Pengaruh Indeks Glikemik, Komposisi, dan cara Pemberian Pangan Terhadap Napsu Makan Pada Subyek Obes Normal

H
HA
ASSIILL PPEEN
NEELLIITTIIA
AN
N

PENGARUH INDEKS GLIKEMIK, KOMPOSISI, DAN CARA
PEMBERIAN PANGAN TERHADAP NAFSU MAKAN
PADA SUBYEK OBES DAN NORMAL
1

2

2

3

Albiner Siagian , Rimbawan , Hidayat Syarief , dan Darwin Dalimunthe
1


Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU Medan
2
Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB Bogor
3
Departemen Gizi FK USU Medan

ABSTRACT
This research was aimed to analyze the effects of glycemic index, composition,
and frequency of serving of food on appetite score after lunch. The study design
was randomized controlled trial with high glycemic index food as control. The
location of the research was in Medan, North Sumatera Province. Total
subjects were 64 which consisted of 32 normal and 32 obese subjects, based on
their body mass index. The number of male and female subjects were selected
equally. Subject aged between 18 to 35 years. Test meals consisted of four
types, i.e. high glycemic index food (GI:94), low glycemic index food (GI:52),
medium glycemic index (high carbohydrate-low fat, GI:66), and medium
glycemic index (low carbohydrate-high fat, GI:64) served at the morning.
Reference food was white bread (GI:100). The study showed that meals with
low glycemic index served at the morning were able to decrease the appetite
score of the lunch meals. Except the high glycemic index meal, there was

significant difference of appetite score after second meal between test meal and
control groups. Also, there were siginificant differences of appetite score after
second meal between normal and obese subjects in response to the same first
meals. The method of serving (inter-meal) was also able to suppress the
appetite score (or to elongate the satiation) of meals after lunch both for
normal and obese subjects.
Keywords: Glycemic index, Appetite score, Breakfast meal, Lunch meal
PENDAHULUAN
Sejak dikenalkan pada tahun 1981 oleh
dr. David Jankins, konsep indeks glikemik (IG)
pangan telah meramaikan pendekatan ilmiah
untuk pengaturan diet bagi penderita diabetes,
penderita obesitas, dan olahragawan. Telah
banyak bukti ilmiah yang mendukung peran
IG tersebut. Namun, tidak sedikit juga hasil
penelitian yang mendebatnya. Sampai saat
ini, pendekatan indeks glikemik pada
pengaturan diet masih kontroversial.
Salah satu peran pendekatan IG pada
penanganan obesitas adalah penurunan

asupan pangan atau berkurangnya nafsu
makan berkaitan dengan konsumsi pangan
IG rendah.

Liljeberg et al. (1999) menunjukkan
bahwa pangan IG-rendah dapat memperbaiki
respons glukosa darah dan satiety score.
Sementara itu, Ludwig (2000) telah
merangkum 16 hasil penelitian yang menguji
efek IG pangan terhadap nafsu makan pada
manusia. Hasil dari 15 penelitian tersebut
menunjukkan bahwa peningkatan rasa
kenyang, penundaan rasa lapar, atau
penurunan asupan pangan lebih besar terjadi
setelah mengonsumsi pangan IG rendah
dibandingkan dengan setelah mengonsumsi
pangan IG tinggi. Ini membuktikan bahwa
pangan IG rendah dapat menekan rasa lapar
dan menurunkan kuantitas asupan pangan.
Berbeda dari temuan para peneliti di atas,

Anderson et al. (2002) menemukan bahwa

101
Universitas Sumatera Utara

korelasi antara respons glukosa darah dan nafsu
makan atau asupan pangan, meskipun
signifikan, tetapi tidak kuat. Oleh karena itu,
mereka menduga bahwa respons glikemik hanya
menggambarkan karakterisktik penyerapan
karbohidrat dan bukan mekanisme spesifik yang
melaluinya merangsang signal rasa kenyang.
Anderson et al. (2002) juga
menemukan bahwa terdapat hubungan yang
berkebalikan antara respons glukosa darah
dan asupan pangan dan subjective satiety
pada masa 60 menit postprandial. Pangan
IG-tinggi menekan subjective satiety dan
asupan pangan pada jangka pendek, tetapi
tidak oleh pangan IG-rendah. Hal senada

juga ditemukan oleh Franz et al. (2002).
Mereka menunjukkan bahwa pangan
berkarbohidrat yang memiliki IG yang tinggi
menekan asupan pangan, bukan pangan IG
rendah.
Pada jangka pendek, respons glikemik
yang tinggi, bukan yang rendah, berkaitan
dengan penurunan tingkat kekenyangan dan
asupan pangan (Holt et al., 1995; Woodend,
Anderson, 2001). Anderson dan Woodend
(2003) menunjukkan bahwa makin tinggi
respons glukosa dan insulin, makin tinggi
tingkat kekenyangan setelah mengonsumsi
pangan berkarbohidrat, paling tidak selama 2
jam berikutnya. Hal ini bertolak belakang
dengan temuan lain yang menunjukkan
bahwa overkonsumsi akan mengikuti
konsumsi IG tinggi dan sebaliknya untuk
pangan IG rendah (Robert 2000).
Hipotesis glukostatik pada pengaturan

asupan pangan menyatakan bahwa peningkatan
kadar glukosa darah memicu rasa kenyang
dan mendorong penghentian makan. Namun,
hal ini bertentangan dengan tesis yang
menyatakan bahwa pangan IG tinggi
mendorong asupan energi yang belebihan
dan bahwa pangan IG rendah menekan nafsu
makan, sehingga mencegah obesitas. Ini
didasarkan pada pemikiran bahwa peningkatan
yang tajam pada kadar glukosa darah diikuti
oleh penurunan glukosa darah postprandial
yang mendorong untuk mengonsumsi pangan
kembali (Ludwig, 2000).
Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh IG, komposisi,
dan frekuensi pemberian pangan pagi hari
terhadap nafsu makan pasca-makan siang.
Sedangkan
tujuan

khususnya
adalah

102

mengetahui perbedaan skor nafsu makan
pasca-makan siang antara pangan uji dan
pangan patokan; dan mengetahui perbedaan
skor nafsu makan pasca-makan siang
menurut IG, komposisi zat gizi, dan
frekuensi pemberian makan.
Manfaat Penelitian
ƒ Menghasilkan informasi tambahan (bukti
ilmiah) berkaitan dengan modifikasi pangan
pada pagi hari dan efeknya pada pengendalian
asupan pangan pada siang hari.
ƒ Menghasilkan data dasar penting untuk
penatalaksanaan diet bagi penderita obesitas.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Medan
Sumatera Utara. Sedangkan, analisis
komposisi zat gizi pangan dilakukan di
Laboratorium Kimia Makanan, Departemen
Gizi Masyarakat IPB. Penjaringan subyek
penelitian dan pengambilan data berlangsung
pada bulan Mei s.d. Oktober 2005.
Penyiapan Pangan
Pangan Acuan
Pangan acuan yang digunakan adalah
roti tawar (IG: 100) yang mengandung 50
gram karbohidrat. Alasannya adalah karena
roti tawar lebih mencerminkan mekanisme
fisiologis dan metabolik daripada glukosa
murni (Miller et al., 1997).
Pangan Uji
Berdasarkan IG-nya, pangan uji dibagi
menjadi 2 kelompok, yaitu pangan yang
memiliki IG rendah (IG < 55) dan IG tinggi (IG
> 70). Sedangkan menurut komposisinya,

pangan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
rendah karbohidrat-tinggi lemak (persentase
sumbangan kalori 60% dari karbohidrat, 25%
dari lemak, dan 15% dari protein) dan rendah
lemak-tinggi karbohidrat (dengan persentase
sumbangan kalori 25% dari karbohidrat, 60%
dari lemak, dan 15% dari protein). Kedua jenis
komposisi pangan ini juga mewakili pangan
dengan IG sedang (IG:55-70). Kuantitas energi
pangan uji, masing-masing, adalah 750 kkal.
Pangan uji siang hari adalah pangan yang
memiliki IG tinggi (IG:100) yang mengandung
750 kkal. Pangan siang diberikan kepada subyek
4 jam setelah pemberian pangan pagi.

Pengaruh Indeks Glikemik, Komposisi, dan Cara Pemberian Pangan (101 – 112)
Albiner Siagian, Rimbawan, Hidayat Syarief, dan Darwin Dalimunthe
Universitas Sumatera Utara

Analisis Zat Gizi

Pangan uji yang akan diukur IG-nya
terlebih dahulu dianalisis profil gizi makronya,
yaitu karbohidrat (karbohidrat total, available
carbohydrate, pati ⎯amilosa dan amilopektin⎯
serat total, dan serat kasar), protein total dan
lemak total.
Komposisi Pangan Uji
Pangan uji terdiri atas empat jenis,
yaitu pangan uji IG rendah, pangan uji IG
sedang komposisi 1 (tinggi karbohidratrendah lemak), pangan uji IG sedang
komposisi 2 (rendah karbohidrat-tinggi
lemak), dan pangan uji IG tinggi. Sementara
itu, cara pemberian makan juga dibedakan,
yaitu satu kali pemberian dan dua kali
pemberian. Kuantitas kalori pangan uji
adalah 750 kkal. Kuantitas pangan untuk dua
kali pemberian masing-masing adalah 375
kkal.
Agar memenuhi kriteria nilai IG,
selanjutnya IG pangan uji diperkirakan

dengan metode pengukuran IG pangan
campuran (Miller et al., 1997). Indeks
glikemik masing-masing pangan penyusun
pangan uji diperoleh dari International Table
of Glycemic Index and Glycemic Load
(Foster-Powel et al., 2002).
Pangan uji IG tinggi disusun oleh
kentang rebus, gula, daging sapi rebus,
wortel rebus, dan jus semangka, dan
secukupnya. Sedangkan pangan uji IG
rendah terdiri atas nasi ramos kukus, gula
putih, daging sapi rebus, buncis rebus, dan
jus apel, dan garam secukupnya.
Kentang rebus (IG: 96), gula (IG: 74),
dan wortel rebus (IG: 90) sebagai komponen
utama pangan uji IG tinggi menyumbang IG
campuran berturut-turut sebesar 58,6 (65%),
12,9 (14%), dan 10,3 (11%). Sementara itu,
pada pangan uji IG rendah, buncis rebus (IG:
30) dan jus apel (IG: 40) berperan
menurunkan IG pangan campuran.

Pangan uji IG sedang (tinggi
karbohidrat-rendah lemak) didasarkan pada
porsi sumbangan kalori dari karbohidrat,
protein, dan lemak pangan. Proporsi
sumbangan kalori tersebut adalah 60% dari
karbohidrat, 25% dari lemak, dan 15% dari
protein. Pangan uji IG sedang ini terdiri atas
nasi ketan hitam kukus, dada ayam goreng,
putih telur bebek rebus, susu tepung, buncis
rebus, jus apel, gula, dan garam secukupnya.
Komposisi kalori pangan uji IG sedang
(rendah karbohidrat-tinggi lemak) adalah
60% kalori dari lemak, 25% kalori dari
karbohidrat, dan 15% kalori dari protein.
Pangan uji ini tersusun dari nasi ketan hitam
kukus, dada ayam goreng, lemak kambing,
satu porsi susu tepung, buncis rebus, jus apel,
dan garam secukupnya.
Pengukuran Indeks Glikemik
Prosedur penentuan IG pangan
dilakukan dengan prosedur baku (Miller et
al., 1997). Pengukuran IG dilakukan di
sebuah rumah di Medan. Selama pengukuran
IG, subyek berada dalam keadaan duduk
santai (aktivitas ringan). Kurva polinomial
respons glikemik masing-masing pangan uji
ditentukan dengan pendekatan trial and error
dengan bantuan perangkat lunak Microsoft
Excel version 12. Model polinomial terpilih
adalah yang memiliki nilai R2 yang paling
tinggi.
Subyek Penelitian
Subyek penelitian berumur 18-30
tahun yang terdiri atas dua kelompok, yaitu
normal dan kelompok obes. Untuk satu jenis
pangan uji (perlakuan) dibutuhkan delapan
orang subyek normal dan delapan orang
subyek obes (masing-masing empat orang
pria dan wanita). Setiap kelompok subyek
mengalami perlakuan untuk pemberian
pangan sela (dua kali pemberian), setelah
tiga hari periode wash out. Jumlah total
subyek adalah 64 orang.

Tabel 1. Komposisi zat gizi pangan uji Setara 750 kkal
Karbohidrat1
Protein
Lemak
Serat2
g
kkal
g
kkal
g
kkal
g
103,5
414,0
38,0
152,0
20,5
184
4,3
IG-rendah
112,4
450.0
38,2
152,0
16,2
146,0
4.3
IG-sedang (komposisi-1)
56,4
226,0
43,5
175,0
38,9
350,0
4.2
IG-sedang (komposisi-2)
103,2
412,0
37,4
150,0
20,8
188,0
4,6
IG-tinggi
1
by difference; 2serat total; Komposisi-1: tinggi karbohidrat-rendah lemak; Komposisi-2: rendah karbohidrat-tinggi
lemak
Pangan Uji

103
Pengaruh Indeks Glikemik, Komposisi, dan Cara Pemberian Pangan (101 – 112)
Albiner Siagian, Rimbawan, Hidayat Syarief, dan Darwin Dalimunthe
Universitas Sumatera Utara

Kriteria inklusi subyek adalah: tidak
memiliki riwayat penyakit DM, tidak sedang
mangalami gangguan pencernaan, tidak
menggunakan obat terlarang, dan tidak
mengonsumsi alkohol. Indeks massa tubuh
(IMT) subyek adalah antara 20–25 kg/m2
(normal) dan IMT ≥ 25 (obes). Selanjutnya,
subyek tidak memiliki riwayat atau sedang
mengalami hipertensi dan tidak sedang
mengalami tekanan psikologis. Tingkat
aktivitas fisik adalah sedang serta mereka
berasal dari suku Batak. Subyek dialokasikan
secara merata ke dalam setiap kelompok.
Penempatan subyek ke dalam kelompok
dilakukan secara acak berstrata.
Desain Penelitian
Pengujian efek IG, komposisi zat gizi,
dan frekuensi pemberian sarapan pada nafsu
makan pasca-makan siang dilakukan dengan
metode eksperimen dengan studi acak
kelompok terkendali (Kelinbaum et al.,
1982; Murti, 2003). Pemberian pangan uji
dan penempatan subyek pada kelompoknya
dilakukan secara acak. Pemberian pangan uji
(sarapan) dilakukan pada pukul 8.00 WIB,
setelah subyek menjalani puasa, kecuali air.
Pemberian Pangan Uji (Satu Kali Pemberian
Makan)
Pada pagi hari (pukul 8.00 WIB),
sebelum pemberian pangan uji (sarapan),
sampel darah diambil untuk mengukur kadar
glukosa puasa. Selanjutnya, sampel darah
kembali diambil berturut-turut pada pukul;
8.15, 8.30, 9.00, 10.00, 11.00, dan 12.00 WIB.
Hal ini berlaku untuk semua kelompok
perlakuan. Pada pukul 12.00 WIB, makan
siang diberikan kepada semua kelompok
perlakuan. Skor nafsu makan diukur pada
pukul 12.15, 12.30, 13.00, 14.00, 15.00, dan
16.00 WIB.
Pemberian Pangan Sela (Dua Kali Pemberian
Makan)
Tiga hari setelah periode wash-out
pangan sela diberikan kepada subyek pada
setiap kelompok. Pangan sela diberikan dua
jam setelah pemberian sarapan. Pangan
diberikan dua kali, yaitu setengah (setara
dengan 375 kkal) dari kuantitas pangan pada
satu kali pemberian pada pagi hari (pukul
8.00 WIB) dan setengah lagi pada pukul
10.00 WIB. Masing-masing kelompok
menerima pangan patokan (IG tinggi) pada

104

siang hari. Selama pengujian, subyek hanya
diperbolehkan duduk-duduk atau berjalanjalan ringan dan tidak boleh mengonsumsi
pangan lain, kecuali minum air. Pengukuran
skor nafsu makan dilakukan pada waktu
seperti pada perlakuan dengan satu kali
pemberian.
Nafsu Makan
Skor nafsu makan pasca-makan siang
diukur berturut-turut pada pukul 12.00
(sebelum pemberian), 12.15, 12.30, 13.00,
14.00, 15.00, dan 16.00 WIB. Skor nafsu
makan diukur dengan cara meminta subyek
mengekspresikan perasaan lapar/kenyangnya.
Hal ini dilakukan dengan menggunakan
motivation to eat questionnaire. Caranya
adalah meminta subyek membubuhkan tanda
pada suatu garis rentang skala nafsu makan
(sangat tidak kenyang-----sangat kenyang)
(Anderson et al., 2002). Interpretasi rasa
lapar dinyatakan dengan skor nafsu makan.
Pertanyaan pada kuesioner tersebut terdiri
atas tiga macam, yaitu:
a.
Keinginan makan: Seberapa kuat
keinginan Anda untuk makan saat ini?
Sangat lemah ----------------------- sangat kuat
b.
Lapar: Seberapa laparkah perasaan
Anda saat ini?
Sama sekali tidak lapar ----------sangat lapar
c.
Konsumsi prospektif: Seberapa banyak
pangan dapat Anda habiskan?
Tidak ada sama sekali ---------- banyak sekali
Rentang nilai pada kuesioner adalah dari
0 (sangat lemah, sama sekali tidak lapar, atau
tidak ada sama sekali) sampai dengan 100%
(sangat kuat, sangat lapar, atau banyak sekali).
Skor nafsu makan =
Keinginan makan + lapar + konsumsi prospektif
3

Motivation to eat quessionaire (MEQ)
terlebih dulu diuji validitas dan realibilitasnya. Sebelum pengukuran skor nafsu makan.
Subyek terlebih dulu menjalani pelatihan
cara mengisi MEQ.
Analisis Data
Hasil penelitian disajikan sebagai x±SD.
Analisis pengaruh pemberian sarapan pada
skor nafsu makan pasca-makan siang dilakukan
dengan membandingkan skor nafsu makan
pasca-makan siang antara pangan uji dan

Pengaruh Indeks Glikemik, Komposisi, dan Cara Pemberian Pangan (101 – 112)
Albiner Siagian, Rimbawan, Hidayat Syarief, dan Darwin Dalimunthe
Universitas Sumatera Utara

pangan acuan. Perbedaan skor nafsu makan
antara kelompok pangan uji dan pangan acuan
dianalisis dengan uji rangking-berpasangan
Wilcoxon pada setiap titik pengamatan.
Perbedaan efek antar perlakuan diuji dengan
One-way ANOVA dengan post hoc test
Bonferroni menggunakan SPSS for Windows
version 12.

rata-rata kadar glukosa puasa menurut jenis
kelamin dan kelompok perlakuan.
Indeks Glikemik Pangan Uji
Hasil perhitungan IG (IG sebenarnya)
menghasilkan IG sebagai berikut: pangan uji
IG rendah (IG:52), IG sedang (komposisi-1)
(IG:66), IG sedang (komposisi-2) (IG:64),
dan IG tinggi (IG:94) (Tabel 2). Angka ini
hampir sama dengan IG yang diperkirakan
dengan metode beban glikemik (IG campuran),
yaitu 54, 63, 61, dan 91, berturut-turut untuk
pangan uji IG rendah, IG sedang (komposisi1), IG sedang (komposisi-2), dan IG tinggi.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Subyek Penelitian
Umur subyek berkisar antara 19 dan 32
tahun. Secara rata-rata umur subyek pria
lebih tinggi daripada umur subyek
perempuan. Tidak ada perbedaan rata-rata
umur subyek menurut jenis kelamin pada
setiap kelompok perlakuan.
Indeks massa tubuh (IMT) berkisar
antara 19-24 kg/m2 untuk kelompok normal
dan 26-33 kg/m2 untuk kelompok obes.
Semetara itu, rata-rata kadar glukosa darah
puasa adalah 81.9 dan 80.1 mg/dl, masingmasing untuk pria dan wanita normal serta
82.5 dan 81.2 mg/dl masing-masing, untuk
pria dan wanita obes. Tidak ada perbedaan

Nafsu Makan Pasca-makan Siang
Pada tahun 1953, Meyer telah
mengajukan teori glukostatik yang menjelaskan
mekanisme yang melaluinya karbohidrat
mengatur asupan pangan. Keinginan untuk
mengonsumsi pangan sangat dipengaruhi oleh
nafsu makan/rasa kenyang. Teori glukostastik
menyatakan bahwa kadar glukosa dalam darah
yang rendah memicu/merangsang keinginan
untuk mengonsumsi pangan (nafsu makan).

Tabel 2. Indeks glikemik perkiraan dan IG sebenarnya pangan uji
Komposisi Pangan
IG tinggi
Kentang rebus
Gula
Daging sapi rebus
Wortel rebus
Jus semangka

% Karbohidrat
61,0
17,4

IGi1
96
74

ta
11,4
10,0

ta
90
85

Sumbangan terhadap IG2
61,0%x96 = 58,6
17,4%x74 = 12,9

ta
11,4x90 = 10.3
10,0%x88 = 8,8
IG campuran = 91
IG rendah
Nasi Ramos kukus
66,6
60
66,6%x60 = 39,9
Gula
5.8
74
2,3%x74 = 4,2
Daging sapi rebus
ta
ta
ta
Buncis rebus
9,4
30
9,4%x30 = 2,82
Jus Apel
18,1
40
18,1%x40 = 7,24
IG campuran = 54
IG-sedang
Ketan hitam kukus
65,6
65
65,6%x65=42,6
(komposisi-1)
Ayam goreng
ta
ta
ta
Telur bebek rebus
ta
ta
ta
Susu, 1 porsi
16.6
70
16,6%x70=11.6
Buncis
4,2
35
4,2%x35=1,5
Jus apel
8,4
40
8,4%x40=3,3
5,3
74
5,3%x74=3,9
Gula
IG campuran = 63
IG-sedang
Ketan hitam kukus
41,6
65
41,6%x65 =27,0
(komposisi-2) Ayam goreng
ta
ta
ta
Daging kambing
ta
ta
ta
Susu (1 porsi)
33,1
70
33,1%x70=24.2
Buncis rebus
8,4
35
8,4%X35=3.2
Jus apel
16,8
40
16,8%x40=6,9
IG campuran = 61
1
International table of glycemic index and glycemic load (Foster-Powel et al., 2002)
2
Perkiraan IG pangan campuran (Miller et al., 1997 ); IGs: IG sebenarnya

IGs

94

52

66

64

105
Pengaruh Indeks Glikemik, Komposisi, dan Cara Pemberian Pangan (101 – 112)
Albiner Siagian, Rimbawan, Hidayat Syarief, dan Darwin Dalimunthe
Universitas Sumatera Utara

Sementara itu, kadar glukosa darah
yang tinggi menimbulkan rasa kenyang dan
pada gilirannya menghentikan asupan
pangan. Teori ini mendukung fakta bahwa
peningkatan rasa kenyang segera setelah
mengonsumsi pangan yang memiliki IG yang
tinggi ⎯sehubungan dengan peningkatan kadar
glukosa darah yang drastis⎯ akan diikuti oleh
peningkatan nafsu makan, karena kadar glukosa
darah akan turun secara drastis pula.
Pengaturan nafsu makan jangka pendek
(short-term appetite) adalah multifaktor,
meliputi rangsangan pengecapan di mulut (Ralls
et al., 1981), distensi lambung dan interaksi
antara zat gizi dengan usus halus (Cook et
al., 1997 dan Lavin et al., 1996). Sementara
itu, Andrews et al. (1999) telah menunjukkan
bahwa persepsi nafsu makan dipengaruhi
oleh perubahan kadar glukosa darah.
Selanjutnya pengaruh ini dimodifikasi oleh
hadirnya zat gizi (lipid) di usus halus. Hal ini
mengindikasikan sinergi antara kadar
glukosa darah dengan reseptor zat gizi pada
saluran pencernaan dalam fungsi sensori oral.

Dalam penelitian ini, skor nafsu makan
diukur secara subyektif (subjective appetite
score). Pengukuran dilakukan sebelum dan
sesudah subyek mengonsumsi pangan uji
atau pangan acuan. Nafsu makan yang diukur
adalah sensasi yang dirasakan subyek
sehubungan dengan konsumsi pangan uji.
Sensasi nafsu makan atau perasaan lapar
yang dirasakan subyek berkaitan dengan
kadar glukosa dalam darahnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pada menit ke-0 atau pukul 12.00 WIB (sebelum
makan siang), rata-rata skor nafsu makan subyek
normal adalah sebagai berikut. Rata-rata skor
nafsu makan untuk semua pangan uji adalah
76,7 dan 57,1 masing-masung untuk perlakuan
dengan frekuensi satu kali dan dan kali
pemberian makan. Untuk pangan acuan, ratarata skor nafsu makan adalah 77,4 dan 76,4
masing-masing untuk frekuensi satu kali dan
dua kali pemberian makan (Tabel 3). Hasil uji
beda rata-rata pada menit ke-0 menunjukkan ada
perbedaan bermakna (p