ASAS ASAS HUKUM PIDANA INTERNASIONAL BER

ASAS-ASAS HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
BERSUMBER DARI HUKUM INTERNASIONAL

DISUSUN OLEH:
1.

Latifa Martini

(13410712)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2016

BAB I
PENDAHULUAN

1.

Latar Belakang

Hukum merupakan salah satu bidang yang cukup penting dalam tatanan
kehidupan manusia. Karena hukum menjadi penjaga harmoni antar manusia yang
menjalankan kehidupannya. Seperti doktrin yang sudah sangat umum didengar, dalam
kumpulan manusia pasti ada hukum.
Dalam perkembangannya, hukum sudah memiliki banyak bidang yang cukup
banyak. Misalnya saja hukum pidana, perdata, bisnis, maupun hukum internasional.
Salah satu bidang yang menjadi sangat penting terutama pada hubungan antar negara
dan berkaitan dengan tindakan secara individu yang berdampak internasional adalah
hukum pidana internasional.
Hukum pidana internasional menjadi salah satu bagian yang tidak terpisahkan
apalagi pasca terjadinya perang dunia kedua. Hukum pidana internasionl merupakan
produk hukum dari United Nation atau Perserikatan Bangsa-Bangsa. Menjadi sangat
penting keberadaan HPI ini karena banyak sekali tindak pidana yang menjadi perhatian
utamanya berkaitan dengan kemanusiaan.
Penegakan hukum pidana internasional sendiri melalui suatu lembaga peradilan
internasional yang disebut Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal
Court. ICC dan Hukum Pidana Internasional (HPI) diatur dalam satu Statuta yang
disebut Rome Statute of The International Criminal Court 1998. Statuta inilah yang
menjadi senjata utama dalam penegakan hukum pidana internasional.
Dalam pelaksanaannya, penegakan hukum pidana internasional terikat pada asasasas hukum. Asas-asas hukum yang berlaku dalam hukum pidana internasional menjadi

sangat menarik untuk dikaji. Selain karena berbeda dengan hukum pidana nasional,
asas-asas HPI memiliki ciri khusus dibandingkan dengan hukum pidana nasional.
Asas-asas hukum pidana internasional di bagi menjadi dua bagian besar yaitu
asas hukum pidana internasional yang bersumber pada hukum pidana nasional dan asas
hukum pidana internasional yang bersumber dari hukum internasional. Asas HPI yang
bersumber dari hukum nasional diantaranya adalah asas legalitas, asas teritorial, asas ne
bis in idem, dan asas ekstradisi.1
Selain itu, asas HPI yang bersumber dari hukum internasional dibagi menjadi dua
bagian yaitu asas umum dan asas khusus. Asas-asas umum yang ada dalam HPI yaitu
pacta sunt servanda, good faith (itikad baik), civitas maxima (roman empire),
reciprocal (timbal balik), ne bis in idem, dan legalitas. Asas khusus dalam HPI yaitu
aut dedere aut punere, aut dedere aut judicare, dan par in parem hebet imperium.
Dalam hukum pidana nasional, asas-asas yang bersumber dari hukum nasional
mungkin sudah banyak diketahui dan dipahami oleh sebagian besar masyarakat

1

Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional,Jakarta:Penerbit Erlangga,2009, Hal.27

2.


khususnya sarjana hukum. Tetapi asas-asas yang bersumber dari hukum internasional
inilah yang belum terlalu banyak dimengerti masyarakat dan dimana asas tersebut
diatur dalam Statuta Roma 1998. Untuk itu, perlu dilakukan kajian tentang asas-asas
hukum pidana internasional yang bersumber dari hukum internasional baik asas umum
maupun asas khusus.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, beberapa rumusan masalah yang muncul
adalah:
a. Bagaimana definisi asas-asas hukum pidana internasional yang bersumber
dari hukum internasional baik yang bersifat umum maupun khusus?

BAB II
PEMBAHASAN

Sebelum membahas tentang definisi asas-asas hukum pidana internasional, akan jauh
lebih baik untuk mengenal terlebih dahulu definisi hukum pidana internasional itu sendiri.
Menurut Antonio Cassese yang dikutip oleh Eddy O.S. Hiariej menyatakan bahwa hukum
pidana internasional merupakan bagian dari aturan-aturan internasional mengenai larangalarangan kejahatan internasional dan kewajiban negara melakukan penuntutan dan hukuman
beberapa kejahatan.2

Selain itu, Eddy juga mengutip pendapat Roling yang menyatakan bahwa international
criminal law is the law which determines what national criminal law will apply to offences
actually committed if they contain international element (hukum pidana internasional adalah
hukum yang menentukan hukum pidana nasional yang akan diterapkan terhadap suatu
tindakan yang senyatanya dilakukan jika terdapat unsur internasional didalamnya.3
Robert Cryer dkk dalam buku An Introduction to International Criminal Law and
Procedure membahas hukum pidana internasional sebagai sekumpulan aturan untuk
melindungi nilai-nilai ketertiban internasional yang dalam pendekatan tersebut menyebutkan
bahwa international crimes are considered to be those which are of concern to the
international community as a whole (a discription which is not of great precision), or acts
which violate a fundamental interest protected by international law.4 (Kejahatan
internasional yang menjadi perhatian oleh kebanyakan masyarakat internasional, atau
tindakan-tindakan yang melanggar kepentingan yang fundamental yang dilindungi oleh
hukum internasional)
1.

2

Asas Umum Hukum Pidana Internasional
A. Pacta Sunt Servanda

Asas pacta sunt servanda adalah asas perjanjian yang paling tua dan biasa
di kenal dalam hukum perjanjian. Asas ini diartikan bahwa perjanjian yang dibuat
mengikat para pihak. Jika dihubungkan dengan hukum perjanjian internasional,
seperti yang pernah di katakan oleh Anzilotti, seorang ahli hukum internasional
dari Italia menyatakan bahwa kekuatan mengikat dari suatu perjanjian
internasional adalah karena prinsip yang mendasar yang disebut pacta sunt
servanda.5 Pengertian prinsip pacta sunt servanda dalam hukum perjanjian
internasional tersebut sangat cocok di terapkan dalam hukum pidana internasional
ini, karena pada dasarnya hukum pidana internasional ini adalah sebuah

Ibid. Hal 7
Ibid.
4
Robert Cryer, dkk, An Introduction to International Criminal Law and Procedure, New York: Cambridge
University Press, 2010, hal. 6
5
Sumaryo Suryokusumo, hukum Perjanjian Internasional, Jakarta:PT Tatanusa,2008, hal. 81
3

perjanjian antar negara yang dibuat dalam bentuk statuta. Untuk itu prinsip

tersebut berlaku pula pada hukum pidana internasional ini.
Menurut pasal 26 Viena Convention on The Law of Treaties 1969
menyebutkan bahwa :
Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be
performed by them in good faith.
pasal tersebut menyebutkan bahwa ketika suatu perjanjian telah berlaku,
maka perjanjian tersebut mengikat kepada seluruh anggota dan harus
dilaksanakan dengan itikad baik.
Bahkan, Sumaryo Suryokusumo menuliskan bahwa negara tidak boleh
meminta agar ketentuan-ketentuan dalam undang-undang dasar maupun peraturan
perundang-undangannya
sebagai
alasan
untuk
tidak
melaksanakan
6
kewajibannya. Asas pacta sunt servanda ini merupakan inti dari suatu perjanjian,
sehingga semua negara harus melaksanakannya. Tanpa asas ini, suatu perjanjian
seolah-olah tidak ada karena tidak ada unsur pemaksa.

Seluruh negara yang telah menyatakan diri terikat pada perjanjian ini
diharuskan untuk melaksanakan kewajibannya yang telah di tulis dan diatur
dalam statuta ini maupun aturan pelaksananya.
B. Good Faith / Itikad Baik
Itikad baik adalah semua kewajiban yang diembani oleh hukum
internasional harus dilakukan dengan sebaik-baiknya.7 Itikad baik merupakan
persyaratan moral agar suatu perjanjian dapat dilakukan dengan sunggusungguh.8 Asas ini sangat berkaitan erat dengan asas pacta sunt servanda karena
dalam pelaksanaan suatu perjanjian, itikad baik inilah yang akan mendorong
terjadinya pelaksaan perjanjian oleh suatu negara.
C. Civitas Maxima / Roman Empire
Civitas Maxima atau dikenal dengan nama lain roman empire atau
imperium romanum diartikan bahwa ada sistem hukum yang universal yang
dianut oleh semua bangsa di dunia dan harus di hormati serta dilaksanakan.9
Lebih jauh, Romli Atmasasmita menyatakan bahwa asas civitas maxima masuk
dalam 3 asas yang terdapat dalam konsep asas komplementaritas / complementary
principle.10
Civitas Maxima di artikan bahwa meletakkan kewajiban terhadap setiap
negara untuk menuntut dan mengekstradisi pelaku kejahatan internasional sebagai
wujud akuntabilitas negara, dan diwujudkan dalam harmonisasi penegakan
hukum langsung dan tidak langsung.11

D. Reciprocal / Timbah Balik

6

Ibid. Hal 82
Eddy.O.S. Hiariej, Loc. Cit. Hal. 25
8
Ibid. Hal. 83
9
Ibid. Hal. 25
10
Romli Atmasamita dalam sebuah artikel berjudul Apakah Indonesia Perlu Meratifikasi Statuta ICC?
http://www.lpikp.org/pdf/1.pdf akses terakhir pada 7 April 2016 pukul 9.11 WIB. Hal 6
11
Ibid.
7

Asas ini menyatakan bahwa apabila suatu negara ingin diperlakukan baik
oleh negara yang lain, maka negara tersebut juga harus memberi perlakuan yang
balik terhadap negara lainnya.12

E. Ne Bis In Idem
Ne bis in idem atau principle of double jeopardy merupakan salah satu asas
yang juga bersumber dari hukum pidana nasional. Asas ini menerangkan bahwa
seseorang tidak dapat dituntut lebih dari satu kali di depan pengadilan atas
perkara yang sama13 yang dalam Statuta Roma disebutkan pada pasal 20 ayat (1),
(2) dan (3) yaitu :
1. Except as provided in this statue, no person shall be tried before the
Court with respect to conduct which formed the basis of crimes for
which the person has been convicted or acquitted by the Court.
2. No person shall be tried by another court for a crime referred to in
article 5 for which that person has already been convicted or acquitted
by the Court.
3. No person who has been tried by another court for conduct also
proscribed under article 6, 7, or 8 shall be tried by the Court with
respect to the same conduct unless the proceeding in the other court :
a. Were for the purpose if shielding ehe person concerned from
criminal responsiblity for crimes within the jurisdiction of the
Court; or
b. Otherwise were not conducted independently or impartially in
accordance with the norms of due process, recognized by

international law and were conduct in manner which in the
circumtances, was inconsistent with an intent to bring the person
concerned fo justice.
Pasal 20 Statuta Roma tersebut memang melarang adanya peradilan ulang
untuk satu kasus yang sama. Tetapi dalam hal ini ada pengecualian bahwa asas ne
bis in idem bisa dikesampingkan untuk kasus kejahatan terhadap kemanusiaan,
genosida dan kejahatan perang. Hal ini sejalan dengan pernyataan Eddy O.S.
Hiariej yang juga menambahkan bahwa untuk agresi tidak dapat pengecualian
karena belum ada kesepakatan tentang definisi kejahatan agresi.14
F. Legalitas
Legalitas atau legality dalam buku Pengantar Hukum Pidana Internasional
karya Eddy O.S. Hiariej masuk dalam asas hukum pidana internasional yang
bersumber dari hukum pidana nasional. Napoleon Bonaparte mengenalkan asas
ini untuk pertama kalinya di Prancis melalui Code Penal yang disusunnya. Dalam
pasal 4 Code Penal tersebut tertulis “Nulle Contravention, nul delit, nul crime,
ne peuvent etre de peines qui n’ etaient pas prononcees par la loi avant qu’ils
12

Eddy O.S. Hiariej, Loc Cit. Hal. 26
Ibid. Hal, 38

14
Ibid. Hal 40
13

fussent commis”15 yang artinya tidak ada pelanggaran, tidak ada delik, tidak ada
kejahatan yang dapat dipidana berdasarkan aturan hukum yang ada, sebelum
aturan hukum itu dibuat terlebih dahulu. Dalam Statuta Roma, asas legalitas
terdapat dalam pasal 22, 23 dan 24.
Article 22
Nullum Crimen Sine Lege
(1) A person shall not be criminally responsible under this statue unless the
conduct in question constitutes, at the time it takes place, a crime within
the jurisdiction of the court.
(2) The definition of crimen shall be strictly contrued and shall not be
extended by analogy. In the case of ambiguity, the definition shall be
interpreted in favour of the person being investigated, prosecuted, or
convicted
(3) This article shall not affect the characterization of any conduct as
criminal under international law independently of this statue.
Article 23
Nulla Poena Sine Lege
A person convicted by the court may be punished only in accordance with
this statutes.
Article 24
Ratione Personae Non-Retroactive
(1) No person shall be criminally responsible under this statute for conduct
prior to the entry into force of the Statute.
(2) In the event of a change in the law applicable to a given case prior to a
final judgement, the law more favourable to the person being
investigated, prosecuted, or convicted shall apply.
Secara singkat, maksud legalitas ini adalah jika ada suatu tindak kejahatan,
selama belum ada hukum yang berlaku ketika terjadinya kejahatan tersebut,
pelakunya tidak dapat dihukum. Hal ini erat kaitannya dengan prinsip non
retroaktif yang menyatakan bahwa suatu aturan tidak dapat diberlakukan untuk
mengadili tindakan yang pada saat dilakukannya tindakan tersebut, aturan
tersebut belum ada.
2.

15

Asas Khusus Hukum Pidana Internasional
A. Au Dedere Au Punere

Ibid. Hal 26

Au dedere au punere adalah asas yang dikemukakan oleh Hugo de Groot
yang memiliki arti bahwa pelaku kejahatan internasional diadili menurut hukum
ditempat ia melakukan kejahatan.16
B. Au Dedere Au Judicare
Au dedere au judicare merupakan asas yang dikemukakan oleh Cherif
Bassiouni yang menyatakan bahwa setiap negara berkewajiban menuntut dan
mengadili pelaku kejahatan internasional serta berkewajiban melakukan
kerjasama dengan negara lain dalam rangka menahan, menuntut dan mengadili
pelaku kejahatan internasional.17
C. Par in Parem Hebet Imperium
Par in parem hebet imperium menyatakan bahwa kepala negara tidak dapat
di hukum dengan menggunakan hukum negara lain.18 Asas ini juga dikenal
dengan state sovereignty immunity dimana seorang kepala negara saat melakukan
tugasnya tidak dapat diadili karena ia memiliki hak imunitas atau sebagai bentuk
atau wujud dari kedaulatan negara karena kepala negara merupakan simbol dari
suatu negara.

16

Ibid. Hal 26
Ibid
18
Ibid
17

BAB III
PENUTUP
1.

Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, kesimpulan yang dapat di ambil adalah asasasas hukum pidana yang berasal dari hukum internasional di bagi menjadi dua yaitu
yang bersifat umum yaitu pertama, pacta sunt servanda yaitu suatu perjanjian dalam
hal ini Statuta Roma yang telah dibuat mengikat kepada negara-negara yang telah
menyatakan terikat dengan perjanjian tersebut. Kedua, good faith atau itikad baik yaitu
ketika suatu negara telah menyatakan terikat terhadap Statuta Roma tersebut, maka ia
harus melaksanakan kewajibannya dengan baik, ia harus berusaha untuk dapat
menjalankan kewajibannya. Ketiga, civitas maxima yaitu suatu negara berkewajiban
untuk menuntut dan mengekstradisi pelaku kejahatan yang tunduk pada suatu hukum
yang bersifat universal. Keempat, reciprocal / timbal balik yaitu suatu negara akan
memperlakukan baik suatu negara jika negara tersebut juga memperlakukannya dengan
baik. Kelima, ne bis in idem yaitu pelaku kejahatan yang telah dinyatakan bersalah
tidak boleh dituntut lagi untuk kasus yang sama. Keenam, legalitas yaitu suatu
perbuatan tidak boleh di tuntut atau dinyatakan bersalah jika belum ada aturan yang
menyatakan perbuatan tersebut dilarang saat perbuatan tersebut terjadi.
Asas hukum pidana internasional yang bersifat khusus yaitu pertama, au dedere
au punere yaitu suatu kejahatan internasional harus diadili menurut hukum yang
berlaku ditempat terjadinya kejahatan tersebut. Kedua, au dedere au judicare yaitu
suatu negara berkewajiban untuk melakukan kerjasama dengan negara lain dalam
rangka menahan, menuntut dan mengadili suatu tindak kejahatan internasional. Ketiga,
par in parem hebet imperium yaitu seorang kepala negara tidak boleh diadili
menggunakan hukum negara lain karena ia memiliki kekebalan yaitu sovereignty state
imunity.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku :
Cryer, Robert. dkk. 2010. An Introduction to International Criminal Law and Procedure.
New York : Cambridge University Press
Hiariej, Eddy O.S. 2009. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Jakarta: Penerbit Erlangga
Suryokusumo, Sumaryo. 2008. hukum Perjanjian Internasional. Jakarta : PT Tatanusa

Sumber Artikel :
Romli, Atmasamita. - . Apakah Indonesia Perlu Meratifikasi Statuta ICC?. -