SISTEM APANAGE DAN SEGALA DAMPAKNYA BAGI

  Tugas Ujian Tengah Semester Sejarah Sosial Ekonomi

  Diampu oleh Andang Firmansyah, M.Pd Disusun Oleh :

  Tri Riski Maulia F1231151029 Evi Damayanti Silitonga F1231151018 Fitzhal Yamani F1231151040 Indra Munanda F1231151027 Charles Ritonga F1231151030 Tenniek F1231151039 Linda F1231151034 Andre Kuswanto F1231151022

  PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2016 SISTEM APANAGE DAN SEGALA DAMPAKNYA BAGI KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT SURAKARTA Sejak zaman dulu, Indonesia sudah dikenal sebagai negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah. Dengan kelebihan itu, banyak bangsa asing yang tertarik untuk menjalin perdagangan dengan Indonesia. Namun ada pula yang selain untuk berdagang, mereka ingin menguasai dan mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Jika dilihat dari sejarahnya, yang diketahui oleh khalayak umum adalah hanya bangsa Belanda dan Jepang yang paling intens untuk mengeskploitasi kekayaan alam Indonesia. Belanda dengan tanam paksa-nya dan Jepang dengan Romusha-nya. Namun, sepanjang tahun 1830-1920 telah ada apa yang dinamakan apanage.

  Latar belakang munculnya sistem apanage ini adalah pada abad XIX terjadi eksploitasi agraris yang dimulai dari tahun 1870 yang salah satunya adalah Tanam Paksa. Apanage sendiri pada dasarnya adalah tanah pemberian dari raja kepada putranya yang tidak bisa naik tahta. Namun, dalam artikel ini apanage yang dimaksud adalah tanah yang diberikan oleh raja kepada para patuh-nya yang disebut dengan bekel. Apanage ini pernah berlaku di Indonesia, khususnya di keresidenan Surakarta. Letak geografis dan ekologi dari Surakarta itu sendiri sangat bagus. Ia dilewati oleh banyak gunung-gunung. Selain itu juga terdapat banyak mata air, sungai dan rawa-rawa. Tanah di Surakarta sendiri sangat subur, ini dikarenakan tanahnya mengandung sedimen vulkanis. Selain itu juga mengandung mineral yang baik bagi kesuburan tanah.

  Iklim di Surakarta mengalami dua musim yaitu musin hujan dan musim kemarau. Pada musim hujan, sering terjadi hujan di daerah yang lembab. Pengairan yang baik di sana mengakibatkan tanah tetap subur meskipun musim yang dilalui adalah musim kemarau. Namun, pernah terjadi banjir besar di Surakarta yaitu pada tahun 1866, 1886, 1897, 1902 dan 1904. Banjir ini terjadi karena luapan sungai-sungai kecil yang tidak bisa ditampung oleh Bengawan Solo.

  Apanage yang berlaku di Surakarta dilakukan bertujuan untuk

  mengukuhkan keresidenan Surakarta pada wilayahnya. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, Surakarta memiliki tanah yang subur dan menguntungkan bagi siapa saja yang akan menggarapnya. Hal inilah yang menyebabkan raja menebar

  

bekel untuk kemudian dapat mengolah tanah apanage tersebut. Seorang bekel

  dipercaya untuk mengolah tanah tersebut dan kemudian bisa mendapatkan sebagian dari hasil panen tanah apanage tersebut. Perlu diketahui, tanah apanage ini sebagian besar adalah tanah untuk lahan pertanian dan perkebunan. Karena tujuannya adalah agar raja mendapatkan keuntungan darinya.

  Tanah yang bisa menghasilkan barang berupa hasil bumi disebut dengan “Bumi Narawita”. Para bekel dipekerjakan oleh raja dengan tugas memungut apa yang dinamakan pajeg atau upeti dan juga dipercaya untuk mengelola tanah.

  

Upeti dan pajeg dipungut dari sikep dan penggarap tanah. Bekel juga

  mempekerjakan sikep dan sikep juga mempekerjakan kuli yang sebagai penggarap tanah tersebut. Dari penjelasan diatas bisa disimpulkan bahwa terdapat dua golongan yang ada disana. Golongan atas atau priyayi yang terdiri dari bangsawan, bekel dan patuh raja menempati urutan paling atas. Sedangkan golongan bawah atau wong cilik terdiri dari sikep dan kuli penggarap tanah.

  Seperti yang telah disebutkan diatas, sikep pada umumnya memiliki tanggung jawab untuk menyediakan kuli untuk menggarap tanah. Dalam sistem ini, seorang sikep diuntungkan karena ia bisa mengambil sebagian hasil bumi dari tanah tersebut. Selain itu, tanah garapan juga bisa diwariskan kepada pewaris

  

sikep seperti anak atau sanak saudaranya. Tanah itulah yang kemudian menjadi

  tanah warisan dari raja atau patuh raja. Tanah warisan raja atau patuh tersebut bisa dibuka lagi oleh sikep menjadi lahan baru. Tentu jika ini terjadi, sikep yang telah kaya akan menjadi tambah kaya. Ditambah lagi sikep diperbolehkan untuk tidak membayar pajeg atau upeti kepada bekel.

  Pembukaan lahan baru yang dilakukan oleh sikep membutuhkan bantuan dari kuli numpang dan tlosor, sikep bisa menjadi lebih kaya lagi. Artinya, pembukaan lahan baru ini tidak lain tidak bukan adalah penyewaan tanah pada pihak lain. Namun hal ini menyebabkan ketidak-merataannya pendapatan masyarakat. Ini terjadi karena beberapa hal, yaitu pertama sikep yang menyewakan tanah meminta jaminan atau disebut dengan uang pajer. Kedua adalah setelah panen, sikep yang menyewakan tanah dapat bagian setengah dari hasil panen tersebut. Ketiga sikep yang sudah kaya akan makin tambah kaya. Dan yang terakhir adalah simpang siurnya letak tanah apanage.

  Alasan-alasan diataslah yang kemudian mengakibatkan terjadinya perang di desa. Terjadinya perang tidak dapat dicegah jika sistem apange masih diberlakukan. Di lain sisi, raja melakukan fragmentasi tanah apanage untuk menghindari kekuatan penuh seorang patuh raja atau bekel dalam mengendalikan tanahnya. Maka jalan yang diambil oleh raja adalah dengan melakukan pengangkatan dan pemecatan bekel atau patuh raja. Namun langkah ini masih belum efektif untuk membuat keadaan desa menjadi kondusif. Sebaliknya, situasi ini dengan baik dimanfaatkan oleh bekel atau patuh raja untuk mencuri tumbuh- tumbuhan yang berjual nilai tinggi seperti alang-alang, rumput, bambu, dll. Pencurian ini semakin membuat rakyat kecil semakin miskin.

  Sistem ekonomi masyarakat desa pada masa itu dipenuhi seutuhnya oleh sikep. Sikep akan menjamin kehidupan penggarap tanah mulai dari kebutuhan sehari-hari sampai ke pendidikannya. Hal ini sebenarnya menguntungkan keduanya karena sikep dan penggarap tanah saling bergantung sama lain. Seperti yang telah disebutkan diatas, tanah apanage bisa dikatakan berperan langsung pada ekonomi masyarakat pedesaan. Pada abad ke XIX, pemerintah kolonial mulai masuk ke Surakarta. Masuknya pemerintah kolonial ikut merubah ekonomi dan politik di Surakarta.

  Perubahan ekonomi yang paling mencolok pada masa itu adalah berkurangnya per-bekel-an di Surakarta. Sedangkan pada bidang politik perubahan yang terjadi adalah diberlakukannya pemerintahan kebarat-baratan. Selain itu, raja yang semula memiliki kuasa penuh atas wilayahnya mulai dikurangi eksistensinya. Pemerintah kolonial melakukan perjanjian-perjanjian kepada setiap raja yang berkuasa. Perjanjian ini dilakukan saat raja baru dilantik. Perjanjian yang dilakukan pun sangat mendeskriditkan pemerintahan pribumi. Selain itu, pemerintah kolonial juga menerapkan sistem administrasi kolonial yang menyebabkan semakin lemahnya kekuasaan raja. Namun, pemerintah kolonial tidak sepenuhnya menghapus keresidenan Surakarta. Yang dilakukan oleh pihak kolonial hanyalah menghilangkan kekuasaan raja dan membatasi hak- hak raja sebagai penguasa.

  Sejalan dengan itu, pemerintah kolonial juga nantinya akan membatasi tugas dan kewajiban seorang bekel. Jika dulu seorang bekel dipercaya sebagai kaki tangan Sunan dengan memungut pajak pada petani, maka setelah terjadinya administrasi kolonial tugas seorang bekel adalah menjadi pengurus pedesaan. Dengan kata lain, pemerintah kolonial merubah wewenang seorang bekel. Dengan beralihnya tugas dan wewenang bekel, maka pemerintah kolonial pun juga turut merubah nama dari bekel menjadi lurah. Dengan ini maka dapat dipastikan bahwa

  

bekel benar-benar tidak bisa memungut pajak pada rakyat seperti yang dilakukan

sebelumnya.

  Ada satu masalah yang belum bisa diatasi oleh pemerintah kolonial, yaitu pemberontakan atau pergerakan yang dilakukan oleh masyarakat desa yang disebut dengan anti pemerintah kolonial. Awal pergerakan yang dilakukan adalah Perang Diponegoro. Perang ini berlangsung selama 5 tahun yang dimulai dari tahun 1825 dan berakhir pada tahun 1830. Perang ini menewaskan sedikitnya 200.000 jiwa dari pihak rakyat pribumi, sedangkan dari pihak Belanda menewaskan 8.000 jiwa. Untuk mengatasi perlawanan tersebut, pihak Belanda mengangkat residen baru dengan menjalankan birokratisasi kolonial pada tahun 1755. Namun, setelah perang ini berakhir pun masih banyak lagi bermunculan perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Surakarta.

  Selain menewaskan orang-orang Belanda, perang Diponegoro ini juga menyebabkan pemerintah kolonial mengalami kerugian dibidang ekonomi. Yang terjadi adalah kas keresidenan Surakarta menjadi kosong. Ada dampak yang lebih buruk dari itu semua, dimana pengangkatan residen baru oleh pemerintah kolonial menyebabkan wilayah keresidenan Surakarta dan Yogyakarta menjadi semakin sempit. Untuk mengurangi kerugian dan mengambil keuntungan sendiri dari tanah Surakarta yang subur, pemerintah kolonial menempuh dua jalur. Jalur pertama adalah melalui usaha-usaha ekonomi dan kedua adalah melalui usaha-usaha dalam bidang politik.

  Usaha-usaha ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial adalah menerapkan administrasi kolonial. Sedangkan usaha-usaha dalam bidang politik yang dilakukan oleh pemerintah kolonial adalah menjalin hubungan dengan keajaan setempat. Hal ini kemudian membuka jalan bagi pihak swasta maupun pemerintah sendiri untuk melakukan eksploitasi di bumi Surakarta. Pemerintah kolonial yang bekerja sama dengan pemerintah pribumi khususnya raja atau sunan Surakarta melakukan kontrak-kontrak yang secara perlahan-lahan dan pasti merugikan pemerintah pribumi.

  Dikatakan demikian karena tujuan pemerintah kolonial adalah untuk membatasi kekuasaan mutlak seorang raja. Salain itu juga untuk mempercepat proses defeodalisasi dan untuk memperluas westernisasi. Dalam kurun tahun 1900-1920 suasana politik di Surakarta perlu mendapat perhatian. Ini karena seringnya terjadinya pergolakan yang turut memberikan perubahan yang mencolok dan berbeda dengan daerah lainnya.

  Adapun pergolakan-pergolakan yang dilakukan oleh rakyat Surakarta adalah untuk membebaskan diri dari pemerintah kolonial. Yang paling terkenal pada masa itu adalah SI atau Sarekat Islam. SI muncul pada tahun 1905 di Surakarta. SI didirikan di kota Solo. Kehadiran SI di Surakarta diterima baik oleh masyarakatnya. Menurut sejarahnya, SI dibentuk pada mulanya untuk membuat semacam koperasi karena yang mendirikan SI adalah perkumpulan pedagang Islam. SI kemudian tumbuh dan berkembang di hampir seluruh penjuru Hindia Belanda. Keberadaannya kemudian untuk melawan pemerintahan kolonial yang semakin kuat. Maka dari itu, pemerintah kolonial menganggap SI sebagai suatu ancaman untuk keberlangsungan pemerintahannya. Selain dengan pemerintah Belanda, SI juga bersaing dengan pedagang Cina. Ini karena, SI menerapkan sikap melawan kapitalisme asing. Akibatnya, banyak pedagang-pedagang Cina melakukan pemboikotan di berbagai daerah seperti Solo, Surakarta, Jakarta dan Surabaya.

  Beriringan dengan itu, pemerintah kolonial juga “membangun” kekuatan politik yang setara dengan SI untuk melemahkan kekuatan SI. Kekuatan politik yang dibangun oleh pemerintah kolonial adalah Darmo Hatmoko. Sebuah perkumpulan bangsawan Mangkunegaran yang muncul pada awal tahun 1913. Perkumpulan ini bergerak di bidang sosial-politik. Perkumpulan ini tercatat dalam dokumen pemerintah kolonial dengan tujuan untuk membuang pengaruh SI yang semakin luas dan kuat. Kepastian itu semakin jelas karena tersiar kabar bahwa SI menjalin hubungan dengan Sunan bahkan ada yang mengatakan bahwa Sunan sendiri adalah anggota dari SI.

  Hubungan SI dengan Sunan dan para elite istana kemudian semakin berkurang. Ini dikarenakan pemerintah kolonial banyak melakukan penggeseran anggota SI yang berasal dari elite istana. Akibatnya, lambat laun SI semakin radikal karena banyak anggotanya yang berasal dari rakyat kalangan bawah. Tindakan radikal yang dilakukan oleh SI pada sejarahnya terjadi antara tahun 1918-1920. Gerakan radikal yang dilakukan sebagian besar atas dasar pembebasan ekonomi masyarakat pribumi dari pemerintah kolonial. Selain itu juga menuntut untuk menghilangkan sistem feodal dan kolonial. Pembebasan ini juga bertujuan untuk menghilangkan eksploitasi oleh perusahaan perkebunan yang menyebabkan turunnya kesejahteraan rakyat.

  Pergerakan radikal ini menampilkan dua tokoh utama yang dianggap berperan dalam pembebasan diri terhadap pemerintahan kolonial yang semakin menyengsarakan rakyat. Kedua tokoh tersebut adalah dr. Ciptomagunkusumo dan

  H. Misbach. Keduanya memulai hasutan pada rakyat saat terjadi wabah kolera di Surakarta pada tahun 1918. Akibatnya, residen Surakarta pada masa itu yaitu Residen Harloff memerintahkan seluruh dokter di Solo untuk kesana menanganinya. Namun, karena gaji yang didapat para dokter tidak sepadan, Cipto Mangunkusumo mengajak rekannya untuk melakukan mogok kerja. Namun hal ini tidak berhasil membuat kenaikan pada upah mereka. Bersamaan dengan itu, seorang editor Koran yang bernama H. Misbach terkenal karena pengaruhnya dalam upaya perbaikan lingkungan di Surakarta. Pada tahun 1918 ia diangkat mejadi ketua Insulinde cabang Surakarta. Ia bersama rekannya menolak pembayaran kembali uang muka pembuatan rumah. Sekitar pada bulan Mei tahun 1918, ia mempengaruhi penduduk setempat agar tidak membayar pajak pada penguasa setempat. Pajak yang dimaksud adalah menyerahkan sebagian sawahnya kepada penguasa.

  Selain menyerahkan sebagain sawahnya, para buruh juga dipekerjakan dengan waktu yang lama dan dengan upah yang tidak layak. Kedua tokoh tersebut kemudian juga mengajak msyarakat pedesaan untuk menolak kerja wajib yang terjadi pada bulan Februari tahun 1919. Selain melakukan propaganda pada rakyat kecil, keduanya juga melakukan hubungan dengan National Indische Partij (NIP) dan SI. Kerjasama ini dapat disimpulkan membawa pengaruh baik pada perekonomian rakyat Surakarta yakni dengan dicapainya kesejahteraan rakyat.

  Gerakan radikal ini berakhir sekitar tahun 1920 dengan ditangkapnya H. Misbach dan Cipto Mangunkusumo. Alasannya adalah, karena aksi propaganda yang dilakukan keduanya banyak rakyat yang melakukan mogok kerja dan kabar yang beredar bahwa Misbach akan mecoba melakukan pembunuhan pada asisten residen juga Cipto Mangunkusumo yang akan melakukan pemberontakan dan menghancurkan bangunan-bangunan vital (mungkin seperti pabrik perkebunan dan kantor-kantor pemerintahan Belanda).

  Berakhirnya gerakan radikal menyebabkan timbulnya perubahan sosial dalam masyarakat. Reorganisasi politik dan agraria adalah perubahan yang paling mencolok. Reorganisasi politik yang dilakukan bertujuan untuk memperbaiki sistem aparatur pemerintahan di pedesaan. Bila kita kembali pada masa itu,bisa dikatakan bahwa reorganisasi politik ini tidak terlalu membawa perubahan yang baik pada kehidupan masyarakat pedesaan. Karena masih seringnya terjadi protes- protes oleh petani kepada perusahaan perkebunan. Hal ini sejalan dengan reorganisasi agraria. Selain bertujuan untuk menghapus tanah apanage, protes- protes yang dilakukan oleh petani sebagian besar karena para pekerja menolak melakukan kerja wajib bagi perusahaan dan juga menuntut kenaikan upah. Protes terbesar yang pernah terjadi adalah pada tahun 1908 yang dilakukan oleh sekitar tiga ratus orang petani.

  Reorganisasi agraria pertama kali dilakukan pada tahun 1912. Dengan dilakukannya reorganisasi agraria itu berarti juga turut merubah kedudukan tanah. Jika sebelumnya tanah millik seorang patuh maka dengan reorganisasi ini menjadikan tanah sebagai hak milik individu petani. Petani bebas menanami tanah tersebut dengan bahan pangan atau bisa juga menyewakan sebagian tanahnya kepada perusahaan perkebunan untuk ditanami tanaman ekspor. Hal ini tentu saja menguntungkan petani dan juga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi.

  Ada beberapa kelemahan dalam reorganisasi agraria ini, yaitu timbulnya ekstraksi tanah apanage dan manipulasi kepemilikan tanah garapan atau sawah. Ini terjadi karena kontrol administratif yang masih lemah. Perlu diketahui bahwa manipulasi kepemilikan tanah terjadi sebagai akibat dari jumlah penduduk yang semakin meningkat dan sebagian lagi melepas sawahnya untuk dijual kepada elite bangsawan dan memberikan tanah tersebut kepada anak-cucunya. Menurut tradisinya, seorang petani bisa kehilangan sawahnya jika ia tidak memiliki anak laki-laki. Ada juga yang dinamakan sawah rangkap yang berarti kepemilikan sawah dipegang oleh dua orang.

  Dengan adanya reorganisasi tanah apange dan kepemilikan tanah secara individu oleh petani tidak serta merta membuat mereka lepas dari ketidak-adilan. Maka konsentrasi tanah-tanah subur untuk penyewaan pun turut betebaran. Penyewaan tanah ini dilakukan hanya untuk kepentingan dan keuntungan perusahaan perkebunan saja. Karena, semakin banyak tanah yang disewakan maka akan semakin sedikit kebebasan petani untuk menggarap sawahnya. Ini artinya para petani juga akan mengalami penuruan kualitas hidup. Sehubungan dengan itu, perekrutan tenaga kerja semakin luas. Perekrutan ini sebenarnya memunculkan kembali tanah apanage, tetapi juga ada baiknya yaitu dapat meningkatkan upah petani.

  Sebenarnya, kerja upah sudah diberlakukan oleh orang Cina dengan menyewa tanah petani dan mempekerjakannya kemudian diberi upah. Meskipun sudah diberi upah, nyatanya masih belum bisa menutupi kebutuhan harian para petani atau buruh tanah tersebut. Kebutuhan akan tenaga kerja dengan cepat mengalami peningkatan. Sebagai contoh salah satu pabrik gula pada pertengahan abad ke XIX merincikan kebutuhannya akan tenaga kerja. Didapatlah sekitar 1.050 orang untuk dipekerjakan disana. Hal ini membuktikan bahwa kebutuhan akan tenaga kerja sangat diperlukan untuk meningkatkan hasil produksi maupun keuntungan pabrik tebu tersebut.

  Dengan meningkatnya kebutuhan akan tenaga kerja, pemerintah kolonial berhasil memonetisasi pedesaan. Maksud dari monetisasi ini adalah pemerintah kolonial mengedarkan uang dengan melalui kerja paksa yang dibayar dengan upah. Seperti yang telah disebutkan diatas, proses monetisasi ini berlangsung juga karena didukung oleh upah para petani yang rendah dan mendorong mereka untuk membeli barang-barang impor dengan kualitas baik dengan mencicil. Ini menunjukkan bahwa peredaran uang di pedesaan dilakukan dengan cara orang- orang Cina membeli barang-barang impor yang kemudian di jual lagi kepada para buruh dengan mencicil pembayarannya. Hal ini bertujuan untuk tetap menjaga peredaran uang di pedesaan.

  Adanya peredaran uang ini kemudian menjadi faktor pendorong terjadinya mobilitas di daerah pedesaan. Mobilitas yang terjadi di pedesaan ini terjadi karena adanya pembangunan sarana transportasi oleh pemerintah kolonial. Secara umum, sebenarnya pembangunan sarana transportasi ini adalah untuk mengangkut hasil perkebunan dan persawahan masyarakat desa ke pasar-pasar diluar daerah. Misalnya seperti dari daerah Surakarta ke Yogyakarta dan daerah-daerah lainnya. Kembali kepada proses monetisasi di pedesaan, sekitar akhir abad ke XIX pemerintah kolonial mendirikan bank dan rumah-rumah pegadaian untuk menjaga perderan uang tadi dan menghindarkan rakyat kecil dari lintah darat. Walau nyatanya rakyat masih sering terjerat hutang dengan lintah darat, proses monetisasi ini tetap berlangsung dengan baik.

  Pada umumnya, rakyat berhutang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hal ini dikarenakan, pada masa itu barang-barang di pasaran didominasi oleh barang impor yang sebagian besar berasal dari Cina. Tentu barang-barang tersebut dinilai memiliki kualitas yang lebih bagus daripada barang-barang produk dalam negeri. Jika kita memposisikan diri berada dalam jaman tersebut, sesungguhnya daya sebar barang-barang produksi dalam negeri sudah mengalami peningkatan karena pemerintah kolonial juga membangun sarana transortasi yang kemudian menjadi salah satu alat transportasi yang sangat berpengaruh bagi kehidupan masayarakat pada masa itu.

  Sarana transportasi yang dibangun oleh pemerintah kolonial adalah membangun jalur kereta api yang melalui wilayah-wilayah yang menghasilkan hasil bumi terbesar. Ini bertujuan untuk meningkatkan keuntungan penjualan dan menekan harga kerugian perusahaan untuk penjualaannya. Sebenartnya, adaalat transportasi lain yang digunakan oleh masyarakat yaitu apa yang kami sebut sebagai ojek gerobak. Ojek gerobak ini adalah transportasi pengangkutan barang yang masih tradisional. Berpalingnya masyarakat dari ojek gerobak ke kereta api memuat produsen gerobak sedikit banyak mengalami kerugian.

  Peralihan ini sebenarnya juga dipengaruhi oleh harga kereta api lebih murah dibandingkan dengan menggunakan gerobak angkut atau ojek gerobak. Jika menggunakan kereta api untuk mengangkut hasil bumi, biaya yang diperlukan hanya sekitar f 11,10 - f 11,60. Sedangkan jika menggunakan gerobak maka biaya yang diperlukan untuk sekali jalan adalah f 3,50. Selain untuk pengangkutan barang, kereta api juga digunakan sebagai transportasi angkutan penumpang. Sebagai contoh, pada tahun 1869 penumpang antara Semarang- Kedungjati mencatat penumpang sekitar 49.569 orang dan Semarang-Yogyakarta mencatat 577.156 orang. Angkutan penumpang ini semakin hari mengalami peningkatan jumlah penumpang.

  Ada dua jenis penumpang pada masa itu, yaitu penumpang Bumiputera dan penumpang Eropa. Jumlah penumpang Bumiputera lebih banyak jika dibandingkan dengan penumpang Eropa. Namun, penumpang Eropa mengalami naik turun. Sedangkan penumpang Bumiputera setiap tahunnya mengalami peningkatan yang signifikan. Jika menggunakan kereta api, terdapat 4 kelas yang memiliki tarif yang berbeda-beda. Kelas 1 dan 2 memiliki tarif yang mungkin lebih tinggi daripada kelas 3 dan 4. Hal ini dikarenakan bahwa kelas 1 dan 2 rata- rata diisi oleh penumpang Eropa yang kemungkinan mereka adalah orang-orang terpelajar dan para bangsawan.

  Sedangkan untuk kelas 3 dan 4 lebih banyak diisi oleh penumpang Bumiputera yang rata-rata menggunakan kereta api untuk pergi ke kota dengan tujuan bekerja disana. Hal inilah yang kemudian bisa dijadikan alasan bahwa kelas 3 kelas 4 memiliki tarif yang lebih rendah. Perlu diketahui bahwa pembangunan jalur kereta api ini menggunakan upah para buruh atau juga dari tenaga para buruh yang bekerja di daerah yang masih menggunakan kerja wajib. Dengan adanya jalur kereta api ini menyebabkan daerah-daerah di pedalaman pedesaan tidak terisolasi dengan daerah lainnya. Ini berarti yang diharapkan oleh pemerintah kolonialdari pembangunan jalur transportasi in adalah terjalinnya komunikasi antar desa dan desa mengalami perkembangan dengan adanya komunikasi antar desa tersebut.

  Dengan adanya kereta api ini memungkinkan masyarakat pedesaan mengalami mobilitas horizontal. Karena efektifitas dari adanya transportasi ini memudahkan para petani atau buruh di pedesaan untuk pindah ke kota untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Tentu dengan harapan bahwa upah di kota akan lebih layak jika upah dibandingkan dengan upah di desa. Banyak desa-desa yang kemudian menjadi pusat kegiatan ekonomi yang menjadi tempat peredaran barang-barang komoditas.

  Sebagai akibat dari monetisasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial, perekonomian rakyat desa menjadi lebih berwarna. Yakni dengan nilai upah yang diberikan di tingkat kota menjadi daya tarik tersendiri orang-orang desa untuk bekerja disana. Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa desa-desa juga turut mengalami perkembangan sebagai tempat untuk penjualan hasil bumi petani dan perusahaan.

  Dampak terbesar dari diberlakukannya monetisasi di pedesaan adalah dimana uang menjadi sesuatu yang berharga bagi masyarakat. dengan ini banyak pula perusahaan yang membayar para pekerjanya dengan uang. Semakin vitalnya peran uang bagi masyarakat yaitu ketika pedesaan mengalami perkembangan sebagai tempat untuk perjual-belian hasil bumi petani. Dari sana bisa disimpulkan bahwa, dengan berperannya pasar-pasar di desa sebagai pusat kegiatan ekonomi maka juga akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat pedesaan. Sumber : Suhartono. 1991. Apanage dan Bekel. Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya.