapat dibedakan dari segi karakteristiknya, yaitu :

 Desentralisasi Teritorial (Territorial Decentralization), yaitu penyelenggaraan urusan pemerintahan atau pelimpahan wewenang untuk menyelenggarakan suatu urusan pemerintahan dari pemerintahan yang lebih tinggi kepada unit organisasi pemerintah yang lebih rendah berdasarkan aspek kewilayahan

 Desentralisasi Fungsional (Functional Decentralization), yaitu penyerahan urusan-urusan pemerintahan atau pelimpahan wewenang untuk menyelenggarakan suatu urusan pemerintahan dari pemerintahan yang lebih tinggi kepada unit-unit pemerintahan yang lebih rendah berdasarkan aspek tujuannya (seperti Subak di Bali)

 Desentralisasi Politik (Political Decentralization), yaitu pelimpahan wewenang menimbulkan hak untuk mengurus diri kepentingan rumah tangga sendiri bagi badan-badan politik di daerah-daerah yang dipilih oleh rakyat. Ini terkait juga dengan desentralisasi teritorial

 Desentralisasi Budaya (Cultural Decentralization), yaitu pemberian hak kepada golongan-golongan tertentun untuk menyelenggarakan kegiatan budayanya sendiri. Misalnya kegiatan pendidikan oleh kedutaan besar negara asing, otonomo


(26)

nagari dalam menyelenggarakan kegiatan kebudayaannya sendiri, dan sebagainya. Dalam hal ini sebenarnya tidak termasuk urusan pemerintahan daerah

 Desentralisasi Ekonomi (Economic Decentralization), yaitu pelimpaham kewenangan dalam penyelenggaraan kegiatan ekonomi

13

 Desentralisasi Administratif (Administrative Decentralization), yaitu pelimpahan sebagian kewenangan kepada alat-alat atau unit pemerintahan sendiri di daerah. Pengertiannya identik dengan dekonsentrasi9

Azas Dekonsentrasi

Dalam pelaksanan azas dekonsentrasi, pendelegasian wewenang hanya bersifat menjelaskan atau melaksanakan aturan-aturan atau keputusan-keputusan lainnya yang tidak berbentuk peraturan atau membuat keputusan-keputusan dalam bentuk lain kemudian dilaksanakan sendiri. Pendelegasian yang dilakukan dalam dekonsentrasi adalah berlangsung antara petugas perorangan pusat di pemerintahan pusat kepada petugas perorangan pusat di pemerintahan daerah

Hendy Maddick mendefinisikan dekonsentrasi sebagai pendelegasian kewenangan sebagai fungsi-fungsi khusus dari pemerintah pusat terhadap staf yang ada dibawahnya. Sedangkan person mendefinisikan dekonsentrasi sebagai pembagian kekuasaan antara anggota-anggota dari kelompok yang sama dari satu negara. Demikian pula dengan Mahwood yang menyamakan dekonsentrasi dengan administrative decentralatization dan mendefinisikan dekonsentrasi sebagai perpindahan tanggung jawab administrasi dari pusat ke pemerintahan daerah.

14

Dekonsentrasi merupakan salah satu jenis desentralisasi sehingga dekonsentrasi sudah pasti desentralisasi, tetapi desentralisasi tidak selalu berarti dekonsentrasi. Stroink

9

Septi Nur Wijayanti & Iwan Satriawan,2009”Hukum Tata Negara Teori & Prakteknya Di Indonesia”,Yogyakarta, FH UMY. Hlm. 160-161


(27)

berpendapat bahwa dekonsentrasi merupakan perintah kepada para pejabat pemerintah atau dinas yang bekerja dalam hierarki dengan suatu badan pemerintah untuk mengindahkan tugas-tugas tertentu dibarengi dengan pemberian hak mengatur dan memutuskan beberapa hal tertentu dengan tanggung jawab terakhir tetap berada pada badan pemerintah sendiri101516

Azas Tugas Pembantuan

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah disamping pengertian otonomi dijumpai pula istilah “medebewind” atau yang bisa di sebut dengan tugas pembantuan yang mengandung arti bahwa kewenangan pemerinta daerah menjalankan sendiri aturan-aturan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi tingkatnya. Kewenangan ini merupakan tugas dilaksanakan sendiri (zelfuit voering) atas biaya dan tanggung jawab terakhir berada pada pemerintah tingkat atasan yang bersangkutan 11

17

Di Belanda, Medebewind diartikan sebagai pembantu menyelenggarakan kepentingan-kepentingan dari pusat atau daerah-daerah yang tingkatannya lebih atas oleh perangkat daerah yang lebih bawah. Sedangkankan Koesoemahatmadja mengartikan Medebewind atau Zelfbestuur sebagai pemberian kemungkinan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih atas untuk meminta bantuan kepada pemerintah daerah atau pemerintah daerah yang tingkkatannya lebih rendah agar menyelenggarakan tugas atau urusan rumah tangga daerah yang tingkatannya lebih atas12

18 19

Kemudian Amrah Muslimin mengemukakan istilah Mederwebind mengandung arti kewenangan pemerintah daerah menjalankan sendiri aturan-aturan itu dari pemerintah pusat

10

Lukman Santoso AZ,2015,”Hukum Pemerintahan Daerah Mengurai Problematika Pemekaran Daerah

Pasca Reformasi Di Indonesia”,Yogyakarta,Pustaka Pelajar,Hlm 55

11 Sijorul Munir,2013”Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia. Konsep, Azaz Dan Aktualisasinya” , Mataram,Genta Publishing. hlm.103-108

12 Hanif Nurcholis,2007,”Teori Dan Praktek Pemerintahan Dan Otonomi Daerah”

,Jakarta,Grasindo,hlm 21 13

Amran Muslimin,1986,”Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah”,Bandung,Alumni, hlm 45-46

14

Bagir Manan,1994,”Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945”,Jakarta,Sinar Harapan, hlm


(28)

atau pemerintah daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Kewenangan ini mengenai tugas melaksanakan sendiri atas biaya dan tanggung jawab terakhir dari pemerintah tingkat atas yang bersangkutan. Pelaksanaan oleh daerah swatantra dengan kebijaksanaan dari peraturan pusat, jadi daerah swatantra membantu pelaksanaan tugas pemerintahan pusat. Pada umumnya daerah tidak membuat peraturan sendiri akan tetapi ini mungkin juga apabila pemerintah pusat yang bersangkutan memerintahkan sedemikian pada instansi tertentu dari pemerintah daerah13

Bagir Manan mengatakan pada dasarnya tugas pembantuan adalah tugas melaksanakan peraturan perundang-undangan tingkat yang lebih tinggi. Daerah terikat melaksanakan peraturan yang diminta atau diperintah dalam rangka tugas pembantuan. Tugas pembantuan dalam hal-hal tertentu dapat dijadikan semacam “terminal” menuju penyerahan penuh suatu urusan kepada daerah atau tugas pembantuan merupakan tahap awal sebagai persiapan menuju kepada penyerahan penuh14

Dari beberapa penjelasan yang ada diatas maka dapat disimpulkan bahwa asas tugas pembantuan adalah kewenangan yangdiberikan oleh pemerintah pusat atau pemerintahan yang ada di tingkat atas untuk melaksanakan atau menyelenggarakan kegiatan yang belum bisa dilaksanakan oleh pemerintah pusat

20 21

(3). Hubungan Dalam Susunan Organisasi Pemerintahan Daerah

Susunan organisasi pemerintahan daerah merupakan salah satu aspek yang dapat mempengaruhi hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, persoalan yang dapat diketengahkan adalah benarkah hal tersebut dapat mempengaruhi hubungan antara pemerintah pusat dan pemerint daerah ? Untuk menjawab persoalan tersebut, maka dapat diketengahkan bahwa sebagai konsekuensi dibentuknya satuan pemerintahan di tingkat

15 Ni’matul Huda,2009,”Hukum Pemerintahan Daerah”,Bandung,Nusa Media. Hlm 24 -25


(29)

daerah, sudah barang tentu disertai dengan tindakan lain yakni urusan-urusan pemerintahan apa saja yang dapat diiserahkan kepada pemerintah daerah sebagai konsekuensi pelaksanaan desentralistik, titik berat pelaksanaannya akan diletakkan pada daerah yang mana ?

Berdasarkan hal tersebut, maka susunan organisasi pemerintahan di daerah akan berpengaruh terhadap hubungan antara pusat dan daerah. Hal ini dapat dilihat dari peran dan fungsi masing-masing susunan atau tingkatan dalam penyelenggaraan otonomi. Artinya peran dan fungsi tersebut dapat ditentukan oleh pelaksanaan titik berat otonomi yang dijalankan. Pengaturan dan pelaksanaan titik berat otonomi sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : (a) sistem rumah tangga daerah (b) ruang lingkup urusan pemerintahan (c) sifat dan kualitas suatu urusan 15

(4). Sejarah Pemerintahan Daerah Di Indonesia

 Periode Masa Kolonial Belanda

Belanda mulai menjadi penjajah di Indonesia diawali dengan adanya VOC yaitu sebuah perkumpulan perdagangan yang dimiliki Belanda untuk mencari rempah-rempah ke tanah melayu. Pada zaman Hindia Belanda pengaturan tentang pemerintahan daerah tidak ada keseragaman. Pada umumnya dibedakan antara pulau Jawa dan luar pulau Jawa. Sesuai dengan politik jajahannya, pemerintah Hindia Belanda semula hanya melaksanakan asas dekonsentrasi, jadi masih bersifat sentralistis. Sebagai konsekuensi asas ini, di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa dibentuk pemerintahan pangreh projo (pamong projo) 16

 Pemerintahan Daerah Periode Tahun 1945 Sampai Tahun 1949 Berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 tersirat 2 hal :

a. Pelaksanaan asas desentralisasi dan dekonsentrasi secara berdampingan b. Pembentukan 2 daerah tingkatan


(30)

Untuk mereduksi amanah pasal 18 tersebut, ternyata baru tahun 1948 disahkan UU Nomor 22 Tahun 1948 yang berjudul Undang-Undang Pokok Tentang Pemerintahan Daerah yang mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Namun materi muatan dalam UU Nomor 22 Tahun 1948 ini menyimpang dari amanah pasal 18 yaitu dalam hal :

22

a. Dari konsiderans, hanya dilaksanakan asas desentralisasi saja yaitu mengatur daerah-daerah otonom

b. Penghapusan pangreh projo, sebagai konsekuensi akan dihapuskannya asas dekonsentrasi

c. UU nomor 22 Tahun 1948 ini dibentuk berdasarkan maklumat pemerintah tanggal 14 Februari 1945 mengenai sistem pemerintahan pusat, sehingga tidak lagi mendasar pada UUD 1945

d. Menginginkan adanya 3 daerah tingkatan (provinsi, kabupaten/kota besar, desa/kota kecil) 17

 Pemerintahan Daerah Periode Tahun 1949 Sampai Tahun 1950

Adanya agresi militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948 menyebabkan terjadinya KMB (Konferensi Meja Bundar) pada tanggal 23 Agustus 1949 yang diikuti oleh perwakilan Indonesia, perwakilan Belanda dengan mediasi PBB yang menghasilkan kesepakatan :

a. Didirikan negara Republik Indonesia Serikat b. Penyerahan kedaulatan kepada negara RIS c. Didirikan Uni RIS dengan kerajaan Belanda23

16 Septi Nur Wijayanti & Iwan Satriawan,2009”

Hukum Tata Negara Teori & Prakteknya Di Indonesia”,Yogyakarta, FH UMY. Hlm. 162-168

17


(31)

Ketentuan tersebut mulai dilaksanakan pada tanggal 27 Desember 1949 dengan mengesahkan konstitusi baru yaitu Konstitusi Republik Indonesia Serikat pada tahun 1949. Adanya RIS, dibagi menjadi 6 negara bagian yaitu ;

1) Negara Indonesia Timur 2) Negara Sumatera Timur 3) Negera Pasundan

4) Negara Sumatera Selatan 5) Negara Jawa Timur 6) Negara Madura

 Pemerintahan Daerah Periode Tahun 1950 Sampai Tahun 1959

Pada tanggal 17 Agustus 1950, bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan kedua kalinya terlepas dari belenggu Belanda. Dengan adanya penggabungan negara-negara bagian kepada negara Republik Indonesia sehingga mengkokohkan persatuan dan kesatuan kembali. Kita kembali ke negara kesatuan namun sistem pemerintahannya masih menggunakan sistem parlementer dengan mengesahkan konstitusi baru yaitu UUDS 1950. Dalam UUDS 1950 tentang pemerintahan daerah diatur dalam pasal 131, 132, 133. Baru pada tahun 1957 Indonesia berhasil memproduksi UU tentang pemerintahan di daerah yaitu UU Nomor 1 Tahun 1957. Dengan lahirnya UU ini, maka dicabutlah beberapa peraturan yaitu UU nomor 22 Tahun 1948, UU NIT 44 Tahun 1950, dan peraturan perundangan lain mengenai otonomi daerah. 1824

 Pemerintahan Daerah Periode Tahun 1959 Sampai Orde Baru

18Ibid


(32)

Setelah UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali dengan keluarnya dekrit Presiden maka dasar hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah menggunakan Pasal 18, berdasarkan pasal II aturan peralihan yang menyatakan “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD itu”. Karena pasal 18 belum dapat dilaksanakan, maka menurut ketentuan tersebut dasar hukum penyelenggaraan pemerintahan di daerah menggunakan UU Nomor 1 Tahun 1957. Barulah pada tahun 1965 keluarlah produk peraturan tentang pemerintahan daerah yaitu UU Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Dengan keluarnya UU ini maka UU Nomor 1 Tahun 1957 dinyatakan dicabut.

 Pemerintahan Daerah Periode Orde Baru Sampai Dengan Reformasi

Pada era orde baru lahirlah UU Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dan UU Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa. UU Nomor 5 Tahun 19574 disahkan tahun 1974 namun diberlakukan tahun 1979 dan mensosialisasikan UU yang memang baru dari sebelumnya. Asas yang dipakai dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 menggunakan perimbangan asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi

 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

Pasca amandemen terjadi perubahan yang sangat signifikan terhadap perkembangan pemerintahan daerah terutama berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung. Namun dijelaskan secara bertahap tentang penggunaan asas pemerintahan daerah, kewenangan daerah, eksekutif daewrah dan legislatif daerah serta keuangan daerah25

19

C. Peraturan Daerah

1. Pengertian Peraturan Daerah

19Ibid


(33)

Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dijelaskan terdapat 2 jenis definisi dari Peraturan Daerah. Yang pertama adalah “Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur”. Sedangkan definisi yang kedua adalah “Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.”

Sebagai daerah otonom, pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota berwenang untuk membuat peraturan daerah, guna menyelenggarakan urusan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Peraturan daerah (Perda) ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Substansi atau muatan materi Perda adalah penjabaran dari peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah, dan substansi materi tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangan yang lebih tinggi26

Dalam proses pembuatan peraturan daerah, seperti yang telah dijelaskan di dalam Pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan peraturan daerah. Rancangan peraturan daerah harus berpedoman kepada peratursan perundang-undangan. Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari DPRD, Gubernur atau Bupati/Walikota menyampaikan rancangan perda, mengenai materi yang sama maka yang dibahas adalah rancangan perda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan perda yang disampaikan Gubernur atau Bupati/Walikota digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan20


(34)

Muatan materi peraturan daerah dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan hukum (dwangsom) seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Peraturan daerah dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan dapat diatur pula memuat ancaman pidana atau denda lain sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundangan lainnya 2127

2. Peran Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Perda

Dalam proses pembentukan Peraturan daerah, masyarakat tentu juga dilibatkan untuk menampung segala aspirasi sehingga Peraturan Daerah yang berlaku nanti dapat diterima dan dilaksanakan dengan baik dalam proses implementasinya. Saat ini Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juga memberikan dasar hukum bagi masyarakat yang ingin turut serta dalam proses pembentukan. Pasal 96 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menjelaskan bahwa Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Adapaun untuk dalam proses peran masyarakatnya sendiri, seperti yang dijelaskan oleh Pasal 96 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatakan bahwa masyarakat dapat menyampaikan aspirasi mereka untuk ikut serta dalam proses pembentukan Peraturan Daerah pada saat rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.22

28

Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang undangan dapat diartikan sebagai partisipasi politik , oleh Huntington dan Nelson partisipasi politik diartikan sebagai kegiatan warga negara sipil (pivate citizen) yang bertujuan untuk mempengaruhi

20

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

21

Siswanto Sunarno,2005,”Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia”,Jakarta, Sinar Grafika hlm. 39-40

22


(35)

pengambilan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi dan pelibatan masyarakat dalam proses rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, proses pengambilan keputusan publik dan alasan dari pengambilan keputusan publik merupakan salah satu ciri dari penyelenggaraan negara demokratis. Berkaitan dengan hal ini Bagir Maman mengatakan bahwa kebebasan politik ditandai dengan adanya rasa tentram, karena setiap orang merasa dijamin keamanannya atau kesela matannya.

Bentuk partisipasi masyarakat dalam pemerintahan, khususnya dalam pembentukan peraturan daerah sangat bervariasi, tergantung pada situasi dan kondisi di suatu tempat dan waktu. Dalam negara demokrasi dengan sistem perwakilan, kekuasaan pembentukan undang - undang atau Peraturan Daerah hanya ada ditangan kelompok orang - orang yang telah dipilih melalui pemilihan umum. Dalam hal ini, setiap wakil itu akan bertarung di parlemen demi kepentingan umum dan bila mereka bertindak sebaliknya, maka kursi yang didudukinya akan hilang dalam pemilihan umum yang akan datang, digantikan oleh orang lain dari partai yang sama ataupun dari partai yang berbeda. Disinilah letak titik kontrol yang utama dari rakyat kepada wakilnya di parlemen.23

29

Alat kontrol lain yang dipergunakan masyarakat adalah demonstrasi atau bentuk bentuk pengerahan massa lainnya, atau bisa juga melalui prosedur hukum.Dengan demikian, untuk mencapai tujuan peraturan perundang-undangan tersebut syarat pertama yang harus dipenuhi adalah keterlibatan rakyat/partisipasi aktif masyarakat dalam suatu proses pembentukan Peraturan Daerah atau kebijakan lainnya mulai dari proses pembentukannya, proses pelaksanaannya di lapangan dan terakhir tahap evaluasi.Sehubungan dengan partisipasi aktif masyarakat dalam pembentukan Peraturan Daerah, maka perlu juga dikemukakan pandangan M. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Sudarsono yang menegaskan terdapat tiga akses (three accesses) yang perlu disediakan bagi masyarakat dalam

23

http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/viewFile/111/60 ) Diakses Pada Hari Kamis, 17


(36)

penyelenggaraan pemerintahan. Pertama,akses terhadap informasi yang meliputi 2(dua) tipe yaitu hak akses informasi pasif dan hak informasi aktif, kedua akses partisipasi dalam pengalihan keputusan (public participation in decision making) meliputi hak masyarakat untuk mempengaruhi pengambilan keputusan partisipasi dalam penetapan kebijakan, rencana dan program pembangunan dan partisipasi dalarn pernbentukan peraturan perundang-undangan dan ketiga akses terhadap keadilan (access to justice) dengan menyediakan mekanisme bagi masyarakat untuk menegakkan hukum lingkungan secara langsung (the justice pillar also provides a mechanism for public to enforce environmental law directly). Sifat dasar dan peran serta adalah keterbukaan (openness) dan transparansi (transparency).

Lebih lanjut, M. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Sudarsono menjelaskan bahwa penguatan tri akses tersebut diyakini dapat mendorong terjadinya perubahan orientasi sikap dan perilaku birokrasi yang semula menjadi service provider menjadi enabler/fasilitator. Perwujudan tri akses tersebut dapat dilihat dalam beberapa bentuk.Pertama,turut memikirkan dan memperjuangkan nasib sendiri; kedua,kesadaran bermasyarakat dan bernegara. Tidak menyerahkan penentuan nasibnya kepada Model Ideal Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Daerah orang lain ; ketiga, merespons dan bersikap kritis; keempat,penguatan posisi tawar, dan kelima, sumber dan dasar motivasi serta inspirasi yang menjadi kekuatan pelaksanaan tugas dan kewajiban pemerintah.24

30

3. Proses Pembentukan Peraturan Daerah

Pembuatan Peraturan Daerah sebenarnya merupakan suatu bentuk pemecahan masalah secara rasional. Layaknya sebagai proses pemecahan masalah, langkah pertama yang perlu diambil adalah menjabarkan masalah yang akan diatasi, dan menjelaskan bagaimana peraturan daerah yang diusulkan akan dapat memecahkan masalah tersebut.

24Ibid


(37)

Konsep atau draft rancangan peraturan daerah harus merupakan usulan pemecahan masalah-masalah spesifik yang telah diidentifikasi dan dirumuskan. Dan seperti layaknya usulan pemecahan masalah yang memerlukan kajian empiris, draft peraturan daerah juga hendaknya dikaji secara empiris melalui konsultasi publik dan pembahasan antar instansi. Lebih jauh rancangan peraturan daerah yang sudah disahkan hanyalah merupakan pemecahan masalah secara teoritis. Sebagai pemecahan masalah, peraturan daerah yang baru hendaknya di cek secara silang. Peraturan daerah perlu diimplementasikan untuk mengetahui secara pasti tingkat keefektivan yang sebenarnya.25

31

Secara umum, terdapat tujuh (7) langkah yang perlu dilalui dalam menyusum suatu peraturan daerah baru. Uraian dari masing-masing langkah dapat bervariasi, namun secara umum langkah ini perlu diketahui :

 Identifikasi isu dan masalah

 Identifikasi legal baseline atau landasasn hukum, dan bagaimana peraturan daerah baru dapat menyelesaikan masalah

 Penyusunan naskah akademik

 Penulisan rancangan peraturan daerah  Penyelenggaraan konsultasi publik  Pembahasan di DPRD

 Pengesahan peraturan daerah

Seluruh langkah ini dalam banyak hal hendaknya dilaksanakan dalam parameter hukum penyusunan peraturan perundang-undangan yang mungkin telah ada dalam yurisdiksi hukum terkait. Sebagai contoh, ketentuan-ketentuan hukum dalam hal penyusunan naskah akademik peraturan perundang-undangan atau dalam penyelenggaraan

25


(38)

konsultasi publik mungkin sudah tersedia. Ketentuan-ketentuan hukum tersebut hendaknya digunakan dalam langkah-langkah yang diuraikan berikut ini.26

Para perancang peraturan daerah perlu membuat perda atas nama dan untuk kepentingan masyarakat. Langkah pertama yang harus diambil adalah mengajukan pertanyaan mengenai jenis permasalahan yang dihadapi masyarakat. Permasalahan dapat mencakup banyak hal, antara lain degradasi dan deviasi sumber daya, konflik pemanfaatan antar pihak yang mengakibatkan keresahan sosial dan lain-lain. Selain mengidentifikasi masalah, perancang peraturan daerah harus pula mengidentifikasi penyebab terjadinya masalah (akar masalah) dan pihak-pihak yang terkena dampak dari berbagai masalah tersebut, seperti nelayan tradisional dan nelayan kecil lainnya, nelayan skala menengah dan besar, wisatawan, industri perikanan skala besar, dan industri skala besar lainnya

32

Sedangkan jika melihat mekanisme dalam proses dari Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) menjadi Peraturan Daerah (Perda) seperti yang dijelaskan oleh Pasal 78 dan Pasal 79 UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut :

 Rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah

 Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud diatas dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.

 Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud diatas ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30

26 Ibid


(39)

(tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah tersebut disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah.

 Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud tidak ditandatangani oleh Kepala Daerah dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah tersebut disetujui bersama, Rancangan Peraturan Daerah tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib diundangkan27

33

27


(40)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

1. Penelitian Lapangan

Penelitian yang dilakukan secara langsung memperoleh bahan-bahan mengenai masalah yang diteliti dengan wawancara terbuka yaitu teknik pengumpulam data yang dilakukan dengan tanya jawab secara langsung oleh penulis kepada para narasumber dan responden

2. Penelitian Kepustakaan

Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan bahan hukum yang terdiri dari beberapa Bahan Hukum seperti bahan hukum Primer yang berasal dari berbagai sumber literatur seperti perundang-undangan, putusan hakim, putusan pengadilan dan lain-lain. Bahan Hukum Sekunder yang bersumber dari suatu pendapat, doktrin, jurnal koran dan lain-lain yang nantinya akan memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer. Dan yang terakhir adalah Bahan Hukum Terseier yang nantinya akan memberikan penjelasan baik dari bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang terdiri dari ensiklopedia, leksikon dan dokumen non hoku

B. Jenis Data Dan Bahan Hukum a. Jenis Data Primer

Adalah data utama yang diperoleh langsung dari hasil penelitian yang di dapat langsung dari pejabat pemerintahan atau masyarakat secara langsung.


(41)

b. Jenis Data Sekunder

Adalah data tambahan yang bersumber dari kepustakaan seperti buku, jurnal atau literatur lainnya yang masih berkaitan dengan masalah yang dibahas.

• Bahan Hukum Primer

Adalah literatur yang berasal dari suatu sumber yang mengikat seperti peraturan perundang-undangan, putusan hakim, keputusan pengadilan, dll. Bahan hukum primer yaitu :

 UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

 UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan

 Peraturan Daerah (Perda) Kota Yogyakarta Nomor 26 Tahun 2002 Tentang Penataan Pedagang Kaki Lima

• Bahan Hukum Sekunder

Adalah bahan hukum yang bersumber dari suatu pendapat, doktrin , jurnal, koran dll yang nantinya akan memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yaitu Literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti oleh penulis.

• Bahan Hukum Tersier

Adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan baik dari bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, terdiri dari ensiklopedia, leksikon dan dokumen non hokum. Bahan hukum tersier yaitu Bahan hukum yang memberi petunjuk dan penjelasan


(42)

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari kamus-kamus hukum Indonesia

C. Teknik Pengumpulan Data

• Wawancara

Melakukan proses tanya jawab kepada pejabat yang berwenang yang nantinya akan menjadi narasumber sebagai berikut :

1. Bapak Sukamto Selaku Plh Kepala Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta

2. Bapak Marsono Selaku Kepala Bidang Penegakan Perda Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta 3. Bapak Agus Selaku Kepala Seksi PKL Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi Dan

Pertanian Kota Yogyakarta

• Studi Pustaka

Melakukan pencarian data yang masih berkaitan dengan masalah yang dibahas sehingga melengkapi data yang dibutuhkan yang nantinya berasal dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum terseier

D. Tempat dan Waktu Penelitian

• Tempat Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan di Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta


(43)

Sifat analisis deskriptif maksudnya adalah bahwa peneliti dalam menganalisa berkeinginan untuk memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian sebagaimana hasil penelitian yang dilakukannya. 1

28

2

28


(44)

1

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Gambaran Umum Kota Yogyakarta

1. Batas Wilayah

Batas-batas wilayah kota Yogyakarta adalah sebagai berikut :

 Sebelah utara : Kabupaten Sleman

 Sebelah timur : Kabupaten Bantul & Sleman  Sebelah selatan : Kabupaten Bantul

 Sebelah barat : Kabupaten Bantul & Sleman

2. Keadaan Alam

Secara garis besar Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dimana dari barat ke timur relatif datar dan dari utara ke selatan memiliki kemiringan ± 1 derajat, serta terdapat 3 (tiga) sungai yang melintas Kota Yogyakarta, yaitu :

Sebelah timur adalah Sungai Gajah Wong Bagian tengah adalah Sungai Code

Sebelah barat adalah Sungai Winongo

3. Luas Wilayah


(45)

Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah tersempit dibandingkan dengan daerah tingkat II lainnya, yaitu 32,5 Km² yang berarti 1,025% dari luas wilayah Propinsi DIY. Dengan luas 3.250 hektar tersebut terbagi menjadi 14 Kecamatan, 45 Kelurahan, 617 RW, dan 2.531 RT, serta dihuni oleh 428.282 jiwa (sumber data dari SIAK per tanggal 28 Februari 2013) dengan kepadatan rata-rata 13.177 jiwa/Km²

4. Tipe Tanah

Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh letaknya yang berada didataran lereng gunung Merapi (fluvia vulcanic foot plain) yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau tanah vulkanis muda Sejalan dengan perkembangan Perkotaan dan Pemukiman yang pesat, lahan pertanian Kota setiap tahun mengalami penyusutan. Data tahun 1999 menunjukkan penyusutan 7,8% dari luas area Kota Yogyakarta (3.249,75) karena beralih fungsi, (lahan pekarangan)

5. Iklim

Tipe iklim "AM dan AW", curah hujan rata-rata 2.012 mm/thn dengan 119 hari hujan, suhu rata-rata 27,2°C dan kelembaban rata-rata 24,7%. Angin pada umumnya bertiup angin muson dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220° bersifat basah dan mendatangkan hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering dengan arah ± 90° - 140° dengan rata-rata kecepatan 5-16 knot/jam

6. Demografi

Pertambahan penduduk Kota dari tahun ke tahun cukup tinggi, pada akhir tahun 1999 jumlah penduduk Kota 490.433 jiwa dan sampai pada akhir Juni 2000 tercatat


(46)

penduduk Kota Yogyakarta sebanyak 493.903 jiwa dengan tingkat kepadatan rata-rata 15.197/km². Angka harapan hidup penduduk Kota Yogyakarta menurut jenis kelamin, laki-laki usia 72,25 tahun dan perempuan usia 76,31 tahun.

7. Transportasi

Kota Yogyakarta sangat strategis, karena terletak di jalur-jalur utama, yaitu Jalan Lintas Selatan yang menghubungkan Yogyakarta, Bandung, Surakarta, Surabaya, dan kota-kota di selatan Jawa, serta jalur Yogyakarta - Semarang, yang menghubungkan Yogyakarta, Magelang, Semarang, dan kota-kota di lintas tengah Pulau Jawa. Karena itu, angkutan di Yogyakarta cukup memadai untuk memudahkan mobilitas antara kota-kota tersebut. Kota ini mudah dicapai oleh transportasi darat dan udara, sedangkan karena lokasinya yang cukup jauh dari laut (27 - 30 KM) menyebabkan tiadanya transportasi air di kota ini.

8. Luas Wilayah Menurut Kecamatan

Tabel Luas Wilayah Kota Yogyakarta Per Kecamatan

Tabel 1

Nama Kecamatan Luas Area Km2 Persentase

1. Mantrijeron 2,61 8,0

2. Kraton 1,40 4,3

3. Mergangsan 2,31 7,1

4. Umbulharjo 8,12 25,0

5. Kotagede 3,07 9,4

6. Gondokusuman 3,97 12,2

7. Danurejan 1,10 3,4

8. Pakualaman 0,63 1,9


(47)

Nama Kecamatan Luas Area Km2 Persentase

10. Ngampilan 0,82 2,5

11. Wirobrajan 1,76 5,4

12. Gedongtengen 0,96 3,0

13. Jetis 1,72 5,3

14. Tegalrejo 2,91 9,0

Jumlah 32,50 100,00

Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Yogyakarta Tahun 2015

9. Jumlah Penduduk Kota Yogyakarta

Tabel Jumlah Penduduk Kota Yogyakarta Per Kecamatan

Tabel 2

Kecamatan Laki-Laki Perempuan Jumlah

Gondokusuman 22.431 23.904 46.335

Danurejan 9.233 9.531 18.764

Pakualaman 4.623 4.910 9.533

Gondomanan 6.237 7.090 13.327

Ngampilan 7.779 8.917 16.696

Wirobrajan 12.868 12.543 25.411

Gedongtengen 8.372 9.211 17.583

Jetis 11.719 12.273 23.992

Mantirejon 15.739 16.644 32.383

Kraton 8.526 9.348 17.874

Tegalrejo 18.102 18.655 36.757

Mergansan 14.713 15.252 29.965

Kotagede 16.427 16.559 32.986


(48)

Kota Yogyakarta 195.712 206.967 402.679 Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Yogyakarta Tahun 2015

B. Implementasi Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 26 Tahun 2002 Tentang Pedagang Kaki Lima di Bidang Hak,Kewajiban Dan Larangan

Di dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 26 Tahun 2002 Tentang Pedagang Kaki Lima terdapat 19 pasal yang menjelaskan tentang ketentuan, Kewajiban hak dan larangan, fasilitas/pembinaan yang di berikan oleh pemerintah kota Yogyakarta, pengawasan, ketentuan pidana, penyidikan, sanksi administratif dan ketentuan penutup. Namun pada skripsi ini akan lebih fokus untuk mengupas lebih dalam implementasi dari bidang Hak,Kewajiban Dan Larangan Pedagang Kaki Lima dan dari Bidang Fasilitas Dan Pembinaan Yang Dilakukan Oleh Pemerintah Kota Yogyakarta

Pasal 6 (Kewajiban Pedagang Kaki Lima)

a. Memiliki izin penggunaan lokasi dan kartu identitas

b. Mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

ketertiban, keamanan, kesehatan, kebersihan dan keindahan serta fungsi fasilitas umum

c. Mengemas dan memindahkan peralatan dan dagangannya dari lokasi tempat

usahanya setelah selesai menjalankan usahanya

d. Memberikan akses jalan ke bangunan /tanah yang berbatasan langaung dengan

jalan, apabila berusaha didaerah milik jalan dan atau persil sesuai kebutuhan

Untuk masalah kewajiban yang dijelaskan pada pasal 6 bapak Agus (Disperindagkoptan Kota Yogyakarta) mengatakan bahwa saat ini para pedagang kaki lima


(49)

sudah melakukan kewajiban mereka dengan baik, hal ini dibuktikan dengan kesadaran para pedagang kaki lima yang langsung membongkar lapak mereka setelah berjualan. Hal yang menjadi masalah saat ini adalah masih ada saja beberapa oknum pedagang kaki lima yang nekat tidak mebongkar lapak setelah berjualan, salah satu alasan klasik adalah karena mereka tidak ingin repot dan efisien waktu.

Jika masih terdapat pedagang kaki lima yag membandel dengan tidak membongkar lapaknya maka pemerintah Kota Yogyakarta seperti yang dijelaskan oleh bapak Agus akan melakukan beberapa tahapan penertiban yaitu diawali dengan “dilek ke” lalu yang kedua

kembali “dilek ke” lalu yang terakhir jika pedagang kaki lima masih membandel maka

pemerintah Kota akan menerjunkan tim untuk melakukan pembongkaran secara paksa dan barang dagangan beserta perlengkapan akan disitita yang nantinya akan dilimpahkan ke pengadilan. Hal ini tentu harus dihindari oleh pedagang kaki lima, oleh karena itu bapak Agus sangat berharap pada pedagang kaki lima supaya ikut bekerja sama dalam menjaga ketertiban, sehingga baik antara pemerintah kota Yogyakarta dan pedagang kaki lima sama-sama mendapat keuntungan292

Kebanyakan dari pedagang kaki lima yang ada di Kota Yogyakarta menggunakan lapak yang berasal dari gerobak ataupun rangka besi kecil sehingga dapat mereka pasang bongkar dengan praktis, namun ada juga beberapa pedagang kaki lima yang menggunakan kayu dan membangun bangunan kecil semi permanen yang sekaligus tempat mereka tidur sehingga mereka menjadikan lapak mereka untuk berjualan sebagai tempat tinggal, hal ini tentu bertentangan dengan peraturan daerah kota Yogyakarta Nomor 26 Tahun 2002 tentang penataan pedagang kaki lima

Pasal 7 (Hak Pedagang Kaki Lima)

29

Bapak Agus (Disperindagkoptan Kota Yogyakarta) Hasil Wawancara Pada Hari Rabu 21 Oktober 2015 Di Kantor Disperindagkoptan Kota Yogyakarta


(50)

Setiap Pedagang Kaki Lima berhak: a.Menempati lokasi yang telah diizinkan;

b.Melakukan kegiatan usaha dilokasi yang telah diizinkan sesuai ketentu an yang berlaku;

c. Mendapatkan perlindungan hukum terhadap penggunaan lokasi yang telah diizinkan.

Pada pasal 7 peraturan daerah kota Yogyakarta nomor 26 tahun 2002 tentang penataan pedagang kaki lima menjelaskan tentang hak-hak apa saja yang didapat oleh para pedagang kaki lima, dalam hal ini seperti yang terjadi di lapangan maka dapat disimpulkan bahwa para pedagang kaki lima sudah mendapat apa yang telah menjadi hak mereka. Izin yang mereka peroleh dari pihak kecamatan di wilayah mereka berjualan dapat digunakan sebagai pegangan para pedagang kaki lima tersebut dalam menempati tempat lokasi mereka akan berjualan

Untuk masalah perizinan Seperti yang dijelaskan oleh bapak Sukamto (Plh Kepala Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta) untuk saat ini izin berjualan bagi pedagang kaki lima dikeluarkan oleh Camat setempat dan perlu diketahui ternyata saat ini pemerintah Kota Yogyakarta tidak lagi merekomendasikan pada para Camat untuk tidak lagi memberikan izin pembuatan izin baru pada pedagang kaki lima namun hanya merekomendasikan untuk perpanjangan izin berjualan. Hal ini dikarenakan bahwa jumlah pedagang kaki lima yang sudah sangat banyak di Kota Yogyakarta sehingga memaksa pemerintah kota untuk menghentikan pemberian izin baru dikarenakan sudah sangat banyak jumlah dari pedagang kaki lima itu sendiri.303

30

Bapak Sukamto (Plh Kepala Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta) Hasil Wawancara Pada Hari Senin 19 Oktober 2015 di Kantor Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta


(51)

Hal ini tentu akan memberikan dampak positife bagi tata kota Yogayakarta itu sendiri, jika tidak diadakan moratorium izin bagi pedagang kaki lima dapat dibayangkan akan berapa banyak pertumbuhan pedagang kaki lima yang akan menjamur yang tentunya akan membuat kota Yogyakarta semakin sesak dan macet karena keberadaan pedagang kaki lima. Apalagi seperti yang kita ketahui kota Yogyakarta merupakan salah satu destinasi wisata unggulan di Indonesia yang mengakibatkan banyaknya wisatawan yang datang berkunjung ke kota ini.

Pasal 8 (Larangan Bagi Pedagang Kaki Lima)

(1)Setiap Pedagang Kaki Lima dilarang:

a. Menjual belikan dan atau memindahtangankan lokasi kepada pihak manapun; b. Melakukan kegiatan usaha di depan Gedung Agung Monumen Serangan Umum Satu Maret, Taman Makam Pahlawan Kusumanegara dan di lokasi selain yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) Peraturan Daerah ini.

c. Melakukan kegiatan usaha dengan tempat usaha yang bersifat menetap;

d.Melakukan kegiatan usaha yang menimbukan permasalahan kebersihan, keindahan, ketertiban, keamanan dan kenyamanan serta pencemaran lingkungan; e.Menggunakan lahan melebihi ketentuan yang diizinkan;

f.Melakukan kegiatan usaha dengan cara merusak dan atau merubah bentuk trotoar, fasilitas umum dan atau

bangunan sekitarnya;

g.Melakukan kegiatan usaha yang dilarang oleh Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.


(52)

(2)Setiap pedagang kakilima yang melakukan kegiatan usaha dengan menggunakan kendaraan, dilarang berdagang ditempat-tempat larangan parkir, berhenti sementara dan atau di trotoar

4Di dalam pasal 8 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 26 Tahun 2002 Tentang

Kaki Lima terdapat 7 sub pasal yang berisikan tentang tidak boleh memperjual-belikan lokasi berjualan pada pihak manapun, melakukan kegiatan usaha di tempat yang telah dilarang seperti Monumen Serangan Umum 1 Maret, Gedung Agung, Taman Makam Pahlawan Kusumanegara. Lalu dijelaskan juga bahwa tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat merusak keindahan dan kebersihan, menggunakan lahan melebihi ketentuan yang diberikan, dan melakukan kegiatan usaha yang dilarang oleh peraturan yang berlaku.

5Bapak Marsono (Kabid Penegakan Perda Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta)

mengatakan bahwa sebagian besar para pedagang kaki lima sudah menjalankan apa yang yang ada di pasal 8 tersebut dengan sangat baik. Terbukti dengan fakta di lapangan meskipun masih ada beberapa pedagang kaki lima yang masih setengah hati dalam menjalankannya. Tertibnya para pedagang kaki lima dalam menjalankan pasal 8 ini merupakan hasil dari sosialisasi dan pembinaan yang selalu intens dilaksanakan oleh Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta. Hal ini tidak lain dan tidak bukan untuk menciptakan pedagang kai lima yang tertib sehingga keberadaan mereka tidak mengganggu keindahan kota Yogyakarta. Pembinaan yang diberikan oleh pemerintah Kota Yogyakarta melalui Dinas Ketertiban selain untuk memberikan penjelasan tentang isi dari peraturan daerah Kota Yogyakarta nomor 26 tahun 2002 tentang penataan pedagang kaki lima juga memberikan jawaban atas pertanyaan yang ditanyakan langsung oleah para pedagang kaki lima yang ikut dalam acara pembinaan31


(53)

Jika kita melihat langsung ke beberapa lokasi titik para pedagang kaki lima yang ada di kota Yogyakarta, memang sebagian besar para pedagang kaki lima sudah melaksanakan kewajiban mereka dengan baik. Salah satu yang jelas terlihat adalah para pedagang selalu membersihkan lokasi mereka berjualan sehingga terlihat selalu rapi dan bersih dan juga setelah berjualan mereka akan langsung membongkar lapak/tenda tempat mereka berjualan6.

C. Implementasi Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 26 Tahun 2002 Tentang Pedagang Kaki Lima Di Bidang Fasilitas Dan Pembinaan

PASAL 10 (Fasilitas Dan Pembinaan)

(a)Untuk pengembangan usaha pedagang kakilima, Walikota atau pejabat yang

ditunjuk melakukan fasilitas/pembinaan.

(b)Dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana tersebut pada ayat (1) Pasal ini,

Walikota atau pejabat yang ditunjuk dapat melibatkanorganisasi-organisasi Pedagang Kaki lima

(c)Kegiatan usaha pedagang kakilima di lokasi-lokasi tertentu diupayakan untuk

mampu menjadi daya tarik Pariwisata Daerah.

(d)Lokasi-lokasi tertentu sebagaimana tersebut pada ayat (3) Pasal

ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Walikota.

Salah satu pasal di dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 26 Tahun 2002 adalah bahwasanya walikota melalui pejabat yang ditunjuk wajib untuk melaksanakan pembinaan yang bertujuan untuk mensosialisasikan apa-apa saja ketentuan yang dimuat pada Perda tersebut. Bapak Sukamto (Dinas Ketertiban) mengatakan bahwa pemerintah

31

Bapak Marsono (Kabid Penegakan Perda Dinas Ketertiban) Hasis Wawancara pada Hari Selasa 27 Oktober 2015 di Kantor Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta


(54)

Kota Yogyakarta memalui Dinas Ketertiban selalu rutin menyelenggarakan pembinaan dan sosialisasi mengenai Perda ini kepada Pedagang Kaki Lima yang ada di Kota Yogyakarta.

Pembinaan dan sosialisasi tersebut biasanya dilakukan sebanyak 1-2 kali dalam 1 minggu yang mana pelaksanaannya dilakukan di Kantor Kecamatan di seluruh kota yang dihadiri oleh para pedagang kaki lima yang berjualan di wilayah kecamatan tersebut. Acara ini disebutkan oleh bapak Sukamto dilakukan selain untuk melaksanakan amanat dari Perda Kota Yogyakarta nomor 26 Tahun 2002 tentang Pedagang Kaki Lima juga ditujukan untuk memberikan penjelasan kepada pedagang Kaki Lima tentang apa-apa saja yang harus dilakukan oleh pedagang kaki lima sehingga keberadaan mereka tidak mengganggu ketertiban umum.

Kegiatan sosialisasi ini biasanya terlaksana berkat inisiatif yang dilakukan oleh Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta yang mana telah disebutkan di atas rutin dilakukan setiap minggunya, namun tidak menurut kemungkinan juga kegiatan sosialisasi ini dilaksanakan atas permintaan yang sampaikan pemerintah kecamatan atau paguyuban pedagang kaki lima kepada dinas ketertiban kota Yogyakarta.

Salah satu pembinaan yang dilakukan oleh Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta adalah pada tanggal 12 November 2015 bertempat di Kantor Camat Gondokusuman Yogyakarta. Kegiatan ini dimulai pada pukul 09.00 WIB sampai pukul 11.00 WIB yang dihadiri oleh Plh Kepala Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta, Camat Gondokusuman, Sekretaris Camat Gondokusuman dan kurang lebih 20 pedagang kaki lima yang berjualan di wilayah Gondokusuman. Acara yang dimulai dengan pemaparan mengenai Perda Kota Yogyakarta Nomor 26 tahun 2002 tentang Pedagang Kaki Lima oleh Plh Kepala Dinas Kota Yogyakarta juga diisi dengan sesi tanya jawab yang di lakukan oleh para pedagang kaki lima.

Jumlah pedagang kaki lima yang hadir pada acara sosialisasi tersebut hanya sekitar 20 orang, hal ini sangat disayangkan karena sebenarnya pihak kecamatan Gondokusuman telah


(55)

memberikan undangan pada kurang lebih 50 pedagang kaki lima yang biasanya berjualan di sekitar kawasan kecamatan Gondokusuman. Minimnnya pedagang kaki lima ini sangat disayangkan, karena mereka seharusnya harus mengetahui materi materi yang akan disampaikan oleh pemerintah kota Yogyakarta, sehingga mereka mengetahui apa-apa saja yang telah menjadi ketentuan dalam berdagang

Pada tahun 2015 ini Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta selalu melakukan kegiatan penegakan peraturan daerah dan ternyata dari 11 peraturan daerah yang rutin ditegakkan oleh Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta penegakan terhadap Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 26 Tahun 2002 Tentang Penataan Pedagang Kaki Lima sampai bulan September 2015 berada di posisi kedua terbanyak dengan 242 kali penegakkan. Dengan rincian sebagai berikut :

No Peraturan Daerah Nomor Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Jumlah

1 2 Tahun 2005 (Izin Gangguan)

35 36 27 31 25 20 12 31 33 250

2 8 Tahun 1998 (Izin Penyelenggaraan

Reklame)

22 38 34 26 19 10 9 31 19 208

3 4 Tahun 2003 (Izin Penyelenggaraan

Pondokan)

2 1 1 - 4 8 - - - 16

4 18 Tahun 2009 (Penyelenggaraan

Perparkiran)

1 - 1 21 1 1 7 - - 32

5 4 Tahun 2010 (Penyelenggaraan


(56)

Kepariwisataan) 6 26 Tahun 2002 (Penataan PKL)

20 44 15 27 31 19 16 53 17 242

7 21 Tahun 2009 (Pemotongan Hewan)

2 1 1 1 - - 9 - - 14

8 2 Tahun 2008 (Izin Peny Sarrana Kesehatan &

tenaga Kesehatan)

- 2 - - - 2

9 2 Tahun 2012 (Bangunan Gedung)

- 1 1 1 - - - - 1 4

10 7 Tahun 1953 (Penjualan Miras)

- 2 2 - - 1 - - - 5

11 18 Tahun 2002 (Pengelolaan Kebersihan)

- 2 - - - - 2 - 4 8

Tabel 1 : Jumlah Penegakan Perda Oleh Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta Tahun 2015

Tingginya angka penegakan tersebut dikarenakan masih banyaknya oknum pedagang kaki lima yang tidak tertib dan melanggar apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah kota Kota Yogyakarta. Pemerintah kota Yogyakarta melalui Dinas Ketertiban sebenarnya sering melakukan penindakan terhadap pedagang kaki lima yang berjualan di daerah yang sebenarnya sudah dilarang oleh peraturan daerah kota Yogyakarta nomor 26 tahun 2002 tentang pedagang kaki lima namun seperti yang dikatakan oleh bapak Sukamto jumlah personil yang minim mengakibatkan Dinas Ketertiban tidak efektif dalam pelaksaannya, pedagang kaki lima yang sebelumnya sudah pernah ditindak pun alhasil


(1)

1 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah disampaikan oleh penulis pada bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Implementasi Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 26 Tahun 2002 Tentang Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Yogyakarta dan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 62 Tahun 2009 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 26 Tahun 2002 Tentang Penataan Kaki Lima sudah berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan tertibnya para pedagang kaki lima untuk mentaati apa-apa saja ketentuan yang telah diamanatkan dalam perda tersebut seperti lokasi mereka berjualan, ketentuan dalam berjualan, kewajiban untuk menjaga kersihan lapak dan juga kesadaran untuk mengikuti sosialisasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta

2. Dalam pelaksanaan perda ini pemerintah kota Yogyakarta masih kesulitan dalam hal melakukan penertiban bagi pedagang kaki lima yang masih tetap nekat berjualan di lokasi yang sudah di larang, meskipun demikian di beberapa tempat ada juga pedagang kaki lima yang dengan sadar untuk mentaati sehingga proses implementasi dari perda ini dapat berjalan sesuai dengan harapan


(2)

2 B. Saran

Solusi yang penulis berikan supaya proses implementasi perda ini dapat berjalan dengan baik adalah sebagai berikut :

1. Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Dinas Ketertiban harus menambah personil untuk melakukan penertiban sehingga proses implementasi perda ini dapat berjalan sesuai dengan harapan

2. Pemerintah kota Yogyakarta harus menyediakan tempat khusus berjualan bagi para pedagang kaki lima ini sehingga mereka tidak lagi berjualan di sembarang tempat


(3)

(4)

1 DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Amran Muslimin,1986,”Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah”,Bandung,Alumni Siswanto Sunarno, 2005,”Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia”, Sinar Grafika, Jakarta

Bagir Manan,1994,”Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945”,Sinar Harapan, Jakarta

Jazim Hamidi & Kemilau Mutik,2011,”Legislative Drafting”, Total Media, Jakarta

Lukman Santoso AZ,2015,”Hukum Pemerintahan Daerah Mengurai Problematika Pemekaran Daerah Pasca Reformasi Di Indonesia”,Pustaka Pelajar,Yogyakarta

Mukti Fajar & Yulianto Achmad,2010,”Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris”,Pustaka Pelajar,Yogyakarta

Ni’matul Huda, 2009,”Hukum Pemerintahan Daerah”,Nusa Media,Bandung

Septi Nur Wijayanti & Iwan Satriawan,2009”Hukum Tata Negara Teori & Prakteknya Di Indonesia”, FH UMY, Yogyakarta,

Sijorul Munir, 2013,”Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia. Konsep, Azaz Dan Aktualisasinya”,Genta Publishing, Mataram


(5)

2 Widjajanti,Retno,2000, “Penataan Fisik Kegiatan Pedagang Kaki Lima Pada Kawasan Komersial di Pusat Kota (Studi Kasus : Simpang Lima Semarang)”. Tesis Tidak Diterbitkan, Bidang Khusus Perencanaan Kota Program Magister Perencanaan Wilayah Dan Kota Program Pasca Sarjana Institut Tekhnologi Bandung

Zainuddin Ali,2009,”Metode Penelitian Hukum”,Sinar Grafika,Jakarta Perundang-Undangan :

UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

UU No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan jalan

Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 26 Tahun 2002 Tentang Pedagang Kaki Lima

Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 62 Tahun 2009 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 26 Tahun 2002 Tentang Penataan Kaki Lima

Internet :

https://id.wikipedia.org/wiki/Pedagang_kaki_lima (Selasa 27 Oktober 2015 jam 12.00 WIB)


(6)

3 https://mujibsite.wordpress.com/2009/08/14/sejarah-pedagang-kaki-lima-pkl/ (Selasa 27 Oktober 2015 12.05 WIB)

http://www.hukumpedia.com/twtoha/pembagian-urusan-pemerintahan-menurut-undang-undang-no-23-tahun-2014-tentang-pemerintahan-daerah (Di akses pada tanggal 24 Februari 2016 Jam 19.00 WIB)

http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/viewFile/111/60 )