KONSTELASI Teori Dalam Ilmu Hukum

KONSTELASI
Teori Dalam
Ilmu Hukum

Diterbitkan Oleh
R.A.De.Rozarie
(Anggota Ikatan Penerbit Indonesia)
Jl. Ikan Lumba-Lumba Nomor 40 Surabaya, 60177
Jawa Timur – Negara Kesatuan Republik Indonesia
www.derozarie.co.id – 081333330187/0819671079

Konstelasi Teori Dalam Ilmu Hukum
© November 2015
Eklektikus: Tomy Michael
Editor: Wiwik Afifah, S.Pi., S.H., M.H.
Master Desain Tata Letak: Krisna Budi Restanto

Angka Buku Standar Internasional: 9786021176030
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
Katalog Dalam Terbitan


Sebagian atau seluruh isi buku ini dilarang
digunakan atau direproduksi dengan tujuan
komersial dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis
dari R.A.De.Rozarie kecuali dalam hal penukilan
untuk keperluan artikel atau karangan ilmiah
dengan menyebutkan judul dan penerbit buku ini
secara lengkap sebagai sumber referensi.
Terima kasih

PENERBIT PERTAMA
DENGAN KODE BATANG UNIK

PRAKATA
Setelah melalui perenungan panjang, akhirnya saya menyajikan suatu bacaan ilmiah ilmu hukum yang mengagungkan kebebasan dalam berpikir.
Karya ini menyajikan beberapa teori dalam
ilmu hukum dengan bahasa yang mudah dipahami. Didukung dengan sumber bacaan berupa terjemahan langsung, saya berharap karya ini menjadi
bacaan ilmiah yang menyenangkan dan memiliki
nilai lebih dari bacaan sejenis.
Salam damai dalam kesatuan Tuhan dan
kasih-Nya… Entah Anda menyebut-Nya apa. Respice post te! Hominem te esse memento! Memento

mori!
Surabaya, Oktober 2015

i

Pendahuluan
Teori Hukum Murni

T

Teori Organ Negara
Teori Kebahagiaan
Teori Konstitusi

Teori Causalitet

Teori Batas Antara Adat Dan Hukum Adat
Teori Hukum Kasih
Teori Klasik
Teori Pembangunan Hukum

Teori Feminisme
Teori Kebijakan Publik
Teori Hukum Responsif
Teori Hukum Progresif
Teori Hermeneutika Hukum
Daftar Bacaan

ii

PENDAHULUAN
Sebelum memasuki penjabaran akan berbagai teori dalam ilmu hukum. Alangkah baiknya jika kita terlebih dahulu memahami makna hukum
itu sendiri.
Jika muncul pertanyaan “apakah hukum?”
maka akan muncul beribu-ribu jawaban karena
hukum merupakan sesuatu yang abstrak dan keberadaannya tidak mampu menjangkau keberadaan manusia. Hukum dapat timbul melalui kekuasaan, hukum berada dalam masyarakat, hukum
memiliki sifat luwes dan sering kali bersifat memaksa, hukum mengatur hampir sebagian besar
hidup manusia dan makhluk hidup lainnya, bahkan hukum memiliki konsekuensi bagi orang yang
telah meninggal.
Satu hal yang pasti, hukum dibuat, diadakan, dan direncanakan untuk mengatur tertib hidup umat manusia walaupun adakalanya hukum
hanya berpihak pada suatu kelompok manusia sehingga merugikan kelompok lainnya. Itulah keistimewaan hukum, oleh karenanya dibutuhkan banyak perbedaan makna dari kata “hukum” itu sendiri agar tercipta keadaan hukum yang adil.

Begitu juga dengan keberadaan teori yang
selalu dianggap berwarna abu-abu alias tidak jelas.
Hukum yang tepat adalah hukum yang bersumber
kepada teori. Lantas bagaimanakah awal mula hukum itu berdiri? Pijakan apakah yang digunakan
untuk membuat hukum pertama kalinya? Jawa-

1

bannya yaitu dengan wahyu Sang Pencipta. Bahwa manusia diberi akal dan budi untuk merealisasikan terciptanya hubungan yang harmonis antara sesama, alam dan Sang Pencipta. Oleh karenanya teori hukum merupakan suatu pemikiran
mendalam dari para individu yang rela berfilsafat
dalam hidupnya.
Pada waktu manusia bertindak sebagai pribadi yang tidak teratur (dalam arti, hukum rimbalah yang menjadikan manusia bertahan), maka
hukum dijadikan suatu sarana untuk bersaing.
Melakukan persaingan dengan membenarkan segala cara, mereka tidak peduli terhadap segala akibatnya. Kekuatan menjadi faktor dominan bagi
masing-masing individu. Di lain pihak beberapa
teori hukum juga memiliki implikasi-implikasi kefilsafatan hukum. Hal ini dapat dilihat pada teori
hukum yang bersifat empirik.1
Di dalam kajian ilmu hukum selalu terdapat
4 (empat) hal penting yaitu ontologi, epistemologi,
aksiologi, dan teleologi. Keempat hal tersebut wajib dipahami terlebih dahulu agar terciptanya suatu pemahaman komprehensif.

Menurut Lorens Bagus keempat hal tersebut
diartikan sebagai:
Ontologi2
é Studi tentang ciri-ciri esensial dari Yang Ada dalam
dirinya sendiri yang berbeda dari studi tentang hal1
2

B Arief Sidharta, hal 32.
Lorens Bagus, hal 746-747.

2

hal yang ada secara khusus. Dalam mempelajari Yang
Ada dalam bentuknya yang sangat abstrak studi tersebut melontarkan pertanyaan seperti: “apa itu Adadalam-dirinya-sendiri?” “Apa hakikat Ada sebagai
Ada?”
é Cabang filsafat yang menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, yang menggunakan kategori-kategori seperti: ada/menjadi, aktualitas/potensialitas, nyata/tampak, perubahan, waktu, eksistensi/noneksistensi, esensi, keniscayaan, hal mencukupi diri sendiri, hal-hal terakhir, dasar.
é Cabang filsafat yang mencoba a) melukiskan hakikat
Ada yang terakhir (Yang Satu, Yang Absolut, Bentuk
Abadi Sempurna), b) menunjukkan bahwa segala hal
tergantung padanya bagi eksistensinya, c) menghubungkan pikiran dan tindakan manusia yang bersifat

individual dan hidup dalam sejarah dengan realitas
tertentu.
é Cabang filsafat a) yang melontarkan pertanyaan “Apa
arti ADA, BERADA?” (Pertanyaan yang sama dilontarkan tentang kategori-kategori atau konsep-konsep
lain yang digunakan dalam (2) dan b) yang menganalisis bermacam-macam makna yang memungkinkan
hal-hal dapat dikatakan ADA, Berada.
é Cabang filsafat yang a) menyelidiki status realitas suatu hal (misalnya, “Apakah objek pencerapan atau
persepsi kita nyata atau bersifat ilusif (menipu)?”
“apakah bilangan itu nyata?” “Apakah pikiran itu

3

nyata?”, b) menyelidiki jenis realitas yang dimiliki
hal-hal (misalnya, “Apa jenis realitas yang dimiliki bilangan? Persepsi? Pikiran?”), dan c) yang menyelidiki realitas yang menentukan apa yang kita sebut
realitas dan/atau ilusi (misalnya, “Apakah realitas –
atau ciri ilusif – suatu pikiran atau objek tergantung
pada pikiran kita, atau pada suatu sumber eksternal
yang independen?”).
Epistemologi3
é Perbedaan pokok antara teori-teori pengetahuan adalah perbedaan antara metode Rasionalisme dan teori

Empirisme. Yang terdahulu ditekankan oleh pemikirpemikir seperti Parmenides, Plato, Descartes, Spinoza,
Leibniz. Sedangkan yang kedua ditegaskan oleh Francis Bacon, Locke, Berkeley, Hume, dst. Contoh pengetahuan yang paling menjanjikan adalah pengetahuan
yang bersifat ilmiah. Dengan demikian dapat diutarakan bahwa metode yang paling cocok dengan ilmu
pengetahuan harus diterima. Akan tetapi tentu saja
beberapa bidang ilmu pengetahuan lebih empiris dibandingkan yang lain. Mungkin sekali kontras antara
Rasionalisme dan Empirisme merupakan kontras atau
perbedaan palsu, dan menimbulkan problem palsu atau semu pula.
é Empirisme umumnya dapat diidentikkan dengan Teori Korespondensi (tentang kebenaran) dan Rasionalis-

3

Lorens Bagus, hal 212-214.

4

me dengan Teori Koherensi (tentang kebenaran). Teori
Korespondensi sepertinya merupakan pandangan yang lebih masuk akal bagi aprehensi biasa. Menurut teori ini, pernyataan-pernyataan adalah benar bila berkorespondensi (sepadan) dengan dunia (kenyataan);
dan ide-ide berkolerasi dengan kenyataan melalui
persepsi-persepsi yang kita terima dari dunia.
é Kaum rasionalis khususnya, diharapkan menanggapi

bahwa kenaifan ditemukan dalam perkiraan yang
dapat dibangun oleh padanan-padanan (korespondensi) ini. Tak pelak lagi orang memasuki situasi-pengetahuan dengan sebuah ide atau sekumpulan ide yang
ingin dihadapkan dengan kenyataan. Tetapi karena
dalam hakikat kasus itu ia hanya bisa mengetahui ideide, paling-paling yang dapat dilakukannya ialah menghadapkan ide yang satu dengan yang lain; ide ingatan, misalnya, dihadapkan dengan ide yang hanya diterima dari pancaindera; dan justru bukan itu yang
dimaksudkannya.
Kaum rasionalis, yang menerima Teori Koherensi, tidak menekankan korespondensi (padanan), melainkan kriteria logis dalam mengevaluasi sebuah teori
atau eksplanasi. Penganut Teori Koherensi kiranya
berminat kepada soal konsistensi internal tiap afirmasi, atau eksplanasi, pembentuk teori; konsistensi
eksternal afirmasi-afirmasi satu sama lain; dan relasirelasi dedusibilitas dalam afirmasi-afirmasi, yang memungkinkan kita bergerak dari yang satu ke yang la-

5

in, dan yang menyediakan evidensi supaya kita tidak
membiarkan adanya kekosongan dalam teori kita.
é Kritik balasan yang dilontarkan sang penganut Teori
Korespondensi ialah bahwa banyak contoh sistem ideide, yang mempunyai koherensi atau konsistensi internal dan mempertahankan relasi-relasi dedusibilitas,
namun tidak berhubungan dengan kenyataan. Sebagai
contoh dapat kita sitir (kutip) beraneka macam sistem
geometri, masing-masing dengan titik tolak asiomatik
yang berbeda, yang dikembangkan dengan kesatuan

dan koherensi luar biasa, namun tidak semuanya dapat diterapkan pada dunia karena mereka konsisten satu sama lain.
é Jawaban sang penganut Teori Koherensi kepada kritik
ini ialah bahwa kritik ini tidak menangkap maksud Teori Koherensi. Alasannya, koherensi ide-ide tidak hanya mencakup jajaran ide-ide sistematis, tetapi juga
ide-ide yang kita terima dari seluruh pengalaman
yang mengalir tak henti-hentinya. Maksudnya ialah
koherensi semua ide yang bersangkutan itu.
é Mungkin debat ini tak akan terpecahkan. Tetapi dalam term-term praktis kiranya jelas bahwa klaim rasionalitas maupun observasi harus dihargai.
Ada debat semacam ini antara realisme dan idealisme dalam epistemologi. Dalam epistemologi ada
doktrin-doktrin yang menekankan objektivitas pengetahuan. Kadang doktrin ini disebut “realistis”. Misalnya Realisme Representatif. Pandangan ini melihat

6

ide-ide sebagai representasi kenyataan objektif. Realisme Kritis melihat ide-ide tidak sebagai representasi
langsung kenyataan objektif. Realisme Baru beranggapan bahwa kita memasuki kontak langsung dengan
dunia melalui relasi pengetahuan. Kesemuanya ini
merupakan contoh-contoh Realisme Epistemologis, sebab dalam tiap alternatif data diidentifikasikan dengan
objek. Dalam Idealisme Epistemologis, di pihak lain,
objek kiranya diidentikkan dengan data.
é Dapat pula ditarik garis perbedaan antara dualisme
dan monisme dalam epistemologi. Dualisme Epistemologis beranggapan bahwa terdapat dualitas antara

data-inderawi dan objek yang diketahui. Monisme
Epistemologis memandang data identik dengan objek
yang diketahui. Dalam pengertian ini pembedaanpembedaan epistemologi paralel dengan pembedaanpembedaan metafisika atau ontologi.
Aksiologi4
é Aksiologi merupakan analisis nilai-nilai. Maksud dari
analisis ini ialah membatasi arti, ciri-ciri, asal, tipe,
kriteria dan status epistemologis dari nilai-nilai itu.
é Aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori
umum tentang nilai atau suatu studi yang menyangkut segala yang bernilai.
é Aksiologi adalah studi filosofis tentang hakikat nilainilai. Pertanyaan mengenai hakikat nilai ini dapat di-

4

Lorens Bagus, hal 33-34.

7

jawab dengan tiga macam cara: orang dapat mengatakan bahwa a) nilai sepenuhnya berhakikat subjektif.
Ditinjau dari sudut pandangan ini, nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku. Pengikut teori idealisme subjektif (positivisme logis, emotivisme, analisis linguistik dalam
etika) menganggap nilai sebagai sebuah fenomen kesadaran dan memandang nilai sebagai pengungkapan

perasaan psikologis, sikap subjektif manusia kepada
objek yang dinilainya. Dapat pula orang mengatakan
b) nilai-nilai merupakan kenyataan, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai merupakan
esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal.
Akhirnya orang dapat mengatakan bahwa c) nilainilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan.
Teleologi5
é Studi tentang gejala-gejala yang memperlihatkan keteraturan, rancangan, tujuan, akhir, maksud, kecenderungan, sasaran, arah, dan bagaimana hal-hal ini
dicapai dalam suatu proses perkembangan. Studi ini
mencapai doktrin bahwa tujuan, sebab final, atau
maksud harus diketengahkan sebagai prinsip-prinsip
penjelasan.
é Teleologi merupakan ajaran filosofis-religius tentang
eksistensi tujuan-tujuan dan “kebijaksanaan” objektif

5

Lorens Bagus, hal 1085-1086.

8

di luar manusia. Ia terungkap dalam antrofomorfisme
idealistik dari objek-objek dan proses-proses alamiah.
Ia mengaitkan hal-hal itu dengan tindakan prinsipprinsip penetapan-sasaran untuk melaksanakan
tujuan-tujuan yang ditentukan sebelumnya. Tesis ini
mengandaikan adanya seorang pencipta yang adiintelijen dan mendasari bukti teleologis dari adanya Allah.
é Menurut teleologi transendental-antroposentrik, prinsip penetapan-sasaran, atau Allah, yang berada di
luar dunia, memperkenalkan tujuan-tujuan dalam alam yang diciptakan bagi manusia. Menurut teleologi
imanen, setiap objek dalam alam dalam dirinya sendiri
mempunyai suatu tujuan vital yang intrinsik, suatu
sebab yang mempunyai tujuan. Tujuan vital atau sebab yang bertujuan itu merupakan sumber gerakan
dari bentuk-bentuk yang lebih tinggi.
é Dengan bermacam-macam bentuk, teleologi, terdapat
dalam stoisisme, Neoplatonisme, dalam konsepsi harmoni yang ditetapkan sebelumnya, dalam teori “jiwadunia” dari Schelling, dalam idealisme objektif Hegel,
neo-Kantianisme, neo-Thomisme, personalisme, dan
sebagainya.
Setelah mengetahui arti dari ontologi, epistemologi, aksiologi, dan teleologi menurut kamus
maka apabila keempat hal tersebut dikorelasikan
dengan ilmu hukum akan memiliki arti:
y Ontologi hukum merupakan pencarian akan hakikat
hukum secara fundamental. Dapat mencari hakikat

9

dari suatu dogma hukum6, dalil hukum7, norma hukum8, asas hukum9, teori hukum10, prinsip hukum 11
atau doktrin hukum12.
Tidak dapat dibantah keberlakuannya (isi dari suatu
peraturan perundang-undangan). Esensi tidak dapat dibantah keberlakuannya tidak menjadikan suatu peraturan perundang-undangan menjadi objek yang tidak
tak terbantahkan namun dapat menjadikannya sebagai
norma dasar dalam peraturan perundang-undangan sebelum dan sesudahnya. Dogma dalam pengertian umum selalu dikaitkan dengan pokok ajaran yang bersifat
kaku. Dogma adalah pokok ajaran (tt kepercayaan dsb)
yang harus diterima sbg hal yg benar dan baik, tidak boleh dibantah dan diragukan, dalam Tim Redaksi Kamus
Bahasa Indonesia, hal 361.
7 Suatu pendapat yang dapat diuji kebenarannya, jika ia
berdiri sendiri. Dalil adalah keterangan yg dijadikan
bukti atau alasan suatu kebenaran, dalam Tim Redaksi
Kamus Bahasa Indonesia, hal 309. Penulis sengaja tidak
memasukkan secara lengkap pengertian dalil karena
adanya unsur agama dalam arti tersebut.
8 Norma adalah A model or standard accepted (voluntarily
or involuntarily) by society or other large group, against which society judges someone or something, dalam Bryan A
Garner, hal 1159. Di dalam banyak literatur hukum, norma disamakan dengan kaidah sehingga menimbulkan
paradigma yang sama. Penulis mengutip buku Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia Jilid I bahwa norma tidak sama dengan kaidah. Kaidah (berasal
dari bahasa Arab) dan lazim disebut sebagai tata, sedangkan norma (berasal dari bahasa Latin) dan lazim
disebut ukuran-ukuran. Norma hukum memiliki sifat
yang memaksa dengan sanksinya yang berupa ancaman
6

10

hukuman. Alat-alat kekuasaan negara berdaya-upaya
agar peraturan-peraturan hukum itu ditaati dan dilaksanakan. Paksaan tidak berarti sewenang-wenang melainkan harus bersifat sebagai alat yang dapat memberi
suatu tekanan agar norma-norma hukum itu dihormati
dan ditaati, dalam C S T Kansil dan Christine S T Kansil,
hal 53-58. Dengan kata lain, kaidah adalah pedoman
berperilaku dalam hidup – mengatur secara pribadi saja
dan norma adalah mengatur tata cara bertingkah laku
seorang terhadap orang lain.
9 Hukum dasar; dasar sesuatu yang menjadi tumpuan
berpikir atau berpendapat, dalam B N Marbun, hal 18.
10 1. See general jurisprudence under JURISPRUDENCE. 2.
The principle under which a litigant proceeds, or on which a
litigant bases its claims or defenses in a case, dalam Bryan A
Garner, hal 979. “The term „general jurisprudence‟ involves
the misleading suggestion that this branch of legal science is
that which relates not to any single system of law, but to those
conceptions and principles that are to be found in ali developed
legal systems, and which are therefore in this sense general. It
is true that a great part of the matter with which it is
concerned is common to all mature systems of law. All of these
have the same essential nature and purposes, and therefore
agree to a large extent in their first principles. But it is not
because of universal reception that any principles pertain to
the theory or philosophy of law. For this purpose such reception is neither sufficient nor necessary. Even if no system
in the world save that of England recognised the legislative efficacy of judicial precedents, the theory of case-law would none
the less be a fit and proper subject of general jurisprudence.
Jurisprudentia generalis is not the study of legal systems in
general, but the study of the general or fundamental elements
of a particular legal system”, dalam Bryan A Garner, hal
933.

11

y Epistemologi hukum terkait tentang pengetahuan,
yang mana pengetahuan13 ini bersumber dari pengWolfgang Friedmann bahwa teori hukum bergumul dengan aneka antinomi misalnya alam semesta dan individu, kehendak dan pengetahuan, akal dan intuisi, stabilitas dan perubahan, positivisme dan idealisme, kolektivisme dan individualisme, demokrasi dan otokrasi,
universalisme dan nasionalisme. Seluruh antinomi itu
sesungguhnya memperlihatkan sosiologi teori hukum
sepanjang sejarah sebagai jawaban terhadap tantangan
lingkungan yang dari masa ke masa ditandai dialektika
kosmologi zamannya, dalam Bernard L Tanya, hal 2.
Satjipto Rahardjo berkata teori hukum merupakan kelanjutan dari usaha mempelajari hukum positif, setidaktidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekonstruksikan kehadiran teori hukum tersebut secara
jelas. Pada saat orang mempelajari hukum positif maka
ia sepanjang waktu dihadapkan pada peraturan-peraturan hukum dengan segala cabang kegiatan dan permasalahannya seperti kesalahannya maupun penafsirannya, dalam H Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, hal
36.
11 Pada intinya sama dengan asas.
12 Arti sebenarnya adalah pendapat sarjana hukum.
13 Bertrand Russell mengatakan bahwa pengetahuan adalah subkelas dari kepercayaan yang benar; setiap hal
mengenai pengetahuan merupakan hal mengenai kepercayaan yang benar tetapi tidak sebaliknya. Terdapat
tiga cara untuk mendefinisikan pengetahuan. Yang pertama, dan yang tertua adalah dengan menitikberatkan
pada konsep tentang bukti yang pasti. Yang kedua adalah dengan cara melenyapkan perbedaan premisme dari
kesimpulan dan menyatakan bahwa pengetahuan meru-

12

alaman sehari-hari yang rasional dan tidak rasional.
Epistemologi hukum mempertanyakan pengetahuan
hakikat hukum yang dapat diberlakukan secara umum.
y Aksiologi hukum merupakan ajaran tentang nilai.
Ajaran ini terkait pertanyaan legitimasi hukum, nilai kepatutan, kesamaan, keadilan, kebebasan atau
kebenaran.
y Teleologi hukum mencari tujuan akhir dari hukum
itu sendiri. Tujuan yang ingin dicapai secara umum.

pakan kepercayaan yang seluruhnya bersifat koheren.
Yang ketiga dan paling drastis adalah untuk meninggalkan sama sekali konsep tentang “pengetahuan” dan
menggantikannya dengan “kepercayaan-kepercayaan
yang mendorong sukses”, dan di sini “sukses” mungkin
dapat ditafsirkan secara biologis, dalam Jujun S Suriasumantri, hal 82-84. Secara mudah dapat dikatakan bahwa pengetahuan dalam paradigma secara umum terletak pada urutan terakhir yaitu pengetahuan, ilmu, filsafat, agama, dan Tuhan. Penempatan agama sesudah filsafat dan Tuhan sesudah agama tergantung penalaran
seseorang dalam menyikapinya.

13

TEORI HUKUM MURNI
Teori hukum murni dikaitkan dengan Mahzab Wina yang dipimpin oleh Hans Kelsen (18811973). Hans Kelsen dilahirkan dari pasangan kelas
menengah Yahudi berbahasa Jerman di Prague
dan pada saat usia tiga tahun, Hans Kelsen beserta
keluarganya pindah ke Wina. Hans Kelsen merupakan seorang agnostis, namun pada tahun 1905
dia memeluk agama Katolik demi menghindari
masalah integrasi dan kelancaran karier akademiknya. Di tahun 1906, Hans Kelsen memperoleh gelar Doktor di bidang hukum, hal ini tidak mengherankan karena semenjak kecil Hans Kelsen lebih
tertarik pada ilmu-ilmu klasik dan humanisme.
Teori hukum murni ini adalah teori hukum
positif. Ia merupakan teori tentang hukum positif
umum, bukan tentang tatanan hukum khusus. Ia
merupakan teori hukum umum, bukan penafsiran
tentang norma hukum nasional atau internasional
tertentu; namun ia menyajikan teori penafsiran.
Disebut sebagai teori hukum murni lantaran ia hanya menjelaskan hukum dan berupaya membersihkan objek penjelasannya dari segala hal yang
tidak bersangkut-paut dengan hukum. Yang menjadi tujuannya adalah membersihkan ilmu hukum
dari unsur-unsur asing.14
Di dalam hukum yang berkembang pada
abad ke-19 dan ke-20 dapat diketahui dengan jelas
14

Hans Kelsen, hal 1.

14

betapa hukum sudah jauh dari kesan murni. Hukum telah dicampuradukkan dengan unsur-unsur
psikologi, sosiologi, etika dan teori politik. Perpaduan ini dapat dimengerti karena bidang yang
terakhir itu membahas pokok persoalan yang berkaitan dengan hukum. Teori hukum murni berupaya membatasi pengertian hukum pada bidangbidang tersebut, bukan lantaran ia mengabaikan
atau memungkiri kaitannya melainkan karena ia
hendak menghindari pencampuradukan berbagai
disiplin ilmu yang berlainan metodologi (sinkretisme metodologi) yang dapat mengaburkan esensi
ilmu hukum dan meniadakan batas-batas yang ditetapkan oleh sifat pokok bahasannya. 15
Dasar-dasar pokok teori hukum murni ini
adalah:16
‫ ڍ‬Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan.
‫ ڍ‬Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang
ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada.
‫ ڍ‬Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam.
‫ ڍ‬Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektivitas
norma-norma hukum.
‫ ڍ‬Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubahubah menurut jalan atau pola yang spesifik.
15
16

Hans Kelsen, hal 2.
Satjipto Rahardjo, hal 273.

15

‫ڍ‬

Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem
hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum
yang mungkin dan hukum yang ada.
Di dalam buku The Pure theory of Law17 ini lebih menekankan pada pembedaan hukum empiris
dan keadilan transendental dengan mengeluarkannya dari lingkup hukum. Buku ini juga menolah
menjadi kajian metafisis tentang hukum. Teori ini
mencari dasar-dasar hukum sebagai landasan validitas, tidak ada prinsip-prinsip metajuridis, tetapi
melalui suatu hipotesis yuridis yaitu norma dasar
yang dibangun dengan analisis logis berdasarkan
cara berpikir yuridis aktual.18 Bagian lain dari teori
hukum murni ini yaitu konsepsi mengenai grundnorm, suatu dalil akbar dan tidak dapat ditiadakan
yang menjadi tujuan dari seluruh jalan hukum.
Grundnorm adalah dasar mengapa hukum harus
dipatuhi dan yang memberikan pertanggungjawaban mengapa hukum harus dilaksanakan. Oleh
karena itu, grundnorm lebih mengarah pada dalil
daripada peraturan biasa. Dalil tersebut akan tetap
menjadi dasar dari tata hukum manakala orang
mempercayai, mengakui dan mematuhinya. Namun apabila orang sudah mulai menggugat kebenaran dari dalil akbar tersebut, maka keseluruhan
bangunan hukumnya pun akan runtuh yang akan
menjadikan suatu revolusi.

Penulis menggunakan 2 (dua) versi buku Hans Kelsen.
18 Jimly Asshiddiqie dan M Ali Safa’at, hal 11.
17

16

Seperti yang diungkapkan Hans Kelsen,
bahwa sejak timbul grundnorm maka proses selanjutnya adalah proses konkret setapak demi setapak
mulai dari norma dasar itu dan penerapannya terhadap situasi tertentu. Proses ini melahirkan stufentheorie yaitu yang melihat tata hukum sebagai
suatu proses menciptakan sendiri norma-norma
(mulai norma-norma umum hingga yang lebih
spesifik) atau lapisan-lapisan aturan menurut
eselon. Dapat disebut juga dengan mengkonstruksikan pemikiran tentang tertib yuridis. Artinya seluruh sistem perundang-undangan memiliki suatu
struktur piramida (mulai dari abstrak hingga berwujud nyata).
Teori hukum murni ini dapat dirumuskan
sebagai suatu analisis tentang struktur hukum positif yang dilakukan seeksak mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat etik atau
politik mengenai nilai. Kritik yang ditujukan kepada teori Hans Kelsen yang positivistis, realistis
dan murni itu diantaranya didorong oleh pemikiran bahwa teori yang demikian itu akan terlalu
menekankan pada hukum sebagai suatu sistem
konsep-konsep dan mengutamakan studi terhadap
hukum sebagai suatu deutungsschema yang kait
mengait secara logis tanpa cacat dan melupakan
nilai kemanusiaannya.19

19 Lebih lanjut dalam Allen, Law in The Making, 1964,
New York.

17

Di lain sisi, makna hukum suatu perbuatan
(fakta eksternal) tidak langsung dapat dipahami
secara inderawi. Manusia yang bertindak secara
bernalar mengaitkan tindakannya dengan makna
pasti yang mencuat dengan sendirinya dalam
beberapa ungkapan dan dipahami oleh sesamanya.
Contoh mudahnya, seseorang melakukan
semacam kesaksian yang menyatakan secara tertulis apa yang akan terjadi terhadap harta miliknya bila ia meninggal kelak. Makna subjektif dari
tindakan ini adalah sebuah pembuatan surat wasiat. Namun secara objektif tindakan ini tidak bermakna demikian lantaran tidak terpenuhinya sejumlah formalitas hukum.
Namun perbuatan manusia memunculkan
penafsiran diri dalam konteks hukum, dapat mengandung sebuah pernyataan yang menunjukkan
makna hukumnya. Dari sini dapat diketahui betapa rumitnya jalan pemikiran Hans Kelsen mengenai hukum murni tersebut. Jadi menurut Hans
Kelsen, cara mengenal suatu aturan yang legal dan
tidak legal yaitu dengan mengeceknya melalui
logika stufenbau dan grundnorm menjadi pijakan utama.

18

TEORI ORGAN NEGARA
Di dalam konsep20 negara hukum, pemisahan dan pembagian kekuasaan serta lembaga ne-

Konseptualisasi sendiri mengandung kombinasi dari
proses-proses berikut:
1. Mengetahui makna sesuatu dari apa yang dipahami
(ditangkap). Hal mengetahui itu ditunjukkan oleh
hal-hal seperti memakai simbol, atau menjelaskan
hal-hal secara tepat tanpa ketaksaan (ambiguitas)
dan ambivalensi, ketidaktepatan, atau kekaburan;
2. Mempunyai suatu gambaran tentang hal yang dimengerti;
3. Mengenal (mengidentifikasi) hal yang dimengerti
jika berhadapan dengannya;
4. Mampu membuat hal yang dimengerti disadari sebagai suatu abstraksi dan/atau sebagai suatu gambaran;
5. Mampu mengkombinasikan beberapa ciri pokoknya
kepada orang lain, dalam Lorens Bagus, hal 486-487.
Sedangkan konseptualisme mengandung arti:
1. Teori bahwa hal universal (konsep-konsep abstrak
umum atau gagasan abstrak umum) ada di dalam
hal partikular sebagai esensi, hal partikular dan tidak
pernah ada terpisah dari hal partikular. Tetapi pikiran menjadikan hal-hal universal itu abstrak dari
hal partikular dan menghubungkan satu sama lain di
dalam pengertian, sebagai abstraksi-abstraksi.
2. Teori bahwa hal universal adalah konsep (entitas
abstrak) yang ada hanya sebagai produk pikiran, namun lebih dari sekadar nama-nama yaitu, mereka
tergantung dari pikiran namun umum bagi pikiran20

19

gara merupakan akar dari paham kedaulatan hukum dan negara hukum demokratis yang pada hakikatnya kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara yaitu tunduk dan patuh dalam bingkai hukum.
Secara sederhana, istilah organ negara atau
lembaga negara dapat dibedakan dari perkataan
organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat,
atau organisasi non pemerintah. Maka lembaga
apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga
masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara.21 Lembaga negara tersebut dapat dalam ranah legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Seperti yang dikatakan Charles-Louis de Secondat de la Brede et de Montesquieu atau lazim
dikenal Montesquieu, kekuasaan negara terbagi
menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Montesquieu berpendapat bahwa masing-masing kekuasaan tersebut dilaksanakan oleh suatu badan
pikiran tanpa peduli nama-nama atau bahasa yang
digunakan.
3. Konseptualisme adalah pandangan filosofis yang
menyatakan bahwa hal-hal universal bereksistensi
hanya dalam konsep.
4. Pandangan menyangkut universalia (hal-hal universal), bahwa universalia ada dalam pikiran tetapi
tidak berada di luar pikiran. Pandangan ini berada di
antara dua ekstrem nominalisme (definisi-deifinisi
dan bahasa-bahasa pada umumnya) dan realisme
(menerima fakta-fakta apa adanya, betatapun tidak
menyenangkan), dalam Lorens Bagus, hal 487.
21 Jimly Asshiddiqie, hal 31.

20

yang berdiri sendiri untuk mencegah timbulnya
tindakan sewenang-wenang dari seorang penguasa.22 Ajaran ini mempersempit kemungkinan lahirnya pemerintahan yang absolutistis. Montesquieu
yang berlatar belakang hakim, fungsi yudisial dipisahkan tersendiri sedangkan fungsi federatif
merupakan bagian dari fungsi eksekutif. Menurut
Montesquieu di setiap negara selalu terdapat tiga
cabang kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam
struktur pemerintahan yaitu kekuasaan legislatif,
dan kekuasaan eksekutif yang berhubungan dengan pembentukan hukum atau undang-undang
negara, dan cabang kekuasaan eksekutif yang berhubungan dengan penerapan hukum sipil.
Mengutip penjelasan Lee Cameron McDonald, cabang kekuasaan eksekutif yang berhubungan
dengan penerapan hukum sipil yaitu judiciary. Ketiga fungsi kekuasaan tersebut adalah legislatif, eksekutif atau pemerintah, dan judiciary. Apabila ketiga fungsi kekuasaan itu terhimpun dalam satu tangan atau satu badan, niscaya kebebasan akan berakhir.23
Sebelum Trias Politika milik Montesquieu
muncul, John Locke ilmuwan hukum abad ke-18
mengatakan bahwa melalui lembaga legislatif rakyat berhak menentukan warna dan isi aturan. Perlu dijelaskan juga bahwa cara berpikir para ilmuLebih lanjut dalam Montesquieu, The Spirit of Laws
Dasar-Dasar Ilmu Hukum Dan Ilmu Politik, 2011, Bandung, Penerbit Nusa Media.
23 Jimly Asshiddiqie, hal 35.
22

21

wan hukum abad ke-17 bersifat induktif yaitu berdasarkan realitas kenyataan dan dikembangkan
secara eksplanasi (penjelasan) terhadap realitas.
Sedangkan teori abad ke-18 mengambil posisi deduksi bahwa mereka tidak menerima dan menerangkan begitu saja kenyataan yang diamati melainkan menggunakan rasio untuk menilai kebenaran dari kenyataan tersebut. Dengan adanya
rasio, para ilmuwan hukum abad ke-18 membangun ideal-ideal tentang kenyataan yang sesuai
dengan rasio yang dimaksud.
John Locke menempatkan kekuasaan legislasi sebagai inti dalam kehidupan politik. Kekuasaan pengadilan maupun hukum kebiasaan dalam
tradisi Inggris menempati posisi sentral dan utama
diletakkan di bawah kekuasaan legislasi. Bahkan
semenjak abad ke-4 SM di Yunani, parlemen merupakan satu-satunya lembaga utama dalam
negara. Seperti yang dikatakan oleh Jean Bodin “di
mana tidak ada kekuasaan legislatif, di situ tidak
ada republika, yang berarti tidak ada pemerintahan yang sah, dengan demikian tidak ada negara”. Sehingga kekuasaan dan produk undangundang yang dihasilkan parlemen tidak dapat diganggu gugat. Yudikatif hanya bertugas menjalankan apa yang termaktub dalam undang-undang.
Menurut Natabaya24 penyusun UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD NRI 1945) sebelum perubahan cende-

24

Jimly Asshiddiqie, hal 36-37.

22

rung konsisten menggunakan istilah badan negara, bukan lembaga negara atau organ negara. Untuk maksud yang sama, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1949 tidak menggunakan
istilah lain kecuali alat perlengkapan negara.
Sedangkan dalam UUD NRI 1945 hasil perubahan
keempat (tahun 2002) melanjutkan kebiasaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebelum
masa reformasi dengan tidak konsisten menggunakan peristilahan lembaga negara, organ negara,
dan badan negara.
Hans Kelsen menjelaskan bahwa tindakan
individu tertentu dianggap sebagai organ negara
karena pentautan perilaku seorang individu kepada negara hanya mengungkapkan bahwa perilaku
ini ditentukan oleh tatanan hukum nasional.25
Lembaga negara terkadang disebut dengan
istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan non departemen atau lembaga negara saja.
Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi
kekuasaan oleh Undang-Undang Dasar (UUD),
ada yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaan
dari undang-undang dan bahkan ada pula yang
hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden.26 Hierarki atau kedudukannya tentu saja tergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

25
26

Hans Kelsen, hal 321.
Jimly Asshiddiqie, hal 42.

23

Lembaga negara yang diatur dan dibentuk
oleh UUD merupakan organ konstitusi, sedangkan
yang dibentuk berdasarkan undang-undang merupakan organ undang-undang, sementara yang hanya dibentuk karena keputusan presiden tentunya
lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan
hukum terhadap pejabat yang duduk dalamnya.
Harus diakui bahwa di tengah masyarakat masih
berkembang pemahaman yang luas bahwa pengertian lembaga negara dikaitkan dengan
cabang-cabang kekuasaan tradisional legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Lembaga negara dikaitkan
dengan pengertian lembaga yang berada di ranah
kekuasaan legislatif disebut lembaga legislatif,
yang berada di ranah eksekutif disebut lembaga
pemerintah, dan yang berada di ranah judikatif
disebut sebagai lembaga pengadilan. Karena itu
sebelum perubahan UUD NRI 1945, dikenal adanya lembaga pemerintah, lembaga negara, lembaga tinggi negara dan lembaga tertinggi negara.

24

TEORI KEBAHAGIAAN
Tidak dipungkiri lagi jika seluruh manusia
menginginkan kehidupan yang bahagia di muka
bumi ini. Ada seseorang yang menghabiskan banyak materi hanya demi kebahagiaan dan ada seorang petani pun merasa bahagia jika kerbau miliknya tidak pernah terserang penyakit sehingga
pekerjaan membajak sawah tetap berlangsung.
Berikut ini para pencetus teori kebahagiaan dalam
ilmu hukum:
a. Miriam Budiardjo
Pemikiran guru besar ilmu politik yang wafat
tahun 2007 ini dapat dijumpai dalam buku
birunya berjudul Dasar-Dasar Ilmu Politik yang
mengatakan bahwa tujuan negara adalah bonum publicum, common good, common weal (menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya).27
b. Jeremy Bentham
The principle of utility is the foundation of the present work: it will be proper therefore at the outset to
give an explicit and determinate account of what is
meant by it. By the principle (principle is derived
from the Latin principium) of utility is meant that
principle which approves or disapproves of every
action whatsoever, according to the tendency which
it appears to have to augment or diminish the happiness of the party whose interest is in question: or,

27

Miriam Budiardjo, hal 45.

25

what is the same thing in other words, to promote or
to oppose that happiness.28
c. John Stuart Mill
Adalah murid dari Jeremy Bentham, merupakan penentang keegoisan cara berpikir sang guru. John Stuart Mill lebih menekankan pada:29
G Bidang kekuasaan batiniah kesadaran yang
menuntut kebebasan suara hati dalam arti
yang paling luas, kebebasan berpikir dan
merasakan, kebebasan mutlak berpendapat
dan citarasa untuk segala hal yang praktis
atau spekulatif, yang ilmiah, moral atau pun
logis;
G Kebebasan untuk melakukan apa yang kita
sukai, menerima akibat-akibat yang akan
terjadi tanpa halangan dari sesama, selama
apa yang kita lakukan tidak merugikan mereka, meskipun mereka menganggap tingkah laku kita bodoh, jahat atau salah;
G Dari kebebasan setiap individu ini dalam
batas-batas yang sama, muncullah kebebasan untuk bersekutu di antara individu;
kebebasan untuk bersatu demi suatu tujuan
yang tidak merugikan orang lain: orangorang yang bersekutu itu diandaikan sudah
melewati masa akil balig dan tidak dipaksa
atau ditipu.

28
29

Jeremy Bentham, hal 2-3.
John Stuart Mill, hal 22-23.

26

TEORI KONSTITUSI
Secara etimologi, konstitusi adalah segala
ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan
(undang-undang dasar dsb); undang-undang dasar suatu negara, sedangkan konstitusional adalah
bersangkutan, sesuai, atau diatur oleh konstitusi
suatu negara.30 Awalnya konstitusi bukanlah UUD
karena bermula di Inggris, walaupun di Inggris tidak terdapat UUD maka konstitusi dapat diartikan
sama dengan UUD atau tidak sama dengan UUD.
UUD adalah bagian dari konstitusi dan konstitusi 31
tidak selalu UUD.
Mengapa mengacu keapda Inggris? Karena
secara substantif, ia adalah pelopor pelaksanaan
negara konstitusional, pembatasan kekuasaan sebagai makna dasar negara konstitusional.32
Konstitusi Sempit
(UUD)
Konstitusi Tertulis
(UUD)
Konstitusi Tertulis
(UUD dan/atau UU)

Konstitusi Luas
(konvensi,putusan hakim)
Konstitusi Tidak Tertulis
(konvensi, putusan hakim)
Konstitusi Tidak Tertulis
(konvensi, putusan hakim)

Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, hal 804.
Lebih lanjut dalam Aristotle, The Athenian Constitution,
England, Penguin Books.
32 Lebih lanjut dalam The Magna Carta (The Great Charter).

30
31

27

Herman Heller membagi pengertian konstitusi menjadi 3 (tiga) yaitu:33
Die Politische verfassung als gesellschaftlich wirklichkeit. Konstitusi adalah mencerminkan kehidupan
politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan. Jadi mengandung pengertian politis dan sosiologis.
Die Verselbstandigte rechtsverfassung. Konstitusi
merupakan suatu kesatuan kaidah yang hidup dalam
masyarakat (mengandung pengertian yuridis).
Die geshereiben verfassung. Konstitusi yang ditulis
dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang
tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.

33

Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, hal 65.

28

TEORI CAUSALITET
Di dalam ilmu hukum pidana, teori ini menentukan hubungan objektif antara perbuatan manusia dengan akibat yang tidak dikehendaki oleh
undang-undang. Teori ini memiliki arti penting
dalam kaitannya dengan tindak pidana materiil
dan tindak pidana yang dikualifikasikan oleh akibatnya. Rumitnya memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan teori causalitet ini, maka dibutuhkan teori pendamping yaitu:
a. Teori Ekivalensi
Teori yang dikemukakan oleh Von Buri
menjelaskan musabab adalah tiap-tiap syarat
yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya
akibat karena tiap-tiap syarat sama nilainya.
Pencetus lainnya yaitu Van Hamel, bahwa teori
ini harus dilengkapi dengan teori kesalahan yang diterapkan sebaik-baiknya. Titik utama teori
ini yaitu hubungan kausal membentang ke belakang tanpa akhir, sebab tiap-tiap “sebab” sebenarnya merupakan “akibat” dari “sebab”
yang terjadi sebelumnya.
Contoh aplikasi teori ini, misalnya Argentum dihunus pedang oleh Populi hingga tewas,
maka kematian Argentum bukan hanya dibunuh akan tetapi terkait juga dengan orang yang
memberikan pedang bahkan sang pembuat pedang pun dapat dipidana.

29

b. Teori Generalisasi
Teori ini berpijak pada fakta sebelum kejadian dalam arti ditemukannya perbuatan manusia yang dapat menimbulkan akibat semacam itu. Menurut Von Kries, musabab dari suatu kejadian adalah syarat yang pada umumnya,
menurut jalannya kejadian yang normal, dapat
atau mampu menimbulkan akibat atau kejadian tersebut.
Contoh aplikasi teori ini, misalnya Argentum menderita sakit ginjal. Pada saat bermain
dengan Populi, tanpa sengaja bagian tubuh
Argentum tepatnya ginjalnya terkena tendangan oleh Populi. Akhirnya Argentum tewas seketika. Populi dapat dipidana jika sebelumnya
telah mengetahui bahwa Argentum menderita
sakit ginjal.
c. Teori Individualisasi
Serentetan syarat yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya suatu akibat, yang
menjadi sebab adalah syarat yang dalam keadaan tertentu paling dominan untuk menimbulkan akibat.34 Musabab adalah kelakuan
yang mengadakan faktor perubahan dalam suasana keseimbangan yang menjadi pangkal peninjauan dari kompleks kejadian yang harus
diselidiki dan yang memberi arah dalam proses
alam menuju akibat yang dilarang.

34

Masruchin Ruba’i dan Made S Astuti Djazuli, hal 50.

30

d. Teori Causalitet dalam Yurisprudensi
Dalam teori ini timbul persyaratan bahwa
perbuatan dan akibat terdapat hubungan langsung dan seketika. Berikut contoh putusan
yang terkait dengan teori ini (Sudarto IA):
1. Putusan Raad Van Justitie Batavia 23 Juli
1937.
Sebuah mobil menabrak sepeda motor terpental ke atas rel dan seketika itu dilindas
oleh kereta api. Terlindasnya pengendara
sepeda motor oleh kereta api itu dipandang
oleh pengadilan sebagai akibat langsung
dan segera dari penabrakan sepeda motor
oleh mobil. Maka matinya si korban dapat
dipertanggungjawabkan atas kesalahan pengendara mobil.
2. Putusan Politierechter Bandung 5 April
1933.
Seorang ayah yang membiarkan anaknya
berusia 14 tahun mengendarai sepeda motornya. Anak tersebut menabrak orang. Di
sini perbuatan ayah dapat disebut syarat dari terjadinya tabrakan, akan tetapi tidak boleh disebut sebab dari tabrakan itu, oleh karena tidak ada hubungan kausal yang langsung.
3. Putusan Politierechter Palembang 18 November 1936.
Perbuatan terdakwa yang tidak menarik seorang pengemudi mobil yang sembrono dari tempat kemudi dan membiarkan pe-

31

ngemudi tersebut terus mengendarai (tidak
dianggap sebagai delict per omissionem commissa karena dalam kedua jenis tindak pidana ini terjadi justru karena petindak tidak
berbuat sesuatu).
4. Putusan Pengadilan Negeri Pontianak 7 Mei
1951.
Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta. Terdakwa berani bertanggung
jawab atas tenggelamnya suatu kapal yang
disebabkan oleh terlalu berat muatannya
dan mengakibatkan 7 orang meninggal dunia, oleh karena terdakawa sebagai orang
yang mengatur pemasukan barang-barang
angkutan dalam kapal in casu tidak mempedulikan peringatan-peringatan dari berbagai pihak tentang terlalu beratnya muatan
kapal akan berangkat. Maka perbuatan terdakwa memiliki hubungan erat dengan kecelakaan tersebut.
e. Teori Causalitet dalam Hal Tidak Berbuat
Teori ini terkait tidak berbuat memiliki arti
penting dalam kaitannya dengan tindak pidana
omissionis dan tindak pidana commissionis per
omissionen commissa. Seorang ibu tidak menyusui anaknya dianggap sebagai sebab karena si
ibu memliki kewajiban untuk menyusui. Kewajiban dalam teori ini meliputi kewajiban hukum
sebagaimana yang dirumuskan dalam undangundang dan kewajiban hukum yang dituntut
oleh kepatutan yang berada dalam masyarakat.

32

TEORI BATAS ANTARA ADAT
DAN HUKUM ADAT
Sebelum mendalami judul teori di atas, ada
baiknya kita memahami apa yang disebut dengan
adat, kebudayaan, dan peradaban.
Menurut Koentjaraningrat, adat adalah wujud ideel dari kebudayaan. Contohnya yaitu aturan sopan santun untuk memberi selembaran uang
kepada seseorang yang mengadakan pesat kondangan (perkawinan). Dalam tataran hukum, istilah
yang tepat adalah perkawinan karena mengacu
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sedangkan istilah
pernikahan lebih merujuk pada hubungan biologis
antara suami isteri.
P J Zoetmulder dalam bukunya Cultuur, Oost en West menyebutkan bahwa kebudayaan adalah hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan
akal. Kebudayaan berwujud menjadi:35

G Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ideide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan.
G Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek aktivitas
serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.

G Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya
manusia.

35

Koentjaraningrat, hal 200.

33

Istilah peradaban dapat disejajarkan dengan
kata asing civilization. Kata ini biasanya dianalogikan sebagai bagian-bagian dan unsur-unsur dari
kebudayaan yang halus dan indah seperti kesenian, ilmu pengetahuan, sopan santun dan sistem
pergaulan yang komplek dalam suatu masyarakat
dengan struktur yang komplek. Sering juga istilah
peradaban dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang memiliki sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu
pengetahuan yang maju.36
Teori batas antara adat dan hukum adat dicetuskan oleh L Pospisil. Teori ini muncul setelah
beliau meneliti keberadaan aturan adat di daerah
suku bangsa Kapauku (lembah Kamu daerah Enarotali, Irian Jaya) pada tahun 1953-1955. Pada saat
itu, Irian Jaya belum berubah nama menjadi Papua. Inilah garis besar teori L Pospisil tersebut:37
N Hukum adalah suatu aktivet di dalam rangka suatu kebudayaan yang mempunyai fungsi pengawasan sosial. Untuk membedakan suatu aktivet itu
dari aktivet-aktivet kebudayaan lain yang mempunyai fungsi dalam suatu masyarakat, seorang peneliti harus mencari akan adanya empat ciri dalam
hukum (attributes of law).

N Attribute of authority menentukan bahwa aktivitet
kebudayaan yang dibuat hukum itu adalah
keputusan-keputusan melalui suatu mekanisme
36
37

Koentjaraningrat, hal 20.
Koentjaraningrat, hal 30-31.

34

yang diberi kuasa dan pengaruh dalam masyarakat. Keputusan-keputusan itu memberi pemecahan
terhadap ketegangan sosial yang disebabkan karena ada misalnya serangan-serangan terhadap diri
individu, serangan-serangan terhadap hak orang,
serangan-serangan terhadap pihak yang berkuasa
dan serangan-serangan terhadap keamanan umum.

N Attribute of intention of universal application menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak
yang berkuasa itu harus dimaksudkan sebagai
keputusan-keputusan yang mempunyai jangka
waktu panjang dan yang harus dianggap berlaku
juga terhadap peristiwa-peristiwa yang serupa dalam masa yang akan datang.
N Attribute of obligation menentukan bahwa keputusan dari pemegang kuasa harus mengandung perumusan dari kewajibannya pihak ke satu terhadap
pihak kedua, tetapi juga hak dari pihak kedua yang
harus dipenuhi oleh pihak kesatu.

N Attribute of sanction menentukan bahwa
keputusan-keputusan dari pihak berkuasa itu harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti seluasluasnya. Sanksi itu dapat berupa sanksi jasmaniah
berupa hukuman tubuh dan depriviasi dari milik
(yang misalnya amat dipentingkan dalam sistemsistem hukum bangsa-bangsa Eropa), tetapi juga
berupa sanksi rohani seperti misalnya menimbulkan rasa takut, rasa malu, rasa dibenci.

35

TEORI HUKUM KASIH38
Khusus terkait teori hukum kasih, penulis memiliki
beberapa karya terkait yaitu:
a. Teori Love Thy Neighbour Terkait Pelaksanaan UU
No. 13-2011 dimuat dalam Jurnal Ilmu Hukum Refleksi Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga (2011).
b. Tesis Love Thy Neighbour Dan Pelaksanaan UU No.
15-2012 dimuat dalam Jurnal Fenomena Universitas
Abdurahman Saleh (2012).
c. Penerapan Hukum Kasih Untuk Mengoptimalkan
UU No. 11-2009 dimuat dalam [DIALEKTIK] Jurnal
Ilmiah Indonesia CV. R.A.De.Rozarie (2013).
d. Korelasi Tuhan Dan Demokrasi Di Indonesia Setelah
Pemerintahan Orde Baru dimuat dalam Lex Jurnalica Universitas Esa Unggul (2013).
e. Pengaruh Tuhan Dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan
Konflik Sosial dimuat dalam Mimbar Keadilan Jurnal Ilmu Hukum Laboratorium Ilmu Hukum – Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
(2014).
f. Korelasi Teori Love Thy Neighbour Dengan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998
Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia dimuat dalam
DiH Jurnal Ilmu Hukum Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya (2014).
g. Mencermati Tuhan Dalam Pasal 2 Huruf a UndangUndang Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2009
Tentang Perfilman (The Truthness Of God In Article 2
Letter A The Act Of Republic Of Indonesia Number 33 Of
2009 Concerning Film) dimuat dalam Jurnal Ilmiah
38

36

Teori hukum kasih atau love thy neighbour
pada dasarnya adalah suatu pemahaman betapa
pentingnya untuk bertindak penuh kasih. Pemahaman ini bersumber akan ajaran Tuhan Yesus seperti yang tertulis pada Kitab Markus 12:30-31
bahwa Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap
hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum kedua ini ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada
hukum lain yang lebih utama dari pada kedua
hukum ini.39 Krisis nilai dan krisis moral sebagai
akibat negatif dari pembangunan yang tidak seimbang telah menimbulkan reaksi yang berbedaFilsafat Hukum Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta (2014).
h. Kritik Terhadap Kata “Agama” Pada “Kuesioner Riwayat Kesehatan & Pernyataan Donor” Di Palang
Merah Indonesia Kota Surabaya Unit Donor Darah
dimuat dalam DiH Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya (2015)
39 Dalam teks Fasal XII:30-31 Indjil Markoes XII Wasiat
Jang Bĕharoe Ija-Itoe Sĕgala Kitab Pĕrdjandjian Bĕharoe,
1902, Amsterdam, hal 89 tertulis bahwa “Maka hĕndaklah kamoe mĕngasihi akan Toehan Allahmoe dĕngan sagĕnap hatimoe dan dĕngan sagĕnap djiwamoe dan dĕngan sĕgala boedimoe dan dĕngan sakoewat-koewasamoe: bahwa inilah hoekoem jang pĕrtama itoe. Dan jang
kadoewa, jang sama dĕngan itoe djoega, ija-itoe: Hĕndaklah kamoe mĕngasihi akan samamoe manoesia sapĕrti akan dirimoe sĕndiri. Maka tiadalah hoekoem lain
lĕbih bĕsar daripada ini.”

37

beda. Pada akhirnya juga hukum dibutuhkan untuk menyelesaikannya.
Tuhan Yesus mengenalkan prinsip cinta kasih “Mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan
mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri”.
Hal ini merupakan penerapan dari Hukum Taurat
bangsa Yahudi dan bukan penghapusan dari hukum Taurat ini sendiri. Patut diakui bahwa memaafkan merupakan sesuatu yang sulit untuk dilakukan apalagi perbuatan tersebut terkait dengan
perilaku jahat.
Merujuk wahyu dalam kitab Matius 5:1-12
dan Matius 5:43 “Ye have heard that it hath been
faid, Thou fhalt love thy neighbour, and hate thine
enemy :”40
St Thomas Aquinas mengatakan kebenarankebenaran iman tersebut hanya dapat dicapai melalui keyakinan dan wahyu sedangkan kebenaran
alamiah dicapai melalui akal bawaan dari dalam
diri kita sendiri. Selanjutnya dari pandangan tersebut lahirlah teori hukum alam. Kaitan teori hukum alam dengan teori hukum kasih Yesus tampak dari pandangan bahwa prinsip-prinsip hukum
Penulis mengutip lan