Pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Terkait Perseteruan KPK Dan POLRI (Analisis Framing Terhadap Pembentukan Citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Terkait Perseteruan Polri dan KPK Pada Surat Kabar Kompas)

(1)

PENCITRAAN PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO TERKAIT PERSETERUAN KPK DAN POLRI

(Analisis Framing Terhadap Pembentukan Citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Terkait Perseteruan Polri dan KPK Pada Surat Kabar Kompas)

Diajukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sosial di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Disusun oleh : Febrina 060904071

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Lembar Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh: Nama : Febrina

NIM : 060904071 Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : Pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Terkait Perseteruan Kpk dan Polri

(Analisis Framing Terhadap Pembentukan Citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Terkait Perseteruan KPK dan Polri pada Surat Kabar Kompas)

Medan, 26 Mei 2010

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Drs. Hendra Harahap, Msi Drs. Amir Purba, M.A NIP. 196710021994031002 NIP.195102191987011001

a.n Dekan

Pembantu Dekan 1,

Drs. Humaizi, M.A NIP. 195908091986011002


(3)

ABSTRAKSI

KPK dan Polri merupakan institusi yang memiliki otoritas untuk menangani/memeriksa para pelaku kejahatan termasuk tindak korupsi. KPK, meskipun masi baru dari segi usia namun sudah mampu menjadi momok menakutkan bagi para koruptor. Sedangkan Polri adalah institusi penegak hukum yang telah berusia tua dan dikenal masyarakat luas. Kedua lembaga pemerintahan yang diharapkan sebagai lembaga yang menyatukan masyarakat dalam keadilan justru tersandung perseteruan yang alot hingga menyedot perhatian bangsa Indonesia. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan pun mulai memudar. Untuk itulah peran Susilo Bambang Yudhoyono selaku kepala negara sangat penting dalam menyikapi perseteruan yang ada. Sikap yang ditempuh Presiden pada akhirnya menciptakan citra Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden di kalangan masyarakat. Dalam penelitian ini, peneliti akan menganalisis berita tentang pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyikapi perseteruan KPK-Polri di harian Kompas yang terbit selama bulan November 2009.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui bagaimana surat kabar Kompas memaknai, memahami dan mengkonstruksi berita tentang Susilo Bambang Yudhoyono terkait perseteruan Polri dan KPK yang terjadi selama bulan November 2009. Serta untuk melihat media massa sebagai arena sosial yang dibentuk oleh harian Kompas melalui pemberitaan sikap presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait perseteruan Polri dan KPK selama bulan November 2009.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis Framing dari Gamson dan Modigliani. Analisis Framing Gamson dan Modigliani dipahami sebagai perangkat gagasan atau ide sentral ketika seseorang atau media memahami dan memaknai suatu isu. Ada dua perangkat bagaimana ide sentral ini diterjemahkan ke dalam teks berita. Pertama, Framing Device (perangkat framing), perangkat ini berhubungan dan berkaitan dengan methapors, catchphareses, exemplaar, depiction, visual images. Kedua, Reasoning Devices (perangkat penalaran), perangkat ini berhubungan dengan Roots, appeals to Principle dan Consequences.

Dalam penelitian ini, peneliti melihat adanya kecenderungan pemberitaan yang tidak berimbang, dimana wartawan lebih banyak menuliskan berita yang menyudutkan Presiden sehingga citra yang terbentuk cenderung negatif. Namun, Kompas juga tidak lupa menuliskan berita yang dikutip dari aktor-aktor yang mendukung, dan bersikap netral sehingga dengan ini Kompas menunjukkan eksistensinya sebagai media massa mampu digunakan sebagai arena sosial.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkatnya dan rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Terkait Perseteruan Kpk Dan Polri. Penulis mengucapkan terima kasih buat orangtua penulis yang tercinta, Bapak (Kris Meliala) dan Mamak (Baik Sinuhaji) karena dukungannya yang selalu ada buat penulis

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. DR. M. Arif Nasution, M. A selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Amir Purba, M.A, selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

3. Ibu Dra. Dewi Kurniawati, M.Si selaku sekretaris Departemen ilmu Komunikasi FISIP USU.

4. Ibu Mazdalifah, M.Si, selaku dosen wali penulis.

5. Drs. Hendra Harahap, Msi selaku dosen pembimbing yang sangat banyak membantu penulis dalam pengerjaan skripsi ini.

6. Kak Ros, Kak icut dan Kak Maya yang sangat banyak membantu dalam urusan perlengkapan administrasi.

7. Kepada kedua saudari penulis, Kak Irna Rosalyn dan Aldora Klarisa terimakasih buat semua dukungan dan senantiasa menguatkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(5)

8. Teman-teman di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU khususnya angkatan 2006, buat Doley, Andi, Nelvita, Efron dan Maydop yang selalu bersedia berbagi informasi.

9. Kepada kelompok kecil Euodia Benaya: Kak Cisna, Kak Ibeth, Tiwi, Gusti, Ncy, Ayu, Hana dan Jojo, terimakasi buat persekutuan indah yang terjalin dan terimakasih buat doa-doa kalian.

10. Kepada rekan kerja di radio anak muda medan 104,6 Star FM: Bang Boy, Hafiz, Mira, Mika, Sabrina, Abi, Puspa, Barbut, dll. Terimakasih buat waktu berjuang menyelesaikan kuliah, bekerja, bersenang-senang.

11. Buat teman-teman karib yang selalu setia membantu menyediakan waktu memberikan semangat dan motivasi sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi: Bang Pian, Yanti, Rico, Goan.

12. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Atas perhatiannya penulis ucapkan banyak terimakasih.

Medan, 26 Mei 2010


(6)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR i

ABSTRAKSI iii

DAFTAR ISI iv

DAFTAR LAMPIRAN v

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 6

1.3 Pembatasan Masalah 6

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 6

1.5 Kerangka Teori 7

1.6 Kerangka Konsep 17

1.7 Defenisi Operasional Variabel 19

1.8 Metodologi Penelitian 21

BAB II URAIAN TEORITIS

II.1 Media Massa Sebagai Arena Sosial 4

II.2 Berita 28

II.3 Surat Kabar 30

II.4 Citra 33

II.5 Teks Berita: Pandangan Konstruksionis 34

II.6 Analisis Framing 38

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Deskripsi Lokasi Penelitian 43


(7)

III.3 Subjek Penelitian 49

III.4 Teknik Pengumpulan Data 49

III.5 Kerangka Konsep 50

III. 6 Defenisi Operasional Variabel 50

III.7 Metode Analisis Data 53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV.1 Sekilas Tentang Penelitian 54

IV.2 Pemberitaan Sikap Presiden 55

IV.3 Media Kompas Sebagai Arena Sosial 65

IV.4 Analisis Data 68

BAB V PENUTUP

V.1 Kesimpulan 107

V.2 Saran 109

DAFTAR PUSTAKA BIODATA


(8)

ABSTRAKSI

KPK dan Polri merupakan institusi yang memiliki otoritas untuk menangani/memeriksa para pelaku kejahatan termasuk tindak korupsi. KPK, meskipun masi baru dari segi usia namun sudah mampu menjadi momok menakutkan bagi para koruptor. Sedangkan Polri adalah institusi penegak hukum yang telah berusia tua dan dikenal masyarakat luas. Kedua lembaga pemerintahan yang diharapkan sebagai lembaga yang menyatukan masyarakat dalam keadilan justru tersandung perseteruan yang alot hingga menyedot perhatian bangsa Indonesia. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan pun mulai memudar. Untuk itulah peran Susilo Bambang Yudhoyono selaku kepala negara sangat penting dalam menyikapi perseteruan yang ada. Sikap yang ditempuh Presiden pada akhirnya menciptakan citra Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden di kalangan masyarakat. Dalam penelitian ini, peneliti akan menganalisis berita tentang pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyikapi perseteruan KPK-Polri di harian Kompas yang terbit selama bulan November 2009.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui bagaimana surat kabar Kompas memaknai, memahami dan mengkonstruksi berita tentang Susilo Bambang Yudhoyono terkait perseteruan Polri dan KPK yang terjadi selama bulan November 2009. Serta untuk melihat media massa sebagai arena sosial yang dibentuk oleh harian Kompas melalui pemberitaan sikap presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait perseteruan Polri dan KPK selama bulan November 2009.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis Framing dari Gamson dan Modigliani. Analisis Framing Gamson dan Modigliani dipahami sebagai perangkat gagasan atau ide sentral ketika seseorang atau media memahami dan memaknai suatu isu. Ada dua perangkat bagaimana ide sentral ini diterjemahkan ke dalam teks berita. Pertama, Framing Device (perangkat framing), perangkat ini berhubungan dan berkaitan dengan methapors, catchphareses, exemplaar, depiction, visual images. Kedua, Reasoning Devices (perangkat penalaran), perangkat ini berhubungan dengan Roots, appeals to Principle dan Consequences.

Dalam penelitian ini, peneliti melihat adanya kecenderungan pemberitaan yang tidak berimbang, dimana wartawan lebih banyak menuliskan berita yang menyudutkan Presiden sehingga citra yang terbentuk cenderung negatif. Namun, Kompas juga tidak lupa menuliskan berita yang dikutip dari aktor-aktor yang mendukung, dan bersikap netral sehingga dengan ini Kompas menunjukkan eksistensinya sebagai media massa mampu digunakan sebagai arena sosial.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Bisa dikatakan bahwa Indonesia sangat berpotensi menjadi kiblat demokrasi di kawasan Asia, berkat keberhasilan mengembangkan dan melaksanakan sistem demokrasi. Meskipun pada kenyataannya tidak ada tolok ukur tunggal dalam menghitung kemajuan demokrasi, namun Indonesia kerap kali dijadikan contoh negara non-barat yang berhasil menerapkan sistem demokrasi di dunia internasional. Harus diakui, ‘kompetisi' diantara lembaga penegak hukum sesungguhnya merupakan bagian dari proses pelembagaan demokrasi yang positif. Akan tetapi, hal tersebut akan berjalan buruk, apabila kemudian bercampur dengan kepentingan politik seperti yang terjadi di Indonesia saat ini.

Perseteruan antara lembaga hukum yang seharusnya melindungi dan mengayomi rakyat akhirnya mengakibatkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah pun terancam pudar. Lembaga-lembaga penegak hukum di negara Indonesia sibuk saling menyalahkan dan mencari kebenaran diri sendiri. Dan lagi-lagi masalah ini tidak terlepas dari penyakit lama bangsa Indonesia, yaitu Korupsi.

Perseteruan terbuka seperti ini akan memperlemah peran dan fungsi kedua institusi dalam penegakan hukum, khususnya pada kasus-kasus korupsi. Sebab biar bagaimanapun KPK tidak dapat bekerja sendiri dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Terlepas makin tingginya tensi perseteruan


(10)

antara Polri dan KPK, namun kedua pimpinan lembaga tersebut harus menyadari bahwa membiarkan situasi tersebut berlarut-larut akan merugikan proses penegakan hukum di Indonesia. Perlu langkah-langkah yang bersifat saling menguntungkan kedua belah pihak. Akan tetapi, agaknya sulit berharap kedua pimpinan tersebut duduk satu meja tanpa mediasi yang mengikat keduanya. Oleh sebab itu selaku Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono ikut campur tangan dalam menyelesaikan perseteruan tersebut.

Konflik ini pada dasarnya merupakan buntut dari kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen yang awalnya dikaitkan dengan cerita ‘cinta segi-tiga’ antara korban, rani Juliani (seorang caddy belia) dan Antasari, ketua KPK saat itu. Dari hasil pengembangan penyidikan atas kasus pembunuhan Nasruddin inilah Polri akhirnya mencium aroma tidak sedap pada sejumlah oknum pimpinan KPK. Ceritanya kemudian merambat kemana-mana, dari kasus pengadaan sistem komunikasi di Departemen Kehutanan dengan tokoh utamanya Anggoro Widjojo, skandal alih fungsi di Tanjung Api-api hingga mega skandal Bank Century.

Konflik antara Polri dan KPK dipicu oleh testimoni Antasari yang berisi pengakuan bahwa sejumlah pimpinan KPK juga menerima suap dari Anggoro agar status cekal Anggoro dicabut. Berpijak pada testimoni Antasari ini, Polri memanggil empat pimpinan KPK dan empat pejabat KPK. Polisi memanggil petinggi KPK dengan jeratan pasal 23 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 atas dugaan telah menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 421 KUHP.

Sejak Juli lalu SBY sudah berusaha menyelesaikan ketidakharmonisan ini dengan cara mempertemukan pimpinan kedua lembaga tersebut, dalam bentuk


(11)

Rapat Koordinasi. Namun langkah tersebut agaknya tidak cukup untuk menyelesaikan ketidakharmonisan ini, oleh sebab itu langkah selanjutnya disiapkan presiden seperti halnya membentuk Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Sdr. Chandra M.Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto (2/11). Tim Independen ini yang sering disebut Tim-8 bekerja selama 2 minggu, siang dan malam, dan akhirnya pada tanggal 17 November 2009 yang lalu secara resmi telah menyerahkan hasil kerja dan rekomendasinya kepada Presiden. Setelah menerima hasil rekomendasi dari Tim 8 akhirnya pada tanggal 23 November Presiden menyatakan sikapnya atas kasus ini. Namun, pada kenyataannya sikap presiden justru mengandung kontroversi di kalangan masyarakat.

Kisruh perseteruan antara lembaga pemerintahan ini pun akhirnya berhasil menjadi sorotan masyarakat. Bahkan menjadi sorotan utama yang mengalahkan pemberitaan-pemberitaan lain seperti masalah pendidikan dan kemiskinan. Setiap detil informasi dapat dikonsumsi masyarakat melalui media sebab media massa muncul sebagai penyaji informasi fakta dari peristiwa yang terjadi. Berbagai pandangan mengenai perseteruan ini dikemukakan dan dimuat di dalam media, termasuk setiap keterlibatan presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyikapi kasus ini. Secara otomatis, setiap sikap yang ditunjukkan presiden sangat berpengaruh terhadap citra SBY selaku presiden. Selama ini Presiden SBY selalu dikenal sebagai presiden yang memiliki citra yang baik. Bahkan bisa dikatakan kemenangan SBY dalam pemilihan umum diperolehnya karena citra positif yang berhasil dibentuknya. Untuk itu presiden SBY sangat berhati-hati dalam menunjukkan sikapnya terhadap kasus ketidakharmonisan yang terdapat dalam tubuh pemerintahan yang sedang dipimpinnya ini.


(12)

Media bukanlah saluran yang bebas, tempat semua kekuatan sosial saling berinteraksi dan berhubungan. Sebaliknya, media hanya dimiliki oleh kelompok dominan, sehingga mereka lebih mempunyai kesempatan dan akses untuk mempengaruhi dan memaknai peristiwa berdasarkan pandangan mereka. Media bahkan menjadi sarana dimana kelompok dominan bukan hanya memantapkan posisi mereka, tetapi juga memarjinalkan dan meminggirkan posisi kelompok yang tidak dominan (Eriyanto, 2001:53). Media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefenisikan realitas sesuai dengan kepentingannya. Media juga dipandang sebagai mediator oleh wartawan dalam menuangkan pola pikirnya sehingga mampu membingkai pemberitaan yang ditulisnya.

Dalam penelitian ini, penulis memilih media Kompas sebagai objek penelitian. Pemilihan harian Kompas dalam penelitian ini didasarkan pada dua alasan: Pertama, karena harian ini merupakan harian nasional yang mapan secara ekonomis. Kompas memiliki berbagai anak perusahaan yang dibangun di bawah atap kelompok Kompas Gramedia seperti majalah, stasiun radio, penerbitan, percetakan, hingga hotel. Kelompok perusahaan ini dikenal sebagai perusahaan yang memanjakan pegawainya, mulai tunjangan kesehatan, pendidikan untuk anak-anak karyawan, bonus lebih dari tiga kali dalam satu tahun, piknik keluarga, pesta ulang tahun perusahaan secara besar-besaran. Pemberian insentif seperti ini dimaksudkan untuk menghindari adanya ‘wartawan amplop’, sehingga wartawan lebih berintegritas dalam menyusun berita. Kedua, Kompas memiliki khalayak pembaca yang terbesar di seluruh Indoneisa. Hingga saat ini, Kompas masih dikenal sebagai koran berskala nasional terbesar di Indonesia dengan oplah lebih


(13)

demikian pemberitaan Kompas cukup berdampak luas bagi khalayak pembaca di Indonesia. Adapun penelitian dilakukan sepanjang bulan November adalah sebagai pembatasan penelitian. Selain itu, bulan November dianggap memiliki banyak sejarah penting dalam perkembangan kasus perseteruan KPK – Polri dimana Presiden cukup banyak memberikan respon. Salah satu diantaranya adalah pembentukan tim Delapan yang diiinstruksikan langsung oleh Presiden, adanya keputusan langsung dari Presiden untuk menghentikan kasus.

Perangkat analisis yang digunakan peneliti adalah analisis framing. Framing dalam perspektif ilmu komunikasi dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan dam pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita (Sobur, 2004 : 162). Sedangkan analisis framing yang digunakan dalam penelitian ini adalah model framing Framing yang dikembangkan Gamson dan Modigliani memahami framing sebagai seperangkat gagasan atau ide sentral ketika seseorang atau media memahami dan memaknai suatu isu. Jadi perangkat wacana akan saling mendukung satu dengan yang lainnya menuju sauatu titik pertemuan yaitu ide sentral dari suatu berita.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti pencitraan presiden Susilo Bambang Yodhoyono terkait perseteruan Polri dan KPK pada harian Kompas.


(14)

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut :

”Bagaimanakah citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait perseteruan Polri dan KPK yang terjadi selama bulan November 2009 dikonstruksi oleh harian kompas?”

I.3 Pembatasan Masalah

Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas dan mengambang, maka peneliti merasa perlu untuk membuat pembatasan masalah yang lebih spesifik dan jelas. Adapun yang menjadi pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Penelitian ini hanya akan dilakukan pada harian Kompas.

2. Isi berita yang akan diteliti hanya berita yang menjadi headline tentang sikap presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait perseteruan Polri dan KPK.

3. Subjek penelitian adalah surat kabar Kompas terbitan November 2009. I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana surat kabar kompas memaknai, memahami dan mengkonstruksi berita tentang Susilo Bambang Yudhoyono terkait perseteruan Polri dan KPK yang terjadi selama bulan November 2009.


(15)

2. Untuk melihat citra yang dibentuk oleh harian Kompas terhadap presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait perseteruan Polri dan KPK selama bulan November 2009.

Manfaat Penelitian

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi khususnya mengenai analisis framing.

2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi tempat bagi penulis untuk menerapkan ilmu yang diperoleh selama masa kuliah dan memperluas cakrawala pengetahuan.

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna bagi pihak-pihak yang membutuhkan pengetahuan yang berhubungan dengan tema penelitian ini.

I.5 Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi,1995:39).

Adapun teori-teori yang dianggap relevan dalam penelitian ini adalah: 1. Media Massa Sebagai Arena Sosial

Teori ini pertama kali dikemukakan oleh william gamson dan andre modigliani, menyatakan bahwa proses sosial dalam rangka


(16)

mengkonstruksi suatu realitas berlangsung dalam suatu “arena sosial”. Media massa dianggap sebagai wadah pertarungan dari berbagai kepentingan yang terdapat dalam masyarakat. kepentingan-kepentingan ini berusaha menampilkan defenisi situasi atau realitas versi mereka yang paling sahih (Hidayat 1999:48).

Dalam memproduksi sebuah isu ada beberapa hal yang dapat dipertimbangkan sehingga menjadi suatu proses. Hal tersebut adalah: a. Cultural Resonances/ Resonansi Budaya

Disini media mengandung nilai-nilai budaya di dalamnya, dimana setiap isu yang terdapat didalamnya terkait dengan nilai budaya yang melekat dalam suatu masyarakat tersebut, seperti halnya pada kaitannya dengan isu tenaga nuklir tersebut bahwa di Amerika sendiri menganggap bahwa teknologi mereka yang harus ditempatkan pada skala yang tepat dan adanya ekosistem yang harus tetap terpelihara dengan baik bukan malah menyalahgunakan teknologi yang ada untuk menggali alam atau merusak alam karena dapat mengganggu dan mengancam ketentraman dan kualitas hidup (Gamson, 1989 :6). Pada kasus ini media yang didalamnya terdapat berbagai kepentingan tidak terlepas dari dalam kultur media sendiri. Nilai-nilai budaya sudah mendarah daging dalam tubuh media ini sangat mempengaruhi berbagai berita yang akan diturunkan kepada khalayak.

b. Sponsor Activities/ Kegiatan Sponsor

Sponsor adalah mereka yang terlibat dalam suatu isu yang sedang dibicarakan dalam wadah media massa tersebut. di sini berkaitan dengan


(17)

isu yang sedang terjadi bahwa sponsor itu sendiri berkaitan dengan berbagai kepentingan seoerti dari pihak pemerintah, pengusaha, masyarakat, tokoh masyarakat, LSM, pemilik moidal atau dengan kata lain bisa merupakan individu atau organisasi. Di sini sponsor adalah mereka-mereka yang dimintai keterangan oleh media berkaitan dengan isu-isu tertentu. Mengenai sumber berita, shoemaker dan reese (Hidayat, 1999:409) menguraikan beberapa dimensi karakter yaitu dimensi effectiveness, dimana sumber memiliki efek yang besar terhadap isi media dan karena itu dalam melaporkan reportasenya, reporter harus mencantumkan sumber dari fakta yang diperolehnya. Serta dimensi multi acces yaitu untuk mengetahui objektivitas berita, dimana media melalui repoter/jurnalisnya berhubungan dengan mereka yang terlibat dalam peristiwa dengan pihak-pihak yang dianggap memiliki pengetahuan atas peristiwa yang diliput.

Namun, dalam konteks media massa yang berlaku name make news atau pewawancara terhadap tokoh penting maka seringkali bahwa proses produksi dan reproduksi struktur sosial lebih banyak didominasi oleh elit sumber.

c. Media Practices/ Kegiatan media

Berkaitan dengan sumber, maka jurnalis atau wartawan seringkali secara tidak sadar telah memberi ruang pada elit sumber tetapi hal tersebutlah yang nantinya akan membuat suatu keragu-raguan apakah berita tersebut akan benar atau salah. Beberapa pengamat telah menuliskan bahwa betapa cerdik/halusnya dan secara tidak sadarnya proses ini


(18)

berlangsung (Gamson, 1989:7). Disini awak media sangat berperan penting dalam kaitannya dengan penyuguhan berita. Mereka lazim menguraikan gagasannya, menggunakan gaya bahasanya sendiri, menjabarkan skemata interpretasinya sendiri, serta mendistribusikan retorika-retorika untuk meneguhkan keberpihakan atau kecenderungan tertentu (Sudibyo, 2001:187).

2. Berita

Berita adalah laporan tentang fakta atau ide yang termasa, yang dipilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik perhatian pembaca, entah karena ia luar biasa atau entah karena pentingnya, atau karena ia mencakup segi-segi human interest, seperti human, emosi dan ketegangan. Namun ada beberapa konsep berita yang dapat dikembangkan yaitu berita itu sebagai laporan tercepat, rekaman fakta-fakta obyektif, interpretasi, sensasi, minat insani, ramalan dan sebagai gambar (Effendy, 1993 :131-134).

Pada umumnya, berita berasal dari peristiwa tetapi tidak semua peristiwa dapat menjadi berita. Dalam proses pembentukan suatu berita banyak faktor yang berpotensi untuk mempengaruhinya, sehingga niscaya akan terjadi pertarungan wacana dalam memaknai realitas dalam presentasi media (Sudibyo, 2001 :7).

Pamela D.Shoemaker dan Stephen D.Reese meringkas berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan yaitu:


(19)

1. Faktor Individual

Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesi dari pengelola media. level individual melihat bagaimana pengaruh aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Aspek personal tersebut seperti jenis kelamin, umur, atau agama.

2. Level Rutinitas Media

Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang dibuat berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standart bagi pengelola media yang berada di dalamnya.

3. Level Organisasi

Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang yang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya sebagian kecil dari organisasi media itu sendiri. Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Misalnya selain sebagai redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum dan seterusnya.


(20)

Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. meskipun berada di luar organisasi media, namun hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus mempengaruhi pemberitaan media. Faktor- faktor tersebut adalah sumber berita, sumber penghasilan media (iklan, pelanggan/pembeli media), pihak eksternal (pemerintah dan lingkungan bisnis), dan ideologi (kerangka berpikir/referensi).

3. Surat Kabar

Perkembangan media komunikasi massa seperti pers, radio, televisi, dan lain-lain begitu cepat. Hal ini berlangsung seiring dengan meningkatnya peran media massa sebagai institusi penting di dalam kehidupan masyarakat. Bila dilihat dari perspektif komunikasi, media massa merupakan channel of mass communication, yakni merupakan saluran (alat, medium) yang digunakan dalam proses komunikasi massa yaitu komunikasi yang diarahkan dan ditujukan kepada masyarakat banyak.

Dalam lingkup studi komunikasi, surat kabar sebagai media komunikasi massa tidak dapat diragukan lagi kemampuannya dalam menyebarkan informasi sebagai media pendidikan dan pembentuk opini publik.

Setiap orang memiliki hak untuk mengetahui segala pernak-pernik kejadian. Dari bekal informasi, setiap orang dapat turut urun-rembug berpartisipasi di dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk mendapatkan


(21)

kepastian informasi dan kemampuan urun rembug itu, setiap orang membutuhkan wartawan surat kabar yang bertugas sebagai wakil masyarakat untuk mencari dan memberi tahu tentang segala peristiwa yang terjadi yang dibutuhkan masyarakat. Pada sisi inilah, mengapa wartawan memiliki hak untuk “tahu” pada segala informasi publik, dan diberi keleluasaan untuk mencari ke mana pun informasi itu berada.

Menurut Santana (2005: 87), surat kabar harian sendiri terbit untuk mewadahi keperluan masyarakat tersebut. Informasi menjadi instrumen penting dari masyarakat industri. Oleh sebab itulah, surat kabar harian bisa disebut sebagai produk dari industri masyarakat. Di samping itu dalam bentuknya yang independen, surat kabar biasanya integral dengan perkembangan paham demokrasi di sebuah masyarakat. Hal tersebut bisa terlihat dari kondisi kebebasan pers yang terdapat di sebuah masyarakat, dan tingkat keberaksaraan masyarakat

Perkembangan surat kabar, menurut Encyclopedia Brittanica (Santana, 2005: 87-88) bisa dilihat dari tiga fase:

Fase pertama, fase para pelopor yang mengawali penerbitan surat kabar yang muncul secara sporadis, dan secara gradual kemudian menjadi penerbitan yang teratur waktu terbit dan materi pemberitaan serta khalayak pembacanya.

Fase kedua, sistem otokrasi yang masih menguasai masyarakat membuat surat kabar kerap ditekan kebebasan menyampaikan laporan pemberitaannya. Penyensoran terhadap berbagai subyek materi informasinya kerap diterima surat kabar. Setiap pendirian surat kabar


(22)

mesti memiliki izin dari berbagai pihak yang berkuasa. Semua itu akhirnya mengurangi independensinya sebagai instrumen media informasi.

Fase ketiga, ialah masa penyensoran telah tiada namun berganti dengan berbagai bentuk pengendalian. Kebebasan pers memang telah didapat. Berbagai pemberitaan sudah leluasa disampaikan. Namun sistem kapitalisasi industri masyarakat kerap menjadi pengontrol. Ini dilakukan antara lain melalui pengenaan pajak, penyuapan, dan sanksi hukum yang dilakukan kepada berbagai media dan pelaku-pelakunya.

4. Teks Berita : Pandangan Konstruksionis

Pendekatan konstruktivisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif Peter L. Berger bersama Thomas Luckman. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secama ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, dia dibentuk dan dikonstruksi secara berbeda-beda oleh semua orang. Artinya, setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas.

Penerapan gagasan Berger dalam ranah konteks berita adalah bahwa sebuah teks dalam berita tidak dapat kita samakan sebagai Copy (cerminan) dari realitas (mirror of reality), ia harus dipandang sebagai hasil konstruksi atas realitas. Realitas lapangan sebenarnya berbeda dengan realitas media. karenanya sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Sekelompok wartawan yang meliput suatu peristiwa, dapat memiliki konsepsi dan pandangan yang berbeda ketika melihat suatu


(23)

peristiwa dan itu dapat dilihat dari bagaimana mereka mengkonstruksi peristiwa itu, yang diwujudkan dalam teks berita (Eriyanto, 2001 :17).

Berita dalam pandangan konstruksi sosial, bukan merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang rill.disini realitas bukan diperoleh begitu saja sebagai berita, ia adalah produk interaksi antara wartawan dengan fakta.

5. Analisis Framing

Analisis framing termasuk ke dalam paradigma konstruksionis. Analisis Framing adalah salah satu metode analisis media, seperti halnya analisis isi dan analisis semiotik. Framing secara sederhana adalah membingkai sebuah peristiwa. Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya (Sobur, 2004 :162).

Framing merupakan metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan penonjolan terhadap aspek-aspek tertentu, dengan menggunakan istilah-istilah yang mempunyai konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya (Sudibyo, 2004 :186).


(24)

Ada hal penting dalam framing, ketika sesuatu diletakkan dalam frame, tidak semua berita ditampilkan dalam arti ada bagian yang dibuang dan ada bagian yang dilihat. Untuk menjelaskan framing kita bisa menghadirkan analogi ketika kita memfoto suatu pemandangan, maka maksud foto hanyalah bagian yang berada dalam frame, sementara bagian yang lain terbuang. Contohnya adalah pasphoto Rachmat. Ketika Rachmat difoto 3x4 untuk KTP, maka di frame adalah bagian dada ke atas. Bagian bawah tidak termasuk dalam Frame (Kriyantono, 2008 :251-252). Tentunya ada alasan mengapa framing dilakukan pada bagian tententu, mengapa bagian tertentu yang difoto sementara bagaian yang lain tidak. Oleh karena itu analisis framing hadir untuk menanyakan mengapa peristiwa X diberitakan dan ssedangkan peristiwa yang lain tidak? Mengapa suatu tempat dan pihak yang terlibat berbeda meskipun peristiwanya sama? Mengapa realita didefenisikan dengan cara tertentu? Mengapa sisi atau angle tertentu ditonjolkan sementara yang lain tidak? Mengapa menampilkan sumber berita X dan mengapa bukan sumber berita lain yang diwawancarai?

Jadi analisis framing ini merupakan analisis untuk mengkaji pembingkaian realitas (peristiwa, individu, kelompok, lain-lain) yang dilakukan media. pembingkaian tersebut merupakan proses konstruksi, yang artinya realitas dimaknai dan direkonstruksi dengan cara dan makna tertentu. Framing digunakan media untuk menonjolkan atau memberi penekanan aspek tertentu sesuai kepentingan media. akibatnya, hanya bagian tertentu saja yang lebih bermakna.


(25)

Dalam praktik, analisis framing banyak digunakan untuk melihat frame surat kabar karena masing-masing surat kabar memiliki kebijakan politis tersendiri.

Dalam penelitian ini perangkat framing yang digunakan ialah model framing yang dikembangkan oleh Gamson dan Modigliani. Framing yang dikembangkan Gamson dan Modigliani memahami framing sebagai seperangkat gagasan atau ide sentral ketika seseorang atau media memahami dan memaknai suatu isu. Jadi perangkat wacana akan saling mendukung satu dengan yang lainnya menuju sauatu titik pertemuan yaitu ide sentral dari suatu berita.

I.6 Kerangka Konsep

Kerangka sebagai hasil dari pemikiran yang rasional merupakan uraian yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang dicapai dan dapat mengantarkan penelitian pada rumus hipotesis (Nawawi,1995:40).

Konsep adalah penggambaran secara tepat fenomena yang hendak diteliti yakni istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun,1995:57).

Jadi kerangka konsep adalah hasil pemikiran yang rasional dalam menguraikan rumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari masalah yang diuji kebenarannya. Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus dioperasionalkan dengan mengubahnya menjadi variabel.


(26)

Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah model analisis yang dikembangkan oleh Gamson dan Modigliani seperti gambar berikut ini;

Tabel perangkat framing Gamson dan Modigliani

Sumber : Eriyanto, 2001 : 256 Media Package

(Perspektif)

Core Frame

Considering Symbols

Reasoning Devices Framing Devices

1. Roots

2. Appeals to Devices 3. COnsequences 1. Metaphors

2. Exemplars 3. Catchphrases 4. Depictions 5. Visual Images


(27)

I.7 Defenisi Operasional Variabel I.7.1 Framing

Framing yang dikembangkan Gamson dan Modigliani memahami wacana satu gugusan perspektif interpretasi (interpretative packages) saat mengkonstruksi dan memberikan makna suatu isu. Sebuah package memiliki struktur internal. Pada inti struktur terdapat gagsan sentral (core frame) yang berisi elemen-elemen inti untuk memberikan pengertian yang relevan terhadap peristiwa, dan mengarahkan makna isu yang dibangun melalui condensing symbol. Condesing symbols terdiri dari framing devices (yang mengarahkan bagaimana cara melihat isu) dan reasoning devices )yang memberikan alasan pembenar apa yang seharusnya dilakukan terhadap isu tersebut).

a. Framing Devices a.1 Metaphors

dipahami sebagai cara memindahkan (transpose) makna sesuatu dengan merelasikan dua fakta analogi, sering berupa kiasan menggunakan kata : seperti, bak, laksana, dll.

a.2 Exemplars

adalah menguraikan atau mengemas fakta tertentu saja secara mendalam agar memiliki bobot makna lebih pada satu sisi untuk dijadikan rujukan. Posisinya sebagai pelengkap dalam kesatuan wacana. Tujuannya memperoleh pembenaran beroperasinya kekuasaan.


(28)

a.3 Cathprases

adalah istilah, bentukan kata atau fase khas cerminan fakta yang merujuk pada pemikiran atau semangat sosial tertentu guna mendukung praktek kekuasaan. Dalam wacana cathprases dapat berwujud jargon, slogan, semboyan.

a.4 Depictions

adalah penggambaran fakta melalui kata, istilah, kalimat bermakna konotatif, dan bertendensi khusus agar pemahaman khalayak terarah kecitra tertentu, misalnya mencuatkan gairah, harapan, ketakutan, posisi, moral serta perubahan. Depiction berupa stigmasi, disfemisme dan akronimisasi.

a.5 Visual image

adalah pemakaian foto, diagram grafism tabel, kartun dan sejenisnya yntuk mengekspresikan pesan. Misalnya perhatian (penegasan) atau penolakan (kontras) menggunakan huruf dibesarkan, dikecilkan, ditebalkan, dimiringkan atau digarisbawahi serta pemakaian bermacam wacana.

Merupakan berita yang dijadikan topik utama oleh media b. Reasoning Devices

b.1 Roots

analisis kausal dengan mengedepankan hubungan yang melibatkan suatu objek atau lebih yang dianggap suatu sebab terjadinya hal lain. Tujuannya untuk memberikan alasan pembenar dalam penyimpulannya.


(29)

b.2 Appelas to principles

upaya memberikan alasan pembenar memakai logika dan prinsip moral untuk mengklaim suatu kebenaran saat membangun wacana. Sifat appelas to principles yang apriori, dogmatis, simplistik dan mono kausal terkadang membuat khalayak tak berdaya menyanggahi isi argumentasi.

b.3 Consequences

adapun efek atau konsekuensi yang didapat dari framing.

I. 8 Metodologi Penelitian

Metode dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan bagaimana peneliti dalam menggambarkan tentang tata cara pengumpulan data yang diperlukan, serta analisis data. Metodologi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.

Riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-sedalam-dalamnya. Riset ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling bahkan populasi atau sampling-nya sangat terbatas. Jika data yang terkumpul sudak mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya. Di sini yang lebih ditekankan adalah persoalan kedalaman (kualitas) bukan banyaknya (kuantitas) (Kriyantono, 2008 : 56-57).


(30)

I.8.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan dipakai dalam penelitian ini menggunakan model analisis framing yang dibuat oleh Gamson dan Modigliani.

I.8.2 Subjek Penelitian

Subjek penelitian pada penelitian ini berupa kumpulan berita tentang sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait perseteruan Polri dan KPK.

I.8.3 Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti yaitu: 1. Studi Dokumenter

Data-data unit analisis dikumpulkan dengan cara mengumpulkan data dari bahan-bahan tertulis pada harian Kompas yang memuat berita tentang program kerja 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu II.

2. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Penelitian ini dilakukan dengan cara mempelajari dan mengumpulkan data melalui literatur dan sumber bacaan yang relevan dan mendukung penelitian. Dalam hal ini penelitian kepustakaan dilakukan dengan membaca buku-buku, literatur serta tulisan yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.

I.8.4 Teknik Analisis Data

Penelitian ini akan memusatkan pada penelitian kualitatif dengan perangkat metode analisis isi memakai analisis framing.


(31)

Tabel 1. Berita Pembentukan citra Presiden SBY terkait kasus Perseteruan Polri dan KPK.

No Judul Berita Edisi Hlm Deskripsi Umum

Tabel 2. Frame isi Pemberitaan Frame :

Metaphors Roots

Catchphrases Appeals to Principle

Depictions Consequences

Exemplaar


(32)

BAB II

URAIAN TEORITIS

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nanawi, 2001:39).

Berikut beberapa teori yang relevan dengan penelitian ini: II.1 Media Massa Sebagai Arena Sosial

Teori ini pertama kali dikemukakan oleh william gamson dan andre modigliani, menyatakan bahwa proses sosial dalam rangka mengkonstruksi suatu realitas berlangsung dalam suatu “arena sosial”. Media massa dianggap sebagai wadah pertarungan dari berbagai kepentingan yang terdapat dalam masyarakat. kepentingan-kepentingan ini berusaha menampilkan defenisi situasi atau realitas versi mereka yang paling sahih (Hidayat 1999:48).

Dan di dalam penelitiannya tersebut, gamson menyimpulan bahwa ada tiga frame yang mampu mempengaruhi gerakan sosial yakni: pertama, aggregate frame, yaitu merupakan proses pendefenisian isu mengenai masalah sosial. Bagaimana individu yang mendengar fraame peristiwa tersebut sadar bahwa isu yang sedang berkembang tersebut adalah yang berpengaruh bagi setiap individu. Kedua, Consensus Frame, yaitu proses pendefenisian yang berkaitan dengan masalah sosial yang hanya bisa diselesaikan secara kolektif. Dan ketiga, Collective Action Frame, yaitu


(33)

proses pendefenisian yang berkaitan dengan alasan mengapa dibutuhkan tindakan kolektif serta tindakan kolektif apa yang seharusnya dilakukan. Dan selanjutnya hasil studi tersebut menjadi teori yang memandang bahwa media massa merupakan suatu arena dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam masyarakat (Eriyanto, 2002 :221-222).

Dalam memproduksi sebuah isu ada beberapa hal yang dapat dipertimbangkan sehingga menjadi suatu proses. Hal tersebut adalah:

a. Cultural Resonances/ Resonansi Budaya

Disini media mengandung nilai-nilai budaya di dalamnya, dimana setiap isu yang terdapat didalamnya terkait dengan nilai budaya yang melekat dalam suatu masyarakat tersebut, seperti halnyapada kaitannya dengan isu tenaga nuklir tersebut bahwa di Amerika sendiri menganggap bawa teknologi mereka yang harus ditempatkan pada skala yang tepat dan adanya ekosistem yang harus tetap terpelihara denganbaik bukan malah menyalahgunakan teknologi yang ada untuk menggali alam atau merusak alam karena dapat mengganggu dan mengancam ketentraman dan kualitas hidup (gamson dan modigliani, 1989 :6). Pada kasus ini media yang didalamnya terdapat berbagai kepentingan tidak terlepas dari dalam kultur media sendiri. Nilai-nilai budaya sudah mendarah daging dalam tubuh media ini sangat mempengaruhi berbagai berita yang akan diturunkan kepada khalayak.

Nilai kebudayaan ini bersifat konstan. Hal ini membantu kita untuk menerangkan perubahan dalam surut dan mengalirnya paket (packages) dalam perbincangan media. paket kebudayaan yang diperdebatkan ini


(34)

melengkapi kerja sponsor dan memperkuat pengaru aktifitas sponsor dan posisi media.

Karena setiap individu masing-masing memiliki latar belakang sejarah, interaksi sosial dan kecenderungan psikologis yang berbeda dalam melakukan proses konstrusi makna. Umumnya, pendekatan yang dilakukan terhadap suatu isu adalah membuat suatu bagan pendahuluan, sekalipun hanya bersifat sementara (Gamson dan modigliani, 1987:2)

b. Sponsor Activities/ Kegiatan Sponsor

Sponsor adalah mereka yang terlibat dalam suatu isu yang sedang dibicarakan dalam wadah media massa tersebut. di sini berkaitan dengan isu yang sedang terjadi bahwa sponsor itu sendiri berkaitan dengan berbagai kepentingan seoerti dari pihak pemerintah, pengusaha, masyarakat, tokoh masyarakat, LSM, pemilik moidal atau dengan kata lain bisa merupakan individu atau organisasi. Di sini sponsor adalah mereka-mereka yang dimintai keterangan oleh media berkaitan dengan isu-isu tertentu. Mengenai sumber berita, shoemaker dan reese (Hidayat, 1999:409) menguraikan beberapa dimensi karakter tyaitu dimensi effectiveness, dimana sumber memiliki efek yang besar terhadap isi media dan karena itu dalam melaporkan reportasenya, reporter harus mencantumkan sumber dari fakta yang diperolehnya. Serta dimensi multi acces yaitu untuk mengetahui objektivitas berita, dimana media melalui repoter/jurnalisnya berhubungan dengan mereka yang terlibat dalam


(35)

peristiwa dengan pihak-pihak yang dianggap memiliki pengetahuan atas peristiwa yang diliput.

Namun, dalam konteks media massa yang berlaku name make news atau pewawancarfa terhadap tokoh penting maka seringkali bahwa proses produksi dan reproduksi struktur sosial lebih banyak didominasi oleh elit sumber.

c. Media Practices/ Kegiatan media

Berkaitan dengan sumber, maka jurnalis atau wartawan seringkali secara tidak sadar telah memberi ruang pada elit sumber tetapi hal tersebutlah yang nantinya akan membuat suatu keragu-raguan apakah berita tersebut akan benar atau salah. Beberapa pengamat telah menuliskan bahwa betapa cerdik/halusnya dan secara tidak sadarnya proses ini berlangsung (gamson-modigliani, 1989:7). Disini awak media sangat berperan penting dalam kaitannya dengan penyuguhan berita. Mereka lazim menguraikan gagasannya, menggunakan gaya bahasanya sendiri, menjabarkan skemata interpretasinya sendiri, serta mendistribusikan retorika-retorika untuk meneguhkan keberpihakan atau kecenderungan tertentu (Sudibyo, 2001:187).


(36)

II.2 Berita

Berita adalah laporan tentang fakta atau ide yang termasa, yang dipilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik perhatian pembaca, entah karena ia luar biasa atau entah karena pentingnya, atau karena ia mencakup segi-segi human interest, seperti human, emosi dan ketegangan. Namun ada beberapa konsep berita yang dapat dikembangkan yaitu berita itu sebagai laporan tercepat, rekaman fakta-fakta obyektif, interpretasi, sensasi, minat insani, ramalan dan sebagai gambar (Effendy, 1993 :131-134).

Secara sosiologis, berita adalah semua hal ang terjadi di dunia. Dalam gambaran yang sederhana, berita adalah apa yang dituliskan surat kabar, apa yang disiarkan radio dan apa yang ditayangkan televisi. Berita menampilkan fakta, tetapi tidak setiap setiap orang bisa dijadikan berita. Berita merupakan sejumlah peristiwa yang terjadi di dunia, tetapi hanya sebagian kecil saja yang dilaporkan (Sumadiria, 2005:63).

Berita dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori: berita berat (hard newa) dan berita ringan (soft news). Selain itu berita juga dapat dibedakan menurut lokasi peristiwanya, di tempat terbuka atau di tempat tertutup. Sedangkan berdasarkan sifatnya, berita bisa dipilah menjadi berita diduga dan berita tidak diduga. Selebihnya, berita juga bisa dilihat menurut materi isinya yang berneka ragam (Sumadiria, 2005:65-66).

Pada umumnya, berita berasal dari peristiwa tetapi tidak semua peristiwa dapat menjadi berita. Dalam proses pembentukan suatu berita banyak faktor yang berpotensi untuk mempengaruhinya, sehingga niscaya


(37)

akan terjadi pertarungan wacana dalam memaknai realitas dalam presentasi media (Sudibyo, 2001 :7).

Pamela D.Shoemaker dan Stephen D.Reese meringkas berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan yaitu:

5. Faktor Individual

Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesi dari pengelola media. level individual melihat bagaimana pengaruh aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Aspek personal tersebut seperti jenis kelamin, umur, atau agama.

6. Level Rutinitas Media

Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang dibuat berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standart bagi pengelola media yang berada di dalamnya.

7. Level Organisasi

Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang yang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya sebagian kecil dari organisasi media itu sendiri. Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi


(38)

mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Misalnya selain sebagai redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum dan seterusnya.

8. Level Ekstramedia

Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. meskipun berada di luar organisasi media, namun hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus mempengaruhi pemberitaan media. Faktor- faktor tersebut adalah sumber berita, sumber penghasilan media (iklan, pelanggan/pembeli media), pihak eksternal (pemerintah dan lingkungan bisnis), dan ideologi (kerangka berpikir/referensi).

II.3 Surat Kabar

Perkembangan media komunikasi massa seperti pers, radio, televisi, dan lain-lain begitu cepat. Hal ini berlangsung seiring dengan meningkatnya peran media massa sebagai institusi penting di dalam kehidupan masyarakat. Bila dilihat dari perspektif komunikasi, media massa merupakan channel of mass communication, yakni merupakan saluran (alat, medium) yang digunakan dalam proses komunikasi massa yaitu komunikasi yang diarahkan dan ditujukan kepada masyarakat banyak.

Dalam lingkup studi komunikasi, surat kabar sebagai media komunikasi massa tidak dapat diragukan lagi kemampuannya dalam


(39)

menyebarkan informasi sebagai media pendidikan dan pembentuk opini publik.

Setiap orang memiliki hak untuk mengetahui segala pernak-pernik kejadian. Dari bekal informasi, setiap orang dapat turut urun-rembug berpartisipasi di dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk mendapatkan kepastian informasi dan kemampuan urun rembug itu, setiap orang membutuhkan wartawan surat kabar yang bertugas sebagai wakil masyarakat untuk mencari dan memberi tahu tentang segala peristiwa yang terjadi yang dibutuhkan masyarakat. Pada sisi inilah, mengapa wartawan memiliki hak untuk “tahu” pada segala informasi publik, dan diberi keleluasaan untuk mencari ke mana pun informasi itu berada.

Menurut Santana (2005: 87), surat kabar harian sendiri terbit untuk mewadahi keperluan masyarakat tersebut. Informasi menjadi instrumen penting dari masyarakat industri. Oleh sebab itulah, surat kabar harian bisa disebut sebagai produk dari industri masyarakat. Di samping itu dalam bentuknya yang independen, surat kabar biasanya integral dengan perkembangan paham demokrasi di sebuah masyarakat. Hal tersebut bisa terlihat dari kondisi kebebasan pers yang terdapat di sebuah masyarakat, dan tingkat keberaksaraan masyarakat

Perkembangan surat kabar, menurut Encyclopedia Brittanica (Santana, 2005: 87-88) bisa dilihat dari tiga fase:

Fase pertama, fase para pelopor yang mengawali penerbitan surat kabar yang muncul secara sporadis, dan secara gradual kemudian menjadi


(40)

penerbitan yang teratur waktu terbit dan materi pemberitaan serta khalayak pembacanya.

Fase kedua, sistem otokrasi yang masih menguasai masyarakat membuat surat kabar kerap ditekan kebebasan menyampaikan laporan pemberitaannya. Penyensoran terhadap berbagai subyek materi informasinya kerap diterima surat kabar. Setiap pendirian surat kabar mesti memiliki izin dari berbagai pihak yang berkuasa. Semua itu akhirnya mengurangi independensinya sebagai instrumen media informasi.

Fase ketiga, ialah masa penyensoran telah tiada namun berganti dengan berbagai bentuk pengendalian. Kebebasan pers memang telah didapat. Berbagai pemberitaan sudah leluasa disampaikan. Namun sistem kapitalisasi industri masyarakat kerap menjadi pengontrol. Ini dilakukan antara lain melalui pengenaan pajak, penyuapan, dan sanksi hukum yang dilakukan kepada berbagai media dan pelaku-pelakunya.

Surat kabar memiliki kelebihan khusus bila dibandingkan dengan media cetak lainnya yaitu pesan-pesan yang disampaikan melalui surat kabar bersifat permanen, mudah disimpan serta diambil kembali dan pengaruhnya dapat dikontrol pembaca. Isi pesannya dapat dibaca dimana dan kapan saja, yang berarti tidak terikat pada waktu. Di samping itu pada media massa tercetak bahasa yang digunakan adalah bahasa tulisan, tidak seperti media massa radio dan televisi, bvahasa yang digunakan adalah bahasa tuturan yang sangat dipengaruhi pula oleh cara penyajiannya, maka pada media massa tercetakpenggunaan kalimat panjang atau majemuk


(41)

tidak menjadi permasalahan dan penulisan bilangan sampai sekecil-kecilnya tidak akan menimbulkan permasalahan.

II.4 Citra

Citra merupakan kesan, perasaan, gambaran diri publik terhadap perusahaan, kesan yang dengan sengaja diciptakan dari suatu obyek, orang atau organisasi (Soemirat, 2004 :112).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian Citra adalah: 1. Kata benda : gambar, rupa dan gambaran

2. Gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai probadi, perusahaan, organisasi atau produk.

3. Kesan atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase atau kalimat dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa atau puisi.

(Soemirat, 2004 :114).

Menurut Kotler citra adalah seperangkat keyakinan, ide dan kesan yang dimiliki oleh sesorang terhadap suatu objek. Sikap dan tindakan orang terhadap objek sangat ditentukan oleh citra objek

tersebut.

Citra adalah peta Anda tentang dunia. Tanpa cutra Anda selalu berada dalam suasana yang tidak pasti. Citra adlag gambaran tentang realitas dan tidak harus selalu sesuai dengan realitas. Citra adalah dunia menurut persepsi kita. (Rakhmat, 2005: 223)


(42)

Menurut McLuhan, media massa adalah perpanjangan alat indera kita. Dengan media massa kita memperoleh informasi benda, orang atau tempat yang tidak kita alami secara langsung. Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi – realitas tangan-kedua (second hand reality) televisi memilih tokoh-tokoh tertentu untuk ditampilkan dan mengesampingkan tokoh yang lain. Surat kabar – melalui proses yang disebut “gatekeeping” menyeleksi berita. Payahnya, karena kita tidak dapat- dan tidak sempat- mengecek peristiwa-peristiwa yang disajikan media, kita cenderung memperoleh informasi itu semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa.

Jadi, akhirnya, kita membentuk citra tentang lingkungan sosial kita berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa.

II.5 Teks Berita : Pandangan Konstruksionis

Pendekatan konstruktivisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif Peter L. Berger bersama Thomas Luckman. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secama ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, dia dibentuk dan dikonstruksi secara berbeda-beda oleh semua orang. Artinya, setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas.

Penerapan gagasan Berger dalam ranah konteks berita adalah bahwa sebuah teks dalam berita tidak dapat kita samakan sebagai Copy (cerminan)


(43)

dari realitas (mirror of reality), ia harus dipandang sebagai hasil konstruksi atas realitas. Realitas lapangan sebenarnya berbeda dengan realitas media. karenanya sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Sekelompok wartawan yang meliput suatu peristiwa, dapat memiliki konsepsi dan pandangan yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa dan itu dapat dilihat dari bagaimana mereka mengkonstruksi peristiwa itu, yang diwujudkan dalam teks berita (Eriyanto, 2001 :17).

Berita dalam pandangan konstruksi sosial, bukan merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang rill. Disini realitas bukan diperoleh begitu saja sebagai berita, ia adalah produk interaksi antara wartawan dengan fakta.

Berger dan Luckman menyatakan terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Berger menyebut proses dialektis tersebut sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa (Eriyanto, 2004: 14-15). Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat di mana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suaru dunia-dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia.

Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil


(44)

itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi realitas sui generis. Hasil dari eksternalisasi kebudayaan- itu misalnya manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya. Atau kebudayaan non-materiil dalam bentuk bahasa. Baik alat tadi maupun bagasa adalah kegiatan eksternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus sebagai realitas objektif, ada di luar kesadaran manusia, ada “di sana” bagia setiap orang. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang.

Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih emrupakan penyerapan kembali dunia objektid ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas di luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat.

Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman seperti ini, realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang bisamempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu


(45)

realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksi masing-masing. Selain plural, konstruksi sosial itu juga bersifat dinamis (Eriyanto, 2004:15).

Paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini seringkali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia sering dilawankan dengan parafigma positivis/paradigma transmisi (Eriyanto, 2004:37).

Ada dua karakteristik penting dari pendekatan kontruksionis. Pertama, pendekatan konstruksionis menekankan pada politk pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Makna bukanlah suatu yang absolut, konsep statik yang ditemukan dalam suatu pesan. Makna adalah suatu proses aktif yang ditafsirkan seseorang dalam suatu pesan. Kedua, pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang dinamis. Pendekatan konstruksionis memeriksa bahaimana pembentukan pesan dari sisi komunikator, dan dalam sisi penerima ia memeriksa bagaimana pembentukan pesan dari sisi komunikator, dan dalam sisi penerima ia memeriksa bagaimana konstruksi makna individu ketika menerima pesan. Pesan dipandang bukan sebagai mirror of reality yang menampilkan fakta apa adanya. Dalam


(46)

menyampaikan pesan, seseorang menyusun citra tertentu atau merangkai ucapan tertentu dalam memberikan gambaran tentang realitas. Sesorang komunikator dengan realitas yang ada akan menampilkan fakta tertentu kepada komunikan, memberikan pemaknaan tersendiri terhadap suatu peristiwa dalam konteks pengalaman, pengetahuannya sendiri (Eriyanto, 2004 :40-41).

II.6 Analisis Framing

Analisis framing termasuk ke dalam paradigma konstruksionis. Analisis Framing adalah salah satu metode analisis media, seperti halnya analisis isi dan analisis semiotik. Framing secara sederhana adalah membingkai sebuah peristiwa. Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya (Sobur, 2004 :162).

Gagasan mengenai framing pertama kali dilontarkan oleh Baterson tahun 1955. Frame pada awalnya dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandanga politik, kebijakan dan wacana, yang menyediakan kategori-kategori standard untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman (1974) yang mengandaikan frame sebagai


(47)

kepingan-kepingan perilaku (strips of behavior) yang membimbing individu dalam membaca realitas. (Sudibyo, 2001 :219).

Framing merupakan metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan penonjolan terhadap aspek-aspek tertentu, dengan menggunakan istilah-istilah yang mempunyai konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya (Sudibyo, 2004 :186).

Ada hal penting dalam framing, ketika sesuatu diletakkan dalam frame, tidak semua berita ditampilkan dalam arti ada bagian yang dibuang dan ada bagian yang dilihat. Untuk menjelaskan framing kita bisa menghadirkan analogi ketika kita memfoto suatu pemandangan, maka maksud foto hanyalah bagian yang berada dalam frame, sementara bagian yang lain terbuang. Contohnya adalah pasphoto Rachmat. Ketika Rachmat difoto 3x4 untuk KTP, maka di frame adalah bagian dada ke atas. Bagian bawah tidak termasuk dalam Frame (Kriyantono, 2008 :251-252). Tentunya ada alasan mengapa framing dilakukan pada bagian tententu, mengapa bagian tertentu yang difoto sementara bagaian yang lain tidak. Oleh karena itu analisis framing hadir untuk menanyakan mengapa peristiwa X diberitakan dan ssedangkan peristiwa yang lain tidak? Mengapa suatu tempat dan pihak yang terlibat berbeda meskipun peristiwanya sama? Mengapa realita didefenisikan dengan cara tertentu? Mengapa sisi atau angle tertentu ditonjolkan sementara yang lain tidak?


(48)

Mengapa menampilkan sumber berita X dan mengapa bukan sumber berita lain yang diwawancarai?

Jadi analisis framing ini merupakan analisis untuk mengkaji pembingkaian realitas (peristiwa, individu, kelompok, lain-lain) yang dilakukan media. pembingkaian tersebut merupakan proses konstruksi, yang artinya realitas dimaknai dan direkonstruksi dengan cara dan makna tertentu. Framing digunakan media untuk menonjolkan atau memberi penekanan aspek tertentu sesuai kepentingan media. akibatnya, hanya bagian tertentu saja yang lebih bermakna.

Ada dua aspek dalam framing. Pertama, memilih fakta/realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin memilih peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Bagian mana yang ditekankan dalam realitas? Bagian mana dari realitas yang diberitakan dan bagian mana dari realitas yang tidak diberitakan? Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angle tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Intinya, peristiwa dilihat dari sisi tertentu. Akibatnya, pemahaan dan konstruksi atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan media lain. Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan aspek atau peristiwa yang lain.


(49)

Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu: penempatan yang mencolok (menempatkan di headline depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi dengan simbol budaya, generalisasi, simplifikasi, dan pemakaian kata yang mencolok, gambar dan sebagainya. Elemen menulis fakta ini berhubungan dengan penonjolan realitas. Pemakaian kata, kalimat, atau foto itu merupakan implikasi dari memilih aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, aspek tertentu yang ditonjolkan menjadi menonjol, lebih mendapat alokaaso dan perhatian yang besar dibandingkan aspek yang lain. Semua aspek itu, dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak (Eriyanto, 2004:69-70).

Gagasan Gamson mengenai frmae media ditulis bersama Andre Modigliani. Sebuah frame mempunyai struktur internal. Pada titik ini ada sebuah pusat organisasi atau ide, yang membuat peristiwa menjadi relevan dan menekankan sebuah isu. Sebuah frame pada umumnya menunjukkan dan menggambarkan range posisi, bukan hanya satu posisi.

Dalam formulasi yang dibuat oleh Gamson dan Modigliani, frame dipandang sebagai cara bercerita (story line) atau gugusan ide-ide yang


(50)

tersusun sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana. Gamson melihat wacana media (khususnya berita) terdiri atas sejumlah kemasan (package) melalui mana konstruksi atas suatu peristiwa dibentuk. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita.

Cara pandang atau perspektif tersebut pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan dan hendak kemana berita tersebut dibawa, Gamson Modigliani menyebut cara pandang tersebut sebagai kemasan (package) (Eriyanto, 2005 :223-224).

Dalam praktik, analisis framing banyak digunakan untuk melihat frame surat kabar karena masing-masing surat kabar memiliki kebijakan politis tersendiri.


(51)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Deskripsi Lokasi Penelitian 1.1.Sejarah Harian Umum KOMPAS

Ide awal penerbitan harian ini datang dari mengutarakan keinginannya kepada yang berimbang, kredibel, dan independen. Frans kemudian mengemukakan keinginan itu kepada dua teman baiknya sebagai editor in-chief pertamanya.

Awalnya harian ini diterbitkan dengan nama Bentara Rakyat. Atas usul Presiden fakta dari segala penjuru.

Kompas mulai terbit pada tanggal penjualan surat kabar secara nasional. Pada t mencapai 530.000 eksemplar, khusus untuk edisi 610.000 eksemplar. Pembaca koran ini mencapai 2,25 juta orang di seluruh

Seperti kebanyakan surat kabar yang lain, harian Kompas dibagi menjadi tiga halaman bagian, yaitu bagian depan yang memuat berita nasional dan internasional, bagian berita bisnis dan keuangan, serta bagian berita olahraga.


(52)

1.2.Visi, Misi dan Motto KOMPAS 1.2.1. Visi kompas

“Menjadi Institusi Yang Memberikan Pencerahan Bagi Perkembangan Masyarakat Indonesia Yang Demokratis Dan Bermartabat Serta Menjunjung Tinggi Asa Dan Nilai Kemanusiaan”

Dalam kiprahnya di industri pers, “visi KOMPAS” berpartisipasi membangun masyarakat Indonesia baru berdasarkan Pancasila melalui prinsip humanisme trancendental (persatuan dalam perbedaan) dengan menghormati individu dan masyarakat adil dan makmur. Secara lebih spesifik bisa diuraikan sebagai berikut:

a. KOMPAS adalah lembaga pers yang bersifat umum dan terbuka.

b. Kompas tidak melibatkan diri dalam kelompok-kelompok tertentu baik politikm agama, sosial, atau golongan ekonomi. c. KOMPAS secara aktif membuka dialog dan berinteraksi positif

dengan segala kelompok.

d. KOMPAS adalah koran nasional yang bersih mewujudkan aspirasi dan cita-cita bangsa.

e. KOMPAs bersifat luas dan bebas dalam pandangan yang dikembangkan tetapi selalu memperhatikan konteks struktur kemasyarakatan dan pemerintah yang menjadi lingkungan.


(53)

1.2.2. Misi kompas

“Mengantasisipasi Dan Merespon Dinamika Masyarakat Secara Profesional, Sekaligus Memberi Arah Perubahan (Trend Setter) Dengan Menyediakan Dan Menyebarluaskan Informasi Terpercaya.”

KompaS berperan serta ikut mencerdaskan bangsa, menjadi nomor satu dalam semua usaha diantara usaha-usaha lain yang sejenis dalm kelas yang sama. Hal tersebut dicapai melalui etika usaha bersih dengan melakukan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan lain. Hal ini dijabarkan dalam 5 sasaran operasional:

a. KOMPAS memberikan informasi yang berkualiyas dengan ciri: cepat, cermat, utuh dan selalu mengandung makna.

b. KOMPAS memiliki bobot jurnalistik yang tinggi dan terus dikembangkan untuk mewujudkan aspirasi dan selera terhormat yang dicerminkan dalam gaya kompak, komunikatif, dan kaya nuansa kehidupan dan kemanusiaan.

c. Kualitas informasi dan bobot jurnalistik dicapai melalui upaya intelektual yang penuh empati dengan pendekatan rasional, memahami jalan pikiran dan argumentasi pihak lain, selalu berusaha mendudukkan persoalan dengan penuh pertimbangan tetapi tetap kritis dan teguh pada prinsip.

d. Berusaha menyebarkan informasi seluas-luasnya dengan meningkatkan tiras.

e. Untuk dapat merealisasikan visi dan misi kompas harus memperoleh keuntungan yang dicari bukan sekedar demi


(54)

keuntungan itu sendiri tetapi menjunjung kehidupan layak bagi karyawan dan pengembangan usaha sehingga mampu melaksakan tanggung jawab sosialnya sebagai perusahaan.

1.2.3. Motto KOMPAS

“Amanat Hati Nurani Rakyat”

Menggambarkan cisi dan misi bagi disuarakannya hati nurani rakyat. KOMPAs ingin berkembang sebagai institusi pers yang mengedepankan keterbukaan, meninggalkan pengkotakan latar belakang suku, agam, ras, dan golongan. Ingin berkembang secara “Indonesia Murni”, karena KOMPAS sendiri adalah lambang yang terbuka, kolektif. Ingin ikut serta dalam upaya mencerdaskan bangsa. KOMPAS ingin menempatkan kemanusiaan sebagai nilai tertinggi, mengarahkan fokus perhatian dan tujuan pada nilai-nilai yang transenden atau mengatasi kepentingan kelompok. Rumusan bakunya adalah “humanisme trancencental”. “kata hati mata hati”, pepatah yang kemudian ditemukan, menegaskan semangat empathy dan compassion Kompas.

III. 2. Metodologi Penelitian

Metodologi dalam pengerjaan penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan bagaimana peneliti dalam menggambarkan tentang tata cara pengumpulan data yang diperlukan, serta analisis data. Metodologi merupakan hal yang penting dalam menentukan secara teoritis teknik operasional yang digunakan. Metode yang digunakan didalam penelitian ini adalah analisis framing.


(55)

Dalam hal ini isi berita yang akan dianalisis adalah yang dikonstruksi oleh harian kompas sehingga dapat diketahui perbandingan realitas dan pola pemberitaannya. Analisis framing digunakan untuk lebih menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realita oleh media. model analisis yang dipakai dalam metode penelitian framing oleh peneliti adalah model Gamson dan Modigliani. Metode ini dipilih oleh peneliti karena gamson dan modigliani adalah peneliti yang konsisten dalam membahas framing serta model ini yang paling populer dan banyak digunakan untuk mengetahui bagaimana suatu berita yang dikonstruksi oleh suatu media. berikut ini odel framing gamson dan modigliani seperti bagan dibawah ini:

Tabel perangkat framing Gamson dan Modigliani

Sumber : Eriyanto, 2001 : 256 Media Package

(Perspektif)

Core Frame

6. Metaphors 7. Exemplars 8. Catchphrases 9. Depictions 10. Visual Images

Reasoning Devices Framing Devices

Considering Symbols

4. Roots

5. Appeals to Devices 6. COnsequences


(56)

Model framing gamson dan modigliani merupakan pengembangan dari teori media massa sebagai arena sosial yang dicetuskannya, yang pada konsepnya menekankan di dalam media massa terdapat proses tertarungan wacana antara berbagai pihak yang berkepentingan di dalam masyarakat. dimana satu pihak berusaha melegitimasi pihaknya dan mendelegitimasi pihak lain.

Di dalam ini gamson dan modigliani memahami wacana media sebagai suatu gugusan perspektif interpretasi (interpretative package) saat mengkonstruksi dan memberi makna suatu isu. Sebuah package memiliki struktur internal yang didalamnya terdapat gagasan sentral (core frame) yang berisi elemen-elemen inti untuk memberikan pengertian yang relevan terhadap suatu peristiwa yang dibangun melalui condensing symbols. Condensing symbols terdiri dari framing devices (yang mengarahkan bagaimana cara melihat isu) dan reasoning devices (yang memberikan alasan pembenar apa yang seharusnya dilakukan terhadap isu tersebut). framing devices terdiri dari metaphors (perumpamaan atau pengandaian), exemplars (mengaitkan bingkai dengan contoh uraian), catchprases (frase yang menarik, kontras menonjol dalam suatu wacana yang biasanya dibentuk jargon), depictions (penggambaran suatu isu yang bersifat konotatif berupa kosakata, leksikon untuk melabeli sesuatu). Dan visual images (gambar, grafik, citra yang mendukung bingkai secara keseluruhan untuk menekankan dan mendukung pesan yang ingin disampaikan). Sedangkan reasoning devices terdiri atas roots (analisis kausal), appeals to prinsiple (seperangkat klaim moral, premis dasar) dan conswquences (efek-efek partikular yang di dapat dari frame yang ada).


(57)

III.3. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah berita tentang pencitraan presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait perseteruan KPK dan POLRI pada surat KOMPAS yang terbit menjadi headline selama bulan November.

III.4. Teknik Pengumpulan Data

d. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumenter yaitu dengan cara mendokumentasikan terlebih dahulu semua berita bencana tsunami di aceh yang dimuat do harian kompas selama bulan november. Data dikumpulkan secara langsung dengan mengidentifikasikan wacana berita berpedoman pada model analisis framing yang menemukan media package yang digunakan mengkonstruksi fakta menjadi wacana media. kemudian digunakan lembar koding untuk memasukkan data-data yang telah dikumpulkan berdasarkan kategori yang telah ditetapkan sebelumnya. e. Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian dilakukan

dengan cara mempelajari dan mengumpulkan data melalui literatur dan sumber bacaan yang relevan dan mendukung penelitian. Dalam penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara membaca buku-buku, literatur serta tulisan yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.


(58)

3.5. Kerangka konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah: III.6.1 framing

Model framing yang dipakai oleh peneliti adalah model gamson dan modigliani, yaitu:

1. Framing devices

Terdiri atas : metaphors, exemplars, catchprases, depictions, visual images.

2. Reasoning devices

Terdiri atas : roots, appeals to principle and consequences

III.6. Defenisi Operasional Variabel III.6.1 Framing

Framing yang dikembangkan Gamson dan Modigliani memahami wacana satu gugusan perspektif interpretasi (interpretative packages) saat mengkonstruksi dan memberikan makna suatu isu. Sebuah package memiliki struktur internal. Pada inti struktur terdapat gagsan sentral (core frame) yang berisi elemen-elemen inti untuk memberikan pengertian yang relevan terhadap peristiwa, dan mengarahkan makna isu yang dibangun melalui condensing symbol. Condesing symbols terdiri dari framing devices (yang mengarahkan bagaimana cara melihat isu) dan reasoning devices )yang memberikan alasan pembenar apa yang seharusnya dilakukan terhadap isu tersebut).


(59)

c. Framing Devices a.1 Metaphors

dipahami sebagai cara memindahkan (transpose) makna sesuatu dengan merelasikan dua fakta analogi, sering berupa kiasan menggunakan kata : seperti, bak, laksana, dll.

a.2 Exemplars

adalah menguraikan atau mengemas fakta tertentu saja secara mendalam agar memiliki bobot makna lebih pada satu sisi untuk dijadikan rujukan. Posisinya sebagai pelengkap dalam kesatuan wacana. Tujuannya memperoleh pembenaran beroperasinya kekuasaan.

a.3 Cathprases

adalah istilah, bentukan kata atau fase khas cerminan fakta yang merujuk pada pemikiran atau semangat sosial tertentu guna mendukung praktek kekuasaan. Dalam wacana cathprases dapat berwujud jargon, slogan, semboyan.

a.4 Depictions

adalah penggambaran fakta melalui kata, istilah, kalimat bermakna konotatif, dan bertendensi khusus agar pemahaman khalayak terarah kecitra tertentu, misalnya mencuatkan gairah, harapan, ketakutan, posisi, moral serta perubahan. Depiction berupa stigmasi, disfemisme dan akronimisasi.


(60)

a.5 Visual image

adalah pemakaian foto, diagram grafism tabel, kartun dan sejenisnya yntuk mengekspresikan pesan. Misalnya perhatian (penegasan) atau penolakan (kontras) menggunakan huruf dibesarkan, dikecilkan, ditebalkan, dimiringkan atau digarisbawahi serta pemakaian bermacam wacana.

Merupakan berita yang dijadikan topik utama oleh media d. Reasoning Devices

b.1 Roots

analisis kausal dengan mengedepankan hubungan yang melibatkan suatu objek atau lebih yang dianggap suatu sebab terjadinya hal lain. Tujuannya untuk memberikan alasan pembenar dalam penyimpulannya.

b.2 Appelas to principles

upaya memberikan alasan pembenar memakai logika dan prinsip mengkonmoral untuk mengklaim suatu kebenaran saat membangun wacana. Sifat appelas to principles yang apriori, dogmatis, simplistik dan mono kausal terkadang membuat khalayak tak berdaya menyanggahi isi argumentasi.

b.3 Consequences


(61)

III.7. Metode analisis data

Analisis data merupakan suatu analisis terhadap data yang berhasil dikumpulkan oleh peneliti melalui perangkat metodologi tertentu. Dalam penelitian ini data/wacana berita yang telah dikumpulkan, diuraikan dan diidentifikasikan dengan berpedoman pada model analisis framing yang dikembangkan oleh Gamson dan Moligliani. Dari hasil identifikasi tersebut dianalisis untuk menemukan media package yang digunakan mengkonstruksi fakta menjadi wacana media dengan menggunakan perangkat framing gamson dan modigliani. Framing analisi berita pencitraan presiden sby terkait kasus kpk pilri dilakukan dengan mengidentiifikasi core frame melalui condensying symbols yang digunakan oleh Harian KOMPAS yang menjadi subjek penelitian, condencying symbols diidentifikasikan melalui framing devices (metaphors, exemplars, catchprases, depictions, visual images) dan reasoning devisec (rootsm aooeaks to principle dan consequences). Perspektif media (media package) disimpulkan melalui elemen-elemen yang membentuk core frame lewat condensying symbols.


(62)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV.1 Sekilas tentang Penelitian

Penelitian ini ingin melihat bagaimana frame yang dikembangkan Harian Umum Kompas dalam pemberitaannya terhadap pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait kasus perseteruan KPK dan POLRI selama bulan November 2009, khususnya yang menjadi headline.

Harian Umum Kompas dipilih karena selain merupakan salah satu dari sejumlah media massa di negeri ini yang mengikuti dan menyebarkan informasi mengenai perkembangan kasus perseteruan Cicak dan Buaya juga merupakan surat kabar yang terbesar di Indonesia.

Selanjutnya penelitian ini berusaha untuk menganalisa tulisan-tulisan yang diturunkan pada headline harian KOMPAS seputar pembentukan citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang secara otomatis dapat dilihat dari sikap yang ditunjukkan oleh Presiden sendiri dalam meyikapi perseteruan KPK – Polri dengan menggunakan analisis framing. Model yang digunakan dalam menganalisis tulisan-tulisan tersebut adalah analisis framing model Gamson dan Modigliani.

Tahap-tahap yang dilakukan oleh penulis untuk sampai pada tahap kesimpulan adalah sebagai berikut:

Pertama, penulis mengumpulkan berita-berita yang berkenaan dengan sikap presiden dalam menyikapi kasus perseteruan KPK dan POLRI dalam Harian Umum Kompas. Berita-berita yang diambil adalah berita-berita yang menjadi


(1)

Berita yang berjudul “SBY: Tak Perlu ke Pengadilan” berisi pernyataan Presiden dalam menyikapi perseteruan yang ada. Presiden memutuskan untuk tidak membawa permasalahan yang ada ke pengadilan. Dalam menanggapi keputusan Presiden ini, untuk mewakili sikap dari pihak kejaksaan Kompas menuliskan langkah-langkah yang bisa dilakukan kejaksaan selanjutnya yaitu dengan menerbitkan SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan). Untuk mewakili sikap dari pihak kepolisian, Kompas menuliskan adanya sikap patuh terhadap keputusan Presiden karena dianggap sangat demokratis dan bijaksana. Kompas sendiri menanggapi sikap Presiden ini tidak menyelesaikan skandal politik kriminalisasi KPK karena Presiden terkesan mengoper permasalahan kepada kepolisian dan kejaksaan karena Presiden tidak mau mengambil resiko. Presiden berlindung pada alasan “bukan kewenangan Presiden” telah mengecewakan publik dan membuat orang bebas menafsirkan sendiri sikap Presiden.

Dengan demikian dapat dilihat dengan jelas bahwa Kompas menuliskan berita yang membentuk citra cendrung negatif terhadap Presiden terkait perseteruan KPK-Polri. Di dalam berita yang diuatnya Kompas mengkonstruksi sikap Presiden selalu berusaha untuk bermain aman.


(2)

BAB V PENUTUP

V.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis seluruh item berita melalui perangkat framing Gamson dan Modigliani maka penulis memperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Kepimpinan SBY dalam pemerintahan mendapat kritikan dari berbagai pihak. Sebagai pemimpin negara, beliau selalu berusaha memiliki citra yang baik di depan publik. Selaku kepala negara yang secara tidak langsung berfungsi sebagai sentral yang akan mengarahkan Indonesia, setiap gerakannya menjadi hal penting untuk diketahui oleh masyarakat sehingga diangkat oleh media. Hal inilah yang diresponi harian Kompas dimana Kompas merasa perlu untuk menuliskan setiap tindak dan gerakan Presiden, bahkan mengangkatnya menjadi Headline berita. Perspektif pemberitaan harian Kompas mengenai citra SBY terkait kasus perseteruan dua lembaga negara, yaitu KPK dan Polri selama bulan November 2009 cenderung negatif. Kompas memang selalu memberitakan tentang setiap usaha Presiden dalam penanganan kasus ini, namun dengan porsi yang tidak tepat. Kompas lebih banyak mengangkat tuntutan masyarakat yang tidak mampu dikerjakan oleh Presiden SBY daripada usaha-usaha Presiden dalam membela dirinya. Sehingga memberikan kesan bahwa presiden SBY dalam hal ini bertindak tidak tegas dan tidak konsekuen.


(3)

2. Kompas mengkonstruksi sikap presiden sebagai sikap yang suka bermain aman. Setiap pembelaan Presiden SBY atas kekurangan yang dituntut masyarakat dikonstruksi Kompas sebagai suatu tindakan yang bermain aman dan kurang berani.

3. Dengan memilih aktor-aktor yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda dengan kepentingan yang berberbeda-beda pula sebagai narasumber, Kompas akhirnya berhasil menciptakan media sebagai arena sosial.

4. Dalam menggambarkan realitas, Kompas banyak menghilangkan bagian yang dianggap kontroversi. Hal ini dimungkinkan berkaitan dengan posisi dan ideologi media. kompas adalah koran terbesar di Indonesia yang disebut-sebut menjalankan praktik “jurnalisme kepiting” – tulis agak keras bila memungkinkan, dan tiarap bila penguasa mulai marah. Kompas yang bergerak ala kepiting mencoba langkah satu demi satu untuk mengetes seberapa jauh kekuasaan memberikan toleransi kepada kebebasan pers. Jika aman, akan maju beberapa langkah jika kondisi tidak memungkinkan, kaki kepiting pun bisa mundur. Misalnya Kompas menulis adanya fakta mengenai protes Mahkamah Konstitusi mengenai penyelesaian masalah diluar pengadilan . Karena Mahkamah Konstitusi menganggap forum yang paling tepat untuk menghukum seseorang atau tidak menghukum seseorang adalah pengadilan. Fakta tersebut dituliskan Kompas sebatas wacana saja, selanjutnya Kompas tidak berani menyampaikan informasi lebih kepada publik mengenai kontroversi tersebut Kompas tidak berani mencari fakta lain untuk tetap menjaga eksistensinya. Namun, sejalan


(4)

memilih Kompas sebagai salah satu sumber informasi, Kompas kaya akan data dan fakta, namun tidak berani mengulas fakta tersebut secara mendalam. Kompas memberi kebebasan kepada pembaca untuk memilih dan menilai sendiri fakta yang disampaikan.”

V.2 Saran

Adapun saran-saran yang ingin disampaikan peneliti bagi harian Kompas dan khalayak pembaca adalah sebagai berikut:

1. Setiap media (khususnya Kompas) menggali sebanyak mungkin sumber berita ang memiliki kepentingan berbeda. Meskipun akses kepada pemerintah atau penguasa lebih kuat, wartawan perlu menjadikan masyarakat umum sebagai narasumber.

2. Khalayak pembaca harus lebih teliti dan kritis terhadap pemberitaan dari sebuah media. adalah perlu untuk membandingkan dengan media lain untuk memperoleh perspektif yang lebih luas.

3. Penelitian ini terbatas pada berita yang ditambilkan oleh surat kabar, karenanya tidak diketahui secara pasti latar belakang penulisan berita. Oleh karena itu untuk memahami konstruksi berita secara menyeluruh adalah perlu bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian terhadap pihak-pihak/pekerja media, baik dari redaksi maupun wartawan secara langsung melalui observasi sehingga lebih dikethaui ideologi apa yang terkandung dalam sebuah pemberitaan.


(5)

Daftar Pustaka

Effendy, Onong Uchjana. 1993. Ilmu, Teori & Filsafat Komunikasi. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana – Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta : LKIS

________. 2004. Analisis Framing. Yogyakarta : LKIS

Gamson, William A and Modigliani. 1989. Media Discourse and Public Opinion on Nuclear Power: A Constructionist approach.

Kriyantono, Rachmat. 2008. Tekhnik Praktis Riset Komunikasi – Disertai Contoh Praktis Riset Media, Public Relation, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran. Jakarta : Kencana Prenada Media Group

McQuail, Denis. 1994. Teori Komunikasi Massa, Penerbit Erlangga.

Nawawi, Hadari. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.

Oetama, Jakob. 1987. Perspektif Pers Indonesia. Jakarta:LP3ES

Rakhmat, Jalalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Santana, Septiawan K. 2005. Jurnalisme Kontemporer. Jakarta Universitas Terbuka Depdikbud.

Singarimbun, Masri. 1995. Metode Penelitian Survey. Jakarta:LP3ES.

Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika dan Analisis Framing. Bandung : PT. Remaja


(6)

Soemirat, Soleh-Elvinaro Ardianto. 2004. Dasar-dasar Public Relations, Bandung : Remaja Rosdakarya.

Sudibyo, Agus. 2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta : LKIS

Sumber lain:


Dokumen yang terkait

Pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono & Wakil Presiden Jusuf Kalla Di Surat Kabar (Analisis Framing Terhadap Pembentukan Citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla Pasca Kecelakaan Transportasi Yang Terjadi Bulan J

0 52 164

Pemberitaan Perseteruan KPK dan Polri (Studi Analisis Wacana Tentang Perseteruan Antara KPK dan Polri Pada Harian Kompas)

0 35 89

Persepsi Masyarakat Terhadap Susilo Bambang Yudhoyono (Suatu Penelitian Deskriptif Kuantitatif di Desa Sukaraja Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya Propinsi Aceh)

0 25 94

CITRA PRESIDEN SUSILO BAMBANGYUDHOYONO TERKAIT KASUS BAILOUT BANK CITRA PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO TERKAIT KASUS BAILOUT BANK CENTURY (Suatu Kajian Kualitatif terhadap Persepsi Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Univ

0 4 13

PENDAHULUAN CITRA KEPEMIMPINAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO SEBAGAI PEMIMPIN POLITIK YANG EFEKTIF (Studi Analisis Isi Pemberitaan Surat Kabar Harian Kompas dan Tempo tentang Citra Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono Sebagai Pemimpin Politik yang Efektif dal

0 3 68

PENUTUP CITRA KEPEMIMPINAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO SEBAGAI PEMIMPIN POLITIK YANG EFEKTIF (Studi Analisis Isi Pemberitaan Surat Kabar Harian Kompas dan Tempo tentang Citra Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono Sebagai Pemimpin Politik yang Efektif dalam P

0 3 22

PENINGKATAN KAPABILITAS MILITER INDONESIA DI ERA KEPEMIMPINAN PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO.

0 4 35

Pidato Kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Terkait Perselisihan Kpk Dan Polri (Analisis Wacana Kritis Model Teun A. Van Dijk Tentang Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Terkait Perselisihan Kpk Dan Polri).

0 0 2

PEMBINGKAIAN BERITA TENTANG KRITIK TOKOH LINTAS AGAMA TERHADAP PEMERINTAHAN PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (Studi Analisis Framing Berita Tentang Kritik Tokoh Lintas Agama Terhadap Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Pada Surat Kabar Jawa Po

5 24 126

PEMBINGKAIAN BERITA TENTANG KRITIK TOKOH LINTAS AGAMA TERHADAP PEMERINTAHAN PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (Studi Analisis Framing Berita Tentang Kritik Tokoh Lintas Agama Terhadap Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Pada Surat Kabar Jawa Po

0 0 24