PERAN EDUKASI DI DALAM KELEKATAN ORANG TUA TERHADAP KEMANDIRIAN PADA REMAJA

PERAN EDUKASI DI DALAM KELEKATAN ORANG TUA
TERHADAP KEMANDIRIAN PADA REMAJA
SKRIPSI

Oleh :
Nur Alim Mubin AM
201210230311075

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016

PERAN EDUKASI DI DALAM KELEKATAN ORANG TUA
TERHADAP KEMANDIRIAN REMAJA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Muhammadiyah Malang
sebagai salah satu Persyaratan untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Psikologi


Oleh :
Nur Alim Mubin AM
201210230311075

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016

LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul Skripsi

: Peran edukasi di dalam kelekatan orang tua terhadap
kemandirian pada remaja
2. Nama Peneliti
: Nur Alim Mubin AM
3. Fakultas
: Psikologi
4. Perguruan Tinggi
: Universitas Muhammadiyah Malang

5. Waktu Penelitian
: 07 – 13 April 2016
Skripsi ini telah di uji oleh dewan penguji pada hari senin yang bertepatan pada tanggal 02
Mei 2016
Dewan Penguji
Ketua

: Zakarija Achmat, S.Psi., M.Si

(

)

Anggota Penguji

: (1). Zainul Anwar, S.Psi., M.Psi

(

)


(2). Hudaniah, S.Psi., M.Si

(

)

(3). Adyatman Prabowo, S.Psi., M.Psi

(

)

Pembimbing 1

Pembimbing 2

Zakarija Achmat, S.Psi, M.Si

Zainul Anwar, S.Psi, M.Psi

Malang,
Mengesahkan,

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang

Dra. Tri Dayakisni, M.Si

i

SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama

: Nur Alim Mubin AM

NIM

: 201210230311075

Fakultas/Jurusan


: Psikologi

Perguruan Tinggi

: Universitas Muhammadiyah Malang

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
Peran Edukasi di dalam Kelekatan Orang Tua terhadap Kemandirian pada Remaja
1. Bukan karya orang lain atau hasil plagiat kecuali dalam bentuk kutipan dan telah
ditulis sumbernya.
2. Hasil tulisan skripsi/penelitian yang saya lakukan bila digunakan sebagai sumber
pustaka adalah hak bebas royalti non eksklusif.
Demikian surat pernyatan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila dalam
pernyataan ini ada yang tidak benar, maka saya bersedia mendapa sanksi sesuai dengan
undang-undang yang berlaku.

Malang, 04 April 2016
Mengetahui,


Yang menyatakan,

Ketua Program Studi

Yuni Nurhamida, S.Psi., M.Si.

Nur Alim Mubin AM.

ii

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas nikmat pengetahuan dan kesempatan
yang selama ini diberikan sehingga dalam kurun waktu beberapa bulan penulis
diperkenannkan untuk menyelesaikan skripsi dengan judul „Peran Edukasi dalam Kelekatan
Orang Tua terhadap Kemandirian pada Remaja‟ sebagai salah satu syarat wajib untuk
memperoleh gelar sarjana psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas dukungan dan bimbingan yang diberikan
sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir dengan lancar. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Dra. Tri Dayakisni, M. Si., selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas

Muhammadiyah Malang.
2. Bapak Zakarija Achmat, S.Psi., M.Si. dan Bapak Zainul Anwar, S.Psi., M. Psi. selaku
Pembimbing I dan Pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan dan waktu
luangnya untuk membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Ibu Yuni Nurhamidah, S.Psi., M.Si., selaku ketua program studi Psikologi Universitas
Muhammadiyah Malang dan Ibu Hudaniah S.Psi., M.Si selaku Pembantu Dekan Tiga
yang selama ini banyakmemberikan masukan.
4. Bapak Drs. Abdul Muin MD., dan Ibu Harlina, S.Pd., selaku orang tua yang sangat
berjasa dalam perjalan hidup penulis, terkhusus dalam pendidikan yang dengan doa,
dukungan, nasehat dan perjuangannya yang tidak terhingga sejak penulis masih kecil
hingga saat ini.
5. Terima kasih kepada teman-teman Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat
Restorasi dan teman-teman Korkom IMM UMM yang selalu menginspirasi.
6. Saudara dan saudariku yang senantiasa memberikan motivasi, Arfina Novita Sari, S.Sos.,
Muhammad Chaidir Ali, Yunda Alfianti, Fajar Shidiq, Muhammad Roihan, Dwi
Rusmaini, Fauzan S.Sy., Abdul Musyawir Yahya, S.Sy., Husni Mubarok Abdul Jalil M.,
dan Akhyar. Terima kasih dan jangan lupa masih banyak yang perlu ditertawakan di
kehidupan ini, dan tidak terlupakan untuk tetap meninggalkan kesan yang positif di tanah
yang kita pijak.
7. Teman-teman kelas B angkatan 2012, bagi yang sudah lulus jangan lupa mengabdi untuk

bangsa. Tidak terlupakan bagi teman-teman yang belum lulus untuk tidak melupakan
tugasnya sebagai mahasiswa.
8. Kepala Laboratorium Psikologi yakni Ibu Siti Maimunah , S.Psi., M.A dan teman-teman
asisten yang selalu menyiapkan fasilitas untuk belajar.
9. Adek-adek remaja yang sudah bersedia menjadi subjek dalam penelitian, tidak lupa
penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya karena tanpa kalian skripsi ini tidak
akan selesai tepat pada waktunya, dan
10. Semua pihak yang tidak penulis sebutkan di sini, saya ucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya atas segala dukungan dan doanya sehingga skripsi ini bisa diselesaikan
dengan tuntas.

iii

Penulis sadar bahwa tidak ada satupun karya yang sempurna, karena kesempurnaan hanya
akan berada pada satu pemiliki saja, yaitu Allah SWT. Sehingga kritik dan saran akan sangat
berarti bagi penulis untuk memperbaiki apa yang kurang dan tidak pantas. Meski demikian,
penulis berharap apa yang penulis lakukans senantiasa memiliki nilai manfaat bagi
masyarakat, bangsa, negara dan agama.

Malang, 20 April 2016

Penulis

Nur Alim Mubin AM.

iv

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................................i
LEMBAR PERNYATAAN....................................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................................iii
DAFTAR ISI............................................................................................................................v
DAFTAR TABEL...................................................................................................................vi
Intisari........................................................................................................................................1
Pendahuluan..............................................................................................................................2
Kemandirian pada Remaja........................................................................................................5
Aspek Kemandirian...................................................................................................................6
Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian.................................................................................7
Kelekatan...................................................................................................................................7
Peran Edukasi terhadap Kemandirian.......................................................................................8

Remaja yang Mandiri................................................................................................................9
Edukasi dalam Kelekatan Orang Tua dengan Kemandirian pada Remaja..............................10
Hipotesis..................................................................................................................................12
METODE PENELITIAN....................................................................................................12
Rancangan Penelitian..............................................................................................................12
Subjek Penelitian.....................................................................................................................13
Variabel dan Instrumen Penelitian..........................................................................................13
Prosedur Analisa Data.............................................................................................................14
HASIL PENELITIAN..........................................................................................................14
DISKUSI................................................................................................................................15
SIMPULAN DAN IMPLIKASI..........................................................................................17
REFERENSI.........................................................................................................................18
LAMPIRAN..........................................................................................................................21

v

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Indeks Validasi dan realibilitas Item.........................................................................13
Tabel 2. Karakteristik Subjek Penelitian.................................................................................14


vi

PERAN EDUKASI DI DALAM KELEKATAN ORANG TUA
TERHADAP KEMANDIRIAN PADA REMAJA
Nur Alim Mubin AM
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang
[email protected]

Remaja memiliki keinginan yang kuat untuk lepas dari bayang-bayang orang dalam bertindak
dan mengatur dirinya, terkhusus bayang-bayang orang tua. Kemandirian menjadi hal yang
sangat penting bagi remaja dan bisa disebabkan oleh adanya kelekatan orang tua dengan anak
dan edukasi oleh orang tua di dalam keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti
bagaimana peran edukasi di dalam kelekatan orang tua terhadap kemandirian pada remaja.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik pengambilan sampel
purposive sampling dengan jenis penelitian kolerasional serta jumlah subjek sebanyak 116
orang remaja dengan usia 12-18 tahun. Penelitian ini terdiri dari tiga variabel, yaitu variabel
bebas, variabel moderator dan variabel terikat. Analisa data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah teknik analisa regresi berganda. Berdasarkan hasil analisa yang diperoleh yakni
f=0,530 dengan nilai taraf signifikan p=0,590 yang berarti tidak ada peran edukasi di dalam
pengaruh kelekatan orang terhadap kemandirian pada remaja.
Kata kunci : Kemandirian pada remaja, edukasi, kelekatan orang tua

The adolescence having a strong desire to loose from control of people in act him, specifically
the control of parents. The independence is very important for adolescence and can be caused
by attachment of parents to their child and education in the family. The purpose of this
research is to find out how the influence of role education in attachment of parents to
independence in adolescenst. This research used a quantitative approach with purposive
sampling data retrieval techniques and type of research used in research is correlational, the
subject of this research is 116 with age 12-18 years. This research consist of tree variable is
independent variable, moderator variable and dependent variable. Data were processed
using Multiple Regression Analysis Technique. The result from this research is f=0,530 whit
significant p=0,590 indicated no significant influence from education in attacment of parents
to independence in adolescence.
Keywords : Independence of adolescence, education, attachment of parents.

1

Tugas utama dari seorang remaja adalah menjadi pribadi yang bebas dan mandiri (Bahri,
2014). Namun sering kali dihadapkan dengan berbagai konflik yang berpotensi menghambat
dirinya untuk mandiri. Kurangnya dorongan dari orang tua menjadikan anak dimasa
remajanya kurang percaya diri untuk mengembangkan diri sebagaimana yang mereka
inginkan. Padahal perhatian dari orang tua sangat dibutuhkan oleh anak sebagai penunjang
untuk menjadi individu yang mandiri. Karena orang tua memiliki peran yang sangat urgent
terhadap berkembang tidaknya seorang anak (Dagun, 2013). Dimulai dari konflik seperti
inilah, seorang anak sering kali salah langkah sehingga menimbulkan terjadinya kenakalan
remaja karena kurangnya bimbingan dari orang tua (Herero, Estevez & Gonzalo, 2006).
Masa remaja menjadi masa yang rentan dengan masalah yang juga memiliki peranan dalam
membentuk diri seorang anak. Masalah yang timbul bukanlah karena hal yang secara instan
timbul begitu saja, melainkan ada proses yang terjadi pada remaja sehingga memicu masalah
tersebut muncul. Kuatnya keinginan untuk berkembang dan mendapatkan kebebasan
sebagaimana yang diinginkan sering kali memberikan peluang bagi remaja mendapatkan
konflik (Bahri, 2014). Karena apa yang ada dibenak seorang remaja sering dipandang sebelah
mata oleh orang dewasa. Salah pengertian antar anak dan orang tua sering menjadi sebab
terjadinya konflik sehingga anak cenderung menjauhkan diri saat berinteraksi.
Kemandirian adalah salah satu ciri perkembangan di masa remaja yang paling terlihat. Hal ini
sangat erat kaitannya dengan pembentukan psikologis di masa remaja. Alport (dalam
Sarwono, 2013) mengemukakan bahwa masa remaja adalah tahap transisi dari masa anakanak menuju masa dewasa, sehingga pemikiran atau dorongan untuk menjadi individu dewasa
sangat kuat pada masa remaja. Hal ini dikarenakan adanya perubahan yang terjadi di masa
remaja yang sering kali berbenturan dengan ransangan dari luar. Dengan demikian bisa
disimpulkan bahwa anak di masa remaja sudah memiliki konsep mengenai dirinya untuk
menjadi orang dewasa yang memiliki keleluasaan dibandingkan anak-anak dalam melakukan
hal apapun karena terlepas dari kontrol orang tua.
Untuk menjadi individu mandiri, seorang anak di masa remaja memang tidak secara langsung
mencapai impian itu. Banyak konflik yang muncul saat seorang anak berusaha mencapai
tujuannya, salah satunya konflik tersebut bisa datang dari orang tua anak. Perbedaan
pandangan antar anak dan orang tua sangat sering terjadi yang mana orang tua masih
memiliki pandangan bahwa anak meskipun di masa remaja masih perlu diawasi dengan ketat.
Perlakuan seperti ini tidak jarang membuat anak merasa tertekan dan tidak menemukan
kebebasan untuk berbuat sesuatu sehingga menimbulkan kesan yang negatif terhadap orang
tua (Haan et al, 2013). Hal ini ditegaskan oleh Santrock (2011) bahwa konflik orang tua dan
anak sangat rentan terjadi di masa remaja.
Puncaknya adalah dengan perlakuan orang tua yang dipandang anak menghambat
keinginannya akan menjadikan anak memiliki kesenjangan dengan orang tuanya. Padahal
seharusnya orang tua menjadi figur yang sangat penting bagi anak saat menghadapi masamasa transisinya menuju tahap kedewasaan. Brook (dalam Santrock, 2011) mengemukakan
bahwa konflik yang dihadapi oleh remaja tidak jarang berasal dari tidak lekatnya hubungan
anak dengan orang tua. Sehingga situasi dimana orang tua harus mampu memahami perasaan
anak tidak terbangun yang menjadikan anak keluar dari rumah untuk memenuhi keinginannya
menjadi individu yang bebas. Hal inilah yang membuat remaja melakukan kenakalan remaja
karena rapuhnya kondisi psikologis anak.
Sebagai contoh, tidak jarang anak akan merasa sedikit terganggu bilamana orang tuanya
selalu menanyakan aktivitas kesehariaanya, baik itu di sekolah, di tempat bermain maupun di
2

rumah. Sehingga tidak jarang jawaban yang diberikan kepada orang tua adalah jawaban
seadanyaa dan kemudian berlalu pergi agar tidak merasa diintrogasi oleh orang tua hanya
karena menanyakan aktivitas sehari-harinya saja. Namun tidak hanya sebatas itu, jika
berbicara pada level yang lebih tinggi, menurut Brook dkk (dalam Santrock, 2011), tetap ada
remaja yang memiliki konflik yang sebabnya karena hubungan dengan orang tua yang tidak
baik sehingga melakukan hal yang negatif yang merusak dirinya seperti kenakalan remaja,
putus sekolah, pernikahan dini karena hamil dan penyalahgunaan obat-obatan.
Tidak adanya hubungan yang harmonis dengan orang tua, maka remaja biasanya lebih
banyak menghabiskan waktu dengan orang-orang diluar keluarganya sebagai figur pengganti
orang tua (Bahri, 2014). Dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan sosialnya dan keinginan
untuk mandiri sebagai makhluk hidup. Sehingga sangat memungkinkan bila banyak hal yang
dilakukan oleh remaja di luar rumah tidak lagi teramati dan mampu terkontrol oleh orang tua.
Hubungan yang buruk akan sangat menentukan perkembangan remaja secara emosional.
Karena bila remaja tidak hidup di lingkungan yang kondusif, akan menghambat kematangan
emosionalnya, sehingga sering melakukan tindakan yang negatif terhadap dirinya dan orang
lain. Kematangan emosioanal juga sangat berkaitan dengan kemandirian remaja, salah satu
yang berpengaruh. Menurut Steinberg (dalam Fatimah, 2006) dalam membentuk kemandirian
anak ialah pola asuh yang di dalamnya terdapat komunikasi antar orang tua dengan remaja
yang mana jika orang tua terlalu banyak melarang atau mengeluarkan kalimat yang negatif
tanpa adanya alasan yang rasional akan menghambat petumbuhan kemandirian pada anak.
Sehingga penting adanya komunikasi yang baik antar remaja dengan orang tua agar terjalin
hubungan yang baik dan membantu pertumbuhan kemadirian pada anak.
Bila hal ini berlanjut, akan muncul adalah seorang remaja akan sulit membangun kepercayaan
terhadap dirinya bila di awal tidak diajarkan oleh orang tuanya. Sehingga permasalahan pada
usia remaja harus menjadi perhatian khusus. Terkhusus masalah yang berkaitan erat dengan
emosi, perilaku dan nilai yang harusnya terbentuk di dalam diri seorang remaja. Contoh
ketidakpuasan remaja perempuan terkait dengan kondisi fisiknya. Sebanyak 40-50 persen
wanita remaja tidak merasakan kepuasan terhadap kondisi fisiknya terutama pada bagian
paha, pantat, dan pinggul yang mempengaruhi kepercayaan diri remaja dalam bergaul (Smoak
& Livine, 2002 ; dalam Pitaloka, 2013). Hal ini berkaitan dengan distress emosi yang dialami
oleh sebagian remaja, depresi dan pikiran yang berlebihan mengenai penampilan (Kostanski
& Gullone, 1998 ; dalam Pitaloka, 2013). Dengan demikian, masih cukup banyak remaja
yang masih mengalami permasalah dalam hal kepercayaan diri, dengan berbagai faktor
internal yang dialami. Sehingga sangat berpotensi memberikan pengaruh negatif yang
signifikan terhadap kemandirian seorang remaja. Erikson (dalam Santrock, 2011) berpendapat
bahwa kenakalan remaja erat kaitannya dengan kegagalan remaja dalam memunculkan
itegritas dirinya dan kemampuan untuk menjadi individu yang mandiri adalah bagian dari itu.
Tidak heran bila banyak remaja yang menyelesaikan masalah dengan minum alkohol, tawuran
dan mengonsumsi narkoba. Peristiwa yang seperti ini merupakan akibat dari masalah yang
pada masa remajanya tidak bebas, sehingga melampiaskana pada alkohol atau obat terlarang.
Hal ini juga bisa berdampak pada permasalahan karir atau akademik, khususnya remaja akhir
yang kebingungan memilih jurusan ketika ingin masuk kuliah, dan lebih memilih untuk
mengikuti jurusan yang dipilih oleh teman sebayannya karena belum merasa yakin dengan
pilihannya atau hanya mampu berkata iya pada pilihan orang tuanya karena tidak berani
mengungkapkan keinginanya. Hal ini juga sangat erat kaitannya dengan kemampuan
pengambilan keputusan oleh remaja yang mana merupakan salah satu aspek dari kemandirian
seorang remaja (Fatimah, 2006).

3

Kelekatan adlah faktor yang mempengaruhi terbentuknya kemandirian pada anak. santrock
(2011) mengatakan bahwa adanya kelekatan yang terjalin antara orang tua dengan anak
berpengaruh positif terhadap kemandirian pada remaja. Kelekatan adalah aspek yang sangat
penting yang harus dirasakan oleh anak dari orang tuanya karena hal ini berkaitan langsung
dengan emosi pada anak, dengan adanya kelekatan orang tua dengan anak di masa remaja
akan memberikan anak perasaan nyaman dan dapat membantu meningkatnya kepercayaan
diri anak (Pitaloka, 2013). Kelekatan menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi remaja
karena hal ini berkaitan erat dengan emosinya. Ketika kebutuhan emosi dari seorang remaja
terpenuhi, yaitu rasa nyaman maka akan memiliki dampak yang positif bagi anak dalam hal
pengelolaan emosi. Anak dengan pengelolaan emosi yang baik cenderung lebih mampu untuk
beradaptasi dengan lingkungan daripada anak dengan kemampuan mengelola emosi yang
kurang.
Untuk menumbuhkan hal itu, anak di masa remajanya perlu mendapatkan edukasi yang sesuai
dengan apa yang dibutuhkan. Haan et al (2013) menjelaskan bahwa memberikan anak
edukasi dengan tujuan tertentu akan membantu anak membangun paradigma yang tepat untuk
dirinya dalam menjalani fase-fase hidupnya. Bila individu di masa anak-anak diberikan
edukasi yang bertujuan untuk membuat anak menjadi mandiri, maka dengan edukasi itu anak
akan mulai membangun paradigma bahwa menjadi individu yang mandiri adalah hal yang
penting dan menjadi tugas utama, khususnya di masa remaja. peran edukasi ini terletak pada
bagaimana anak mampu membangun paradigma untuk dirinya sendiri dengan tujuan-tujuan
yang diinginkan. Ketika anak diberikan edukasi dengan tujuan agar anak memiliki paradigma
bahwa ketika dia memasuki usia remaja, apa yang selami ini dikerjakan oleh orang tuanya
menjadi tanggung jawabnya sebagai individu.
Namun, ketika kebutuhan di atas tidak terpenuhi pada anak di masa remajanya, maka sangat
memungkinkan anak tidak mampu mengarahkan dirinya pada hal-hal yang positif. Sehingga
masa remaja merupakan masa yang sering kali ditemui banyak masalah yang berkaitan
dengan kematangan diri karena tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang seharusnya
didapatkan dari orang tua. Padahal sikap dan perilaku yang diperlihatkan orang tua ke
anaknya akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan dirinya (Haan, et al 2013). Kurang
lekatnya orang tua dengan anak menyulitkan edukasi diberikan pada remaja untuk menunjang
kemandirian anak. Dampaknya adalah muncul kemungkinan besar bahwa remja mengalami
ketergantungan untuk hidup berkelompok dengan teman sebaya dan melakukan apapun
dengan cara berkelompok, akan mengurangi keinginan untuk berinteraksi dengan keluarga.
Namun, tidak menutup kemungkinan remaja juga mampu mandiri tanpa membutuhkan
kelekatan dari orang tua selama edukasi tetap didapatkan.
Remaja dalam perkembangannya akan selalu membawa nilai yang didapat dalam
keluarganya. Anak akan mengekspresikan dirinya sebagaimana ia juga melakukan hal yang
sama dengan apa yang dia lakukan dengan keluarganya, namun hal itu akan terjadi bila
tertanam betul di dalam diri anak (Herero, Estevez, dan Gonzalo, 2006). Bila orang tua sering
mengalami depresi, anak akan ikut mengalami hal yang sama saat ada kejadian tertentu. Anak
pun akan memiliki sikap agresif merupakan ekspresi dari apa yang ia alami di dalam
keluarganya yang ditunjukkan ke lingungannya. Begitupun dengan anak yang memiliki
kemampuan interaksi dengan orang lain, baik itu sebayanya maupun orang dewasa
dipengaruhi oleh orang tua di rumah. Sehingga, menjadi hal yang sangat berpengaruh dari
setiap yang dipelihatkan oleh orang tua terhadap kehidupan anak-anaknya. Sederhananya,
pengaruh dukungan orang terhadap anak remaja memberikan dampak yang positif secara
emosi, perilaku maupun nilai kehidupan bagi anak.

4

Bagi remaja, menjadi individu yang mandiri menjadi hal penting untuk dicapai. Mendapatkan
kebebasan untuk memenuhi kebutuhannya menjadi sangat berarti bagi remaja. Hanya saja,
peran orang tua menjadi penting bagi anak agar tetap pada jalur yang positif. Pada aspek
inilah seorang anak akan menentukan bagaimana dirinya kelak, apakah ia akan menjadi anak
yang mandiri atau bergantung pada orang lain. Banyak faktor yang mempengaruhi hal
tersebut, salah satunya adalah kelekatan dengan orang tua (Santrok, 2011). Kelekatan yang
tinggi memiliki korelasi yang searah dengan kemandirian pada remaja, bila kelekatannya
tinggi maka kemandiriannya juga tinggi (Kutyanti & Irwan, 2005). Bilamana ranak di masa
remaja merasa mendapatkan dukungan, maka secara bertahap anak akan melepaskan
ketergantungan dirinya terhadap orang tua, meskipun tidak langsung pada konflik finansial.
Dukungan tersebut bisa berupa motivasi, edukasi ataupun relasi yang baik. Agar peran
tersebut, proses edukasi untuk mengarahkan anak mencapai tugas kemandiriannya sangat
perlu perhatikan.
Secara umum, remaja yang mandiri adalah remaja yang mampu membangun sikap dan
prilaku kesehariannya yang menggambarkan kedewasaan. Remaja tersebut di dalam dirinya
sudah terdapat nilai yang mendorong untuk melakukan segala sesuatu yang secara mandiri.
Jenis yang kedua adalah remaja yang masih belum mampu mandiri baik bila dilihat dari sikap
maupun prilaku kesehariannya. Hal ini bisa saja terjadi pada anak yang tidak yakin dengan
apa yang dia lakukan. Kecemasan dan depresi akibat kejadian yang seperti ini sangat banyak
terjadi. Menurut Erikson bahwa pada tahapan ini suatu individu akan terbagi secara hukum
alam menjadi dua jenis, yaitu indivdu yang otonom, ataupun individu yang tidak otonom. Bila
terus-terusan mengalami ketidaknyamanan, maka anak akan mencari pelampiasan untuk
memenuhi kenyamannya dia, salah satunya dengan bergantung dengan orang lain (Fatimah,
2006). Komunikasi yang terjalin dengan baik dengan orang tua bisa jadi mendorong kelekatan
anak dengan orang tua selalu terjaga. Sehingga anak di masa remaja memiliki rasa aman yang
nantinya mengembangkan kepercayaan dirinya untuk tampil sebagai individu di dunia
sosialnya. Karena kurangnya komunikasi yang dibangun di dalam internal keluarga
menjadikan remaja merasa lebih nyaman di luar rumah dan banyak menghabiskan waktu di
sana. Sehingga edukasi dari orang tua kurang tersampaikan kepada remaja karena hal ini,
yang berakibat pada perkembangan dirinya, dan memberikan dampak ketergantungan pada
orang lain.
Oleh karena itu, peneliti tertarik mengetahui bagaimana pengaruh peran edukasi dalam
kelekatan orang tua dengan anak terhadap kemandirian pada remaja ? Tujuan penelitian ini
untuk mengetahui bagaimana peran edukasi di dalam kelekatan orang tua terhadap
kemandirian pada remaja. Manfaat dari penelitian ini adalah mendapatkan pengetahuan
mengenai bagaimana melakukan pola asuh yang tepat untuk mengantarkan anak menjadi
individu yang mandiri yang didukung dan muatan edukasi seperti apa yang relevan dengan
perkembangan untuk mendorong kemandirian anak di masa remaja.
Kemandirian Remaja
Kemandirian pada masa remaja adalah usaha yang dilakukan oleh remaja untuk lepas dari
bayang-bayang orang lain. Menurut Steinberg (2002), kemandirian adalah kemampuan
individu untuk bertindak dan mempertanggungjawabkan tindakannya dengan tujuan menjalin
hubungan yang saling mendukung dengan orang lain. Secara individu, kemampuan untuk
bertanggung jawab terhadap segala tindakan yang dilakukan dinamakan kemandirian di masa
remaja. Ryan, dan Lynch (dalam Suryadi & Cindy, 2003) mengatakan bahwa kemandirian
adalah kemampuan untuk mengatur dan memilah serta memandu perilaku tanpa intervensi

5

dari orang tua maupun orang lain, jadi murni dari individu itu sendiri. Sedangkan Conger
(dalam Suryadi & Cindy, 2003) juga berpendapat bahwa kemandirian adalah salah satu aspek
kepribadian individu yang membe rikan pengaruh terhadap kinerja dalam mencapai tujuan
hidup, prestasi dan penghargaan hidup. Oleh karena itu, kemandirian di masa remaja bisa
diartikan bahwa suatu kemampuan yang dimiliki oleh remaja untuk mengatur tingkah
lakunya, serta mempertanggung jawabkannya tanpa harus mengandalkan pengaruh orang lain
terhadapnya.
Kemandirian berkembang sesuai dengan pembelajaran yang dialami oleh individu dan
berlangsung secara bertahap. Kemandirian sama halnya dengan aspek psikologi lainnya yang
bila diberikan kesempatan yang baik untuk berkembang akan mengalami perkembangan yang
baik (Mu‟tadhin, 2002). Dengan memberikan latihan-latihan kecil kepada anak akan
membangkitkan potensi anak untuk mandiri secara individu sesuai dengan usia anak. Smart
dan Smart (1978) mengemukakan bahwa kemandirian dapat dilihat sejak anak masih kecil
dan bila dikembangkan terus-menerus akan mengalami perkembangan dan memberikan
dampak yang positif bagi individu, selain itu juga akan relatif menetap pada usia remaja
(dalam Suryadi & Cindy).
Dengan menetapnya kemandirian anak pada usia remaja, lambat laun anak akan mampu lepas
dari ketergantungan orang tuanya. Seperti bebas berperilaku dan mengambil keputusan sesuai
dengan keinginan sendiri (Mu‟tadhin, 2002). Meskipun demikian, seorang anak akan tetap
memiliki kebutuhan untuk tergantung dengan orang lain (Feathermen, Lerner & Perlmutter,
1994 ; dalam Suryadi & Cindy, 2003). Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial
yang tetap membutuhkan orang lain dalam mengapresiasikan diri ke lingkungannya. Namun
hal itu tidak lagi secara fisik sebagaimana individu masih kanak-kanak, namun lebih kepada
ketergantungan dalam hal mencari dukungan dan bimbingan (Conger, 1991 ; dalam Suryadi
& Cindy, 2003).
Kemandirian merupakan tugas utama bagi remaja, maka hal yang sangat wajar bila banyak
remaja yang begitu semangat mengatakan bahwa dirinya butuh kebebasan dalam segala aspek
(Santrock, 2011). Remaja mengembangkan identitas dirinya sebagai individu yang memiliki
kekuatan untuk bertindak tanpa harus diperintah oleh orang lain. Namun hal itu tidak sertamerta sejalan karena seorang remaja meski mencita-citakan kemandirian sepenuhnya, karena
remaja tetap membutuhkan rasa aman, dan hal itu didapatkan dengan bergantung dengan
orang tua. Sebagai contoh Hurlock (dalam Santrock, 2011), seorang anak remaja masih belum
aman secara ekonomi, sehingga masih membutuhkan bantuan dari orang tua untuk memenuhi
keamanan dirinya dari segi ekonom. Sehingga, keinginan untuk mandiri bagi seorang remaja
masih berbenturan dengan tanggung jawab orang tua yang dampaknya seorang anak remaja
tidak bisa langsung mandiri seutuhnya dari keluarga.
Terdapat tiga aspek kemandirian pada remaja yang dapat diukur di dalam kemandirian yang
dikemukakan oleh Suharnan (2012) sebagaimana yang telah disusun dalam pengembangan
instrumen peneliatian tentang kemandirian, yaitu:
a. Kemampuan mengambil inisiatif untuk bertindak.
Individu yang mandiri adalah yang mampu memprakarsai dirinya sendiri dalam bertindak
tanpa menunggu perintah atau disuruh oleh orang lain. Oleh karena itu, remaja yang
mandiri adalah remaja yang memiliki kesadaran mengenai tugas dan tanggung jawabnya
baik itu dilingkungan sekolah maupun masyarakat. Hal tersebut harus benar-benar
dilaksanakan atas kemauan sendiri, bukan dari orang tua ataupun kerena perintah guru di
sekolah.
6

b. Memberdayakan kemapuan sendiri.
Hal ini ditunjukkan dengan adanya kepercayaan mengenai kemampuan dimiliki dalam
menyelesaikan tugas-tugasnya. Hal ini juga masuk dalam peristiwa yang membuat
individu harus mengambil keputusan, jika individu tersebut belum percaya dengan
kemampuannya di dalam situasi ini maka belum dapat dikatakan mandiri. individu yang
mandiri adalah mereka mampu mengeluarkan segenap kemampuannya untuk
menyelesaikan suatu masalah, jika mereka gagal barulah mereka meminta bantua orang
lain secara terpaksa.
c. Kemampuan untuk menghargai karya sendiri
Individu yang mandiri harus mampu menghargai hasil dari kerja ataupun karya yang
dihasilkan dari usaha mereka, termasuk karya sederhana sekalipun yang bagi orang lain
tidak ada nilainya. Kepuasan individu terhadap karyanya adalah manifestasi dari jiwa
yang mandiri. karena kemandirian berkaitan erat dengan kemampuan menghargai,
sedangkan bila individu tidak mampu menghargai hasil karyanya akan sangat
memungkinkan ia akan kurang percaya diri dan akhirnya menggantungkan hal tersebut
pada orang lain.
Oleh karena itu, remaja yang dapat dikatakan mandiri adalah remaja yang mampu
menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya dan memiliki kemampuan untuk lepas dari
orang lain, baik itu orang tua maupun teman sebayanya dalam aspek emosi, perilaku dan nilai
(Muhibbin, 2010).
Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian pada Remaja
Kelekatan dengan orang tua menjadi salah satu faktor yang sangat penting bagi kemandirian
anak (Santrock, 2011). Fuhrahman (1986) mengatakan bahwa anak akan mengembangkan
kemandiriannya dan hal tersebut dipengaruhi berdasarkan pengalamannya bersama
keluarganya (dalam Ayudhira, 2013). Hubungan dengan orang tua sangat penting bagi
seorang anak agar dapat menjadi individu yang mandiri. Karena hal tersebut memberikan
dukungan bagi seorang remaja untuk menjadi pribadi yang mandiri, baik secara emosi,
prilaku maupun nilai (Steinberg, 2002).
Kelekatan berkaitan dengan pola asuh orang tua terhadap anaknya (Baumride & Bee, 1981;
dalam Suryadi & Cindy, 2003). Dengan demikian, hal tersebut tidak lepas dari sikap orang
tua terhadap anaknya. Bila sikap yang dibangun oleh orang tua terhadap anaknya positif, akan
menghasilkan sikap yang positif juga bagi anak, karena anak merasa aman untuk berkembang
sebagaimana mestinya. Apalagi peran ibu, sangat memiliki pengaruh terhadap perkembangan
kemandirian seorang remaja (Allen et al, 2003; dalam Ayudhira, 2013). Sehingga bisa
disimpulkan bahwa seorang anak akan menjadi individu yang mandiri tidak lepas dari
hubungan keduanya dalam keluarga.
Sebagaimana Hurlock (dalam Santrock, 2011) mengatakan bahwa di usia remaja, seorang
anak akan sangat membutuhkan bimbingan dan dukungan untuk mencapai tujuan mandirinya.
Karena manusia diciptakan pada dasarnya memiliki sistem kelekatan prilaku yang yang
mendorong mereka untuk mendekat ke figur lekatnya ketika dibutuhkan (Bowlby, 2004;
dalam Ayudhira, 2013). Karena dengan adanya figur yang lekat dengan seorang remaja,
utamanya orang tua akan memberikan rasa aman untuk bertindak sebagaimana yang ia
inginkan. Namun hal itu tidak lepas dari pandangan anak mengenai orang tua mereka. Hal ini
erat kaitannya dengan intensitas komunikasi anak dengan orang tuanya. Anak dengan orang
tua yang intens dalam berkomunikasi akan memunculkan kelekatan yang baik yang akan
membantu anak tetap memandang orang tuanya sebagai figur yang penting bagi dirinya.
7

Kelekatan (Attachment)
Kelekatan adalah ikatan emosional individu dengan pengasuhnya yang terbentuk semenjak ia
masih kecil. Mc Cartey dan Dearing (2002) mengatakan bahwa kelekatan adalah sebuah
ikatan emosional seseorang yang terbentuk dari hasil interaksi dengan orang lain yang
memiliki arti khusus bagi dirinya. Bowlby (dalam Ayudhira, 2013) berpendapat bahwa
kelekatan antar anak dan remaja adalah sebuah kondisi di mana keduanya memiliki ikatan
emosional yang kuat. Kelekatan dapat diukur dengan adanya kepercayaan, komunikasi dan
keterasingan sebagaimana yang telah disusun oleh Inventori of Parent and Peer Attachment
(IPPA).
(1). Kepercayaan adalah dimensi di mana orang tua mau melepas anak untuk bebas
beraktualisasi sehingga terbentuk sebuah dukungan dari orang tua ke anak mengenai
kemampuan anak untuk berkembang sesuai dengan keinginannya dengan adanya pengawasan
dari orang tua. Kepercayaan ini ditandai dengan adanya rasa aman yang dirasakan oleh anak
dalam membangun dirinya, (2). Komunikasi, ialah interaksi dua arah yang dilakukan orang
tua dengan anaknya melalui percakapan dengan tujuan tertentu, pada masa remaja biasanya
komunikasi berisi tentang sebuah nasehat atau petunjuk dalam menyelesaikan sebuah konflik.
Melalui komunikasi kelekatan orang tua dan anak tetap terjaga sehingga tidak ada
kesenjangan di antara mereka, (3). Keterasingan, yaitu kondisi di mana orang tua mampu
menghindari atau bahkan menolak untuk marah dan bertanggung jawab terhadap anaknya.
Dua konstruk ini memiliki peran dalam membentuk kelekatan yang tidak aman sehingga
menghilangkan figur kelekatan itu sendiri, bila figur tersebut tidak ada maka akan muncul
perasaan keterasingan.
Ainsworth (dalam Papalia, 2010) membagi kelekatan menjadi dua macam, yaitu kelekatan
yang aman dan kelekatan yang tidak aman. Kelekatan yang aman adalah kelekatan yang
mampu membangun atau mengembangkan skema mental remaja yang positif. Skema ini
berisi tentang tetang pengetahuan remaja mengenai dirinya yang kemudian dimanfaatkan
untuk mendukung perkembangan dirinya. Sedangkan kelekatan yang tidak aman adalah
kelekatan yang membuat remaja mengembangkan skema mental yang negatif yang pada
akhirnya membentuk remaja untuk gampang cemas dan membatasi diri terhadap apapun yang
mengancam dirinya, salah satunya adalah ketidak beranian untuk mengambil keputusan
dalam menyelesaikan masalahnya.
Peran Edukasi terhadap Kemandirian
Edukasi bagi anak sangatlah penting untuk diberikan, apalagi hal itu berkenan dengan
perkembangannya. Haan, et al (2013) mengatakan bahwa edukasi atau proses didik yang
diterima oleh anak sangat berpengaruh pada perkembangan diri anak. Sehingga, bila seorang
anak di masa remaja memperoleh edukasi yang mengarahkan dia untuk menjadi individu
yang mandiri, maka konsep kemandirian tersebut secara perlahan akan terbentuk. Dalam hal
ini, peran orang tua sangat penting sebagai figur yang akan memberikan edukasi tersebut.
Karena orang tua merupakan bagian yang tidak boleh terpisahkan dari kehidupan anak.
Peran edukasi disini berfungsi sebagai media agar anak mengetahui diri dan cara meregulasi
dirinya agar menjadi individu yang matang di masa remajanya. Hal itu akan didapatkan ketika
orang tua memberikan gambaran pada anak mengenai cara mereka mengenali terlebih dahulu.
Edukasi di dalam keluarga memiliki nilai strategis dalam pembentukan kepribadian anak
(Bahri, 2014). Anak yang dari kecil telah mendapatkan edukasi dari orang tuanya yang
tergambar melalui keteladanan dan perilaku orang tua di dalam keluarga akan dicontoh oleh
8

anak, karena secara naluriah seorang anak akan sangat sering meniru sesuatu yang
diperlihatkan orang tua.
Oleh karena itu, besarnya pengaruh peran edukasi bagi perkembangan anak sangat penting
untuk diperhatikan. Melalui edukasi orang tua, anak akan mampu meregulasi dirinya dan
mengenali dirinya dengan baik sehingga pada tahap perkembangannya anak akan semakin
sadar mengenai tanggung jawabnya. Semakin anak sadara mengenai diri dan tanggung
jawabnya, semakin mudah bagi anak untuk membentuk konsep diri yang positif.
Sabagaimana yang dikemukakan oleh Bahri (2014) saat mendidik anak adalah dengan
memberikan empat hal, yaitu (1). Memberikan motivasi kepada anak untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri, (2). Memberikan kesempatan bagi anak untuk melakukan hal-hal yang
positif bagi lingkungannya, hal ini dilakukan agar anak membentuk peran dirinya sebagai
individu yang bermasyarakat, (3). Memahami perasaan anak yang mana orang tua
memunculkan kepekaan dirinya terhadap perasaan pada anaknya, dan (4). Memberikan atau
meluruskan perilaku anak yang berdampak negatif bagi dirinya dan lingkungan sekitarnya.
Keempat hal ini yang nantinya memberikan pengaruh yang relevan bagi pembentukan
kemandirian di usia remaja. bila hal ini tidak tercapai akan terbuka ruang yang sangat besar
bagi anak untuk melakukan perilaku yang tidak diharapkan di lingkungan sosialnya. Karena
edukasi tidak hanya tentang hal mengarahkan dan memberi petunjuk pada anak, melainkan
juga perilaku orang tua kepada anakanya. Contoh, di Indonesia sangat sering dijumpai kasus
orang tua memberikan label pada anaknya. Label ini sering bermuatan negatif yang bisa
menyinggung perasaan anak sehingga anak menjadi tidak percaya pada diri ketika bergaul di
lingkungan sosialnya (Sarwono, 2013). Dampaknya adalah anak akan tidak percaya diri dan
lebih sering menghindar dari kehidupan sosialnya.
Remaja yang Mandiri
Perspektif psikologi perkembangan menyatakan bahwa remaja ialah masa di mana seorang
anak menjalani masa transisi menuju masa dewasa. Chikszentimihalyi dan Larson (dalam
Sarwono, 2013) menyatakan bahwa remaja adalah restrukturisasi kesadaran. Hal ini ditandai
dengan adanya proses pembentukan konsep diri yang terjadi di masa remaja. Selain itu, di
masa remaja juga terjadi sebuah penetapan kepribadian (Buss & Craik, 1978; dalam Sarwono,
2013). Secara naluriah, seorang remaja akan membentuk dirinya sebagaimana yang yang dia
pikirkan. Ketika seorang anak di masa remajanya memikirkan dirinya untuk lepas dari
bayang-bayang orang tua, maka individu tersebut akan mencari cara agar dirinya bisa
mencapai tujuan tersebut.
Kehidupan remaja adalah hidup dengan banyak konflik yeng terjadi. Pertentangan dengan diri
sendiri, cemas dengan kondisi fisik yang terjadi pada remaja perempuan dan juga adanya
masalah yang terjadi diluar diri membuat remaja sangat variatif macamnya. Remaja akan
sangat rentang dengan perilaku yang menyimpang dan depresi yang berlebihan karena tidak
adanya kesesuaian antara keinginan dan kenyataan yang terjadi (Sarwono, 2013). Sebab hal
ini terjadi adalah karena konflik yang tidak bisa diselesaikan sendiri oleh remaja, terlebih
remaja mengalami masa pubertas yang bagi remaja memberi dampak terhadap kondisi
psikologis anak, yaitu kecemasan dengan mudah terjadi karena banyaknya perubahanperubahan fisik dan emosi yang terjadi (Santrock, 2011). Oleh karenanya, tidak jarang
seorang anak remaja akan menjauh dari kehidupan keluarganya karena anggapan bahwa
keluarga adalah salah satu sumber dari munculnya masalah yang menganggu dirinya, teori ini
kemudian disebut differential assocation yang mana orang tua memberikan batasan pada anak
untuk bergaul (Jensen, 1985; dalam Sarwono, 2013).
9

Namun, di sisi yang lain anak di masa remaja sudah memulai membangun konsep untuk
keluar dari bayang-bayang orang tuanya. Hal ini merupakan hal yang positif karena remaja
tidak lagi menginginkan dirinya untuk menjadi individu yang terus hidup di bawah bayangbayang orang lain (Fatimah, 2006). Artinya, dengan adanya keinginan itu, seorang remaja
akan melakukan hal apapun untuk mencapainya, karena karakterisitik dibenak seorang remaja
adalah mereka akan dianggap ketika mereka memunculkan pribadi yang mampu memberikan
pengaruh dilingkungans sekitarnya. Hal inilah yang dikemukakan oleh Erikson (dalam
Santrock, 2011) bahwa integritas seorang remaja adalah kebabasan dirinya (self autonomy).
Dorongan untuk menjadi individu yang mandiri sering kali membuat orang tua marah dan
memperkuat kendali atas anaknya sehingga anak merasa tertekan. Meskipun demikian, seiring
dengan berjalannya proses tersebut orang tua semakin perlahan memberikan keleluasaan pada
anaknya untuk bertidak sebagaimana yang dia inginkan. Karena hasrat seorang anak di masa
remaja untuk mengambil kendali atas dirinya hanya bisa tercapai melalui reaksi-reaksi yang
terjadi dengan orang tua (Laursen & Collins, 2009; McElhaney dkk, 2009; dalam Santrock,
2011). Kemandirian pada remaja pun berbeda dengan di masa dewasa yang sudah benar-benar
mampu melepaskan diri dari bayangan orang lain, seperti orang tua.
Kemandirian di masa remaja dilihat dari segi kemampuan remaja untuk bertidak sesuai
dengan yang dipikirkan dan mengambil keputusan dalam menyelesaikan masalahnya sendiri,
tidak sampai pada aspek ekonomi layaknya orang dewasa. Karena kemandirian pada remaja
terbentuk secara bertahap. Remaja dapat dikatakan mandiri bila dia sebagai individu sudah
memiliki dorongan untuk lepas dan mengambil kendali atas dirinya dalam hal-hal tertentu
(Laursen & Collins, 2009; McElhaney dkk, 2009; dalam Santrock, 2011). Ketika seorang
remaja sudah mampu untuk mengendalikan dirinya, menghargai apa yang diperbuat,
menyelesaikan masalahnya dengan tangan sendiri, berani mengambil keputusan dan
bertanggung jawab atas perbuatannya maka sudah bisa dikatakan bahwa remaja tersebut
sudah mandiri.
Jadi, masa remaja adalah masa dengan banyak konflik, penuh dengan kondisi yang bervariasi
dan perubahan terjadi baik dari segi fisik maupun emosi. Kemandirian adalah hal yang sangat
penting bagi remaja untuk dicapai, karena sangat erat kaitannya dengan integritas dirinya
sebagai individu yang akan menjadi pribadi yang dewasa. Kemampuan mengambil keputusan
dan bertanggung jawab adalah dua hal yang mencirikan seorang anak di masa remajanya
mandiri. Meskipun pada tahap awal remaja mengalami kesulitan dalam mengambil
keputusan, namun dengan bimbingan orang dewasa yang diberikan secara bijaksana dengan
mengurangi kendali dibidang tertentu bisa membuat remaja akan matang dalam hal tersebut
(Santrock, 2011).
Edukasi dalam Kelekatan Orang Tua Anak dengan Kemandirian pada Remaja
Faktor terbentuknya sebuah kemandirian terhadap anak di usia remaja adalah dengan adanya
kelekatan yang baik (Santrock, 2011) yang mana kelekatan tersebut erat kaitanya dengan pola
sih orang tua (Baumride & Bee, 1981; dalam Suryadi & Cindy, 2003). Kelekatan yang baik
bisa ditandai dengan adanya keterbukaan kedua belah pihak saat melakukan interaksi. Karena
dengan adanya kelekatan anak akan merasa lebih aman dan lebih mudah untuk terbuka
terhadap segala hal yang dialami karena merasa didukung oleh orang tuanya. Kepercayaan,
komunikasi dan keterasingan sebagaimana aspek yang mengukur kelekatan mengambil peran
penting. Terkhusus pada aspek komunikasi, di mana adalah gerbang terbangun dan terjaganya
kelekatan (Gunarsa, 2004). Karena pada dasarnya komunikasi adalah penglicin untuk

10

membentuk anak sebagaimana yang dicita-citakan yang digunakan dalam pengasuhan anak
(Bahri, 2014).
Anak yang memiliki dukungan dari orang tua akan percaya diri untuk melakukan sesatu
dibandingkan dengan anak yang sama sekali tidak didukung oleh orang tua (Santrock, 2011).
Adanya kelekatan dengan anak harus benar-benar dimanfaatkan oleh orang tua sebagai
peluang untuk memberikan edukasi kepada anak, sebagaimana Santrock (2011) menuturkan
bahwa kelekatan orang tua dan anak mampu menumbuhkan kemandirian pada anak. Karena
kelekatan adalah tanda di mana orang tua dengan leluasa masuk di kehidupan anak dan anak
menyetujui hal itu, sehingga agar dengan kelekatan tersebut tidak membuat anak menjadi
individu yang tergantung dengan orang tua perlu ada edukasi yang menunjang
kemandiriannya (Dagun, 2013). Oleh karenanya, hal yang perlu ditekankan adalah ketika
tercipta sebuah kelekatan, maka orang tua harus menggunakannya untuk mendidik anakanaknya menjadi mandiri, sebab secara otomatis orang tua paham dengan kebutuhan anak
untuk menjadi pribadi yang dicita-citakan. Kelekatan yang harus dibentuk adalah kelekatan
yang aman di mana anak membentuk skema dirinya menjadi positif.
Membentuk anak menjadi mandiri adalah tugas utama dari pengasuhan orang tua, terkhusus
bagi anak di masa remaja (Bahri, 2014). Karena masa remaja memiliki tugas untuk menjadi
mandiri dan menicta-citakan kebebasan. Sehingga bagaimana anak menjadi mandiri terletak
dari bagaimana orang tua mengasuhnya. Sehingga perlu adanya edukasi yang diberikan oleh
orang tua pada anaknya untuk mencapai kemandiriannya, dengan menjadikan komunikasi
yang intens sebagai salah satu cara.
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Gunarsa (2004) bahwa intensitas komunikasi akan
membuka banyak ruang bagi orang tua dalam berinteraksi, maka orang tua perlu mengetahui
bahwa melalui komunikasi yang dilakukan secara intens ia akan lebih mampu untuk
membentuk anak menjadi pribadi yang mandiri dengan ruang interaksi yang dimiliki.
bagaimanapun itu, komunikasi adalah penentu dari efektifnya sebuah pengasuhan yang
dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya (Bahri, 2014). Di usia 15-18 tahun, merupakan
usia di mana anak sudah mencita-citakan untuk menjadi mandiri atau tidak lagi bergantung
dengan orang tua dan orang tua harus memberikan kepercayaan yang tinggi pada anak untuk
melakukan sesuatu agar tugas tersebut berhasil.
Menurut Bahri (2014), ada empat hal yang harus diberikan oleh orang tua dalam membentuk
kemandiriannya, yaitu: (1). Memberikan motivasi untuk memuaskan rasa ingin tahu anak
karena dahsyatnya rasa ingin tahu di masa remaja tidak serta-merta mampu ditekan sehingga
perlu tersalurkan dengan baik agar anak merasa dihargai oleh orang tuanya dengan
kemampuan yang dimiliki, (2). Memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan hal-hal
positif dengan tujuan menumbuhkembangkan kecerdasan emosi anak agar sifat-sifat sosial
kemasyarakatan anak tumbuh dan tidak hanya mengenal keluarganya saja sebagai lawan
interaksi, (3). Memahami perasaan anak sebagai kunci keberhasilan orang tua dalam
mendidik. Dalam konteks membangun kemadirian anak, perasaan anak benar-benar perlu
dipahami agar orang tua tidak salah dalam memberikan pendidikan kepada anak. Kemampuan
inilah yang akan mendorong orang tua untuk mengetahui kebutuhan anaknya, (4).
Meluruskan perilaku negatif anak yang mana ketika orang tua melihat anaknya melakukan
perbuatan negatif tidak serta merta dimarahi yang dampaknya akan menguncang kondisi
psikologis anak, melainkan memberikan nasehat yang berisi pesan-pesan kebajikan atau nilainilai agama yang membuat anak bisa mengetahui yang baik dan yang buruk untuk dilakukan.

11

Oleh karena itu, tercapainya sebuah kemandirian pada remaja memerlukan tiga hal, yaitu
kepercayaan, komunikasi dan keterasingan yang tinggi agar tercipta kelekatan yang baik atau
aman antara anak dengan orang tua (Olson, 1992). Kepercayaan berfungsi sebagai aspek yang
menimbulkan rasa aman pada anak untuk berbuat sesuatu, komunikasi sebagai penjaga
kelekatan dan keterasingan sebagai penguat bahwa antar anak dan orang tua memiliki
hubungan yang positif sehingga tidak ada perilaku yang negatif sebagai solusi pemecahan
masalah yang digunakan. Dengan model kelekatan orang tua anak yang aman, orang tua akan
memiliki kemampuan untuk mengetahui dan memahami perasaan anaknya dengan baik,
dengan pemahaman yang baik ini orang tua tahu menerapkan pengasuhan yang mendidik
pada anak untuk mencapai kemadiriannya, sehingga anak akan merasa nyaman untuk berbuat
sesuai dengan kehendaknya karena tahu dan berbekal kepercayaan dari orang tua mereka
(Bahri, 2014).
Kelekatan inilah yang nantinya akan membuat orang tua dengan leluasa masuk dikehidupan
anak sebagai pihak yang mengontrol perkembangan anak, melalui pendidikan yang terbangun
dengan baik kepada anak. Sehingga, kita dapat menyimpulkan bahawa bila intensitas
komunikasi anak orang tua tinggi, akan terbuka kesempatan yang sangat besar bagi orang tua
untuk memberikan pendidikan kepada anak dengan syarat orang tua dengan anak sudah lekat
satu sama lain dengan adanya kepercayaan dan rasa aman pada anak terhadap orang tuanya.
Orang tua yang mampu mengerti terhadap situasi anaknya akan mempercepat proses
perkembangan mental anak (Dharmayanti, 2008). Karena bagaimana pun, orang tua memiliki
fungsi manejer bagi anak-anaknya, yaitu orang yang mengawasi dan menginisiasi serta
memberikan p