Hukum Kawin Lari dalam perspektif adat s

Sejarah Suku Bugis
Sulawesi Selatan adalah tempat asal dari suku Bugis yang dapat dilihat dari bahasa dan adat
istiadatnya. Hal ini bermula sejak abad ke-15 yang mana banyak perantau dari Melayu dan
Minangkabau yang datang ke Gowa dan mengalami akulturasi budaya. Mereka inilah yang
kemudian disebut sebagai suku Bugis.
Meskipun begitu, pada dasarnya mereka adalah kaum perantau, mewarisi sifat dari suku induknya,
yakni Melayu dan Minangkabau. Hal ini membuat suku Bugis tersebar di berbagai wilayah di
Nusantara, seperti di Kalimantan Timur dan Selatan, Sulawesi Tengah dan Tenggara serta Papua.
Bahkan saat ini suku Bugis ada pula yang merantau jauh hingga ke luar negeri, yakni Malaysia,
Singapura dan Filipina.
Sejarah suku Bugis ada kaitannya dengan sejarah orang Melayu yang masuk ke Nusantara setelah
migrasi pertama 3500 tahun lalu dari Yunan, China Selatan. Mereka ini termasuk dalam suku
Melayu Deutero atau muda yang berasal dari ras Malayan Mongoloid. Asal usul kata “Bugis”
adalah To Ugi yang merujuk pada pimpinan kerajaan Cina pertama yang ada di Pammana yang
saat ini menjadi kabupaten Wajo yang bernama La Sattumpugi. Mereka yang berada dibawah
pemerintahan raja ini menyebut dirinya sebagai To Ugi yang artinya adalah pengikut raja La
Sattumpugi.
Berkembangnya adat istiadat suku Bugis ini lalu mengarah pada munculnya banyak kerajaan
seperti Bone, Luwu, Wajo, Soppeng, Sinjai, Barru dan masih banyak yang lainnya. Saat ini semua
kerajaan-kerajaan tersebut menjadi kabupaten, dimana orang Bugis adalah penduduk mayoritas.
Suku Bugis dengan adat istiadatnya yang unik

Pada tahun 1512 hingga 1515, ada sekitar lima puluh kerajaan yang mayoritas penduduknya
menyembah berhala atau menganut animisme-dinamisme. Anda dapat melihat hal ini dengan tata
cara penguburan pada orang Bugis.Saat itu mereka masih menguburkan orang mati dengan tata
cara jaman pra sejarah, yakni dengan mengarah ke timur dan barat serta diberikan bekal seperti
mangkuk, tempayan, tiram dan barang buatan China serta benda berharga lainnya. Bahkan untuk
para bangsawan dan tokoh terkemuka pada wajahnya diberikan penutup muka yang terbuat dari
emas atau perak.
Ada tiga hal yang bisa memberikan gambaran tentang budaya orang bugis, yaitu konsep ade, siri,
na pesse dan simbolisme orang bugis adalah sarung sutra.
Mari kita bahas tentang ketiga konsep tadi, yang pertama adalah konsep Adat Istiadat Suku
Bugis.
Ade dalam bahasa Indonesia yaitu adat istiadat. Bagi masyarakat bugis, ada empat jenis adat yaitu
:
1.
2.

Ade maraja, yang dipakai dikalangan Raja atau para pemimpin.
Ade puraonro, yaitu adat yang sudah dipakai sejak lama di masyarakat secara turun
temurun,
3.

Ade assamaturukeng, peraturan yang ditentukan melalui kesepakatan.
4.
Ade abiasang, adat yang dipakai dari dulu sampai sekarang dan sudah diterapkan dalam
masyarakat.

Menurut Lontara Bugis, terdapat lima prinsip dasar dari ade yaitu ade, bicara, rapang, wari, dan
sara. Konsep ini lebih dikenal sebagai pangngadereng. Ade merupakan manifestasi sikap yang
fleksibel terhadap berbagai jenis peraturan dalam masyarakat. Rapang lebih merujuk pada model
tingkah laku yang baik yang hendaknya diikuti oleh masyarakat. Sedangkan wari adalah aturan
mengenai keturunan dan hirarki masyarakat sara yaitu aturan hukum Islam. Sirimemberikan
prinsip yang tegas bagi tingkah laku orang bugis.
Menurut Pepatah orang bugis, hanya orang yang punya siri yang dianggap sebagai manusia.
Naia tau de’e sirina, de lainna olokolo’e. Siri’ e mitu tariaseng tau. Artinya Barang siapa yang
tidak punya siri, maka dia bukanlah siapa-siapa, melainkan hanya seekor binatang.
Namun saat ini adat istiadat tersebut sudah tidak dilakukan lagi dikarenakan pengaruh budaya
Islam yang masuk sejak tahun 1600-an. Mengenai adat istiadat suku Bugis pada jaman Islam
akan kami bahas di lain waktu.
a.

Makasar.

Ter Haar mengemukakan dalam bukunya asas-asas hukum adat sebagai berikut:
“Walaupun urusan keluarga, urusan kerabat dan urusan masyarakat, namun perkawinan itu
senantiasa tetap urusan hidup perseorangan, juga dari pada pihak-pihak perseorangan yang
kebetulan bersangkutan dengan itu, urusan yang diinginkan atau yang disegankan.”[1]

Apa yang dikemukakan di atas dapat dijumpai dengan nyata dalam
perkawinan annyala.Annyala berarti berbuat salah, dalam hal ini berbuat salah terhadap adat
perkawinan yang diwujudkan dengan kawin lari.[2] Dengan peristiwa ini maka timbullah
ketegangan dalam masyarakat, terutama keluarga gadis yang lari atau dibawa lari. Pihak
keluarga gadis menderita Sirik sehingga tu-masirik berkewajiban appaenteng sirik keluarganya
dengan membunuh lelaki yang melarikan gadisnya, kecuali bila lelaki tadi telah berada dalam
rumah atau pekarangan anggota adat atau pemuka masyarakat atau setidak-tidaknya telah
sempat membuang penutup kepalanya ke dalam pekarangan rumah anggota adat tersebut yang
berarti ia sudah ada dalam perlindungan, maka ia tak dapat diganggu lagi. Begitu pula kalau ia
sedang bekerja di kebun, di ladang atau di sawahnya.
Sebab umum daripada peristiwa annyala ialah karena yang bersangkutan tidak dapat
melakukan syarat-syarat terlaksananya perkawinan adat. Dan adapun jalan keluarnya ialah
berusaha melakukan perkawinan di luar tata cara perkawinan adat dengan jalan annyala.
Bila tu-mannyala tadi telah berada di rumah salah satu pemuka masyarakat – dalam hal ini
imam atau kadhi – maka menjadi kewajiban baginya untuk segera menikahkan tu-manyala.

Sebagai langkah pertama dihubungilah orang tua gadis (tu-masirik) untuk diminta
persetujuannya agar anak gadisnya dapat dikawinkan. Tetapi biasanya orang tua tak dapat
memberi jawaban apalagi bertindak sebagai wali. Karena merasa antara ia dengan anak
gadisnya tak ada hubungan lagi yang disebut dengan mimateami (dianggap telah mati). Sebab
itu tak ada jalan lain lagi bagi imam atau kadhi kecuali mengawinkan tu-mannyala tadi, dalam
hal ini ia sendiri bertindak sebagai wali yang disebut dengan wali hakim.

Selanjutnya setelah imam atau kadhi mengawinkan tu-mannyala tadi bukanlah berarti bahwa
ketegangan dalam masyarakat telah pulih karena peristiwa adatnya belum selesai. Timbullah
pertanyaan tentang prosedur apa yang harus dilalui tu-mannyala agar ketegangan dengan
keluarga berakhir dan dia diterima sebagai keluarga yang sah dalam adat.
Hubungan antara tu-masirik dengan tu-mannyala sebagi tu-appakasarik tetap tegang, dan
dendam tu-masirik akan terus berlangsung selama tu-mannyala belum abbajik (berdamai).[3]
Dalam hal ini annyala ada beberapa macam;
1.
Silariang; berarti sama-sama lari, atau si lelaki membawa lari gadis untuk dinikahi[4].
Terjadinya adalah karena kehendak bersama setelah mengadakan mufakat secara rahasia,
kemudian menetapkan waktu untuk bersama menuju rumah penghulu adat (imam atau kadhi)
meminta perlindungan dan selanjutnya untuk dinikahkan.
a.


Adapun sebab-sebab khusus terjadinya sialariang ialah:
Karena si gadis telah mempunyai tambatan hati dengan seorang lelaki, lalu ia akan
dikawinankan dengan seseorang yang tidak dicintainya yang merupakan suatu paksaan
baginya.

b.

Keduanya telah saling cinta-mencintai akan tetapi si lelaki tidak mampu untuk
melaksanakan tuntutan pihak keluarga gadis dalam hal belanja perkawinan, yang ditentukan
oleh keluarga si gadis terlalu tinggi.[5]

c.

Karena perbedaan tingkatan atau derajat keduanya telah saling cinta-mencintai, menyadari
bahwa walaupun sang pemuda akan melamar tetapi lamarannya pasti tak akan diterima juga.
b. Nilariang; berarti dilarikan. Dimana si lelaki secara paksa membawa si gadis ke rumah
penghulu adat (imam atau kadhi) meminta perlindungan untuk dinikahkan.[6]

a.


b.

Sebab-sebab khusus terjadinya nilariang ialah:
Pinangan ditolak oleh pihak keluarga perempuan sedang mereka dalam
hubungan siratang. Penolakan pinangan dianggap sebagai suatu penghinaan besar bagi yang
meminang, sehingga si lelaki nekad dan memperlihatkan kekuatannya untuk dapat menutupi
aib yang terjadi pada keluarganya.
Penghinaan langsung dari gadis yang bersangkutan, misalnya si gadis meludah tanda benci
sewaktu dipandang oleh si lelaki.
c. Erangkale; artinya membawa lari. Perkawinan terjadi karena perempuan itu sendiri
datang pada pihak lelaki untuk minta dikawini atau ke rumah penghulu adat untuk
meminta dikawinkan dengan lelaki tertentu yang dipilihnya.[7]

a.

b.

Sebab-sebab khusus terjadinya erangkale:
Karena pangngisengang (guna-guna), hal ini biasa terjadi bila pemuda itu dihina baik oleh

gadis itu sendiri maupun oleh keluarga gadis itu dan pemuda atau laki-laki itu tak dapat
melarikan gadis itu secara paksa, maka ia melakukannya secara ghaib
dengan pangngisengang.
Karena si gadis telah mengadakan hubungan rahasia sehingga ia hamil atau dituduh
mengadakan hubungan gelap dengan seorang lelaki, sehingga tak ada jalan lain baginya
kecuali mendatangi si lelaki tadi untuk dikawini.

c.

Menghindari kawin paksa, sehingga si gadis mendatangi pemuda idamannya untuk minta
dikawini.

Dengan uraian di atas jelaslah alasan-alasan yang menyebabkan terjadinya annyala yang
merupakan suatu masalah yang menimbulkan ketegangan di dalam masyarakat. Tiap tumannyala mempunyai niat kembali appala bajik agar ia dapat hidup tidak tersisih dari keluarganya
untuk selama- lamanya.
Oleh karena itu bila si tu-mannyala mampu dan berkesempatan untuk abbajik (berdamai) ia
lalu minta bantuan kepada penghulu adat tempat ia meminta perlindungan dahulu. Lalu
diutuslah seorang untuk menyampaikan maksud appala bajik kepada keluarga si gadis (tumasirik) atau kepada penghulu kampung tempat tu-masirik yang selanjutnya menghubungi
keluarga tu-masirik agar berkenan menerima kembali tumatetallasa’na (orang mati yang
masih hidup).

Dalam hubungan ini keluarga tu-masirik menyampaikan pada seluruh sanak keluarganya
tentang maksud kedatangan tu-mannyala appala bajik orang bersalah yang meminta berbaikan
atau meminta damai. Bila seluruh keluarga berkenan menerima kembali tu-mannyala tersebut,
maka hal ini lalu disampaikan kepada yang mengurus, selanjutnya pada pihak tu-mannyala.
Kemudian tu-mannyala dengan keluarganya mengadakan persiapan yang diperlukan dalam
upacara abbajik tersebut.
Pada waktu yang telah ditentukan, tu-mannyala datanglah dengan keluarga yang mengiringnya
ke rumah salah seorang tu-masirik dimana acara akan dilaksanakan. Sementara itu
keluarga tu-masirik telah pula hadir. Dengan upacara penyerahan kampu dari pihak tumannyala atau tu-mappakasarik yang diterima oleh tumasirik maka berakhirlah dendam dan
ketegangan selama ini. Tu-mannyala tadi diterima sebagai keluarga yang sah menurut adat,
lalu ia meminta maaf kepada seluruh yang hadir dalam upacara itu dan kemudian berkunjung
ke rumah keluarga dengan membawa persembahan ala kadarnya.
b. Bugis.
Kawin lari biasanya terjadi karena keluarga pihak perempuan menolak pinangan pihak lakilaki. Tolakan pinangan ini biasa terjadi karena keluarga pihak perempuan memandang calon
suami anaknya itu tidak sesuai untuk anaknya karena berbagai kemungkinan, antara lain:
1.
Laki-laki berasal dari keturunan lapisan masyarakat yang dianggap lebih rendah.
2.
3.
4.


Laki-laki itu dianggap kurang dalam kesopanan, adat istiadat dan sebagainya.
Anak perempuan sudah ripasitaro (dipertunangkan) dengan seorang jejaka lain pilihan
orang tuanya (kemungkinan kerabatnya sendiri).
Tingginya tuntutan belanja perkawinan dari pihak gadis.
Dalam bentuk perkawinan lain dikenal istilah Mallariang ialah membawa lari
gadis; Silariangialah jejaka dan gadis sepakat melarikan diri.
Kawin silariang atau mallariang ini
menimbulkan peristiwa sirik. Semua anggota kerabat pihak wanita yang dibawa lari itu
menjadi tu-masirik.
Sebagai tu-masirik, mereka merasa berkewajiban untuk membunuh lelaki yang melarikan anak
gadis mereka bila menemuinya,[8] selanjutnya sama dengan masyarakat Makasar; untuk

menghindari peristiwa tersebut harus melalui proses yang disebut denganMaddenceng, artinya
berbaik kembali (dalam bahasa Makasar disebut dengan abbaji).
c. Mandar.
Masyarakat Mandar mengenal juga perkawinan lari yang dalam bahasa Mandar disebut
dengan Si Tiang.
Si Tiang berasal dari kata si dan tiang, berarti membawa, mengangkat, malai atau maindong,
karna itu perkawinan si tiang boleh juga disebut Si Palayang atau Si Pamaindong.[9] Jadi,

pengertian kawin Si Tiang ialah bentuk perkawinan yang diadakan persetujuan bersama lakilaki dan perempuan lalu mengadakan lari bersama, tentu dengan perundingan secara rahasia
antara mereka sebelum mereka lari.
Perkawinan seperti ini sudah dikenal sejak dahulu kala. Sebab terjadinya perkawinan Si
Tiangadalah sebagai berikut:
1.
Karena setuju dengan pilihan orang tua.
2.

3.

Karena tidak mampu membayar “Passorong” dan biaya -biaya lainnya yang terlalu tinggi,
sedang antara gadis dan pemuda itu telah tertanam suatu cinta, bagi gadis tersebut, tiada lain
kecuali mengadakan kawin lari.
Karena perbedaan derajat dalam masyarakat.
Seperti halnya pada masyarakat Makasar dan Bugis, begitu pula pada masyarakat Mandar
dikenal adanya perasaan sirik. Maka pada pihak keluarga gadis terpanggil untuk menegakkan
kembali kehormatan keluarga dengan jalan membunuh pemuda yang melarikan anak gadis itu,
dimana saja ia berada. Kecuali bila pemuda tersebut telah berada dalam rumah seorang
anggota Adat, Raja, Imam, atau pemuka-pemuka masyarakat lainnya, dimana ia tidak dapat
diganggu. Apabila masih juga diganggu, maka yang mengganggu itu dianggap telah

melanggar adat. Barang-barang yang harus dibuang oleh pemuda itu ke pekarangan orangorang terhormat itu ialah barang yang dipakai oleh pemuda itu, seperti songkok, baju atau
sarungnya.
Yang termasuk Todipasiri – dalam masyarakat Makasar dan Bugis dikenal dengan tu-masirik –
akibat perbuatan kawin lari itu ialah seluruh keluarga pihak perempuan, juga orang lain bila
dianggap atau menganggap dirinya termasuk keluarga, karena bersahabat kental dengan wanita
itu, yang sudah biasa makan atau tidur di rumah pihak keluarga tersebut.