INTENSITAS AHL AL-HADITS DAN AHL AL-FIQH DALAM MENETAPKAN HUKUM ISLAM

  

INTENSITAS AHL AL-HADITS DAN AHL AL-FIQH

DALAM MENETAPKAN HUKUM ISLAM

  • *

    Jamaluddin

    Abstraksi

  Hadits bersama al- Qur‟an menjadi sumber pokok ajaran Islam yang diantaranya mengandung materi fiqh. Dari nash keduanya disusun berbagai kaedah dan di-istinbath-kan hukum. Bagi seorang pengkaji fiqh, Hadits sangat dibutuhkan karena ia menjelaskan, memperinci ketentuan yang umum di dalam al-

  Qur‟an. Dalam konteks di atas Hadits berkaitan erat dengan fiqh. Wujud kaitan tersebut telah diperagakan semenjak masa Rasul. Ketika Rasul menyampikan Hadits tasyri‟, pada saat itu berarti ia menetapkan suatu hukum. Di saat ia dihadapkan kepada masalah putusan (

  qadla’), maka ia menetapkan dengan Haditsnya.

  Perkembangan berikutnya menunjukkan bahwa ahli Hadits bertugas menghimpun, menyeleksi dan memisahkan Hadits dengan bukan Hadits, sedangkan ahli fiqh menggunakannya dalam menetapkan hukum. Menurut al-Tsauri hal ini terjadi karena tidak semua orang yang meriwayatkan Hadits mampu meng-istinbath-kan hukum.

  Kata kunci : Ahli Hadits, Ahli Fiqh dan Hukum Islam Pendahuluan

  Pembicaraan tentang al Sunnah atau al Hadits tetap menarik dan penting karena ia merupakan penafsiran al- Qur‟an sekaligus penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Sebagai sumber ajaran Islam kedua,

  Hadits mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan pemikiran keagamaan umat Islam pada masa Rasul, sahabat, tabi‟in dan sesudahnya.

  Pada masa Rasul, al-Sunnah menjadi rujukan dalam menjawab persoalan hukum dan masalah lainnya di samping al- Qur‟an dan ijtihad dalam bentuk terbatas. Hal seperti ini tetap berjalan pada masa sahabat, hanya bentuk penggunaan ijtihad dengan metode qiyas makin berkembang

  1 seiring dengan perkembangan situasi dan kondisi ketika itu.

  Pada masa Tabi‟in dan sesudahnya, metode penetapan hukum makin berkembang karena banyak persoalan baru yang muncul sebagai

  • *

    Dosen Tetap Fakultas Syari‟ah dan Dekan Fakultas Syari‟ah Institut Agama

    Islam Tribakti (IAIT) Kediri

1 Kamil Musa, 1989, Al-Madkhol ila al-Tasyri' al-Islami, Beirut: Muassah al- Risalah, Cet. Ke-1, 193.

  konsekwensi perkembangan masa dan perbedaan lingkungan masing- masing umat Islam. Sebagian ulama ketika itu banyak menggunakan al- Sunnah dari ijtihad di samping tetap mengacu kepada al-

  Qur‟an sebagai sumber utama dalam menetapkan hukum. Sebagian lain memperbesar porsi penggunaan ijtihad dengan tetap memperhatikan al-

  Qur‟an dan al- Sunnah. Menjelang awal abad kedua hijriyah, ada di kalangan ulama yang banyak memfokuskan kajiannya kepada sunnah, sehingga kurang mempunyai kesempatan untuk memperhatikan masalah lain seperti fiqh. Sementara itu, ada pula diantara mereka yang cenderung membahas fiqh dari masalah lainnya.

  Konsekwensi kenyataan tersebut, membuat mereka yang menekuni bidang Hadits kurang menguasai fiqh, tidak punya kemampuan mengetahui seluk beluknya, tidak sempat mempelajari berbagai pendapat ulama, sebab perbedaan pendapat di antara mereka dan berbagai metode

  2

  ijtihad yang mereka gunakan. Padahal salah satu tujuan pengumpulan dan penyeleksian Hadits adalah untuk menetapkan hukum.

  Hal yang sama terjadi pula di kalangan ahl al-fiqh, di mana ada di antara mereka yang kurang mengetahui seluk-beluk Hadits dengan baik dan tidak mendalami ilmu-ilmunya terutama ilmu al-Jarh wa al- Ta’dil,

  3

  yaitu ilmu untuk menilai kuat atau lemahnya para perawi Hadits. Hal ini bisa saja membawa mereka menetapkan hukum dengan menggunakan Hadits yang tidak diakui di kalangan ahli Hadits.

  Kenyataan di atas menggambarkan antara ahli Hadits dan ahli fiqh mempunyai tugas yang berbeda. Ahli Hadits bertugas menghimpun dan menyeleksi Hadits, sementara ahli fiqh memanfaatkan Hadits itu untuk menetapkan hukum. Hal ini pernah diungkapkan al-

  A‟mas kepada seorang

  4 ahli fiqh, “kamu adalah para dokter dan kami apotekernya”.

  Namun ada pula ulama yang ahli Hadits sekaligus ahli fiqh. Bentuk ini dapat diperhatikan dari kitab Hadits yang mereka tulis disusun berdasarkan sismatika fiqh. Di antara mereka yang banyak menggunakan bentuk ini adalah Imam Malik dan Ahmad ibn Hanbal dan pengikut madzhab mereka. Mereka ahl fiqh yang banyak menggunakan Hadits 2 dalam menetapkan hukum di samping memakai dalil-dalil lainnya.

  

Yusuf Qardawi, Kaifa Nataamalu maa al-Sunnah al-Nabawiyah, Firginia: Al-

3 Ma‟had al-Alamiy li al-Fikr al-Islami, 1990, Cet. ke-1, 56. 4 Ibid., 55.

  

Abd al-Majid Mamud Abd al-Majid, Al-Ittijahaat al-Fiqhiyah ‘inda Ashabi al-

Hadits fi al-Qarni al-Salis al-Hijri, Mesir: Dar al- Wafa‟, 1979. 4.

  Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mencoba menelusuri perkembangan pemikiran antara ahli Hadits dan ahli fiqh dalam kaitannya dengan masalah fiqh. Di samping itu ditinjau pula intensitas penggunaan sunnah dikalangan mereka dalam menetapkan hukum.

  Pengertian Fiqh dan Hadits

  Kata fiqh secara etimologis berarti paham yang mendalam. Kata paham biasanya digunakan untuk hal yang bersifat lahiriah, maka fiqh adalah paham yang menyampaikan ilmu zhohir kepada ilmu batin. Oleh sebab itu ada ulama yang mengatakan, fiqh tentang sesuatu berarti mengetahui batinnya sampai kepada kedalamannya.

  Secara terminologis, fiqh berarti ilmu tentang hukum-hukum

  syara’

  yang bersifat amaliah yang diusahakan dan ditemukan dari dalil-dalil yang

  5

  tafsili , atau kumpulan hukum-hukum

  syara’ yang bersifat amaliah yang

  6 diambil dari dalil-dalil yang tafsili .

  Kedua definisi fiqh di atas hampir sama pengertiannya, hanya saja yang pertama menggunakan kata ilmu. Dalam hal ini fiqh disamakan dengan ilmu karena fiqh itu semacam ilmu pengetahuan. Namun, fiqh tidak persis sama dengan ilmu karena ia bersifat zhanni, sementara ilmu tidak demikian. Disebabkan zhanni dalam fiqh itu kuat, maka ia mendekati ilmu.

  Sebagian ulama berpendapat bahwa fiqh bukan bersifat zhanni, tetapi

  qath’i karena bila mujtahid menetapkan suatu hukum berdasarkan

zhann -nya, maka ia wajib menyampaikan dan mengamalkannya. Hal ini

  menunjukkan bahwa hukum yang dihasilkan dari yang zhanni itu adalah

  

qath’i, sedangkan yang zhanni itu hanyalah cara menetapkan hukum

tersebut.

  Kata hukum dalam definisi fiqh di atas menunjukkan bahwa hal-hal di luar pengertian hukum tidak termasuk fiqh. Dari kata

  syar’iyyah dapat

  pula dipahami, fiqh itu menyangkut ketentuan

  syara’ yang berasal dari

  kehendak Allah dan Rasul-Nya. Kata amaliyah mengisyaratkan bahwa fiqh hanya menyangkut tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriah. Begitu pula kata “digali” dalam definisi itu menunjukkan bahwa fiqh merupakan 5 hasil penggalian, penganalisaan dan penentuan ketetapan tentang hukum.

  

Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al-Fikr, 1986, cet.

6 ke-1, 11.

  

Abd. al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushu al-Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr, 1978, cet. ke-12,

11.

  Sementara itu, Hadits secara etimologis berarti yang baru dari

  7

  sesuatu. Secara terminologis berarti segala yang berasal dari Nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat dan

  8

  kebiasaannya, abaik sebelum Dalam konteks bi’sah maupun sesudahnya. ini Hadits muradlif dengan al-Sunnah. Namun, biasanya Hadits duganakan utnuk menunjukkan sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi SAW. setelah kenabiannya. Jadi, dalam hal ini sunnah lebih umum dari Hadits.

  Di sisi lain ahli ushul fiqh berpandangan bahwa lafaz Hadits digunakan untuk menunjukkan sunnah qauliyah saja karena sunnah lebih umum dari Hadits, dimana ia meliputi perkataan, perbuatan Nabi yang bisa dijadikan dalil untuk menetapan hukum.

  Hubungan Antara Fiqh dan Hadits

  Hadits bersama al- Qur‟an menjadi sumber pokok ajaran Islam yang diantaranya mengandung materi fiqh. Dari nash keduanya disusun berbagai kaedah dan di-istinbath-kan hukum. Bagi seorang pengkaji fiqh, Hadits sangat dibutuhkan karena ia menjelaskan, memperinci ketentuan yang umum di dalam al-

  Qur‟an. Dalam konteks di atas Hadits berkaitan erat dengan fiqh. Wujud kaitan tersebut telah diperagakan semenjak masa Rasul. Ketika Rasul menyampikan Hadits tasyri‟, pada saat itu berarti ia menetapkan suatu hukum. Di saat ia dihadapkan kepada masalah putusan (

  qadla’), maka ia menetapkan dengan Haditsnya.

  Hal yang sama dilakukan pula oleh sahabat dan generasi tabi‟in, di mana mereka dalam menetapkan hukum selalu bersandarkan kepada Hadits. Dengan kata lain pada masa ini belum terjadi pemisahan antara Hadits dan fiqh, antara ahli Hadits dan ahli fiqh.

  Menjelang permulaan abad kedua hijriah muncul orang-orang yang menspesialisasikan dirinya untuk meng-istinbath-kan hukum dari al- Qur‟an dan al-Sunnah. Di samping itu ada pula orang-orang yag mengkhususkan dirinya meriwayatkan dan melakukan kritik Hadits, mengetahui sanad dan kecacatannya. Hal ini memperlihatkan adanya pemisahan bidang kajian fiqh dan Hadits. Wujud pemisahan tersebut semakin jelas setelah Hadits dibukukan dalam berbagai kitab hadts dan 7 sunan-sunan.

  

Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits wa Ulumuhu wa Musthalahuhu,

8 Beirut: Dar al-Fikr, 1989, 26.

  

Yusuf Qardhawi, Al-Madkhol li Dirasati al-Sunnah al-Nabawiyah, Mesir:

Maktabah Wahbah, 1991, Cet. ke-2, 13.

  Meskipun sudah terdapat pemisahan bidang kajian Hadits dan fiqh, seorang ahli fiqh tidak akan dapat meng-istinbath-kan hukum dengan tepat dan benar bila ia tidak mengerti Hadits dan seluk beluknya dengan baik. Begitu pula seorang ahli Hadits tidak sempurna pembicaraannya dalam Hadits bila ia tidak mengerti fiqh dengan baik, sehingga ia memahami apa yang dimilikinya tidak hanya sekedar penukil semata.

  Ahli Hadis dan Ahli Fiqh

  Istilah ahli Hadits dan ahli fiqh belum muncul pada masa Rasul, sahabat dan tabi‟in seabagai istilah yang berdiri sendiri utnuk menunjukkan orang yang memiliki spesialisasi dalam bidangnya. Hal ini terjadi karena seorang yang menekuni Hadits ketika itu pada saat yang sama juga mengkaji fiqh, begitu pula sebaliknya. Perbedaan yang tampak ketika itu, ada orang yang lebih banyak meriwayatkan Hadits dari membahas fiqh, sebagaimana ada yang lebih banyak mengkaji fiqh dari Hadits. Jadi, yang muncul ke permukaan sedikit atau banyak mereka meriwayatkan Hadits atau fiqh berdasarkan kemampuan masing-masing.

  Menjelang akhir abad pertama hijrah, khalifah Umar ibn Abd al- Aziz meminta 10 orang ahli fiqh Madinah untuk menekuni fiqh dan

  9 melaporkan penyimpangan yang dilakukan pejabat negara ketika itu.

  Khalifah ini meminta pula para perawi Hadits untuk menekuni bidangnya

  10

  sekaligus melakukan kodifikasi Hadits. Hal ini kemudian dipandang sebagai langkah awal pemisahan kajian Hadits dan fiqh yang membawa munculnya ahli Hadits dan ahli fiqh.

  Namun, bila ditelusuri lebih mendalam sebelum pemisahan kajian Hadits dan fiqh, tujuan periwayatan Hadits mulanya untuk melahirkan fiqh. Hal ini dapat dilihat dari karya Imam Malik setelah mengumpulkan Hadits, ia mempelajari sanad dan matannya, kemudian ia meng-istinbath- kan hukum darinya sehingga ia sampai kepada fiqh. Kitab Muwaththa‟ adalah kitab Hadits yang didasarkan kepada sistematika fiqh.

  Perkembangan berikutnya menunjukkan bahwa ahli Hadits bertugas menghimpun, menyeleksi dan memisahkan Hadits dengan bukan Hadits, sedangkan ahli fiqh menggunakannya dalam menetapkan hukum. Menurut al-Tsauri hal ini terjadi karena tidak semua orang yang meriwayatkan Hadits mampu meng-istinbath-kan hukum. Berdasarkan pertimbangan ini, ia menyarankan murid-muridnya mengambil masalah halal dan haram dari ahli fiqh bukan dari al-Syaikh. Istilah al-Syaikh 9 digunakan untuk menunjukkan ahli Hadits yang tidak ahli fiqh. 10 Abd al-Majid Mahmud Abd al-Majid, Op. Cit., 122.

  Ajaj al-Khatib, Op. Cit., 176.

  Imam Syafi‟i mengakui adanya spesialisasi ulama dalam bidang Hadits atau fiqh. Ia pernah mengatakan kepada ahli Hadits

  , “Kamu sekalian lebih mengetahui tentang Hadits dariku, bila ada Hadits shahih beritahukan kepadaku meskipun berasal dari orang Kufah, Basrah dan

11 Syam, saya akan berpegang teguh kepadanya.

  Pernyata an Imam Syafi‟i tersebut menunjukkan bahwa ia sebagai ahli fiqh mengakui ahli Hadits lebih paham dari dirinya tentang seluk beluk Hadits. Hal ini menggambarkan bahwa pada masa tersebut tampak kecenderungan masing-masing ulama untuk mendalami Hadits atau fiqh saja.

  Di saat Hadits dan ilmu Hadits telah berkembang baik, sedikit sekali ahli Hadits yang menjadi ahli fiqh dan begitu pula sebaliknya hinga muncul kemudian Imam Ahmad ibn Hanbal yang sukses menyatukan kedua bidang ilmu tersebut dalam dirinya.

  Jadi, ahli Hadits yang dimaksud di dalam makalah ini adalah orang yang spesialisasi keahliannya dalam bidang Hadits, baik ia ahli dalam fiqh atau hanya Hadits saja. Sementara itu, ahli fiqh di sini adalah orang yang ahli dalam bidang fiqh, baik ia ahli Hadits atau bukan.

  Pertentangan antara Ahli Hadits dan Ahli Fiqh

  Ahli Hadits berpandangan bahwa ahli fiqh khususnya ahli ra‟yi lebih mengutamakan akal dari Hadits dalam menetapkan hukum. Menurut mereka, ini yang menyebabkan ahli ra‟yi banyak memakai qiyas dan

  

istihsan sebagai dalil-dalil hukum mereka. Bahkan, Ishak ibn Ibrahim

  mengatakan, ahli ra‟yi meninggalkan al-Qur‟an dan al-Sunnah, sebaliknya menggunakan qiyas dalam menetapkan hukum.

  Di sisi lain ahli fiqh memberikan kritikan tajam terhadap ahli Hadits dan menganggap mereka tidak mengerti dalam masalah fiqh. Wujud dari perbedaan pandangan masing-masing kelompok itu melahirkan sikap tidak simpati kepada orang yang bukan termasuk kelompoknya. Hal ini pernah dirasakan Abu Yusuf yang menemui salah seorang ulama Hadits bernama Sariq. Abu Yusuf memintanya menyampaikan Hadits, tetapi Sariq tidak mengabulkan permintaan tersebut. Dalam kesempatan lain Sariq menyampaikan dalam majlisnya agar pengikut Ya‟kub (Abu Yusuf) tidak hadir dalam majlisnya.

  Ahli Hadits lainnya, Ibrahim ibn Muhammad al-Fazari melarang pengikut Abu Hanifah menghadiri majlisnya karena latar belakang perbedaan metode istinbath hukum yang mereka gunakan dan kurangnya 11 rasa tasamuh dalam perbedaan yang ada di antara mereka.

  Abd al-Majid Mahmud Abd al-Majid, Op. Cit., hlm 126.

  Sementara itu ahli fiqh memandang sebagian ahli Hadits yang telah mengorbankan waktunya utnuk mengumpulkan dan menulis Hadits, tetapi mereka tidak memahami apa yang ada di sisi mereka. Mungkin mereka memahami Hadits itu, namun pemahamannya tidak sesuai dengan yang dimaksudkan Hadits. Contoh kasus dalam hal ini Ibn Sahin yang mempunyai sejumlah karangan dalam bidang Hadits, tetapi ia tidak

  12 mengetahui fiqh sedikitpun.

  Di sisi lain Ibn Jauzi membagi ahli Hadits kepada dua kelompok;

  

pertama , mereka yang sengaja memelihara syari‟ah dengan mengetahui

  Hadits shahih dari yang tidak shahih. Mereka yang termasuk kelompok ini sebagian besar paham tentang fiqh dan Hadits sekaligus. Namun ada pula di antara mereka yang hanya menulis dan menghimpun kitab-kitab Hadits sedangkan mereka tidak mengerti tentang kandungannya.

  Kedua , orang-orang yang banyak menerima Hadits, tujuan mereka

  bukan untuk mengetahui yang shahih dan bukan shahih, tetapi untuk mendapatkan sesuatu yang baru. Mereka sering mempropagandakan bahwa mereka mendapatkan sanad-sanad yang tidak ditemukan orang lain.

  13 Bahkan mereka mendapatkan Hadits yang tidak ada pada orang lain.

  Untuk membuktikan kebenaran Hadits yang disampaikan kelompok kedua ini, ahli Hadits membuat kaedah al-Jarh wa al- Ta’dil untuk memelihara kebenaran agama. Hal ini dibuat karena bayak Hadits yang disampikan kelompok ini tanpa diketahui dari siapa mereka mengambilnya.

  Sisi lain yang membuat pertentangan antara ahli fiqh dan ahli Hadits karena sebagian ahli fiqh kurang mengetahi seluk beluk ilmu Hadits. Bila pada awalnya ahli fiqh adalah orang yang mengerti tentang seluruh kandungan al-

  Qur‟an dan al-Hadits, namun perkembangan berikutnya sebagaimana dikatakan ulama Mutaakhkhiri, seorang ahli fiqh ialah orang yang mengerti ayat-ayat hukum dan berpegang kepada kitab- kitab Hadits yang masyhur.

  Dengan demikian bila dihubungkan dengan Hadits, mungkin saja terjadi seorang ahli fiqh menggunakan Hadits yang ia tidak tahu persis shahih atau tidaknya Hadits tersebut. Begitu pula bisa saja terjadi ia menggunakan qiyas yang bertentangan dengan Hadits shahih. Hal-hal 12 seperti ini yang membuat ahli Hadits menentang ahli fiqh. 13 Ibid., 111 Ibid., 110 – 111.

  Sunnah di Kalangan Fuqaha

  Ahli fiqh sepakat menjadikan al-Sunnah sebagai dalil untuk menetapkan hukum, baik ahli fiqh dari kalangan ahli Hadits maupun ahli ra‟yi. Imam Abu Hanifah yang disebut Imam Syafi‟i sebagai tokoh fiqh

  14

  terbaik , pernah mengatakan metode istinbath hukumnya , “aku berpegang kepada kitab Allah, jika tidak aku temukan dalam kitab Allah, maka aku berpegang kepada sunnah, bila tidak aku temukan dalam keduanya, aku

  15

  berpegang kepada pend apat shahabat … “.

  Imam Malik ketika ditanya orang tentang suatu masalah, ia menjawab dengan mengemukakan Hadits-Hadits Nabi SAW. ketika orang bertanya mengenai pendapatnya dalam masalah yang ditanyakan tersebut, ia menjawab dengan mengemukakan ayat 63 surat al-Nuur:

  Terjemahnya ; “... maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”.

  16

  (Q.S. Al-Nuur : 24 : 63) Terlihat dari jawabannya di atas, bahwa Imam Malik berhati-hati dalam berfatwa karena khawatir berbuat salah. Jalan yang ditempuh untuk menghindarkan dirinya dari kesalahan adalah berfatwa dengan Hadits. Hal ini didukung oleh koleksi Hadits yang banyak pada Imam Malik karena ia berdomisili di Madinah yang menjadi pusat penyiaran Islam di masa Rasul SAW.

  Imam Syafi‟i mengatakan, bila ada pendapatnya yang berbeda dengan al-Sunnah, maka al-Sunnah itulah yang harus diambil dan diamalkan. Hal ini menunjukkan bahwa ia lebih mengutamakan al-Sunnah dari pendapatnya.

  Ada beberapa sebab yang membuat ahli fiqh berbeda dalam menerima dan menggunakan al-Sunnah sebagai berikut: Adakalanya sesuatu Hadits tidak sampai kepada sebagian ahli fiqh, sehingga mereka tidak dituntut mengamalkannya. Dalam kondisi seperti ini biasanya seorang ahli fiqh akan berpegang kepada zhahir ayat, Hadits lain, qiyas atau istishab.

  Kasus seperti ini terjadi di kalangan pengikut madzhab Hanafi, di mana jumlah Hadits yang ada pada mereka sedikit dibandingkan dengan 14 pengikut madzhab Maliki di Madinah karena jauhnya jarak tempat tinggal

  

Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Mesir: Dar al-Fikr

15 al-Arabi, t.t. Jilid II, 160. 16 Yusuf Qardhawi, Op. Cit., hlm 51.

  

Khadim al Haramain asy Syarifaini, Al Qur an dan Terjemahnya, Madinah al Munawwarah, tt. 556. mereka di Irak dengan Madinah sebagai pusat pengembangan Islam di masa Rasul.

  Hadits tersebut sampai kepada mereka, namun karena pertimbangan tertentu Hadits itu ditolak. Adakalanya karena rawi yang , buruk hapalannya, diragukan orangnya atau karana sanadnya yang

  majhul tidak bersambung.

  Di samping itu, merkea tidak menerima Hadits yang tidak terpelihara lafazhnya. Sementara itu bila ada Hadits lain yang disampaikan rawi yang tsiqah dengan sanad muttashil, maka mereka akan mengambil Hadits itu. Berdasarkan hal ini, ada ahli fiqh yang berpendapat, “Pendapatku dalam masalah ini begini dan Hadits yang menyangkut

  17

  masalah ini begini, jika Hadits itu shahih, itulah pendapatku”.

  Sebagian ahli fiqh memandang suatu Hadits lemah dan yang lain berpendapat Hadits itu shahih menurut ijtihadnya. Hal ini mengundang dua kemungkinan; pertama, mungkin ahli fiqh pertama benar, yang kedua salah atau sebaliknya. Kedua, bisa saja kedua pendapat itu benar dari sudut pandang yang berbeda-beda. Pendirian seperti ini dianut oleh orang yang mengatakan bahwa setiap mujtahid itu benar.

  Ahli Hadits mengembangkan sebab yang ketiga ini, sebagian mereka menilai salah satu dari Hadits itu kuat atau perawi Hadits itu mengakui bahwa ia tidak langsung mendengar Hadits dari orang yang menyampaikannya, sementara yang lain mengaku bahwa ia langsung mendengar Hadits dari yang menyampaikannya.

  Ahli fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan syarat menerima Hadits ahad, seperti ada yang mensyaratkan bahwa rawinya seorang yang adil lagi dlabit, sementara yang lain tidak mensyaratkan yang demikian.

  Madzhab Hanafi memberikan sejumlah syarat untuk diterimanya Hadits ahad; pertama, bahwa perawi Hadits itu tidak beramal menyalahi apa yang diriwayatkannya, jika ia menyalahi, maka yang diamalkan pendapatnya tdak riwayatnya. Kedua, bahwa materi Hadits tersebut tidak menyangkut peristiwa yang banyak terjadi dan menyangkut orang banyak karena masalah seperti ini biasanya dijelaskan oleh Hadits masyhur atau mutawatir. Berdasrkan ini madzhab Hanafi tidak menggunakan Hadits mengangkat kedua tangan ketika rukuk dalam sholat. Sementara madzhab Syafi‟i menerima Hadits mengangkat tangan itu setelah mendapatkan 70 orang yang meriwaytkan Hadits itu.

  Syarat ketiga bagi Hadits Ahad menurut madzhab Hanafi, bahwa Hadits tersebut tidak menyalahi pokok-pokok agama dan qiyas. Utnuk itu 17 mereka menolak Hadits berikut: Yusuf Qardhawi, Op. Cit., hlm 54.

  نإ اٍبهحي نأ ذعب هيشظىنا شيخب ٍُف ذعب اٍعاتبا همف مىغناَ مبلإا اَشبصب لا شمت هم اعاصَ اٌدس ءآش نإَ لسمأ ءآش

  Madzhab Hanafi menolak mengamalkan Hadits tersebut karena pembolehan menukar susu dengan satu sha‟ kurma bertentangan dengan qiyas dan kaedah-kaedah syara‟ yang menetapkan bahwa tukar menukar sesuatu mesti dengan yang sama dan senilai.

  Madzhab Maliki dan Hanbali memberikan syart yang tidak begitu ketat dalam mengamalkan Hadits ahad. Iamam Malik dan pengikut madzhabnya menerima Hadits Ahad bila tidak bertentangan amal penduduk Madinah. Sementara itu madzhab Hanbali menerima Hadits

18 Ahad bila rawinya tsiqah , „adalah dan taqwa.

  Madzhab Syafi‟i menetapkan syarat mengamalkan Hadits ahad yaitu bila rawinya orang yang baik agamanya, memahami Hadits yang ia smpaikan, kuat ingatannya dan Hadits yang disampaikan tersebut tidak bertentangan dengan Hadits yang disampaikan ahli Hadits jika materi yang

  19 disampaikan sama.

  Dari uraiat di atas terlihat bahwa madzhab Hanbali di antara ahli fiqh yang banyak menggunakan al-Sunnah, kemudian diikuti madzhab Maliki, Syafi‟i dan Hanafi.

  Adakalanya suatu Hadits sampai kepada sebagian ulama dan dapat mereka terima, namun mereka lupa akan Hadits itu sehingga mereka tidak mengamalkannya.

  Di antara mereka ada yang tidak mengetahui dilalah suatu Hadits karena lafazh gharib yang terdapat dalam hadtis itu, seperti Hadits berikut:

  قلاغا ىف قاتع لاَ قلاط لا

  Ahli fiqh menafsirkan ka قلاغلاا dengan paksaan. Orang yang menafsirkan kata itu dengan pengertian lain menunjukkan ia tidak memahami pengertian kata itu dengan baik.

  Sebab keenam persoalan ini muncul salah satunya karena pengaruh bahasa dan

  ‘urf yang dimiliki ahli fiqh tersebut sehingga menimbulkan

  pemahamannya yang berbeda dengan maksud Hadits. Begitu pula lafazh

  

musytarak , mujmal, hakiki dan majazi menimbulkan persoalan tersendiri

bagi mereka dalam menemukan dilalah Hadits tersebut.

  Di antara ahli fiqh ada yang tidak menerima dilalah suatu Hadits 18 bukan karena ia tidak mengetahuinya, tetapi ia menganggap dilalah itu

  Al-Imam Muwaffiq al-Din Abdullah ibn Ahmad ibn Qudamah al-Maqdisi, Raudlatu al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 19 1994, cet. ke-2 52.

  Wahbah al-Zuhaili, Op. Cit., 472. tidak shahih karena ada hal lain yang membuatnya menolak dilalah tersebut. Contoh, sebagian ahli fiqh tidak menggunakan umum yang telah ditakhshishkan dan mafhum sebagai hujjah. Sebagaimana ada yang menolak

  ma’rifah dengan alif dan lam untuk menunjukkan umum dan amar semata menghendaki wajib dan segera.

  Ada ahli fiqh yang berpandangan dilalah suatu Hadits bertentangan dengan Hadits lain yang menolak dilalah tersebut. Biasanya ini terjadi antara dilalah umum dengan dilalah khusus, amar mutlak yang tidak menunjukkan wajib atau kahikat yang menunjukkan majaz. Jika yang bertentangan itu dilalah Hadits qaul maka jalan keluarnya men-tarjih-kan salah satu dari keduanya.

  Bahwa Hadits tersebut bertentangan dengan ayat, Hadits lain yang lebih kuat atau ijma‟, sehingga Hadits tersebut menjadi lemah atau di-

  nasakh -kan.

  Sebagian ahli fiqh menilai suatu Hadits bertentangan dengan dalil lain yang mengakibatkan Hadits itu lemah, di-nasakh-kan, atau di-takwil- kan, sementara ahli fiqh lain tidak memandang demikian karena pada

  20

  hakekatnya Hadits dan dalil lain itu tidak bertentangan. Hal seperti ini banyak dilakukan orang-orang Kufah, di mana mereka mempertentangkan antara Hadits shahih dan al- Qur‟an. Berdasarkan hal ini mereka mendahulukan zhahir al-

  Qu‟an dengan mengabaikan Hadits. Dalam konteks di atas, ada di antara ahli fiqh yang menolak Hadits tentang saksi dan sumpah dalam menetapkan putusan. Sementara itu ahli fiqh lain menerima Hadits tersebut karena al-

  Qur‟an sendiri tidak melarang menetapkan putusan hukum berdasarkan saksi dan sumpah. Dalam hal seperti ini sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap al- Qur‟an.

  Menurut Ibn Taimiah, bila ada ahli fiqh yang tidak menggunakan al-Sunnah, itu mereka mendasarkan kepada beberapa alasan yang

  21

  kadangkala belum kita ketahui. Hal ini terjadi karena lapangan pembahasan ilmu itu luas sehingga kita tidak mampu menguraikan hal-hal yang tersembunyi dari para ahli fiqh. Ada pendapat ahli fiqh itu yang diketahui dengan baik, sebagaimana ada pula yang tidak diketahui. Kondisi seperti ini tentu mempengaruhi kita dalam menentukan intensitas penggunaan al-Sunnah di kalangan ahli fiqh.

  Di sisi lain seornag ahli fiqh tidak memakai suatu Hadits karena menurut anggapannya Hadits tersebut bukan berkaitan dengan hukum, seperti perbuatan Nabi selaku manusia biasa. Bisa jadi Hadits itu menurut 20 anggapan mereka berkaitan dengan hukum, tetapi bersifat umum seperti 21 Yusuf Qardhawi, Op. Cit., 53-58.

  Ibid., 58. perbuatan dan perkataan Nabi selaku kepala negara atau sebagai orang yang menetapkan putusan suatu perkara. Misalnya Hadits berikut:

  ًن ىٍف تتيم اضسأ آيحأ هم

  Ahli fiqh berbeda pendapat dalam memahami Hadits tersebut karena perbedaan dalam memahami apakah Hadits itu bersifat tabligh dan fatwa sehingga melahirkan hukum yang umum. Di antara mereka berpandangan bahwa ketentuan hukum yang berlaku di dalam Hadits tersebut tidak bersifat umum, sehingga siapapun yang menghidupkan lahan baru tidak secara otomatis menjadi haknya, harus terlebih dahulu mendapat izin dari penguasa. Pendapat seperti ini dipegangi oleh Abu Hanifah. Sementara itu jumhur ahli fiqh berpendirian bahwa orang yng membuka lahan baru, maka lahan itu menjadi haknya baik mendapat izin atau tidak

  22 dari penguasa.

  Madzhab dan Metode Fiqh Ahli Hadits

  Puncak perkembangan fiqh ahli Hadits terjadi pada masa Imam Ahmad ibn Hanbal dengan tampilnya beliau sebagai seorang tokoh Hadits sekaligus fiqh. Ahli Hadits sebagai suatu istilah sebenarnya telah muncul sebelumnya untuk menunjukkan suatu madzhb fiqh yang berbeda dengan

23 Kedua kelompok ini dikenal dengan ahli Hijaz dan ahli Irak.

  ahli ra‟yi.

  Imam Ahmad ibn Hanbal belum mempunyai metode fiqh tersendiri sebelum peristiwa mihnah. Ia banyak berpegang kepada pendapat Imam Syafi‟i, Malik, Sofyan Tsauri dan ulama lainnya. Namun, setelah peristiwa

  

mihnah ia tampil membawa fiqh ahli Hadits sebagai madzhab yang

  berbeda dengan madzhab fiqh lainnya. Penggunaan istilah ahli Hadits populer digunakan utnuk menunjukkan madzhab Hanbali yang berbeda dengan madzhab ahli ra‟yi.

  Imam Ahmad ibn Hanbal tidak membedakan antara pengikut Maliki, Hanafi dan Syafi‟i, sebagaimana yang ia ungkapkan dalam suatu pernyataannya, “Pendapat al-Auza‟i, Malik dan Abu Hanifah, semuanya adalah ra‟yi dan saya bisa melakukan hal yang sama, di mana saya

24 Hal ini yang menyebabkan para ahli sejarah berhujjah berdasarkan atsar”.

  memberikan penilaian yang berbeda kepadanya, sebagai ahli Hadits saja 22 atau ahli fiqh saja.

  

Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, Dar al-Qalam, 1966, cet. ke-3,

23 511.

  

Ahmad Nahrawi Abd al-Salam, Al-Imam al-Syafi’i fi Madzhabihi al-Qadim

24 wa al-Jadid, 1988, cet. ke-1, 48.

  Abd al-Majid, Op. Cit., 131.

  Perbedaan penilaian itu terjadi karena perbedaan sudut pandang ahli sejarah dan ulama terhadap Ahmad ibn Hanbal. Ada yang melihat Imam Ahmad dari kedalaman istinbath hukumnya dan yang lain melihat dari sisi mana ia lebih populer atau dari sisi mana yang terbanyak muridnya dan pengikutnya tanpa memperhatikan metode fiqh yang dilahirkan dan dikembangkannya.

  Ibn Jarir memandang Imam Ahamd sebagai ahli Hadits bukan seorang ahli fiqh. Pendapat ini diikuti sejumlah ulama diantara mereka, al- Tahawi, al-Dabusi, al-Nasafi, al-Qarahi, al-Hanafi, Ibrahim al-Asili al- Maliki, al-Ghazali dan Abu Barkat al-Nasafi yang mengemukakan dalam kitabnya:

  سكع يزخؤم ىف شظىنا ةسُجَ ًقفنا ىف تماملإا نَد ًوإ : كساذمنا ىف لاقَ ىعفاشنا يراتسأ

  Pendapat di atas dibantah oleh pengikut madzhab Hanbali dan ahli Hadits, sebaliknya menyatakan bahwa Imam Ahmad banyak membicarakan masalah fiqh dengan pengetahuannya yang dalam. Ibn Uqail mendukung pendapat ini, ia mengatakan bila ada yang berpandangan bahwa Imam Ahmad hanya seorang hali Hadits bukan ahli fiqh itu adalah

  25 pendapat yang keliru.

  Muhammad Abu Zahrah memandang Imam Ahmad sebagai tokoh Hadits, karena kepiawaiannya dalam Hadits membawa ia sebagai tokoh fiqh, di mana fiqh dan mantiqnya selalu didasarkan kepada Hadits. Hal ini dapat diteliti dari pendapat dan fatwa yang pernah dikemukakannya dalam berbagai masalah, ternyata menunjukkan beliau sebagai seorang ahli fiqh dan Hadits. Pendapat ini didukung oleh Yahya inb Said al-Qaththan, Abd al-Rahman ibn Mahdi dan Ishak ibn Rahawih.

  Ibn Hazmin memandang tidak semua pengikut madzhab Hanbali termasuk ahli Hadits, tetapi bukan berarti ia menolak Imam Ahmad sebagai ahli fiqh dan ahli Hadits. Di antara petunjuk yang membuktikan sebagian pengikut Ahmad bukan ahli Hadits dapat ditemukan dalam kitab- kitab yang mereka tulis, seperti al-Mughni karangan Ibn Qudamah. Kitab ini membicarakan berbagai masalah fiqh yang tidak didasarkan kepada pendapat Imam Ahmad ibn Hanbal, tetapi mereka mengambilnya dari pendapat ahli ra‟yi.

  Jadi, sebagian besar pengikut pertama Ahmad ibn Hanbal adalah ahli Hadits, tetapi pengikut yang kemudian tidaklah demikian karena mayoritas mereka orang-orang yang taklid kepda imam mereka, 25 sebagaimana yang terjadi juga di kalangan madzhab-madzhab yang lain.

  Ibid., 138.

  Penutup

  Dari uraian terdahulu dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Perintah Umar ibn Abd al-Aziz kepada sebagian ulama untuk melakukan kodifikasi Hadits dan permintaannya kepada sejumlah ahli fiqh di Madinah untuk menekuni masalah fiqh menjelang akhir abad pertama hijrah dipandang sebagai titik awal munculnya ahli Hadits dan ahli fiqh. Dalam perkembangan kedua kelompok ini terjadi tarik menarik, di mana ahli Hadits ada yang menjadi ahli fiqh atau sebaliknya.

  2. Sejarah mencatat dalam perkembangan ahli Hadits dan ahli fiqh pernah terjadi pertentangan di antara mereka walau tidak sampai membawa perpecahan. Ahli Hadits memandang ahli fiqh tidak mengerti seluk beluk Hadits dan lebih suka menetapkan hukum dengan dalil lain dari sunnah. Sebaliknya ahli fiqh memandang ahli Hadits tidak mengerti masalah fiqh.

  3. Ahli fiqh berbeda pendapat dalam menggunakan sunnah karena perbedaan mereka dalam menetapkan syarat diterimanya sunnah untuk menetapkan hukum. Puncak perkembangan fiqh ahli Hadits berada di tangan Ahmad ibn Hanbal, tokoh Hadits dan fiqh.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

  Al-Khatib, Muhammad Ajjaj, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu , Beirut: Dar al-Fikr 1989. Al-Majid, Abd al-Majid Mahmud Abd, Al-Ittijahaat al-Fiqhiyah 'inda

  Ashhabi al-Hadits fi al-Qarni al-Tsalits al-Hijri , Mesir : Dar al-

  Wafa', 1979 Al-Salam, Ahmad Nahrawi Abd, Al-Imam al-Syafi'i fi Madzahibi al-

  Qadim wa al-Jadid , Cet. I 1988

  Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, Cet I, Damaskus : Dar al- Fikr, 1986

  Ibn Qudaamah, al-Imam Muwafiq al-Din Abd Ahmad al-Maqdisi,

  Raudlatu al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir , Cet. II, Beirut : Dar

  al-Kutub al-Ilmiah, 1994 Khalaf, Abd al-Wahhab, Ilmu Ushul al-Fiqh, Cet, XII, Mesir : Dar al Fikr,

  1978, Musa, Kamil, Al-Madkhol ila al-Tasyri' al-Islami, Beirut : Muassah al- Risalah, 1989, cet. ke-1.

  Qardlawi, Yusuf, Al-Madkhal li dirasati al-Sunnah al-Nabawiah, Cet, II, Mesir : Maktabah Wahbah, 1991

  • , Kaifa Nataamalu maa al-Sunnah al-Nabawiah, Cet. I, Firginia :

  Al-Ma'had al-Alami li al-Fikr al-Islami, 1990 Syaltut, Mahmud, Al-Islami Aqidah wa Syari'ah, Cet. III, Dar al-Qalam,

  1966 Zahrah, Muhammad Abu, Tarikh al-Madzahib al-Islamiah, Jilid II, Mesir : Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.