Pilkadal Antara Sistem “Otonomi Yang Sentralistis” Dan Good Local Governance

Jurnal Wawasan, Juni 2005, Volume 11, Nomor 1

PILKADAL ANTARA SISTEM “OTONOMI YANG SENTRALISTIS” DAN
GOOD LOCAL GOVERNANCE

Muryanto Amin

Abstract: efficacy of Indonesian nation in conducting election of president and his proxy
directly at 2004 breathing life into and optimism to carry out election of regent and governor
as regional leader, along with his proxy directly also. Election of regional leader directly
this election of direct regional leader (pilkadal) is presumably expected will improve the
quality of our democracy. System democratize representative seems fail to gratify all
combatants of democracy, because in the reality all members of DPR, either in state level,
sub-province and province do not always stand up for elector people. Many places of money
politic and abuse power of in general still uppermost, where all out for politicians maximize
accomplishment of importance of them neglectfully making proper. This article question: is
it true effective pilkadal to patch lacking of representative democracy? More than that, with
autonomous scheme of sub-province and province under law governance of new area ( UU
No.32/2004), is pilkadal will be able to educate governance good in both this governance
level? To answer this question first of all will be expostulated by positive result and
negative impact of UU No. 22/1999 concerning Governance of Area, then will be seen by

citizen participation in relationship context center and area in UU No. 32/2004.
Keywords: direct election of regional leader, and centralization of local government.
PENDAHULUAN
Pemerintahan transisi Habibie mengesahkan UU No. 22/1999 dan 25/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dapat dikatakan sebagai
revisi atas peraturan perundangan sebelumnya
yaitu UU No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. UU yang mulai diterapkan
pada Januari 2001 tersebut membuka sumbatan
pada saluran demokrasi pada tingkat lokal. Undang-undang ini memberikan peluang kepada
daerah untuk mengelola sumberdaya yang dimilikinya dan menggunakannya untuk mengatasi
permasalahan, memenuhi kebutuhan, dan menyalurkan kepentingan publik/masyarakat lokal.
Banyak pihak yang menaruh harapan
besar terhadap keberhasilan otonomi daerah
terutama dalam mendorong terwujudnya good
governance. Memang benar, jika otonomi daerah
dilaksanakan dengan baik, peluang untuk mereformasi praktik penyelenggaraan pemerintah di
Indonesia akan terbuka lebar. Dengan dimilikinya kewenangan yang besar oleh kabupaten atau
kota dalam penyelenggaraan pemerintahan serta
penguatan fungsi dan peran legislatif di daerah
diharapkan mampu memotivasi terjadinya perbaikan kualitas proses kebijakan, dari formulasi
sampai dengan evaluasi kebijakan. Proses kebija-


52

kan menjadi lebih partisipatif, transparan, responsif, dan akuntabel terhadap semua stakeholders di
daerah.
Kualitas tata pemerintahan dan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah diyakini mempunyai hubungan yang resiprokal ataupun simetris. Pada satu sisi dan suatu saat kualitas tata pemerintahan dapat berposisi sebagai variabel independen yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Sedangkan pada sisi dan
saat yang lain kebijakan otonomi daerahlah yang
menjadi faktor penyebab berhasil terwujudnya
tata pemerintahan yang baik (Dwiyanto, 2003).
Suatu hubungan yang simetris mensyaratkan selalu terjadinya hal yang diidealkan oleh
masing-masing sisi atau sisi yang satu harus senantiasa mengimbangi sisi yang lain untuk menjaga kesimetrisan, karena selisih satu titik saja
tidak bisa dikatakan simetris. Dengan kata lain
untuk menjaga kesimetrisan maka sisi yang senantiasa harus mengikuti atau menyesuaikan dengan sisi lain. Demikian juga halnya dengan hubungan antara otonomi daerah dan perwujudan
good local governace. Ketika kebijakan otonomi
daerah tidak mampu menampakkan wujud idealnya, maka good local governance-pun tidak bisa
diwujudkan, dan sebaliknya. Pertanyaannya adalah mampukah UU No.22/1999 dan UU No.

Amin, Pilkada dalam Sistem…

25/1999 mewujudkan atau setidaknya mendorong

terwujudnya good local governance? Sebelum
menjawab pertanyaan itu perlu diawali dengan
menjawab pertanyaan: bagaimanakah kinerja
kebijakan otonomi daerah? Apa hasil positif
maupun negatif dari UU tersebut? Untuk itu berikut ini dipaparkan gambaran tentang beberapa aspek pemerintahan, khususnya di kabupaten: kewenangan pemerintah daerah dan relasi antara
kabupaten-provinsi-pusat, kekuasaan yang dimiliki DPRD kabupaten, kepegawaian dan organisasi, keuangan, kualitas pelayanan publik, dan
partisipasi warga (Dwiyanto, 2003).

Namun tidak sedikit kabupaten yang
tidak menyelenggarakan pelayanan publik secara
efektif, efisien dan ramah kepada warga. Jika pun
ada pelayanan kepada publik tidak jarang terjadi
perselisihan antar maupun antara kabupaten–
provinsi–negara, khususnya jika menyangkut
sumber
pendapatan
(pajak,
perusahaan,
perkebunan,
pelabuhan,

batas
wilayah).
Ketidakmampuan pemerintah mau-pun asosiasi
pemerintah kabupaten maupun provinsi untuk
mengompromikan kepentingan yang saling bertabrakan mengakibatkan semakin banyaknya konflik yang timbul antar warga maupun antar pemerintah.

PEMBAHASAN
Kewengan Pemerintahan dan Relasi Kabupaten-Provinsi-Negara
UU No. 22/1999 memberikan kewenangan yang sangat besar kepada pemerintah kabupaten/kota. Kebijakan atau program pembangunan beserta pembiaya-annya, penentuan struktur
pemerintahan, sistem rekruitmen dan pengembangan aparatur, serta jumlah kualitas sumberdaya
aparatur, sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintahan kabupaten/kota. Kabupaten yang memiliki kapasitas, kreativitas, dan daya inovasi yang
cukup tinggi berlomba-lomba melakukan perbaikan kualitas kegiatan pemerintahan, khususnya dalam hal pelayanan publik dan pembangunan di daerah.
Namun demikian, ternyata tidak semua
kewenangan yang dimiliki pemerintah kabupaten/kota digunakan untuk kesejah-teraan atau kepentingan publik pada umumnya, melainkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Bahkan
kalau tidak segera dilakukan perbaikan atas sistem kontrol oleh masyarakat, kewenangan besar
yang dimiliki pemerintah kabupaten/kota tersebut
justru berpotensi merugikan masyarakat.
Wewenang pemerintah terkesan lebih
banyak berada di tingkat kabupaten daripada di
tingkat provinsi maupun negara. Jarak antara

warga dengan perumus kebijakan menjadi lebih
dekat, sehingga mereka dapat lebih mudah menilai rasionalitas suatu kebijakan dan bahkan terlibat dalam proses pengambilan kebijakan maupun ikut mengontrol pelaksanaannya. Pelayanan
peme-rintah kabupaten tentulah lebih sesuai dengan kondisi lokal dibandingkan jika pelayanan
tersebut diberikan oleh pemerintah provinsi atau
negara.

Kekuasaan DPR Kabupaten
DPR Kabupaten mempunyai wewenang
yang lebih luas dibanding sebelum 1999. Ini berarti rakyat melalui wakilnya dapat merumuskan
kebijakan-kebijakan (peraturan dan anggaran) demi kepentingan mereka sendiri. Mereka juga
mempunyai kekuasaan yang lebih besar untuk
mengontrol bupati, sejak pengangkatan hingga
penyu-sunan program kerja dan pelaksana
proyek, sehingga diharapkan kebijakan bupati
selalu berorientasi kepada kepentingan warga.
Namun anggota DPR Kabupaten adalah
kader partai. Mereka sering lebih banyak memperjuangkan kepentingan partai (pengurus partai,
baik pusat, provinsi maupun kabupaten) dari pada
kepentingan para pemilih mereka. Komitmen mereka kepada para pemilih mereka sangat rendah.
Di samping itu tidak sedikit anggota DPR

Kabupaten yang berpendidikan rendah atau
bahkan “kurang pendidikan”. Akibatnya ada
DPR Kabupaten yang menjiplak perda dari
kabupaten lain, ada DPR Kabupaten yang
meminta uang sebelum menyetujui perda yang
diusulkan oleh sebuah dinas, sering terdengar
peraturan daerah yang bertentangan dengan akal
sehat dan oleh publik dianggap bermasalah.
Kekuasaan DPR Kabupaten juga tidak
jarang disalahgunakan dalam hal pengang-katan
dan pemberhentian bupati serta pada waktu laporan pertanggungjawaban tahunan bupati. Dalam
kedua peristiwa ini money politics menjadi pemandangan yang sering dijumpai. Kriteria pengawasan kepada eksekutif tidak obyektif, tidak
transparan dan berubah-ubah. Pematauan proyek
sering berubah menjadi arena pemerasan.

53

Jurnal Wawasan, Juni 2005, Volume 11, Nomor 1

Kepegawaian dan Organisasi

Untuk merespon pelimpahan wewenang
yang sangat banyak dari pemerintah pusat, tidak
sedikit pemerintah kabupaten yang berusaha untuk meningkatkan profesionalisme pegawainya.
Mereka mengirimkan pegawainya untuk mengikuti program S2 dan bahkan ada yang
berkeinginan untuk memberi pegawai mereka
beasiswa program S3. Beberapa pegawai lulusan
D1 didorong untuk meneruskan ke D3. Ini semua
dibarengi dengan ketentuan karir pegawai yang
mensyaratkan tingkat pendidikan tertentu. Hasil
dari investasi di bidang personal ini tentu saja belum dapat dilihat secara nyata dalam waktu dekat
ini. Namun diharapkan bahwa dengan kualitas
pegawai yang lebih baik, kinerja birokrasi akan
menjadi lebih baik pula. Di samping itu, dengan
kekuasaannya seorang bupati di Kalimantan Timur, misalnya, mencopot sekretaris daerahnya
(sekda) yang melakukan korupsi.
Sebaliknya tidak sedikit kabupaten yang
tidak memperhatikan kompetensi dalam pengangkatan pegawai. Hal ini tidak jarang menimbulkan kontroversi yang berkepanjangan di kalangan birokrasi dan melibatkan kepentingan partai
politik. Dalam hal ini “putra daerah” menjadi isu
sentral di banyak provinsi, tidak saja dalam pemilihan gubernur/bupati melainkan juga pengangkatan pejabat birokrasi. Nepotisme, feodalisme dan
suap masih mewarnai proses rekruitmen personal

di banyak kabupaten. Sebagai dampaknya adalah,
misalnya, terjadinya ketimpangan distribusi tenaga pengajar, di sekolah di daerah terpencil mempunyai sangat sedikit guru.
Banyak upaya yang dilakukan pemerintahan kabupaten/kota untuk memper-baiki
kualitas kelembagaan. Mulai dari restrukturisasi
birokrasi yang disesuaikan kebutuhan daerah,
perumusan ulang susunan organisasi dan tata
kerja (SOT) ke arah lean governance (birokrasi
yang ramping), dan digunakannya mekanisme
“fit and proper test” dalam penempatan pejabat
baru.
Sayangnya, masih banyak juga kabupaten/kota yang masih melakukan proliferasi, yang
semata-mata untuk meng-akomodasi karyawan
yang ada, kepentingan menempatkan kroni dan
simpatisan partai KKN. Kelambanan membuat
SOT yang baru ditambah dengan belum siapnya
unit-unit pelayanan tertentu karena pendelegasiannya belum jelas menyebabkan pelayanan publik tidak bisa diberikan secara optimal. Contohnya adalah puskesmas yang oleh Dinas Keseha-

54

tan tidak diajak serta dalam mengambil keputusan di bidang pengadaan obat dan peralatan,

penentuan biaya maupun penyusunan program.
Sebagai unit pelayanan, puskesmas hanya menjadi pelaksana, padahal seharusnya dia paling tahu kebutuhan masyarakat dan karena itu harus
ikut menentukan kebijakan di bidang kesehatan.
Dengan kata lain, ketika di satu pihak para elit
kabupaten meminta agar negara (dan provinsi)
mende-sentralisasikan kekuasaan pada mereka, di
pihak lain pada mereka tidak mau mendesentralisasikan kekuasaan tersebut kepada birokrasi di
bawahnya.
Keuangan
Sejak diberlakukannya UU No. 22 dan
25/99 sebagian provinsi dan kabupaten memiliki
sumber penerimaan keuangan yang lebih banyak.
Pemerintah provinsi maupun kabupten/kota lebih
bersemangat untuk mengembangkan kreativitas
dan inovasi dalam menggali sumber-sumber penerimaan non-pajak. Inovasi positif juga ditandai
dengan terdapatnya sejumlah daerah yang mengalokasikan anggarannya pada sektor sosial secara
signifikan, seperti untuk anak-anak cacat, pendidikan, dan kesehatan. Dengan dana yang melimpah pemerintah suatu kabupaten, misalnya, membuat kebijakan subsidi sekolah (penghapusan
uang sekolah dan pemberian beasiswa), bantuan
untuk orang-orang lanjut usia (lansia), bantuan
desa hingga Rp 2 miliar desa per tahun (2002)

dan pengembangan usaha kecil dan menengah.
Selain itu, karena ketersediaan dana maka DPRD
mengoptimalkan peninjauan lapangan dan pertemuan dengan warga sebagai upaya menyerap aspirasi dalam menyusun APBD sebagai tambahan
atas sarana konvensional seperti Musbangdes,
UDKP, ataupun Rakorbang.
Namun wewenang untuk mengelola
pajak kadang-kadang disalahgunakan oleh tidak
sedikit kabupaten untuk menambah obyek pajak
sebanyak-banyaknya dan menaikkan nilai pajak
setinggi-tingginya. Misalnya ikan laut dikenai 34 kali retribusi, sehingga harganya di tangan konsumen naik sangat tinggi. Di sisi lain dana yang
diperoleh pemerintah provinsi/kabupaten tidak
selalu dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (lihat bagian “wewenang” di
atas). Tidak jarang proyek pembangunan fisik
terbengkalai. Tidak adanya rencana strategis
mengakibatkan suatu proyek dihentikan mengikuti pergantian pejabat.

Amin, Pilkada dalam Sistem…

Kualitas Pelayanan Publik

Banyak kabupaten yang berusaha
meningkatkan kualitas pelayanan dengan
mengembangkan unit pelayanan terpadu,
misalnya
dalam
perizinan,
atau
mendelegasikannya pada kecamatan sehingga
proses perizinan lebih cepat dan mudah. Namun
demikian, masih banyak juga fenomena seperti
perpustakaan dan laboratorium yang kondisinya
masih jauh dari kelayakan, penurunan kualitas
alokasi anggaran kesehatan, ketidakpastian pelayanan baik dalam hal biaya, waktu, dan cara
pelayanan sehingga masih banyak dijumpai praktik pungutan liar dan diskriminasi pelayanan.
Pada umumnya kualitas pelayanan publik
belum bertambah baik sejak 1999. Dalam hal
sekolah misalnya, perpustakaan dan laboratorium
tetap belum memadai, gaji guru tetap rendah. Di
bidang kesehatan juga belum dijumpai peningkatan kualitas pelayanannya. Di Sumatera Utara misalnya, alokasi anggaran kesehatan malah menurun. Di samping itu masih ada birokrasi yang
melakukan pemerasan kepada warga. “Jika ada
uang segala urusan lancar” masih menjadi
adagium di banyak tempat. Paralel dengan
persoalan nepotisme dalam bidang kepe-gawaian
(lihat atas), dalam pelayanan publik masih
dijumpai diskriminasi pelayanan karena faktor
afiliasi politik maupun etnis.
Forum Warga
Di banyak tempat telah dibentuk forumforum pertemuan antara elite politik/ birokrasi
dengan warga. Misalnya berupa jumatan keliling,
forum rebosn, forum memlikuran, jalan pagi,
sepeda santai, tasyakuran dan coffee morning.
Forum-forum ini merupakan sarana untuk mensosialisasikan program pemerintah di satu pihak
menyerap aspirasi warga di pihak lain. Ini dilakukan secara rutin dan bersifat lebih bebas
dibandingkan forum-forum sejenis pada zaman
Orba. Selain itu bermunculan banyak sekali
media massa lokal, yakni lebih dari 500 di
seluruh Indonesia pada tahun 2001, yang rajin
memberitakan tema-tema otonomi dan good
governance dan karena itu menjadi salah satu
menjadi instrumen demokrasi.
Namun di tempat lain tidak jarang warga
mengeluh atas kebijakan-kebijakan pemerintah
dan mereka tidak menemukan saluran yang
efektif untuk mengubah atau setidaknya mempengaruhi isi kebijakan-kebijakan tersebut. Ini terutama menyangkut peraturan pajak dan retribusi

(lihat bagian ”keuangan” di atas). Kecuali itu
proses penyusunan, isi dan laporan anggaran
tidak jarang dirahasiakan oleh para elite
politik/birokrasi. Sekalipun telah ada gubernur
dan bupati yang
mempublikasikan laporan
tahunannya lewat media massa.
Perbaikan Skema Otonomi Melalui UU No.
32/2004
Dari paparan di atas diakui bahwa UU
No. 22 dan 25/1999 memang memiliki semangat
yang seratus delapan puluh derajat berbeda dangan perundangan sebelumnya. Namun, melihat
praktiknya di atas, keberadaan perundangan tersebut belum sepenuhnya menimbulkan dampak
yang positif bagi perbaikan tata pemerintahan
(daerah) di Indonesia, sehingga dirasakan oleh
sebagian kalangan perlunya dilakukan revisi
undang-undang. Wacana untuk merevisi kedua
undang-undang memang terus berlangsung secara damai sepanjang pemerintahan Megawati, dan
berakhir dengan dibuatnya oleh DPR sebuah undang-undang yang baru di penghujung masa
pemerin-tahannya.
Jika implementasi kedua undang-undang
tersebut banyak menghasilkan dampak negatif,
seberapa relevankah revisi atas keduanya, khususnya atas UU No.22/1999, yang terwujud sebagai UU No. 32/2004? Apakah hasil positif dari
undang-undang yang lama masih akan tetap dirasakan di bawah pengaturan undang-undang yang
baru, sebaliknya dampak negatifnya dapat dieliminir?
Di mata publik UU No. 32/2004 terkenal
dengan model pemilihan gubernur dan bupati/walikota beserta wakil mereka secara langsung,
sebagai mana telah dilakukan dalam pemilihan
presiden dan wakil presiden. Namun di samping
itu ada beberapa gagasan penting lain yang diajukan oleh undang-undang revisi ini, yang sepertinya tidak terlalu dipedulikan oleh publik.
Kewenangan Pemerintahan dan Relasi Kabupaten – Provinsi – Negara
Undang-undang
yang
baru
ini
menyatakan wewenang pemerintah pusat sama
seperti yang ditentukan dalam undang-undang
yang lama, yakni politik luar negeri, pertahanan
dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal
serta agama. Hal-hal lain selain dari kelima atau
keenam urusan ini dapat diurus oleh provinsi dan
kabupaten. Namun, berbeda dengan undangundang yang lama hanya menegaskan wewenang

55

Jurnal Wawasan, Juni 2005, Volume 11, Nomor 1

kabupaten, sedangkan wewenang provinsi adalah
hal-hal yang bersifat lintas kabupaten (lihat pasal
11 dan pasal 9) undang-undang yang baru menegaskan wewenang provinsi maupun kabupaten
sejumlah 14 buah, mulai dari perencanaan pembangunan hingga pengembangan kope-rasi, plus
pelayanan dasar lain (lihat pasal 13 dan pasal 14).
Jadi wewenang provinsi dan kabupaten adalah
dalam bidang-bidang yang sama persis. Dan
karena bupati berada di bawah kontrol gubernur
(nyaris sepenuhnya), maka tidak bisa tidak bupati
akan mengalah terhadap (nyaris) semua kemauan
gubernur.
Gubernur adalah wakil pemerintah di
wilayah provinsi, memiliki tugas dan wewenang
untuk melakukan pembinaan dan pengawasan
atas penyelenggaraan pemerin-tahan daerah
kabupaten/kota, koordinasi penyelenggaraan
urusan pemerin-tah serta pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan
di daerah provinsi dan kabupaten/kota (pasal 38).
Oleh karena itu, tidak ada lagi alasan kabupaten
untuk menolak kehadiran gubernur terkait tugastugas di atas. Mekanisme pengawasan kepada
gubernur maupun bupati semakin galak, sehingga
presiden tanpa melalui usulan DPR dapat
memberhentikan sementara kepala daerah yang
didakwa melakukan tindak korupsi, terorisme
dan makar (pasal 30 dan pasal 31).
Jika semula dinyatakan bahwa “Wilayah
NKRI dibagi dalam daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota yang bersifat otonomi,”
daerah-daerah tersebut masing-masing berdiri
sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki
satu sama lain, kini dinyatakan bahwa “NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang
masing-masing mempunyai pemerin-tahan daerah” (pasal 2). Memang tidak dinyatakan bahwa
secara hierarkis kabupaten adalah bawahan provinsi. Namun peng-ulangan kata “tidak mempunyai hubungan hierarki” sudah dengan sendirinya
menunjuk pada pengertian bahwa hierarki itu ada
(atau lebih tepatnya: dikembalikan keberadaannya, sebagaimana UU No. 5/1974). Ini intinya
otonomi kabupaten menjadi lebih sedikit/kecil,
terutama bahwa karena kabupaten menjadi dapat
dan bahkan selalu dikontrol oleh provinsi yang
merupakan kepanjangan tangan pemerintah
pusat, sekalipun pada gilirannya provinsi selalu
dikontrol oleh negara. Pengawasan dari provinsi
dan negara terhadap kabupaten yang semula lebih
bersifat represif (ex post) menjadi lebih bersifat

56

preventif (ex ante). Termasuk dalam hal ini adalah pengawasan preventif terhadap anggaran, dimulai dari penyusunannya.
Jadi kesan sentralistis dapat dihindari,
setidaknya terjadi pergeseran “letak otonomi” dari kabupaten/kota ke provinsi. Memang dinyatakan, bahwa pembagian wewenang antara provinsi
dan kabupaten (juga pemerintah) harus didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas,
dan efisiensi, namun kiranya akan sulit dihindari
bahwa mereka yang di atas akan dapat mendikte
mereka yang di bawah. Terhadap perubahan ini
dapat diajukan beberapa pertanyaan: Apakah
struktur seperti ini tidak mematikan kreativitas
dan invasi yang selama ini telah berkembang di
banyak kabupaten? Di pihak lain, apakah
penyelewengan yang terjadi di beberapa
kabupaten dapat diminimalkan? Masih besarkah
ruang yang terbuka bagi publik untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan,
monitoring dan evaluasi kebijakan-kebijakan
kabupaten?
Kekuasaan DPR Provinsi dan Kabupaten
UU No. 22/1999 memberikan kekuasaan
yang luar-biasa besarnya kepada DPR Provinsi
dan Kabupaten. Mereka dapat mengangkat dan
memecat gubernur maupun bupati secara sangat
leluasa. Di provinsi dan kabupaten telah berlangsung parliament government. Hal ini mungkin
bagus dalam perspektif demokrasi atau partisipasi, namun pada kenyataannya telah menghasilkan
implikasi negatif sebagaimana diterangkan di
atas. UU No. 32/2004 mencoba mengembalikan
hubungan kerja eksekutif dan legislatif menjadi
setara dan bersifat kemitaraan, dengan
konsekuensi tentu saja kesan dikebirinya peran
DPRD. Parlemen provinsi dan kabupaten ini tidak lagi memilih gubernur maupun bupati, karena hal ini kini dilakukan oleh rakyat (baca: warga, konstituen) secara langsung (pasal 24). Di
pihak lain gubernur dan bupati kini melaporkan
penyelenggaraan
pemerintahan-nya
kepada
pemerintah pusat, sedangkan DPRD cukup diberi
“keterangan laporan pertanggungjawaban” (pasal
27 ayat 2-5 dan pasal 42 ayat huruf h).
Paralel dengan ini, peraturan-peraturan
daerah yang strategis harus mendapat pengesahan
dari pemerintah pusat untuk provinsi dan pemerintah provinsi untuk kabupaten sebelum diundangkan. RAPBD perlu dievaluasi terlebih dahulu oleh pemerintah yang lebih tinggi, agar sesuai
dengan kepentingan umum dan peraturan perun-

Amin, Pilkada dalam Sistem…

dang-undangan yang lebih tinggi (pasal 185 s/d
191), dan penyelenggaraan pemerintah daerah
harus mengacu pada sistem perencanaan pembangunan dan sistem keuangan negara yang telah
ditentukan oleh pemerintah pusat (pasal 150154). Memang bisa dipahami, bahwa mekanisme
evaluasi tersebut dimaksudkan untuk mengatasi
merebaknya praktik KKN melalui persekong-kolan antara DPRD dengan eksekutif, merebaknya
pengembangan/ pembentukan wilayah baru yang
hanya didasarkan semangat primordialisme, serta
overlapping dalam pembangunan yang sering terjadi sebelumnya. Tetapi kiranya tidak dapat dihindari, bahwa mekanisme ini berbau resentralisasi, yang tentunya patut dikhawatirkan menyimpan kelemahan pula. DPRD kembali berposisi seperti bahwa skema UU No. 5/1974: tukang stempel dari setiap kebijakan bupati “Kedaulatan Rakyat” di bawah skema ini patut dipersoalkan.
Kepegawaian dan Organisasi
Semula daerah memiliki kewenangan besar dalam mengelola pegawai, yang menjadikan
di beberapa tempat bupati dengan sangat leluasa
mengangkat dan memindahkan pegawainya. UU
No. 32/2004 menentukan lain, yakni bahwa pegawai dikelola secara unified maupun separated
system. Artinya ada bagian yang menjadi wewenang provinsi dan kabupaten (lihat penjelasan
umum tentang kepegawaian daerah). Pemerintah
melakukan pembinaan manajemen PNS daerah
yang meliputi penetapan formasi, pengadaan,
pengangkatan, pemindahan, pemberhentian,
penetapan
pensiun,
gaji,
tunjangan,
kesejahteraan, hak dan kewajiban maupun
pengembangan kompetensi dan pengendalian
jumlah (pasal 129).
Menurut hemat penulis, resentralisasi di
bidang kepegawaian sangat tepat, setidak-nya dikehendaki oleh banyak pegawai provinsi maupun
kabupaten. Dalam beberapa kesempatan berdialog dengan mereka, penulis menemukan bahwa
mereka merasa lebih aman dan nyaman jika langsung dikelola oleh pemerintah pusat, sehingga
tidak dapat diutak atik (diganggu, dicopot dengan
tanpa alasan yang benar) oleh gubernur atau
bupati.
Di bawah undang-undang yang lama
pemerintah provinsi maupun kabupaten menentukan sendiri bentuk organisasinya, sehingga kecenderungan yang terjadi adalah pembengkakan
organisasi atau proliferasi. UU No. 32/2004 menentukan, bahwa “Pengen-dalian organisasi pe-

rangkat daerah dilakukan oleh Pemerintah untuk
provinsi dan oleh Gubernur untuk kabupaten/kota
dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”
(pasal 128 ayat 2). Dengan demikian daerah tidak
bisa seenaknya lagi membentuk dinas atau lembaga teknis baru. Sebenarnya di bawah undangundang yang lain ada PP No. 8/2003 yang membatasi volume organisasi pemerintah provinsi dan
kabupaten, tetapi tampaknya ketentuan ini belum
sempat direalisasikan (jika bukannya terlambat
dibuat).
Keuangan
Seperti telah disebutkan di atas pengawasan oleh negara kepada provinsi dan provinsi kepada kabupaten kini bersifat preventif, tendensinya lebih ketat. Jika sebelumnya APBD yang
sudah disahkan cukup diberitahukan kepada gubernur bagi kabupaten dan presiden bagi provinsi, kini RAPBD maupun rancangan penjabarannya harus disetujui terlebih dahulu oleh
pemerintah atasan itu sebelum dapat disahkan
(pasal 185 ayat 1–4 dan pasal 186 ayat 1–4).
Lebih dari itu APBD (dan perda lainnya) yang
sudah berjalan yang ditengarai “tidak sesuai
dengan kepentingan umum dan perundangan
yang lebih tinggi” dapat dibatalkan oleh
pemerintah atasan (pasal 185 ayat 5 dan pasal
186 ayat 6). Konsisten dengan ini, perda tentang
pajak dan retribusi “harus dikoordinasikan” terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan (pasal
189).
Dibandingkan dengan situasi lain (lihat
2.4), ketentuan yang sangat preventif dan ketat
dapat dipahami. Masalahnya adalah, siapa yang
mendefinisikan “kepentingan umum” itu? (rezim
Orba selalu menggunakan kata ini dalam setiap
kebijakannya). Dalam relasi antara kabupaten
dan provinsi, mestinya “kepentingan umum” didefinisikan oleh DPR Kabupaten dan DPR Provinsi secara bersama-sama, bukan oleh gubernur.
Demikian pula dalam relasi antara provinsi dan
negara, pendefinisiannya dilakukan oleh DPR
Provinsi bersama-sama dengan DPR-RI, bukan
oleh Presiden atau Mendagri semata-mata. Mahkamah Konstitusi harus berperan sangat aktif dalam mengawasi soal definisi ini. Ketika gubernur
atau presiden secara sepihak atau semena-mena
membatalkan suatu perda kabupaten atau
provinsi, keputusan ini belum berlaku jika belum
dilakukan peninjauan oleh Mahkamah Konstitusi.

57

Jurnal Wawasan, Juni 2005, Volume 11, Nomor 1

Partisipasi Warga
Resentralisasi sebagaimana diterang-kan
di atas pada hakekatnya adalah juga pengebirian
hak warga untuk berpartisipasi secara langsung
(secara tidak langsung). Karena bupati harus bertanggung jawab kepada gubernur, maka kini warga tidak dapat mengontrolnya secara langsung
maupun tidak langsung maupun melalui wakil
mereka di DPR Kabupaten, melainkan harus melewati DPR Provinsi. Itupun tidak efektif, karena
kewenangan DPR Provinsi untuk mengontrol gubernur sudah berkurang. Jalur partisipasi, dengan
demikian, menjadi lebih panjang. Kekurangan
inilah kiranya yang hendak diimbangi dengan
hak mereka untuk memilih lansung bupati dan
gubernur, dari yang sebelumnya dilakukan oleh
wakil mereka di DPRD.
Memang kualitas demokrasi dari pemilihan langsung bupati dan gubernur tersebut jelas
lebih baik. Namun tidak berarti pemimpin yang
terpilih secara otomatis akan terjamin keberpihakannya terhadap aspirasi rakyat yang telah memilihnya melalui kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Pilkadal dapat kehilangan makna, bila ruang
bagi warga untuk ikut merumuskan kebijakan
publik justru menyempit dengan adanya resentralisasi seperti dijelaskan di atas. Meskipun pilkada
langsung menghasilkan bupati dan gubernur yang
mengantongi legitimasi yang kuat dari masyarakat, namun sepertinya tidak ada keharusan baginya untuk mendengarkan aspirasi masyarakat,
karena dia akan banyak menjadi implementator
kebijakan-kebijakan pemerintah pusat. Adanya
kesempatan warga untuk memberikan masukan
secara lisan maupun tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan perda (pasal
139 ayat 1) kiranya hanya akan menjadi pemanis
bibir belaka.
Pengurangan peran warga juga terjadi di
tingkat desa. Badan Perwakilan Desa (BPD)
dikebiri kekuasaannya. Semula anggota BPD
dipilih langsung oleh warga, kini diisi ketua RW,
pemangku adat dan tokoh masyarakat lain, yang
ditetapkan secara “musyawarah dan mufakat”.
BPD kini adalah Badan Permusyawaratan Desa
(pasal 200 dan pasal 201). Sekalipun dinyatakan
bahwa fungsinya adalah menetapkan peraturan
desa bersama kepala desa, serta menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat (pasal 209), perubahan cara pembentukannya ini sudah barang
tentu membawa konsekuensi sangat besar terhadap rasa keterwakilan warga dan “keterdengaran” suara mereka. Apalagi fungsi pengawasan

58

BPD sebagaimana diatur oleh undang-undang lama tidak lagi disebut. Memang dinyatakan bahwa “kepala desa bertanggung jawab kepada rakyat”, tetapi pertanggungjawaban tersebut disampaikan pada bupati/walikota melalui camat, persis seperti bupati dan gubernur dihadapan
parlemen mereka, kepala desa “memberikan
keterangan laporan pertanggungjawaban” kepada
BPD. Sedangkan kepada masyarakat hanya
disampaikan
informasi
pokok-pokok
pertanggungjawaban, meskipun tetap diberi
peluang melalui BPD untuk meminta keterangan
lebih lanjut (penjelasan umum tentang desa).

Analisis
Secara umum dapatlah dinilai, bahwa
selain pilkadal (pemilihan kepala daera lansung)
UU No. 32/2004 merupakan reaksi-keras terhadap UU No. 22/1999. Struktur kenegaraan yang
diciptakannya adalah (re)sentralisasi, dari yang
sebelum desentralisasi. UU No. 32/2004 ini pada
dasarnya melakukan resentralisasi kekuasaan.
Kekuasaan terhadap kabupaten disentra-lisasikan
kepada provinsi, dan pada gilirannya kekuasaan
terhadap provinsi dicerabut dari tangan warga
propinsi untuk dipegang oleh (dikembalikan?)
negara. Proses formulasi dan evaluasi kebijakannya bersifat top-down elitis, dari yang sebelumnya bottom-up partisipatif. Memang jika dilihat implikasi dari UU No. 22/1999, bupati
merasa “berdaulat” terhadap Provinsi dan Negara, dan provinsi merasa “independen” terhadap
negara sehingga mereka semua tidak mungkin
dikoordinasi, disatupadukan programnya yang
menjadikan Indonesia seperti stateless country,
resentralisasi kiranya dapat dipahami.
Namun apakah perubahan ini tepat, dalam arti lebih “baik” bagi publik (dalam relasinya
dengan pemerintah dengan birokrasi kabupaten)?
Jika banyak pemerintah dan birokrasi kabupaten
dalam empat tahun terakhir (dari awal 2001 ketika UU No. 22/1999 berlaku hingga akhir 2004)
gagal mendapat desentralisasi, demokrasi dan
partisipasi warganya untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi publik, apakah skema
otonomi menurut UU No.32/2004 akan lebih
mendorong peningkatan jumlah dan mutu pelayanan publik? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini kiranya membutuhkan diskusi tersendiri, jika bukannya bahwa kita perlu menunggu empat tahun
juga untuk dapat melakukan evaluasi secara siste-

Amin, Pilkada dalam Sistem…

matis. Ringkasnya: Apakah apa yang dapat dipahami harus diterima?
Pilkadal dan Good Local Governance dalam
Skema “Otonomi yang Sentralis”
(Pilkadal telah penulis singgung dalam
diskusi tentang partisipasi warga dalam skema
otonomi yang baru. Bagian ini mendiskusikannya
secara lebih rinci). Ide pilkadal dapat dilihat sebagai wujud dari akumulasi kekecewaan terhadap
praktik demokrasi perwakilan yang telah banyak
diselewengkan. DPRD telah terbukti tidak selalu
identik dengan aspirasi warga, termasuk dan atau
terutama ketika mereka memilih kepala daerah
dan mengutak-atik anggaran. DPRD begitu mudah terjebak ke dalam permainan politik uang.
Elit politik (kepala daerah dan DPR serta pejabat
birokrasi di sekitar mereka) telah berkolaborasi
untuk menangguk keuntungan sebanyak-banyaknya dari sumberdaya publik yang mereka kelola.
Kolaborasi itu sedemikian kuatnya, sehingga tidak ada pemisahan atau pembagian kekuasaan, tidak ada merasa ada pihak yang dikontrol maupun
yang mengontrol. Ringkasnya: tidak ada checks
and balances, tidak ada demokrasi. Kepentingan
publik hanya disebut sebagai pemanis, untuk menipu atau membodohi warga. Pilkadal adalah
metode untuk mengurangi (pasti bukan menghilangkan) kelemahan-kelemahan demo-krasi
perwakilan tersebut.
Dengan pilkadal diharapkan bupati atau
gubernur yang terpilih dikehendaki oleh (mayoritas) warga, sehingga sikap pelayanan publiknya
akan jauh lebih baik dibandingkan dengan jika
dia dipilih oleh DPRD (apalagi melalui suap).
Namun, sebagaimana mekanisme pemilihan yang
direvisinya, mekanisme pilkadal tidak luput dari
kritik. Berikut beberapa di antaranya.
Status Hukum Pengaturan Pilkadal
Meskipun sama-sama bersifat langsung,
pemilihan kepala daerah berbeda dengan pemilihan anggota DPR/DPRD/DPD maupun presiden
dan wakil presiden. Pemilihan yang lain diatur
oleh undang-undang tersendiri (UU No.12/2003
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD
serta UU No. 23/2003 tentang Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden), sedangkan pilkadal hanya
diatur oleh beberapa pasal dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perbedaan
hukum tidak terelakkan menimbulkan kesan bahwa proses pilkadal hanyalah bagian dari tugas pemerintah (Mendagri), dan pilkadal sebagai suatu

bentuk demokrasi disubordinasikan di bawah
kegiatan pemerintahan. Pemerintah membuat aturan (PP No.6/2005) untuk meng-operasionalkan
pasal-pasal undang-undang tersebut, dan ini dapat dianggap melukai nilai demokrasi, karena pemilu seharusnya diatur oleh rakyat sendiri melalui suatu lembaga yang tidak berafiliasi kepada
pemerintah. Tampaknya semangat resentralisasi
yang mewarnai UU No. 32/2004 ditemui pula dalam pengaturan pilkadal, sekalipun pelaksanaannya dilakukan oleh KPUD.
Calon Independen
Dalam pilkadal ini calon bupati atau gubernur harus dicalonkan oleh partai, itupun partai
atau kumpulan partai yang memiliki 15 persen
kursi di DPRD (pasal 59). Tanpa melalui partai,
seseorang (calon independen) tidak boleh bertarung dalam pemilihan. Memang dalam proses
penetapan kandidat bupati atau gubernur partai
wajib memperhatikan pendapat dan tanggapan
masyarakat, tetapi kewajiban tidak berarti apaapa, karena pada akhirnya partailah yang menentukan siapa kandidat yang mereka ajukan. Mengingat hal ini, dapatlah dikatakan bahwa partisipasi
publik hanyalah terbatas pada pemberian suara di
TPS. Untuk selanjutnya, seperti telah disebut di atas, warga juga tidak memiliki ruang partisipasi
yang memadai untuk ikut merumuskan kebijakan
publik dan mengawasi implementasinya.
Tidak diakomodasinya calon independen kiranya mengurangi kemungkinan
tampilnya pemimpin terbaik suatu daerah.
Memang partai ataupun gabungan partai wajib
membuka kesempatan bagi kandidat independen
atau nonpartai (pasal 50 ayat 3) untuk mereka
calonkan, namun pastilah tanpa komitmen
tertentu kepada partai yang bersangkutan. Calon
independen hanyalah akan menjadi pelengkap
dalam proses penjaringan, sekedar untuk
mengesankan bahwa partai bersikap demokratis
dan terbuka. Ringkasnya, akan terjadi oligarki
partai dalam sistem demokrasi kita.
Memang oligarki partai dapat dieliminir,
jika proses pengambilan keputusan di dalam
partai itu juga demokratis. Tetapi rasanya belum
ada peraturan yang mengharuskan demokrasi di
dalam setiap partai. Setiap partai sepertinya boleh
menentukan cara sendiri melalui konvensi,
konferensi atau sekadar kesepakatan di antara
para pengurusnya.
Untuk mencapai kualitas demokrasi yang
tinggi, keputusan tentang kandidat bupati atau

59

Jurnal Wawasan, Juni 2005, Volume 11, Nomor 1

gubernur yang akan diusung oleh suatu partai seharusnya ditentukan oleh semua anggota partai
itu dalam suatu muktamar atau kongres di tingkat
kabupaten atau provinsi, tentu saja tanpa campurtangan dari pengurus partai di tingkat nasional.
Di atas semua itu bagaimanapun, sebaiknya calon
independen memang diperbolehkan untuk ikut
pilkadal.
Persekongkolan dan Money Politic
Sebagaimana dalam pemilu pada umumnya, kemandirian dan netralitas KPUD sebagai
penyelenggara pilkadal di perta-ruhkan. KPUD
diberi wewenang membuat tata cara pilkadal,
mempertanggungjawabkan penggunaan dan kepada DPRD, Panwas dibentuk oleh DPRD, dan
pemerintah daerah membantu pendistribusian alat
kelengkapan (pasal 47 PP No. 6/2005). Karena
peran sentralnya, KPUD rentan terhadap pengaruh dan intervensi dari semua kandidat kepala daerah baik melalui hubungan famili, uang maupun
tekanan atau teror psikis maupun fisik. Kerawanan ini semestinya dapat dikurangi, seandainya
KPU sebagai atasan KPUD dilibatkan juga dalam
pelaksanaan. Jika KPUD ditenggarai telah “terbeli” oleh seseorang, KPU dapat menganulir hasil
pilkadal. Tetapi ini menjadikan pilkadal terkesan
sentralistis juga, jika akhir dari pilkadal itu
berada di tangan pihak yang berada di luar komunitas poltik yang bersangkutan. Oleh karena
itu pengawasan oleh Panwas yang dibentuk oleh
DPRD harus benar-benar ditegakkan, di samping
tentunya pengawasan oleh masyarakat sendiri
maupun pengamat independen dari luar
komunitas. Jadi kuncinya adalah DPRD, karena
memang hasil pilkadal hanya sah jika ditetapkan
oleh DPRD (pasal 109 ayat 3 dan 4). Dalam hal
ini dapat muncul kecemasan, bahwa DPRD akan
menunda penetapan hasil pilkadal dalam rangka
mempengaruhi hasil pilkadal itu sendiri. Namun,
sepanjang mekanisme pengambilan keputusan di
dalam DPRD demokratis dan transparan,
penundaan seperti itu adalah absah dan tidak
perlu ditakutkan.
Selain itu, pembelian suara warga oleh
kandidat tentu saja berpotensi untuk terjadi, seperti dalam pemilu yang lain. Sebagaimana desentralisasi sejak 2001 yang memperluas korupsi
ke hampir seluruh kabupaten dan provinsi di Indonesia, demikian juga pilkadal akan “mendesentralisasikan“ pembelian suara dari gedung DPRD
ke seantero kabupaten dan provinsi. Ini adalah
masalah klasik, yang pemecahannya telah sering

60

diucapkan maupun dilakukan orang: pendidikan
politik dan transparansi.

PENUTUP
Harapan akan tumbuhnya demokrasi
(termasuk di dalamnya partisipasi, transparansi
dan clean governance) serta perbaikan kualitas
pelayanan publik dengan dirombaknya struktur
pemerintahan negara yang otoriter dan sentralistis
menjadi demokratis dan desentralistis melalui
UU No. 22/1999 ternyata tidak dapat direalisasikan dengan memuaskan. Namun revisi terhadap
undang-undang ini melalui UU No. 32/2004 ditengarai terlalu berlebihan, sehingga struktur pemerintahan kita telah berbalik kembali bersifat sentralistis, tidak jauh berbeda dengan skema UU
No. 5/1974 yang berlaku hingga Desember 2000.
Hanya dalam pemilihan bupati dan gubernurlah
sentralisme itu tidak terjadi, meskipun pengaturannya berpotensi menimbulkan permasalahan.
Demokrasi dalam sentralisasi, menurut
penulis, tidak banyak maknanya. Pilkadal baru
akan berarti, jika warga juga turut serta dalam
proses pembuatan formulasi kabijakan-kebijakan
maupun implementasi serta pengawasan dan evaluasinya. Jika ternyata persyaratan ini tidak dipenuhi, kiranya tidaklah berlebihan jika dikatakan,
bahwa pilkadal hanyalah “perangkap” untuk
mengkamuflase semangat resentralisasi yang
mewarnai UU No. 32/2004 tentang Pemerin-tahan Daerah. Dengan lepasnya atau menjadi sangat sempitnya partisipasi warga dalam formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan publik
yang disahkan dan dijalankan oleh para pemimpin mereka sendiri, sulit dibayangkan bahwa
good local governance akan terwujud.
Mengingat itu semua, tak ada pilihan lain
kecuali segera merevisi UU No. 32/2004. Namun
bahwa implementasi UU No. 22/1999 yang sangat desentralistis ternyata telah terbukti menimbulkan negatifnya sendiri, kiranya perlu diajukan
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah benar dampak negatif berupa korupsi
maupun konflik sosial di berbagai daerah
adalah akibat desentralisasi itu sendiri ataukah akibat dari faktor-faktor lain, seperti
euforia demokrasi dan redistribusi sumberdaya yang selama ini timpang? Jika ternyata
bukan karena desentralisasi, maka skema
pemerintahan daerah menurut UU. No.
22/1999 perlu dipakai kembali.

Amin, Pilkada dalam Sistem…

2. Jika ternyata bahwa desentralisasilah yang
menyebabkan semua itu, apakah memang negeri kita cocok (dalam arti apa?) diurus secara sentralisasi oleh Jakarta? Atau setidaknya.
3. Apakah negeri kita paling baik dikelola secara campuran: ya desentralistis, ya sentralistis;
ya demokratis, ya otoriter? Atau dengan perspektif yang berbeda, “tidak desentralistis, tidak sentralistis”?
Sambil memikirkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, dan sambil menunggu

kajian yang sistematis untuk merevisi UU No.
32/2004, menurut hemat penulis pemerintah
perlu segera membuat PP atau merancang UU
tentang referendum: bahwa kebijakan bupati atau
gubernur yang tidak disukai oleh 4% dari jumlah
pemilih harus ditunda pemberlakuannya sebelum
penyelenggaraan referendum mengundang seluruh pemilih untuk memberikan suara ya atau
tidak terhadap kebijakan itu. Sebagaimana
mereka dulu dipilih oleh seluruh warga,
sebagaimana itu pula kebijakan mereka harus
diputuskan.

DAFTAR PUSTAKA

Dwiyanto, Agus, dkk. 2003. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah Yogyakarta, PSKK
UGM.
Dwiyanto, Agus, dkk. 2003. Teladan dan Pantangan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan
Otonomi Daerah. Yogyakarta, PSKK UGM.

Peraturan & Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pembagian Keuangan Pusat dan Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengangkatan, dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

61