113
hadî dalam pengertian nyanian. Ibn Mas’ūd w. 32 H ditanya tentang
ayat ini dan beliau menjawab; “Itu adalah nyanyian, Demi Yang tiada sesambahan selain-
Nya. Beliau mengucapkan sumpah itu tiga kali.”
110
Demikian pula dengan sahabat Ibn ‘Abb s w. 68 H ketika
menafsirkan ayat itu beliau mengatakan; “Itu adalah nyanyian dan yang semacamnya.”
111
Demikian halnya dengan ungkapan generasi tabiin seperti Mujahid, Hasan al-
Başrī w. 728 M, al-Wahidī dan lain-lain.
112
Kedua, Pendapat jumhur ulama adalah menerima periwayatan atau perkataan para sahabat sebagai hujah. Imam Ibnu Qayyim w. 7511350 M di
dalam kitab I’l m al Muwaqqi’în ‘an Rabb Al-‘Alamîn mengatakan;
“Para Imam kaum Muslimin seluruhnya menerima perkataan para sahabat.”
113
b. Hadis tentang Nabi Musa dan Malaikat Izrail.
اَذَه َلاَق ٍهِبَمم ِنْب ِماََ ْنَع رَمْعَم اََـثدَح ِ ازرلا مدْبَع اََـثدَح ٍعِفاَر منْب مدمَم اََـثدَح اَم
َف َملَسَو ِهْيَلَع مهللا ىلَص ِهللا ِلومسَر ْنَع َةَرْـيَرمه ومبَأ اََـثدَح ملومسَر َلاَقَو اَهْـِم َثيِداَحَأ َرَكَذ
َكبَر ْبِجَأ مهَل َلاَقَـف م ََسلا ِهْيَلَع ىَسومم ََِإ ِتْوَمْلا مكَلَم َءاَج َملَسَو ِهْيَلَع مهللا ىلَص ِهللا َجَرَـف َلاَق اَهَأَقَفَـف ِتْوَمْلا ِكَلَم َْيَع م ََسلا ِهْيَلَع ىَسومم َمَطَلَـف َلاَق
ََاَعَـت ِهللا ََِإ مكَلَمْلا َع َع ِهْيَلِإ مهللا دَرَـف َلاَق ِِْيَع َأَقَـف ْدَقَو َتْوَمْلا مديِرمي َا َكَل ٍدْبَع ََِإ َِِتْلَسْرَأ َكنِإ َلاَقَـف
َلاَقَو مهَْـي َةاَيَْلا مديِرمت َتْمك ْنِإَف مديِرمت َةاَيَْلا ْلمقَـف يِدْبَع ََِإ ْعِجْرا
اَمَف ٍرْوَـث َِْْم ىَلَع َكَدَي ْعَضَف
110
Ibn Jarīr a - abarī, Jâmi’ al-‘Ulûm fī Tafsīr al-Qur’ân Beirut: Dâr al Jîl, 1987, Jilid X, h. 39. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Ciputat: Lentera Hati, cet. Ke1, 2009, jilid 10, h. 283.
Diri wayatkan pula oleh Ibn Abī Syaibah dengan sanad yang sahih.
111
Muhammad bin Isma’il Al Bukhari, Żadlullâh aş-Şamad fī Tawdîh al-Adâb al-Mufrâd Suria: Al-Maktabah al-
Islâmiyah, 1949, Jilid II, h. 490 hadis. No. 1245. Ibn Abī Syaibah juga meriwayatkannya dengan sanad yang sahih.
112
Lihat juga kitab Al- Bukhârī, Tarīkh al-Kabīr, , Jilid II, h. 217.
113
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘ lamīn Beirut: Dâr al-
Jîl, tt, Jilid IV, h. 123
114
ٍبيِرَق ْنِم َن ْْاَف َلاَق متومََ مُ َلاَق ْهَم مُ َلاَق ًةََس اَِِ مشيِعَت َكنِإَف ٍةَرْعَش ْنِم َكمدَي ْتَراَوَـت ٍرَجَِِ ًةَيْمَر ِةَسدَقممْلا ِضْرَْأا ْنِم ِِْتِمَأ ِبَر
114
“Muhammad bin R fi‘ telah menceritakan kepada kami, ‘Abd ar-Razz q telah menceritakan kepada kami, Ma‘mar telah menceritakan kepada kami, dari
Hamm m bin Munabbih berkata sebagaimana yang telah menceritakan kepada kami Abū Huraīrah dari Nabi saw. bersabda: ‘Malaikat maut pernah datang
kepada Musa a.s. dan berkata: ‘Penuhilah panggilan Tuhanmu’. Musa a.s. lalu menampar mata malaikat maut tersebut sehingga terlepas. Malaikat maut kembali
kepada Allah dan berkata: ‘Sesungguhnya źngkau telah mengutusku kepada seorang hamba yang be
lum menginginkan kematian, dia telah menampar mataku.’ Allah kemudian mengembalikan matanya dan berfirman: ‘Kembalilah kepada
hambaku, dan tanyakan, apakah kamu masih menginginkan hidup?, jika masih, maka letakkanlah tanganmu di punggung seekor sapi. Jika tanganmu menutupi
sehelai rambut saja, maka kamu masih hidup selama setahun dikarenakan sehelai
rambut tersebut.’ Selanjutnyamalaikat tadi bertanya: ‘Kemudian setelah itu?.’ Allah berfirman: ‘Lalu dia mati.’ Musa kemudian berkata: ‘Sekarang sudah tiba
saatnya, wahai Tuhanku. Matikanlah aku di bumi yang suci sejauh lemparan sebuah batu.’ Rasulullah bersabda: ‘Demi Allah, kalau aku berada di samping
Musa, tentu aku akan perlihatkan makamnya kepada kalian yang terletak di pinggir jalan, tepatnya di bawah bukit
pasir berwarna merah.’” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab al-
Żad il bab min Żad il Mūs tentang keutamaan-keutamaan Nabi Musa as., selain itu, juga
diriwayatkan oleh Imam an- Nas ’ī dalam kitab al-Jan ’iz bab Nau‘ khar, dan
Imam Ahmad dalam kitab B qī Musn d al-Muk irīn bab Musnad Abū Huraīrah.
Semua jalur periwayatan dari hadis ini sahih dan data rekam dari setiap informan dalam rantai periwayatannya
iqah. Berkata al-
M zirī w. 536 H mengenai Hadis ini bahwa sebagian penganut
mul hadah ateis mengingkari keberadaan hadis ini dengan alasan bagaimana mungkin Musa mampu menjulingkan mata malaikat?.
115
Sedangkan bagi Syaikh Muhammad al- żaz lī w. 1996 M, hadis ini
sebagaimana telah dibahas di atas, juga melakukan perlawanan terhadap label standar sahih yang diberikan para ulama kritikus dengan mengungkapkan bahwa
114
Muslim, Şahīh Muslim kitab al-Żad il b b min Żad il Mūs Istanbul: D r al-sahnun,
cet. II, 1992, jilid 2, h. 1843. Hadis ini juga diriwayatkan oleh an- Nas ’ī dan Ahmad bin Hanbal.
115
Naw wī, Şahīh Muslim bi Syarh an-Naw wī Bairut: D r al-kutub al-Ilmiyah, cet. Ke- 1, 1990, jilid 15, h. 129.
115
secara data riwayat yang terdapat di dalam rantai periwayatan tersebut memiliki kredibilitas di atas standar, namun patut diragukan adalah redaksi materi hadis
yang tidak memiliki legalitas rasional nalar,
116
serta mengandung cacat berat ‘illat q dihah
117
yang meruntuhkan validitasnya sebagai hadis sahih.
118
Sedangkan salah satu standar kriteria validitas Hadis menurut Syikh Muhammad al-
żaz lī adalah terkait dengan daya nalar dalam menangkap gejala kelemahan dalam materi Hadis.
Berbeda dengan ulama hadis lainnya yang memaksimalkan daya nalar mereka dalam menangkap serta mengungkap gejala kejanggalan berupa
ke maudū’an, bukan kelemahan dalam sebuah riwayat.
119
Ibn al- Jaūzī w. 597 H
ketika menemukan hadis yang bermateri “Barang siapa salat enam rakaat setelah
magrib, kemudian tidak berkata-kata diantara salat itu, maka baginya setara dengan melakukan ibadah selama dua belas tahun
.” Mengatakan, bahwa tanpa dilihat sanad yang mendukungnya pun, secara logika penalaran telah mampu
ditangkap suasana kebohongan yang terekam dalam materi hadis tersebut. Para ulama dalam menanggapi Hadis ini memberikan argumentasi seputar
makna tersembunyi dibalik kejadian yang dialami Nabi Musa a.s.
120
Kekhawatiran akan terjerumus pada sikap penolakan terhadap hadis yang secara jelas memiliki
kualitas di atas standar penilaian sahih memberikan arahan kepada para ulama dalam menemukan takwilan yang sesuai dengan nalar berfikir, hal ini dilakukan
sebagai bentuk iht iy . Yang menjadi titik tolak dari masalah ini bukanlah
berbagai apologi yang diberikan ulama terhadap makna Hadis ini, namun
116
Muhammad al- żaz lī, as-Sunnah an-Nabawiyyah, h. 36.
117
Yang dimaksud dengan ‘illat q dihah oleh Syaikh Muhammad al-żaz lī adalah
penilaian yang tidak mampu dinalar, bertentangan dengan prinsif ilmu pengetahuan, fakta sejarah, berlawanan dengan teks Alquran. Hal ini sering diungkapkan dalam bentuk materi hadis seperti
hadis tentang al-G ar niq, hadis tentang daging sapi yang mengandung penyakit, dll. Lihat as-
Sunnah an-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al- Hadī .
118
Muhammad al- żaz lī, as-Sunnah an-Nabawiyyah, h. 36.
119
Adanya pertentangan antara Hadis sahih dan nalar merupakan dogma yang tidak memiliki akar pijak, bukankah Nabi saw. diutus untuk memberikan pencerahan bagi kehidupan
manusia secara lahir dan batin, dalam hal ini al- Idlibī mengungkapkan bahwa seyogyanyalah ada
suatu sistem yang tepat dalam menilai serta melakukan klarifikasi terhadap instrumen yang menjadi tolok ukur validitas Hadis dari sisi periwayatannya, sehingga dalam hal ini, nalar tidak
memiliki legalitas-spontanity dalam menolak hadis-hadis yang disebabkan terjadi makna yang mendekati subhat tidak mampu dinalar. Lihat al-
Idlibī, Manhaj Naqd, h. 304.
120
Lihat Naw wī, Şahīh Muslim bi Syarh an-Naw wī, h. 129.
116
perimbangan yang setara terhadap kualitas hadis yang terindikasi dari penakwilan- penakwilan ulama terhadap maknanya. Bukankah adanya penakwilan
mengindikasikan validitas suatu Hadis tidak menjadi perdebatan - dengan kata lain adanya penakwilan mengindikasikan Hadis tersebut diterima secara kualitas -
dan mencari kemungkinan solusi dari perbedaan tersebut. Berbeda dengan makna yang diungkap oleh Syaikh Muhammad al-
żaz lī dalam penilaiannya terhadap hadis ini. Ia dengan spontanitas menilainya lemah disebabkan kadar penalarannya
tidak mampu memhami kejadian tersebut meskipun secara data kualitas informannya terekam dalam penilaian terbaik
iqah.
121
c. Hadis tentang Penyerangan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.