UJIAN NASIONAL 008

(1)

UNIAN NASIONAL DAN KEBIJAKAN PARADOKSAL Nazla Maharani Umaya

2013

Ujian Nasional (UN) menggunakan sistem seperti halnya periode ujian akhir sekolah di awal terselenggaranya di pendidikan di Indonesia. Sesuai dengan standar kompetensi lulusan yang menjadi lampiran Permendiknas nomor 23 tahun 2006, apakah terakomodasi dengan tepat dan efektif melalui UN memerlukan pemahaman lebih mendalam lagi. Antara rencana, rancangan, serta aplikasi dan pencapaian seolah menjadi pelega kemorat maritan sistem UN untuk mendapatkan label pendidikan nasional yang sudah berkualitas baik melalui hasil ujian yang dipaksakan, karena disediakan ujian susulan bagi yang belum memenuhi standar kelulusan yang telah ditentukan.

A. Pendahuluan

Ujian Akhir Nasional (UAN) yang saat ini disebut dengan Ujian Nasional (UN) merupakan kegiatan yang dilakukan sebagai alat mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran (PP no 19 tahun 2005). Pelaksanaan ujian akhir yang menjadi penutup proses pembelajaran dalam bentuk evaluasi hasil pencapaian telah berjalan di pendidikan di Indonesia cukup lama. Permasalahan yang berulang muncul adalah terkait dengan kualitas pendidikan, pendidik, serta sistem yang berlaku. Atas dasar pertimbangan bersama tertentu yang ditetapkan dan disyahkan, maka keputusan untuk siswa mengenai keberlanjutan pendidikannya diputuskan. Yang menjadi pertanyaan banyak pihak adalah apakah proses tersebut telah melalui analisa kesesuaian yang valid mengenai teknik dan evaluasi hasil pencapaian sebagai media pengukuran.

Pendidikan yang maksimal akan melahirkan generasi yang maksimal. Generasi maksimal yang berkualitas akan membawa negara pada kemakmuran pada idealnya. Hal tersebut seolah bertentangan dengan kondisi Indonesia yang tercermin pada angka nilai pengangguran di Indonesia dengan jenjang maksimal menempuh sekolah menengah atas (SMA/SMK/Sederajat).


(2)

Tampak pada data tingkat pengangguran berdasarkan pendidikan terakhir tampak signifikan mengalami peningkatan di tingkat jenjang Sekolah Menengah Pertama pada tahun memasuki 2011, yaitu sekitar 13,80% dari jumlah pengangguran semula 1.661.449 jiwa menjadi 1.890.755 jiwa. Apabila dibandingkan dengan jenjang lainnya seperti Sekolah Dasar (SD) selalu menurun dari tahun ke tahun, dan pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) mengalami kenaikan jumlah pengangguran di perpindahan tahun 2007-2008 sebesar 1,76% dari jumah sebelumnya, yaitu sebesar 3.812.522 jiwa menjadi 3.879.471 jiwa (BPS RI, 2011).

Mengamati angka tersebut dapat diidentifikasikan bahwasanya terdapat gejala ketidaktepatan terhadap aturan dan ketentuan hal-hal yang berkaitan dengan ujian nasional yang berproses di akhir proses pembelajaran. Nasional sebagai lingkup pendidikan yang akan mengambil peran pada pemaknaan ujian akhir menjadi bersifat memusat (mengacu pada pemerintah). Dengan demik ian segala yang berhubungan, sifatnya legal secara nasional. Perubahan bentuk dan istilah yang terjadi pada tindakan evaluasi akhir belajar dalam mencapai kompetensi, menjadikan kendala tersendiri bagi siswa dan guru dalam mencapai keberhasilan pembelajaran. Yang terjadi adalah, kurangnya pemahaman guru dalam mencapai keberhasilan siswa yang telah distandarisasi. Oleh karena itu, spontanitas yang terjadi dalam sistematika penyelenggaraan ujian akhir secara nasional hingga tampak pada perubahan nama menjadi UN juga membawa dampak pada ketidaksiapan pendidikan di Indonesia.

Sama halnya dengan perubahan istilah untuk ujian akhir yang berfungsi sebagai alat evaluasi, kurikulum juga mengalami hal yang sama di Indonesia. Ragam bentuk rancangan konsep dasar pelaksanaan pendidikan membawa dampak pada teknik penyelenggarakan Ujian Nasional (sebutan masa kini). Namun apakah perubahan identitas ujian akhir tersebut seiring sejajar dengan perubahan wajah konsep kurikulum pendidikan di Indonesia (Agus Mulyadi. 2011) memerlukan analisa lebih lanjut. Kurikulum di Indonesia telah berubah sebanyak kurang lebih 11 kali (di tahun 1947, 1952, 1968, 1975, 1984, 1994,


(3)

1999, 2004, 2006, dan 2009) dan ujian akhir telah berubah sebanyak 5 istilah (Ujian Akhir Sekolah, Ujian Negara, Ujian Sekolah, EBTA&EBTANAS, UAN, UN)

Kualitas lulusan ditentukan berdasarkan hasil evaluasi kemampuan yang terlaksana di akhir proses pembelajaran. Kesesuaian penilaian dengan kompetensi sesungguhnya yang dimiliki, membutuhkan instrumen yang tepat (Sofiyah Surotonoyo. 2010). Dan selalu mempertimbangkan kondisi dan konteks yang berangsung menjadi pertimbangan yang wajib. Dengan demikian, keputusan dalam proses penilaian kompetensi siswa tidaklah dapat serta merta berasal dari instrumen evaluasi yang bersifat mono up date, sekali berbeda beraksi terus menerus dengan wajah yang beragam. Yang terjadi pada sistematika pelaksanaan dan pembangunan konsepnya haruslah mempertimbangkan pencapaian. Apakah tujuan diadakannya Ujian Nasional?.

UAN juga harus memahami pendidikan secara menyeluruh. Hal tersebut dinyatakan atas landasan bahwa pendidikan merupakan bagian dari upaya pembangunan salah satu bidang yang ada di negara nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia (UURI no 2 tahun 1989). Ragam pemikiran masyarakat umum, para orang tua murid, serta para pelaku pendidikan secara menyeluruh, Ujian Nasional masih merupakan produk yang belum terang kejelasannya.

.

B. Sejarah Ujian Nasional

Ujian Nasional tercatat mulai di awal tahun 1950-1960an. Pada masa itu ujian akhir menjadi ujian kelulusan yang bersifat nasional, diselenggarakan oleh pemerintah pusat yang juga sekaligus merancangan soal ujian peserta uji. Kemudian priode 1965-1971. Pada periode tersebut, ujian diselenggarakan dengan mengujikan semua mata pelajaran dengan bahan dari pemerintahan pusat bersama pedoman-pedomannya, dan disebut dengan istilah Ujian Negara. Permasalahan yang muncul semenjak


(4)

diselenggarakannya sistem ujian dengan Ujian Negara adalah tidak spesifiknya nilai kemampuan yang mampu menggambarkan kemampuan siswa. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka diadakan ujian yang sifatnya dapat mengakomodasi penilaian terhadap hasil secara tepat. Ujian di laksanakan dengan dua tahap, yaitu tahap evaluasi belajar dengan evaluasi belajar tahap akhir tingkat nasional.

Pelaksanaan EBTA bertujuan untuk menguji mata pelajaran yang sifatnya tidak umum, dan biasanya antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lain memiliki macam dan ragam pembelajaran yang berbeda. Seperti halnya keterampilan. Ragam keterampilan yang diajarkan di setiap sekolah pada muridnya tidaklah sama, maka hal yang diujikan pun menyesuaikan hal yang telah dipelajari peserta didik tersebut. Sedangkan untuk mata pelajaran EBTANAS adalah mata pelajaran umum, yang di semua sekolah diajarkan dengan standar kurikulum yang sama sampai pada tingkat perancangan silabus pembelajaran oleh para guru. Dengan demikian, pencapaian pembelajaran memiliki tujuan yang sama(berstandar). EBTA dan EBTANAS menjadi proyek pembagian tugas, antara pemerintahan pusat dan provinsi. Dengan demikian, sesungguhnya sistematika pelaksanaan ujian yang memusat, dan terkesan diberikannya wilayah otonomi guru dalam menilai pada wilayah EBTA, ternyata tidak sepenuhnya. Dengan demikian konsep tetap hampir sama. Kelulusan ditentukan oleh kombinasi dua evaluasi yang telah dijumlahkan (Ramadi, 2011). EBTA dan EBTANAS berlangsung dalam periode hingga tahun 2000an.

Pada tahuan awal 2001 dan 2002, pelaksanaan Ujian Nasional yang semula terbagi menjadi 2 bagian, yaitu EBTA dan EBTANAS, maka pada masa tersebut, ujian akhir secara nasional dirubah menjadi dengan nama Ujian Akhir Nasional (UAN) dengan menggunakan sistem kelulusan melalui kebermanpuan siswa melalui hasil uji tes dalam mencapai angka standar kelulusan. Kendala yang terjadi adalah perubahan sistem yang secara spontan menyebabkan kembali ketidaksiapan peserta didik dan guru dalam menghadapi hal tersebut. Dengan demikian, permasalahan kelulusan di tahun


(5)

2002 hingga awal tahun 2005 menjadi carut marutnya dunia pendidikan terkait dengan uji kemampuan melalui Ujian tahap akhir pembelajaran bernama UAN.

Harapan yang digantungkan pada sistem pendidikan saat itu adalah, kejelasan dari Depdiknas mengenai sikapnya dalam menentapkan standar kelulusan yang berbeda dan meningkat selama lima tahun mendatang (Kunandar, 2009) seperti contohnya standar kelulusan terus meningkat dengan rentang nilai 0,5 - 1 pada tiap rentang kenaikannya. Standar kelulusan pada UAN 2003 adalah 3,01 pada setiap mata pelajaran dan nilai rata minilan adalah 6,00. Dan pada 2004 standar kelulusan UAN adalah 4,01. Berarti pada rentang >1 hingga memasuki periode tahun 2005 yang kembali nama berubah menjadi UN. Hal yang menyebabkan terjadinya perubahan nama, menjadi bentuk ketidakjelasan pemerintah dalam menentukan nama yang sesuai dengan apa yang ada dalam bayangan rancangan ujian akhir nasional. Hal tersebut berlangsung hingga kini, dengan nama Ujian Nasional (UN). Sejarah mencatatkan nama dalam perubahan Ujian akhir nasional, tetapi sejarah tidak mencatat perubahan sistematika yang mencarikan solusi pendidikan di Indonesia terkait evaluasi hasil belajar di tingkat akhir pembelajaran.

C. Ujian dan Pendidikan Nasional

Ujian menjadi menjadi pembicaraan banyak pihak apabila dikaitkan dengan pendidikan nasional, mulai dari rancangan, standarisasi, hingga tujuan dan ketercapaiannya. Penilaian hingga pencapai tingkat tertinggi memerlukan proses yang signifikan secara bertahap. Pemaknaan ujian yang tergambar melalui sejarah ujian akhir sekolah di Indonesia, ujian dimaknai sebagai tes kelayakan. Apakah peserta didik tertentu telah layak atau tidak untuk diakui kemampuan dan penguasaannya untuk dapat melanjutkan jenjangnya atau tidak. Padahal, pada dasarnya ujain merupakan tahap evaluasi yang mengarah pada hasil akhir pembelajaran dan prestasi pembelajaran. Ujian adalah penilaian dan pengukuran (M Solichin, 2011). Tindakan menilai berarti mengukur yang dipahami sebagai upaya membandingan sesuatu dengan satu


(6)

ukuran yang bersifat kuantitatif, mengambil suatu keputusan dengan ukuran tertentu yang bersifat kualitatif, serta keduanya dilakukan secara bertahap.

Pelaksanaan evaluasi di tingkat sekolah akan terkait erat dengan guru. Beberapa prinsip yang harus dipegang dalam melalukan tindakan evaluasi di antaranya adalah, pendidik harus membuat perencanaan yang efektif terhadapa penilaian dengan fokus pada siswa. Dengan demikian ujian akhir yang direncanakan sebagai instrumen penilaian haruslah direncanakan secara berkesinambungan dengan kegiatan pembelajaran secara menyeluruh. Hal tersebut terkait dengan kesesuaian instrumen dengan responden. Ujian juga dapat diartikan sebagai penilaian terhdap keterampilan guru dalam menjalankan profesionalisme kerjanya. Dengan demikian bimbingan dalam upaya peningkatan kemampuan menjadi proses yang panjang dan harus sesuai dengan penacapaian rencana penilaian kemampuan.

Seperti halnya yang tercantum dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 mengenai standar nasional pendidikan pada bab I mengenai ketentuan umum yang menentapkan peraturan pemerintah tentang standar nasional pasal 1, yaitu bahwasanya standar nasional pendidikan merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum negara kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, halnya yang dialami di beberapa wilayah daerah tertinggal di Indonesia, yang tengah sibuk mengatasi permasalahan pendidikan pada tingkat penyediaan sarana pendidikan di tingkat dasar apakah mampu mengikuti standar pendidikan yang telah di tetapkan beberapa tahun kemudian mengalami perubahan secara spontanitas menjadi hal yang mustahil.

Kaitannya ujian dengan keberlanjutan jenjang, seperti pada tingkatan SMA/SMK yang melanjutkan ke perguruan tinggi, maka kedudukan ujian sebagai instrumen evaluasi hasil belajar dan prestasi tidak memiliki kedudukan yang signifikan secara fungsional. Terlihat pada periode memasuki perguruan tinggi tetap diselenggarakan oleh perguruan tinggi terkait dalam bentuk SMPTN dan Ujian Masuk (UM) yang bersifat mandiri, dan tentunya memiliki standar kelulusan yang berbeda sesuai kebutuhan.


(7)

Untuk itulah, kebutuhan dan keberfungsian ujian yang diselenggarakan dan disosialisasikan secara menasional ini masih perlu pemahaman yang mendalam mengenai keberfungsiannya. Hal tersebut terjadi kemungkinan disebabkan adanya ketentuan mengenai evaluasi pendidikan yang diartikan sebagai kegiatan pengendalian, penjaminan dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan (PerMen RI nomor 19 tahun 2005 pasal 1 butir 18)

Tuntutan itulah yang menjadi pegangan, bahwasanya fungsi guru menjadi bergeser, pada tingkat penilaian dan evaluasi, bukan ketercapaian kurikulum pendidikan. Pergeseran inilah yang semakin lama membuat udara pendidikan semakin hari terkesan tidak percaya diri dengan sistematika yang telah dirancang dan ditentukannya. Ujian dan pendidikan seolah menjadi dua hal yang saling menunjuk.

D. Ujian Nasional (UN) dalam Kebijakan Paradoksal

Ujian Akhir Nasional merupakan produk pendidikan yang berada ditingkatan evaluasi. Seperti yang disampaikan dalam PP nomor 19 tahun 2005 mengenai standar nasional pendidikan pada butir ke-8 yaitu mengenai standar penilaian (assesment). Mengacu pada hal tersebut ujian akhir nasional menjadi standar penentu kelulusan yang juga dipahami oleh beberapa pihak lain sebagai ”Standar Penentu” bagi kesuksesan suatu proses pembelajaran (shofiyah,2010). Ujian akhir dalam perjalanan pembelajaran di tingkat satuan pendidikan di Indonesia memiliki perjalanan yang panjang. Sebelum adanya istilah ujian nasional, ujian di akhir pembelajaran pada setiap tingkat pendidikan menggunakan sistem ujian negara. Hal tersebut diterapkan pada semua mata pelajaran yang dipelajari di sekolah. Dengan demikian ujian dilakukan secara ganda, ujian sekolah dan ujian negara.

Hal tersebut dilakukan guna pengakuan atas tingkat keberhasilan pendidikan tertentu dalam taraf kenegaraan. Ujian kelulusan dilaksanakan disetiap sekolah dengan soal-soal berasal dari Departemen Pendidikan,


(8)

Pengajaran dan Kebudayaan. Koreksi hasil ujian kelulusan dilakukan oleh pihak pusat rayon. Hal tersebut berlangsung dalam periode antara tahun 1950-an hingga tahun 1960-1950-an. Segala bentuk peratur1950-an pemerintah, maupun undang-undang yang mendasari sistem ujian sekolah terkait dengan ujian akhir guna kelulusan pada setiap tingkatan satuan pendidikan mengacu pada undang-undang 1945, Pasal 31 butir ke-2 yang berbunyi “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang”. Dengan demikian pelaksanaan yang kaitannya dengan pendidikan secara kenegaraan dan yang bersifat nasional ditangani oleh lembaga yang berkompeten di kenegaraan. Pada tahun 1950-an soal ujian akhir sekolah diproduksi di pusat dan kemudian dikirimkan ke setiap kota.

Ujian akhir sekolah berlangsung hingga tahun 1960-an memiliki julukan baru, yaitu ujian negara. Ujian negara pada tahun tersebut memiliki sistem pelaksanaan yang tidak jauh berbeda. Semua masih ditangani dan dilaksanakan oleh pihak pusat. Sedangkan, sekolah dan lembaga pendidikan yang bersangkutan hanya menjadi kepanjangan tangan dari pihak pusat. Mulai dari pembuatan soal, hingga tahap pengkoreksian, masih bersifat memusat. Hal tersebut berlangsung hingga akhir tahun 1960-an. Ujian negara diselenggarakan pada tingkat provinsi yang diselenggarakan di sekolah. Pelaksanaan di tingkat provinsi masih berada dalam wilayah kewenangan yang memusat. Ujian negara yang berlaku pada semua mata pelajaran ini, ujian dan pelaksanaannya ditetapkan oleh pemerintah pusat dan seragam untuk seluruh wilayah di Indonesia. Hal tersebut berlangsung hingga awal tahun 1970-an. Evaluasi pembelajaran yang memusat tidak dapat menghasilkan penghitungan tingkat keberhasilan pembelajaran secara meluas dengan hasil yang maksimal. Hal tersebut melihat pada kenyataannya masih banyak sekolah di Indonesia yang berada pada wilayah tertentu memiliki tingkat pembelajaran yang masih kurang dari standar pendidikan nasional yang diwakilkan melalui soal-soal pada ujian akhir atau kelulusan.


(9)

Tujuan pendidikan di Indonesia yang tercermin melalui kurikulum juga mempengaruhi keputusan atas bagaimana terselenggaranya ujian kelulusan pendidikan dalam wilayah nasional dengan standar yang telah ditentukan. Karakter kurikulum yang sangat erat dengan berkepribadian kebangsaan, bermoral, serta nilai nilai capaian lainnya dirumuskan secara sentral. Maka ujian sekolah sebagai bukti keberhasilan pembelajaran diujikan secara memusat. Masih kuatnya pengaruh kurikulum tahun 1968 yang memiliki tujuan untuk membentuk manusia pancasila sejati hingga muncul kurikulum tahun 1975 yang memiliki tujuan diarahkan pada pendidikan yang efisien dan efektif mengarah pula pada konsep manajemen. Metode, materi dan tujuan pengajaran dalam kurikulum tersebut dikembangkan pada rencana pelajaran menjadi satuan pembahasan yang lebih rinci. Dengan demikian guru saat itu dituntut untuk merancang pembelajaran dengan menyesuaikan siswa atau peserta didik.


(10)

Dengan demikian, apabila ujian akhir sekolah guna kelulusan diselenggarakan secara memusat hingga pada wilayah pembuatan instrumen penilaian (soal) hingga pada taraf penilaian sebagai tindakan evaluasi pembelajaran terasa kekurangannya. Karena sekian banyak sekolah dengan menerapkan sistem pembelajaran tersebut, maka akan muncul keberagaman kemampuan siswa pada setiap sekolah dan wilayah. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, maka perkembangan sistem penentuan nilai kelulusan siswa menjadi berubah. Hingga akhir tahun 1970-an kebebasan untuk setiap sekolah menyelenggarakan ujian masing-masing, mulai dari pembuatan soal hingga pada tingkat penilaian. Dalam hal ini, pemerintah memberikan pedoman yang dapat dipergunakan oleh para guru dan tenaga pendidik untuk dapat melaksanakan ujian kelulusan.

Kebijakan tersebut membawa pengaruh pada kualitas pendidikan di Indonesia. Karena pemberian kewenangan terhadap pelaksanaan ujian hingga pada tingkatan penilaian, maka pihak sekolah dapat meluluskan siswanya berdasarkan pertimbangan intern. Selama tidak ada penyalahgunaan, maka ujian akhir belajar sebagai takaran kemampuan syarat kelulusan dapat berfungsi maksimal sebagai media evaluasi belajar. Apabila proses penilaian tidak berjalan dan dilaksanakan sesuai dengan standar pendidikan tentunya akan mendapatkan sangsi. Ujian akhir sekolah menjadi pembangun peluang lain di sekolah, yaitu manajemen sekolah yang bersifat material. Kelompok mata ajar yang diujikan adalah semua mata pelajaran yang dipelajari.

Sejumlah mata pelajaran yang cukup banyak diujikan disekolah dalam pelaksanaan ujian akhir sekolah. Evaluasi hasil belajar akhir yang akan menentukan apakah siswa tertentu layak untuk diluluskan atau belum, kaitannya dengan pemenuhan standar minimal kelulusan. Tidak semua mata pelajaran dapat dikatakan tuntas hanya dengan sistem penilaian tertulis. Ada beberapa mata pelajaran yang menuntut pemenuhan kompetensi yang tidak dapat diujikan secara tertulis. Dengan demikian, ujian tertulis sekolah apakah dapat mewakili proses pengambilan keputusan yang tepat untuk meluluskan


(11)

atau tidak meluluskan siswa tertentu dengan berdasarkan hasil uji tes tertulis yang dilaksanakan dalam waktu tertentu.

Berlanjut pada periode tahun 1980-an, ujian akhir sekolah berkembang mengikuti perkembangan kurikulum pula. Kurikulum 1984 dengan produknya Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) juga membawa pengaruh dalam pengambilan keputusan bentuk evaluasi hasil belajar akhir siswa. Beranjak dari bermunculannya pelaku-pelaku pelanggaran dengan proses penyelenggaraan ujian sekolah dalam wilayah masing-masing, maka dipertimbangkan untuk menggabungkan dua jenis ujian yang dapat dijadikan media evaluasi hasil belajar siswa. Sesungguhnya hal tersebut muncul karena adanya ketidakpuasan pelaksanaan ujian sekolah yang diijinkan secara mandiri terpusat. Sehingga penggabungan melalui pembagian dua kategori materi uji, pada periode 1980-an ujian dikelompokkan menjadi Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA) dan Evaluasi belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS).

Hanya permasalahan pembagian wilayah kekuasaan, antara EBTA (wilayah kewenangan sekolah) dan EBTANAS (wilayah kewenangan pemerintahan pusat), terkait dengan proses pengkordinasian. Mata ajar yang diujikan antara keduanya adalah berbeda. Mata uji yg sudah diujikan di EBTA tidak lagi diujikan di EBTANAS. Dengan demikian, apakan siswa yang memiliki nilai di atas standar batas nilai EBTA dan EBTANAS akan lulus untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Ujian sekolah yang dilaksanakan mandiri sebelumnya seolah tidak sesuai dengan pencapaian hasil belajar siswa. Meskipun pada praktisnya, pelaksanaan masih bersifat sama (EBTA). Kedua sistem ujian akhir tersebut masih mencakup banyak mata pelajaran untuk diujikan. Fungsi ujian diselenggarakan untuk mengesahkan keberhasilan belajar peserta ujian sebagai hasil belajar yang telah memenuhi persyaratan, seperti pernyataan pada UURI no2 tahun 1989.

Memasuki periode 2000-an awal ujian akhir sekolah terjadi pergantian pada EBTANAS. Penilaian yang dilakukan juga berdasarkan standar pendidikan yang bersifat nasional. Seperti halnya pada undang-undang


(12)

republik Indonesia nomor 2 tahun 1989 pasal 44, bahwasanya ujian dilaksanakan berdasarkan atas kurikulum yang bersifat nasional. Kondisi yang beragam mempengaruhi ragam proses pembelajaran yang berlangsung. Hal tersebut menyebabkan hasil evaluasi pada sekolah di daerah tertentu sulit untuk disamakan dengan sekolah di daerah tertentu lainnya. Standar keberhasilan hasil evaluasi menjadi sulit untuk dibangun secara menyeluruh atau memusat. Dengan demikian, nilai yang dihasilkan dari proses EBTA sulit untuk menjadi indikator perjalanan pendidikan di Indonesia. Menjadi hal yang tidak benar apabila memukul rata pendidikan di setiap penjuru Indonesia melalui tingkat keberhasilan siswa yang jelas berbeda tingkatannya. Ujian akhir sekolah dengan penggabungan EBTA dan EBTANAS menjadi pertimbangan lagi.

EBTANAS diganti menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN) dengan pembatasan standar kelulusan yang berubah-ubah pada tiap periode tahunnya. Hal tersebut menyikapi masih adanya peran yang berlebihan terhadap kelulusan siswa yang mengarah pada tindakan merugikan. Hal tersebut dirasakan karena masih adanya peran sekolah dalam menentukan kelulusan siswa. Kembali peran guru, sebagai pihak yang paling paham kemampuan siswa dipenggal disaat proses ujian akhir. Kelulusan pada Ujian Akhir Nasional adalah berdasarkan ketuntasan siswa secara individual terhadap beberapa mata pelajaran pilihan yang sudah ditentukan. Hal tersebut apabila mempertimbangakan PP nomor 19 tahun 2005 yang mengatakan bahwasanya standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum negara Kesatuan RI, maka masih ada ruang guru untuk bisa lebih berkreasi dalam proses pembelajaran.

Sedangkan pada praktisnya, materi ujian Nasional sudah ditentukan oleh tim tertentu yang bertugas membuat soal ujian secara memusat tidak mungkin menggabungkan kreatifitas semua guru. Demikian pula dengan evaluasi pendidikan yang dipahami sebagai kegiatan pengendalian, penjaminan dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk


(13)

pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan (PP no 19 tahun 2005). Hasil Ujian Akhir Nasional yang diperoleh siswa dapatkah menjadi standar bukti kemampuan siswa untuk dapat meneruskannya di jenjang selanjutnya, menjadi pertanyaan besar terhadap maksimalitas pelaksanaan Ujian Akhir Nasional. Cara penentuan kelulusan sudah berbeda dengan sistem EBTANAS, tetapi apabila dibandingkan dengan sistem evaluasi hasil belajar akhir pada periode awal 1950-an, UAN sama halnya dengan ujian negara. Hanya saja jumlah mata pelajaran yang diujikan berbeda, dan pada UAN mata pelajaran berjumlah lebih sedikit. Seolah berbeda, tetapi pada dasarnya sama dan ada kecenderungan berbalik arah pada masa awal diselenggarakannya ujian akhir sekolah yang bersifat memusat. Apakah ada perbedaan yang signifikan antara UAN dengan UN, menjadi perhatian lanjut bagi pemerhati pendidikan di Indonesia.

E. Penutup

Ujian di masa akhir pembelajaran di sekolah dalam tingkatan tertentu menjadi media evaluasi pembelajaran. Evaluasi pembelajaran yang sesuai adalah evaluasi yang memiliki indikator pemenuhan hasil pembelajaran sesuai dengan tujuan pencapaian tiap pembelajaran yang mampu menentukan tingkat kemampuan siswa tertentu. Dengan demikian, evaluasi pembelajaran dirancang dengan menggunakan instrumen uji yang sesuai dengan pelaku uji. Akan cenderung lebih sesuai apabila pelaksanaan ujian nasional tetap mempertimbangkan perbedaan proses pembelajaran pada tiap daerah untuk dapat menuntaskan pembelajaran pada standar minimal pencapaian. Yang tergambar dalam catatan pelaksanaan ujian akhir sekolah dalam beberapa periode adalah kebimbangan penentuan instrumen ketuntasan pembelajaran.

Sistem yang diterapkan hanya berbalik dengan wajah dan nama yang berbeda, tetapi memiliki esensi yang sama, yaitu menilai kemampuan siswa dalam penuntasan pembelajaran secara memusat. Keberagaman kompetensi yang dimiliki menjadi pertimbangan perubahan dan juga menjadi ketakutan tersendiri terhadap rancangan keberhasilan pendidikan di Indonesia. Belum


(14)

menemukan kekurangan yang signifikan, UAN dikembangkan menjadi UN. Hal tersebut menjadi pemicu keraguan publik terhadap hasil belajar siswa yang diperoleh melalui UN sebagai hasil yang maksimal dan penanda tingkat kemampuan siswa. Sehingga, keinginan untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu guna peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui divisi pendidikan, yang terampil menjadi pertanyaan besar apabila ketentuan Ujian Nasional yang tercantum dalam peraturan pemerintah dalam hal standarisasi kelulusan belum terakomodasi melalui Ujian Nasional (UN).

DAFTAR REFERENSI

____________. 2011. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 59 tahun 2011 tentang kriteria Kelulusan Pserta didik dari Satuan Pendidikan dan Penyelenggaraan Ujian Sekolah/Madrasah dan Ujian Nasional.

____________. 1989. Undang-undang Republik Indonesia nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem pendidikan Nasional.

____________. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Agus Mulyadi. 2011. Kurikulum Pendidikan 1847, 1952, 1968, 1975, 1984, 1994, 1999, 2004, dan 2006. Diunduh pada maret 2012. http://mbahkarno.blogspot.com

Djemari mardapi. 2011. Mekanisme Penilaian dan Prosedur Kelulusan Peserta Didik pada Ujian Nasional 2011. Makalah disampaikan pada seminar tentang Ujian Nasional 22 Mei 2011 di IAIN Makasar.

Kunandar. 2009. Pro Kontra Seputar Ujian Nasional. http://ruangpikir.multiply.com/journal/item/45?&show_interstitial=1&u= %2Fjournal%2Fitem. Diunduh pada April 2012.

Ramadi. 2011. Ujian Nasional dan Sejarahnya. Diunduh pada maret 2012 http://adajendeladunia.blogspot.com

Sofiyah Surotonoyo. 2010. Teori Assesment. Diunduh pada Maret 2012. http://phia190967.blogspot.com/2010/01/teori-assesmen.html

Solichin, M. 2011. Prestasi dan Evaluasi Belajar. http://www.syafir.com/2011/11/30/evaluasi-dan-prestasi-belajar. diunduh pada April 2012.

Tilaar H.A.R. 2006. Standarisasi Pendidikan Nasional, Suatu Tinjauan Kritis. Rineka Cipta.


(1)

Tujuan pendidikan di Indonesia yang tercermin melalui kurikulum juga mempengaruhi keputusan atas bagaimana terselenggaranya ujian kelulusan pendidikan dalam wilayah nasional dengan standar yang telah ditentukan. Karakter kurikulum yang sangat erat dengan berkepribadian kebangsaan, bermoral, serta nilai nilai capaian lainnya dirumuskan secara sentral. Maka ujian sekolah sebagai bukti keberhasilan pembelajaran diujikan secara memusat. Masih kuatnya pengaruh kurikulum tahun 1968 yang memiliki tujuan untuk membentuk manusia pancasila sejati hingga muncul kurikulum tahun 1975 yang memiliki tujuan diarahkan pada pendidikan yang efisien dan efektif mengarah pula pada konsep manajemen. Metode, materi dan tujuan pengajaran dalam kurikulum tersebut dikembangkan pada rencana pelajaran menjadi satuan pembahasan yang lebih rinci. Dengan demikian guru saat itu dituntut untuk merancang pembelajaran dengan menyesuaikan siswa atau peserta didik.


(2)

Dengan demikian, apabila ujian akhir sekolah guna kelulusan diselenggarakan secara memusat hingga pada wilayah pembuatan instrumen penilaian (soal) hingga pada taraf penilaian sebagai tindakan evaluasi pembelajaran terasa kekurangannya. Karena sekian banyak sekolah dengan menerapkan sistem pembelajaran tersebut, maka akan muncul keberagaman kemampuan siswa pada setiap sekolah dan wilayah. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, maka perkembangan sistem penentuan nilai kelulusan siswa menjadi berubah. Hingga akhir tahun 1970-an kebebasan untuk setiap sekolah menyelenggarakan ujian masing-masing, mulai dari pembuatan soal hingga pada tingkat penilaian. Dalam hal ini, pemerintah memberikan pedoman yang dapat dipergunakan oleh para guru dan tenaga pendidik untuk dapat melaksanakan ujian kelulusan.

Kebijakan tersebut membawa pengaruh pada kualitas pendidikan di Indonesia. Karena pemberian kewenangan terhadap pelaksanaan ujian hingga pada tingkatan penilaian, maka pihak sekolah dapat meluluskan siswanya berdasarkan pertimbangan intern. Selama tidak ada penyalahgunaan, maka ujian akhir belajar sebagai takaran kemampuan syarat kelulusan dapat berfungsi maksimal sebagai media evaluasi belajar. Apabila proses penilaian tidak berjalan dan dilaksanakan sesuai dengan standar pendidikan tentunya akan mendapatkan sangsi. Ujian akhir sekolah menjadi pembangun peluang lain di sekolah, yaitu manajemen sekolah yang bersifat material. Kelompok mata ajar yang diujikan adalah semua mata pelajaran yang dipelajari.

Sejumlah mata pelajaran yang cukup banyak diujikan disekolah dalam pelaksanaan ujian akhir sekolah. Evaluasi hasil belajar akhir yang akan menentukan apakah siswa tertentu layak untuk diluluskan atau belum, kaitannya dengan pemenuhan standar minimal kelulusan. Tidak semua mata pelajaran dapat dikatakan tuntas hanya dengan sistem penilaian tertulis. Ada beberapa mata pelajaran yang menuntut pemenuhan kompetensi yang tidak dapat diujikan secara tertulis. Dengan demikian, ujian tertulis sekolah apakah dapat mewakili proses pengambilan keputusan yang tepat untuk meluluskan


(3)

atau tidak meluluskan siswa tertentu dengan berdasarkan hasil uji tes tertulis yang dilaksanakan dalam waktu tertentu.

Berlanjut pada periode tahun 1980-an, ujian akhir sekolah berkembang mengikuti perkembangan kurikulum pula. Kurikulum 1984 dengan produknya Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) juga membawa pengaruh dalam pengambilan keputusan bentuk evaluasi hasil belajar akhir siswa. Beranjak dari bermunculannya pelaku-pelaku pelanggaran dengan proses penyelenggaraan ujian sekolah dalam wilayah masing-masing, maka dipertimbangkan untuk menggabungkan dua jenis ujian yang dapat dijadikan media evaluasi hasil belajar siswa. Sesungguhnya hal tersebut muncul karena adanya ketidakpuasan pelaksanaan ujian sekolah yang diijinkan secara mandiri terpusat. Sehingga penggabungan melalui pembagian dua kategori materi uji, pada periode 1980-an ujian dikelompokkan menjadi Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA) dan Evaluasi belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS).

Hanya permasalahan pembagian wilayah kekuasaan, antara EBTA (wilayah kewenangan sekolah) dan EBTANAS (wilayah kewenangan pemerintahan pusat), terkait dengan proses pengkordinasian. Mata ajar yang diujikan antara keduanya adalah berbeda. Mata uji yg sudah diujikan di EBTA tidak lagi diujikan di EBTANAS. Dengan demikian, apakan siswa yang memiliki nilai di atas standar batas nilai EBTA dan EBTANAS akan lulus untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Ujian sekolah yang dilaksanakan mandiri sebelumnya seolah tidak sesuai dengan pencapaian hasil belajar siswa. Meskipun pada praktisnya, pelaksanaan masih bersifat sama (EBTA). Kedua sistem ujian akhir tersebut masih mencakup banyak mata pelajaran untuk diujikan. Fungsi ujian diselenggarakan untuk mengesahkan keberhasilan belajar peserta ujian sebagai hasil belajar yang telah memenuhi persyaratan, seperti pernyataan pada UURI no2 tahun 1989.

Memasuki periode 2000-an awal ujian akhir sekolah terjadi pergantian pada EBTANAS. Penilaian yang dilakukan juga berdasarkan standar pendidikan yang bersifat nasional. Seperti halnya pada undang-undang


(4)

republik Indonesia nomor 2 tahun 1989 pasal 44, bahwasanya ujian dilaksanakan berdasarkan atas kurikulum yang bersifat nasional. Kondisi yang beragam mempengaruhi ragam proses pembelajaran yang berlangsung. Hal tersebut menyebabkan hasil evaluasi pada sekolah di daerah tertentu sulit untuk disamakan dengan sekolah di daerah tertentu lainnya. Standar keberhasilan hasil evaluasi menjadi sulit untuk dibangun secara menyeluruh atau memusat. Dengan demikian, nilai yang dihasilkan dari proses EBTA sulit untuk menjadi indikator perjalanan pendidikan di Indonesia. Menjadi hal yang tidak benar apabila memukul rata pendidikan di setiap penjuru Indonesia melalui tingkat keberhasilan siswa yang jelas berbeda tingkatannya. Ujian akhir sekolah dengan penggabungan EBTA dan EBTANAS menjadi pertimbangan lagi.

EBTANAS diganti menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN) dengan pembatasan standar kelulusan yang berubah-ubah pada tiap periode tahunnya. Hal tersebut menyikapi masih adanya peran yang berlebihan terhadap kelulusan siswa yang mengarah pada tindakan merugikan. Hal tersebut dirasakan karena masih adanya peran sekolah dalam menentukan kelulusan siswa. Kembali peran guru, sebagai pihak yang paling paham kemampuan siswa dipenggal disaat proses ujian akhir. Kelulusan pada Ujian Akhir Nasional adalah berdasarkan ketuntasan siswa secara individual terhadap beberapa mata pelajaran pilihan yang sudah ditentukan. Hal tersebut apabila mempertimbangakan PP nomor 19 tahun 2005 yang mengatakan bahwasanya standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum negara Kesatuan RI, maka masih ada ruang guru untuk bisa lebih berkreasi dalam proses pembelajaran.

Sedangkan pada praktisnya, materi ujian Nasional sudah ditentukan oleh tim tertentu yang bertugas membuat soal ujian secara memusat tidak mungkin menggabungkan kreatifitas semua guru. Demikian pula dengan evaluasi pendidikan yang dipahami sebagai kegiatan pengendalian, penjaminan dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk


(5)

pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan (PP no 19 tahun 2005). Hasil Ujian Akhir Nasional yang diperoleh siswa dapatkah menjadi standar bukti kemampuan siswa untuk dapat meneruskannya di jenjang selanjutnya, menjadi pertanyaan besar terhadap maksimalitas pelaksanaan Ujian Akhir Nasional. Cara penentuan kelulusan sudah berbeda dengan sistem EBTANAS, tetapi apabila dibandingkan dengan sistem evaluasi hasil belajar akhir pada periode awal 1950-an, UAN sama halnya dengan ujian negara. Hanya saja jumlah mata pelajaran yang diujikan berbeda, dan pada UAN mata pelajaran berjumlah lebih sedikit. Seolah berbeda, tetapi pada dasarnya sama dan ada kecenderungan berbalik arah pada masa awal diselenggarakannya ujian akhir sekolah yang bersifat memusat. Apakah ada perbedaan yang signifikan antara UAN dengan UN, menjadi perhatian lanjut bagi pemerhati pendidikan di Indonesia.

E. Penutup

Ujian di masa akhir pembelajaran di sekolah dalam tingkatan tertentu menjadi media evaluasi pembelajaran. Evaluasi pembelajaran yang sesuai adalah evaluasi yang memiliki indikator pemenuhan hasil pembelajaran sesuai dengan tujuan pencapaian tiap pembelajaran yang mampu menentukan tingkat kemampuan siswa tertentu. Dengan demikian, evaluasi pembelajaran dirancang dengan menggunakan instrumen uji yang sesuai dengan pelaku uji. Akan cenderung lebih sesuai apabila pelaksanaan ujian nasional tetap mempertimbangkan perbedaan proses pembelajaran pada tiap daerah untuk dapat menuntaskan pembelajaran pada standar minimal pencapaian. Yang tergambar dalam catatan pelaksanaan ujian akhir sekolah dalam beberapa periode adalah kebimbangan penentuan instrumen ketuntasan pembelajaran.

Sistem yang diterapkan hanya berbalik dengan wajah dan nama yang berbeda, tetapi memiliki esensi yang sama, yaitu menilai kemampuan siswa dalam penuntasan pembelajaran secara memusat. Keberagaman kompetensi yang dimiliki menjadi pertimbangan perubahan dan juga menjadi ketakutan tersendiri terhadap rancangan keberhasilan pendidikan di Indonesia. Belum


(6)

menemukan kekurangan yang signifikan, UAN dikembangkan menjadi UN. Hal tersebut menjadi pemicu keraguan publik terhadap hasil belajar siswa yang diperoleh melalui UN sebagai hasil yang maksimal dan penanda tingkat kemampuan siswa. Sehingga, keinginan untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu guna peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui divisi pendidikan, yang terampil menjadi pertanyaan besar apabila ketentuan Ujian Nasional yang tercantum dalam peraturan pemerintah dalam hal standarisasi kelulusan belum terakomodasi melalui Ujian Nasional (UN).

DAFTAR REFERENSI

____________. 2011. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 59 tahun 2011 tentang kriteria Kelulusan Pserta didik dari Satuan Pendidikan dan Penyelenggaraan Ujian Sekolah/Madrasah dan Ujian Nasional.

____________. 1989. Undang-undang Republik Indonesia nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem pendidikan Nasional.

____________. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Agus Mulyadi. 2011. Kurikulum Pendidikan 1847, 1952, 1968, 1975, 1984, 1994, 1999, 2004, dan 2006. Diunduh pada maret 2012. http://mbahkarno.blogspot.com

Djemari mardapi. 2011. Mekanisme Penilaian dan Prosedur Kelulusan Peserta Didik pada Ujian Nasional 2011. Makalah disampaikan pada seminar tentang Ujian Nasional 22 Mei 2011 di IAIN Makasar.

Kunandar. 2009. Pro Kontra Seputar Ujian Nasional. http://ruangpikir.multiply.com/journal/item/45?&show_interstitial=1&u= %2Fjournal%2Fitem. Diunduh pada April 2012.

Ramadi. 2011. Ujian Nasional dan Sejarahnya. Diunduh pada maret 2012 http://adajendeladunia.blogspot.com

Sofiyah Surotonoyo. 2010. Teori Assesment. Diunduh pada Maret 2012. http://phia190967.blogspot.com/2010/01/teori-assesmen.html

Solichin, M. 2011. Prestasi dan Evaluasi Belajar.

http://www.syafir.com/2011/11/30/evaluasi-dan-prestasi-belajar. diunduh pada April 2012.

Tilaar H.A.R. 2006. Standarisasi Pendidikan Nasional, Suatu Tinjauan Kritis. Rineka Cipta.