Laporan Sementara Kerja Praktek

(1)

PANDUAN EKOWISATA PULAU KAKABAN

LAPORAN KERJA PRAKTEK

Diajukan untuk memenuhi penilaian Kerja Praktek pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Padjadjaran

LENY PUTRI WAHYUDI

140410100093

UNIVERSITAS PADJADJARAN

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM JURUSAN BIOLOGI

BANDUNG 2014


(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kepulauan Derawan, di Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur, memiliki keanekaragaman hayati tinggi yaitu terumbu karang dan ikan untuk sumber penghidupan yang melimpah bagi masyarakat, memiliki hutan hujan tropis yang lebat dan mangrove yang luas, merupakan habitat peneluran penyu terbesar di Asia Tenggara, serta memiliki Pulau Kakaban yang unik (Ismuranty et al., 2004).

Pulau Kakaban (terletak pada 02o10’09” – 02o06’45” LU , 118o30’00” –

118o33’39” BT) terletak di Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, Provinsi

Kalimantan Timur. Diantara Pulau-pulau di gugusan Kepulauan Derawan, dua pulau merupakan atol, salah satunya adalah Pulau Kakaban. Pulau atol adalah sebuah pulau yang terbentuk dari gugusan terumbu karang. Pulau Kakaban memiliki laguna atau danau air asin yang berisi berbagai jenis biota endemik, sehingga Kakaban ini merupakan danau yang sangat menarik untuk dikunjungi (Ismuranty et al., 2004).

Kekayaan ini merupakan sebuah aset yang selain perlu dilindungi, juga berpotensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, jika dikelola


(3)

secara bijak dan lestari. Pengelolaan secara lestari memang merupakan tantangan yang cukup berat. Hingga saat ini pola kebijakan pembangunan di Indonesia tidak memperhatikan aspek keberlanjutan. Sumber daya alam dikuras habis tanpa mempedulikan dampak negatif pada lingkungan. Oleh sebab itu, pola pengembangan sumber daya alam yang paling cocok adalah dengan konservasi.

Kekayaan alam yang dimiliki Pulau Kakaban, selain perlu di konservasi, dapat pula dijadikan objek wisata yang dapat menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat. Tetapi strategi pengelolaan wisata yang dipilih juga harus memperhatikan aspek konservasi sehingga kegiatan wisata tidak merusak lingkungan. Oleh karena itu, pengelolaan wisata yang cocok adalah ekowisata berbasis masyarakat. Ekowisata adalah kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal serta aspek pendidikan. Diharapkan dengan sistem ekowisata berbasis masyarakat ini pengembangan Pulau Kakaban dapat berjalan secara lestari.

1.2 Identifikasi Masalah

Beberapa hal yang diperhatikan dalam penelitian ini antara lain:

a). Bagaimana proses terbentuknya Pulau Kakaban ? b). Apa saja potensi wisata di Pulau Kakaban ?


(4)

1.3 Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian ini adalah untuk membuat pedoman bagi masyarakat lokal mengenai potensi apa saja yang terdapat di Pulau Kakaban. Sedangkan tujuannya adalah untuk mengetahui apa saja yang menjadi potensi wisata di Pulau Kakaban dan program ekowisata di Pulau Kakaban .

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai potensi wisata di Pulau Kakaban dan proses terjadinya pulau Kakaban. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan pedoman agar program ekowisata yang dilakukan dapat berjalan sesuai dengan tujuannya dan dapat juga mengedukasi wisatawan yang berkunjung.

1.5 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2014. Adapun tempat penelitian dilakukan di Pulau Kakaban dan Pulau Maratua, Kecamatan Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Penelitian ini dibawah naungan Yayasan


(5)

KEHATI (Indonesian Biodiversity Foundation), sebagai tempat penulis melakukan Kerja Praktek pada bulan Mei – Juni 2014.


(6)

TINJAUAN PUSTAKA

Pulau Kakaban (terletak pada 02o10’09” – 02o06’45” LU , 118o30’00” –

118o33’39” BT) terletak di Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, Provinsi

Kalimantan Timur. Diantara Pulau-pulau di gugusan Kepulauan Derawan, dua pulau merupakan atol, salah satunya adalah Pulau Kakaban. Pulau atol adalah sebuah pulau yang terbentuk dari gugusan terumbu karang. Pulau Kakaban memiliki laguna atau danau air asin yang berisi berbagai jenis biota endemik, sehingga Kakaban ini merupakan danau yang sangat menarik untuk dikunjungi (Ismuranty et al., 2004).

Danau Kakaban terbentuk karena gugusan terumbu karang yang terangkat lempeng samudera dari kedalaman sekitar 200-300 meter. Pada awalnya merupakan daratan yang yang dikelilingi gugusan terumbu karang, lama kelamaan daratannya tenggelam ke dasar laut karena proses geologis. Terumbu karang yang membentuk atol ini semakin tinggi, sementara daratan di bagian tengahnya semakin tenggelam sehingga sekarang atol Pulau Kakaban mencapai ketinggian 40-60 meter di atas permukaan laut. Atol setinggi ini diperkirakan terbentuk selama 1-2 juta tahun, berdasarkan asumsi bahwa laju akumulasi terumbu karang setinggi 10-20 cm dalam 1000 tahun. Pulau Kakaban yang berbentuk seperti angka “9” mempunyai atol yang utuh, menutup rapat membentuk cincin di bagian utaranya, sehingga terbentuk suatu laguna di bagian tengahnya. Pulau atol yang memiliki laguna yang tertutup jumlahnya sangat langka di dunia dan tercatat


(7)

hanya ada dua pulau. Selain Pulau Kakaban, pulau lain yang memiliki kondisi serupa adalah Pulau Palau di Makronesia, Filipina (Ismuranty et al., 2004).

Pada tahun 1842, Charles Darwin menjelaskan tentang asal mula terbentuknya atoll di samudra Pasifik berdasarkan pengamatannya selama 5 tahun penjelajahan dari tahun 1831 – 1836. Darwin menjelaskan bahwa atol berasal dari pulau vulkanik yang tenggelam, dikelilingi oleh terumbu karang pinggir, lalu pula uterus tenggelam hingga akhirnya menjadi laguna di tengah-tengah terumbu karang pinggir. Seiring dengan pulau yang semakin tenggelam, terumbu karang di pinggirnya semakin naik (Darwin, 1842). Penjelasan selengkapnya terdapat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Proses pembentukan atol (Darwin,1842)

Laguna yang tertutup dan membentuk daerah payau dan terpisah dengan laut di sekitarnya, menjadikan pulau ini sangat unik. Didalam laguna terjadi


(8)

proses-proses fisika, kimia, dan biologi, dan menyebabkan proses evolusi tersendiri bagi biota laut yang hidup didalamnya. Air di laguna tersebut masih terpengaruhi pasang surut air laut namun airnya sudah tidak seasin air laut (24-26 ppt) karena tercampur dengan air hujan (Tomascik and Mah, 1994). Selain itu, terjadi perembesan air laut dari pori-pori karang atol, sehingga mengurangi kadar garamnya pula. Biota laut yang dahulu “terperangkap” dalam laguna Pulau Kakaban harus menyesuaikan diri dengan ekosistem yang tertutup, air yang bersifat payau, jumlah hara yang sedikit, keragaman biota yang rendah, jaring makanan yang sederhana dan kondisi air yang tergenang seperti danau. Laguna yang membentuk danau luasnya 390 ha, volume air sekitar 3,9 juta m3 dan

berukuran 2,6 km, lebar 1,5 km. Kedalaman maksimumnya 11 meter dan kedalaman rata-rata empat meter. Laguna merupakan bagian terbesar dari Pulau Kakaban yang berukuran panjang 6 km, lebar 2,5 km, dan luas sekitar 5 km2

(Tomascik et al., 1997). Tepian Danau Kakaban ditumbuhi oleh hutan mangrove yang lebat. Genera pohon pembentuk hutan mangrove ini antara lain adalah Rhizophora (bakau), Bruguiera (tanjang), Avicennia (api-api), dan Sonneratia (pidada). Pada akar Rhizopora yang terbenam di tepian danau Kakaban banyak ditemukan alga Halimeda dan Caulerpa, yang mirip anggur kecil berwarna hijau.

Selama jutaan tahun Danau Kakaban dengan karakteristiknya yang unik mendorong proses evolusi dan adaptasi biota yang tinggal di dalamnya, sehingga membentuk suatu komunitas biota danau (anchialine atau danau tidak asin) yang khas dan endemik. Salah satu “trade mark” danau Kakaban adalah empat jenis ubur-ubur yang endemic yaitu Cassiopeia ornata, Mastigias papua, Aurelia


(9)

aurita, dan Tripedalia cystophora (Tomascik and Mah, 1994). Mastigias papua dan Aurelia aurita adalah dua jenis ubur-ubur yang sudah kehilangan kemampuan menyengatnya. Ubur-ubur kotak yang berukuran paling kecil masih dipertanyakan spesiesnya, ada yang menyebutkan Tripedalia cystophora dan ada yang menduganya Cladonema sp.

Biota lain yang masih belum banyak terungkap adalah anemone laut (Actinaria sp.) berwarna putih karena tidak bersimbiosis dengan alga hijau. Keunikan lain yang dimiliki oleh anemone laut ini adalah bahwa mereka merupakan pemangsa ubur-ubur. Tentakel dari anemone laut ini tidak berbisa, namun memiliki semacam cairan perekat untuk menangkap mangsa. Di dalam Danau Kakaban terdapat pula alga laut dan epifit dari beberapa genera. Genus yang dominan adalah Halimeda (Halimeda opuntia dan Halimeda tura). Karena jumlahnya yang berlimpah di Danau Kakaban, maka laguna tersebut sering dikenal dengan istilah “Laguna Halimeda” (Tomascik and Mah, 1994). Beberapa invertebrata masih dapat ditemukan walaupun jumlah spesiesnya terbatas. Beberapa invertebrata yang ditemukan di Danau Kakaban adalah moluska, gastropoda, spons, bivalvia, bintang laut, teripang, udang, dan kepiting (Tomascik et al., 1997). Dua teripang jemis baru yang teridentifikasi adalah Holothuria cavans dan Synaptula spinifera (Massin and Tomascik, 1996). Genera dan jenis kepiting yang baru ditemukan adalah Orcovita saltatrix (Ng and Tomascik, 1994) serta jenis tunikata baru, Styela complexa (Kott, 1995). Beberapa Vertebrata karnivora masih dapat ditemukan di Danau Kakaban, antara lain berjenis ikan, ular yang tidak berbisa (Acrochordus sp.) dan burung pemangsa. Sejauh ini hanya


(10)

delapan jenis ikan yang ditemukan di danau Kakaban, diantaranya Apogon lateralis (serinding), Antherinomorus endrachtensis (teri karang) dan Zenarchopterus dispar (julung-julung) yang hidup di permukaan (Debelius, 2001).

Sebagian besar biota danau Kakaban ini merupakan jenis yang baru ditemukan atau di deskripsikan, endemik, atau jenis yang jarang ditemukan di tempat lain. Karena sifatnya yang endemik atau langka, maka Pulau Kakaban ini memiliki daya tarik sendiri bagi wisatawan. Kekayaan ini merupakan asset yang selain perlu dilindungi, juga berpotensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, jika dikelola dengan bijak secara lestari. Selain menjaga kelestarian dari Pulau Kakaban, pemerintah juga memperkenalkan Pulau Kakaban ke masyarakat Indonesia maupun masyarakat asing. Cara yang telah dilakukan pemerintah adalah program ekowisata.

Pengertian tentang ekowisata mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Namun, pada hakekatnva, pengertian ekowisata adalah suatu bentuk wisata yang bertanggungjawab terhadap kelestarian area yang masih alami, memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budava bagi masyarakat setempat. Atas dasar pengertian ini, bentuk ekowisata pada dasarnya merupakan bentuk gerakan konservasi yang dilakukan oleh penduduk dunia. Eco-traveler ini pada hakekatnya konservasionis.

Definisi ekowisata yang pertama diperkenalkan oleh organisasi The Ecotourism Society (1990) sebagai berikut : Ekowisata adalah suatu bentuk


(11)

perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Semula ekowisata dilakukan oleh wisatawan pecinta alam yang menginginkan di daerah tujuan wisata tetap utuh dan lestari, di samping budaya dan kesejahteraan masyarakatnya tetap terjaga.

Namun dalam perkembangannya ternyata bentuk ekowisata ini berkembang karena banyak digemari oleh wisatawan. Wisatawan ingin berkunjung ke area alami, yang dapat menciptakan kegiatan bisnis. Ekowisata kemudian didefinisikan sebagai berikut: Ekowisata adalah bentuk baru dari perjalanan bertanggungjawab ke area alami dan berpetualang yang dapat menciptakan industri pariwisata (Eplerwood, 1999). Dari kedua definisi ini dapat dimengerti bahwa ekowisata dunia telah berkembang sangat pesat. Ternyata beberapa destinasi dari taman nasional berhasil dalam mengembangkan ekowisata ini.

Ekowisata merupakan bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi. Apabila ekowisata pengelolaan alam dan budaya masyarakat yang menjamin kelestarian dan kesejahteraan, sementara konservasi merupakan upaya menjaga kelangsungan pemanfaatan sumberdaya alam untuk waktu kini dan masa mendatang. Hal ini sesuai dengan definisi yang dibuat oleh The International Union for Conservntion of Nature and Natural Resources (1980), bahwa konservasi adalah usaha manusia untuk memanfaatkan biosphere dengan berusaha memberikan hasil yang besar dan lestari untuk generasi kini dan mendatang.


(12)

Pendekatan lain bahwa ekowisata harus dapat menjamin kelestarian lingkungan. Maksud dari menjamin kelestarian ini seperti halnya tujuan konservasi (UNEP, 1980) sebagai berikut:

1. Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan.

2. Melindungi keanekaragaman hayati.

3. Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya.

Di dalam pemanfaatan areal alam untuk ekowisata mempergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan. Kedua pendekatan ini dilaksanakan dengan menitikberatkan pelestarian dibanding pemanfaatan. Pendekatan ini jangan justru dibalik. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan mengatur conservation tax untuk membiayai secara langsung kebutuhan kawasan dan masyarakat lokal. Kemudian pendekatan lainnya adalah pendekatan pada keberpihakan kepada masyarakat setempat agar mampu mempertahankan budaya lokal dan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya.

Untuk mengembangkan ekowisata dilaksanakan dengan cara pengembangan pariwisata pada umumnya. Ada dua aspek yang perlu dipikirkan. Pertama, aspek destinasi, kemudian kedua adalah aspek market. Untuk pengembangan ekowisata dilaksanakan dengan konsep product driven. Meskipun aspek market perlu dipertimbangkan namun macam, sifat dan perilaku obyek dan daya tarik wisata alam dan budaya diusahakan untuk menjaga kelestarian dan


(13)

keberadaannya. Pada hakekatnya ekowisata yang melestarikan dan memanfaatkan alam dan budaya masyarakat, jauh lebih ketat dibanding dengan hanya keberlanjutan. Pembangunan ekowisata berwawasan lingkungan jauh lebih terjamin hasilnya dalam melestarikan alam dibanding dengan keberlanjutan pembangunan. Sebab ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik/ dan psikologis wisatawan. Bahkan dalam berbagai aspek ekowisata merupakan bentuk wisata yang mengarah ke metatourism. Ekowisata bukan menjual destinasi tetapi menjual filosofi. Dari aspek inilah ekowisata tidak akan mengenal kejenuhan pasar.

Pengembangan ekowisata di dalam kawasan hutan dapat menjamin keutuhan dan kelestarian ekosistem hutan. Ecotraveler menghendaki persyaratan kualitas dan keutuhan ekosistem. Oleh karenanya terdapat beberapa butir prinsip pengembangan ekowisata yang harus dipenuhi. Apabila seluruh prinsip ini dilaksanakan maka ekowisata menjamin pembangunan yang ecological friendly dari pembangunan berbasis kerakyatan Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat. Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam. Pendapatan langsung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan conservation tax


(14)

dapat dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam.

Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan pengembangan ekowisata. Demikian pula di dalam pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut secara aktif. Penghasilan masyarakat. Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam. Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan termasuk pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. Apabila ada upaya disharmonize dengan alam akan merusak produk wisata ekologis ini. Hindarkan sejauh mungkin penggunaan minyak, mengkonservasi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat. Daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasi.

Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara. Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka devisa dan belanja wisatawan didorong sebesar-besarnya dinikmati oleh negara atau negara bagian atau pemerintah daerah setempat.


(15)

Bagi para peneliti yang ingin melakukan penelitian, Pulau Kakaban masih memiliki banyak objek yang dapat dieksplorasi. Berdasarkan hal diatas, dirasa perlu untuk membuat suatu pedoman ekowisata pulau Kakaban yang dapat mengumpulkan semua objek dan fenomena apa saja yang ada di Pulau Kakaban dengan membahasnya secara ilmiah.

BAB III


(16)

3.1 Bahan

Bahan yang diperlukan adalah buku-buku dan jurnal dari studi kepustakaan.

3.3 Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey, studi kepustakaan dan wawancara.

3.4 Prosedur

Pengambilan data dilakukan melalui 2 tahap yaitu, melakukan eksplorasi dengan mencatat data yang didapatkan di lapangan, setelah itu dilakukan studi kepustakaan dengan mencari literature, melakukan perbandingan dan menemukan jawaban dari fenomena yang terjadi di lapangan.

BAB IV


(17)

Pada

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN


(18)

5.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

Debelius, H. 2001. Asia Pacific Reef Guide. UW-Archiv-IKAN, Frankfurt. 321p

Ismuranty, Christien., Ani Mardiastuti., Jan Henning, S. 2004. Merintis Konservasi Pulau Kakaban. KEHATI

Tomascik, T. and Maj, A.J. 1994. The ecology of Halimeda Lagoon”: An Achialine lagoon of a raised atoll, Kakaban Island, East Kalimantan, Indonesia. Tropical Biodiversity 2 (3): 385-399

Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji, and M.K. Moosa. 1997. The Ecology of The Indonesian Seas – part II. Periplus. Singapore.


(1)

keberadaannya. Pada hakekatnya ekowisata yang melestarikan dan memanfaatkan alam dan budaya masyarakat, jauh lebih ketat dibanding dengan hanya keberlanjutan. Pembangunan ekowisata berwawasan lingkungan jauh lebih terjamin hasilnya dalam melestarikan alam dibanding dengan keberlanjutan pembangunan. Sebab ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik/ dan psikologis wisatawan. Bahkan dalam berbagai aspek ekowisata merupakan bentuk wisata yang mengarah ke metatourism. Ekowisata bukan menjual destinasi tetapi menjual filosofi. Dari aspek inilah ekowisata tidak akan mengenal kejenuhan pasar.

Pengembangan ekowisata di dalam kawasan hutan dapat menjamin keutuhan dan kelestarian ekosistem hutan. Ecotraveler menghendaki persyaratan kualitas dan keutuhan ekosistem. Oleh karenanya terdapat beberapa butir prinsip pengembangan ekowisata yang harus dipenuhi. Apabila seluruh prinsip ini dilaksanakan maka ekowisata menjamin pembangunan yang ecological friendly dari pembangunan berbasis kerakyatan Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat. Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam. Pendapatan langsung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan conservation tax


(2)

dapat dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam.

Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan pengembangan ekowisata. Demikian pula di dalam pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut secara aktif. Penghasilan masyarakat. Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam. Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan termasuk pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. Apabila ada upaya disharmonize dengan alam akan merusak produk wisata ekologis ini. Hindarkan sejauh mungkin penggunaan minyak, mengkonservasi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat. Daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasi.

Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara. Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka devisa dan belanja wisatawan didorong sebesar-besarnya dinikmati oleh negara atau negara bagian atau pemerintah daerah setempat.


(3)

Bagi para peneliti yang ingin melakukan penelitian, Pulau Kakaban masih memiliki banyak objek yang dapat dieksplorasi. Berdasarkan hal diatas, dirasa perlu untuk membuat suatu pedoman ekowisata pulau Kakaban yang dapat mengumpulkan semua objek dan fenomena apa saja yang ada di Pulau Kakaban dengan membahasnya secara ilmiah.

BAB III


(4)

3.1 Bahan

Bahan yang diperlukan adalah buku-buku dan jurnal dari studi kepustakaan.

3.3 Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey, studi kepustakaan dan wawancara.

3.4 Prosedur

Pengambilan data dilakukan melalui 2 tahap yaitu, melakukan eksplorasi dengan mencatat data yang didapatkan di lapangan, setelah itu dilakukan studi kepustakaan dengan mencari literature, melakukan perbandingan dan menemukan jawaban dari fenomena yang terjadi di lapangan.

BAB IV


(5)

Pada

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN


(6)

5.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

Debelius, H. 2001. Asia Pacific Reef Guide. UW-Archiv-IKAN, Frankfurt. 321p

Ismuranty, Christien., Ani Mardiastuti., Jan Henning, S. 2004. Merintis

Konservasi Pulau Kakaban. KEHATI

Tomascik, T. and Maj, A.J. 1994. The ecology of Halimeda Lagoon”: An Achialine lagoon of a raised atoll, Kakaban Island, East Kalimantan, Indonesia. Tropical Biodiversity 2 (3): 385-399

Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji, and M.K. Moosa. 1997. The Ecology of The Indonesian Seas – part II. Periplus. Singapore.