ASAS HUKUM KONTRAK INTERNASIONAL

BAB I
PENDAHULAUAN
A.Latar Belakang
Kontrak adalah suatu kesepakatan tertulis mengenai tindakan hukum yang dilakukan oleh masing-masing
pihak, dua pihak atau lebih di mana dituntut untuk melakukan atau tidak melakukan satu atau lebih prestasi.
Hukum perdata internasional diaplikasikan pada peristiwa hukum keperdataan yang cross border, ada unsur
asing (foreign element) dan atau terlibat lebih dari satu sistem hukum.
Perjanjian/kontrak merupakan persetujuan di antara dua orang atau lebih yang memuat satu atau beberapa
janji yang bersifat timbal balik dan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak. Dalam kontrak yang bersifat
internasional, tentu proses ini melibatkan unsur-unsur personalia, obyek kontrak ataupun area/wilayah secara
lintas negara.
Hukum Perjanjian terbagi menjadi 2 bagian yaitu:
Pilihan hukum, yaitu hukum yang oleh para pihak dipilih dan karena itu dianggap berlaku bagi perbuatan yang
dilaksanakan & Non pilihan hukum timbul apabila tidak adanya maksud dari para pihak (pilihan hukum)
Dalam suatu kontrak internasional sering timbul perselisihan-perselisihan hukum di antara para pihak. Karena
melibatkan unsur asing, maka persoalan hukum yang kerap muncul antara lain:
a. Hukum manakah yang berlaku atas kontrak tersebut?
b. Forum atau pengadilan manakah yang berwenang mengadili jika terjadi sengketa hukum?
Dalam menjawab persoalan demikian, kita dapat menganalisis hukum yang berlaku berdasarkan titik-titik
pertalian sekunder seperti pilihan hukum, tempat ditandatanganinya kontrak atau tempat pelaksanaan kontrak.
Namun, dalam hal tidak ada pilihan hukum yang ditentukan dalam perjanjian, ada beberapa teori pilihan hukum

dalam Hukum Perdata Internasional yang bisa dipakai.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asas-Asas Hukum Perdata Internasional Dalam Kontrak/Perjanjian
Perjanjian/kontrak merupakan persetujuan di antara dua orang atau lebih yang memuat satu atau beberapa
janji yang bersifat timbal balik dan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak. Dalam kontrak yang bersifat
internasional, tentu proses ini melibatkan unsur-unsur personalia, obyek kontrak ataupun area/wilayah secara
lintas negara.
Dalam menyusun perjanjian antara pihak yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda ataupun perjanjian
yang mengandung unsur HPI haruslah berdasarkan kesepakan para pihak,
a. Asas Pacta Sunservanda
Perjanjian merupakan undang undang bagi yang membuatnya. Asas kekuatan mengikat atau asas facta sun
servanda ini dapat diketahui di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “Semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Adapun
maksud dari asas ini tidak lain untuk mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak, maka sejak dipenuhinya
syarat
b. Lex Loci Contractus
Menurut teori Lex Loci Contractus ini hukum yang berlaku adalah hukum dari tempat dimana kontrak itu dibuat
. Jadi tempat dibuatnya sesuatu kontrak adalah faktor yang penting untuk menentukan hukum yang berlaku.
Dimana suatu kontrak dibuat, hukum dari negara itulah yang dikapai. Akan tetapi dalam praktek dagang

internasional pada waktu sekarang ini prinsip tersebut sukar sekali dipergunakan. Jelas sekali hal ini apa yang
dinamakan kontrak-kotrak antara orang-orang yang tidak bertemu, tidak berada ditempat, “Contract between
absent person”. Jika para pihak melangsungkan suatu kontrak tetapi tidak sampai bertemu maka tidak ada
tempat berlangsungnya kontrak.
c. Lex Loci Solutions
Menurut teori ini hukum dari tempat dimana perjanjian dilaksanakan, jadi bukan tempat dimana kontraknya

ditandatangani akan tetapi dimana kontrak itu dilaksanakan .
d. The proper law of the contract ,
Digunakan untuk mengedepankan apa yang dinamakan “intention of the parties” hokum yang ingin
diberlakukan untuk perjanjian tersebut karena dikehendaki oleh para pihak ybs. Hukum yang dikehendaki itu
bisa dinyatakan secara tegas yaitu dicantumkan dalam perjanjian, bisa pula tidak dinyatakan secara tegas
apabila ditegaskan keinginan para pihak,maka hukum yang diberlakukan adalah yang ditegaskan. Apabila
tidak ditegaskan,maka harus disimpulkan oleh pengadilan dengan melihat pada isi perjanjian, bentuknya
unsure-unsur perjanjian maupun kejadian-kejadian/peristiwa-peristiwa disekelilingnya yang relevan dengan
perjanjian tersebut.
e. Teori The Most characteristic Connection
Pada tiap-tiap kontrak dapat dilihat pihak mana yang melalukan prestasi yang paling karaktetristik dan hukum
dari pihak yang melakukan prestasi yang paling karakteristik ini adalah hukum yang dianggap harus
dipergunakan karena hukum inilah yang terberat dan yang sewajarnya digunakan .

Dalam hukum perdata dikenal beberapa prinsip dasar yang harus diterapkan dalam penyusunan kontrak
sehingga akan terhindar dari unsur-unsur yang dapat merugikan para pihak pembuat suatu kontrak yang
mereka sepakati dan hal tersebut juga tetap berlaku dalam hukum perdata internasional. Prinsip dan klausul
dalam kontrak dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Asas Kebebasan Berkontrak. Berdasarkan prinsip ini, para pihak berhak menentukan apa saja yang ingin
mereka sepakati, sekaligus untuk menentukan apa yang tidak ingin dicantumkan di dalam isi perjanjian, tetapi
bukan berarti tanpa batas. Dalam KUHPerdata, asas kebebasan berkontrak ini diatur dalam Pasal 1338
KUHPerdata yang dirumuskan sebagai: (a) Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya; (b) Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan
sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu;
(c) Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
2. Asas Konsensualitas. Suatu perjanjian timbul apabila telah ada konsensus atau persesuaian kehendak
antara para pihak. Dengan kata lain, sebelum tercapainya kata sepakat, perjanjian tidak mengikat. Konsensus
tersebut tidak perlu ditaati apabila salah satu pihak menggunakan paksaan, penipuan ataupun terdapat
kekeliruan akan objek kontrak.
3. Asas Kebiasaan. Suatu perjanjian tidak mengikat hanya untuk hal-hal yang diatur secara tegas saja dalam
peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan sebagainya, tetapi juga hal-hal yang menjadi kebiasaan
yang diikuti masyarakat umum. Jadi, sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan.
Dengan kata lain, hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam
dimasukan dalam persetujuan meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. (Pasal 1339 BW).

4. Asas Peralihan Resiko. Dalam sistem hukum Indonesia, beralihnya suatu resiko atas kerugian yang timbul
merupakan suatu prinsip yang berlaku untuk jenis-jenis perjanjian tertentu seperti pada persetujuan jual beli,
tukar menukar, pinjam pakai, sewa menyewa, pemborongan pekerjaan, dan lain sebagainya, walaupun tidak
perlu dicantumkan dalam perjanjian yang bersangkutan. Meskipun demikian, para pihak boleh mengaturnya
sendiri mengenai peralihan resiko itu, sepanjang tidak bertentangan dengan undang undang, kesusilaan, dan
ketertiban umum.
5. Asas Ganti kerugian. Penentuan ganti kerugian merupakan tugas para pembuat perjanjian untuk
memberikan maknanya serta batasan ganti kerugian tersebut karena prinsip ganti rugi dalam sistem hukum
Indonesia mungkin berbeda dengan prinsip ganti kerugian menurut sistem hukum asing. Dalam KUHPerdata
Indonesia, prinsip ganti kerugian ini diatur dalam pasal 1365, yang menentukan; “Setiap perbuatan melanggar
hukum yang menmbawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan
kerugian tersebut.” Dengan demikian, untuk setiap perbuatan yang melawan hukum karena kesalahan
mengakibatkan orang lain dirugikan, maka ia harus mengganti kerugian yang diderita orang lain, tetapi harus
dibuktikan adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian dimaksud
sebab tidak akan ada kerugian jika tidak terdapat hubungan antara perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh si pelaku dengan timbulnya kerugian tersebut.

6. Asas Kepatutan (Equity Principle). Prinsip kepatutan ini menghendaki bahwa apa saja yang akan dituangkan
di dalam naskah suatu perjanjian harus memperhatikan prinsip kepatutan (kelayakan/ seimbang), sebab
melalui tolak ukur kelayakan ini hubungan hukum yang ditimbulkan oleh suatu persetujuan itu ditentukan juga

oleh rasa keadilan dalam masyarakat (KUH-Perdata: pasal 1339). Dengan begitu, setiap persetujuan tidak
hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dimuat dalam naskah perjanjian, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh “kepatutan”, kebiasaan atau undang undang.
7. Asas Ketepatan Waktu. Setiap kontrak, apapun bentuknya harus memiliki batas waktu berakhirnya, yang
sekaligus merupakan unsur kepastian pelaksanaan suatu prestasi (obyek kontrak). Prinsip ini sangatlah
penting dalam kontrak-kontrak tertentu, misalnya kontrak-kontrak yang berhubungan dengan proyek konstruksi
dan proyek keuangan, di mana setiap kegiatan yang telah disepakati harus diselesaikan tepat waktu. Prinsip ini
penting untuk menetapkan batas waktu berakhirnya suatu kontrak. Dalam setiap naskah kontrak harus dimuat
secara tegas batas waktu pelaksanaan kontrak. Jika prestasi tidak dilaksanakan sesuai dengan batas waktu
yang telah disepakati, salah satu pihak telah wanprestasi atau telah melakukan cidera janji yang menjadikan
pihak lainnya berhak untuk menuntut pemenuhan prestasi ataupun ganti kerugian.
8. Asas Keadaan darurat (Force Majeure). Force majeure principle ini merupakan salah satu prinsip yang
sangat penting dicantumkan dalam setiap naskah kontrak, baik yang berskala nasional, regional, maupun
kontrak internasional. Hal ini penting untuk mengantisipasi situasi dan kondisi yang melingkupi objek kontrak.
Jika tidak dimuat dalam naskah suatu kontrak, maka bila terjadi hal-hal yang berada di luar kemampuan
manusia, misalnya gempa bumi, banjir, angin topan, gunung meletus, dan lain sebagainya, siapa yang
bertanggung jawab atas semua kerugian yang ditimbulkan oleh bencana alam tersebut.
B. Beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam menyusun kontrak internasional:
1. Konsep perjanjiannya, karena tiap-tiap bentuk/model perjanjian memiliki klausul tersendiri berdasarkan best
practices of law yang berlaku di dunia atau bagi negara tertentu;

2. Prinsip-prinsip hukum kontrak internasional;
3. Governing law/Choice of law adalah hukum yang berlaku dan mengikat pada perjanjian tersebut;
4. choice of forum adalah lembaga penyelesaian sengketa mana yang ditunjuk untuk menyelesaikan sengketa;
1. Konsep Perjanjiannya
Konsep perjanjian perlu dipahami dengan benar, karena kesalahan memahami model kontrak tertentu, akan
membuat keliru, misalnya dalamdistribution agreement dan agency agreement. Kedua model perjanjian itu
memiliki konsep masing-masing yang harus diketahui. Selain itu tak jarang para pihak mengacu pengertian
suatu istilah tertentu pada standar kontrak yang telah dibuat oleh suatu kelompok atau asosiasi dagang
tertentu, misalnya International Chamber of Commerce atau International Trade Centre.
Tiap-tiap bentuk/model perjanjian memiliki klausul tersendiri berdasarkan best practices of law yang berlaku di
dunia atau bagi negara tertentu. Maka haruslah semestinya didudukkan terlebihdahulu bagi pembuat kontrak
ataupun para pihak untuk menentukan konsep perjanjia yang dibuat sebelum membuat kontrak, terutama
kontrak yang mengandung unsur HPI didalamnya.
2. Prinsip-Prinsip Hukum Kontrak Internasional
Perlu diketahui bahwa dalam kontrak internasional berlaku prinsip-prinsip umum yang selama ini diakui. Prinsip
freedom of contract, dimana para pihak berhak menentukan isi perjanjian, di Indonesia terdapat dalam Pasal
1338 KUH Perdata. Prinsip good faith, dimana para pihak harus beritikad baik dalam menangani kontrak.
Apabila kita melakukan perjanjian dengan negara yang menganut sistem common law, maka perlu dipahami
bahwa itikad baik dalam pengertian mereka ditempatkan setelah perjanjian ditandatangani, sehingga isi
kontrak harus dipikirkan dengan baik sebelum ditandatangani. Selain itu prinsip pacta sunt servanda, dimana

perjanjian harus ditepati dan dipatuhi oleh para pihak. Ketiga prinsip ini harus diketahui selain prinsip-prinsip
lainnya yang berlaku.

Prinsip-prinsip yang ada dalam kontrak perdata internasional terap harus diperhatikan dalam penyusunan
kontrak. Seperti lex loci contractus, Lex loci solution, The proper law of the contract , dan Teori The Most
characteristic Connection.
3. Governing law/Choice of law
Teori choice of law atau pilihan hukum secara umum diterima di semua negara-negara di dunia2 sehingga
berlakunya teori ini secara universal. Menurut teori ini, para pihak tidak mempunyai kewenangan untuk
menciptakan hukum bagi mereka dan para pihak hanya dapat memilih hukum mana yang mereka kehendaki
untuk diperlakukan terhadap kontrak yang mereka buat. Akan tetapi teori choice of law atau pilihan hukum
hanya dipakai dalam kontrak yang ada unsur asingnya atau foreign element.
Suatu perjanjian yang mengandung unsur asing atau foreign element jika salah satu pihak dalam perjanjian
tersebut tunduk pada hukum yang berbeda dengan pihak lainnya, dan atau adanya unsur asing karena
substansi perjanjian itu tunduk pada hukum negara lain. Misalnya jual beli apartemen yang terletak di
Singapura antara seorang Warganegara Indonesia dengan Warganegara Indonesia lainnya.
Apabila para pihak dalam membuat kontrak bisnis- internasional telah melakukan choice of law pada suatu
sistim hukum tertentu, lalu timbul sengketa dikemudian hari mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
pelaksanaan kontrak tersebut, maka hukum yang dipilih irulah yang berlaku. Misalnya mengenai wanprestasi,
maka hukum yang dipilih itulah yang menentukan syarat-syarat dan kapan terjadi serta akibat hukum apa atas

wanprestasi tersebut.
(a). Pentingnya Klausula Choice of Law
Ada pendapat yang mengatakan bahwa klausula choice of law dalam pembuatan kontrak bisnis internasional
tidak penting karena para pihak menganggap bahwa transaksi bisnis merupakan suatu masalah yang rutin dan
tanpa choice of law pun, setiap sistim hukum negara tertentu sudah memiliki pengaturan dalam hukum perdata
internasional yang menetapkan hukum apa yang akan diterapkan dalam menyelesaikan sengketa bisnis
internasional.
Penulis tidak sependapat dengan alasan seperti tersebut di atas, sebab masing-masing negara yang merdeka
dan berdaulat mempunyai sistim hukum perdata internasional yang berbeda satu dengan yang lainnya, bahkan
dapat terjadi perbedaan tajam dalam menyelesaikan sengketa atas kasus yang sama. Lebih menarik lagi ada
pendapat yang mengibaratkan hukum mengenai "international sale of goods" dengan aturan pertandingan
badminton, yaitu apabila setiap negara memiliki aturan permainan sendiri-sendiri maka bukan saja harus
disediakan raket, bola, dan lapangan yang berbeda, tetapi juga aturan yang berbeda pula. Akibatnya bukan
saja mahal tetapi bahkan pertandingan itu sendiri tidak bisa diselenggarakan.4 Oleh sebab itu dalam banyak
kontrak bisnis internasional dicantumkan klausula choice of law demi adanya kepastian hukum.
Kecenderungan untuk memakai choice of law dalam kontrak-kontrak bisnis internasional yang dilakukan oleh
Pertamina dengan pihak asing, menurut Sudargo Gautama hampir semua kontrak-kontrak tersebut terdapat
choice of law5. Pada hal kedudukan Pertamina dalam melakukan negosiasi dengan mitra asingnya lebih tinggi
(unter geordnet), disini Pertamina (Pemerintah) mempunyai bargaining power lebih kuat dari mitranya, karena
Pemerintah harus melindungi kepentingan umum. Oleh sebab itu Pemerintah dapat memaksakan syarat-syarat

yang lebih ketat bagi mitranya, walaupun demikian Pemerintah memberikan tempat bagi choice of law karena
pada sisi lain Pemerintah sangat mengharapkan partisipasi asing dalam membangun perekonomian di
Indonesia.
Tradisi di beberapa negara berkembang lainnya seperti di Amerika Latin, di mana transaksi bisnis internasional
yang dilakukan antara pemerintah disatu pihak dan swasta asing di pihak lainnya, pihak pemerintah selalu
mensyaratkan pemakaian hukum nasional pemerintah6. Dalam menghadapi kondisi yang demikian, maka
pihak asing hanya dapat memilih "take it or leave it" karena tidak ada negoisasi dan tidak ada bargaining
position, dengan demikian tidak ada tempat bagi choice of law.
Berbicara tentang klausula choice of law, berarti ada suatu proses negosiasi yang alot antara para pihak agar
tercapai kesepakatan tentang klausula choice of law tersebut, serta adanya bargaining position yang
seimbang. Oleh sebab itu tidak semua kontrak-kontrak bisnis internasional adalah penting untuk
membicarakan choice of law, seperti dalam transaksi-transaksi antar bank, di mana para pihak menganggap
cukup memakai Interna¬tional Uniformity yang disediakan oleh bank7. Dengan demikian tidak dibutuhkan
negosiasi mengenai hukum nasional yang mana akan dipakai jika timbul sengketa.

Demikian juga dalam kontrak-kontrak yang melibatkan banyak pihak serta kontrak tersebut mempunyai syaratsyarat yang panjang, sehingga sulit untuk melakukan negosiasi tentang choice of law, misalnya kerjasama
mengenai eksploitasi sumber perikanan8.
Namun seberapa pentingnya klausula choice of law adalah berpulang kepada para pihak itu sendiri yang
membuat kontrak tersebut, sebab jika dalam bernegosiasi tidak terdapat kesepakatan, maka dapat menjadi
pemicu perselisihan yang tidak penting dan merusak kesempatan berbisnis. Padahal tujuan utama yang ingin

dicapai para pihak dalam melakukan transaksi adalah prestasi.
(b) Pembatasan Choice of Law
Choice of law atau pilihan hukum harus dilakukan secara bonafide dan legal9, artinya memilih suatu sistim
hukum tertentu tidak dimaksudkan untuk menyelundupi peraturan-peraturan tertentu dan sebaiknya hukum
yang dipilih adalah hukum yang mempunyai hubungan tertentu dengan kontrak bersangkutan. Demikian pula,
bila pilihan hukum yang telah dinegosiasikan secara seksama oleh para pihak akan tetapi jika hukum yang
dipilih itu melanggar ketertiban umum (public policy) dari hukum nasional hakim, maka kontrak tersebut tidak
dapat dilaksanakan oleh hakim karena tidak sah.
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing
mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan ketertiban umum ialah sendi-sendi azasi dari seluruh sistim
hukum dan masyarakat Indonesia. Konsep tentang ketertiban umum (public policy) berbeda dalam negara
yang satu dengan negara lainnya dan konsep tersebut dapat berubah sesuai dengan keadaan sosial
sebagaimana ide suatu negara tentang agama, moral, dan etika yang mengalami modifikasi10.
Sekelompok peraturan yang dinamakan mandatory rule atau dwingendrecht yaitu peraturan-peraturan yang
sifatnya memaksa, misalnya peraturan tentang persaingan, peraturan tentang moneter, peraturan tentang
kontrak kerja, peraturan tentang ekspor impor dan Iain-lain. Pada kelompok peraturan-peraturan seperti
tersebut di atas tidak dapat disimpangi oleh para pihak dalam membuat kontrak bisnis internasional dan
pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tersebut berakibat kontrak itu dapat dibatalkan oleh hakim.
Dengan demikian suatu kontrak dapat dikatakan melanggar hukum (ilegal) atau bertentangan dengan pub¬lic
policy suatu negara sehingga tidak dapat diberlakukan, adalah tergantung pada kasus demi kasus.

4. Choice of Forum
Ada waktu mengadakan transaksi bisnis internasional para pihak dapat memilih forum tertentu sebagai tempat
penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari sehubungan dengan transaksi yang mereka buat.
Forum tersebut dapat berupa, forum pengadilan dan yang lainnya forum arbitrase.
Masalah tempat penyelesaian sengketa menjadi penting karena dalam suatu kontrak bisnis internasional dapat
terbuka kemungkinan timbulnya banyak yurisdiksi yang dapat menyatakan sebagai forum yang berwcnang
untuk menyelesaikan suatu sengketa. Karena paia piliak yang terlibat dalam kontrak bisnis internasional
berasal dari negara yang berbeda, dan jika timbul sengketa maka terbuka kemungkinan bahwa sengketa
tersebut dapat diajukan pada pengadilan dari masing-masing pihak. Selain itu pengadilan dari negara ke tiga
dapat juga mempunyai kewenangan untuk memeriksa suatu sengketa, jika tempat terjadinya kerugian berada
dalam yurisdiksi pengadilan dari negara tersebut. Pengadilan dari negara ke tiga dapat juga mempunyai
yurisdiksi atas suatu sengketa jika aset debitor terletak dalam negara itu. Adanya kegiatan bisnis terus
menerus di wilayah negara lain juga bisa berakibat ditunduknya kita pada yurisdiksi negara itu17.
Dengan demikian maka suatu kegiatan bisnis internasional dapat melibatkan banyak yurisdiksi, dan masingmasing yurisdiksi ang terkait dalam kontrak bisnis internasional tersebut dapat mengklaim yurisdiksinya
sebagai yurisdiksi yang berwenang atas sengketa itu, atau bahkan atas suatu sengketa dapat digugat pada
lebih dari satu pengadilan.
Maka untuk menghindari timbulnya banyak yurisdiksi dalam menangani suatu sengketa bisnis internasional
maka para pihak dalam merancangkan suatu kontrak bisnis internasional dapat mencantumkan klausula
pilihan forum atau choice of forum clause. Dengan demikian jika timbul sengketa di kemudian hari mengenai
kontrak tersebut maka forum yang dipilih itulah yang berwenang untuk mengadili sengketa tersebut.
Namun demikian dalam praktek tidak selalu klausula choice of forum atau choice of forum clause dapat
diterima sebagai supremacy dari partij automomie. Karena pilihan forum harus dilakukan pada forum yang ada
kaitannya dengan kontrak tersebut. Di samping itu klausula choice of forum juga dapat diuji oleh doktrin forum
non convenience yang diterapkan di pengadilan Amerika.

C. Contoh Kasus Perjanjian HPI
A. Contoh Kasus Perdagangan Ekspor-Impor
Semakin majunya ekonomi suatu Negara, maka semakin banyak kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan untuk
kepuasan hidup masyarakat. Barang kebutuhan itu belum tentu dapat dihasilkan oleh Negara itu sendiri dan
harus dibeli dari Negara lain. Negara-negara berkembang menghasilkan bahan baku, sehingga masing-masing
pihak saling membutuhkan. Akhirnya mereka saling terikat dalam suatu perdagangan barang karena faktor
kebutuhan dan terjalinlah hubungan-hubungan antara pengusaha yang satu dengan pengusaha dari Negara
yang berbeda.
Akan tetapi kegiatan ekspor-impor jangan merugikan masyarakat luas.
1.) Kasus Inkud yang mengimpor 60.000 ton beras, namun hanya membayar bea masuk 700 ton, pada tahun
2003 dengan jelas memperlihatkan penyimpangan impor beras. Impor beras selalu menjadi isu sensitif .
Perubahan rezim dan juga perubahan bentuk usaha menjadi perusahaan umum tidak dengan sendirnya
mengubah citra Perum Bulog.
2.)Kasus kapal beras yang terakhir bermula dari data yang dikeluarkan otoritas Pelabuhan Saigon, Vietnam,
pada pertengahan November. Dari daftar yang dikeluarkan diketahui ada tiga kapal yang disebutkan bertujuan
Filipina dengan mengangkut beras berkualitas patahan 25 persen. Akan tetapi, hal ini dibantah Perum Bulog,
ketiga kapal ini bertujuan Ciwandan, Indonesia, bukan Filipina. Kualitas beras patahan 15 persen, bukan 25
persen.
Demikian juga mengenai tidak adanya ekspor Urea dalam kebutuhan tahun 2006 diatas kemampuan produksi,
total kebutuhan pupuk Urea untuk pertanian, perkebunan, dan industri didalam negeri pada tahun 2006
mencapai 5,49 juta ton, sedangkan produksi hanya mencapai 5,47 juta ton. Dengan demikian, tidak ada lagi
jatah untuk ekspor pupuk Urea pada tahun 2006 .
Penyelenggaraan kegiatan ekspor-impor itu adalah sebagai akibat kontrak-kontrak internasional dalam bidang
perdagangan, kontrak-kontrak itu terjadi antara dua subjek ekonomi yang bertempat tinggal dalam Negaranegara berlainan .
B. Analisis
Perdagangan Internasional terjadi karena bertemunya subyek-subyek hukum yang bertempat tinggal di
Negara-negara yang berlainan dan telah mengadakan hubungan perdagangan, misalnya dalam jual beli .
Dalam perdagangan internasional pihak penjual lazimnya disebut ekportir dan pihak pembeli disebut importer.
Hubungan perdagangan itu telah terjadi, jika baik penjual maupun pembeli telah mencapai kesepakatan dalam
transaksi jual beli. Lazimnya kalau kesepakatan telah tercapai oleh kedua belah pihak, maka perdagangan luar
negeri itu telah dapat dilaksanakan.
Secara prinsip karena adanya kebebasan dalam mengadakan perjanjian (freedom of making contract), maka
para pihak bebas untuk menentukan syarat-syarat yang mereka kehendaki, misalnya : tentang penentuan
harga, bagaimana syarat pembayaran harus dilakukan, siapa yang akan melaksanakan pembayaran, syarat
apa yang digunakan dalam penyerahan barang dan dimana barang tersebut diserahkan. Karena dalam
perdagangan internasional tersebut baik penjual maupun pembeli bertempat tinggal dinegara yang berlainan
dan masing-masing mempunyai sistem hukum yang berbeda, maka kemungkinan timbul kesulitan untuk
menafsirkan suatu ketentuan tentang suatu hal/syarat yang dicantumkan dalam perjanjian itu .
Pengertian perjanjian jual beli internasional lebih luas dibandingkan dengan perjanjian jual beli domestik. Unsur
pembedanya terletak pada kata “Internasional”, dimana S. Gautama menyatakan bahwa “Apabila terdapat
suatu unsur asing dalam suatu perjanjian yang bersifat internasional, maka unsur asing atau foreign element
inilah yang menyebabkan suatu perjanjian menjadi suatu perjanjian internasional” .
Adapun defenisi daripada perjanjian jual beli diberikan oleh E.W. Chance dalam “Principal of Marcantile Law “:
“A contract of sale is a contract whereby the seller transfer of agrees to transfer the property in goods to the
buyer for a money consideration called the price, so that a contract of sale may be either an agreement to sell
or an actual sale. Where under the contract of sale the property in the goods in transferred from the seller to
the buyer, the contract is called a sale; but where the transferred of the property in the the goods is to take
place at the future time, or subject to some condition there after to fulfilled, the contract is called an agreement
to sell. An agreement to sell becomes a sale, when the time elapses or the conditions are fulfilled subject to
which the property in the goods is to transferred”.

(“Kontrak jual beli adalah kontrak dimana penjual mengalihkan atau menyetujui untuk mengalihkan hak milik
berupa barang kepada pembeli untuk sejumlah uang yang disebut harga, karenanya, kontrak jual beli juga
merupakan perjanjian penjualan atau penjualan sebenarnya, berdasarkan kontrak jual beli dimana hak milik
atas benda dialihkan dari penjual ke pembeli, kontrak dinamakan penjualan, tetapi dimana pengalihan hak milik
atas benda terjadi pada masa yang akan datang, atau subyek yang memenuhi beberapa syarat, kontrak
disebut perjanjian penjualan. Suatu perjanjian untuk menjual menjadi penjualan, bila waktunya berlaku atau
syarat-syarat telah terpenuhi oleh subyek yang mana hak milik atas benda dialihkan.”). R. Subekti menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata):
“Suatu perjanjian timbal balik dalam mana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas
suatu barang, sedang pihak yang lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah
uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik” .

BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP

Hukum kontrak internasional telah mengalami perkembangan signifikan dalam sejarahnya. Beberapa prinsip
kontrak internasional berasal dari kumpulan prinsip-prinsip yang berlaku di seluruh dunia, yang paling umum
beberapa di antaranya prinsip freedom of contract, prinsip good faith dan prinsip pacta sunt servanda.
Kapan hukum kontrak internasional berlaku? Hukum kontrak internasional berlaku pada saat ditunjuk oleh para
pihak, atau apabila para pihak tidak menentukan hukum mana yang akan berlaku, maka apabila kemudian
terjadi sengketa, pada saat itu harus dimintakan persetujuan antara pihak bersengketa untuk menunjuk choice
of law dan choice of forum-nya.
Daftar Pustaka
1. Lex loci Contractus, Wikipedia.com, 2011-07-05
2. Ba yu Seto Har djo waho no . 2006. Dasar dasar Huku m Per dat a I nt ernas io na l. Ba ndu ng: C it r a Ad it
ya Bakt i. h. 263 304.
3. Sudar go Gaut ama. 1977. Pengant ar Hukum Per dat a I nt ernas io na l I ndo ne s ia. Jakar t a: B ina C ipt
a.
4. Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Bandung: Refika Aditama, 2007, Hlm. 2
5. Black’s Law Dictionary. PDF
6. Leonora Bakarbessy, Sh, Mh, Klausula Pilihan Hukum (Choice Of Law) Dan Pilihan Forum (Choice Of
Forum) Dalam Transaksi Bisnis Internasional, jurnal Hukum Unpad, 2011
7. www.fh.unair.ac.id/opini.hukum.php?id=5&respon=0
8. Wikipedia.com
9. Dahana, peranan-hukum-kontrak-internasional-dalam-penanganan-kontrak-perusahaan,
.blogdetik.com/2011/05/10/