dimaksudkan  agar  lebih  fleksibel dan dapat  menghimpun  data  relatif  lebih banyak.
2. Wawancara yaitu  tanya jawab secara langsung  dengan responden f. Analisa Data.
Setelah  data  terkumpul  baik  melalui   kuesioner dan  wawancara diteliti ulang dan diedit, kemudian  diolah dengan mengelompokkannya  menurut  jenis dan sifatnya.
Kajian   penelitian ini difokuskan  pada   pengakuan  adanya hak masyarakat adat, artinya  masyarakat adat  sebagai persekutuan hukum  memiliki  tempat tinggal,
memiliki cadangan  tempat  untuk  pengharapan  hidup  sebagai penopang  ekonomi generasi  berikutnya.
3. Hasil penelitian. a. Masyarakat Adat Petalangan Sebuah Kenyataan
Masyarakat Petalangan adalah salah satu puak suku asli di Riau yang bermukim di wilayah Kecamatan Langgam, Pengkalan Kuras, Bunut dan Kuala Kampar, Kabupaten
Pelalawan. Dahulu mereka memagari kampungnya dengan buluh Talang dan lazim pula mengambil air dengan mempergunakan buluh tersebut, maka mereka disebut
Orang Talang, dan keseluruhan`puaknya disebut Orang Petalangan.
10
Secara historis disebutkan bahwa  masyarakat ini datang dari Johor menggunakan perahu, dan membuka hutan di pemukiman mereka sekarang ini. Mereka kemudian
menjadi kawula Kerajaan Kampar. Di bawah pemerintahan Kesultanan Pelalawan mereka mendapat pengakuan hak atas wilayah hutan mereka Hutan Tanah Perbatinan
Kurang Satu Tiga Puluh, yang dipimpin oleh kepala adat yang dikenal dengan sebutan batin. Pada Masyarakat ini memiliki  29 Pebatinan.
10
Ibid.
7
Nama-Nama Batin di Masyarakat Petalangan 1.   Batin   Monti Raja.
2. Batin Muncak Rantau.
3. Batin  Putih.
4. Batin Hitam.
5. Batin  Pematan.
6. Batin   Tuan Apuh.
7. Batin Mudo Genduang.
8. Batin Sengiri Komang.
9. Batin Bunut.
10.Batin Telayap. 11.Batin Sungai Buluh.
12.Batin Tomo Payung. 13.Batin Badu Ondo.
14.Batin Penghulu Setia DiRaja. 15 Batin Sulo Dilaut.
16 Batin Panduk. 17. Batin Tanah Air.
18 Batin Tuk Ajo Bilang Bungsu. 19 Batin Pelabi.
20.Batin Mudo Langkat. 21.Batin Antan-antan  Diajo.
22 Batin Genggeng. 23 Batin Gasip.
24 Batin  Rantau  Baru. 25.Batin Mudo.
26. Batin Baru Bau. 27. Batin Panghulu Besar.
28. Batin Delik. 29. Batin Kerinci.
Dalam  pergaulan  hidupnya,  masyarakat adat Petalangan menduduki sebuah
wilayah  yang masing-masing pebatinan memiliki wilayah tersendiri. Wilayah tersebut biasa disebut ulayat. Dalam kebiasaan adat dikenal pengaturan tentang pemanfaatan
yang berkaitan dengan lingkungan tersebut, misalnya;
1. Fungsi Hutan Tanah Wilayat: Bagi masyarakat Petalangan, hutan tanah bukan hanya sekedar tempat hidup dan
mencari nafkah, tetapi juga menjadi sumber budaya dan nilai-nilainya, bahkan yang dianggap terpenting adalah sebagai pengukuhan tuah dan marwah pesukuan atau
Pebatinannya. a. Fungsi sebagai pengukuhan tuah dan marwah:
Orang tua-tua Petalangan mengatakan, bahwa pesukuan atau Pebatinan yang tidak memiliki hutan tanah, adalah ibarat semut tidak bersarang, ibarat ayam tidak
bereban, maksudnya dapat dianggap lebih hina dari hewan yang paling kecil dan lebih nista dari binatang peliharaan. Pesukuan atau Pebatinan ini dianggap
rendah dan hidup menumpang sehingga tidak mempunyai hari depan untuk
8
anak cucunya. Dengan demikian, pesukuan atau Pebatinan ini tidaklah memiliki tuah dan marwah sehingga tidak dapat duduk sama rendah dan tegak sama
tinggi dengan pesukuan dan Pebatinan lainnya. Di dalam ungkapan adat dikatakan: bersuku tidak bertuah, berbatin tidak bermarwah, ke laut hanyut ke
darat sesat, ke hulu malu ke hilir aib.   Dari sisi lain, pesukuan yang tidak memiliki hutan tanah dianggap tidak asal dan tidak soko, sehingga
keberadaannya tidak kokoh dan sewaktu-waktu dapat dihalau oleh yang memiliki hutan tanah wilayat.
Acuan ini menyebabkan setiap pesukuan atau Pebatinan tetap bermukim di kawasan Hutan Tanah Wilayatnya masing-masing dan tetap pula memanfaatkan dan
memeliharanya dengan cermat sesuai menurut ketentuan adat yang berlaku. Dan masing-masing pesukuan atau Pebatinan tetap pula memelihara tombo  dan hutan
tanahnya. b.Fungsi sebagai sumber nafkah dan tempat hidup:
Hutan  Tanah,  selain  dijadikan  untuk pemukiman, juga dijadikan tempat mencari nafkah seperti berkebun, berladang mengambil hasil hutan dan ikan. Hutan tanah dan
isinya memberikan pula bahan-bahan untuk pengobatan yang amat penting dalam kehidupan mereka. Karenanya, hutan tanah ini tidak boleh dirusak, dijual atau
digadaikan. Agar hutan tanah beserta suak sungai, tasik dan danaunya tidak rusak dan tetap bermanfaat, ditetapkanlah berbagai ketentuan adat, antara lain:
Adat  Menyusuk  Kampung, yakni membuat perkampungan; Adat Menyusuk Dusun, yakni membuat perkebunan tanaman keras; Adat Berladang, yakni
membuat ladang padi dan tanaman muda; Adat Rimba Larangan yang terdiri dari Rimba Kepungan Sialang dan Rimba Simpanan, yakni mengatur pemanfaatan
kawasan itu dan pelestariannya; Adat Beramu Kayu, yakni mengatur tatacara
9
mengambil kayu di hutan; Adat Berburu, Adat Berdamar, Adat Berikan, Adat Menuba dan sebagainya, yang hakekatnya mengacu kepada upaya
pemanfaatan hutan tanah dan isinya dengan baik dan tidak menimbulkan kerusakan. Konsep ini jelas menunjukkan bahwa masyarakat Petalangan adalah
masyarakat yang memiliki wawasan lingkungan. c. Fungsi sebagai Sumber Budaya:
Budaya Petalangan tak dapat dipisahkan dari alam sekitar atau lingkungannya, yakni hutan tanah wilayatnya. Mereka rneyakini, bahwa dirinya adalah bagian tak
terpisahkan dari alam, bersebati dengan alam. Karenanya orangtua-tua mereka mengatakan: alam adalah diri kita, merusak alam bermakna merusak diri sendiri.
Keyakinan ini dipaterikan di dalam berbagai lambang, seperti pohon alam atau lambang-lambang lainnya yang menunjukkan persebatian mereka dengan alamnya.
Ungkapan-ungkapan Petalangan selalu mengacu kepada eratnya hubungan mereka dengan alam, seperti: bercermin ke hutan, berkaca ke tanah, bercontoh ke laut,
bermisal ke langit. Ungkapan  lain  berbunyi:  di  dalam hutan banyak contoh teladan, di dalam rimba
banyak yang bersua, di tanah banyak yang berfaedah, di laut banyak yang patut. Dari  sisi  lain  terlihat pula banyak upacara yang berkaitan dengan alam sekitar, dan
banyak pula alat dan kelengkapan yang dihasilkan dari alamnya. Karenanya bila hutan tanah ini  habis, hilanglah beragam jenis upacara adat dan tradisi, dan hilang
lenyap pula berbagai alat dan kelengkapan seni budaya yang selama ini dihasilkan dari  alamnya.
2. Pemanfaatan Hutan Tanah Wi1ayat: Hakekatnya, pemanfaatan hutan tanah adalah untuk kepentingan umum, yakni
kepentingan seluruh anggota masyarakatnya. Acuan inilah yang menyebabkan  raja-
10
raja Pelalawan tetap mengakui dan bahkan melindungi hutan tanah di maksud dan adat Petalangan mengatur pemanfaatan Hutan Tanah Wilayatnya dengan
membaginya dalam 4 empat kelompok, yakni: a.Tanah  Kampung  Tanah  Dusun  Tanah  Peladangan  dan  ”  Rimba  larangan  .
Tanah Kampung : ialah tanah tempat pemukiman, tempat mendirikan rumah dan pekarangan, di atas tanah ini ada hak milik pribadi, yakni untuk perumahan dan
pekarangan. b.Tanah  Dusun:  ialah  tanah  untuk  berkebun  tanaman  keras,  seperti  durian,
rambutan, cempedak, karet dan lain-lain. Tanah juga sebagai cadangan perluasan kampung. Di atas tanah inipun ada hak milik pribadi, yakni tanah kebunnya.
c.Tanah Peladangan: ialah tanah khusus tempat berladang yang lazimnya dilakukan secara barpindah-pidah. Adat mereka menetapkan, bahwa hak seseorang atas tanah
ini hanya selama 3 tiga tahun naik berladang. Maksudnya, seseorang boleh menguasai lahan itu selama 3 kali musim berladang atau 3 kali melanjutkan
berladang ke arah kepala ladang sebelumnya. Di sini pun tidak diperbolehkan menanam tanaman keras, kecuali bila status tanah itu sudah ditetapkan menjadi
tanah dusun. Sesudah 3 tahun berladangan orang lain boleh berladang di sana dan seterusnya.
d.Rimba  Larangan:  ialah  kawasan rimba belantara yang sama sekali. tidak boleh dirusak kecuali untuk keperluan umum seperti menambah tanah peladangan, tanah
dusun atau membuka perkampungan baru. Rimba Larangan ini dibagi dua yakni: Rimba  Kepungan  Sialang: tempat tumbuh pohon kayu Sialang atau kayu yang
menjadi tempat lebah bersarang. Kawasan ini relatif harus luas karena lebah memerlukan bunga-bunga hutan untuk sumber makanan. Selain itu kawasan ini
11
bermanfaat pula untuk kehidupan habitat lainnya, karenanya pantang dirusak dan haruslah dipelihara secara cermat dan berkesinambungan.
Rimba Simpanan: tempat hidup berbagai jenis pohon dan hewan, yang menjadi sumber nafkah masyarakat. Hutan ini sama fungsinya dengan Rimba Kepungan
Sialang  dan karenanya tidak boleh dirusak.
3. Pelestarian Hutan Tanah Wilayat Hutan  Tanah  Wilayat,    pemeliharaan dan pelestariannya ditentukan dan
ditetapkan berdasarkan keputusan musyawarah adat dan menjadi hukum adat tempatan. Hal ini tercermin dari berbagai ketentuan adat seperti: Adat Menyusuk
Kampung, Adat,  Menyusuk Dusun, Adat Berladang, Adat Kepungan Sialang, dan lain-lain  yang sudah disebutkan di atas. Selain itu, ditetapkan pula
pantang larang terhadap pemanfaatan dan pemeliharaan hutan tanah, tasik dan danau, suak dan sungai, yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Pelanggarannya
dikenakan sanksi yang berat, termasuk dikucilkan dari masyarakat atau diasingkan.
Kearifan  masyarakat  Petalangan dalam memelihara dan rnelestarikan hutan tanah dan lingkungannya akan 1ebih kelihatan bila mau menyimak berbagai ketentuan
adat dan pantang larang mengenai pemanfaatan dan pemeliharaan hutan tanahnya. Mereka pun sudah mengenal tataruang sederhana dalam memanfaatkan
hutan tanah, kemudian menetapkan prinsip-prinsip cagar alam untuk memelihara keseimbangan dan pelestarian lingkungan. Mereka yang hidup sederhana,
mengetahui benar detak jantung alam sekitarnya. Karenanya mereka menyatu dengan alamnya dan menjadikan alam sebagai bagian dari dirinya.
Masyarakat  Petalangan  dengan cermat memelihara agar lingkungannya tidak tercemar, dan pembukaan lahan dilakukan dengan perhitungan yang cermat dan
12
penuh kearifan. Membuka kampung, dusun, peladangan, dan hutan, dimusyawarahkan terlebih dahulu, dan dipertimbangkan buruk baiknya terhadap
masyarakat dan alam itu sendiri. Bahkan secara rinci mereka menjaga agar jenis- jenis flora dan fauna tidak pupus dan harus tetap berkembang. Upaya ini dapat
disimak dari ketentuan adat berladang, beramu kayu, menuba ikan, berburu, mengambil hasil hutan dan sebagainya
11
Dari  keterangan  di  atas  terlihat bahwa dalam kehidupan masyarakat adat Petalangan   mengenal fungsi pemanfaatan sumber daya manusia sebagai sebuah
ekosistem yang harus dijaga kelestariannya. Pembenaran akan adat masyarakat ini dapat dilihat dari informasi sejarah bahwa semenjak semasa kerajaan ratusan tahun
yang lalu sudah mendapat pengakuan, misalnya ketika Said Abdurrahman 1798-1822 M adik Sultan Syarif  Siak Sri Indrapura merebut tahta Pelalawan dari Maharaja Lela,
beliau mengumumkan antara lain: a. Adat istiadat yang berlaku dalam kerajaan Pelalawan tetap diakui dan diberlakukan
sebagaimana biasa, dan raja yang baru tidak akan mencampurinya b. Seluruh hak milik rakyat dan pesukuan tetaplah menjadi hak milik mereka seperti
sediakala c.  Kedudukan  Kepala  Pesukuan  dan  Pemangku Adat Satin dan Ketiapan tetaplah
seperti semula d.Maharaja  Lela,  Raja  Pelalawan yang digantikan Said Abdurrahman diangkat
menjadi Pucuk Batin Kurang Satu Tigapuluh e.Terhadap  penduduk  bawaan  yakni pendatang baru yang ikut bersama Said
Abdurrahman ketentuannya akan diatur dan ditetapkan kemudian f. Hutan Tanah, suak dan pulau, tasik dan danau yang belum berpunya seluruhnya
11
Hasil wawancara dengan pengurus LAM Kabupaten Kampar, 2009.
13
dikuasai oleh raja, dan penggunaannya diatur oleh raja Kebijakan  Sultan  Abdurrahrnan  ini  kemudian rnenjadi acuan dasar bagi raja-raja
Pelalawan berikutnya sampai yang terakhir. Bahkan, di zarman Sultan Jaafar 1866- 1872 , hak-hak adat ini dikukuhkan dengan memberikan Surat Keterangan Hutan
Tanah yang lazim disebut Geran Sultan kepada semua Pebatinan di kerajaan Pelalawan, sekaligus kepada siapa saja yang mendapat hutan tanah dari Sultan di luar
milik Pebatinan. Surat-surat ini lazimnya diperbaharui oleh Sultan Pelalawan berikutnya.
Menjelang akhir pemerintahannya Sultan Jaafar menegaskan pula pembagian hutan tanah di Kerajaan Pelalawan, antara lain:
a.  Seluruh  Hutan  Tanah  Wilayat  Pebatinan yang disebut Pebatinan Kurang Satu Tigapuluh tetaplah menjadi hak milik mereka turun temurun. Selain
mengukuhkannya dengan Surat Keterangan Hutan Tanah turut pula mengawasinya agar tidak diperjual belikan ke pihak lain.
b.  Tanah-tanah  yang  belum  berpunya,  terutama yang terletak di daerah pesisir sungai Kampar hingga ke Kuala, diserahkan kepada rakyat bawaan dan orang-orang besar
Kerajaan Pelalawan. Tanah-tanah ini ada yang boleh dimiliki turun temurun seperti Hutan Tanah Wilayat Petalangan ada pula yang bersifat sernentara atau sekedar
menggarap. Hutan tanah inipun tidak boleh diperjual belikan ke pihak luar, kecuali atas persetujuan Sultan. Terhadap tanah-tanah ini Sultan juga memberikan Surat
Keterangan Hutan Tanah” kepada pemiliknya masing-masing. Hutan tanah ini disebut Tanah Ayatatau Tanah Kaya . Secara umum tanah  dari  pinggir sungai
ke daratnya ditetapkan sepenggal gendang basah atau  setahun naik peladangan”. c. Tanah-tanah tumbuh dan tanah baru, serta tanah-tanah yang tidak termasuk dalam
”Hutan Tanah Wilayat Pebatinan dan Tanah Ayat atau Tanah Kayat menjadi mi-
14
lik Sultan pribadi dan keluarganya, dan boleh diberikan Sultan kepada siapa saja. Tanah ini disebut Tanah Tumbuh atau Tanah Menyorong, karena lazimnya terdiri
dari pulau dan tanjung atau sisa-sisa tanah yang tidak dimiliki orang lain. Tanah ini lah yang diberikan Sultan kepada keluarga atau sahabat terdekatnya, atau untuk
digarap oleh anggota masyarakat yang memerlukannya. Pada sisi lain untuk membertikan kekuatan hukum pada keberadaan hutan tanah
masyarakat ini sebagai hak konstitusionalnya maka Raja Pelalawan  memberikan ”Surat Keterangan Hutan Tanah atau. Geran Sultan dengan berdasarkan  kepada tombo
atau terombo kepada  masing-masing pesukuan Pebatinan. Sedangkan Surat Keterangan Hutan Tanah yang diberikan kepada Orang-Orang Besar Kerajaan dan
anggota masyarakat di luar Petalangan tidaklah memerlukan tombo. Tetapi kepada siapa saja yang menerimanya diwajibkan untuk menyimpan dan memegang surat
tersebut sebagai tombo bagi anak cucunya, sepanjang belum ada pembatalan atau pencabutan  dari  Sultan.
Tombo  Petalangan  ada  yang disebut tombo pendek, yakni langsung menyebutkan nama tokoh utama pesukuan atau Batin yang  pertarna sekali mernbuka
hutan tanah atau yang pertama sekali mendapatkan hutan tanah dimaksud, kemudian menyebutkan lokasi  dan batas-batasnya; ada pula tombo panjang yang dituturkan
dalam bentuk cerita rakyat `radisi lisan disebut Nyanyi Panjang yang memang secara panjang lebar menceritakan asal- usul pesukuan atau Pebatinan dimaksud salah satunya
adalah Nyanyi Panjang Bujang Tan Domang”yang menceritakan asal usul dan hutan tanah pesukuan Monti Raja di Talau Betung.
Karenanya,  setiap  Batin  dan  Pemangku Adat wajiblah mengetahui tombo pesukuannya, dan mematuhi tatabatas yang disebutkan di dalamnya. Selanjutnya, adat
Petalangan mengatur secara rinci tentang: pemanfaatan, pelestarian dan pemeliharaan
15
hutan anah beserta seluruh isinya, yang kemudian menjadi ketentuan adat yang wajib ditaati oleh setiap orang dan berlaku turun temurun.
Sultan Jaafar pula yang menegaskan pernbagian kelompok masyarakat di kerajaan Pelalawan beserta hak-haknya. Penegasan itu antara lain:
a. Rakyat Darat, yakni masyarakat Petalangan yang juga disebut Pebatinan Kurang Sato-Tigapuluh . Mereka ini memiliki Hutan Tanah Wilayat yang dikukuhkan
oleh Sultan Pelalawan. b. Rakyat Pesisir dan Pulau, yakni masyarakat yang di luar Petalangan dan bermukim
di pinggir-pinggir sungai dan pesisir pantai Sumatera dan di kepulauan yang masuk wilayah kerajaan Pelalawan, lazimnya disebut Melayu Pesisir. Masyarakat ini
dapat memiliki hutan tanah tetapi atas karunia atau pemberian Sultan. Kepemilikannya dapat berlaku turun temurun, dapat pula sebagai tanah garapan se
masa ia masih hidup. Penegasan hak ini dikeluarkan oleh Sultan Pelalawan seperti terhadap hak adat Petalangan.
c. Rakyat Dagang, terdiri dari para pendatang dan menetap sementara dan tidak pula mau masuk”  ke dalam salah satu pesukuan atau masyarakat yang ada. Mereka ini
tidak mendapatkan hutan tanah, dan kalaupun mau berusaha statusnya sebagai penumpang. Kelompok ini dikepalai oleh Penghulu Dagang atas pilihan
rnasyarakatnya kemudian dikukuhkan oleh Sultan Pelalawan. d. Rakyat Asing, adalah masyarakat non Melayu, seperti Cina yang hanya dibenarkan
rnenumpang untuk sementara dalam kawasan tertentu saja. Kelompok Cina dikepalai-oleh Xapi tan Cina berkedudukan di pulau Mendol  Penyalai, Kuala
Kampar sekarang.
16
Ketetapan inilah yang selanjutnya dikekalkan di kerajaan Pelalawan sampai kerajaan itu berakhir. Ketetapan ini pula yang menyebabkan di kerajaan Pelalawan tidak ada
orang luar apalagi bangsa asing yang memiliki hutan tanah. Keteguhan masyarakat Petalangan mematuhi ketentuan Sultan dan adat istiadat mengenai
hutan tanah, menyebabkan kawasan mereka selama ratusan tathun  tetap terpelihara, dan tidak pula terjadi sengketa perbatasan atau penyerobotan lahan. Hal ini pula yang
meyakinkan pemerintah R.I. untuk menentukan tata batas desa dan kabupaten di kawasan itu berdasarkan kepada tatabatas yang disebutkan tombo Petalangan. Diantaranya
adalah penetapan tatabatas  antara  Kecamatan Pasir Penyu  Kab.Indragiri-Hulu sekarang dengan Kecamatan Pengkalan Kuras Kab.Kampar yang merujuk kepada
batas tombo hutan tanah Batin Tua Napuh. Tata batas itulah yang dipakai oleh Wedana Pelalawan waktu itu A.Wahab pada tanggal 5 Mel 1948.
Penetapan  tatabatas-desa  yang  berdasarkan tatabatas hutan tanah dalam tombo dimaksud, bermula sejak tahun 1947. Dalam tahun itulah dikumpulkan seluruh Surat
Keterangan Hutan Tanah milik Pebatinan yang dikeluarkan Sultan Pelalawan. Surat- surat dimaksud diantarkan ke Pelalawan yang sudah menjadi ibu kewedanaan Pelalawan.
Sayangnya, surat-surat dimaksud harmpir tidak dikembalikan lagi kepada para Batin atau pesukuan yang bersangkutan, dan ketika terjadi agresi 1949, surat-surat itupun musnah
baik akibat dibawa mengungsi maupun dibakar bersama arsip-arsip lainnya. Yang tersisa hanya sebagian kecil atau hanya
tombo yang diingat oleh masing-masing Pebatinan, serta surat-surat tanah milik pribadi atau kelompok masyarakat di luar Pebatinan.
Sumber lain yang memberikan informasi mengenai keberadaan hak-hak adat Petalangan ini adalah dari catatan beberapa orang pencatat sejarah kerajaan Pelalawan seperti:
almarhum  Tengku Said Umar Muhammad beliau beberapa tahun menjadi Jurutulis
17
pribadi Sultan Hasyim Pelalawan, Tengku Tonel Jaksa terakhir kerajaan Pelalawan, Tengku Said Jaafar Muhammad pencatat sejarah dan adat istiadat Pelalawan, dan pernah
beberapa tahun kemudian menjadi Assisten Wedana di Kecamatan Pengkalan Kuras dan Ketua DPRD Kampar, Tengku Nazir Alwy pencatat sejarah dan kebudayaan
Petalangan dan pernah menjadi Assisten Wedana. di Bunut dan Ketua DPRD Kampar dan lain-lain.
Dari catatan beliau-beliau ini dan keterangan lisannya, banyaklah diperoleh informasi, baik mengenai asal-usul pesukuan maupun hutan tanahnya. Hal  ini diakui pula oleh
seluruh Batin-Batin dan Ketiapannya.
12
b. Pengaruh Penataan Hukum Pertanahan dan Hukum Kehutanan bagi Masyarakat Adat Petalangan serta Hak Tanah Adat Tradisional.
Semasa  awal    kemerdekaan    eksistensi    Persekutuan    Hukum  Adat  dan  hak ulayat masyarakat Petalangan  memiliki peran dalam  penentuan  batas Walayah
Kecamatan, yang pada awalnya  wilayah Masyarakat Petalangan  dimasukkan  kedalam 4 empat wilayah Kecamatan, yaitu  Pangkalan Kuras, Langgam,  Bunut dan  Kuala
Kampar,  semasa  wilayah ini masih berada dalam kawasan Kabupaten Kampar. Dibukanya perkebunan  besar seperti  perkebun sawit  swasta dan Nasional  serta
hak-hak yang diberikan  pemerintah pada  pengusaha  dalam memanfaatkan hasil hutan adalah awal perubahan  yang terjadi pada  eksistensi hak ulayat masyarakat.
Data  lapangan  menjelaskan  bahwa nama perusahaan yang bergerak dibidang HPH dan Kelapa Sawit di wilayah masyarakat petalangan adalah sebagai berikut:
12
ibid
18
1. Perusahaan yng bergerak dibidang  Hak Pengusahaan Hutan ada 3 tiga secara
garis besar, yaitu :  PT Riau Andalan Pulp  Paper RAPP,  PT Arara Abadi  dan PT Nanjak Makmur yang wilayah operasionalnya  adalah  Kecamatan  Pangkalan
Kuras,  Kecamatan Ukui, Kecamatan  Pangkalan Lesung dan  Kecamatan Kerumutan dan Kecamatan Langgam.  Dalam kawasan operasional  perusahaan ini
juga   banyak merupakan kawasan   wilayah  Pebatinan, antara lain  Batin  Sengiri dan Batin  Monti Raja.
2. Perusahaan di bidang Perkebunan Sawit serta  letak wilayah operasional yaitu:
a. PT Surya Brata Sena, wilayah operasinya   adalah  Kecamatan  Pangkalan
Kuras dan Sebahagian di Kecamatan Langgam. b.
PT  Musim Mas,  wilayah operasinya adalah  di Kecamatan  Ukui, Kecamatan  Pangkalan Lesung dan  sebahagian di Kecamatan  Pangkalan
Kuras. c.
PT Inti Indo Sawit,  wilayah operasinya  di  Kecamatan Pangkalan Kerinci dan  Kecamatan Ukui.
d. PT Sari Lembah Subur, wilayah operasinya adalah  Kecamatan Ukui,
Kecamatan  Pangkalan  Lesung dan Kecamatan  Kerumutan. e.
PT  Serikat Putra, wilayah operasinya adalah  Kecamatan  Pangkalan Kuras,  dan Kecamatan  Bunut.
f. PT Adei,  wilayah operasi usahanya adalah  Kecamatan  Pangkalan Kuras
dan  Kecamatan  Bunut. g.
PT  Inti Langgam, wilayah   operasinya di Kecamatan  Pangkalan Kuras Dari  ke  7    Perusahaan  ini,  sebagian merupakan  swasta nasional  murni dan
sebagian merupakan perusahan patungan Joint Venture    dengan  Perusahaan  Asing PMA.
19
Landasan  kebijakan  undang-undang pertanahan dan undang-undang kehutanan adalah  Pasal 33  UUD 1945. yang menyatakan bahwa :
Perekonomian  disusun  sebagai usaha bersama  berdasarkan  atas azas kekeluargaan.
Cabang produksi yang terpenting  bagi negara,  yang  menguasai  hajad hidup orang   banyak  dikuasai oleh negara.
Bumi, air dan  Ruang  Angkasa serta kekayaan  alam yang terkandung di  dalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Khususnya di  bidang pertanahan, Pasal 33  ayat  3  UUD 1945 diimplementasikan
oleh UUPA No 5 Tahun 1960 Pasal 2  UUPA  menyatakan  bahwa:
1. Atas dasar ketentuan  dalam Pasal 33 ayat 3 UUD dan hal sebagai yang
dimaksud  dalam Pasal  1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk  kekayaan  alam yang terkandung  di dalamnya pada tingkat  tertinggi dikuasai  oleh negara, sebagai
organisasi  kekuasaan seluruh rakyat. 2.
Hak menguasai dari negara  termasuk  dalam ayat 1  pasal ini  memberikan wewenang untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan  peruntukan , penggunaan , persediaan
dan  pemeliharaan  bumi, air,  dan ruang angkasa tersebut b.
Menentukan dan mengatur  hubungan  hukum  antara  orang-orang  dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur  hubungan  hukum  antara  orang-orang  dan
perbuatan  hukum  yang mengenai  bumi, air dan ruang angkasa.
3.  Wewenang yang bersumber dari hak menguasai negara  tersebut  pada ayat 2 pasal ini  digunakan untuk mencapai  sebesar-besar  kemakmuran  rakyat  dalam
arti  kebangsaan, kesejahteraan  dan kemerdekaan  dalam masyarakat  dan  negara hukum Indonesia  yang merdeka, berdaulat,  adil  dan makmur.
4.  Hak menguasai dari negara  tersebut  di atas  pelaksanaannya  dapat  dikuasakan kepada daerah-daerah  swatantra  dan masyarakat  hukum adat  sekedar
20
diperlukan  dan tidak  bertentangan  dengan  kepentingan nasional, menurut ketentuan  peraturan pemerintah.
Berkaitan  dengan    hak  menguasai  negara    dalam    mengatur    bentuk    hubungan hukum  antara perorangan  dengan tanah  dan hubungan  hukum  antara  orang  dan
perbuatan hukum  antara  orang dengan tanah , maka Pasal 16  UUPA  telah  mengatur tentang  bentuk-bentuk  hubungan hukum   antara orang  dengan tanah, antara lain :
Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak guna Bangunan, Hak Pakai  dan hak yang bersifat sementara. Apabila  pasal ini dikaitkan dengan  Pasal 3 UUPA , maka jelas  pada pasal
ini tidak  dimasukkan  jenis  hak ulayat  sebagai hak  salah satu  bentuk  hak yang dapat  dimiliki  oleh masyarakat  atas tanah.  Akibat  lebih lanjut adalah  dalam rangka
pendaftaran  tanah  yang mengatur  dengan  Pasal 19  UUPA  dan  dengan  PP Nomor 24 Tahun 1997, hak tersebut  tidak  termasuk  kedalam  salah satu  hak  yang harus  di
daftarakan  dan karakternyapun  tidak diketahui  akan termasuk  ke dalam  kelompok hak yang mana dalam  Pasal 16 UUPA.
Dengan  diundangkannya    UUPA  No 5 Tahun 1960,  konsepsi  Hak ulayat memiliki  dimensi yang berbeda dengan konsep hak ulayat dalam pandangan
Persekutuan Hukum.  Karena  UUPA  cakupan keberlakuannya bersifat nasional dalam kawasan teritorial Negara  RI.  Oleh sebab  itu banyak pandangan  pro dan
kontra  terhadap sikap UU ini  terhadap hak ulayat yang ada. Undang-undang  ini  mencabut    Domein  Verklaring,  mengakui hak ulayat  di bawah
Hak  Menguasai Negara  sepanjang  menurut  kenyataannya  masih ada, harus sedemikian rupa  sehingga  sesuai  dengan kepentingan  Nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas  persatuan  bangsa  serta  tidak  boleh  bertentangan  dengan  undang- undang  dan peraturan  lain yang lebih  tinggi.
Penjelasan  Umum  II Angka  3  UUPA menyatakan:
21
“ Bertalian  dengan hubungan  antara  bangsa  dan bumi  serta air dan kekuasaan Negara  sebagai  yang disebut dalm  Pasal 1  dan 2, maka  di dalam  Pasal 3
diadakan  ketentuan  mengenai  hak ulayat  dari  kesatuan-kesatuan masyarakat hukum,  yang dimaksud  akan  mendudukkan  hak itu  pertama-tama  berpangkal
pada  pengakuan  adanya  hak ulayat  itu di dalam  hukum agraria  yang  baru. Sebagaimana  diketahui  biarpun  menurut  kenyatannya hak ulayat  itu ada  dan
berlaku  serta  diperhatikan pula  di dalam  keputusan-keputusabn  hakim,  belum pernah hak tersebut  diakui  secara  resmi  di  dalam  undang-undang.  Dengan
akibat bahwa  di dalam  melaksanakan  peraturan-peraturan  agraria  hak ulayat itu pada zaman  penjajahan  dulu  sering  kali  diabaikan.  Berhubung  dengan
disebutnya hak ulayat  di dalam  UUPA,  yang pada hakekatnya  berarti  pula pengakuan hak itu, maka  pada dasarnya  sepanjang  hak  tersebut  menurut
kenyataaanya memang masih  ada  pada  masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya  di dalam  pemberian sesuatu hak  atas  tanah   umpamanya hak guna
usaha masyarakat hukum  yang bersangkutan sebelumnya akan  di dengar pendapatnya dan  akan  diberi “ recognitie”,  yang  memang ia berhak
menerimanya selaku pemegang hak ulayat,… “
Sejarah  membuktikan  bahwa  menjelang Tahun 1960-an tidak banyak menimbulkan
persoalan, namun setelah itu perlindungan dan penghormatan negara   terhadap masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya atas tanah dan hutannya,
mengalami penurunan secara sangat berarti.  Berbagai  interpretasi atas konsepsi   yang ada  pada masyarakat hukum beserta hak-hak komunalnya  banyak bermunculan
dengan parameter  yang berbeda. Pada satu sisi  masyarakat  hukum adat memiliki pemahaman konsep pada lingkungan hukumnya, disisi lain negara   yang berdaulat
juga demikian.   Keadan ini berjalan berpuluh tahun, khususnya dimasa orde baru yang sarat dengan kepentingan politik pembangunan ekonomi,  yang berlindung dibalik
hukum perundang-undangan sebagai instrumen kekuasaan
13
. Penguasa negara  banyak berbuat kebijakan sepihak dengan kurang memperhatikan dan mengindahkan hak-hak
masyarakat lokal. Berbagai produk hukum  yang ada apakah dalam bentuk beschikking
13
Sebagai contoh untuk memperlancar masuknya investasi baik modal asing ataupun modal dalam negeri, diperlukan percepatan prosedur pembebasan atas tanah. Prosedur yang dirumuskan dalam Undang-Undang
No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, dirubah sedemikian rupa hanya oleh sebuah Peraturan menteri Dalam Negeri, dalam bentuk Permendagri No. 15 Tahun 1975. Prosedur pembebasan atas
tanah rakyat dan tanah-tanah masyarakat adat,  sangat sederhana, dan dapat dilakukan oleh Bupati Kepala Daerah. Di bawah rezim Orde Baru yang dinilai sangat sentralistis dan repressif, hierarkhie peraturan
perundang-undangan yang seharusnya suatu peraturan tidak boleh bertentangan dengan aturaan diatasnya, menjadi tidak berarti sama sekali, sepanjang rezim  tersebut menghendakinya. Lihat SF Marbun dan Mahfud
MD, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Liberty,
22
maupun regeling telah membuat berbagai perubahan  yang berakibat pada masyarakat adat dengan  segala hak yang dimilikinya, yang pada akhirnya diakui atau atau tidak
dalam kenyataannya keberadaan mereka terpinggirkan bahkan dalam hal-hal tertentu tidak dianggap ada sama sekali.  Banyak contoh yang dapat dilihat, antara lain sebagai
akibat diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA
14
. Undang-Undang No  5 Tahun  1967 yang kemudian diganti dengan  Undang-undang
No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
15
, dengan beberapa  peraturan pelaksanannya
16
. Konsekwensi  dari  pengaturan    produk  hukum,    ini    merubah  bahkan  merusak
tatanan adat yang pada akhirnya telah membawa pengaruh besar bagi  organisasi masyarakat hukum adat yang ada di dalamnya yang sebelumnya juga mempunyai otoritas
tersendiri  atas pengaturan, fungsi serta pengelolaan  sumber daya alam yang ada  pada mereka. Secara Nasional banyak contoh kebijakan hukum yang dikeluarkan pemerintah
14
Sebagai produk politik, bahwa  undang-undang ini sebagai perwujudan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, sehingga  telah menetapkan konsepsi hak menguasai negara  dibidang pertanahan,  bahwa negara sebagai kekuasaan tertinggi memiliki hak atas penguasaan bumi,
air, ruang angkasa  serta kekayaan alam yang ada. Makna yang terkandung  dari semua ini adalah bahwa  negara sebagai kekuasaan organisasi yang tertinggi  memiliki hak-hak atas bumi, air, ruang angkasa beserta alam yang terkandung di dalamnya. Berkaitan dengan
hak menguasai negara  dalam  mengatur  bentuk  hubungan hukum  antara perorangan  dengan tanah  dan hubunganan  hukum  antara orang  dan perbuatan hukum  antara  orang dengan tanah , maka Pasal 16  UUPA  telah  mengatur tentang  bentuk-bentuk  hubungan
hukum   antara orang  dengan tanah, antara lain :  Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak guna Bangunan, Hak Pakai  dan hak yang bersifat sementara. Apabil  pasal ini dikaitkan dengan  Pasal 3 UUPA , maka jelas  pada pasal  ini tidak  dimasukkan  jenis  hak ulayat  sebagai
hak  salah satu  bentuk  hak yang  dapat  dimiliki  oleh masyarakat  atas tanah.  Akibat  lebih lanjut adalah  dalam rangka  pendaftaran tanah  yang mengatur  dengan  Pasal 19  UUPA  dan  dengan  PP Nomor 24 Tahun 1997, hak tersebut  tidak  termasuk  kedalam  salah
satu  hak  yang harus  di daftarakan  dan karakternyapun  tidak diketahui  akan termasuk  ke dalam  kelompok  hak yang mana dalam Pasal 16 UUPA.
15
. Political will  Pemerintah  dalam Undang-undang  Kehutanan tidak mengakui  Hak ulayat, karena   menganut paham Domein Negara dengan mengklaim  semua  hutan  yang  tidak  dapat  dibuktikan  sebagai  hutan milik, adalah  hutan negara . Hak ulayat  bukanlah hak
milik, akibatnya  hak  ulayat  atas  tanah  menjadi  objek  sengketa  dengan Departemen Kehutanan. Dan sumber sengketa bertambah karena peta hutan yng dibuat  oleh  Departemen Kehutanan  tidak  berdasarkan  kepada survei, sehingga kebun rakyat dipetakan sebagai
hutan. Sementara  Badan Pertanahan   Nasional  tidak mempunyai  kewenangan  atas  yang dinyatakan  sebagai hutan. Konversi  hutan dalam kenyataan  tidak memberikan  peluang  kepada  masyarakat  secara individual,  terutama  setelah izin  pembukaan tanah   menurut
PMDN  Nomor 6 Tahun 1972 dicabut.  Kebijakan untuk mendapatkan tanah melalui  konversi  tata guna  hutan  oleh Departemen Kehutanan lebih menguntungkan  instansi  Pemerintah  seperti  Transmigrasi,  Pertambangan dan pengusaha dibidang  Pertanian  dan
Perkebunan dengan menggunakan  koperasi  sebagai  alat penyertaan  rakyat.  Berkaitan dengan ketentuan status  hutan , yaitu hutan negara dan hutan milik   lihat pasal 5 ayat 1 uu No 41 Tahun 1999,  Hutan  Negara
adalah  hutan yang berada  pada tanah  yang tidak  dibebani  hak  atas tanah  lihat  Pasal 1 angka  3 UU No 41 Tahun 1999. Termasuk kedalm hutan negara  ini
adalah  hutan adat   lihat pasal  1 angka 6 UU No  41 Tahun 1999  Sementara yng dimksud dengan hutan hak  adalah hutan  yang berada  pada tanaha  yang dibebankan  hak  atas tanah   Pasal  1 angka  5 UU  No 41 Tahun  1999  sebagai
mana yang  di atur  dalam Pasal  16 UUPA.
16
PP No  21 tahun 1970  tentang  Hak Pengusahaan Hutan   dan Hak Pemungutan hasil Hutan, PP No 28  tahun 1985 tentang  Perlindungan Hasil Hutan, SKB   Menteri Kehutanan  dan Kepala  Badan  Pertanahan Nasional No 361Kpts-
VII90 tentang  Petunjuk Teknis  Penataan  Batas  dan  Pengukuran Kadastral  Dalam Rangka Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian  Hak Guna Usaha  untuk  Pengembangan Usaha  Pertanian,SKB Menteri  Kehutanan, Pertanian dan
Badan Pertanahan  No  364Kpts-II  90, 519KptsHK 050790 dan 23-VIII-1990 tanggal  25 juli 1990  tentang pelepasan  kawasan hutan  untuk  budi daya  pertanian.,SKB Menteri Trasmigrasi dan Menteri Kehutanan No.
80MEN1990 dan 375Kpts-II1990 tanggal 28  Julki 1990  tentang pelepasan hutan untuk kawasan  Transmigrasi,PP No 6  Tahun 1999 tentang  Pengusahaan Hutan  dan Pemungutan  Hasil Hutan  pada  Hutan Produksi.
23
sehubungan dengan tanah sebagai basis  keberadaan masyarakat adat dengan segala hak- hak konstitusinya. Dengan hanya bermodal  sebuah dokumen akan dapat membawa akibat
hilangnya hubungan sakral antara masyarakat adat dengan wilayah  yang dimilikinya. Walaupun dalam hal tertentu ada maksud baik dari  pemerintah dalam pengelolaan tanah
dan hutan
17
, akan tetapi dalam kenyataannya tidak ada jaminan  semua itu akan berjalan baik.
Keadaan  ini  mulai  terjawab  semenjak berjalannya era reformasi disaat adanya pengakuan secara konstitusi terhadap masyarakat hukum adat  dengan segala hak-hak
konstitusinya yang lebih lanjutnya diatur   pada sebuah undang-undang
18
.  Kemudian secara jelas terlihat  pengembangan    dalam  bentuk pembinaan dan perlindungan atas
legalitas masyarakat adat merupakan kewenangan  Negara   melalui  Pemerintah Daerah.
19
Adalah suatu kemajuan, legalitas hukum atas masyarakat adat sudah banyak diatur, serta dalam  konsep pengakuan dan penghormatan itu bisa saja dihormati
20
, tapi dalam
17
Bandingkan Djamaloedin,  Pembangunan Kehutanan Pada PJP II,  Kerbijakan dan Permasalahannya  Dalam Rangka  Amanat UUD 1945,  Makalah,  Pekanbaru 1994:49, bahwa  tujuan  yang ingin  dicapai  dalam  pembangunan
kehutanan adalah,  1. Peningkatan mutu hutan alam,  rehabilitasi hutan alam  yang rusak  dan  pemantapan  kawasan hutan  tetap  agar  fungsi  hutan  dalam  mendukung  pembangunan ber kelanjutan  dapat ditingkatkan.   2. Peningkatan
efisiensi dan produktifitas pengelolaan  hutan alam dan industri  pengelolaan  hasil hutan  agar  lebih  hemat dalam pemanfaatan hutan  dan hasil hutan. 3. Pengembangan  hutan  tanaman  baru , baik  HTI maupun  hutan  rakyat untuk
meningkatkan  tambahan  pendapatan  bagi   masyarakat  terutama di daerah kritis  sekaligus  dalam  rangka meningkatkan  mutu  lingkungan hidup. 4. Peningktan  kemampuan  dunia usaha  swasta  dan masyarakat  untuk
mengembangkan  pengelolaan  hutan alam  yang berwawasan  lingkungan  dengan penerapan  system  yang berwawasan lingkungan  dengan penerapan  sistem  silvikultur intensif  dan pendekatan  social ekonomi  yang tetap.   Peningkatan
kesejahteraan penduduk  miskin  di dalam  dan di sekitar  hutan  melalui  pengembangan  usaha  produktif atas dasar kemitraan  kerja  dan usaha  yang mantap sekaligus  untuk  meningkatkan  pendapatan  daerah  tertinggal.5.
Pengembangan hasil hutan  untuk ekspor  yang berasal  dari hutan  yang  dikelolah  secara  lestri. 6. Peningkatan kemampuan  dan  kepedulian  Pemerintah  Daerah  dalam  pelestarian  fungsi hutan  sebagai  sumber  daya  ekonomi  dan
penyediaan  jasa  lingkungan hidup.
18
Pasal 18B  ayat 2 bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat  beserta hak tradisionalnya sepanjang   masih ada  dan sesuai  dengan  perkembangan masyarakat  dan prinsip  negara  kesatuan RI
yang di atur dalam UU, Pasal 281 ayat 3  bahwa identitas budaya  dan hak  masyarakat  tradisional dihormati  selaras dengan perkembanganh zaman  dan peradaban
19
Lihat Bab VI  Amendemen UUD 1945 Tahun 2000 dengan judul Pemerintah Daerah.
20
Pada Tahun 1991, Gubernur Riau telah menerbitkan Surat Keputusan No. Kpts.52I-IV1991 tertanggal 29 juni 1991, tentang Izin Lokasi dan Pembebasan HakPembelian tanah, yang isinya antara lain berbunyi : 3.2. Terhadap areal tersebut
di atas apabila terdapat hutan Kepungan Sialang dan hutan larangan supaya dikeluarkan inclave  sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala daerah Tingkat I Riau, Nomor : KptsIX1972 tanggal 18 September 1972; 3.3. Seandainya
hutan Kepungan Sialang dan hutan larangan tersebut akan dimanfaatkan oleh perusahaan, pelepasan haknya haruslah ditandatangani oleh Pemangku Adat Pesukuan setempat atas keputusan musyawarah adat, kemudian diketahui oleh
Kepala Desa dan Camat; 3.4. Jika terdapat kebun rakyattanah garapan penduduk yang terdapat di dalam izin lokasi ini, sepanjang penduduk yang bersangkutan bersedia, dilakukan ganti rugi yang hars melalui Bupati Kepala Daerah Tingkat
24
tahap implementasi mungkin tidak mudah dengan alasan  jumlah masyarakat hukum adat dengan segala bentuk dan dasar filosofisnya  yang berbeda  harus diatur dalam sebuah
Undang-undang. Mengingat pengembangan lebih lanjut peranan pemerintah daerah  sangat menentukan, dengan demikian kajian-kajian yang memberikan dukungan sebagai masukan
membantu amanah konstitusi harus selalu dilakukan
21
. Keadaaan ini lebih efektif bila melalui sebuah kajian ilmiah dalam bentuk penelitian. Yang pada akhirnya dapat dijadikan
referensi dalam  pengakuan dan perlindungan oleh negara, tentunya tetap memperhatikan prinsip  Berwawasan  Negara Kesatuan  Republik  Indonesia, kebersamaan, berdaya guna
dan berhasil guna, berkeadilan dan berkekuatan hukum
22
.
3. Kesimpulan