Ikhtiar Pada Konteks Nasional MoU Helsinki memberikan mandat kepada Presiden dan DPR untuk
keberadaan KKR di Aceh sebagaimana diatur dalam Pasal 229. Namun dicabutnya UU KKR oleh MK membuat KKR di Aceh tidak memiliki
basis legalnya karena dalam Pasal 229 ayat 2 UU Pemerintahan Aceh dinyatakan bahwa KKR Aceh merupakan bagian tak terpisahkan dari
KKR Nasional.
Berikut adalah ketentuan mengenai HAM—termasuk KKR Aceh—yang diatur dalam UU Pemerintahan Aceh:
33
1 Untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sesudah Undang-Undang
ini diundangkan dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh. 2 Putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 memuat antara lain pemberian kompensasi, restitusi, danatau rehabilitasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia.
1 Untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi, dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh.
2 Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan bagian tidak terpisahkan dengan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi. 3 Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh bekerja berdasarkan
peraturan perundang-undangan. 4 Dalam menyelesaikan kasus pelangggaran hak asasi manusia di Aceh,
Ko m i s i Ke b e n a r a n d a n Re ko n s i l i a s i d i A c e h d a p a t mempertimbangkan prinsip-prinsip adat yang hidup dalam
masyarakat.
Pasal 229 Pasal 228
Pasal 230
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemilihan, penetapan anggota, organisasi dan tata kerja, masa tugas, dan biaya
penyelenggaraan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh diatur dengan Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan perundang-
undangan.
Sumber: UU No. 11 Tahun 2006
34 pelanggaran yang terjadi semasa tiga dasawarsa konflik di Aceh pada
konteks nasional mulai pudar. Poin-poin penting mengalami amputasi. UU KKR pun dicabut oleh MK yang karena pencabutan ini, maka
ikhtiar pembentukan KKR di Aceh dengan sendirinya berakhir.
Meski demikian gerakan masyarakat sipil dan korban pelanggaran HAM di Aceh tak tinggal diam. Mereka lalu memusatkan
ikhtiarnya pada arena politik lokal di Aceh, tepatnya di DPRA dan Pemerintah Aceh hasil Pemilukada 2006 yang dimenangkan oleh
pasangan GAM-SIRA—yang maju melalui jalur independen—yakni: Gubernur, Irwandi Yusuf, dan Wakil Gubernur, M. Nazar.
3. Ikhtiar Pada Konteks Aceh Lalu bagaimana ikhtiar di tingkat lokal Aceh? Pada prinsipnya Gubernur
Irwandi mendukung pembentukan KKR karena merupakan amanah
13
dari MoU Helsinki. Irwandi juga menyatakan ikhtiar yang sudah dilakukannya untuk mencari payung hukum bagi KKR Aceh, yakni
dengan cara menulis surat pada Presiden SBY. Payung hukum nasional dibutuhkan karena KKR di Aceh, sebagaimana dimaksud pada Ayat 1
14
merupakan bagian tidak terpisahkan dari KKR. Dalam lain kata, Pemerintah Aceh bersikap akan membentuk KKR Aceh apabila ada
payung hukum nasional untuk pembentukan KKR Nasional. Pada kesempatan lain, Gubernur Irwandi mengatakan:
”Mengingat batas waktu yang ditetapkan UUPA telah dilewati, maka saya menyarankan kepada Presiden untuk mengupayakan percepatan
pembentukan pengadilan tersebut agar tersedianya jalur hukum untuk korban-korban pelanggaran HAM di Aceh… Sebagai jalan lain, kami
menyarankan agar Presiden mempertimbangkan untuk menetapkan suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Perpu tentang KKR.
15
Ini memang dimungkinkan karena situasinya darurat.” Ikhtiar Gubernur Irwandi tersebut dibenarkan oleh Menteri
Dalam Negeri Mardiyanto bahwa surat Gubernur telah diterima dan Pemerintah sedang berkonsultasi dengan para pihak yang terkait di
Jakarta. Satu-persatu ikhtiar untuk menyelesaikan kasus-kasus
13. http:www.rakyataceh.co.nr, rakyat aceh, 16 Februari 2007. 14. Kompas, 24 Maret 2007.
15. Serambi, 24 November 2007. Kepala Biro Hukum dan Humas Setda Aceh, A Hamid Zein bahkan memberikan harapan yang lebih besar tentang pembentukan KKR “bahwa Rancangan Undang-Undang
RUU KKR sudah dimasukkan ke dalam program legislasi nasional prolegnas tahun 2008.” Serambi, 26 November 2007.
35
”Kami sudah menerima surat permohonan dari Gubernur NAD Irwandi Yusuf agar pemerintah segera mengeluarkan keputusan mengenai
pembentukan KKR Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Surat itu akan
16
menjadi pertimbangan penyegeraan pembentukan KKR.” Perihal pembentukan KKR juga dibicarakan dalam pertemuan
Forum Komunikasi dan Koordinasi FKK Damai Aceh, yang merupakan forum perwakilan Pemerintah Pusat yang berkantor di
Aceh. Anggota FKK, Masykur, meyakinkan bahwa Pusat siap untuk membentuk KKR, dan dia justru meragukan kesiapan Pemerintah Aceh
dan pihak GAM.
”Dari hasil rapat tersebut memang telah kita sepakati untuk perancangan Perpu bagi pembentukan KKR di Aceh secara lebih spesifik, mengingat
acuan dasar pembentukan KKR yang didasarkan pada UU No 27 Tahun 2004 Tentang KKR, telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Saat ini Perpu tersebut sedang dalam proses persiapan…. Pada prinsipnya pemerintah pusat siap untuk membentuk KKR dan pengadilan HAM di
Aceh, sekarang pertanyaannya adalah apakah pihak yang dulunya
17
bertikai siap untuk menerimanya.” Di lain pihak, ternyata rancangan qanun KKR tidak masuk
dalam Program Legislasi DPRA 2007, meski sudah diamanatkan dalam MoU Helsinki dan UUPA. Sejumlah organisasi masyarakat sipil pun
menyikapinya dengan mendesak Pemerintah RI untuk segera membentuk KKR di Aceh sebagai perwujudan pengakuan terhadap
18
kehormatan para korban dan ahli warisnya. Di tingkat bawah, gerakan masyarakat sipil sudah
mensosialisasikan pembentukan KKR Aceh kepada para ulama. Aksi mereka mendapatkan dukungan dari ulama Aceh yang terhimpun dalam
Himpunan Ulama Dayah Aceh HUDA.
Dalam sebuah kesempatan, Sekretaris Jendral HUDA, Tgk Faisal Ali, mengatakan bahwa korban konflik mempertanyakan tiga poin
kepada Gubernur Irwandi. Ketiga poin tersebut adalah kapan pengadilan HAM di Aceh bisa dilaksanakan, kapan Komisi Kebenaran
16. Kompas, 27 November 2007. 17. Serambi, 4 Oktober 2007.
18. Serambi, 19 Agustus 2007.
36 dan Rekonsiliasi KKR dibentuk dan dijalankan, ketiga mengapa
kinerja Badan Reintegrasi Damai-Aceh BRA sampai kini belum maksimal dalam menjalankan program reintegrasi untuk korban
19
konflik. Namun Gubernur Irwandi tak serius menanggapi keluhan para
ulama. Dia hanya mengatakan agar para korban bersabar. Lalu, dia mengalihkan perbincangan dengan para korban ke persoalan kebutuhan
lain yang mendesak, yakni pembentukan Komisi Komplain sebagaimana yang diamanatkan MoU Helsinki.
”Ini juga belum terbentuk, padahal ini sangat penting. Karena pada waktu terjadi konflik, banyak rumah, toko, kendaraan masyarakat yang
dibakar dan diambil paksa. Sampai sekarang belum ada proses penggantiannya. Dalam perjanjian damai, masalah ini harus
20
dilaksanakan, agar orang yang jadi korban bisa mendapat ganti rugi.” Konsekuensi logis dari sikap Gubernur Irwandi yang
menggantungkan pembentukan KKR Aceh pada payung hukum nasional berdampak pada gagalnya upaya 35 anggota DPR Aceh periode
2004-2009 yang menggunakan hak inisiatif mereka mengajukan draf rancangan qanun KKR untuk dibahas, menjadi gagal. Salah seorang
inisiator, Muklis Mukhtar menjelaskan bahwa ”ada penjelasan dari Pemerintah Aceh yang meminta ditunda, maka semangat dari tim ini
21
sempat buyar.” Ketika berkunjung ke Aceh, Martti Ahtisaari mengakui masih
adanya butir-butir dalam MoU Helsinki yang belum diimplementasikan, khususnya yang menyangkut pembentukan pengadilan HAM dan KKR,
namun hal ini menjadi tanggungjawab Pemerintah sepenuhnya. ”Adalah menjadi kewenangan polisi untuk menyelidiki dan menindak
para pelakunya, sehingga jangan sampai menjadi ancaman bagi masa
22
depan perdamaian Aceh.” Dalam hal ini cara pandang Pemerintah Aceh termasuk staf ahli
gubernur dan Martti Ahtisaari dalam melihat siapa pihak yang bertanggung jawab dalam pembentukan pengadilan HAM dan KKR
adalah Pemerintah Pusat. Dalam bahasa staf ahli Gubernur, M Nur Rasyid, ”Pemerintah RI masih punya utang, antara lain belum
19. Serambi, 7 September 2007. 20. Serambi, 7 September 2007.
21. Serambi, 11 Februari 2009. 22. Serambi, 26 Februari 2009.
37
23
terbentuknya KKR.” Meskipun demikian kondisi politik di Aceh, para aktivis
organisasi masyarakat sipil dan para korban tetap melakukan ikhtiar untuk pembentukan pengadilan HAM dan KKR. Harapan itu kembali
muncul paska Pemilu 2009 karena Partai Aceh mendominasi kursi parlemen di provinsi. Partai ini mendapat 33 dari 69 kursi DPR Aceh.
Mereka menuntut segera pembahasan dan pengesahan rancangan qanun KKR. Direktur AJMI, Hendra Budian mengatakan: ”Kepada
Dewan baru agar sesegera mungkin mengesahkan Qanun KKR demi
24
menjawab rasa keadilan bagi korban konflik.” Gubernur Irwandi pun kian mempertegas sikap politiknya perihal ini:
”Yang sangat penting untuk kita minta perubahan adalah Pasal 229 tentang pembentukan KKR. Dalam UUPA disebutkan kalau
pembentukan KKR Aceh harus dibentuk berdasarkan UU. Dalam penjelasan UUPA, UU yang menjadi cantolan KKR Aceh adalah UU
No 27 Tahun 2004 tentang KKR nasional. Masalahnya UU KKR itu sudah dibatalkan oleh MK. Untuk menunggu UU yang baru, kita
membutuhkan waktu yang lama. Kalau Aceh membentuk KKR dengan menggunakan payung hukum qanun, perdebatan hukum akan panas lagi.
Alangkah sangat bijak kalau kita minta agar Pasal 229 ini direvisi, sehingga kita tidak perlu menunggu UU lagi untuk pembentukan KKR
25
Aceh.”
4. Korban Memonumenkan Kebenaran Di tingkat bawah, masyarakat memiliki ikhtiarnya sendiri dalam
mengingat pelanggaran hak asasi manusia sepanjang konflik berlangsung. Warga Pusong di Kota Lhokseumawe bersama dengan
Komunitas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Aceh Utara dan Lhokseumawe K2HAU mengadakan ritual tahunan berupa doa
bersama dan menyantuni anak yatim dalam mengenang tragedi penyiksaan di Gedung KNPI, pada 9 Januari 1999. Dalam peristiwa ini
lima warga sipil meninggal, 23 luka berat dan 21 luka ringan. Mereka juga mendesak Pemerintah di Jakarta dan Gubernur Aceh untuk membentuk
pengadilan HAM dan KKR sesuai amanat MoU Helsinki.
23. Serambi, 28 Agustus 2009. 24. Serambi, 1 Oktober 2009.
25. Materi disampaikan pada diskusi politik dengan tema: Menjaring Aspirasi Rakyat Aceh dalam Revisi UUPA, bertempat di Anjong Mon Mata Banda Aceh tanggal 21 April 2010 yang dilaksanakan DPP Partai
Rakyat Aceh PRA.
38 Berbagai organisasi masyarakat sipil, masyarakat dan keluarga
korban tragedi Simpang KKA yang terjadi pada 3 Mei 1999 di Aceh Utara juga mengkonstruksi ritual peringatan atas tragedi tersebut. Selain
26
peringatan tahunan, mereka juga mendirikan monumen dengan grafiti:
l
Pemerintahan Aceh dan Pusat harus mengambil langkah- langkah kongkrit misalnya dengan membentuk tim-tim
pencari fakta terhadap kasus masa lalu di Aceh untuk adanya sebuah pendomentasian kasus secara menyeluruh di Aceh,
pemerintahan Aceh segera membentuk Qanun KKR Aceh.
l
Pemerintahan di tingkat Nasional harus segera mengesahkan undang-undang KKR Nasional yang sudah dicabut.
l
Pembentukan pengadilan HAM untuk Aceh menjadi bahagian dari penyelesaian kasus pelanggaran HAM Aceh,
mekanisme pengadilan HAM dan KKR saling berhubungan dalam proses pemberian rasa keadilan bagi korban.
Demikian pula yang dilakukan oleh masyarakat dan korban serta ahli warisnya di Jamboe Keupok, Bakongan, Aceh Selatan. Mereka
mendirikan sebuah monumen untuk mengenang 16 warga sipil yang menjadi korban massal. Saburan, salah seorang anak korban,
mengatakan:
”Negara melakukan kejahatan, kami tidak ingin melupakan. Apalagi sampai sekarang keadilan dan tanggung jawab negara belum terwujud…
Tugu ini penting sebagai bukti sejarah. Setidaknya menjadi pengobat hati
27
kami para korban dan kami tetap menuntut hak.” Di Banda Aceh, Keluarga korban penghilangan paksa se-Aceh
Kagundah meminta agar Pemerintah Aceh membentuk qanun KKR. Hasil Kongres, menurut sekretaris jenderal Kagundah, Rukaiyah:
”Orang-orang yang hilang semasa konflik itu merupakan tulang punggung bagi keluarga. Sekarang mereka tidak ada lagi, sehingga para keluarga
korban kesulitan memenuhi nafkahnya… Ini harus ditunjukkan sebagai wujud kepedulian pemerintah untuk mendukung keberlangsungan
28
perdamaian yang berkeadilan di Aceh.”
26. http:atjehlink.comtragedi-simpang-kka-keadilan-bukan-sebatas-tugu 27. VHRmedia, 28 Oktober 2011.
28. Waspada Online, 15 October 2009.