PERSPEKTIF KAWIN KONTRAK DALAM HUKUM ISL

PERSPEKTIF KAWIN KONTRAK DALAM HUKUM ISLAM DAN
HUKUM NASIONAL BERSERTA AKIBAT HUKUM YANG
DITIMBULKANNYA

Tugas Hukum Islam
Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Islam
Dosen Pengampuh Emi Zulaika S.H., M.H.
Kelas H
Oleh
YUSRIL FACHRIZAL (160710101031)

UNIVERSITAS JEMBER

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................. i
BAB I Pendahulian
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 1
1.3 Tujuan Masalah .............................................................................. 2
Bab II Tinjauan Pustaka................................................................................... 3

2.1 Pengertian dan Asas Perkawinan Menurut
Hukum Perdata................................................................................ 3
2.2 Perkawinan Dalam Komplikasi
Hukum Islam.................................................................................. 6
BAB III Pembahasan...................................................................................... 11
3.1 Definisi Nikah Mut’ah atau Kawin Kontrak.................................. 11
3.2 Syarat Kawin Kontrak dan Ciri Kontrak
Dalam Kawin Kontrak................................................................... 12
BAB IV Penutup.............................................................................................. 19
4.1 Kesimpulan.................................................................................... 19
4.2 Saran.............................................................................................. 19
Daftar Pustaka .................................................................................................. 20

Kata Pengantar
Setinggi puji sedalam syukur kehadirat Allah, karena semata atas berkat
dan karunia nya lah akhirnya salah satu tugas mata kuliah Hukum Islam telah
selesai.
Adapun makalah ini berisi tentang Perspektif Kawin Kontrak Dalam
Hukum Islam dan Hukum Nasional Beserta Akibat Hukum yang Ditimbulkannya.
Layaknya segala sesuatu yang ada di bumi ini, tidaklah ada yang sempurna.

Begitu juga kiranya dengan makalah ini, masih banyak memiliki kekurangan.
Untuk itu, segala saran dan kritik yang membangun sangat saya harapkan. Agar
dimasa yang akan datang saya bisa mempersembahkan yang lebih baik dan lebih
berguna untuk kita semua. Akan tetapi mudah-mudahan makalah in memberikan
manfaat untuk kita semua.

i

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menjalin hidup bersama antara seorang pria dan wanita mempunyai akibat
yang sangat penting dalam masyarakat, baik terhadap kedua belah pihak maupun
terhadap keturunannya serta anggota masyarakat lainnya. Oleh karena itu
dibutuhkan

suatu

peraturan


yang

mengatur

tentang

hidup

bersama

tersebut.Dengan demikian sejak dulu kala hubungan pria dan wanita dalam
perkawinan telah dikenal, walaupun dalam sistem yang beraneka ragam, mulai
dari yang bersifat sederhana sampai kepada masyarakat yang berbudaya tinggi,
baik yang pengaturannya melalui lembaga-lembaga masyarakat adat maupun
dengan peraturan perundangan yang dibentuk melalui lembaga kenegaraan serta
ketentuan-ketentuan yang digariskan agama.
Allah menetapkan adanya aturan tentang perkawinan bagi manusia dengan
aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar, manusia tidak boleh berbuat semaunya
seperti binatang, kawin dengan lawan jenis semaunya atau seperti tumbuhtumbuhan yang kawin dengan perantara angin. Allah telah memberikan batas
dengan peraturan-peraturannya,yaitu dengan syari’at yang terdapat dalam KitabNya dan Hadist Rasul-Nya dengan hukum-hukum perkawinan. Namun

kenyataannya dalam perkembangan masyarakat sekarang ini ada yang
menyalahgunakan perkawinan dengan melakukan nikah mut’ah/kawin kontrak.
Istilah Pelaksanaan kawin kontrak sangat bertentangan dengan UU No.1 Tahun
1974 tentang perkawinan, walaupun kawin kontrak tidak diatur secara khusus
karena kawin kontrak merupakan fenomena baru dalam masyarakat.
Dalam ajaran Islam, maksud utama dari pernikahan/perkawinan itu selain
sebagai ibadah adalah untuk membangun ikatan keluarga yang langgeng yang
dipenuhi dengan sinar kedamaian saling cinta dan saling kasih-sayang .Dengan
begitu, ikatan pernikahan yang tidak ditujukan untuk membangun rumah tangga
secara langgeng, tidaklah sesuai dengan tujuan ajaran Islam. Maka dari itu nikah
mut’ah atau kawin kontrak bertentangan dengan hukum nasional/hukum perdata
Indoensia dan juga Hukum Islam.

1

1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan nikah mut’ah atau kawin kontrak?
2. Bagaimana syarat kawin kontrak dan ciri kontrak dalam kawin kontrak?
3. Bagaimana perspektif kawin kontrak dalam hukum islam dan hukum
nasional/hukum perdata?

4. Bagaimana akibat hukum yang ditimbulkan dari kawin kontrak?
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan (definisi) nikah
mut’ah atau kawin kontrak.
2. Untuk mengetahui syarat dan ciri kontrak dalam kawin kontrak.
3. Untuk mengetahui perspektif (sudut pandang) kawin kontrak dalam
hukum islam dan hukum Indonesia/hukum perdata.
4. Untuk mengetahui akibat hukum dari kawin kontrak.

2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian dan Asas-Asas Perkawinan Menurut Hukum Perdata
KUHPerdata tidak memberikan pengertian mengenai perkawinan.
Perkawinan dalam hukum perdata adalah perkawinan perdata, maksudnya adalah
perkawinan hanya merupakan ikatan lahiriah antara pria dan wanita, unsur agama
tidak dilihat. Tujuan perkawinan tidak untuk memperoleh keturunan oleh karena
itu dimungkinkan perkawinan in ektrimis.Sebaliknya, Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin

antara pria dan wanita dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 bukan hanya ikatan lahiriah saja, tapi juga ada ikatan
batiniah, dimana ikatan ini didasarkan pada kepercayaan calon suami isteri.
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
A. Asas-asas perkawinan menurut KUHPerdata
1. Asas monogami. Asas ini bersifat absolut/mutlak, tidak dapat dilanggar.
2. Perkawinan adalah perkawinan perdata sehingga harus dilakukan di depan
pegawai catatan sipil.
3. Perkawinan merupakan persetujuan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan di bidang hukum keluarga.
4. Supaya perkawinan sah maka harus memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan undang-undang.
5. Perkawinan mempunyai akibat terhadap hak dan kewajiban suami dan
isteri.
6. Perkawinan menyebabkan pertalian darah.
7. Perkawinan mempunyai akibat di bidang kekayaan suami dan isteri itu.
B. Asas-asas perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
1. Asas Kesepakatan (Bab II Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974), yaitu

harus ada kata sepakat antara calon suami dan isteri.
2. Asas monogami (Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974). Pada asasnya,
seorang pria hanya boleh memiliki satu isteri dan seorang wanita hanya

3

boleh memiliki satu suami, namun ada perkecualian (Pasal 3 ayat (2) UU
No. 1 Tahun 1974), dengan syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 4-5.
3. Perkawinan bukan semata ikatan lahiriah melainkan juga batiniah.
4. Supaya sah perkawinan harus memenuhi syarat yang ditentukan undangundang (Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974).
5. Perkawinan mempunyai akibat terhadap pribadi suami dan isteri.
6. Perkawinan mempunyai akibat terhadap anak/keturunan dari perkawinan
tersebut.
7. Perkawinan mempunyai akibat terhadap harta suami dan isteri tersebut.
Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat baik terhadap suami
istri, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan.
A. Akibat Perkawinan Terhadap Suami istri
1. Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan rumah
tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30).
2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1)).
3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hokum (ayat 2).
4. Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.
5. Suami istri menentukan tempat kediaman mereka.
6. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling setia.
7. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu sesuai
dengan kemampuannya.
8. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
B. Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan
1. Timbul harta bawaan dan harta bersama.
2. Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap
harta bawaan untuk melakukan perbuatan hokum apapun.
3. Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan
hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36).
C. Akibat Perkawinan Terhadap Anak
1. Kedudukan anak

4




Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal 42)



Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja.

2. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak


Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai
anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45).



Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik.




Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis
keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan
anaknya (Pasal 46).

3. Kekuasaan orang tua


Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada di
bawah kekuasaan orang tua.



Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun
di luar pengadilan.



Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun
di luar pengadilan.




Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barangbarang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau
belum pernah kawin

4. Kekuasaan orang tua bisa dicabut oleh pengadilan apabila:


Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak



Ia berkelakuan buruk sekali

5. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, tetap berkewajiban untuk
memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya.Sedang yang dimaksud
dengan kekuasaan orang tua adalah: Kekuasaan yang dilakukan oleh ayah
dan ibu terhadap anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan.
Isi kekuasaan orang tua adalah:


Kewenangan atas anak-anak baik mengenai pribadi maupun harta
kekayaannya.

5



Kewenangan untuk mewakili anak terhadap segala perbuatan hokum di
dalam maupun di luar pengadilan.
Kekuasaan orang tua itu berlaku sejak kelahiran anak atau sejak hari

pengesahannya.
Kekuasaan orang tua berakhir apabila:


Anak itu dewasa



Anak itu kawin



Kekuasaan orang tua dicabut

2.2 Perkawinan Dalam Komplikasi Hukum Islam
Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
1. Dalam Kompilasi Hukum Islam, dasar-dasar perkawinan tertulis dalam Bab
II, yaitu:


Pasal 2 :
Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah



Pasal 3 :
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah.



Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai
dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.



Pasal 5
1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat.
2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai
Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22
Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

6



Pasal 6
1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah.
2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah
tidak mempunyai kekuatan Hukum.



Pasal 7

1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh
Pegawai Pencatat Nikah.
2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat
diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai
hal-hal yang berkenaan dengan:
o Adanya perkawinan dalam rabgka penyelesaian perceraian;
o Hilangnya Akta Nikah;
o Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;
o Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang
No.1 Tahun 1974 dan;
o Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974;
4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau istri,
anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan
perkawinan itu


Pasal 8
Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat
cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan
perceraian,ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak.



Pasal 9

1) Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang
dan sebagainya, dapat dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama.
2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dala ayat (1) tidak dapat diperoleh,
maka dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Agama.
7



Pasal 10
Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk
yanh dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

2. Syarat Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) s terdiri dari:


Pasal 14

Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
1) Calon Suami
2) Calon Istri;
3) Wali nikah;
4) Dua orang saksi dan;
5) Ijab dan Kabul.
3. Menurut Hukum Islam syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu
perkawinan dinyatakan sah adalah:


Syarat Umum
Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan larangan perkawinan dalam

Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat (221) tentang larangan perkawinan karena
perbedaan agama dengan pengecualiannya dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah
ayat (5) yaitu khusus laki-laki Islam boleh mengawini perempuan-perempuan,
Al-Qur’an surat An-Nisa ayat (22), (23) dan (24) tentang larangan perkawinan
karena hubungan darah, semenda dan saudara sesusuan.


Syarat Khusus
Adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan.Calon mempelai laki-laki

dan perempuan adalah suatu syarat mutlak (conditio sine qua non), absolut
karena tanpa calon mempelai laki-laki dan perempuan tentu tidak akan ada
perkawinan.

Calon

mempelai

ini

harus

bebas

dalam

menyatakan

persetujuannya tidak dipaksa oleh pihak lain. Hal ini menuntut konsekuensi
bahwa kedua calon mempelai harus sudah mampu untuk memberikan
persetujuan untuk mengikatkan diri dalam suatu perkawinan dan ini hanya
dapat dilakukan oleh orang yang sudah mampu berpikir, dewasa, akil baliqh.
Dengan dasar ini Islam menganut asas kedewasaan jasmani dan rohani dalam
melangsungkan perkawinan.

8

Harus ada wali nikah. Menurut Mazhab Syafi’i berdasarkan hadist Rasul
SAW yang diriwayatkanBukhari da n Muslim dari Siti Aisyah, Rasul SAW
pernah mengatakan tidak ada kawin tanpa wali. Hanafi dan Hambali
berpandangan walaupun nikah itu tidak pakai wali, nikahnya tetap sah.
4. Larangan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Didalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan dalam Pasal 39. Dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
disebabkan:
1) Karena pertalian nasab
o Dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya
atau keturunannya
o Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu
o Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.
2) Karena pertalian kerabat semenda:
o Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya;
o Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya;
o Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali
putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qobla al
dukhul
o Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya.
3) Karena pertalian sesusuan :
o Dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke
atas
o Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus
ke bawah;
o Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan
ke bawah;
o Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke
atas;
o Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.


Pasal 41 berisi:

9

1) Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seoarang wanita yang
mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan istrinya
2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun istri-istrinya telah
ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa iddah.


Pasal 42 tertera larangan sebagai berikut,
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita
apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang istri yang
keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah
talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali
perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.



Pasal 43 juga menyebutkan bahwa:

1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria:
o dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali.
o dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili`an.
2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas istri tadi telah
kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul
dan telah habis masa iddahnya.


Pasal 44 berisi larangan perkawinan beda agama.

Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria
yang tidak berag

10

BAB III
Pembahasan
3.1 Definisi Nikah Mut’ah atau Kawin kontrak
Nikah/ kawin di Indonesia adalah akad yang menjadikan halal pergaulan
antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim sehingga
menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya sedangkan nikah mut’ah
berasal dari kata tammatu’

yang berarti bersenang-senang atau menikmati.

Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita
dengan memberikan jumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini
akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah di tentukan tanpa kewajiban
memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara
keduanya meninggal sebelum berakhirnya masa nikah mut’ah itu. Nikah mut’ah
dalam istilah hukum biasa disebut “perkawinan untuk masa tertentu” , dalam arti
pada waktu akad dinyatakan ikatan berlaku perkawinan sampai masa tertentu
yang bisa masa itu telah datang, perkawinan itu terputus dengan sendirinya tanpa
melalui proses penceraian. Nikah mut’ah biasa disebut kawin kontrak.
Adapun nikah mut’ah/kawin kontrak di kalangan para ahli fikih (fuqaha’)
disebut juga nikah muaqqat (kawin sementara waktu) atau nikah inqitha’ (kawin
terputus). Oleh karena laki-laki yang mengawini wanita itu untuk jangka
tertentu: sehari, seminggu, atau sebulan sesuai dengan perjanjian. Disebut nikah
mut’ah, karena laki-laki bermaksud untuk bersenang-senang dengan wanita untuk
sementara waktu sampai batas yang ditentukan.
Sementara menurut Syi’ah Imamiyah, nikah mut’ah adalah apabila seorang
wanita menikahkan dirinya dengan laki-laki dalam keadaan tidak ada hambatan
apapun (pada diri wanita) yang membuatnya haram dinikahi, sesuai dengan aturan
hukum Islam. Hambatan tersebut baik berupa nasab, periparan, persusuan, ikatan
perkawinan dengan orang lain, iddah atau sebab lain yang merupakan hambatan
yang ditetapkan dalam agama. Wanita yang bebas dari hambatan-hambatan
tersebut dapat menikahkan dirinya kepada seorang laki-laki dengan mahar tertentu
sampai batas waktu yang telah ditentukan dan disetujui bersama dan dengan cara
akad nikah yang memenuhi seluruh persyaratan keabsahannya menurut syariat.

11

Kemudian setelah tercipta kesepakatan dan kerelaan antara keduanya, wanita
itu mengucapkan, ”Engkau kukawinkan,” atau ”Engkau kunikahkan,”atau
”Engkau kumut’ahkan atas diriku, dengan mas kawin sekian , selama sekian hari
(bulan atau tahun atau selama masa tertentu yang harus disebutkan dengan
pasti),”. Kemudian orang laki-laki tersebut harus segera berkata tanpa diselingi
ucapan apapun, ”Aku terima.”
3.2 Syarat Kawin Kontrak dan Ciri Kontrak Dalam Kawin Kontrak
3.2.1


Syarat Kawin Kontrak
Mahar : Mahar dalam kawin kontrak ini berupa harta benda yang akan
diberikan pada pihak perempuan dan hanya sebatas dalam isi perjanjian
kawin mut’ah tersebut



Waktu : Dalam kawin kontrak tidak ada batas minimal mengenai
kesepakatan waktu berlangsungnya mut'ah. Jadi boleh saja kawin kontrak
dalam jangka waktu satu hari, satu minggu, satu bulan bahkan untuk sekali
hubungan suami istri.



Perjanjian pernikahan : Perjanjian dalam kawin kontrak ini sangat
diperlukan karena dalam pernikahan kontrak ada kesepakatan tentang
jangka waktu tertentu dalam pernikahan tersebut, selain itu juga
kesepakatan tentang jumlah mahar yang harus diberikan kepada pihak
perempuan.

3.2.2


Ciri Kontrak Dalam Kawin Kontrak
Tidak ada talak : Dalam kawin kontrak tidak dikenal istilah talak, karena
seperti di atas telah diterangkan bahwa kawin kontrak bukanlah
pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam. Jika hubungan pernikahan
yang lazim dilakukan dalam Islam selesai dengan beberapa hal dan salah
satunya adalah talak, maka hubungan nikah mut'ah selesai dengan
berlalunya waktu yang telah disepakati bersama. Kesepakatan atas jangka
waktu mut'ah adalah salah satu rukun/elemen penting dalam mut'ah selain
kesepakatan atas mahar.

12



Jangka waktu : Dalam kawin kontrak tidak ada batas minimal mengenai
kesepakatan waktu berlangsungnya mut'ah. Jadi boleh kawin kontrak
dalam jangka waktu satu hari, satu minggu, satu bulan bahkan untuk sekali
hubungan suami istri.



Berkali-kali tanpa batas : Diperbolehkan kawin kontrak dengan seorang
wanita berkali-kali tanpa batas, tidak seperti pernikahan yang lazim, yang
mana jika seorang wanita telah ditalak tiga maka harus menikah dengan
laki-laki lain dulu sebelum dibolehkan menikah kembali dengan suami
pertama.



Wanita mut'ah diberi mahar sesuai jumlah hari yang disepakati :Wanita
yang dikawin kontrak mendapatkan bagian maharnya sesuai dengan hari
yang disepakati. Jika ternyata wanita itu pergi maka boleh menahan
maharnya

3.3 Perspektif Kawin Kontrak Dalam Hukum Islam dan Hukum Nasional
3.3.1

Perspektif Kawin Kontrak Dalam Hukum Islam
Dikalangan umat islam, sudah sejak lama dikenal kawin kontrak yaitu

dengan istilah nikah mut’ah. Diawal era islam kawin kontrak telah ada, adanya
kawin kontrak karena banyak orang-orang tidak berada dinegerinya atau ditempat
tinggalnya karena sedang dalam peperangan ditempat yang jauh dan dalam
perjalanan yang panjang. Pada saat itu masih banyak orang-orang yang
meninggalkan masa jahiliyah dan kekafiran, sehingga untuk menghentikan
mereka dari perbuatan keji dilakukan dengan cara bertahap. Dalam prinsip-prinsip
sebuah pernikahan, Nikah Mut'ah, sangat tidak sesuai dengan nikah yang telah
Allah swt syari'atkan. Dimana diketahui bahwa, kawin kontrak dibatasi oleh
waktu, dengan demikian, kawin kontrak berakhir dengan habisnya waktu yang
ditentukan dalam aqad atau faskh, sedangkan dalam syari'at, pernikahan berakhir
dengan talak atau meninggal dunia, dengan kata lain tidak dibatasi oleh waktu.
Selain dibatasi oleh waktu, kawin kontrak juga tidak membatasi jumlah
istri yang boleh dinikahi. Maka boleh bagi seorang peria menikah lebih dari empat
orang istri dan ini dapat dilakukan tanpa wali atau tampa persetujuan walinya, dan
dalam pernikahan ini tidak diperlukan saksi, pengumuman, perceraian, pewarisan

13

dan pemberian nafkah setelah selesainya waktu yang telah disepakati. Kecuali
sebelumnya telah terjadi kesepakatan atau apabila si perempuan itu hamil.
Bila ditinjau dari segi mudhoratnya (dampak negatif), kawin kontrak
merupakan bentuk pelecehan terhadap kaum wanita, merusak keharmonisan
keluarga, menelantarkan generasi yang dihasilkan dari pernikahan tersebut,
menimbulkan dan menyebarkan penyakit kelamin, meresahkan masyarakat, dan
karena tidak diwajibkan adanya wali dan saksi, bisa jadi seseorang
mengumpulkan antara dua bersaudara atau antara anak dan ibunya atau bibinya
dan tidak menutup kemungkinan, ia menikahi anaknya sendiri dari hasil
perkawinan kontrak yang dilakukan sebelumnya, bahkan bisa jadi ia
mengumpulkannya dengan ibunya karena ketidak tahuannya dan tidak adanya
orang yang mengetahuinya. Dengan demikian, jelaslah bagi kita sebab-sebab
diharamkannya kawin kontrak, selain tidak sesuai dengan misi diutusnya
Rasulullah SAW dan syari'at yang dibawanya, kawin kontrak juga memiliki
banyak mudhorat (dampak negatif), yang berdampak pada Agama, masyarakat
maupun akhlak, oleh karena itu, Rasulullah SAW mengharamkannya, karena
didalamnya terdapat berbagai macam kerusakan. Sedangkan di Indonesia sendiri
untuk mencegah terjadinya nikah mut’ah, Majelis Ulama Indonesia sebenarnya
telah mengeluarkan fatwa No. Kep-B-679/MUI/XI/1997. Fatwa itu memutuskan
bahwa kawin kontrak haram hukumnya dan pelaku nikah mut’ah harus
dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
A. Dalil al-Quran
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya,Kecuali terhadap isteriisteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki[1512], Maka Sesungguhnya
mereka dalam hal Ini tiada tercela.Barangsiapa mencari yang di balik itu[1513],
Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.” QS.al Maarij : 29-31
[1512]

Maksudnya: budak-budak belian yang didapat dalam peperangan

dengan orang kafir, bukan budak belian yang didapat di luar peperangan. dalam
peperangan dengan orang-orang kafir itu, wanita-wanita yang ditawan Biasanya
dibagi-bagikan kepada kaum muslimin yang ikut dalam peperangan itu, dan
kebiasan Ini bukanlah suatu yang diwajibkan. imam boleh melarang kebiasaan ini.

14

Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan
bersama-samanya. [1513] Maksudnya: zina, homoseksual, dan sebagainya.
Dari ayat diatas diketahui bahwa sebab disahkan berhubungan badan hanya
melalui dua cara. Yaitu nikah shahih dan perbudakan. Sedangkan wanita mut’ah,
bukanlah istri dan bukan pula budak. Dengan itu, sangat jelas bahwa hubungan
kelamin hanya diperbolehkan dengan istri atau budak, sedangkan istri dari
perkawinan kontrak tidak berfungsi sebagai istri karena:
1. Tidak saling mewarisi, sedangkan akad nikah menjadi sebab memperoleh
harta warisan
2. Idah nikah mut’ah tidak seperti nikah biasa
3. Dengan akad nikah menjadi berkuranglah hak seseorang dalam hubungannya
dengan beristri empat sedangkan tidak demikian halnya dengan mut’ah
4. Dengan melakukan mut’ah seseorang itu tidak dianggap menjadi muhsin
karena wanita yang diambil dengan jalan mut’ah tidak berfungsi sebagai
istri, sebab mut’ah itu tidak menjadikan wanita berstatus istri dan tidak pula
berstatus budak, maka termasuklah orang yang melakukan mut’ah itu di
dalam firman Allah.
B. Dalil As-Sunnah
Pada awalnya, Nabi SAW memperbolehkan kawin kontrak pada tahun
penaklukan Makkah. Tapi masih pada tahun yang sama pula beliau melarangnya.
Wahai sahabat sekalian bahwa aku pernah memperbolehkan kamu melakukan
mut’ah dan ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat,
maka barang siapa yang ada padanya wanita yang diambilnya dengan jalan
mut’ah, hendaklah ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sesuatu
yang telah kamu berikan kepada mereka (HR. Muslim).
Dari dalil yang dikutip dari hadis Nabi tersebut, bahwa kawin kontrak
diperbolehkan pada era Rasulullah SAW dalam keadaan darurat. Akan tetapi
pembolehan tersebut sudah dinasakh dan oleh hadis di atas. Oleh karena itu,
sangat jelas bahwa hukum kawin kontrak ini haram dan akan berdosa bagi yang
melakukannya. Hal itu berlaku sampai hari kebangkitan.

15

C. Ijma’ Seluruh Umat Islam
Seluruh umat Islam telah sampai pada posisi ijma' tentang pengharamannya.
Semua sepakat menyatakan bahwa dalil yang pernah menghalalkan kawin kontrak
itu telah dimansukhkan sendiri oleh Rasulullah SAW. Tak ada satu pun kalangan
ulama ahli sunnah yang menghalalkannya.
3.3.2

Perspektif Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional
Dalam hal ini setidak-tidaknya dapat dikutip empat aturan perundang-

undangan yang berlaku secara legal (positif) di Indonesia sebagai berikut:
1. Pancasila, terutama sila I, ”Ketuhanan Yang Maha Esa” dan sila II,
”Kemanusiaan yang adil dan beradab”
2. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, bab 31 tentang agama, Pasal 29
ayat (1) dan (2)
3. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyatakan, ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”
4. Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyebutkan, ”Perkawinan
menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
mitsaqan galizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah”. Juga Pasal 3 yang menegaskan, ”Perkawinan bertujuan
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah”.
Berdasarkan 4 hal di atas, semakin jelas arah kebijakan dan kepentingan
pemerintah dalam mewujudkan suatu keluarga yang harmonis dan sejahtera
dengan membuat seperangkat aturan perundang-undangan yang bertujuan
untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia dengan suatu teori bahwa suatu
negara dikatakan memiliki stabilitas yang kuat bila ditunjang oleh keberadaan
keluarga-keluarga atau rumah tangga yang mantap. Hal ini sulit terwujud bila
pondasi keluarga dibangun dengan perkawinan semacam kawin kontrak karena
itu,kawin kontrak menurut hukum nasional tidak membenarkan adanya kawin
kontrak walaupun belum ada aturan yang spesifik mengenai kawin kontrak dan

16

pemerintah seharusnya mengambil langkah tegas terhadap para pelaku nikah
mut’ah dan oknum-oknum dari instansi pemerintah atau di luar instansi
pemerintah yang terlibat atas terjadinya nikah mut’ah dan yang sejenisnya.
3.4 Akibat Hukum yang Ditimbulkan Dari Kawin Kontrak
Kawin kontrak mungkin merupakan hal yang tidak asing bagi realita
kehidupan saat ini maupun masa lampau, dalam prakteknya kawin kontrak
memang telah diharamkan, karena disisi lain telah memberikan efek ketidakadilan
bagi pihak perempuan (umumnya) karna bisa juga terdapat nikah dari pihak
wanita terhadap seorang laki-laki. Kawin semacam ini sering kali dipandang tidak
memenuhi ketentuan perundang-undangan dan sering kali menimbulkan dampak
negatif terhadap orang yang di nikah mut’ah dan anak yang dilahirkannya terkait
dengan hak-hak mereka seperti nafkah ataupun hak waris. Di Indonesia sendiri
perkawinan yang sah yaitu secara administratif telah dicatatkan, dan pencatatan
perkawinan pun dilangsungkan dihadapan PPN (pegawai pencatat nikah) baru
dikatakan perkawinan yang sah kalau di negara kita. Maka dari itu, guna
kemudharatan, peserta ijtima' ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan
secara resmi pada instansi berwenang.
Kaitannya dengan kawin kontrak dapat memberikan akibat dari hukum kawin
tersebut. Jika pernikahan semacam ini terus-menerus dibiarkan, maka yang
menjadi korban dari dampak nikah tersebut adalah pihak yang dikawin kontrak,
diantaranya adalah, tidak akan ada sebab hukum, karena tidak ada kekuatan
hukum dari nikah yang dilakukan dibawah tangan, tidak akan ada hal saling
waris-mewarisi, kemudian jika sampai mempunyai anak dari pernikahan tersebut,
maka anak dari nikah tersebut hanya bernasab pada sang ibu, lebih parahnya lagi
anak tersebut akan merasa malu (secara psikologis), dan akan sulit untuk
mengurus surat-surat kependudukan, karena ketidakjelasan data tentang dirinya.

17

Dalam kawin kontrak ini jika terjadi sesuatu hal yang merugikan dari pihak
yang merasa dirugikan jadi sulit untuk meminta pertanggungjawaban dan juga
sulit untuk menimbulkan akibat hukumnya, karena tidak ada bukti dari pencatat
pernikahan, sehingga sulit untuk menuntut pihak terkait. Jadi, jika kita
mengetahui dari akibat hukum kawin kontrak ini, seharusnya kita bisa mengubah
atau sedikit memberikan paham-paham pada orang

yang akan mengambil

keputuan untuk melakukan kawin semacam ini.

18

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kawin kontrak ini sangat merugikan dan sebagai sarana penyebaran penyakit,
seperti yang terjadi di negri kita sendiri, yaitu kejadian yang telah di alami oleh
wanita yang mengaku kadang-kadang mengikuti pengajian dalam hasil
pemeriksaan laboratorium ternyata menyidap penyakit kelamin yang di akibatkan
oleh nikah mut'ah. Kawin kontrak adalah batal/tidak sah dan hubungan (suamiistri) yang dilakukan atas dasar akad kontrak dihukumi haram oleh mayoritas
ulama/jumhur.
Kawin kontrak boleh dan dianggap sah oleh Syi'ah Imamiah dan
relasi/hubungan (suami-istri) yang dilakukan atas dasar akad mut’ah/kontrak
adalah halal. Bagi mereka yang mengikuti aliran agama islam di Indonesia seperti
Muhammadiyah dan Nahdlatul kawin kontrak merupakan suatu yang haram,
akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya kawin kontrak diantaranya adalah
tidak ada kepastian hukum yang kuat, anak hasil kawin kontrak bisa saja tidak
dapat pengakuan dari pihak ayah, karena tidak adanya bukti sebagai penguat dari
pernikahan itu sendiri, kemudian dalam hal nafkah dan warisan juga tidak akan
ada, jadi kawin kontrak banyak memberikan efek negatif bagi pihak yang di
mut’ah dari pada efek positifnya, jadi tidak akan ada pertanggung jawaban dari
kawin kontrak ini.
4.2 Saran
Dalam menangani kasus kawin kontrak atau nikah mut’ah, pemerintah
seharusnya mengambil langkah tegas terhadap para pelaku kawin kontrak dan
oknum-oknum dari instansi pemerintah atau di luar instansi pemerintah yang
terlibat atas terjadinya nikah mut’ah dan yang sejenisnya. Pemerintah juga harus
segera merancang dan mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang spesifik
mengenai kawin kontrak atau nikah mut’ah agar dapat mencegah praktek dari
kawin kontrak tersebut.

19

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan. 2003. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT Ichtiar Van
Hoeve.
Achmad

Sholeh,

Poligami,

Nikah

Siri

Dan

Kawin

Kontrak.

(http://ekspresihati.info/renungan/poligami-nikah-siri-dan-kawinkontrak.html)
Adriana Venny, Kawin Kontrak: Antara Agama, Hukum dan Realita,
(http://hukumonline.com/detail.asp?id=15650&cl=Berita)
Amir Syarifuddin. 2009.

Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta:

Kencana Prenada Media Croup.
Artikel,

PBNU

Nyatakan

Kawin

Kontrak

Haram.

( http://www.gatra.com/artikel.php? id=97080)
Asmin. 1986. Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari UU Perkawinan
No.1 Tahun 1974. Jakarta: PT. Dian Rakyat.
Begawan,

Kawin

Kontrak.

(http://forum.wgaul-com/archive/thread/t-20899-

kawin-kontrak,html)
Dzarrin al-Hamidy. 2008. Nikah Mut’ah dalam Sorotan Hukum Islam dan Hukum
Positif. Al-Qanun, Vol. 11, No. 1
Fakhriah, Efa Laela. Kawin Kontrak Tidak Sesuai Aturan Agama Maupun
Negara.
ama Islam.
Hilman Hadikusuma.1990 Hukum Perkawinan Indonesia,.Bandung: Mandar
Maju.
Mitrawacana, Asal-Usul Kawin Kontrak & Bagaimana Model Kawin Kontrak
Saat

IniDilakukan.(http://mitrawacanawrc.com/mod.php?

mod=publisher&op=viewarticle&cid=3&artid=1493)
M. Yahya Harahap.1975. Hukum Perkawinan Nasional.Medan: Zahir Trading Co
Ramulyo, Mohd. Idris. 2002. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta:Bumi Aksara.
R.Subekti dan Tjitrosudibio.1992. Kitab Undang-undang Hukum Perdata =
Burgerlijk Wetboek.Jakarta: Pradnya Paramita.
Suparman Usman.1995.Perkawinan Antar Agama Dan Problematika Hukum
Perkawinan Di Indonesia.Serang: Saudara.

20

Teuku Edy Faisal Rusydi.2007. Pengesahan Kawin Kontrak Pandangan Sunni &
Syi’ah.Yogyakarta: Pilar Media.

21