Pembatasan Usia Kawin Dan Persetujuan Calon Mempelai Dalam Perspektif Hukum Islam

Ramlan Yusuf Rangkuti: Pembatasan Usia Kawin dan Persetujuan Calon Mempelai...

PEMBATASAN USIA KAWIN
DAN PERSETUJUAN CALON MEMPELAI
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Ramlan Yusuf Rangkuti
Abstract: One of marriage aims is to make a household that is sakinah,
mawaddah, and rahmah. Prospective husbands and wives that will get married
have to prepare their body and soul to reach that, so that they will get a good and
healthy generation that it will not be finished by separation in the next day. It
needs an experiment about marriage age limitation and prospective bride deal.
The result is traditional scribes of islamic jurisprudence don’t know about that
age limitation and that deal, even their father and grandfather have a compulsory
authority (ijbar) for the women that they have not been married before. It’s
different from contemporer scribes of islamic jurisprudence that they agree the
limitation and they want a prospective bride deal. Although there all kind of
opinions about that limitation, they are in islamic jurisprudence nations now.
Kata Kunci: Pembatasan usia kawin, Fiqih, Hukum Islam

Berbicara masalah batasan usia perkawinan merupakan hal yang sangat sensitif
sifatnya, hal ini disebabkan sangat erat kaitannya dengan permasalahan setuju atau tidaknya

khususnya seorang gadis untuk dinikahkan, selain itu, hal ini juga berkaitan dengan masalah
hak paksa dari seorang wali nikah. Oleh sebab itu, perlu adanya ketentuan batas umur ini
didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga yang dibentuk dalam
suatu ikatan perkawinan. Untuk itulah seorang calon suami maupun calon istri yang akan atau
hendak melangsungkan perkawinan harus telah masak jiwa dan raganya agar dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa harus berakhir dengan sebuah perceraian dan
diharapkan pula dengan adanya kematangan jiwa dan raga dari masing-masing mempelai akan
dapat menghasilkan keturunan yang baik dan juga sehat. Oleh sebab itulah, perlu ada suatu
upaya untuk melakukan pencegahan berlangsungnya suatu perkawinan dimana antara calon
suami ataupun calon istri yang masih di bawah umur.
Selain hal tersebut diatas, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah
kependudukan. Hal ini terbukti, bahwa batas umur yang rendah bagi seorang wanita untuk
kawin mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi. Keadaan ini dikhawatirkan akan
menimbulkan suatu permasalahan baru yaitu munculnya hal-hal yang tidak lagi sejalan dengan
misi dan tujuan perkawinan yaitu untuk terwujudnya ketentraman dalam rumah tangga
berdasarkan kasih dan sayang seperti antara lain tumbuhnya keturunan yang tidak terjamin
kesejahteraannya yang disebabkan ketidakstabilan dan ketidakmatangan jiwa dan raga dari
para pihak, yaitu suami ataupun isteri. Untuk itulah, dalam penelitian ini akan diuraikan
tentang batasan usia dari berbagai sudut pandang dan tinjauan, sehingga dalam hal ini
diharapkan akan menghasilkan suatu tujuan akan pentingnya penentuan batas umur untuk

kawin khususnya bagi calon mempelai wanita.
66

JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008
Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang akan diteliti dan dibahas
adalah: bagaimana pandangan hukum Islam (fikih) tradisional tentang pembatasan usia kawin
dan keharusan adanya persetujuan calon mempelai; bagaimana pula kedua hal tersebut diatur
dalam kompilasi hukum Islam di Indonesia dan pandangan pakar hukum Islam (fikih)
kontemporer, kemudian bagaimana pula kedua hal tersebut diatur dalam peraturan perundangundangan negara-negara muslim lainnya didunia. Bertitik tolak dari permasalahan tersebut,
maka tujuan yang akan dicapai adalah: untuk mengetahui pandangan para ahli hukum Islam
(fikih) tentang ada atau tidaknya pembatasan usia kawin dan keharusan persetujuan calon
mempelai; untuk mengetahui pandangan para ahli hukum Islam (fikih) kontemporer dan
kompilasi hukum Islam di Indonesia tentang kedua hal tersebut diatas; disamping itu ingin
mengetahui kedua hal tersebut diatur dalam peraturan perundang-undangan negara-negara
muslim lainnya didunia.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif yang mengacu
pada pendekatan asas-asas hukum dan norma-norma hukum yang terdapat dalam kitab-kitab
fikih tradisional dan kontemporer, kompilasi hukum Islam di Indonesia serta berbagai
peraturan perundang-undangan dinegara muslim lain didunia. Disamping itu, penelitian ini
bersifat deskriptif, yang bertujuan untuk menggambarkan para ahli hukum Islam (fikih)

tradisional, kontemporer, KHI, dan peraturan perundang-undangan negara-negara muslim lain
didunia tentang ada atau tidaknya pembatasan usia kawin dan persyaratan persetujuan calon
mempelai. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah menggunakan teknik penelitian
kepustakaan (library research), dan alat pengumpul data yang digunakan adalah studi dokumen
dengan menelusuri, membaca dan mempelajari berbagai konsep, teori dan doktrin (pendapat)
para ahli, baik yang tradisional maupun kontemporer, serta peraturan perundang-undangan
yang ada di Indonesia dan negara-negara muslim lainnya.
HASIL PENELITIAN
Batasan Usia Perkawinan dalam Konsep Fikih Tradisional
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka dalam konsep fikih tradisional terdapat
beberapa pandangan, yang dapat di lihat pada skema di bawah ini, sebagai berikut:
Usia Calon Mempelai Wanita

Seorang anak gadis yang masih di bawah umur

Seorang gadis yang telah mencapai usia dewasa

Pandangan Mazhab
Keseluruhan mazhab berpandangan kebolehan
berlakunya hak paksa (ijbar) dari seorang ayah

atau kakek untuk menikahkan anak gadisnya yang
berusia di bawah umur dan berada di bawah
perwaliannya.
Setelah mencapai usia dewasa, gadis tersebut
mempunyai hak untuk membatalkan perkawinan
(fasakh) jika ia dinikahkan oleh wali yang bukan
wali mujbir.
Menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali:
Seorang wanita dewasa tetap harus dinikahkan
oleh wali
Menurut Hanafi:
Seorang wanita dewasa boleh menikahkan dirinya
sendiri tanpa wali dengan syarat suami harus
sekufu dalam hal latar belakang, keluarga, agama
dan taraf hidup.

67

Ramlan Yusuf Rangkuti: Pembatasan Usia Kawin dan Persetujuan Calon Mempelai...


Dalam hal usia untuk menikah dan persetujuan dari si gadis untuk dinikahkan ini,
Imam Syafi’i mengklasifikasikan wanita kedalam 3 (tiga) kelompok, yaitu: (a) Gadis yang
belum dewasa yaitu yang belum berusia 15 tahun atau belum mendapat haid. Maka dalam hal
ini, seorang bapak boleh menikahkan anaknya tanpa izinnya terlebih dahulu dengan syarat
perkawinan itu tetap harus memberikan keuntungan dan tidak merugikan si anak. Dan kelak
jika ia dewasa, maka ada haknya untuk memilih (khiyar). (b) Gadis dewasa adalah yang telah
berusia 15 tahun ataupun yang telah mendapat haid. Dalam hal ini, ada hak berimbang antar
bapak dengan si gadis.Walaupun persetujuan yang diberikan si gadis sifatnya lebih merupakan
pilihan (ikhtiyar) bukan suatu keharusan (fard). Dengan demikian hukumnya hanya sunnah
bukan wajib. Hal ini sesuai dengan HR yang bersumber dari Ibn’ Abbas yang mengkisahkan
tindakan Rasulullah Saw yang memisahkan perkawinan putri dari Usman bin Maz’un yang
dikawinkan oleh Abdullah bin Umar (saudara sepupu sebagai wali), setelah ibu si gadis
mengadukan pada Rasulullah Saw bahwa anaknya tidak menyetujui perkawinan tersebut. (c)
Janda; Dalam perkawinan seorang janda sangat diperlukan persetujuan dari dirinya secara
tegas, sehingga seorang wali yang menikahkan janda dengan laki-laki yang tidak disetujuinya,
maka dapat dibatalkan perkawinan tersebut. Oleh sebab itu, dalam perkawinan janda tidak ada
yang berhak untuk mencegah, termasuk oleh kakek ataupun ayah.
Batasan Usia Perkawinan dalam KHI dan Pandangan Pakar Hukum Islam Kontemporer
Dari sudut pandang yang berbeda dari pandangan ahli-ahli fikih tradisional, maka
dalam pandangan pakar Hukum Islam yang kontemporer perlu adanya terobosan dan

perubahan sehubungan dengan permasalahan usia untuk menikah dan juga persetujuan dari
calon mempelai. Kelompok kontemporer beranggapan bahwa kelompok tradisional terlalu
kaku dalam menafsirkan ayat-ayat dalam al Qur’an dan juga pada praktik Rasulullah Saw saat
dirinya menikahi Siti Aisyah ra yang masih berusia 7 tahun. Oleh sebab itulah, kaum
tradisional memperkenankan perkawinan anak-anak di bawah umur dengan berdasarkan
pemahaman yang kaku dan rigid. Kaum kontemporer berupaya untuk melakukan pemahaman
yang lebih fleksibel terhadap ayat-ayat dalam Al Qur’an dan Al Hadist.
Melalui ketentuan QS an-Nisa: 3 dan 19, Riffat Hassan mengemukakan
pandangannya tentang dasar larangan adanya perkawinan paksa;
”Surat an- Nisa: 3 sebagai pernyataan agar laki-laki menikah dengan wanita pilihannya,
sedangkan an-Nisa: 19 menetapkan larangan perkawinan paksa walaupun secara tekstual
ayat ini berhubungan dengan larangan mewarisi wanita dengan jalan paksa. Oleh sebab
itu, dalam setiap pelaksanaan akad harus ada persetujuan dari wanita. Hal ini didasarkan
pada adanya praktek langsung dari Rasulullah Saw yang menolak perkawinan paksa
orangtua terhadap anak gadisnya, serta juga berdasarkan status akad nikah sebagai suatu
transaksi yang harus terpenuhi keabsahannya dengan terpenuhinya syarat-syarat subjek
hukum yang melakukan transaksi, antara lain dengan tidak melalui cara pemaksaan.”
(Nasution, 2002 : 200)
Asghar Ali Engineer juga memberikan pandangannya tentang Q.S an-Nisa:19 yaitu
bahwa persetujuan mempelai dalam perkawinan sangat diperlukan dan juga pentingnya izin

kaum kerabat dalam perkawinan sesuai dengan Q.S an-Nisa : 25. Selain itu berdasarkan Q.S
al- Baqarah:232 juga menekankan larangan untuk menghalang-halangi perempuan yang telah
ditolak untuk kawin lagi. (Engineer, 1994:42).
Berdasarkan pandangan al-Haddad, konsep khiyar atau pemberian hak pilih bagi
seorang gadis saat ia dewasa untuk tetap meneruskan perkawinan atau bercerai yang
dikemukakan kaum tradisional menunjukkan pemberian kebebasan kepada wanita untuk
memilih pasangan hidupnya tidak dengan sepenuhnya. Al- Haddad memandang praktek
perkawinan yang dilakukannya seorang wanita pada masa itu merupakan pemenuhan keinginan
dan kepentingan wali dan calon suami serta kerap terjadi wali menyalahgunakan
68

JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008
kewenangannya demi kepentingan pribadi tanpa mendorong si wanita untuk mempunyai
pasangan sesuai dengan pilihannya yang berdasarkan rasa cinta dan kasih sayang. Oleh sebab
itulah, praktek perkawinan seperti ini pada dasarnya sangat bertentangan dengan ketentuan Q.S
an-Nisa:19. (Al-Haddad, 1993 : 63)
Pandangan serta gagasan kaum kontemporer dalam hal batasan usia perkawinan dan
juga persetujuan calon mempelai wanita ini juga mempengaruhi padangan dan sikap pakarpakar di Indonesia, antara lain Quraish Shihab, Ahmad Rafiq, Amir Syarifuddin dan lainnya.
Quraish Shihab mempunyai pandangan bahwa ketentuan dalam Q.S al Baqarah:232
itu mengandung arti bahwa adanya suatu larangan bagi seorang wali nikah untuk melakukan

suatu pernikahan atau akad apabila terhadap dirinya tidak mempunyai hak kewalian. Dengan
demikian, ada suatu larangan bagi seorang wali yang berupaya untuk menghalang-halangi
wanita yang berada di bawah perwaliannya untuk menikah dengan laki-laki lain (idaman dari si
wali) yang bertujuan untuk menunjukkan akan pentingnya peran wali dalam suatu perkawinan.
Selain itu, Quraish Shihab menyoroti pula pandangan Abu Hanifah dalam memahami
Q.S. al Baqarah:234 bahwa wanita boleh menikahkan dirinya tanpa wali atau dengan kata lain
ayat ini merupakan ayat yang memberi kebebasan vagi wanita untuk melakukan apa saja.
Menurut Quraish, hal-hal yang disampaikan oleh kelompok Abu hanifah dengan mendalilkan
kebolehan wanita menikahkan diri sendiri tanpa wali melalui redaksi yang terdapat pada ayat
ini adalah tidak dapat dibenarkan karena hak kebolehan menikahkan diri sendiri yang diatur
dalam ayat ini adalah hak kebolehan yang dimiliki dalam konteks wanita yang sudah berstatus
janda tidak pada seorang gadis. Dan menurutnya lagi, sejalan dengan apa yang telah diatur
dalam Q.S an-Nisa’: 25 adalah merupakan suatu tindakan yang baik dan amat bijak untuk tetap
menghadirkan seorang wali baik bagi perkawinan seorang gadis maupun janda, tidak lain
untuk maksud dan tujuan yang baik yaitu menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan
pada saat perkawinan atau akad dilakukan, sehingga masih ada orang (dalam hal ini wali) yang
dapat menjadi sandaran atau rujukan jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan.(Shihab,
1996:203)
Menurut Amir Syarifuddin, merujuk pada ketentuan Q.S an- Nisa’:6, yang artinya:
” Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin”.

Ayat ini merupakan ketentuan yang telah mengatur dan menetapkan batas usia kawin. Katakata ” balagu an-nikah” yang diartikan dewasa, selama ini pemahamannya hanya dalam
konteks batas waktu untuk memberikan harta anak yatim yang sebelumnya dikuasai oleh wali,
padahal kata-kata ini dapat dinyatakan untuk menentukan batas waktu kepantasan untuk
kawin.(Syarifuddin, 1990:114)
Menurut Djatnika, langkah penentuan usia kawin didasarkan pada metode maslahah
mursalah, namun demikain karena sifatnya yang ijtihad, tentu kebenarannya relatif dan tidak
kaku. Artinya karena kondisi tertentu, calon mempelai yang masih di bawah usia 21 tahun
dapat meminta dispensasi pada pengadilan.(Djatnika, 1991:254)
Ahmad Rafiq menyatakan bahwa meskipun penentuan batas umur sifatnya
ijtihadiyah, namun dalam hal ini Q.S an-Nisa’: 9, yang artinya:
”..dan hendaklah takut kepada Allah, orang-orang yang seandainya meninggalkan di
belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir kesejahteraan mereka..”
Ayat ini menurut beliau dapat dijadikan sebagai suatu bentuk amanat untuk tidak
meninggalkan suatu generasi yang akan datang dalam keadaan lemah dan dikhawatirkan
kesejahteraannya. Makna dari ayat ini tidak lain bentuk reformasi atas ketentuan ayat yang
disesuaikan dengan tuntutan kehidupan sekarang tanpa mengurangi prinsip dan tujuan
syar’inya.(Rafiq, 1995 : 78)
Oleh karena dalam perkembangan hukum perkawinan di Indonesia khususnya bagi
umat Islam, melalui Pasal 15 KHI telah ditetapkan batasan usia kawin bagi calon mempelai
yaitu sekurang-kurangnya 19 tahun bagi calon suami dan 16 tahun bagi calon istri. Namun

ketentuan ini diperkuat dengan adanya ketentuan harus adanya izin dari orangtua atau wali
69

Ramlan Yusuf Rangkuti: Pembatasan Usia Kawin dan Persetujuan Calon Mempelai...

yang memelihara jika tidak ada orangtuan, jika memang terjadi perkawinan yang berlangsung
di bawah usia 21 tahun ini. Apabila tidak mendapat persetujuan dari orangtua atau pun wali,
maka dapat dimintakan persetujuan melalui Pengadilan. Dalam hal ini dapat dibuat suatu
skema, sebagai berikut:
Pemberi izin
Wali
(jika tidak ada orangtua
atau orangtua tidak
cakap/mampu)

Usia Calon Mempelai
Orangtua
Suami 19 tahun
Istri 16 tahun
Suami < 19 thn

Istri < 16 tahun

Pengadilan













Selain itu KHI dalam Pasal 16 juga menerapkan suatu aturan bahwa dalam
melangsungkan perkawinan tidak hanya perlu memandang izin dari orangtua akan tetapi
substansi yang paling penting adalah harus adanya persetujuan dari calon mempelai sendiri.
Jika perkawinan tidak disetujui oleh calon mempelai, maka akad nikah tidak dapat
dilangsungkan dan perkawinan yang dilakukan dengan paksa dapat dibatalkan. Konsep ini
tidak lain merupakan konsep yang menentang hak ijbar yang dimiliki seorang wali (ayah atau
kakek) yang selama ini dipegang teguh dalam konsesp fikih syafi’i.
Adapun bentuk persetujuan calon mempelai dapat dibuat dalam bentuk pernyataan
tegas dan jelas baik lisan maupun tulisan atau dengan isyarat. Dan proses untuk mengetahui
adanya persetujuan atau tidak dari calon mempelai ini harus telah dilakukan sebelum
pelaksanaan akad nikah.
Batasan Usia Kawin dan Persetujuan Kedua Calon Mempelai dalam Perundangundangan Negara-Negara Muslim Lainnya
Taher Mahmood dalam bukunya mencatat perbandingan batasan usia kawin bagi
calon mempelai pria dan wanita dibeberapa negara muslim di dunia (Mahmood, 1987 : 270),
sebagai berikut:
Negara
Aljazair
Bangladesh
Mesir
Indonesia
Irak
Jordania
Libanon
Libya
Malaysia
Maroko
Yaman Utara
Yaman Selatan
Pakistan
Somalia
Suriah
Tunisia
Turki

Usia Laki-laki (tahun)
21
21
18
19
18
16
18
18
18
18
15
18
18
18
18
19
17
70

Usia wanita (tahun)
18
18
16
16
18
15
17
16
16
15
15
16
16
18
17
17
15

JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008
Selain itu terdapat pula perbandingan lain tentang batas usia kawin dan persetujuan
calon mempelai di beberapa negara, sebagai berikut dalam skema:
Ketentuan
Batas Usia Kawin
Persetujuan Calon Mempelai
Irak
18 tahun (pria dan wanita) Wajib dan menghukum pihak yang memaksakan
orang lain untuk menikah
Syria
18 tahun (pria) dan 17
a. Dibutuhkan apabila wali selain bapak atau kakek;
tahun (wanita)
b. Wanita dewasa dapat menikahkan diri sendiri
tanpa persetujuan wali apabila pernikahan sekufu;
c. Jika tidak perkawinan sekufu, maka wali berhak
membatalkan perkawinan kecuali si wanita dalam
keadaan hamil.
Aljazair
21 tahun (pria) dan 18
a. Harus ada persetujuan calon mempelai;
tahun (wanita)
b. Tidak ada hak ijbar;
c. Harus ada wali dan wali tidak boleh menolak
menjadi wali tanpa alasan yang dibenarkan
hukum
Tunisia
19 tahun (pria) dan 17
Harus ada persetujuan calon mempelai dan tidak
tahun (wanita)
harus ada wali
Maroko
18 tahun (pria) dan 15
a. Ada wali dan persetujuan;
tahun (wanita)
b. Melarang nikah paksa;
c. Ada hak ijbar jika ada kekhawatiran perkawinan
anak akan menimbulkan kesengsaraan.
Singapura
a. Bukan keharusan, hanya sebatas anjuran;
b. Harus ada wali dan mengakui hak ijbar
Malaysia 18 tahun (pria) dan 16
a. Secara umum negara bagian Malaysia
tahun (wanita)
menghendaki adanya persetujuan calon mempelai
kecuali Trengganu;
b. Hak ijbar diakui di Kelantan dalam perkawinan
sekufu;
c. Tidak boleh ada kawin paksa karena dapat
dihukum;
d. Harus ada wali
Yordania
a. Gadis:
1. Harus izin wali nasab (ayah dan kakek) dalam
anak gadis yang telah berusia 18 tahun dan dalam
perkawinan sekufu;
2. Wali selain ayah dan kakek, hanya dapat
memberi izin jika si gadis sudah berusia 15 tahun
b. Janda:
1. Untuk yang telah berusia 18 tahun, tidak butuh
izin wali;
2. Tidak terlalu dibutuhkan keharusan persetujuan
mempelai atau tidak.
3. Tidak ada ketegasan masih berlaku hak ijbar atau
tidak
Negara

71

Ramlan Yusuf Rangkuti: Pembatasan Usia Kawin dan Persetujuan Calon Mempelai...

Dari aturan-aturan yang ada dalam perundang-undangan mengenai batas usia kawin
dan pesetujuan calon mempelai di negara-negara Islam, dapat disimpulkan bahwa: a.
Perundang-undangan di Maroko, Aljazair, Libya, Sudan mengharuskan adanya persetujuan
mempelai; b.Di negara Maroko dan Singapura masih mengakui hak ijbar seorang wali; c. Di
Irak ada terdapat hukuman bagi pihak-pihak yang memaksakan perkawinan. d.Mayoritas
negara Islam, mengharuskan adanya wali nikah dan izin wali dalam akad nikah, bahkan
kedudukan wali nikah masih dipandang sebagai rukun atau syarat nikah kecuali di Tunisia. e.
Syarat sekufu masih mendominasi negara- negara Islam di Timur Tengah untuk kebolehan
seorang wanita dewasa menikah tanpa persetujuan wali nasab.
KESIMPULAN
Dari keseluruhan uraian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pembatasan
usia kawin tidak dikenal dalam kajian fikih tradisional, oleh sebab itu sah suatu perkawinan
anak kecil yang belum dewasa. Persetujuan gadis yang sudah dewasa tidak merupakan
keharusan dalam akad nikah kecuali dari pandangan Abu hanifah yang menyebutkan wanita
dewasa boleh menikahkan dirinya sendiri asalkan dengan suami sekufu.
Sementara itu, dalam pandangan ulama kontemporer dan juga dalam KHI serta
mayoritas negara-negara Muslim di dunia menetepkan batas usia kawin dan keharusan adanya
persetujuan kedua calon mempelai serta menghapuskan hak ijbar dalam perkawinan dengan
variasi dari negara masing-masing.
Oleh sebab itu, secara umum telah ada pembaharuan terhadap konsep-konsep yang
sebelumnya ada dalam fikih tradisional antara lain dalam hal penetapan batas usia kawin dan
persetujuan dari calon mempelai, dimana dalam hal ini pembaharuan lebih bersifat
administratif artinya aturan ini bersifat prosedural sesuai dengan tuntutan zaman modern tetap
tidak merubah substansinya. Sementara itu, kebebasan wanita menentukan perkawinan dengan
laki-laki pilihannya dapat terlihat dengan adanya hak untuk memberi persetujuan dan
penghilangan hak ijbar yang dimiliki oleh seorang ayah dan juga kakek.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Haddad, Tharir, 1993, Wanita dalam Syariat dan Masyarakat, Pustaka Firdaus, Jakarta.
Djatnika, Rahmat, 1991, ”Sosialisasi Hukum Islam” Dalam Abdurrahman Wahid, (et.al.)
Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, Rosda Karya, Bandung.
Engineer, Asghar Ali, 1994, Hak-hak Perempuan dalam Islam, LSPPA & CUSO, Yogyakarta.
Nasution, Khoiruddin, 2002, Status Wanita di Asia Tenggara, INIS, Jakarta.
Mahmood, Thahir, 1987, Personal Law ini Islamic Countries, Academy of Law and Religion,
New Delhi.
Rafiq, Ahmad, 1995, Hukum Islam di Indonesia, PT. Rajawali Pers, Jakarta
Shihab, M. Quraish, 1996, Wawasan Al Qur’an, Mizan, Bandung.
Syarifuddin, Amir, 1990, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Angkasa Raya, Padan

72