Inter-American Human Right Court
dan menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu yang secara umum disebut sebagai komisi kebenaran. Di Argentina, pada 16 Desember
1983 dibentuk Komisi Nasional untuk Menyelidiki Kasus-kasus Penghilangan Paksa melalui Keputusan Presiden Raul Alfosin.
Kemudian berlanjut pada pembentukan komisi kebenaran di berbagai negara lainnya, di antaranya Uganda, Chile, Chad, El Salvador, dan Haiti,
dan Afrika Selatan, Guatemala, Nigeria, Sierra Leone, Timor Lesta, dan
52
lainnya. Sejak tahun 1978-2007, setidaknya lebih dari 32 Komisi
Kebenaran terbentuk di 28 negara dengan berbagai format dan
53
mandatnya. Pendirian Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan, sebagai mekanisme pengungkapan kebenaran non-judial atas
berbagai pelanggaran HAM yang massif telah mendapatkan perhatian
54
dunia. Pembentukan Komisi Kebenaran di berbagai negara, sangat
tergantung konteks pelanggaran masa lalu serta konteks masa transisi masing-masing negara tersebut, namun secara umum Komisi
Kebenaran dapat dinyatakan sebagai:
”Sebuah institusi non-yudisial yang bersifat sementara yang didirikan oleh sebuah institusi resmi untuk menyelidiki pola pelanggaran HAM berat
yang dilakukan selama kurun waktu tertentu pada masa lalu. Tujuan dibentuknya institusi ini adalah untuk menerbitkan sebuah laporan
terbuka, termasuk data-data tentang korban,beberapa butir rekomendasi
55
menuju pencapaian keadilan dan rekonsiliasi.” Komisi Kebenaran dibentuk untuk menghadapi warisan
pelanggaran masa lalu dan mencapai rekonsiliasi nasional yang bersifat partisipatori dan mendalam, dan bukan untuk menghindari akuntabilitas
pelanggaran maupun proses pengadilan. Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa komisi kebenaran pada umumnya dibentuk karena
adanya proses transisi dari pemerintahan otoriter menuju sebuah pemerintahan demokratis, atau dibentuk dalam upaya mempertahankan
perdamaian usai terjadinya perang sipil atau pemberontakan bersenjata.
52. Pricilla B. Hayner, ”Unspeakable Truth: Facing the Challenge of Truth Commission”, Routledge, 2002. Telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh ELSAM dengan judul, ”Kebenaran Tak Terbahasakan:
Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi Kebenaran, Kenyataan dan Harapan, 2005. 53. http:www.amnesty.orgeninternational-justiceissuestruth-commissions
54. Pricillia B. Hayner, ”Truth Commission: A Schemic Overview”, International Review of the Red Cross, Vol. 88, Juni 2006.
55. Dan Bronkhorst, Truth Commissions and Transitional Justice: A Shrot Guide Amnesty Internasional Netherlands Document, September 2003, www.amnesty.nldownloadstruthcommission_guide.doc
66
Proses pembentukan Komisi Kebenaran dapat dilakukan berdasarkan keputusan presiden atau undang-undang di tingkat nasional, maupun
sebagai kesepakatan perdamaian yang didukung ditingkat internasional, misalnya oleh PBB.
Lahirnya komisi kebenaran tidak dimaksudkan untuk menggantikan fungsi peradilan dalam pencarian keadilan dan
akuntabilitas, melainkan dimaksudkan untuk melengkapi segala aspek penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu termasuk pencarian keadilan,
penegakan hukum, pengungkapan kebenaran, perubahan hukum dan institusi, pemulihan, rekonsiliasi, pematahan budaya impunitas dan lain
sebagainya.
Komisi kebenaran meskipun mandatnya dipengaruhi konteks pelanggaran dan bentuk akuntabilitas yang diharapkan, pendirian suatu
komisi kebenaran harus berdasar kepada norma dan prinsip-prinsip sebagaimana yang dituangkan dalam hukum HAM internasional.
Artinya, Komisi kebenaran dan rekonsiliasi merupakan salah satu mekanisme yang melengkapi proses akuntabilitas kejahatan pelanggaran
HAM yang berat.
Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa Komisi Kebenaran didasari oleh pentingnya melakukan catatan yang akurat atas
pengalaman masa lalu historical record of past abuses yang berguna untuk mencegah terjadinya peristiwa yang sama terulang. Kemudian, fungsi
penting adanya proses ini untuk mendorong adanya pengakuan resmi atas pelanggaran HAM yang terjadi, dan negara secara publik mengakui
kesalahan atas terjadinya pelanggaran HAM di masa lalu.
Selain itu, catatan tentang pelanggaran HAM yang terjadi akan mampu merekomendasikan berbagai langkah-langkah penting untuk
adanya akuntabilitas, pemulihan kepada korban, dan rekomendasi perbaikan institusi dan adanya kebijakan untuk memastikan pelanggaran
serupa tidak terulang. Tersedianya catatan yang akurat dari praktek masa lalu juga akan mempermudah penegakan akuntabilitas oleh negara.
Berbeda dengan mekanisme pengadilan, proses dalam komisi kebenaran memberikan ruang yang penting bagi para korban untuk
mengungkapkan ceritanya, dengan demikian dapat mengungkap apa yang sesungguhnya terjadi di masa lalu. Pengungkapan kebenaran, yang
mendasarkan pada suara korban akan berkontribusi pada proses penyembuhan sosial social healing, dan mendorong terjadinya
67