TINJAUAN PUSTAKA EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI SEBAGAI STATE AUXILIARY BODY DALAM SISTEM KETATANEGARAAN DI INDONESIA.
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai State Auxiliary Body
1. Pengertian Eksistensi
Soren
Kierkegaard
adalah
pemikir
pertama
yang
memperkenalkan istilah “eksistensi” yang dipakai menurut pengertian
sekarang dalam aliran eksistensialisme.
“Esensi” berarti yang ada, maka “eksistensi” dimengerti sebagai yang
berada. Konsep eksistensi menunjuk pada sesuatu yang hadir secara
konkrit, memiliki efek, jelas, pasti, kelihatan dan yang lakukan
sesuatu. Istilah eksistensi pada manusia hanya dapat diterapkan pada
individu-individu konkrit. Seorang pribadi yang konkrit saja yang
bereksistensi. Bereksistensi atau berada berarti terus-menerus
mengambil keputusan bebas, bertanggung jawab untuk membuat
pilihan baru secara personal dan subjektif. Eksistensi berarti diri yang
otentik sebagai aktor, pelaku kehidupan dan bukan sebagai spektator
kehidupan atau penonton belaka (Hardiman, 2007: 244-255).
Pengertian Eksistensi didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) online Kementrian Pendidikan Nasional berarti, hal berada
atau suatu keberadaan. (http//bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php).
Eksistensi adalah suatu proses yang dinamis, suatu, menjadi atau
mengada. Ini sesuai dengan asal kata eksistensi itu sendiri, yakni
exsistere, yang artinya keluar dari, melampaui atau mengatasi. Jadi
Eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur atau
kenyal dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran,
tergantung
pada
kemampuan
dalam
potensinya (Abidin Zaenal, 2007: 16).
mengaktualisasi
potensi-
21
2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
a. Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi
Komisi Pemberantasan mempunyai 5 (lima) tugas Komisi
Pemberantasan
koordinasi
Korupsi.
dengan
Tugas
instansi
yang
yang
pertama,
melakukan
berwenang
melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Kedua, melakukan supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi. Ketiga, Komisi Pemberantasan Korupsi
bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi. Keempat, melakukan tindakantindakan pencegahan tindak pidana korupsi. Tugas yang kelima,
Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan monitor terhadap
penyelenggaraan pemerintahan negara (Ermansjah, 2008 : 187).
b. Kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi
Selain melakukan 5 (lima) tugas, Komisi Pemberantasan
Korupsi juga memiliki beberapa kewajiban. Kewajiban-kewajiban
tersebut antara lain :
1) Memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang
menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan
mengenai terjadinya tindak pidana korupsi.
2) Memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan
atau memberikan bantuan untuk memperoleh data lain yang
22
berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang
ditanganinya.
3) Menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada
Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
4) Menegakkan sumpah jabatan.
5) Menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya
berdasarkan asas-asas sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi (Ermansjah, 2008: 196).
c. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi
Kewenangan-kewenangan
yang
dimiliki
Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagaimana yang diamanatkan di
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai pendukung
pelaksanaan tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
1) Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi
berwenang:
(a) Mengkoordinasikan
penyelidikan,
penyidikan,
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
dan
23
(b) Menetapkan
sistem
pelaporan
dalam
kegiatan
pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang
terkait.
(c) Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi kepada instansi yang terkait.
(d) Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan
instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi.
(e) Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan
tindak pidana korupsi.
(f) Wewenang lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 12, 13,
dan 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
2) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantaan Korupsi
berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan
terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnnya
yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi,
dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.
3) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksusd
pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga
mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku
tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian
atau kejaksaan.
24
4) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih
penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib
menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat
bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling
lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal
diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 8 ayat (3) bahwa:
Ketentuan ini bukan diartikan penyerahan fisik melainkan
penyerahan wewenang, sehingga jika tersangka telah
ditahan oleh kepolisian atau kejaksaan maka tersangka
tersebut tetap dapat ditempatkan dalam tahanan kepolisian
atau tahanan kejaksaan atau Komisi Pemberantasan
Korupsi meminta bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan
Negara untuk menempatkan tersangka di dalam Rumah
Tahanan tersebut.
5) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan
sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian dan
kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi.
6) Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
8,
dilakukan
oleh
Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan alasan:
(a) Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak
dilanjuti.
25
(b) Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarutlarut atau
tertunda-tunda tanpa alasan
yang dapat
dipertanggungjawabkan.
(c) Penanganan
melindungi
tindak pidana korupsi
pelaku
tindak
ditujukan
untuk
korupsi
yang
pidana
sesungguhnya.
(d) Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena
campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif
(e) Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau
kejaksaan,
penanganan
dilaksanakan
secara
tindak
pidana
baik
korupsi
dan
sulit
dapat
dipertanggungjawabkan.
7) Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9, Komisi Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada
penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak
pidana korupsi yang sedang ditangani.
8) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi yang:
(a) Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara,
dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
26
penyelenggara negara. Dalam penjelasan Pasal 11 huruf a
dijelaskan bahwa; yang dimaksud dengan “penyelenggara
negara” adalah sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme, termasuk Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
(b) Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau
(c) Menyangkut
kerugian
negara
paling
sedikit
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
9) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
(a) Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
(b) Memerintahkan
kepada
instansi
yang
terkait
untuk
melarang seseorang bepergian ke luar negeri.
(c) Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan
lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa
yang sedang diperiksa.
(d) Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan
lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari
korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang
terkait.
27
(e) Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka
untuk
memberhentikan
sementara
tersangka
dari
jabatannya.
(f) Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau
terdakwa kepada instansi yang terkait; dalam penjelasan
Pasal 12 huruf f dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
“tersangka atau terdakwa” adalah orang perorangan atau
korporasi.
(g) Menghentikan
transaksi
sementara
perdagangan,
suatu
dan
transaksi
perjanjian
keuangan,
lainnya
atau
pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang
dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang
diduga
berdasarkan
bukti
awal
yang
cukup
ada
hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang
diperiksa.
Dalam penjelasan Pasal 12 huruf g dijelaskan bahwa:
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari
penghilangan atau penghancuran alat bukti yang
diperlukan oleh penyelidik, penyidik, atau penuntut
atau untuk menghindari kerugian negara yang lebih
besar.
(h) Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak
hukum
negara
lain
untuk
melakukan
pencarian,
penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri.
28
(i) Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait
untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan,
dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang
sedang ditangani.
Dalam Penjelasan Pasal 12 huruf i dijelaskan bahwa:
Permintaan bantuan dalam ketentuan ini, misalnya
dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan
penahanan seseorang yang diduga melakukan tindak
pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi
meminta bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan
Negara untuk menerima penempatan tahanan tersebut
dalam Rumah Tahanan.
10) Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi
berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan
sebagai berikut:
(a) Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan
harta kekayaan penyelenggaraan negara.
(b) Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi.
(c) Menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada
setiap jenjang pendidikan.
(d) Merancang
dan
mendorong
terlaksananya
program
sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi.
(e) Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat
umum.
29
(f) Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi.
11) Dalam melaksanakan tugas monitor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi
berwenang:
(a) Melakukan
pengkajian terhadap sistem pengelolaan
administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah.
(b) Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan
pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan
hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut
berpotensi korupsi.
(c) Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, dan Badan
Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan
Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tindak
diindahkan.
d. Perbandingan Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia dengan
Negara Lain
Di setiap negara di dunia, tidak ada satupun yang bebas dari
perbuatan korupsi. Korupsi termasuk dalam sejarah perkembangan
peradaban manusia dan merupakan jenis kejahatan tertua.
Perbuatan korupsi satu negara dengan negara-negara lainnya dari
intensitas dan modus operandinya sangat tergantung pada kualitas
30
masyarakat, adat istiadat, dan sistem penegakan hukum di suatu
negara (Akil Mochtar, 2006: 43).
Di
Indonesia,
lembaga
khusus
yang
berwenang
memberantas korupsi ialah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Di negara lain seperti Malaysia, lembaga yang berwenang
memberantas korupsi disebut Badan Pencegah Rasuah. Seperti
halnya juga di Thailand, terdapat lembaga yang berwenang
memberantas korupsi. Nama komisi pemberantasan korupsi di
Thailand adalah NCCC (Nation Counter Corruption Commision).
Kemudian lembaga pemberantasan korupsi di Hongkong yang
bernama ICAC (Independent Commission Againts Corruption).
Perbandingan antara Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
dengan Malaysia, Thailand, dan Hongkong ialah :
1) Komisi
Pemberantasan
Korupsi
Malaysia
(BPR/Badan
Pencegah Rasuah)
Dalam rangka membangun negara modern yang bebas
korupsi, sejak tahun 1961 Malaya yang kemudian berkembang
menjadi Malaysia, telah mempunyai undang-undang anti
korupsi, yang pertama Undang-Undang Tahun 1961 yang
bernama Prevention of Corruption Act atau Akta Pencegah
Rasuah Nomor 57, kemudaian diterbitkan lagi Emergency
Essensial Power Ordinance Nomor 22 tahun 1970. Setelah itu
dibentuk Badan Pencegah Rasuah (BPR) berdasarkan Anti
31
Corruption Agency Act tahun 1982. Sekarang telah berlaku Anti
Corruption Act Agency 1997 yang selanjutnya disingkat ACA
yang merupakan penggabungan ketiga undang-undang dan
ordonansi tersebut ( Andi Hamzah, 1991: 38).
Organisasi Badan Pencegah Rasuah Malaysia berada
pada kantor Perdana Menteri langsung dibawahnya adalah
Direktur Jenderal atau Ketua Pengarah BPR Malaysia dibantu 2
deputy yaitu Ketua Pengarah Operasi dan Ketua Pengarah
Pencegahan yang diangkat oleh Yang Dipertuan Agung (Raja)
Yang dipertuan Raja diangkat atas nasehat Perdana Menteri dan
bertanggung jawab kepada Raja Yang Dipertuan Agung
Malaysia (Tumbur Ompu, 2012: 81).
Calon Yang Dipertuan Agung diambil dari pejabat
publik bukan dari kalangan swasta apalagi dari kalangan LSM,
juga bukan dari kalangan pensiunan pegawai negeri, karena
masa jabatannya berakhir jika tiba masa pensiunnya sebagai
pegawai negeri atau pejabat publik. Masa jabatan Ketua
Pengarah
BPR
Malaysia
ditentukan
pada
surat
pengangkatannya, begitu pula berbagai prasyaratnya. Selama
menjalani jabatannya, Ketua Pengarah BPR Malaysia berada di
bawah naungan Yang Dipertuan Agung, tetapi tunduk kepada
nasihat atau petunjuk Perdana Menteri. Ketua pengarah BPR
32
Malaysia dan pejabat lainnya adalah berusia lima puluhan
tahun.
Terdapat beberapa perbedaan tugas dan wewenang BPR
Malaysia
dengan
KPK
di
Indonesia.
Penyedilikan
pemberantasan korupsi di BPR Malaysia dilakukan oleh Bagian
atau Divisi Intelijen yang disebut Perisikan atau Intelligence
Division pada bagian dibawah Ketua Pengarah Operasi,
bertujuan membangun intelijen yang mantap, lengkap dan
tersusun melalui sistem jaringan sumber digabung dengan
intelijen profesional. Bidang aktivitasnya adalah bertanggung
jawab untuk melaksanakan intelijen yang sulit dan pengintipan
dengan tujuan untuk mengamankan dan mengkonfirmasikan
informasi yang berhubungan dengan pengaduan adanya
aktifitas korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Informasi
yang diperoleh akan dijadikan asas intelijen dan penyidikan
selanjutnya melalui sumber jaringan BPR Malaysia (Tumbur
Ompu, 2012: 89).
Pemberantasan korupsi di Malaysia dilakukan dengan
segala daya dan cara, represif yang keras, tegas, dibarengi
sistem preventif dan hubungan masyarakat yang sangat intensif,
didukung oleh political will yang prima dari pemerintah yang
disertai dengan sumber daya manusia yang profesional dan
berintegritas. Peraturan ACA juga sangat lengkap, walaupun
33
hanya dengan satu undang-undang telah mampu mencakup
semua hal dengan rumusan delik yang jelas, keras, dan
dijalankan dengan konsisten.
ACA (Anti Corruption Act) Malaysia mengatur hukum
pidana materiil, hukum pidana formil, organisasi, wewenang,
pengangkatan pejabat BPR Malaysia, wewenang penuntut
umum, dan juga delik lain yang dapat disidik oleh BPR
Malaysia. Delik lain tersebut ialah delik suap dalam Penal
Code atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Malaysia,
delik kepabeanan, dan delik pemilihan umum (pemilihan raya).
ACA juga mengatur ketentuan tentang disiplin pegawai negeri
atau pejabat publik.
Pengaturan ACA meliputi sistem jaringan pencegahan
korupsi dan hubungan masyarakat dalam bentuk propaganda
anti korupsi kepada masyarakat, sampai kepada pengkajian
Islam yang tujuannya demikian. Melihat sistem prevensi dan
hubungan masyarakatnya, baik dalam arti aturan maupun
penerapannya di lapangan, sistem BPR Malaysia tergolong
baik. BPR Malaysia mengatur sangat detail segala hal
mengenai pemberantasan korupsi (Ermansjah, 2010: 445).
Permasalahan BPR Malaysia ialah independensinya.
Independensi BPR Malaysia kurang jelas dan tegas karena
masih berada di bawah administrasi kantor Perdana Menteri
34
Malaysia. Selain itu mengenai sumpah jabatan pada waktu
pejabat teras BPR Malaysia dilantik, susunan kalimatnya
ditentukan oleh Perdana Menteri. Hal ini secara psikologis
berarti BPR Malaysia harus setia kepada Pemerintah atau
Perdana Menteri.
Masalah lain dari BPR Malaysia ialah bagaimana
mekanisme
pertanggungjawabannya.
Sebagai
contoh,
di
Australia ICAC New South Wales bertanggung jawab melalui
Parliamentary Joint Committee yang ada di parlemen.
Demikian juga di Thailand, NCCC (National Counter
Corruption Commission) bertanggung jawab kepada parlemen.
Di Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi diatur
pertanggungjawabannya berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan rumusan Pasal
20 tersebut berarti Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
melakukan
pertanggungjawabannya
sudah
diatur
secara
sistematis dan jelas, sehingga independensinya juga jelas
(Ermansjah, 2010: 447-448).
2) Komisi Pemberantasan Korupsi Thailand (NCCC/Nation
Counter Corruption Commision)
Thailand adalah sebuah negara di Asia Tenggara yang
berbeda dengan negara-negara tetangganya seperti Vietnam,
35
Laos,
Kamboja,
Burma,
Malaysia,
dan
Indonesia.
Perbedaannya ialah, Thailand tidak pernah dijajah oleh negara
barat.
Setelah
terjadinya
coup
d’etat
yang
berhasil
menggulingkan kerajaan absolut pada tahun 1932 yang
dilakukan oleh militer, sampai tahun tujuh puluhan Thailand di
bawah kekuasaan rezim militer. Pada akhirnya pada tahun 1973
dengan demonstrasi besar-besarnya yang dilakukannya oleh
mahasiswa dan pelajar Thailand, berhasil membawa Thailand
ke sistem pemerintahan demokrasi.
Pembangunan di Thailand terus berlanjut dengan disertai
upaya keras untuk memberantas korupsi yang telah merajalela
sejak kediktatoran rezim militer. Sebelum tahun 1975,
penyidikan dan pemberantasan korupsi dilakukan oleh penegak
hukum kepolisian, dan pengawasan dilakukan di dalam badanbadan secara sistem pengawasan melekat sebagaimana di
Indonesia dilakukan oleh inspektorat jenderal pada masingmasing departemen. Adapun undang-undang yang diterapkan
adalah undang-undang hukum pidana umum dan peraturan
kepegawaian yang ditambah dengan beberapa delik-delik
korupsi yang berkaitan dengan penegakan hukum bidang
pemberantasan korupsi.
Rakyat Thailand banyak melihat para pejabat mencari
kekayaan dengan melakukan korupsi karena memanfaatkan
36
jabatan publik yang dipegangnya. Mereka yang ingin
memberantas korupsi justru tidak memiliki kemampuan untuk
bertindak,
bahkan
banyak
yang
jabatannya. Di sisi lain, bukan
justru
tersingkir
dari
hanya undang-undang
pemberantasan korupsi yang kurang lengkap tetapi, ada tekanan
dari kekuatan tertentu yang menekan dan mengintimidasi para
penyidik
pemberantasan
korupsi,
sehingga
tugas
yang
dijalankan tidak efektif dan efisien. Adanya suatu kesadaran
bahwa racun korupsi muncul dalam kebijakan negara, ini
terdapat dalam konstitusi Thailand 1974, Pasal 66 yang
menyatakan bahwa negara harus mengorganisasikan sistem
yang efisien dalam tugas-tugas pelayanan pemerintahan dan
pekerjaan lain dari negara dan harus mengambil segala langkah
untuk mencegah serta memberantas korupsi (Ermansjah, 2010:
463-465).
Di Thailand, ada empat pejabat tinggi negara yang
memprakarsai pemberantasan korupsi yaitu Profesor Sanya
Dhamasakti, Perdana Mentei, Mayor Jenderal Polisi Atthasit,
dan Menteri dalam Negeri bersama-sama dengan anggota
parlemen. Mereka telah melakukan penyusunan undang-undang
pemberantasan korupsi yang diberi nama Counter Corruption
Act, 1975. NCCC bertanggung jawab kepada Perdana Menteri,
sama seperti di Malaysia dan Hongkong (Chief Executive).
37
Kemudian kinerja dari NCCC ternyata kurang efektif,
dikarenakan kewenangannya yang sangat terbatas dan disertai
sistem pertanggungjawaban yang tidak independen yang
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Counter Corruption
Act, 1975, 1978. Selanjutnya pada tanggal 8 November 1999
diterbitkan undang-undang baru tentang pemberantasan korupsi
bernama Organic Act on Counter Corruption, dan komisi
pemberantasan korupsi dibentuk dan diberi nama NCCC (The
National Counter Corruption Commision) yang ketuanya
disebut President. NCCC terdiri atas seorang ketua, dan
delapan anggota yang terdiri dari satu skretaris jenderal, dua
asisten sekretaris jenderal, empat deputi sekretaris jenderal
yang diangkat oleh Raja dengan nasehat dari Senat, dan
pertanggungjawabannya langsung kepada Raja (Ermansyah,
2009: 373). Presiden NCCC berasal dari pensiunan berusia 70
tahunan, yang juga direkrut dari kalangan pejabat publik atau
mantan pejabat publik, jadi dari kalangan yang berpengalaman
di bidang administrasi negara. Di Thailand secara formal tidak
ada kaitan antara Perdana Menteri dan Presiden NCCC
Thailand. NCCC Thailand dapat menyidik Perdana Menteri,
seperti yang pernah dilakukan di antaranya terhadap Perdana
Menteri Thaksin.
38
Tugas dan kewenangan NCCC di Thailand mempunyai
beberapa persamaan dan perbedaan dengan tugas dan
kewenangan KPK di Indonesia. Persamaan tugas dan
kewenangan NCCC Thailand dengan KPK di Indonesia yaitu
mengambil tindakan untuk mencegah korupsi dan membangun
sikap berkaitan dengan integritas dan kejujuran dalam
mengambil tindakan untuk memberantas korupsi. Selain
persamaan itu, NCCC Thailand melakukan pemeriksaan faktafakta kasus yang di Indonesia disebut dengan penyelidikan.
Dalam melakukan penyelidikan maupun penyidikan, NCCC
Thailand masih melibatkan kepolisian dan kejaksaan sama
seperti KPK di Indonesia. Jikalau terdapat unsur korupsi maka
NCCC Thailand langsung melaporkan kepada senat supaya
pejabat itu dipecat dan unsur korupsinya diajukan ke Kejaksaan
Agung
untuk
diajukan
penuntutannya
ke
Pengadilan.
Pemberantasan korupsi melalu NCCC di Thailand termasuk
berhasil menurunkan tingkat korupsinya (Tumbur Ompu, 2012:
104)
NCCC Thailand memiliki dua hal yang sangat baik yang
tidak terdapat pada komisi pemberantasan korupsi di negara
lain. Dua hal tersebut yaitu tentang pengangkatan dan tanggung
jawab NCCC Thailand yang sangat rapi dan terperinci.
Pengangkatannya melalui penjaringan yang sangat ketat oleh
39
Komisi Seleksi Anggota NCCC Thailand yang sangat
independen, sehingga secara formil, yang paling baik dalam
sistem
pengangkatan
dan
rekrutmen
pejabat
komisi
pemberantasan korupsi adalah Thailand.
Pertanggungjawaban
NCCC
Thailand
juga
sangat
independen, yaitu langsung kepada Raja, karena berbeda
dengan BPR Malaysia yang bertanggung jawab kepada Perdana
Menteri
(Ermansjah,
2010:
474).
Adapun
Komisi
Pemberantasan Korupsi atau KPK di Indonesia berdasarkan
Pasal 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
bertanggung jawab kepada:
(a) Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada
publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan
laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden
Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
(b) Pertanggungjawaban publik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan dengan cara:
(1) Wajib audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban
keuangan sesuai dengan program kerja.
(2) Menerbitkan laporan tahunan.
40
(3) Membuka akses informasi (Himpunan Peraturaan
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, 2004: 137-138).
3) ICAC
Commission
(Independent
Against
Corruptions)
Hongkong
ICAC (Independent Commission Against Corruption)
Hongkong dibentuk pada tanggal 17 Oktober 1973 oleh
Gubernur
bertanggung
Hongkong.
jawab
Sebelumnya
kepada
ICAC
Gubernur,
tetapi
Hongkong
sekarang
bertanggung jawab kepada Chief Executive Hongkong SAR
(Special Administrative Region). ICAC Hongkong dipimpin
oleh Commissioner dan dibantu oleh empat kepala divisi.
Kepala divisi-divisi tersebut ialah Operation Departement,
Corruption Prevention Departement, Community Relations
Departement, Administration Branch.
Integritas commissioner dan ketiga kepala divisi serta
pejabat lain sangat tinggi. Mereka diangkat melalui seleksi
ketat dan mengikuti pelatihan khusus. Begitu pula sistem
penggajiannya di atas gaji pegawai negeri. Jumlah pegawainya
juga lebih banyak dibandingkan dengan luas wilayah dan
jumlah penduduk Hongkong. Di tahun 1999, jumlah pegawai
ICAC Hongkong sebanyak 1.299 orang. Jumlah tersebut
terbagi dalam 943 pegawai bidang operasi, 58 pegawai bidang
41
prevensi, 212 pegawai bidang hubungan masyarakat, dan 86
pegawai bidang administrasi (Ermansjah, 2013: 402-403).
Salah satu faktor dibentuknya ICAC Hongkong dan
dihapusnya kantor anti korupsi di kepolisian karena berhasilnya
Peter Godber meloloskan diri keluar negeri ketika masih
berlakunya ACO (Anti Corruption Office). Alasan kepolisian
tidak bersedia menangkap Peter Godber karena ada korupsi
terorganisasi di lingkungan kepolisian Hongkong. Jika negara
lain memulai pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi
karena korupsi telah meluas, tetapi Hongkong membentuk
ICAC dalam keadaan dimana para hakim masih bersih dari
korupsi. Korupsi di Hongkong hanya merajalela di kalangan
kepolisian (Tumbur Ompu, 2012: 71).
Pembentukan ICAC Hongkong sebagai badan khusus
yang independen pada tahun 1973 hingga sekarang hampir
berumur 42 tahun dan tetap diperlukan serta dipertahankan
karena kinerjanya sangat berhasil dalam memberantas korupsi.
Pemberantasan korupsi di Hongkong telah
sepenuhnya
ditangani ICAC Hongkong dengan tidak melibatkan kepolisian,
hanya dalam hal penuntutan masih dilakukan oleh penuntut
umum Kejaksaan Agung Hongkong. Perbedaannya dengan di
Indonesia, KPK Indonesia dalam pelaksanaan penuntutan tetap
42
dilakukan penuntut umum. Komisi Pemberantasan Korupsi
Indonesia masih melibatkan kepolisian dan kejaksaan.
Indrianto Seno Adji (2009: 178) berpendapat bahwa di
antara negara-negara berkembang, Hongkong yang memiliki
Komisi Independen yang dianggap berhasil memberantas
korupsi. Independent Commission Against Corruption (ICAC)
Hongkong memiliki kharisma. Oleh karena itu keberadaan
ICAC Hongkong tetap dipertahankan oleh Hongkong SAR
sebagai Institusi pemberantasan korupsi di Hongkong. ICAC
Hongkong dapat dikatakan sukses dalam pemberantasan
korupsi dan dijadikan contoh oleh negara-negara lain.
Keberhasilan pemberantasan korupsi di Hongkong
disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut.
(a) Adanya political will pemerintah, baik pada zaman
kolonial Inggris maupun pada zaman Hongkong SAR yang
melanjutkannya
dengan
sungguh-sungguh
dalam
memberantas korupsi, baik lewat cara represif maupun
preventif dan pendidikan kepada masyarakat.
(b) Terjamin integritas dan kejujuran para hakim saat ICAC
Hongkong dibentuk.
(c) Disediakan budget atau anggaran operasional ICAC
Hongkong yang sangat besar.
43
(d) ICAC
menggunakan
teknologi
canggih
dalam
melaksanakan semua kegiatan.
(e) Masyarakat
diikutsertakan
dalam
pelaksanaan
pemberantasan korupsi.
Perbedaan kewenangan ICAC Hongkong dengan KPK
Indonesia ialah tentang penyelidikan. Penyelidikan pada KPK
Indonesia tidak dilakukan oleh Badan Intelijen tetapi dilakukan
oleh Direktorat Penyelidikan dalam Deputi Bidang Penindakan.
Penyidik KPK Indonesia hanya dapat melakukan penyelidikan
dan penyidikan pada sektor publik yang berhubungan dengan
penyelenggaraan negara dan pihak swasta yang menjalankan
kepentingan publik. Berbeda dengan di Hongkong, ICAC dapat
melakukan penyelidikan dan penyidikan pihak swasta dan
pemerintah tidak ada pengecualian. ICAC Hongkong memiliki
kewenangan
untuk
memberantas
korupsi
terlepas
dari
kepolisian, sedangkan KPK Indonesia masih melibatkan
kepolisian dan kejaksaan dalam penyelidikan dan penyidikan.
Penuntutan perkara korupsi KPK Indonesia dapat melakukan
penuntutan langsung sebagai penuntut umum sendiri, tetapi
ICAC Hongkong dalam penuntutan dilimpahkan kepada
penuntut umum Kejaksaan Agung Hongkong.
e. Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai Lembaga Independen
44
Komisi
Pemberantasan
Korupsi
(KPK)
dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK diberi amanat
melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan
berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat
independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bebas dari kekuasaan manapun. KPK dibentuk bukan untuk
mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembagalembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan undang-undang
menyebutkan peran KPK sebagai trigger mechanism, yang berarti
mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan
korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi
lebih efektif dan efisien. Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK
berpedoman
keterbukaan,
kepada
lima
akuntabilitas,
asas,
yaitu
kepentingan
kepastian
umum,
hukum,
dan
proposionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan
menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada
Presiden, DPR, dan BPK.
KPK dipimpin oleh Pimpinan KPK yang terdiri atas lima
orang, seorang ketua merangkap anggota dan empat orang wakil
ketua merangkap anggota. Kelima pimpinan KPK tersebut
merupakan pejabat negara, yang berasal dari unsur pemerintahan
dan unsur masyarakat. Pimpinan KPK memegang jabatan selama
45
empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa
jabatan. Dalam pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat
kolektif kolegial.
Pimpinan KPK membawahi empat bidang, yang terdiri atas
bidang Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, serta
Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. Masing-masing
bidang tersebut dipimpin oleh seorang deputi. KPK juga dibantu
Sekretariat Jenderal yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
Republik Indonesia, namun bertanggung jawab kepada pimpinan
KPK.
Ketentuan mengenai struktur organisasi KPK diatur
sedemikian rupa sehingga memungkinkan masyarakat luas tetap
dapat berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-langkah yang
dilakukan KPK. Dalam pelaksanaan operasional, KPK mengangkat
pegawai yang direkrut sesuai dengan kompetensi yang diperlukan
(http://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/sekilas-kpk).
Dalam hal struktur kelembagaan Komisi Pemberantasan
Korupsi tidak lebih tinggi dari Kejaksaan maupun Kepolisian.
Independensi KPK dilihat dari segi fungsionalnya. Komisi
Pemberantasan Korupsi memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari
segi fungsi KPK ini, dan sebagai bagian dari constitutional
importance KPK. Komisi Pemberantasan Korupsi juga independen
46
dalam hal personal untuk melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya.
3. State Auxiliary Body
Sebelum perubahan UUD1945, biasa dikenal adanya istilah
lembaga pemerintah, lembaga departemen, lembaga pemerintah
non departemen, lembaga negara, lembaga tinggi negara, dan
lembaga tertinggi negara. Dalam hukum tata negara biasa dipakai
pula istilah yang menunjuk kepada pengertian yang lebih terbatas,
yaitu alat perlengkapan negara yang biasanya dikaitkan dengan
cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif
(Jimmly, 2010: 37).
Salah satu konsekuensi dari dilakukannya perubahan
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 adalah munculnya beragam penafsiran mengenai lembaga
negara, akibat kekurangjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dalam
mengatur lembaga negara. Hal ini dapat terlihat dari tidak adanya
kriteria untuk menentukan apakah suatu lembaga dapat diatur atau
tidak dalam konstitusi. Ditinjau dari berbagai penafsiran yang ada,
salah satunya adalah penafsiran yang membagi lembaga negara
menjadi lembaga negara utama (state main organ) dan lembaga
negara bantu (state auxiliary body). Lembaga negara utama
mengacu kepada paham trias politica yang memisahkan kekuasaan
menjadi tiga poros (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Dengan
47
menggunakan pola pikir ini, yang dapat dikategorikan sebagai
lembaga negara utama menurut Undang-Undang Dasar 1945
adalah MPR, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah
Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Dengan demikian,
lembaga-lembaga lain yang tidak termasuk kategori tersebut
merupakan
lembaga
negara
yang
independen.
(http://blog.unsri.ac.id/download/4770.pdf).
Kemunculan lembaga negara yang dalam pelaksanaan
fungsinya tidak secara jelas memposisikan diri sebagai salah satu
dari tiga lembaga trias politica mengalami perkembangan pada tiga
dasawarsa terakhir abad ke 20 (dua puluh) di negara-negara yang
telah mapan berdemokrasi. Istilah state auxiliary body oleh para
pakar dan sarjana hukum tata negara diartikan berbeda. State
auxiliary body lebih tepat diartikan sebagai “lembaga negara
independen”.
Di
mempertahankan
sisi
istilah
lain
M.
state
Laica Marzuki
auxiliary
cenderung
institutions
untuk
menghindari kerancuan dengan lembaga lain yang berkedudukan
di
bawah
lembaga
negara
konstitusional
(http://wwwpsikologcint.blogspot.co.id/2013/02/memperkuateksistensi-kpk-sebagai.html). Kedudukan lembaga-lembaga ini
48
tidak berada dalam ranah cabang kekuasaan eksekutif, legislatif,
maupun yudikatif.
Lembaga negara independen sekilas memang menyerupai
NGO (Non Goverment Organization) karena berada di luar struktur
pemerintahan
eksekutif.
Walaupun
demikian
dilihat
dari
keberadaannya yang bersifat publik, sumber pendanaan yang
berasal dari publik, serta bertujuan untuk kepentingan publik,
membuatnya tidak dapat disebut sebagai NGO dalam arti
sebenarnya. Sebagian ahli tetap mengelompokkan lembaga
independen semacam ini dalam lingkup kekuasaan eksekutif,
namun terdapat pula beberapa sarjana yang menempatkannya
secara tersendiri sebagai cabang keempat dalam kekuasaan
pemerintahan. Secara teoretis, lembaga negara independen bermula
dari kehendak negara untuk membuat lembaga negara baru yang
pengisian anggotanya diambil dari unsur non negara, diberi otoritas
negara, dan dibiayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai
negara. Gagasan lembaga negara independen sebenarnya berawal
dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan
dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk mengawasi. Jadi, meskipun negara masih tetap
kuat, lembaga ini diawasi oleh masyarakat sehingga tercipta
akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal. Munculnya state
auxiliary body dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan
49
masyarakat atas terciptanya prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap
penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yang akuntabel,
independen, serta dapat dipercaya. Selain itu, faktor lain yang
memicu terbentuknya lembaga negara ini adalah terdapatnya
kecenderungan dalam teori administrasi kontemporer untuk
mengalihkan tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administratif
menjadi bagian dari tugas lembaga independen.
Berkaitan
mengklasifikasikan
dengan
jenis
sifatnya
lembaga
tersebut,
ini
menjadi
John
dua,
Alder
yaitu
regulatory, yang berfungsi membuat aturan serta melakukan
supervisi terhadap aktivitas hubungan yang bersifat privat, dan
advisory, yang berfungsi memberikan masukan atau nasihat kepada
pemerintah(http://farizpradiptalaw.blogspot.com/2009/12/keduduk
an-lembaga-negara-bantu-didalam.html).
B. Sistem Ketatanegaraan di Indonesia
1. Pengertian Sistem
Lani Sidharta berpendapat bahwa, sistem merupakan
himpunan dari bagian-bagian yang saling berhubungan yang secara
bersama mencapai tujuan-tujuan yang sama. Kemudian menurut
Pamudji (Syafiie, 2003: 1) pengertian sistem adalah suatu
kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau terorganisir, suatu
himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang
50
membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau
utuh.
Sistem
adalah
keseluruhan
bagian
yang
saling
mempengaruhi satu sama lainnya menurut rencana yang telah
ditentukan, untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Kemudian
menurut Shorde, Votch dan Satjipto Rahardjo (Mustafa, 2003: 45) bahwa :
Sistem ini mempunyai dua pengertian yang penting untuk
dikenali, sekalipun dalam pembicaraan-pembicaraan
keduanya sering dipakai tercampur begitu saja. Yang
pertama adalah pengertian sistem sebagai jenis satuan, yang
mempunyai tatanan tertentu. Tatanan tertentu disini
menunjukan kepada suatu struktur yang tersusun dari
bagian-bagian. Kedua sistem sebagai suatu rencana, metode
atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu.
John Mc Manama berpendapat bahwa, sistem yaitu sebuah
struktur konseptual yang tersusun dari fungsi-fungsi yang saling
berhubungan yang bekerja sebagai suatu kesatuan organik untuk
mencapai suatu hasil yang diinginkan secara efektif dan efisien.
Kemudian
menurut
Winterton
dalam
Peter
de
Cruz
yang
diterjemahkan oleh Narulita Yusron yaitu, sistem hukum merupakan
sekumpulan peraturan dan institusi dari suatu negara, sedangkan arti
sistem hukum lebih luas adalah teknik atau cara-cara yang digunakan
oleh sejumlah negara, dimana sistem hukumnya memiliki kesamaan
secara umum (de Cruz, 2010: 4-5). Menurut Sudikno Mertokusumo
(Efran Helmi Juni, 2012: 275) sistem hukum adalah tatanan tentang
51
apa yang seharusnya, sehingga sistem hukum merupakan sistem yang
normatif.
Sistem hukum Indonesia merupakan suatu kesatuan hukum
yang berdasarkan pada Pancasila, berlaku di seluruh Indonesia,
dibentuk untuk mencapai tujuan negara yang bersumber pada
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sebab di dalam pembukaan
dan pasal-pasal Undang-Undang Dasar terdapat tujuan, dasar, dan citacita hukum Indonesia. Di dalamnya mengandung nilai-nilai budaya
bangsa Indonesia yang tumbuh dan berkembang dalam kesadaran
hidup bermasyarakat selama berabad-abad.
2. Pengertian Hukum Tata Negara
Hukum tata negara merupakan keseluruhan peraturan atau
norma hukum yang mengatur tentang dasar dan tujuan negara,
bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem pemerintahan, struktur
organisasi kekuasaaan negara dan pembagian wewenang serta
tugasnya, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, serta hakhak dan kewajiban warga negara. Hukum tata negara menurut
kamus hukum adalah keseluruhan dari norma-norma hukum yang
mengatur bagaimana negara harus dibentuk, pemerintahan negara
harus diselenggarakan, badan-badan pemerintahan, perundangundangan dan peradilan harus disusun dengan penentuan
kekuasaan-kekuasaan masing-masing badan itu dan hubungan
52
kekuasaan antara satu sama lain (Subekti dan Tjitrosoedibio, 1973:
54).
Menurut Hans Kelsen, hukum tata negara adalah hukum
mengenai “der wohlende staat”, yang memberi bentuk negara, hal
mana tercantum dalam undang-undang dasarnya (Kansil dan
Christine, 2008: 21). Pendapat Mr. W. F.Prins mengenai hukum
tata negara bahwa hukum tata negara menentukan aparatur negara
yang fundamental yang langsung berhubungan dengan setiap
warga masyarakat.
Van Vollenhoven (Sugiarto, 2013: 248) memberikan
definisi hukum tata negara ialah keseluruhan peraturan hukum
yang membentuk alat perlengkapan (organ) negara dengan
memberikan wewenang kepada alat perlengkapan negara itu, untuk
membagikan tugas pemerintahan kepada berbagai alat-alat
perlengkapan negara yang lebih tinggi maupun yang rendah.
Selanjutnya menurut CW Van Der Pot dalam Kartasapoetra (1987:
2) berdasarkan bukunya “Handboek van
Het Nederlands
Staatsrecht”, memberi batasan Hukum Tata Negara yaitu hukum
mengatur semua masyarakat hukum tingkat atasan dan bawahan,
yang selanjutnya menentukan wilayah lingkungan rakyatnya,
menentukan badan-badan yang berkuasa, berwenang dan berfungsi
dalam lingkungan masyarakat hukum tersebut.
53
Kusmadi Pudjosewojo dalam bukunya dengan berdasarkan
pada definisi yang diberikan Van Vollenhoven memberikan
definisi hukum tata negara sebagai berikut (Kansil dan Christine,
2008: 22-23)
Hukum Tata Negara merupakan hukum yang mengatur
bentuk negara dalam hubungan kesatuan atau federal dan
bentuk-bentuk pemerintah dalam hubungan kerajaan atau
republik yang menunjuk masyarakat-masyarakat hukum
yang atasan dan masyarakat hukum yang bawahan beserta
tingkatan imbangannya (hierarchie) yang selanjutnya
menegaskan wilayah dan lingkungan dari masyarakat
hukum itu, dan akhirnya menunjukan alat-alat perlengkapan
negara yang memegang kekuasaan penguasa dari
masyarakat-masyarakat hukum itu beserta susunan,
wewenang tingkatan imbangan dari dan antara alat-alat
perlengkapan itu.
Berkaitan dengan hukum tata negara, maka menurut
Wirjono Prodjodikoro bahwa tujuan hukum tata negara pada
hakikatnya adalah sama dengan tujuan hukum, oleh karena itu
sumber utama hukum tata negara adalah konstitusi. Tujuan
konstitusi adalah mengadakan tata tertib dalam berbagai lembaga
negara dan wewenangnya serta cara bekerjanya dalam hal
penyebutan
hak-hak
asasi
manusia
yang
harus
dijamin
perlindungannya.
3. Sistem Ketatanegaraan di Indonesia
Tata negara berarti sistem penataan negara, yang berisi
ketentuan mengenai struktur kenegaraan dan substansi norma
kenegaraan (Jimly, 2009: 15). Negara adalah suatu organisasi yang
54
meliputi wilayah, sejumlah rakyat, dan mempunyai kekuasaan
berdaulat. Setiap negara memiliki sistem politik yaitu pola
mekanisme atau pelaksanaan kekuasaan, sedangkan kekuasaan
adalah hak dan kewenangan serta tanggung jawab untuk mengelola
tugas tertentu. Pengelolaan suatu negara inilah yang disebut
dengan sistem ketatanegaraan.
Dalam suatu negara selalu terdapat orang-orang atau badanbadan yang memegang kekuasaan
(Pudjosewojo, 2004: 112).
Orang-orang dan badan-badan itu, berdasarkan pembagian
kekuasaan bekerja sama untuk mencapai tujuan yang sama.
Pembagian kekuasaan berarti bahwa orang-orang dan badan-badan
itu masing-masing, dalam rangka tujuan yang sama, mempunyai
kekuasaan tertentu.
Hasil
amandemen
Undang-Undang
Dasar
1945
telah
membawa berbagai perubahan yang signifikan bagi sistem
ketatanegaraan di Indonesia. Berbagai perubahan itu diantaranya,
penegasan prinsip kedaulatan rakyat dan negara hukum, perubahan
sistem hubungan pusat dan daerah, muncul lembaga-lembaga baru
seperti Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Pimpinan Pusat,
Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.
Perkembangan
menimbulkan
sistem
perubahan
ketatanegaraan
untuk
di
Indonesia,
memenuhi
kebutuhan
ketatanegaraan yang semakin kompleks dan rumit. Akibat dari
55
perubahan
ketatanegaraan
adalah
munculnya
fungsi-fungsi
kekuasaan yang biasanya melekat dalam fungsi lembaga-lembaga
eksekutif, legislatif, dan yudikatif beralih menjadi fungsi organ
tersendiri yang bersifat independen. Oleh sebab itu, lembagalembaga tersebut menjalankan fungsi yang bersifat campuran dan
independen (independen bodies).
Salah satu lembaga independen yaitu Komisi Pemberantasan
Korupsi belum diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang
Dasar 1945, melainkan diatur dalam undang-undang. Akan tetapi
pengaturannya berkaitan erat dengan delegasi pengaturan yang
ditentukan oleh Pasal 24 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan bahwa :
“Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam Undang-Undang”.
Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa Komisi Pemberantasan
Korupsi constitutional importance yang setara dengan lembaga
lain yang diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar
1945. Dalam sistem ketatanegaraan suatu lembaga tidak dianggap
lebih penting dari lembaga lain, hanya karena diatur dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dan yang lain belum diatur atau masih
diatur dengan undang-undang (Jimly, 2010: 20-21).
KPK sebagai lembaga yang berada di luar cabang kekuasaan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif, namun justru mempunyai fungsi
“campur” dari ketiganya. Keberadaan Komisi Pemberantasan
56
Korupsi tidak berada di luar sistem ketatanegaraan melainkan
justru secara yuridis ditempatkan dalam sistem ketatanegaraan.
Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan kewenangannya
berdasarkan undang-undang dan independen, serta mandiri dari
pengaruh lembaga negara lain (main organ).
C. Landasan Teori
1. Teori Pembagian Kekuasaan
Pembagian atau pemisahan kekuasaan negara merupakan
prinsip yang fundamental dalam sebuah negara hukum. Selain karena
berfungsi membatasi kekuasaaan dari lembaga-lembaga penyelenggara
negara, pemisahan kekuasaan negara juga untuk mewujudkan
spesialisasi fungsi dalam rangka mencapai efisiensi yang maksimum,
sesuai dengan tuntutan zaman yang modern (Sirajuddin dan
Zulkarnaen, 2006: 23).
Teori mengenai pemisahan dan pembagian kekuasaan negara
menjadi sangat penting artinya untuk melihat bagaimana posisi atau
keberadaan kekuasaan dalam sebuah struktur kekuasaan negara.
Gagasan mengenai pemisahan dan pembagian kekuasaan mendapatkan
dasar pijakan antara lain dari pemikiran John Locke dan Montesquieu
(Bambang dan Sri, 2004: 17). Pendapat kedua ahli tersebut ialah
sebagai berikut.
a. John Locke
57
Dalam
bukunya
yang
berjudul
“Two
Treaties
of
Government”, John Locke mengusulkan agar kekuasaan di dalam
negara itu dibagi-bagi kepada organ-organ negara yang berbeda.
Menurut John Locke agar pemerintahan tidak sewenang-wenang
harus ada pembedaan pemegang kekuasaan dalam negara ke
dalam tiga macam kekuasaan, yaitu:
1) Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)
2) Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang)
3) Kekuasaan Federatif (melakukan hubungan diplomatik dengan
negara-negara lain)
b. Montesquieu
Dalam bukunya “L’esprit des Lois”, Montesquieu pada tahun
1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari yang
ditawarkan oleh John Locke. Menurutnya untuk tegaknya negara
demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam
tiga poros kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif (pembuat undangundang),
kekuasaan
eksekutif
(pelaksana
undang-undang),
kekuasaan yudikatif (peradilan/kehakiman untuk menegakan
perundang-undangan kalau terjadi pelanggaran). Ketiga poros
kekuasaan tersebut masing-masing terpisah satu sama lain, baik
mengenai orangnya maupun fungsinya. Ajaran tentang pemisahan
kekuasaan ke dalam tiga pusat kekuasaan dari Montesquieu
58
kemudian oleh Imannuel Kant diberi nama Trias Politica
(Moh.Mahfud MD, 1993: 82-83).
Jika dibandingkan antara pendapat Locke dan Montesquieu,
terdapat perbedaan sebagai berikut.
a. Menurut Locke, kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang
mencakup kekuasaan yudikatif, karena mengadili itu berarti
melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif
(hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
b. Menurut Montesquieu, kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan
federatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk
kekuasaan eksekutif sedangkan kekuasaan yudikatif harus
merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari
eksekutif.
Dalam perkembangannya, ternyata cara pembedaan kekuasaan
yang dilakukan oleh Montesquieu lebih dapat diterima. Akan tetapi
dalam praktek ketatanegaraan, konsep trias politica sulit dilaksanakan
secara murni dan konsekuen ( Bambang dan Sri Hastuti, 2004: 18-19).
Teori trias politica yang dikemukakan oleh Montesquieu mendapat
kritik karena tidak bisa dilaksanakan secara murni dan dianggap tidak
sesuai dengan kenyataan. E.Utrecht mengemukakan dua keberatan
terhadap teori trias politica untuk dipraktikan seluruhnya dalam
negara modern ( E. Utrecht, 1986: 20-30). Keberatan tersebut antara
lain :
59
a. Pemisahan mutlak yang seperti dikemukakan Montesquieu,
mengakibatkan adanya badan kenegaraan yang tidak dapat
ditempatkan di bawah penguasaan suatu badan kenegaraan lain.
Tidak ada pengawasan berarti kemungkinan suatu badan
kenegaraan untuk melampaui batas kekuasaannya. Oleh sebab itu,
kerja sama antara masing-masing badan kenegaraan dipersulit.
Dengan demikian, tiap-tiap badan kenegaraan yang diberikan yang
berlainan dalam negara perlu diberikan kesempatan untuk saling
mengawasi.
b. Dalam negara modern atau welfare state, tugas pemerintah
bertambah
luas
untuk
mewujudkan
berbagai
kepentingan
masyarakat. Dalam hal ini, tidak mungkin diterima asas teguh
(vast beginsel) bahwa tiga fungsi tersebut masing-masing hanya
boleh diserahkan kepada suatu badan kenegaraan tertentu. Ada
banyak badan kenegaraan diserahi lebih dari satu fungsi
(kemungkinan untuk mengordinasi beberapa fungsi).
Walaupun
ajaran
Montesquieu
mendapat
kritikan,
keberadaannya sangat penting karena substansi dari ajaran tersebut
menghendaki kekuasaan dalam negara jangan sampai terpusat pada satu
tangan (badan) karena akan melahirkan kesewenang-wenangan.
Kekuasaan tersebut harus dibagi sehingga hak asasi warga negara dapat
terlindungi ( Sirajuddin dan Zulkarnaen, 2006: 24).
60
Dalam suatu negara hukum modern, satu organ atau badan
kenegaraan ini tidak hanya diserahi satu fungsi kekuasaan saja.
Kenyataan
menunjukan
bahwa
pembuat
undang-undang
yang
seharusnya tugas legislatif, ternyata eksekutif juga diikutsertakan.
Bahkan di Amerika Serikat yang dianggap kampiun dalam menjalankan
konsep pemisahan negara, ternyata dalam praktik ketatanegaraannya
dikenal sistem saling mengawasi dan saling mengadakan pertimbangan
(checks and balances system) antara kekuasaan-kekuasaan negara
tersebut. Adanya hak veto dari Presiden terhadap rancangan undangundang yang diajukan konggres Amerika pada hakekatnya sudah
mengurangi pelaksanaan teori trias politica, karena wewenang
menetapkan undang-undang oleh legislatif (konggres) sudah dikurangi
(Bambang dan Sri Hastuti, 2004: 18-19).
Menurut Kusnardi dan Bintan Saragih, Undang-Undang Dasar
1945 tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan (separation of
power)
terseb
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai State Auxiliary Body
1. Pengertian Eksistensi
Soren
Kierkegaard
adalah
pemikir
pertama
yang
memperkenalkan istilah “eksistensi” yang dipakai menurut pengertian
sekarang dalam aliran eksistensialisme.
“Esensi” berarti yang ada, maka “eksistensi” dimengerti sebagai yang
berada. Konsep eksistensi menunjuk pada sesuatu yang hadir secara
konkrit, memiliki efek, jelas, pasti, kelihatan dan yang lakukan
sesuatu. Istilah eksistensi pada manusia hanya dapat diterapkan pada
individu-individu konkrit. Seorang pribadi yang konkrit saja yang
bereksistensi. Bereksistensi atau berada berarti terus-menerus
mengambil keputusan bebas, bertanggung jawab untuk membuat
pilihan baru secara personal dan subjektif. Eksistensi berarti diri yang
otentik sebagai aktor, pelaku kehidupan dan bukan sebagai spektator
kehidupan atau penonton belaka (Hardiman, 2007: 244-255).
Pengertian Eksistensi didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) online Kementrian Pendidikan Nasional berarti, hal berada
atau suatu keberadaan. (http//bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php).
Eksistensi adalah suatu proses yang dinamis, suatu, menjadi atau
mengada. Ini sesuai dengan asal kata eksistensi itu sendiri, yakni
exsistere, yang artinya keluar dari, melampaui atau mengatasi. Jadi
Eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur atau
kenyal dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran,
tergantung
pada
kemampuan
dalam
potensinya (Abidin Zaenal, 2007: 16).
mengaktualisasi
potensi-
21
2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
a. Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi
Komisi Pemberantasan mempunyai 5 (lima) tugas Komisi
Pemberantasan
koordinasi
Korupsi.
dengan
Tugas
instansi
yang
yang
pertama,
melakukan
berwenang
melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Kedua, melakukan supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi. Ketiga, Komisi Pemberantasan Korupsi
bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi. Keempat, melakukan tindakantindakan pencegahan tindak pidana korupsi. Tugas yang kelima,
Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan monitor terhadap
penyelenggaraan pemerintahan negara (Ermansjah, 2008 : 187).
b. Kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi
Selain melakukan 5 (lima) tugas, Komisi Pemberantasan
Korupsi juga memiliki beberapa kewajiban. Kewajiban-kewajiban
tersebut antara lain :
1) Memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang
menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan
mengenai terjadinya tindak pidana korupsi.
2) Memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan
atau memberikan bantuan untuk memperoleh data lain yang
22
berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang
ditanganinya.
3) Menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada
Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
4) Menegakkan sumpah jabatan.
5) Menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya
berdasarkan asas-asas sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi (Ermansjah, 2008: 196).
c. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi
Kewenangan-kewenangan
yang
dimiliki
Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagaimana yang diamanatkan di
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai pendukung
pelaksanaan tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
1) Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi
berwenang:
(a) Mengkoordinasikan
penyelidikan,
penyidikan,
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
dan
23
(b) Menetapkan
sistem
pelaporan
dalam
kegiatan
pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang
terkait.
(c) Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi kepada instansi yang terkait.
(d) Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan
instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi.
(e) Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan
tindak pidana korupsi.
(f) Wewenang lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 12, 13,
dan 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
2) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantaan Korupsi
berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan
terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnnya
yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi,
dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.
3) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksusd
pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga
mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku
tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian
atau kejaksaan.
24
4) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih
penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib
menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat
bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling
lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal
diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 8 ayat (3) bahwa:
Ketentuan ini bukan diartikan penyerahan fisik melainkan
penyerahan wewenang, sehingga jika tersangka telah
ditahan oleh kepolisian atau kejaksaan maka tersangka
tersebut tetap dapat ditempatkan dalam tahanan kepolisian
atau tahanan kejaksaan atau Komisi Pemberantasan
Korupsi meminta bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan
Negara untuk menempatkan tersangka di dalam Rumah
Tahanan tersebut.
5) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan
sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian dan
kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi.
6) Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
8,
dilakukan
oleh
Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan alasan:
(a) Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak
dilanjuti.
25
(b) Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarutlarut atau
tertunda-tunda tanpa alasan
yang dapat
dipertanggungjawabkan.
(c) Penanganan
melindungi
tindak pidana korupsi
pelaku
tindak
ditujukan
untuk
korupsi
yang
pidana
sesungguhnya.
(d) Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena
campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif
(e) Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau
kejaksaan,
penanganan
dilaksanakan
secara
tindak
pidana
baik
korupsi
dan
sulit
dapat
dipertanggungjawabkan.
7) Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9, Komisi Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada
penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak
pidana korupsi yang sedang ditangani.
8) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi yang:
(a) Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara,
dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
26
penyelenggara negara. Dalam penjelasan Pasal 11 huruf a
dijelaskan bahwa; yang dimaksud dengan “penyelenggara
negara” adalah sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme, termasuk Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
(b) Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau
(c) Menyangkut
kerugian
negara
paling
sedikit
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
9) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
(a) Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
(b) Memerintahkan
kepada
instansi
yang
terkait
untuk
melarang seseorang bepergian ke luar negeri.
(c) Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan
lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa
yang sedang diperiksa.
(d) Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan
lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari
korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang
terkait.
27
(e) Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka
untuk
memberhentikan
sementara
tersangka
dari
jabatannya.
(f) Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau
terdakwa kepada instansi yang terkait; dalam penjelasan
Pasal 12 huruf f dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
“tersangka atau terdakwa” adalah orang perorangan atau
korporasi.
(g) Menghentikan
transaksi
sementara
perdagangan,
suatu
dan
transaksi
perjanjian
keuangan,
lainnya
atau
pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang
dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang
diduga
berdasarkan
bukti
awal
yang
cukup
ada
hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang
diperiksa.
Dalam penjelasan Pasal 12 huruf g dijelaskan bahwa:
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari
penghilangan atau penghancuran alat bukti yang
diperlukan oleh penyelidik, penyidik, atau penuntut
atau untuk menghindari kerugian negara yang lebih
besar.
(h) Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak
hukum
negara
lain
untuk
melakukan
pencarian,
penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri.
28
(i) Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait
untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan,
dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang
sedang ditangani.
Dalam Penjelasan Pasal 12 huruf i dijelaskan bahwa:
Permintaan bantuan dalam ketentuan ini, misalnya
dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan
penahanan seseorang yang diduga melakukan tindak
pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi
meminta bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan
Negara untuk menerima penempatan tahanan tersebut
dalam Rumah Tahanan.
10) Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi
berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan
sebagai berikut:
(a) Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan
harta kekayaan penyelenggaraan negara.
(b) Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi.
(c) Menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada
setiap jenjang pendidikan.
(d) Merancang
dan
mendorong
terlaksananya
program
sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi.
(e) Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat
umum.
29
(f) Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi.
11) Dalam melaksanakan tugas monitor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi
berwenang:
(a) Melakukan
pengkajian terhadap sistem pengelolaan
administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah.
(b) Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan
pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan
hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut
berpotensi korupsi.
(c) Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, dan Badan
Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan
Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tindak
diindahkan.
d. Perbandingan Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia dengan
Negara Lain
Di setiap negara di dunia, tidak ada satupun yang bebas dari
perbuatan korupsi. Korupsi termasuk dalam sejarah perkembangan
peradaban manusia dan merupakan jenis kejahatan tertua.
Perbuatan korupsi satu negara dengan negara-negara lainnya dari
intensitas dan modus operandinya sangat tergantung pada kualitas
30
masyarakat, adat istiadat, dan sistem penegakan hukum di suatu
negara (Akil Mochtar, 2006: 43).
Di
Indonesia,
lembaga
khusus
yang
berwenang
memberantas korupsi ialah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Di negara lain seperti Malaysia, lembaga yang berwenang
memberantas korupsi disebut Badan Pencegah Rasuah. Seperti
halnya juga di Thailand, terdapat lembaga yang berwenang
memberantas korupsi. Nama komisi pemberantasan korupsi di
Thailand adalah NCCC (Nation Counter Corruption Commision).
Kemudian lembaga pemberantasan korupsi di Hongkong yang
bernama ICAC (Independent Commission Againts Corruption).
Perbandingan antara Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
dengan Malaysia, Thailand, dan Hongkong ialah :
1) Komisi
Pemberantasan
Korupsi
Malaysia
(BPR/Badan
Pencegah Rasuah)
Dalam rangka membangun negara modern yang bebas
korupsi, sejak tahun 1961 Malaya yang kemudian berkembang
menjadi Malaysia, telah mempunyai undang-undang anti
korupsi, yang pertama Undang-Undang Tahun 1961 yang
bernama Prevention of Corruption Act atau Akta Pencegah
Rasuah Nomor 57, kemudaian diterbitkan lagi Emergency
Essensial Power Ordinance Nomor 22 tahun 1970. Setelah itu
dibentuk Badan Pencegah Rasuah (BPR) berdasarkan Anti
31
Corruption Agency Act tahun 1982. Sekarang telah berlaku Anti
Corruption Act Agency 1997 yang selanjutnya disingkat ACA
yang merupakan penggabungan ketiga undang-undang dan
ordonansi tersebut ( Andi Hamzah, 1991: 38).
Organisasi Badan Pencegah Rasuah Malaysia berada
pada kantor Perdana Menteri langsung dibawahnya adalah
Direktur Jenderal atau Ketua Pengarah BPR Malaysia dibantu 2
deputy yaitu Ketua Pengarah Operasi dan Ketua Pengarah
Pencegahan yang diangkat oleh Yang Dipertuan Agung (Raja)
Yang dipertuan Raja diangkat atas nasehat Perdana Menteri dan
bertanggung jawab kepada Raja Yang Dipertuan Agung
Malaysia (Tumbur Ompu, 2012: 81).
Calon Yang Dipertuan Agung diambil dari pejabat
publik bukan dari kalangan swasta apalagi dari kalangan LSM,
juga bukan dari kalangan pensiunan pegawai negeri, karena
masa jabatannya berakhir jika tiba masa pensiunnya sebagai
pegawai negeri atau pejabat publik. Masa jabatan Ketua
Pengarah
BPR
Malaysia
ditentukan
pada
surat
pengangkatannya, begitu pula berbagai prasyaratnya. Selama
menjalani jabatannya, Ketua Pengarah BPR Malaysia berada di
bawah naungan Yang Dipertuan Agung, tetapi tunduk kepada
nasihat atau petunjuk Perdana Menteri. Ketua pengarah BPR
32
Malaysia dan pejabat lainnya adalah berusia lima puluhan
tahun.
Terdapat beberapa perbedaan tugas dan wewenang BPR
Malaysia
dengan
KPK
di
Indonesia.
Penyedilikan
pemberantasan korupsi di BPR Malaysia dilakukan oleh Bagian
atau Divisi Intelijen yang disebut Perisikan atau Intelligence
Division pada bagian dibawah Ketua Pengarah Operasi,
bertujuan membangun intelijen yang mantap, lengkap dan
tersusun melalui sistem jaringan sumber digabung dengan
intelijen profesional. Bidang aktivitasnya adalah bertanggung
jawab untuk melaksanakan intelijen yang sulit dan pengintipan
dengan tujuan untuk mengamankan dan mengkonfirmasikan
informasi yang berhubungan dengan pengaduan adanya
aktifitas korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Informasi
yang diperoleh akan dijadikan asas intelijen dan penyidikan
selanjutnya melalui sumber jaringan BPR Malaysia (Tumbur
Ompu, 2012: 89).
Pemberantasan korupsi di Malaysia dilakukan dengan
segala daya dan cara, represif yang keras, tegas, dibarengi
sistem preventif dan hubungan masyarakat yang sangat intensif,
didukung oleh political will yang prima dari pemerintah yang
disertai dengan sumber daya manusia yang profesional dan
berintegritas. Peraturan ACA juga sangat lengkap, walaupun
33
hanya dengan satu undang-undang telah mampu mencakup
semua hal dengan rumusan delik yang jelas, keras, dan
dijalankan dengan konsisten.
ACA (Anti Corruption Act) Malaysia mengatur hukum
pidana materiil, hukum pidana formil, organisasi, wewenang,
pengangkatan pejabat BPR Malaysia, wewenang penuntut
umum, dan juga delik lain yang dapat disidik oleh BPR
Malaysia. Delik lain tersebut ialah delik suap dalam Penal
Code atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Malaysia,
delik kepabeanan, dan delik pemilihan umum (pemilihan raya).
ACA juga mengatur ketentuan tentang disiplin pegawai negeri
atau pejabat publik.
Pengaturan ACA meliputi sistem jaringan pencegahan
korupsi dan hubungan masyarakat dalam bentuk propaganda
anti korupsi kepada masyarakat, sampai kepada pengkajian
Islam yang tujuannya demikian. Melihat sistem prevensi dan
hubungan masyarakatnya, baik dalam arti aturan maupun
penerapannya di lapangan, sistem BPR Malaysia tergolong
baik. BPR Malaysia mengatur sangat detail segala hal
mengenai pemberantasan korupsi (Ermansjah, 2010: 445).
Permasalahan BPR Malaysia ialah independensinya.
Independensi BPR Malaysia kurang jelas dan tegas karena
masih berada di bawah administrasi kantor Perdana Menteri
34
Malaysia. Selain itu mengenai sumpah jabatan pada waktu
pejabat teras BPR Malaysia dilantik, susunan kalimatnya
ditentukan oleh Perdana Menteri. Hal ini secara psikologis
berarti BPR Malaysia harus setia kepada Pemerintah atau
Perdana Menteri.
Masalah lain dari BPR Malaysia ialah bagaimana
mekanisme
pertanggungjawabannya.
Sebagai
contoh,
di
Australia ICAC New South Wales bertanggung jawab melalui
Parliamentary Joint Committee yang ada di parlemen.
Demikian juga di Thailand, NCCC (National Counter
Corruption Commission) bertanggung jawab kepada parlemen.
Di Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi diatur
pertanggungjawabannya berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan rumusan Pasal
20 tersebut berarti Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
melakukan
pertanggungjawabannya
sudah
diatur
secara
sistematis dan jelas, sehingga independensinya juga jelas
(Ermansjah, 2010: 447-448).
2) Komisi Pemberantasan Korupsi Thailand (NCCC/Nation
Counter Corruption Commision)
Thailand adalah sebuah negara di Asia Tenggara yang
berbeda dengan negara-negara tetangganya seperti Vietnam,
35
Laos,
Kamboja,
Burma,
Malaysia,
dan
Indonesia.
Perbedaannya ialah, Thailand tidak pernah dijajah oleh negara
barat.
Setelah
terjadinya
coup
d’etat
yang
berhasil
menggulingkan kerajaan absolut pada tahun 1932 yang
dilakukan oleh militer, sampai tahun tujuh puluhan Thailand di
bawah kekuasaan rezim militer. Pada akhirnya pada tahun 1973
dengan demonstrasi besar-besarnya yang dilakukannya oleh
mahasiswa dan pelajar Thailand, berhasil membawa Thailand
ke sistem pemerintahan demokrasi.
Pembangunan di Thailand terus berlanjut dengan disertai
upaya keras untuk memberantas korupsi yang telah merajalela
sejak kediktatoran rezim militer. Sebelum tahun 1975,
penyidikan dan pemberantasan korupsi dilakukan oleh penegak
hukum kepolisian, dan pengawasan dilakukan di dalam badanbadan secara sistem pengawasan melekat sebagaimana di
Indonesia dilakukan oleh inspektorat jenderal pada masingmasing departemen. Adapun undang-undang yang diterapkan
adalah undang-undang hukum pidana umum dan peraturan
kepegawaian yang ditambah dengan beberapa delik-delik
korupsi yang berkaitan dengan penegakan hukum bidang
pemberantasan korupsi.
Rakyat Thailand banyak melihat para pejabat mencari
kekayaan dengan melakukan korupsi karena memanfaatkan
36
jabatan publik yang dipegangnya. Mereka yang ingin
memberantas korupsi justru tidak memiliki kemampuan untuk
bertindak,
bahkan
banyak
yang
jabatannya. Di sisi lain, bukan
justru
tersingkir
dari
hanya undang-undang
pemberantasan korupsi yang kurang lengkap tetapi, ada tekanan
dari kekuatan tertentu yang menekan dan mengintimidasi para
penyidik
pemberantasan
korupsi,
sehingga
tugas
yang
dijalankan tidak efektif dan efisien. Adanya suatu kesadaran
bahwa racun korupsi muncul dalam kebijakan negara, ini
terdapat dalam konstitusi Thailand 1974, Pasal 66 yang
menyatakan bahwa negara harus mengorganisasikan sistem
yang efisien dalam tugas-tugas pelayanan pemerintahan dan
pekerjaan lain dari negara dan harus mengambil segala langkah
untuk mencegah serta memberantas korupsi (Ermansjah, 2010:
463-465).
Di Thailand, ada empat pejabat tinggi negara yang
memprakarsai pemberantasan korupsi yaitu Profesor Sanya
Dhamasakti, Perdana Mentei, Mayor Jenderal Polisi Atthasit,
dan Menteri dalam Negeri bersama-sama dengan anggota
parlemen. Mereka telah melakukan penyusunan undang-undang
pemberantasan korupsi yang diberi nama Counter Corruption
Act, 1975. NCCC bertanggung jawab kepada Perdana Menteri,
sama seperti di Malaysia dan Hongkong (Chief Executive).
37
Kemudian kinerja dari NCCC ternyata kurang efektif,
dikarenakan kewenangannya yang sangat terbatas dan disertai
sistem pertanggungjawaban yang tidak independen yang
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Counter Corruption
Act, 1975, 1978. Selanjutnya pada tanggal 8 November 1999
diterbitkan undang-undang baru tentang pemberantasan korupsi
bernama Organic Act on Counter Corruption, dan komisi
pemberantasan korupsi dibentuk dan diberi nama NCCC (The
National Counter Corruption Commision) yang ketuanya
disebut President. NCCC terdiri atas seorang ketua, dan
delapan anggota yang terdiri dari satu skretaris jenderal, dua
asisten sekretaris jenderal, empat deputi sekretaris jenderal
yang diangkat oleh Raja dengan nasehat dari Senat, dan
pertanggungjawabannya langsung kepada Raja (Ermansyah,
2009: 373). Presiden NCCC berasal dari pensiunan berusia 70
tahunan, yang juga direkrut dari kalangan pejabat publik atau
mantan pejabat publik, jadi dari kalangan yang berpengalaman
di bidang administrasi negara. Di Thailand secara formal tidak
ada kaitan antara Perdana Menteri dan Presiden NCCC
Thailand. NCCC Thailand dapat menyidik Perdana Menteri,
seperti yang pernah dilakukan di antaranya terhadap Perdana
Menteri Thaksin.
38
Tugas dan kewenangan NCCC di Thailand mempunyai
beberapa persamaan dan perbedaan dengan tugas dan
kewenangan KPK di Indonesia. Persamaan tugas dan
kewenangan NCCC Thailand dengan KPK di Indonesia yaitu
mengambil tindakan untuk mencegah korupsi dan membangun
sikap berkaitan dengan integritas dan kejujuran dalam
mengambil tindakan untuk memberantas korupsi. Selain
persamaan itu, NCCC Thailand melakukan pemeriksaan faktafakta kasus yang di Indonesia disebut dengan penyelidikan.
Dalam melakukan penyelidikan maupun penyidikan, NCCC
Thailand masih melibatkan kepolisian dan kejaksaan sama
seperti KPK di Indonesia. Jikalau terdapat unsur korupsi maka
NCCC Thailand langsung melaporkan kepada senat supaya
pejabat itu dipecat dan unsur korupsinya diajukan ke Kejaksaan
Agung
untuk
diajukan
penuntutannya
ke
Pengadilan.
Pemberantasan korupsi melalu NCCC di Thailand termasuk
berhasil menurunkan tingkat korupsinya (Tumbur Ompu, 2012:
104)
NCCC Thailand memiliki dua hal yang sangat baik yang
tidak terdapat pada komisi pemberantasan korupsi di negara
lain. Dua hal tersebut yaitu tentang pengangkatan dan tanggung
jawab NCCC Thailand yang sangat rapi dan terperinci.
Pengangkatannya melalui penjaringan yang sangat ketat oleh
39
Komisi Seleksi Anggota NCCC Thailand yang sangat
independen, sehingga secara formil, yang paling baik dalam
sistem
pengangkatan
dan
rekrutmen
pejabat
komisi
pemberantasan korupsi adalah Thailand.
Pertanggungjawaban
NCCC
Thailand
juga
sangat
independen, yaitu langsung kepada Raja, karena berbeda
dengan BPR Malaysia yang bertanggung jawab kepada Perdana
Menteri
(Ermansjah,
2010:
474).
Adapun
Komisi
Pemberantasan Korupsi atau KPK di Indonesia berdasarkan
Pasal 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
bertanggung jawab kepada:
(a) Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada
publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan
laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden
Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
(b) Pertanggungjawaban publik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan dengan cara:
(1) Wajib audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban
keuangan sesuai dengan program kerja.
(2) Menerbitkan laporan tahunan.
40
(3) Membuka akses informasi (Himpunan Peraturaan
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, 2004: 137-138).
3) ICAC
Commission
(Independent
Against
Corruptions)
Hongkong
ICAC (Independent Commission Against Corruption)
Hongkong dibentuk pada tanggal 17 Oktober 1973 oleh
Gubernur
bertanggung
Hongkong.
jawab
Sebelumnya
kepada
ICAC
Gubernur,
tetapi
Hongkong
sekarang
bertanggung jawab kepada Chief Executive Hongkong SAR
(Special Administrative Region). ICAC Hongkong dipimpin
oleh Commissioner dan dibantu oleh empat kepala divisi.
Kepala divisi-divisi tersebut ialah Operation Departement,
Corruption Prevention Departement, Community Relations
Departement, Administration Branch.
Integritas commissioner dan ketiga kepala divisi serta
pejabat lain sangat tinggi. Mereka diangkat melalui seleksi
ketat dan mengikuti pelatihan khusus. Begitu pula sistem
penggajiannya di atas gaji pegawai negeri. Jumlah pegawainya
juga lebih banyak dibandingkan dengan luas wilayah dan
jumlah penduduk Hongkong. Di tahun 1999, jumlah pegawai
ICAC Hongkong sebanyak 1.299 orang. Jumlah tersebut
terbagi dalam 943 pegawai bidang operasi, 58 pegawai bidang
41
prevensi, 212 pegawai bidang hubungan masyarakat, dan 86
pegawai bidang administrasi (Ermansjah, 2013: 402-403).
Salah satu faktor dibentuknya ICAC Hongkong dan
dihapusnya kantor anti korupsi di kepolisian karena berhasilnya
Peter Godber meloloskan diri keluar negeri ketika masih
berlakunya ACO (Anti Corruption Office). Alasan kepolisian
tidak bersedia menangkap Peter Godber karena ada korupsi
terorganisasi di lingkungan kepolisian Hongkong. Jika negara
lain memulai pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi
karena korupsi telah meluas, tetapi Hongkong membentuk
ICAC dalam keadaan dimana para hakim masih bersih dari
korupsi. Korupsi di Hongkong hanya merajalela di kalangan
kepolisian (Tumbur Ompu, 2012: 71).
Pembentukan ICAC Hongkong sebagai badan khusus
yang independen pada tahun 1973 hingga sekarang hampir
berumur 42 tahun dan tetap diperlukan serta dipertahankan
karena kinerjanya sangat berhasil dalam memberantas korupsi.
Pemberantasan korupsi di Hongkong telah
sepenuhnya
ditangani ICAC Hongkong dengan tidak melibatkan kepolisian,
hanya dalam hal penuntutan masih dilakukan oleh penuntut
umum Kejaksaan Agung Hongkong. Perbedaannya dengan di
Indonesia, KPK Indonesia dalam pelaksanaan penuntutan tetap
42
dilakukan penuntut umum. Komisi Pemberantasan Korupsi
Indonesia masih melibatkan kepolisian dan kejaksaan.
Indrianto Seno Adji (2009: 178) berpendapat bahwa di
antara negara-negara berkembang, Hongkong yang memiliki
Komisi Independen yang dianggap berhasil memberantas
korupsi. Independent Commission Against Corruption (ICAC)
Hongkong memiliki kharisma. Oleh karena itu keberadaan
ICAC Hongkong tetap dipertahankan oleh Hongkong SAR
sebagai Institusi pemberantasan korupsi di Hongkong. ICAC
Hongkong dapat dikatakan sukses dalam pemberantasan
korupsi dan dijadikan contoh oleh negara-negara lain.
Keberhasilan pemberantasan korupsi di Hongkong
disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut.
(a) Adanya political will pemerintah, baik pada zaman
kolonial Inggris maupun pada zaman Hongkong SAR yang
melanjutkannya
dengan
sungguh-sungguh
dalam
memberantas korupsi, baik lewat cara represif maupun
preventif dan pendidikan kepada masyarakat.
(b) Terjamin integritas dan kejujuran para hakim saat ICAC
Hongkong dibentuk.
(c) Disediakan budget atau anggaran operasional ICAC
Hongkong yang sangat besar.
43
(d) ICAC
menggunakan
teknologi
canggih
dalam
melaksanakan semua kegiatan.
(e) Masyarakat
diikutsertakan
dalam
pelaksanaan
pemberantasan korupsi.
Perbedaan kewenangan ICAC Hongkong dengan KPK
Indonesia ialah tentang penyelidikan. Penyelidikan pada KPK
Indonesia tidak dilakukan oleh Badan Intelijen tetapi dilakukan
oleh Direktorat Penyelidikan dalam Deputi Bidang Penindakan.
Penyidik KPK Indonesia hanya dapat melakukan penyelidikan
dan penyidikan pada sektor publik yang berhubungan dengan
penyelenggaraan negara dan pihak swasta yang menjalankan
kepentingan publik. Berbeda dengan di Hongkong, ICAC dapat
melakukan penyelidikan dan penyidikan pihak swasta dan
pemerintah tidak ada pengecualian. ICAC Hongkong memiliki
kewenangan
untuk
memberantas
korupsi
terlepas
dari
kepolisian, sedangkan KPK Indonesia masih melibatkan
kepolisian dan kejaksaan dalam penyelidikan dan penyidikan.
Penuntutan perkara korupsi KPK Indonesia dapat melakukan
penuntutan langsung sebagai penuntut umum sendiri, tetapi
ICAC Hongkong dalam penuntutan dilimpahkan kepada
penuntut umum Kejaksaan Agung Hongkong.
e. Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai Lembaga Independen
44
Komisi
Pemberantasan
Korupsi
(KPK)
dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK diberi amanat
melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan
berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat
independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bebas dari kekuasaan manapun. KPK dibentuk bukan untuk
mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembagalembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan undang-undang
menyebutkan peran KPK sebagai trigger mechanism, yang berarti
mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan
korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi
lebih efektif dan efisien. Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK
berpedoman
keterbukaan,
kepada
lima
akuntabilitas,
asas,
yaitu
kepentingan
kepastian
umum,
hukum,
dan
proposionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan
menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada
Presiden, DPR, dan BPK.
KPK dipimpin oleh Pimpinan KPK yang terdiri atas lima
orang, seorang ketua merangkap anggota dan empat orang wakil
ketua merangkap anggota. Kelima pimpinan KPK tersebut
merupakan pejabat negara, yang berasal dari unsur pemerintahan
dan unsur masyarakat. Pimpinan KPK memegang jabatan selama
45
empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa
jabatan. Dalam pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat
kolektif kolegial.
Pimpinan KPK membawahi empat bidang, yang terdiri atas
bidang Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, serta
Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. Masing-masing
bidang tersebut dipimpin oleh seorang deputi. KPK juga dibantu
Sekretariat Jenderal yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
Republik Indonesia, namun bertanggung jawab kepada pimpinan
KPK.
Ketentuan mengenai struktur organisasi KPK diatur
sedemikian rupa sehingga memungkinkan masyarakat luas tetap
dapat berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-langkah yang
dilakukan KPK. Dalam pelaksanaan operasional, KPK mengangkat
pegawai yang direkrut sesuai dengan kompetensi yang diperlukan
(http://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/sekilas-kpk).
Dalam hal struktur kelembagaan Komisi Pemberantasan
Korupsi tidak lebih tinggi dari Kejaksaan maupun Kepolisian.
Independensi KPK dilihat dari segi fungsionalnya. Komisi
Pemberantasan Korupsi memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari
segi fungsi KPK ini, dan sebagai bagian dari constitutional
importance KPK. Komisi Pemberantasan Korupsi juga independen
46
dalam hal personal untuk melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya.
3. State Auxiliary Body
Sebelum perubahan UUD1945, biasa dikenal adanya istilah
lembaga pemerintah, lembaga departemen, lembaga pemerintah
non departemen, lembaga negara, lembaga tinggi negara, dan
lembaga tertinggi negara. Dalam hukum tata negara biasa dipakai
pula istilah yang menunjuk kepada pengertian yang lebih terbatas,
yaitu alat perlengkapan negara yang biasanya dikaitkan dengan
cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif
(Jimmly, 2010: 37).
Salah satu konsekuensi dari dilakukannya perubahan
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 adalah munculnya beragam penafsiran mengenai lembaga
negara, akibat kekurangjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dalam
mengatur lembaga negara. Hal ini dapat terlihat dari tidak adanya
kriteria untuk menentukan apakah suatu lembaga dapat diatur atau
tidak dalam konstitusi. Ditinjau dari berbagai penafsiran yang ada,
salah satunya adalah penafsiran yang membagi lembaga negara
menjadi lembaga negara utama (state main organ) dan lembaga
negara bantu (state auxiliary body). Lembaga negara utama
mengacu kepada paham trias politica yang memisahkan kekuasaan
menjadi tiga poros (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Dengan
47
menggunakan pola pikir ini, yang dapat dikategorikan sebagai
lembaga negara utama menurut Undang-Undang Dasar 1945
adalah MPR, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah
Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Dengan demikian,
lembaga-lembaga lain yang tidak termasuk kategori tersebut
merupakan
lembaga
negara
yang
independen.
(http://blog.unsri.ac.id/download/4770.pdf).
Kemunculan lembaga negara yang dalam pelaksanaan
fungsinya tidak secara jelas memposisikan diri sebagai salah satu
dari tiga lembaga trias politica mengalami perkembangan pada tiga
dasawarsa terakhir abad ke 20 (dua puluh) di negara-negara yang
telah mapan berdemokrasi. Istilah state auxiliary body oleh para
pakar dan sarjana hukum tata negara diartikan berbeda. State
auxiliary body lebih tepat diartikan sebagai “lembaga negara
independen”.
Di
mempertahankan
sisi
istilah
lain
M.
state
Laica Marzuki
auxiliary
cenderung
institutions
untuk
menghindari kerancuan dengan lembaga lain yang berkedudukan
di
bawah
lembaga
negara
konstitusional
(http://wwwpsikologcint.blogspot.co.id/2013/02/memperkuateksistensi-kpk-sebagai.html). Kedudukan lembaga-lembaga ini
48
tidak berada dalam ranah cabang kekuasaan eksekutif, legislatif,
maupun yudikatif.
Lembaga negara independen sekilas memang menyerupai
NGO (Non Goverment Organization) karena berada di luar struktur
pemerintahan
eksekutif.
Walaupun
demikian
dilihat
dari
keberadaannya yang bersifat publik, sumber pendanaan yang
berasal dari publik, serta bertujuan untuk kepentingan publik,
membuatnya tidak dapat disebut sebagai NGO dalam arti
sebenarnya. Sebagian ahli tetap mengelompokkan lembaga
independen semacam ini dalam lingkup kekuasaan eksekutif,
namun terdapat pula beberapa sarjana yang menempatkannya
secara tersendiri sebagai cabang keempat dalam kekuasaan
pemerintahan. Secara teoretis, lembaga negara independen bermula
dari kehendak negara untuk membuat lembaga negara baru yang
pengisian anggotanya diambil dari unsur non negara, diberi otoritas
negara, dan dibiayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai
negara. Gagasan lembaga negara independen sebenarnya berawal
dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan
dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk mengawasi. Jadi, meskipun negara masih tetap
kuat, lembaga ini diawasi oleh masyarakat sehingga tercipta
akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal. Munculnya state
auxiliary body dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan
49
masyarakat atas terciptanya prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap
penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yang akuntabel,
independen, serta dapat dipercaya. Selain itu, faktor lain yang
memicu terbentuknya lembaga negara ini adalah terdapatnya
kecenderungan dalam teori administrasi kontemporer untuk
mengalihkan tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administratif
menjadi bagian dari tugas lembaga independen.
Berkaitan
mengklasifikasikan
dengan
jenis
sifatnya
lembaga
tersebut,
ini
menjadi
John
dua,
Alder
yaitu
regulatory, yang berfungsi membuat aturan serta melakukan
supervisi terhadap aktivitas hubungan yang bersifat privat, dan
advisory, yang berfungsi memberikan masukan atau nasihat kepada
pemerintah(http://farizpradiptalaw.blogspot.com/2009/12/keduduk
an-lembaga-negara-bantu-didalam.html).
B. Sistem Ketatanegaraan di Indonesia
1. Pengertian Sistem
Lani Sidharta berpendapat bahwa, sistem merupakan
himpunan dari bagian-bagian yang saling berhubungan yang secara
bersama mencapai tujuan-tujuan yang sama. Kemudian menurut
Pamudji (Syafiie, 2003: 1) pengertian sistem adalah suatu
kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau terorganisir, suatu
himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang
50
membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau
utuh.
Sistem
adalah
keseluruhan
bagian
yang
saling
mempengaruhi satu sama lainnya menurut rencana yang telah
ditentukan, untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Kemudian
menurut Shorde, Votch dan Satjipto Rahardjo (Mustafa, 2003: 45) bahwa :
Sistem ini mempunyai dua pengertian yang penting untuk
dikenali, sekalipun dalam pembicaraan-pembicaraan
keduanya sering dipakai tercampur begitu saja. Yang
pertama adalah pengertian sistem sebagai jenis satuan, yang
mempunyai tatanan tertentu. Tatanan tertentu disini
menunjukan kepada suatu struktur yang tersusun dari
bagian-bagian. Kedua sistem sebagai suatu rencana, metode
atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu.
John Mc Manama berpendapat bahwa, sistem yaitu sebuah
struktur konseptual yang tersusun dari fungsi-fungsi yang saling
berhubungan yang bekerja sebagai suatu kesatuan organik untuk
mencapai suatu hasil yang diinginkan secara efektif dan efisien.
Kemudian
menurut
Winterton
dalam
Peter
de
Cruz
yang
diterjemahkan oleh Narulita Yusron yaitu, sistem hukum merupakan
sekumpulan peraturan dan institusi dari suatu negara, sedangkan arti
sistem hukum lebih luas adalah teknik atau cara-cara yang digunakan
oleh sejumlah negara, dimana sistem hukumnya memiliki kesamaan
secara umum (de Cruz, 2010: 4-5). Menurut Sudikno Mertokusumo
(Efran Helmi Juni, 2012: 275) sistem hukum adalah tatanan tentang
51
apa yang seharusnya, sehingga sistem hukum merupakan sistem yang
normatif.
Sistem hukum Indonesia merupakan suatu kesatuan hukum
yang berdasarkan pada Pancasila, berlaku di seluruh Indonesia,
dibentuk untuk mencapai tujuan negara yang bersumber pada
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sebab di dalam pembukaan
dan pasal-pasal Undang-Undang Dasar terdapat tujuan, dasar, dan citacita hukum Indonesia. Di dalamnya mengandung nilai-nilai budaya
bangsa Indonesia yang tumbuh dan berkembang dalam kesadaran
hidup bermasyarakat selama berabad-abad.
2. Pengertian Hukum Tata Negara
Hukum tata negara merupakan keseluruhan peraturan atau
norma hukum yang mengatur tentang dasar dan tujuan negara,
bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem pemerintahan, struktur
organisasi kekuasaaan negara dan pembagian wewenang serta
tugasnya, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, serta hakhak dan kewajiban warga negara. Hukum tata negara menurut
kamus hukum adalah keseluruhan dari norma-norma hukum yang
mengatur bagaimana negara harus dibentuk, pemerintahan negara
harus diselenggarakan, badan-badan pemerintahan, perundangundangan dan peradilan harus disusun dengan penentuan
kekuasaan-kekuasaan masing-masing badan itu dan hubungan
52
kekuasaan antara satu sama lain (Subekti dan Tjitrosoedibio, 1973:
54).
Menurut Hans Kelsen, hukum tata negara adalah hukum
mengenai “der wohlende staat”, yang memberi bentuk negara, hal
mana tercantum dalam undang-undang dasarnya (Kansil dan
Christine, 2008: 21). Pendapat Mr. W. F.Prins mengenai hukum
tata negara bahwa hukum tata negara menentukan aparatur negara
yang fundamental yang langsung berhubungan dengan setiap
warga masyarakat.
Van Vollenhoven (Sugiarto, 2013: 248) memberikan
definisi hukum tata negara ialah keseluruhan peraturan hukum
yang membentuk alat perlengkapan (organ) negara dengan
memberikan wewenang kepada alat perlengkapan negara itu, untuk
membagikan tugas pemerintahan kepada berbagai alat-alat
perlengkapan negara yang lebih tinggi maupun yang rendah.
Selanjutnya menurut CW Van Der Pot dalam Kartasapoetra (1987:
2) berdasarkan bukunya “Handboek van
Het Nederlands
Staatsrecht”, memberi batasan Hukum Tata Negara yaitu hukum
mengatur semua masyarakat hukum tingkat atasan dan bawahan,
yang selanjutnya menentukan wilayah lingkungan rakyatnya,
menentukan badan-badan yang berkuasa, berwenang dan berfungsi
dalam lingkungan masyarakat hukum tersebut.
53
Kusmadi Pudjosewojo dalam bukunya dengan berdasarkan
pada definisi yang diberikan Van Vollenhoven memberikan
definisi hukum tata negara sebagai berikut (Kansil dan Christine,
2008: 22-23)
Hukum Tata Negara merupakan hukum yang mengatur
bentuk negara dalam hubungan kesatuan atau federal dan
bentuk-bentuk pemerintah dalam hubungan kerajaan atau
republik yang menunjuk masyarakat-masyarakat hukum
yang atasan dan masyarakat hukum yang bawahan beserta
tingkatan imbangannya (hierarchie) yang selanjutnya
menegaskan wilayah dan lingkungan dari masyarakat
hukum itu, dan akhirnya menunjukan alat-alat perlengkapan
negara yang memegang kekuasaan penguasa dari
masyarakat-masyarakat hukum itu beserta susunan,
wewenang tingkatan imbangan dari dan antara alat-alat
perlengkapan itu.
Berkaitan dengan hukum tata negara, maka menurut
Wirjono Prodjodikoro bahwa tujuan hukum tata negara pada
hakikatnya adalah sama dengan tujuan hukum, oleh karena itu
sumber utama hukum tata negara adalah konstitusi. Tujuan
konstitusi adalah mengadakan tata tertib dalam berbagai lembaga
negara dan wewenangnya serta cara bekerjanya dalam hal
penyebutan
hak-hak
asasi
manusia
yang
harus
dijamin
perlindungannya.
3. Sistem Ketatanegaraan di Indonesia
Tata negara berarti sistem penataan negara, yang berisi
ketentuan mengenai struktur kenegaraan dan substansi norma
kenegaraan (Jimly, 2009: 15). Negara adalah suatu organisasi yang
54
meliputi wilayah, sejumlah rakyat, dan mempunyai kekuasaan
berdaulat. Setiap negara memiliki sistem politik yaitu pola
mekanisme atau pelaksanaan kekuasaan, sedangkan kekuasaan
adalah hak dan kewenangan serta tanggung jawab untuk mengelola
tugas tertentu. Pengelolaan suatu negara inilah yang disebut
dengan sistem ketatanegaraan.
Dalam suatu negara selalu terdapat orang-orang atau badanbadan yang memegang kekuasaan
(Pudjosewojo, 2004: 112).
Orang-orang dan badan-badan itu, berdasarkan pembagian
kekuasaan bekerja sama untuk mencapai tujuan yang sama.
Pembagian kekuasaan berarti bahwa orang-orang dan badan-badan
itu masing-masing, dalam rangka tujuan yang sama, mempunyai
kekuasaan tertentu.
Hasil
amandemen
Undang-Undang
Dasar
1945
telah
membawa berbagai perubahan yang signifikan bagi sistem
ketatanegaraan di Indonesia. Berbagai perubahan itu diantaranya,
penegasan prinsip kedaulatan rakyat dan negara hukum, perubahan
sistem hubungan pusat dan daerah, muncul lembaga-lembaga baru
seperti Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Pimpinan Pusat,
Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.
Perkembangan
menimbulkan
sistem
perubahan
ketatanegaraan
untuk
di
Indonesia,
memenuhi
kebutuhan
ketatanegaraan yang semakin kompleks dan rumit. Akibat dari
55
perubahan
ketatanegaraan
adalah
munculnya
fungsi-fungsi
kekuasaan yang biasanya melekat dalam fungsi lembaga-lembaga
eksekutif, legislatif, dan yudikatif beralih menjadi fungsi organ
tersendiri yang bersifat independen. Oleh sebab itu, lembagalembaga tersebut menjalankan fungsi yang bersifat campuran dan
independen (independen bodies).
Salah satu lembaga independen yaitu Komisi Pemberantasan
Korupsi belum diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang
Dasar 1945, melainkan diatur dalam undang-undang. Akan tetapi
pengaturannya berkaitan erat dengan delegasi pengaturan yang
ditentukan oleh Pasal 24 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan bahwa :
“Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam Undang-Undang”.
Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa Komisi Pemberantasan
Korupsi constitutional importance yang setara dengan lembaga
lain yang diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar
1945. Dalam sistem ketatanegaraan suatu lembaga tidak dianggap
lebih penting dari lembaga lain, hanya karena diatur dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dan yang lain belum diatur atau masih
diatur dengan undang-undang (Jimly, 2010: 20-21).
KPK sebagai lembaga yang berada di luar cabang kekuasaan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif, namun justru mempunyai fungsi
“campur” dari ketiganya. Keberadaan Komisi Pemberantasan
56
Korupsi tidak berada di luar sistem ketatanegaraan melainkan
justru secara yuridis ditempatkan dalam sistem ketatanegaraan.
Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan kewenangannya
berdasarkan undang-undang dan independen, serta mandiri dari
pengaruh lembaga negara lain (main organ).
C. Landasan Teori
1. Teori Pembagian Kekuasaan
Pembagian atau pemisahan kekuasaan negara merupakan
prinsip yang fundamental dalam sebuah negara hukum. Selain karena
berfungsi membatasi kekuasaaan dari lembaga-lembaga penyelenggara
negara, pemisahan kekuasaan negara juga untuk mewujudkan
spesialisasi fungsi dalam rangka mencapai efisiensi yang maksimum,
sesuai dengan tuntutan zaman yang modern (Sirajuddin dan
Zulkarnaen, 2006: 23).
Teori mengenai pemisahan dan pembagian kekuasaan negara
menjadi sangat penting artinya untuk melihat bagaimana posisi atau
keberadaan kekuasaan dalam sebuah struktur kekuasaan negara.
Gagasan mengenai pemisahan dan pembagian kekuasaan mendapatkan
dasar pijakan antara lain dari pemikiran John Locke dan Montesquieu
(Bambang dan Sri, 2004: 17). Pendapat kedua ahli tersebut ialah
sebagai berikut.
a. John Locke
57
Dalam
bukunya
yang
berjudul
“Two
Treaties
of
Government”, John Locke mengusulkan agar kekuasaan di dalam
negara itu dibagi-bagi kepada organ-organ negara yang berbeda.
Menurut John Locke agar pemerintahan tidak sewenang-wenang
harus ada pembedaan pemegang kekuasaan dalam negara ke
dalam tiga macam kekuasaan, yaitu:
1) Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)
2) Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang)
3) Kekuasaan Federatif (melakukan hubungan diplomatik dengan
negara-negara lain)
b. Montesquieu
Dalam bukunya “L’esprit des Lois”, Montesquieu pada tahun
1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari yang
ditawarkan oleh John Locke. Menurutnya untuk tegaknya negara
demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam
tiga poros kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif (pembuat undangundang),
kekuasaan
eksekutif
(pelaksana
undang-undang),
kekuasaan yudikatif (peradilan/kehakiman untuk menegakan
perundang-undangan kalau terjadi pelanggaran). Ketiga poros
kekuasaan tersebut masing-masing terpisah satu sama lain, baik
mengenai orangnya maupun fungsinya. Ajaran tentang pemisahan
kekuasaan ke dalam tiga pusat kekuasaan dari Montesquieu
58
kemudian oleh Imannuel Kant diberi nama Trias Politica
(Moh.Mahfud MD, 1993: 82-83).
Jika dibandingkan antara pendapat Locke dan Montesquieu,
terdapat perbedaan sebagai berikut.
a. Menurut Locke, kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang
mencakup kekuasaan yudikatif, karena mengadili itu berarti
melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif
(hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
b. Menurut Montesquieu, kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan
federatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk
kekuasaan eksekutif sedangkan kekuasaan yudikatif harus
merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari
eksekutif.
Dalam perkembangannya, ternyata cara pembedaan kekuasaan
yang dilakukan oleh Montesquieu lebih dapat diterima. Akan tetapi
dalam praktek ketatanegaraan, konsep trias politica sulit dilaksanakan
secara murni dan konsekuen ( Bambang dan Sri Hastuti, 2004: 18-19).
Teori trias politica yang dikemukakan oleh Montesquieu mendapat
kritik karena tidak bisa dilaksanakan secara murni dan dianggap tidak
sesuai dengan kenyataan. E.Utrecht mengemukakan dua keberatan
terhadap teori trias politica untuk dipraktikan seluruhnya dalam
negara modern ( E. Utrecht, 1986: 20-30). Keberatan tersebut antara
lain :
59
a. Pemisahan mutlak yang seperti dikemukakan Montesquieu,
mengakibatkan adanya badan kenegaraan yang tidak dapat
ditempatkan di bawah penguasaan suatu badan kenegaraan lain.
Tidak ada pengawasan berarti kemungkinan suatu badan
kenegaraan untuk melampaui batas kekuasaannya. Oleh sebab itu,
kerja sama antara masing-masing badan kenegaraan dipersulit.
Dengan demikian, tiap-tiap badan kenegaraan yang diberikan yang
berlainan dalam negara perlu diberikan kesempatan untuk saling
mengawasi.
b. Dalam negara modern atau welfare state, tugas pemerintah
bertambah
luas
untuk
mewujudkan
berbagai
kepentingan
masyarakat. Dalam hal ini, tidak mungkin diterima asas teguh
(vast beginsel) bahwa tiga fungsi tersebut masing-masing hanya
boleh diserahkan kepada suatu badan kenegaraan tertentu. Ada
banyak badan kenegaraan diserahi lebih dari satu fungsi
(kemungkinan untuk mengordinasi beberapa fungsi).
Walaupun
ajaran
Montesquieu
mendapat
kritikan,
keberadaannya sangat penting karena substansi dari ajaran tersebut
menghendaki kekuasaan dalam negara jangan sampai terpusat pada satu
tangan (badan) karena akan melahirkan kesewenang-wenangan.
Kekuasaan tersebut harus dibagi sehingga hak asasi warga negara dapat
terlindungi ( Sirajuddin dan Zulkarnaen, 2006: 24).
60
Dalam suatu negara hukum modern, satu organ atau badan
kenegaraan ini tidak hanya diserahi satu fungsi kekuasaan saja.
Kenyataan
menunjukan
bahwa
pembuat
undang-undang
yang
seharusnya tugas legislatif, ternyata eksekutif juga diikutsertakan.
Bahkan di Amerika Serikat yang dianggap kampiun dalam menjalankan
konsep pemisahan negara, ternyata dalam praktik ketatanegaraannya
dikenal sistem saling mengawasi dan saling mengadakan pertimbangan
(checks and balances system) antara kekuasaan-kekuasaan negara
tersebut. Adanya hak veto dari Presiden terhadap rancangan undangundang yang diajukan konggres Amerika pada hakekatnya sudah
mengurangi pelaksanaan teori trias politica, karena wewenang
menetapkan undang-undang oleh legislatif (konggres) sudah dikurangi
(Bambang dan Sri Hastuti, 2004: 18-19).
Menurut Kusnardi dan Bintan Saragih, Undang-Undang Dasar
1945 tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan (separation of
power)
terseb