Interpretasi Puisi "Aku" Karya Chairil Anwar (Studi Kualitatif Dengan Pendekatan Hermeneutika Mengenai Interpretasi Puisi "Aku" Karya Chairil Anwar Dalam Buku Aku Ini Binatang Jalang)

(1)

Interpretasi Puisi “Aku”

Karya Chairil Anwar dalam

Buku Aku Ini Binatang Jalang)

SKRIPSI

Diajukan untuk memempuh Ujian Sarjana

Pada Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia

Oleh,

SARAH ANDANASARI NIM. 41808165

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG


(2)

(3)

iii

DALAM BUKUAKU INI BINATANG JALANG)

Oleh: Sarah Andanasari

Nim. 41808165

Skripsi ini dibawah bimbingan, Drs. Alex Sobur, M.Si

Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui mengetahui makna puisi

“Aku” karya Chairil Anwar dalam buku Aku Ini Binatang Jalang. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pemikiran Chairil Anwar,lingkup budaya saat teks dihasilkandan makna pemikiran penafsir terhadap Puisi “Aku” karya Chairil Anwar dalam buku Aku Ini Binatang Jalang.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan analisis hermeneutika Paul Recouer. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumentasi, studi pustaka, dan penelusuran data online. Objek yang

dianalisis merupakan puisi “Aku” yang terdapat dalam buku Aku Ini Binatang Jalang.

Hasil penelitian, menunjukan bahwa terdapat tiga makna sesuai dengan hermeneutika Paul Recouer. Makna pemikiran Chairil yang tertuang dalam puisi

“Aku” menggambarkan ungkapan kematian Chairil dan juga perjuangan yang

dilakukan tanpa henti-henti untuk meraih kemerdekaan yang dimiliki setiap individu yang juga terkait dengan makna lingkup budaya saat puisi “Aku”

dihasilkan yaitu, bahwa puisi “Aku” ini juga mewakili kondisi bangsa Indonesia dalam penjajahan Jepang untuk meraih kemerdekaan. Sedangkan makna pemikiran penafsir yang dapat diambil bahwa tafsiran puisi “Aku” sangat beragam, hal ini terkait dari latar belakang penafsir saat mentafsir teks.

Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa teks memiliki sifat otonom untuk ditafsir oleh si pembacanya. Sesuai dengan yang sebut Paul Recoure tantang otonomisasi teks.

Saran yang dapat peneliti berikan bagi para penyair selanjutnya untuk membuat karya yang dapat menggambarkan kondisi dan latar belakang suatu kejadian, agar pembaca dapat lebih dalam memaknai puisi tersebut.


(4)

iv

OF POETRY HERMENEUTICS "AKU" ANWAR CHAIRIL BY IN THIS BOOK AKU INI BINATANG JALANG)

By: Sarah Andanasari

Nim. 41808165

This thesis under the guidance of, Drs. Alex Sobur, M.Si

This study intends to find out the meaning of the poem "Aku" by Anwar in the book Aku Ini Binatang Jalang. The purpose of this research is to know the thought Anwar, the scope of the current culture and the meaning of a text generated commentators thought of the poem "Aku" by Chairil Anwar in the book Aku Ini Binatang Jalang.

This research is a qualitative study using hermeneutic analysis by Paul Recouer. Data collection techniques used is the study documentation, literature, and online data retrieval. Objects that analyzed a poem "Aku" contained in the book Aku Ini Binatang Jalang.

The results, showed that there are three meanings according to the hermeneutics of Paul Recouer. Meaning Chairil thinking embodied in the poem "Aku" describes the expression of death Chairil and also struggle without ceasing for independence of every individual who is also related to the scope of the cultural meaning of the poem as "Aku" is generated that is, that the poem "Aku" It also represents the condition of the Japanese occupation of Indonesia for independence. While commentators thought that the meaning can be drawn that the interpretation of the poem "Aku" is very diverse, it is related to the background of interpreters when interpreting the text.

From the results of this study concluded that the autonomous nature of the text has to be interpreted by the reader. In accordance with the call Paul Recoure challenged otonomisasi text. Suggestions that researchers can further provide for poets to create works that can describe the condition and background of a scene, so that the reader can better interpret the poem.


(5)

ix DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PERSEMBAHAN

LEMBAR PENGESAHAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.2.1 Pertanyaan Makro... 5

1.2.2 Pertanyaan Mikro ... 5

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 5

1.3.1 Maksud Penelitian ... 5

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Kegunaan Penelitian ... 6

1.4.1 Kegunaan Teoretis ... 6


(6)

x

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Komunikasi ... 8

2.1.1 Persepsi sebagai Inti Komunikasi... 9

2.1.2 Interpretasi sebagai Inti Persepsi ... 11

2.2 Seni dan Estetika ... 13

2.3 Puisi Sebagai Seni Komunikasi ... 17

2.3.1 Pengertian Puisi ... 17

2.3.2 Unsur-Unsur Puisi ... 18

2.4 Tentang Bahasa, Teks, dan Hermeneutika ... 29

2.4.1 Bahasa ... 29

2.4.2 Teks ... 33

2.4.3 Hermeneutika ... 37

2.5 Kerangka Pemikiran ... 43

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian ... 49

3.1.1 Puisi “AKU” ... 49

3.1.2 Isi Puisi “ AKU” ... 50

3.1.3 Biografi Chairil Anwar ... 51

3.2 Metode Penelitian ... 56

3.2.1 Desain Penelitian ... 60

3.2.2 Teknik Pengumpulan Data ... 61

3.2.2.1Studi Kepustakaan ... 62


(7)

xi

3.2.4 Uji Keabsahan Data ... 63

3.2.4.1Meningkatkan Ketekunan ... 63

3.2.4.2Menggunakan Bahan Referensi ... 64

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 64

3.3.1 Lokasi Penelitian ... 64

3.3.2 Waktu Penelitian ... 64

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 66

4.1.1 Makna Pemikiran Chairil Anwar ... 66

4.1.2 Analisis Lingkup Budaya Saat Teks Dihasilkan ... 76

4.1.3 MaknaPemikiran Penafsir / Publik ... 90

4.2 Pembahasan ... 93

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 105

5.2 Saran ... 107

5.2.1 Saran bagi Universitas ... 107

5.2.2 Saran bagi Peneliti Selanjutnya ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 109 LAMPIRAN


(8)

1 1.1Latar Belakang Masalah

Puisi merupakan salah satu bentuk sastra yang lahir dari perasaan serta pemikiran sastrawan atas pengalaman diri dan kondisi masyarakat yang terjadi pada saat itu. Begitupun bentuk karya sastra Indonesia yang juga merupakan potret diri serta kebudayaan masyarakat Indonesia.

Tentunya sudah tak asing lagi mendengar nama Chairil Anwar. Sebagai pelopor angkatang 45, Chairil muncul dengan karyanya yang bernafas baru. Lain dengan angkatan sebelumnya, karangan Chairil disajikan dengan menggunakan bahasa yang lekat dengan kehidupan sehari-hari. Namun, hal ini tidak menjadikan karangan tersebut menjadi tak berarti.

Hal ini, lebih disebabkan gaya bahasa dan tatanan Chairil yang berbeda dengan tatanan kesusastraan pada masa itu. Jika pada angkatan Balai Pustaka, karya sastra yang muncul pada saat itu, masih menunjukan keterkaitannya pada problem kultural. Sehingga, karya sastra yang dihasilkan masih mengangkat persoalan adat seperti kawin paksa dan seputar romantisme yang hampir mendominasi novel Indonesia. Dan pada angkatan Pujangga Baru dinilai mengkhianati identitas bangsa karena terlalu berkiblat ke Barat,. Sedangkan Kehadiran Angkatan 45 meletakkan pondasi kokoh bagi Sastra Indonesia. Sehingga, membawa dampak yang sangat besar pada sastrawan lain pada zaman itu dan setelahnya. Oleh karena itu, saat karya-karya Chairil Anwar telah dikenal,


(9)

menjadi gebrakan baru dalam kesusastraan Indonesia yang sangat penting hingga bisa membentuk gaya puisi modern. Seperti yang dikatakan Rendra dalam

pengantar buku “Aku” Chairil Anwar karya Sjuman Djaya sebagai berikut.

“…panorama dunia seni sastra Indonesia segera berubah setelah Chairil

Anwar hadir dengan karya-karyanya. Ia telah membuka kesadaran pada seniman sezamannya dan sesudah zamannya. Mereka mulai melihat kemungkinan yang lebih luas untuk perkembangan kepribadian dan gaya

kesenian yang baru (1987)”.

Merasa terdesak dalam kondisi Indonesia pada masa penjajahan Jepang, Chairil Anwar tidak tinggal diam. Setelah menulis beberapa puisi tentang semangat kemerdekaan seperti “Diponegoro”, Chairil terus membangun semangat juang kemerdekaan melalui karya-karyanya dengan melancarkan puisi yang kritis dan tajam. Salah satunya terdapat dalam sebuah Puisi “Aku” yang pertama kali dikenalkan Chairil Anwar pada pertemuan Angkatan Muda di Pusat Kebudayaan pada Juli 1943, yang menjadi maskot pembaharuan dalam sejarah perpuisian di Indonesia.

Ketika puisi “Aku” −//kalau sampai waktuku/ kumau tak seorang kan merayu/ tidak juga kau/ tak perlu sedu sedan itu/ Aku ini binatang jalang/ dari kumpulan terbuang/ biar peluru menembus kulitku/ Aku tetap meradang menerjang/ lika dan bisa kubawa berlari/ berlari/ hingga hilang pedih peri/ dan Aku akan lebih tidak perduli/ Aku mau hidup seribu tahun lagi//− akan diterbitkan, puisi ini ditolak oleh Harian Asia Raya karena dianggap demokratis dan tidak sesuai dengan cita-cita Asia Timur Raya pada waktu itu. Sehingga, puisi

“Aku” dimuat di Panji Pustaka. Namun, judulnya terpaksa diganti jadi


(10)

Setelah meninggalnya Chairil Anwar, puisi-puisinyapun tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Indonesia. tak hanya anak sekolahan saja yang masih membacakan puisi Chairil di depan kelas. Berbeda dengan itu, berbagai penelitian serta buku tentang Chairilpun hingga kini masih menjadi topik yang menarik. Hal ini menjadikan betapa “Aku” tidak hanya sepanggal catatan biasa, akan tetapi telah menjelama menjadi karya yang menorehkan sejarah dalam kesusastraaan Indonesia.

Jika diulas lebih dalam lagi, Puisi “Aku” tak ubahnya seperti tuangan pemikiran Chairil mengenai keresahan jiwa akan masalah kematian yang di dalamnya tetap menekankan semangat yang kritis terhadap bentuk kemerdekaan.

Menarik dan tentunya penting disimak, puisi ini bukanlah sekedar gambaran kondisi masa lalu negara Indonesia yang telah menjadi suatu babak sejarah, tetapi juga refleksi yang jernih dengan situasi bangsa dewasa ini. Oleh karena itu, peneliti merasa puisi yang ditulis Chairil Anwar ini amat penting untuk dapat dilihat kembali dan diulas lebih dalam, dengan sebentuk penelitian.

Dengan demikian, dalam perspektif ilmu komunikasi, manusia selalu

menyampaikan sesuatu dalam hidupnya. “sesuatu” dapat diekspresikan dalam

berbagai bentuk. Mulai dari penampilan diri sendiri, sikap, ucapan, serta simbol-simbol yang dipakai manusia. Artinya, segala sesuatu yang ingin disampaikan manusia tersebut merupakan pesan yang dikirimkan dan ditangkap oleh individu lain yang meresponya.

Sebagaimana yang diutarakan oleh Onong Uchjana Effendy, “Hakikat komunikasi adalah proses pernyataan antarmanusia. Yang dinyatakan itu adalah


(11)

pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa

sbagai alat penyalurnya” (Effendy, 2002:28).

Tak terkecuali tulisan dalam sebuah karya sastra. Tulisan, sebagai sebuah pernyataan mengandung pesan-pesan yang merupakan bentuk ekspresi dan buah pemikiran dari sang penulis. Pesan ini adalah salah satu bagian dari unsur komunikasi yang memiliki peranan penting. Tanpa pesan, manusia tidak mungkin berkomunikasi. Melalui tulisan, pesan yang tidak dapat atau sulit untuk diungkapakan secara langsung dapat dituangkan secara luas oleh penulisnya.

Pesan inilah yang peneliti coba maknai dan interpretasi secara lebih dalam melalui penelitian ini. Dengan kata lain, peneliti mencoba menuangkan pemikiran Chairil Anwar dalam puisi yang mengandung pesan-pesan bermakna sejarah yang penting unuk diteliti maknanya kemudian diinterpretasikan agar dapat terlihat pemikiran Chairil Anwar mengenai Kemerdekaan Indonesia.

Agar dapat menguak pemikiran Chairil mengenai kemerdekaan Indonesia baik kemerdekaan bangsa maupun kemerdekaan manusia dalam Puisi “Aku” ini, peneliti menggunakan pendekatan hermeneutika, khususnya yang digawangi Paul Recoeur untuk membedahnya. Hermenutika merupakan pendekatan yang berbasis pada analisis dan interpretasi teks. Sesuai dengan hal ini, adapun tahap interpretasi dalam puisi ini akan dilakukan dengan teori dari Paul Ricoeur yaitu: Teori Otonomi Teks yang terbagi dalam tiga bentuk: Otonomi terhadap maksud pengarang, Otonomi terhadap lingkungan kebudayaan asli tempat teks itu ditulis, dan Otonomi terhadap pendengar atau publik.


(12)

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Pertanyaan Makro

Merujuk pada uraian latar belakang di atas, adapun rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian ini adalah Bagaimana Makna Puisi “Aku” karya Chairil Anwar dalam Buku Aku Ini Binatang Jalang?

1.2.2 Pertanyaan Mikro

1. Bagaimana makna pemikiran Chairil Anwar yang tertuang dalam Puisi “Aku” dalam buku Aku Ini Binatang Jalang?

2. Bagaimana makna lingkup kebudayaan tempat teks ditulis yang terkandung dalam Puisi “Aku” karya Chairil Anwar dalam buku Aku Binatang Ini Jalang?

3. Bagaimana makna pemikiran penafsir terhadap Puisi “Aku” karya Chairil Anwar dalam buku Aku Ini Binatang Jalang.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Adapun maksud dalam penelitian ini adalah untuk menjelaskan dan

mengetahui makna puisi “Aku” karya Chairil Anwar dalam buku Aku Ini Binatang Jalang.

1.3.2 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui makna pemikiran Chairil Anwar yang tertuang dalam Puisi “Aku” dalam buku Aku Ini Binatang Jalang.


(13)

2. Untuk mengetahui makna lingkup budaya saat teks dihasilkan yang terkandung dalam Puisi “Aku” karya Charil Anwar dalam buku Aku Ini Binatang Jalang.

3. Untuk mengetahui makna pemikiran penafsir terhadap Puisi “Aku” karya Chairil Anwar dalam buku Aku Ini Binatang Jalang.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis

Secara teoritis, penelitian ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut mengenai masalah-masalah yang menyangkut bidang Ilmu komunikasi pada tataran studi hermeneutika, khususnya dengan pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur. 1.4.2 Kegunaan Praktis

Adapun kegunaan praktis bagi penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Bagi Peneliti

Penelitian ini berguna bagi peneliti sebagai pembelajaran mengenai bagaimana penginterpretasian sebuah teks khususnya puisi

“Aku” karya Chairil Anwar, serta menambah wawasan dalam mengkaji bagaimana teori otonomisasi teks dapat diterapkan memalui pendekatan hermeneutika. Serta menambah masukan dan pengalaman peneliti dalam mengaplikasikan ilmu komunikasi pada tataran studi hermeneutika.


(14)

2) Bagi Program Studi

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi calon-calon sarjana komunikasi yang membahas mengenai studi kualitatif dengan pendekatan hermeneutika sebagai bentuk masukan bagi pengembangan Ilmu Jurnalistik yang ingin menggunakan teknik serupa dalam penelitian selanjutnya. Serta manambah khazanah pengetahuan dalam teori ilmu komunikasi, khususnya pada penggunaan metode kualitatif dengan pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur mengenai puisi “Aku”.

3) Bagi Masayarakat

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi alat untuk memberikan pencerahan dan gambaran kepada masyarakat luas bahwa sebuah karya anak bangsa merupakan kekayaan bangsa yang sangat tak ternilai harganya.


(15)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Komunikasi

Komuniaksi hadir di mana saja, walau ia hanya ada dalam pikiran semata.

Kehidupan manusia akan tampak “hampa” atau tidak ada kehidupan sama sekali

apabila tidak ada komunikasi. Sebab, segala yang ada pada manusia berbahasa, memuat pesan-pesan, baik verbal maupun nonverbal. Bahasa nonverbal yang terdapat pada diri pribadi manusia telah menciptakan berbagai komunikasi tak terduga dan beragam kesalahan persepsi yang menangkap pesan tersebut.

Interaksi yang terus terjadi ini kontinyu adanya, hingga membuat komunikasi menjadi suatu proses yang sirkular, tak berujung, dan spiral.

“Komunikasi bersifat berkesinambungan dan tidak memiliki akhir. Komunikasi

juga dinamis, kompleks, dan senantiasa berubah” (West & Turner, 2008:6). Karenanya, interaksi komunikasi akan terus berlangsung dalam setiap gerak kehidupan manusia nan dinamis dan progresif.

Dengan banyaknya interaksi ini, pada dasarnya proses komunikasi telah melibatkan berbagai macam faktor: simbol, sikap ekspresi, gestur, dan teks yang merupakan pesan itu sendiri. Seiring dengan hal tersebut, Bernard Berelson dan Gary A. Steiner sebagaimana dikutip oleh Mulyana (2007:68) menyebutkan,

“Komunikasi: transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya, dengan menggunkan simbol-simbo−kata-kata, gambar, figur, grafik, dan


(16)

(dalam). Pengertian ini menyebutkan bahwa pada intinya komunikasi adalah proses pemindahan pesan atau informasi pada berbagai bentuk baik verbal maupun non verbal melalui simbol atau lambang.

“Komunikasi (communication) adalah proses sosial di mana individu-individu menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam lingkungan mereka” (West & Turner, 2008:5).

Tak jauh berbeda dengan definisi sebelumnya. Dalam hal ini jelas bahwa komunikasi merupakan suatu proses yang terjadi pada diri individu dalam sosial interaksinya di masyarakat, di mana terdapat banyak simbol yang digunakan kemudian dipersepsi dan ditafsirkan oleh mereka yang terlibat dalam proses tersebut.

Kemudian, dengan singkat, John R. Wenburg dan William W. Wilmot (dalam Mulyana, 2007:76) juga mengungkapkan pengertiannya mengenai

komunikasi, “Komunikasi adalah usaha untuk memperoleh makna”. Artinya, dari

proses komunikasi yang terus berlangsung itu, manusia −sebagai komunikator dan

komunikan− pada akhirnya berusaha mandapatkan meaning dalam pergaulan hidupnya. Makna tentunya menjadi penting karena menjadikan keseluruhan proses tersebut berarti.

2.1.1 Persepsi sebagai Inti Komunikasi

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dalam komunikasi terjadi proses pemaknaan yang melibatkan persepsi yang membuat manusia dapat menafsirkan atau menginterpretasi simbol-simbol yang ada. Artinya, pada


(17)

persepsi, interpretasi menjadi satu titik penting yang menentukan apakah komunikasi akan berjalan efektif atau tidak, apakah pesan yang disampaikan oleh satu individu dimaknai dengan benar sesuai yang dimaksudkan. Tak jauh berbeda dengan pengertian komunikasi yang telah diungkapkan sebelumnya, John R. Wenburg dan William W. Wilmot (dalam Mulyana, 2007:180)

menyebutkan, “Persepsi dapat didefinisikan sebagai cara organisme memberi makna”. Dalam pengertian ini, persepsi jelas dihubungkan dengan kegiatan manusia sebagai organisme yang dalam kehidupannya selalu memberi makna atas sesuatu, seperti simbol-simbol dalam kebutuhannya untuk berkomunikasi.

Persepsi ini dalam ruang lingkup terbagi menjadi dua: persepsi objek dan persepsi manusia. Persepsi objek berfokus pada bagaimana manusia untuk menafsirkan lingkungan sekitarnya yang terdiri dari berbagai benda memalui pemanfaan indra yang dimilikinya. Seperti manusia yang mempersepsi tumbuhan, hewan dan benda-benda mati yang dilihatnya, ini

termasuk persepsi objek oleh manusia. Oleh karena itulah, “Kebanyakan

objek tidak mempersepsi anda ketika anda mempersepsi objek-objek itu” (dalam Mulyana, 2007:184).

Persepsi terhadap objek hanya menanggapi sifat-sifat luar, melalui lambang-lambang fisik dan karena objek tidak bereaksi, maka ia bersifat statis (dalam Mulyana, 2007:184).

Berbeda halnya dengan manusia atau disebut juga persepsi sosial. Dalam ruang lingkup persepsi sosial, berfokus pada bagaimana manusia


(18)

dengan keseluruhan diri pribadinya, yang tidak hanya melibatkan indra fisik, tetapi juga sekaligus sisi emosional psikologis dalam dirinya, untuk menginterpretasi apa yang terjadi dalam lingkungan sosialnya. Hal ini

menyebabkan, “persepsi terhadap manusia lebih sulit dan kompleks, karena

manusia bersifat dinamis” (Mulyana, 2007:184).

Kedinamisan manusia itu, pada gilirannya akan menimbulkan interpretasi, sebab bukan karena hanya sifat manusia itu sendiri, tetapi juga disebabkan lingkungan sosial yang menjadi objek persepsi tersebut yang selalu bergerak dinamis. Hal ini selaras pula dengan pengertian persepsi

sosial yang didefinisikan sebagai “Proses menangkap arti objek-objek sosial dan kejadian-kejadian yang kita alami dalam lingkungan kita” (dalam Mulyana, 2007:191).

Objek-objek sosial yang dipersesi manusia itu dapat berupa interaksi keseharian dalam masyarakat, tindakan-tindakan individu, hingga pemikiran orang lain yang tertuang dalam sebentuk karya tertentu. Proses sisi emosional manusia inilah yang pada nantinya akan melahirkan interpretasi yang kaya makna dengan bergam perpektif.

2.1.2 Interpretasi sebagai Inti Persepsi

“Persepsi adalah inti komunikasi, sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti persepsi” (dalam Mulyana, 2007:180). Persepsi disebut sebagai

inti komunikasi dikarenakan proses pemaknaan yang terjadi menentukan efektivitas penyampaian pesan antarmanusia. Kesalahan persepsi tentu akan menyebabkan kesalahan penerimaan atau bahkan pengiriman tertentu,


(19)

sehingga berpengaruh pada efektivitas komunikasi yang berlangsung. Sedangkan penafsiran atau interpretasi menjadi inti persepsi, karena proses persepsi itu sendiri yang pada akhirnya akan melahirkan interpretasi dalam diri manusia.

Pada tataran yang lebih luas, interpretasi ini diidentikan pula dengan hermeneutika. Ditilik dari sejarahnya, hermeneutika−dalam mitologi Yunani

– merupakan proses penafsiran bahasa dewa kepada bahasa yang dapat dimengerti manusia. Maka itu, berbicara mengenai interpretasi akan bersinggungan pula dengan hermeneutika, yang akan selalu berkaitan dengan penafsiran teks. Poespoprodjo (1987), menguraikan perspektif interprestasi yang dilihat dari tiga pengertian: interpretasi sebagian menjelaskan, interpretasi sebagai menerangkan atau memahami, dan interpretasi sebagai menafsirkan.

Pertama, interpretasi sebagai menjelaskan diartikan bagaimana seseorang penafsir mampu untuk membeberkan apa yang nampak di

permukaan teks. Secara harfiah diartikan, “interpretasi berfungsi, menunjuk

arti: meng-kata-an, menuturkan, mengungkapkan, membiarkan nampak, membukakan sesuatu yang merupakan pesan realitas” (Poespoprodjo, 1987:192). Artinya, proses penafsiran tahap awal itu dimulai dengan menguraikan dan menjabarkan apa yang terlihat dalam teks tersebut.

Kedua, interpretasi sebagai menerangkan atau memahami dimaksudkan bagaimanna penafsir dapat memahami suatu teks dengan menjabarkan yang dikaitkan dengan data tertentu sebagai penguat


(20)

interpretasinya. Dapat pula dikatakan, “Kegiatan interpretasi disini

dilaksanakan dengan memasukan faktor luar, seperti misalnya menunjuk arti teks yang lebih tua, menunjuk peristiwa yang de facto meliputi,

menggelimangi, bukan sekadar melatarbelakangi teks”

(Poespoprodjo,1987:197). Jadi, dalam proses interpretasi, penafsir perlu mengakitan sumber data yang memang berkaitan dengan teks untuk dapat lebih memahami dan menjabarkan teks.

Ketiga, interpretasi sebagai menerjemahkan atau menafsirkan.

“Menerjemahkan bukan sekadar mengganti kata yang ada, tanpa melengkapi

inti isinya, pesan yang akan disampaikan. Sedangkan menangkap pesan adalah masalah memasuki cakrawala, masalah fusi cakrawala” (Poespoprodjo,1987:196). Artinya, dalam upanya menerjemahkan teks penafsir tidak hanya mengubah kata yang ada, namun jauh lebih dalam lagi yaitu dengan menangkap inti teks yang akan disampaikan pengarangnya. Hal ini didukung dengan pembacaan teks yang mendalam oleh penafsirnya, sehingga melahirkan pemaparan interpretasi yang membentangkan makna-makan tersembunyi di balik sebuah teks.

2.2 Seni dan Estetika

Istilah seni berasal dari kata Latin –ars, yang berarti seni, keterampilan

atau kecakapan. Seni pada mulanya adalah proses dari manusia, karena “seni

terpaut begitu erat dengan segi-segi kehidupan lainnya, maka sangan keliru apabila seni hendak dipisahkan dari segi-segi kehidupan lainnya” (Dawey, dalam


(21)

Rapar, 1996:). Artinya, bahwa seni sangat melekat pada proses kehidupan manusia tanpa membagi-baginya dengan kehidupan lain. Karena Seni lahir dari upaya manusia dalam memahami kehidupan ini, baik kehidupan sosial, ekonomi, alam, dan sebagainya. Ekspresi tersebut dikongkritkan melalui media gerak (tari), suara (musik), rupa, dan penggabungan/peleburan berbagai media akan melahirkan kesatuan estetik.

Plato berpendapat bahwa “seni adalah keterampilan untuk memproduksi sesuatu” (dalam rapar, 1996:68). Keterampilan seseorang dalam menghasilkan sebuah karya, seperti (musik, puisi, lukisan dll). Sehingga hasil produksinya itu,sering kali disebutnya dengan karya seni. Dalam seni tidak selalu membicarakan keindahan, walau seni erat kaitannya dengan keindahan, tetapi juga membicarakan keburukan.

Plato berpendapat bahwa seni adalah keterampilan untuk memproduksi sesuatu. Bagi Plato apa yang disebut seni tidak lain dari tiruan. Pelukis yang melukis panorama, sesungguhnya panorama alam yang pernah dilihatnya. Aristoteles sependapat dengan apa yang dikatakan Plato mengenai seni sebagai tiruan dari berbagai hal yang ada. Namun, aristoteles mencontohkannya dengan puisi yang menurutnya, puisi adalah tiruan dari tindakan dan perbuatan yang dinyatakan lewat kata-kata. (dalam Rapar, 1996:68)

Pengertian lain tentang seni dikemukakan Ahli seni dan filsuf berkebangsaan Amerika, Thomas Munro, mendefinisikan seni sebagai alat buatan manusia yang menimbulkan efek-efek psikologis atas manusia lain yang melihatnya. Efek tersebut mencakup tanggapan-tanggapan yang berujud


(22)

pengamatan, pengenalan, imajinasi, yang rasionalmaupun emosional (Munro, 1963. Dalam Sukarya, 2008:7).

Dari dua pengertian di atas dapat dinyatakan, bahwa seni adalah keterampilam manusia dalam menghasilkan sebuah karya yang didapatnya dari hasil tiruan, dan memiliki efek-efek psikologis bagi manusia lain yang melihatnya.

Estetika adalah cabang filsafat yang membahas tentang seni dan keindahan. Oleh karena itu, seni dan estetika memiliki kaitan yang sangat erat, yang berasal dari ekspresi perasaan manusia akan keindahan yang dilihat dan dinikmati oleh mata maupun didengar oleh telinga. Karena manusia adalah makhluk dengan cita rasa yang tinggi, maka dihasilkanlah kesenian dengan berbagai kreativitas, jenis dan corak mulai dari yang sederhana hingga yang kompleks.

Berdasarkan pendapat umum, estetika diartikan sebagai suatu cabang filsafat yang memperhatikan atau berhubungan dengan gejala yang indah pada alam dan seni. Pandangan ini mengandung pengertian yang sempit. Estetika yang

berasal dari bahasa Yunani ―aisthetika” berarti hal-hal yang dapat diserap oleh pancaindera. Oleh karena itu estetika sering diartikan sebagai penserapan indera (sense of perception). Alexander Baumgarten (1714-1762), seorang filsuf Jerman

adalah yang pertama memperkenalkan kata ―aisthetika, sebagai penerus pendapat Cottfried Leibniz (1646-1716). Baumgarten memilih estetika karena ia mengharapkan untuk memberikan tekanan kepada pengalaman seni sebagai suatu sarana untuk mengetahui (the perfection of sentient knowledge)− ilmu


(23)

pengetahuan tentang keindahan− lewat karyanya yang berjudul Aesthetica Acromatica (1750-1758) (Rapar, 1996:67).

Dalam menilai sebuah karya seni mana yang memiliki nilai keindahan dan mana yang tidak memiliki nilai keindahan, semua itu tergantung dari seseorang yang memandangnya. Karena, seni dan estetika memiliki sifat yang subjektif. Seperti apa yang dikatakan Hume bahwa apa yang dianggap indah oleh manusia, sesungguhnya amat ditentukan oleh sifat alami manusia, yang dipengaruhi juga oleh kebiasaan dan preferensi individual. Khant juga berpendapat bahwa keindahan itu merupakan penilaian estetis yang semata-mata subjektif. (Rapar,1996:69).

Dengan demikian, keindahan sebuah karya seni tidak saja ditentukanoleh kualitas objek dan keterampilan dalam mengolah serta menyusun unsur-unsur seninya, tetapi juga ditentukan oleh pertimbangan subjektif pencipta serta pengamatnya

Pada masa kini, estetika bisa berarti tiga hal, yaitu : (1) studi mengenai fenomena estetis, (2) studi mengenai fenomena persepsi, dan (3) studi mengenai seni sebagai hasil pengalaman estetis. Selanjutnya dijelaskan bahwa estetik sebagai sebuah subjek yang menentukan syarat-syarat estetis yang menganalisis dasar, wawasan, dan implikasinya dari suatu fenomena mengenai estetika.

Dalam seni dan pengalaman estetis tidak hanya membicarakan keindahan saja, tetapi juga gaya atau aliran seni, perkembangan seni dan sebagainya. Masalah dalam seni banyak sekali. Di antara masalah tersebut yang penting adalah masalah manakah yang termasuk estetika, dan berdasarkan masalah apa


(24)

dan ciri yang bagaimana. Hal ini dikemukakan oleh George T. Dickie dalam

bukunya ―Aesthetica (dalam Sukarya, 2008:7). Dia mengemukakan tiga derajat masalah (pertanyaan) untuk mengisolir masalah-masalah estetika. Yaitu pertama, pernyataan kritis yang mengambarkan, menafsirkan, atau menilai karya-karya seni yang khas. Kedua pernyataan yang bersifat umum oleh para ahli sastra, musik atau seni untuk memberikan ciri khas genre-genre artistik (misalnya: tragedi, bentuk sonata, lukisan abstrak). Ketiga, ada pertanyaan tentang keindahan, seni imitasi, dan lain-lain.

2.3 Puisi Sebagai Seni Komunikasi 2.3.1 Pengertian Puisi

“Kata puisi berasal dari bahasa Yunani poiesis yang berarti penciptaan. Tetapi arti yang semula ini lama kelamaan semakin

dipersempit ruang lingkupnya menjadi “hasil seni sastra, yang kata -katanya disusun menurut syarat-syarat yang tertentu dengan menggunakan irama, sajak, dan kadang-kadang kata-kata kiasan” (Tarigan, 1984:4).

“Puisi merupakan bentuk ekspresi yang dominan dalam sastra. Dominasinya bukan hanya karena bentuk syairnya yang mudah dihafal, tetapi juga karena penuh arti dan sangat digemari oleh mereka yang berpikir dalam” (Rahmanto, 1988:118).

Dengan demikian dapat dikatakan puisi adalah suatu hasil karya sastra yang diciptakan untuk mengekspresikan pikiran, pengalaman dan perasaan dengan gaya bahasa yang indah dan syarat-syarat tertentu sehingga dapat memberikan nilai seni dan membangkitkan imajinasi para pembacanya.


(25)

2.3.2 Unsur-Unsur Puisi

Puisi merupakan hasil kepaduan beberapa unsur penyusun yang membuat karya tersebut disebut puisi. Menurut Waluyo (1991:4) puisi dibangun oleh dua unsur pokok, yaitu struktur fisik yang berupa bahasa, dan struktur batin atau struktur makna.

1) Unsur Fisik Puisi a) Diksi

Aminudin (2002:143) mengemukakan bahwa diksi merupakan plihan kata untuk mengungkapkan suatu gagasan. Kata-kata dalam puisi tidak diletakkan scara acak, tetapi dipilih, ditata, diolah, dan diatur penyairnya secaa cermat. Diksi atau pilihan kata yang baik berhubungan dengan pemilihan kata yang tepat, padat, kaya akan nuansa makna dan suasana sehingga mampu mengembangkan dan mengajak daya imajinasi pembaca.

Berikut contoh pemilihan kata yang terdapat pada penggalan

puisi “Selamat Tinggal ” karya Chairil Anwar.

SELAMAT TINGGAL Aku berkaca

Ini muka penuh luka Siapa punya?

...


(26)

Pemilihan kata “muka” pada /muka penuh luka/siapa punya?/ tidak dapat digantikan karena kata muka menimbulkan aliterasi

dengan kata “luka” dan “punya”. Diksi dalam puisi selalu

berhubungan dengan bunyi. Bunyi yang digunakan dalam puisi dapat menimbulkan efek sedih, seram, haru, magis, senang dan sebagainya.

b) Imaji

Waluyo (2003:10-11) menyatakan bahwa pengimajian adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat memperjelas apa yang dinyatakan penyair. Melalui pengimajian, apa yang digambarkan seolah-olah dapat dilihat, didengar dan dirasa. Menurut Waluyo pengimajian menimbulkan tiga imaji, yaitu imaji visual, imaji auditif dan imaji taktil. Imaji visual menampilkan kata yang menyebabkan apa yang digambarkan penyair lebih jelas sperti dapat dilihat oleh pembaca. Imaji dengar (imaji auditif) adalah penciptaan ungkapan oleh penyair sehingga pembaca seolah-olah mendengarkan suara seperti yang digambarkan oleh penyair. Sedangkan imaji perasaan (amaji taktil) adalah penciptaan ungkapan oleh penyair yang mampu mempengaruhi perasaan sehingga pembaca ikut terpengaruh perasaannya.

Berikut salah satu contoh imaji pada puisi yaitu imaji

pendengaran dalam penggalan puisi “Tanah Kelahiran” karya


(27)

sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba Meriak muka air kolam jiwa Dan dalam dadaku memerdu lagu

Menarik menari seluruh aku

Pada baris pertama dan ketiga, pembaca seolah-olah kesunyian menemaninya dalam ketenangan jiwa.

c) Kata Nyata

Menurut Waluyo (1991:81) menyebutkan bahwa kata-kata yang diperkonkretkan dapat membuat pembaca membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang dilukiskan penyair. Dalam hubungannya dengan pengimajian atau (daya bayang), kata konkret merupakan sebab syarat atau sebab terjadinya pengimajian.

Berikut contoh puisi “nyayian angsa” karya Taufiq Ismail.

Nyanyian angsa ....

Maria zaitun namaku

Pelacu lemah, gemetar ketakutan ....

Bungkusan sisa makanan di tangan Belum lagi dimakan

Keringat bercucuran Rambutnya jadi tipis

(Esten, 1990:16)

Rangkaian kata nyata pada puisi karya Taufiq Ismail tersebut memberi imajinasi visual kepada pembacanya, bahwa maria zaitun adalah seorang placur yang lemah dan kelaparan.


(28)

d) Majas

Bahasa figuratif pada dasarnya adalah bentuk penyimpangan dari bahasa normatif, baik dari segi makna maupun rangkaian katanya, dan bertujuan untuk mencapai arti dan efek tertentu (Jabrohim dkk 2003:42). Pencapaian arti atau efek tertentu tergantung jenis kiasan yang digunakan.

1) Metafora

Metafora adalah bentuk bahasa figuratif yang memperbandingkan sesuatu hal dengan hal lainnya yang pada dasarnya tidak serupa (Jabrohim dkk 2003:45).

contohnya: aku binatang, buaya darat, bunga desa, lintah darat, dan sebagainya.

2) Perbandingan atau simile

Simile adalah jenis bahasa figuratif yang menyamakan satu hal dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama (Jabrohim dkk 2003:44). Sebagai sarana dalam upaya menyamakan hal yang berlainan tersebut simile menggunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, seperti, serupa, sebagai, bak, seumpama, laksana, serupa, sepantun, dan sebagainya.

Berikut contoh penggunaan majas perbandingan dalam penggalan puisi Chairil Anwar.

TAK SEPADAN ...

Beginilah nanti jadinya


(29)

Sedang aku mengembara serupa Ahasvéros. Dikutuk-disumpahi Eros

(Aku Ini Binatang Jalang, 2009:6)

Pada bait ketiga yang digaris bawah merupakan contoh penggunaan majas perbandingan dalam puisi, sebab menggunakan kata serupa. Menurut penyair, kehidupan mereka berbeda, (kau) hidup dalam kesenangan,Tapi (aku) hidup dalam kesengsaraan.

3) Personifikasi

Menurut Baribin (1990:50) personifikasi ialah mempersamakan benda dengan manusia, hal ini menyebabkan lukisan menjadi hidup, berperan menjadi lebih jelas, dan memberikan bayangan angan yang konkret. Contoh: “awan pun

terdiam”.

a. Ritme dan Rima

Menurut Sujiman (dalam Jabrohim 2003:53) menyatakan bahwa ritma atau irama dalam puisi sebagai alunan yang dikesankan oleh perulangan dan pergantian kesatuan bunyi, dalam arus panjang pendeknya bunyi, keras lembutnya tekanan, dan tinggi rendahnya nada.

Berikut contoh Ritme dalam puisi “Doa” karya


(30)

DOA Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut namaMu Biar susah sungguh

Mengingat Kau penuh seluruh CayaMu panas suci

Tinggal kerdip lilin dikemam sunyi Tuhanku

Aku hilang bentuk Remuk

Tuhanku

Aku menggembara di negeri asing Tuhanku

DipintuMu aku mengetuk Aku tidak bisa berpaling

(Aku Ini Binatang Jalang, 2009:41)

Rima adalah pengulangan bunyi dalam baris atau larik puisi, pada akhir baris puisi, atau bahkan juga pada keseluruhan baris dan bait puisi (Jabrohim, 2003:54). Dengan adanya rima, akan terbentuk musikalitas dalam puisi.

Berikut contoh rima dalam penggalan puisi “Derai

-derai Cemara” karya Chairil Anwar.

DERAI-DERAI CEMARA Cemara menderai sampai jauh Terasa hari akan semakin malam


(31)

ada beberapa dahan ditingkap merapuh dipukul angin yang terpendam

akulah sekarang orangnya bisa tahan sudah berapa waktu bukan anak lagi dulu memang ada suatu bahan yang bukan dasar perhitungan kini

(Aku Ini Binatang Jalang, 2009:83)

Pada bait pertama baris pertama dan ketiga berakhir dengan suku kata uh, dan pada baris kedua dan keempat berakhir dengan suku kata am. Jadi rima pada bait pertama adalah abab. Sedangkan pada bait kedua baris pertama dan ketiga berakhir dengan suku kata an, sedangkan pada baris kedua dan keempat berkhair dengan suku kata i. Dengan demikian, rima pada bait kedua adalah cdcd.

e) Tipografi

Tipografi merupakan penyusunan baris dan bait sajak dan lebih menekankan pada aspek visualnya (Atmazaki,1993:23). Tipografi disusun mengikuti ritme sajak, bukan bentuk kalimat. Baris-baris dalam puisi membentuk sebuah peroidisitet yang disebut bait (Jabrohim, 2003:54).


(32)

DUKA ....

aku „tu

k a u

kau „tu

d u k a duka bu

nga

duka daun duka du ri

duka ha ri ....

(Eneste, 1990:31)

Tipografi pada puisi di atas sangat unik karena masing-masing kata-katanya terlepas dan tidak membentuk suatu kalimat tertentu. Bentuk dari puisi tersebut mewakili ide dan suasana hati sang penyair saat menciptakan puisi tersebut.

2) Unsur Psikis Puisi a) Tema

Menurut Waluyo (2003:17) tema adalah gagasan pokok ( subject-matter) yang dikemukakan penyair melalui puisinya. Semua karya terkhusus karya sastra pasti memiliki tema yang merupakan pokok permasalahan yang diangkat dalam menulis karya sastra itu. Misalnya pada puisi Chairil Anwar.


(33)

NISAN

Bukan kematian benar menusuk kalbu Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu atas debu Dan duka maha tuan bertahta

(Aku Ini Binatang Jalang, 2009:3)

Pada puisi ini, dapat segera diketahui bahwa kematian datang pada siapa pun, dan pengarang merasa tak berdayanya menghadapi sang maut.

b) Rasa

Feeling adalah sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya (Aminuddin 2002:150). Sikap tersebut adalah sikap yang ditampilkan dari perasaan penyair, misalnya sikap simpati, antipati, senang, tidak senang, rasa benci, rindu, dan sebagainya.

Perbedaan sikap penyair terhadap suatu objek akan memberikan rasa yang berbeda terhadap puisi yang dibuat walaupun dengan tema yang sama. Berikut contoh rasa simpati yang ada pada penggalan

puisi “Gadis Peminta-minta” karya Toto Sudarto.

GADIS PEMINTA-MINTA

Setiap kali kita bertemu gadis kecil berkaleng kecil Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka

Tengadah padaku, pada bulan merah jambu Tapi kotaku jadi hilang tanpa jiwa

...


(34)

c) Nada

Sikap penyair kepada pembaca disebut nada puisi, sedangkan keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi atau akibat yang ditimbulkan puisi terhadap perasaan pembaca disebut suasana. Nada mengungkapkan sikap penyair, dari sikap itu terciptalah suasana puisi. Ada puisi yang bernada sinis, protes, menggurui, memberontak, main-main, serius (sungguh-sungguh), patriotik, belas kasih (memelas), mencemooh, kharismatik, filosofis, khusyuk, dan sebagainya (Waluyo 2009:37).

Berikut contoh puisi “Hendak tinggi?” karya Usman yang

bernada sinis.

HENDAK TINGGI? Mau tinggi,

Si muka bumi ???? Panjat kelapa

Sampai ke puncak !!! Alangkah tinggi Di muka bumi !!!

(Tarigan, 1984:18)

d) Amanat

Amanat atau tujuan adalah hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya. Amanat dapat ditemukan setelah mengetahui tema, perasaan, nada, dan suasana puisi. Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair mungkin secara sadar berada dalam pikiran penyair, namun lebih banyak penyair tidak sadar akan amanat yang diberikan (Jabrohim dkk 2003:67).


(35)

Sedangkan menurut Waluyo (2003:40) amanat, pesan atau nasehat merupakan kesan yang ditangkap pembaca setelah membaca puisi. Cara pembaca menyimpulkan amanat puisi sangat berkaitan dengan pandangan pembaca terhadap suatu hal. Amanat berbeda dengan tema. Dalam puisi, tema berkaitan dengan arti, sedangkan amanat berkaitan dengan makna karya sastra (Jabrohim dkk 2003:67). Arti dalam puisi bersifat lugas, objektif dan khusus, sedangkan makna puisi bersifat kias, objektif, dan umum.

Berikut contoh amanat dalam puisi Chairil Anwar. DIPONEGORO

Maju

Ini barisan tak bergenderang-berpalu Kepercayaan tanda menyerbu

Sekali berarti Sudah itu mati

Maju Bagimu negeri

... Maju Serbu Serang Terjang

(Eneste, 1990:62)

Pada puisi di atas dapat terlihat bahwa sang penyair mengajak para pembacanya untuk membela bangsa tanpa kenal menyerah, walau sekalipun berhadapan dengan kematian.

Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa sebuah puisi merupakan salah bentuk seni komunikasi tak langsung yang tertuang


(36)

dalam sebuah teks, dan terbentuk atas unsur-unsur fisik dan psikis yang menjadikan sebuah puisi memiliki nilai estetik atau keindahan dalam pengungkapan bahasa.

2.4 Tentang Bahasa, Teks, dan Hermeneutika 2.4.1 Bahasa

Bahasa telah menjadi alat utama bagi manusia untuk dapat berkomunikasi. Dengan bahasa, manusia membentuk peradabannya. Sehingga, bahasa merupakan salah satu unsur kebudaayaan yang dimiliki

oleh manusia. “Menurut Larry L. Barker, bahasa memiliki tiga fungsi:

penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi” (dalam Mulyana, 2007:266). Dari aspek penamaan, bahasa dimaksudkan sebagai suatu identifikasi atas objek tertentu. Sedangkan dari aspek interaksi, bahasa digunakan sebagai suatu alat yang berbagi, baik itu ide, opini, atau emosi. Dan pada aspek transmisi informasi artinya bahasa membuat manusia memperoleh suatu informasi, pengumuman, atau berita dari orang lain.

Aspek transmisi inilah banyak menguhubungkan manusia dalam kehidupannya sehingga terjadi suatu lingkaran yang dinamis membentuk

kebudayaan manusia. “Barker berpandangan, keistimewaan bahasa sebagai sarana transmisi informasi yang lintas-waktu, dengan menghubungkan masa lalu, masa kini dan masa depan, memungkinkan kesinambungan budaya dan

tradisi kita” (Mulyana, 2007:267). Bahasa memang suatu bentuk kebudayaan


(37)

bahasa menguhubungkan berbagai generasi, mengirimkan cerita-cerita sejarah yang mengagumkan bahkan ironis dari masa ke masa sehingga bahasa itu sendiri terus berkembang selama ribuan tahun kehidupan manusia, diwariskan pada penerusnya. Inilah yang disebut Socrates, “kekhasan manusia yang paling mendasar yang membedakan dari hewan adalah kemampuan berbahasa, yang subtansinya ialah berfikir dan berbicara”. (Hidayat, 2011:12)

Selain menjadi salah satu unsur kebudayaan, bahasa juga membuat manusia tak sekedar berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Tetapi, juga membuat manusia berfikir bagaimana memahami dirinya sendiri

melalui bahasa. “Berkat adanya bahasa, menusia menjadi objek potensial bagi

dirinya sendiri, menjadi persoalan pokok pemahaman dirinya sendiri” (Sugiharto, 1996: 95). Artinya, dengan bahasa manusia dapat mulai mengenali dirinya sendiri, adanya kesadaran dalam dirinya, mengetahui kekuatan dan kelemahan, serta keterbatasan diri. Hal ini dapat dicapai jika manusia menggunakan bahasanya.

Selaras dengan maksud Aristoteles tentang bahasa, “Bahasa adalah alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan manusia” (dalam

Djojosuroto, 2007:48). Selain untuk mendapatkan pengrtian tentang jati diri manusia, bahasa juga merupakan suatu aliran agar manusia dapat mengatakan, menjelaskan pikiran dan perasaannya. Apa pun itu, baik melalui bahasa lisan atau bahasa tulisan. Karena manusia butuh untuk itu. Manusia


(38)

butuh untuk mengungkapkan pemikirannya, apa yang dirasakannya pada orang lain.

Dari ungkapan-ungkapan tersebut bahasa menjadi perantara, medium, atau alat yang membantu manusia menemukan dirinya. Tanpa bahasa manusia tidak dapat merasakan kehidupan, seperti salah satu definisi Yunani tentang manusia, yaitu zo logon echon atau “manusia adalah makhluk yang berbicara, pengada yang memilki logos” (Sugiharto, 1996:95). Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia adalah makhluk yang berbahasa, memiliki ilmu atau penalaran untuk berfikir. Sehingga bagaimana manusia

berbahasa−secarakhusus bahasa tulis−merupakan suatu kemampuan manusia untuk memahami diri, ekspresi, serta pengalaman hidupnya. “bahasa membentuk cara pandang manusia dan berfikirnya−keduanya merupakan konsep dirinya dan dunianya (dua hal yang tidak bisa dipisahkan)” (Palmer, 2005:9).

Melalui bahasa manusia berbudaya, menyalurkan pikiran dan perasaan, hingga mengenali dirinya sendiri. Namun, jauh sebelum itu, terdapat banyak teori yang mencari awal mula adanya bahasa. Salah satunya

teori konvensionalis, yang menyatakan “Bahasa pada awalnya muncul

sebagai produk sosial” (Hidayat, 2011:100). Sesuai dengan maksud teori ini

bahwa bahasa hadir karenan adanya kesepakatan sosial dari sesama manusia lalu dibudayakan, diwariskan ke generasi selanjutnya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dengan pendapar Larry L. Barker. Meskipun teori


(39)

merupakan suatu potensi yang natural atau alami, “Namun kemampuan itu

baru berkembang pesat dan menjadi lebih akurat setelah melalui proses

kultural” (Hidayat, 2011: 101), sebagaimana yang diyakini oleh teori

konvensionalis.

Dari perspektif komunikasi bahasa menjadi salah satu sistem simbol yang oleh manusia diberi makna. Bahasa sesungguhnya tak bermakna tanpa manusia yang membuatnya jadi berarti. Sistem simbol atau lambang itu sendiri digunakan manusia untuk merujuk sesuatu yang artinya telah

dimufakati bersama−teori konvensionalis. Adapun yang masuk kedalam sistem lambangitu adalah “...kata-kata (pesan verbal), perilaku non-verbal,

dan objek yang maknanya disepakati bersama...” (Mulyana, 2007:92). Dapat

dikatakan, bahasa masuk dalam sistem simbol yang digunakan dan dikembangkan menjadi suatu budaya bagi peradaban manusia. Bahasa atau kata-kata yang telah dibentuk tiada artinya jika manusia tidak meletakan

makna padanya. “Makna sebenarnya ada dalam kepala kita, bukan terletak pada lambang itu sendiri” (Mulyana, 2007:96).

“Dengan medium bahasa, dunia manusia semakin meluas, melewati

batas fisik, etnis, agama dan kebudayaan, bahkan juga melewati batas ruang dan waktu. Dengan bahasa serta orangorang disekelilingnya dirajut dengan pemberian nama atau label, sehingga dengan label itu manusia menciptakan jaringan komunikasi serta membangun

makna-makna” (Hidayat, 2007:107).

Artinya, sekat-sekat yang membatasi manusia semakin kabur dan

dekat jaraknya karena adanya bahasa sebagai perantara−salah satu faktor−yang sesungguhnya telah melampaui batas kedaerahan atau


(40)

dalam berinteraksi, penyebaran informasi, labeling pada berbagai objek yang telah membuat manusia saling terhubung dengan jaringan makna yang terkandung dalam bahasanya.

2.4.2 Teks

“Teks adalah sebuah diskursus yang dibakukan oleh tulisan” (Ricoeur,

2009:196). Artinya dapat dikatakan bahwa teks merupakan bahasa tulisan. Karena menurut Ricoeur sendiri bahwa diskursus, pada posisinya menjadi

bahasa jika kita gunakan untuk berkomunikasi, “discourse adalah bahasa

ketika ia digunakan untuk berkomunikasi” (Permata, 2003:218). Lebih lanjut lagi, ia berpendapat bahwa terdapat dua jenis artikulasi pada diskursus tersebut, yaitu bahasa lisan dan bahasa tulis. Bahasa lisan inilah yang membentuk komunikasi langsung. Makna atau ujaran yang terjadi masih dapat dirujuk langsung pada bahasa non verbal si pembicara, seperti intonasi dan gesture.

Namun pengertian teks tersebut pada dasarnya masih sangat luas. Karena diskursus atau wacana itu, jika merujuk pada maksud Ricoeur, adalah bahasa dalam interaksi berkomunikasi sehingga makna teks menjadi tidak terungkap secara keseluruhan. Teks bukanlah semata-mata berawal dari

sebuah “obrolan” manusia yang kemudian dibentuk ke dalam sebuah tulisan. “...wacana (discourse) merupakan medium bagi proses dialog antara berbagai individu untuk memperkaya wawasan dan pemikiran dalam rangka mencari


(41)

Oleh karena itu, dalam pengertian ini, tidak semua wacana yang dibakukan ke dalam tulisan dapat benar-benar dikatakan teks, karena penciptaan teks melibatkan berbagai ide, konsep, dan pemikiran sang penulis.

“artinya, dalam pengertiannya yang lebih ketat, teks dikatakan sebagai teks,

hanya ketika sebuah gagasan ditulis oleh pengarangnya secara sadar dan

sengaja, bukannya transkripsi dari sebuah wacana” (Hidayat, 2011:218).

Pada bahasa tulis−teks, “Ricoeur menganggap bahwa teks memiliki kemandirian, totalitas” (Permata, 2003:219, dalam Ricoeur, 2003:219).

Kemandirian yang dimaksudkan adalah teks mempunyai kemampuan sendiri untuk menggunakan gagasan tanpa pembaca peduli siapa penulis yang berada di baliknya. Terdapat sekat yang membatasi pembaca dan penulis dalam

“berdialog” melalui tulisannya, yaitu teks itu sendiri. Gagasan sang penulis

telah “beku” dalam kata-kata, kalimat, dan bahasa yang diungkapkannya di dalam teks. “Artinya, sekali sebuah wacana dipancangkan ke dalam wujud

tulisan (teks), maka ia menjadi sebuah dunia „otonom‟, yang terlepas dari

penulis” (Piliang, 2011:19, dalam Hidayat, 2011:19).

Sifat otonom yang dimiliki teks ini dilihat dari sudut pandang pembaca. Maksudnya, pembaca kadang tidak menyadari bahwa ketika ia

“tenggelam” dalam dunia gagasan dan imaji sang penulis yang tertuang dalam teks maka sebenarnya ia telah terbawa dalam sifat kemandirian teks. Dalam kondisi tersebut, pembaca tidak akan menanyakan atau bahkan mempersoalkan latar belakang, sejarah, bahkan siapa penulisnya. Inilah


(42)

keadaan pembaca yang hanyut dalam dunia teks si penulis, keadaan yang menguhkan sifat otonom teks.

“Jika pikiran kita hanya tertuju dan terpusat pada buku, maka

sesungguhnya kita sudah berasumsi bahwa buku mempunyai entitas yang otonom, yang bisa berbicara sendiri dan untuk memahami isinya

kita tidak harus mengakaitkan denga subjek pengarangnya” (Hidayat,

2011:61).

Dari sifat otonom tersebut, seterusnya dituangkan oleh Ricoeur dalam ciri teks yang terdiri atas empat hal, pertama bahwa makna yang terdapat

pada sebuah teks tidak berhubungan pada proses pengungkapannya. “Dalam sebuah teks, makna yang terdapat pada “apa yang dikatakan (what is saying) terlepas dari proses pengungkapannya (the act of saying), sedangkan dalam

bahasa lisan proses itu tidak dapat dipisahkan” (Permata, 2003: 219, dalam

ricoeur, 2003:219). Artinya, karena kemandirian sebuah teks, makna yang terdapat di dalamnya tidak dapat dihubungkan dengan bahasa non verbal penulisnya. Berbeda dengan bahasa lisan, yang terjadi dalam sebuah diskusi misalnya, apa yang diungkapkan oleh pembicara masih dapat dihubungkan dengan ekspresi wajah, gerak tubuh, dan sebagainya.

Kedua, dalam teks maknanya sudah tidak lagi bergantung pada penulis. Karena setelah teks tersebut dibaca maka pembaca dapat dengan

“bebas” menilai dan mempersepsi, atau dengan kata lain penulis tidak dapat

mengintervensi penilaian pembacanya. “...Makna sebuah teks juga tidak lagi

terikat kepada pembicara, sebagaimana bahasa lisan. Apa yang dimaksud teks tidak lagi terikat dengan apa ayang awalnya dimaksud oleh penulis” (Permata, 2003:219-220, dalam Ricoeur, 2003:219-220). Maksud penulis


(43)

tidak dapat tersampaikan karena terhambat oleh teks itu sendiri, sehingga

tidak terjadi komunikasi secara langsung. “Eneliti tidak merespon pembaca, melainkan buku menyekat tindakan eneliti dan tindakan pembaca, dan

diantara kedua sisi ini tidak terdapat komunikasi” (Ricoeur, 2009:197). Inilah

yang disebut karya sang penulis telah sepenuhnya menjadi milik pembaca,

“Sebuah buku begitu selesai ditulis oleh pengarangnya dan kemudian diluncurkan ke tengah masyarakat, maka ia telah menjadi milik publik”

(Hidayat, 2011:61).

Ketiga, “Sebuah teks tidak lagi terikat pada konteks semula (otensive refence), ia tidak terikat pada konteks asli dari pembicara” (Permata, 2003:220, dalam Ricoeur, 2003:220). Berkaitan dengan ciri sebelumnya, ketika makna pada teks tidak dapat secara langsung dikaitkan dengan penulisnya maka begitu pula halnya dengan konteks dari teks tersebut. Teks,

karena sifat otonomnya telah membangun maksud sendiri. “Apa yang dirujuk

oleh teks, dengan demikian adalah dunia imajiner yang dibangun oleh teks itu

sendiri−dalam dirinya sendiri maupun dalam hubungan dengan teks-teks lain” (Permata, 2003:220, dalam Ricoeur, 2003:220).

Dalam bahasa lisan, terjadi suatu hubungan atau dialog langsung di antara pembicara dan pendengarnya. Terjadi komunikasi dengan audiens. Namun, tidak halnya dengan teks. Teks tidak terkait dengan pembicara atau penulis, konteks awal, maupun audiens (pembaca). Maka, ciri teks yang keempat, “Sebuah teks ditulis bukan untuk pembaca tertentu, melainkan


(44)

kepada siapapun yang bisa membaca, dan tidak terbatas pada ruang dan

waktu” (Permata, 2003:220, dalam Ricoeur, 2003:220). 2.4.3 Hermeneutika

Ilmu hermeneutika berangkat dari sebuah mitologi Yunani tentang seorang dewa Hermes yang ditugaskan untuk menyampaikan pesan dari sang maha dewa yang bersemayam di Gunung Olympus. Pesan ini ditafsirkannya agar dapat dipahami oleh manusia. Hermes tak ubahnya seperti penghubung komunikasi antara dewa dan manusia.

“Problem pertama yang dihadapi juru bicara tuhan adalah bagaimana

menyampaikan kehendak lanjut untuk penduduk bumi yang bahasanya berbeda...bagaimana meredaksikan pesan universal namun terbungkus dalam bahasa lokal, sementara yang dituju hidup dalam tempat dan kurun waktu yang jauh berbeda dari juru bicara-Nya” (Hidayat, 2011:77).

Penafsiran pesan-pesan tersebut, tentu bukanlah perkara mudah bagi Hermes, dan hermeneutika pun lahir sesuai dengan kegiatan dewa Hermes: hermeneuin atua menafsirkan. Kemudian, seiring dengan perjalanan sejarah manusia, hermeneutika berkembang pada tahap penafsiran teks-teks kitab injil. Lalu hingga saat ini, hermeneutika telah menjadi salah satu cabang ilmu yang berpusat pada proses menafsirkan berbagi teks.

Namun, perlu diketahui pula bahwa hermeneutika tidak hanya

masalah bagaimana menafsirkan sesuatu−dalam hal ini teks. Tetapi,

memahami bagaimana proses interpretasi tersebut diaplikasikan dalam sebuah teks juga merupakan fokus perhatian dalam hermeneutika. Hal ini selaras dengan pendapat Ricoeur (1967:350) mengenai definisi hermeneutika itu


(45)

sendiri. “Teori pengoprasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap teks” (dalam Sumaryono, 1999:107).

Dalam ilmu hermeneutika, teori-teori yang berkembang dibawa oleh tokohnya masing-masing dengan berbagai latar belakang. Pada abad 19, Friedrich Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey merupakan tokoh hermeneutika romantis atau klasik. Kemudian muncul hermeneutika filosofis pada abad 20 yang dipelopori oleh Martin Heidegger dan Hans-Geor Gadamer. Lalu hermeneutika metodologis muncul dengan tokoh Emilio Betti. Tokoh-tokoh tersebut membawa teori dan pemahamannya masing-masing mengenai hermeneutika. Pada aliran hermeneutika romantis, Schleiermacher mendasarkan proses interpretasi dalam hermeneutika pada

suatu bentuk yang “dialogis”. Apa yang dimaksudkan oleh Schleiermacher

adalah interpretasi teks dapat dilakukan dengan melihat lebih dalam komposisi kalimat yang disusun oleh penulis, kemudian dilanjutkan dengan menelisik sisi psikologis sang penulis melalui kalimat dalam teks.

“Pemahaman sebagai sebuah seni adalah mengalami kembali proses

mental dari pengarang teks... Pembicara atau pengarang membentuk kalimat; pendengar menembus struktur kalimat dan pikirannya. Dengan demikian interpretasi terdiri dari dua gerakan interaksi: secara

“gramatis” dan “psikologis”...” (Palmer, 2005:97-98).

Artinya, dalam proses interpretasi bagi Schleiermacher, penafsir tidak hanya meperhatikan struktur gramatikal kata dan kalimat yang diuraikan oleh si penulis teks, tetapi juga melampaui pikiran tersembunyi dari penulisnya, dan hal inilah yang dapat dilihat dengan menganalisis sisi psikologi penulis. Interpretasi psikologis diperlukan agar penafsir dapat memahami makna


(46)

penulis lebih jauh, melewati batas-batas permukaan teks, sehingga metode ini

dapat dikatakan, “...sebagai cara rekonstruksi sebuah teks berdasarkan intensi

dan makna yang dimaksud pengarang...” (Piliang, 2011:21, dalam Hidayat, 2011:21).

Sedangkan Wilhelm Dilthey, ia merupakan tokoh yang pemikiran hermeneutikanya dipengaruhi oleh Schleiermacher. Namun Dilthey sendiri lebih memfokuskan studi hermeneutika pada pengetahuan historis yang sejalan dengan ilmu-ilmu kemanusiaan (geisteswissenschaften). Bagaimana mewujudkan pengetahuan historis ini mengantarkan Dilthey dalam perspektif yang mencoba untuk memilah antara penjelasan (explanation) dan pemahaman (understanding) pada studi hermeneutika. Ia beranggapan bahwa hakikat penjelasan lebih mengarah pada ilmu-ilmu alam, dan sebaliknya proses pemahaman inilah titik penting dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Maka itu, penjelasan dan pemahaman tak dapat disatukan dalam hermeneutika. Singkatnya, “Sains menjelaskan alam., ilmu kemanusiaan memahami

ekspresi hidup” (Palmer, 2005:118).

Dilthey menggolongkan hermeneutika pada bagian ilmu-ilmu kemanusiaan (geisteswissenschaften). Meskipun ia lebih menonjolkan sisi historisnya, ini wajar dilihat dari latar belakangnya sebagai sejarahwan, selain sebagai filsuf. Pola hermeneutika yang ia kembangkan dari pemikiran

Schleiermacher yaitu bermula dari “pengalaman-ekspresi-pemahaman”. Pengalaman yang dimaksudkan Dilthey adalah sebuah pengalaman yang hidup (lived experience) atau pengalaman batin yang dimiliki manusia.


(47)

Pengalaman batin itu adalah, “Pengalaman-pengalaman dalam sejarah,

kesusastraan dan semua ilmu tentang hidup atau kehidupan manusia”

(Sumaryono, 1999:51).

Begitu pula halnya dengan ekspresi, dalam hal ini bukanlah ekspresi

yang mengungkapkan atau membentuk perasaan manusia, “...namun lebih sebuah „ekspresi hidup‟; sebuah “ekpresi” mengacu pada ide, hukum, bentuk sosial, bahasa−segala sesuatu yang merefleksikan produk kehidupan dalam

manusia. Ia bukanlah simbol perasaan” (Palmer, 2005:126). Kemudian pada tahap akhir pemahaman juga tertuju pada kehidupan manusia itu sendiri, di

mana pemahaman dimaksudkan untuk memahami hidup. “Dengan begitu,

pemahaman merupakan proses jiwa di mana kita memperluas pengalaman hidup manusia” (Palmer, 2005:129). Dalam hal ini, Dilthey beranggapan

bahwa hermeneutika bukan teori interpretasi teks semata, justru “bagaimana hidup mengungkapkan dan mengekspresikan dirinya dalam karya” (Palmer,

2005:129).

Martin Heidegger, tokoh dari filosofis, lebih mengarahkan teorinya terhadap hermeneutika sebagai sebuah cara untuk mengungkapkan

keberadaan atau eksistensi manusia. Inilah yang ia istilahkan sebagai “ada” atau “being”. Pemikiran dasarnya berawal dari hakikat keberadaan manusia yang mengarahkannya pula pada filsafat ontologi−menjelaskan hakikat keberadaan suatu zat.

Secara lebih jauh, pemikiran mengenai “ada”, metafisika dan


(48)

zeit (1927) yang kemudian diterjemahkan menjadi being ang time (1962). Selain berpusat pada pemahaman ontologis, ia juga menybut metodenya ini sebagai fenomenologi hermeneutik.

“Fenomenologi adalah sarana keberadaan yang diarahkan oleh

fenomena melalui suatu cara pengaksesan diri yang murni menjadi miliknya sendiri. Metode inilah yang akan menjadi signifikasi paling tinggi bagi teori hermeneutis... bahkan perhatian Heidegger sendiri

adalah metafisika dan persoalan keberadaan” (Palmer, 2005:148). Dengan demikian, cara cara untuk mengungkap “ada” tersebut adalah dengan metode fenomenologi hermeneutik heidegger, sehingga nantinya

hakikat “ada” itu sendiri dapat terlihat. “...Fenomenologi hermeneutik

berkaitan dengan engungkapan sein yang secara sedemikian rupa, sehingga sein dapat muncul dengan jelas” (Atho‟, 2003:66, dalam Atho‟ & Fahrudin, 2003:66). Dapt dikatakan heidegger menciptakan sebuah teori hermeneutik dasein yang bertumpu pada pemahaman tentang keberadaan manusia yang dapat diungkapkan dengan metode fenomenologi hermeneutik.

“Fenomenologi hermeneutik heidegger adalah salah satu

fenomenologi tentang “ada”, sesuatu hermeneutika yang membuka

sesuatu yang tersembunyi, bukan interpretasi atas interpretasi (misalnya suatu teks) melanikan kegiatan primal interpretasi yang

membuka tentang hakekat “ada” menjadi terbuka” (Atho‟, 2003:66, dalam Atho‟ & Fahrudin, 2003:66).

Selanjutnya, pandangan Hans-Georg Gadamer mengenai hermeneutiknya banyak ia kembangkan dari pendahulunya, Heidegger. Ia memandang hermeneutika sebagai sesuatu yang dialektis bukan sebagai metode. Karena kebenaran dalam pemahaman hanya dapat dicapai melalui

proses dialektika. “Sebab, dalam proses dialektik, kesempatan untuk


(49)

dibandingkan dengan proses metodis” (Sumaryono, 1999:69). Seterusnya, ia menuangkan gagasan hermeneutiknya dalam bukunya yang berjudul truth and method (1960).

Dialektika yang dimaksudnya adalah bagaimana bahasa dapat menjadi perantara untuk memahami teks karena situasi antara eneliti dan penafsir

terdapat perbedaan waktu yang lama. “... justru yang terpenting dalam jurang

waktu dan tradisi itu adalah dialektika atau dialeg yang produktif antara masa

lalu dengan masa kini. Dan ini hanya bisa dimasuki melalui bahasa”

(Mulyono, 2003:136, dalam Atho‟ & Fahrudin, 2003:136). Dalam proses yang dialektik tersebut pada akhirnya penafsir akan memperoleh kebenaran. Hal ini dikarenakan jarak waktu dan tradisi antara eneliti dan penafsir menjadi dekat hingga terjadi penggabungan horizon dengan diri penafsir.

“Menurut Gadamer, salah satu tujuan terpenting dalam hermeneutika

adalah memperluas horizon melalui ziarah imajinatif pada tradisi masa lampau dan berdialog dengan para jenius lewat karya tulisannya dalam setting sosial kehidupan mereka, sehingga akan muncul apa yang disebut the fusion of new horizon” (Antony C. Thiselton, 1992:8, dalam Hidayat, 2011:249).

Pemikirannya ini bertolak belakang dengan apa yang diungkapkan oleh Emilio Betti. Ia justru mengorientasikan teori hermeneutika-nya untuk memformulasikan bagaimana sisi historis, subjektivitas ekspresi manusia dapat diinterpretasi dengan tepat dan sah. Inilah titik hermeneutika

metodologis betti. “Dia−Betti−menyatakan secara tegas otonomi objek interpretasi dan mungkinya „objektivitas‟ historis dalam membuat interpretasi


(50)

yang valid” (Palmer, 2005:52). Artinya, betti berpendapat bahwa interpretasi

yang objetif dapat dilakukan oleh penafsir, sebab pada dasarnya pada objek terdapat makna objektif yang tidak tetap atau berubah-ubah. Oleh karena itulah, “...betti bermaksud mengafirmasi, apapun kemungkinan peran subjektif dalam interpretasi, bahwa objek tetap menjadi objek, dan sebuah

interpretasi valid yang objektif dapat layak diusahakan dan diselesaikan”

(Palmer, 2005:62).

Pada pion inilah terdapat perbedaan yang amat besar antara Betti dan Gadamer, sebab ia berpendapat interpretasi objektif tidak mungkin dilakukan. Waktu yang terbentang antara karya sang eneliti dan kehadiran penafsir sangatlah jauh sehingga untuk memahaminya, penafsir harus melakukan

proses dialogis yang bersifat subjektif. “Dengan demikian, upaya objektivisme murni dalam hermeneutika hanya akan menjadi kemustahilan...” (Mulyono, 2003:136, dalam Atho‟& Fahrudin, 2003:136).

2.5 Kerangka Pemikiran

Sebelum kita melihat pemikiran dan teori hermeneutika Paul Ricoure lebih jauh, perlu diketahui pula latar belakang dan kehidupannya. Paul Ricoure lahir di Valence, Prancis selatan, pada 1913. Ia menjadi mahasiswa di Universitas Sarbonne, Prancis pada akhir tahun 1930-an. Selama menjadi tahanan di jerman pasa masa perang dunia kedua, ia banyak membaca karya Edmund Husserl, Martin Heidegger, dan Karl Jaspers.


(51)

Kemudian, pada 1948 ia mengajar sejarah filsafat di universitas starsbourg, prancis, setelah ia pun pindah mangajar ke nanterre pada 1966. Namun, disebabkannya ada demonstrasi dari pihak mahasiswa terhadap universitas tersebut, ricoure memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai dekan dan pindah mengajar ke universitas louvain, belgia. Lalu, di tahun 1973, ia pun kembali ke nanterre. Semasa hidupnya ia telah menulis puluhan judul buku dan ratusan esai mengenai fenomenologi, metafora bahasa, dan hermeneutika. Ia meninggal pada 2005 di prancis, karena menderita sakit.

Pemikiran paul ricoure dalam bidang hermeneutika mencoba pemperbarui pemikiran dan teori-teori sebelumnya yang muncul dengan berbagai perspektif. Dalam pandangannya ia melihat bahwa tugas hermeneutika yaitu untuk memahami teks. Sedangkan pengertian teks itu sendiri merupakan segala diskursus atau wacana yang dibakukan lewat tulisan, dan diskursus adalah bahasa yang kita gunakan untuk berkomunikasi.

Secara lebih khusus, dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori hermeneutika dari Paul Ricoeur. Filsuf asal Prancis ini mendasarkan hermeneutika

pada interpretasi teks. Menurutnya, “Hermeneutika adalah teori tentang

bekerjanya pemahaman dan penafsiran teks” (Ricoeur, 2009:57). Artinya, dalam

hermeneutika terdapat proses untuk memahami teks baru kemudian menginterpretasikannya.

Adapun yang berkaitan dengan proses ini selain dari pemahaman dan interpretasi, yaitu teks. Kedua proses tersebut tidak akan dapat dugunakan sebagaimana mestinya tanpa adanya teks. Sehingga jelas, teks merupakan objek


(52)

penting dalam hermenutika, “Pengertian tentang teks menjadi sangat sentral

dalam pemikiran hermeneutika Ricoeur” (Permata, 2003:218, dalam Ricoeur, 2003:218).

Menurut Ricoeur, sebuah teks memiliki sifat berdiri sendiri dan tidak terikat. Berbeda dengan diskursus atau bahasa lisan yang dalam penyampaiannya masih bergantung pada aspek non-verbal si bembicara. “Sedangkan teks merupakan sebuah korpus yang otonom. Ricoeur menganggap bahwa sebuah teks

memiliki kemandirian, totalitas” (Permata, 2003:219, dalam Ricoeur, 2003:219).

Karenanya, teks itu bisu. Sang penulis “berbicara” mengungkapkan pemikiran dan maksudnya kepada pembaca dalam wacana yang terbakukan dalam tulisan atau teks. Pembaca tidak betatapan secara langsung dengan sang penulis, tetapi berkomunikasi melalui tulisannya pada sebuah teks.

Terdapat tiga macam sifat otonom yang dimiliki oleh teks. Pertama maksud pengarang, kedua lingkungan budaya tempat teks ditulis, terakhir pembaca atau publik itu sendiri. Sifat otonomi teks secara sederhana ialah sifat kemandirian atau ketidaktergantungan sebuah teks terhadap latar belakangnya: mulai dari maksud penulis, situasi dan tempat teks ditulis, serta situasi pembaca itu sendiri. Otonomi teks berarti, situasi dimana pembaca hanyut terbawa ke dalam ide, alur, dan imaji eneliti tanpa sempat mempertanyakan latarbelakang penulisnya; bagaimana keadaan saat teks tersebut dibuat, apa yang memotivasi eneliti ketika membuat teks itu, atau bahkan melihat latarbelakang pembaca sendiri.


(53)

Sesaat, teks hadir ke hadapan pembaca seakan membawa pesannya sendiri, menyampaikan maksudnya sendiri. “Bukankah kita ada kalanya tenggelam dalam sebuah buku tanpa pernah bertanya secara kritis, siapakah

pengarangnya dan kepada siapa buku ini sesungguhnya ditunjukkan?”

(Hidayat, 2011:61). Kondisi inilah yang membuat teks melahirkan sifatnya yang otonom atau berdiri sendiri.

Seterusnya, sifat otonom ini nantinya memengaruhi bagaimana interpretasi teks dapat dilakukan. Namun, pada satu titik, karena sifat otonomi teks, justru interpretasi akan amat berkaitan dengan apa yang menjadi kemandiriannya. Artinya, interpretasi teks bertalian erat dengan maksud pengarang, situaisi dan tempat dimana teks itu ditulis, dan kondisi pembaca sebagai penafsir. Keadaan pembaca yang tenggelam dalam bacaannya memang meneguhkan sifat otonomi teks. Tetapi pada dasarnya, ketika akan menginterpretasi teks, maka pembaca seharusnya mengkaitkan dengan aspek otonomi teks itu sendiri.

Dalam hal ini Hidayat (2011:63) kembali menjelaskan, “Jadi, makna itu

muncul dari pertautan antara teks, pikiran pengarang, dan benak pembacanya. Ketiga vaeriabel itu, yaitu the world of the text, the world of the author, dan the world of thr reader...”. hal ini mengindikasikan bahwa saat proses penafsiran makna teks maka pembaca berusaha untuk mengerti kemudian memahami apa yang sebenarnya simaksud oleh pengarang dalam teksnya (the world of the author), bagaimana situasi teks tersebut ditulis (the world of the text), dan situasi latarbelakang pembaca sendiri (the world of the reader).


(54)

Maka itu, dunia teks akan mengaitkan aspek sejarah di mana teks tersebut ditulis dan situasi apa yang melingkupinya. Sebab, “Setiap teks lahir dalam sebuah wacana yang memiliki banyak variabel, antara lain, kondisi politis,

ekonomis, psikologis, dan sebagainya” (Hidayat, 2011:81). Sedangkan dunia

pengarang pada tahap penafsirannya akan dihubungkan latar belakang kehidupan penulis, sisi psikologis dan budaya yang membentuk pribadi penulis, dan apa yang memotivasi penulis untuk menciptakan karyanya.

Terkait dengan hal ini Hidayat (2011:244) menyatakan, “Jadi, dalam

memahami sebuah teks, seseorang dituntut untuk berusaha memahami pribadi sang pengarang yang melahirkannya serta situasi dan tradisi sosial dimana ia

hidup”. Lalu, pada dunia pembaca, akan dikaitakn dengan latarbelakang diri

pribadi, bagaimana pembaca melihat posisi teks, makna, dan penulis.

“Menurut Ricoeur, sekali sebuah wacana dimantapkan dengan tulisan,

maka saat itu pula ia mempunyai otonomi tiga rangkap: otonomi terhadap maksud pengarang, otonomi terhadap lingkup kebudayaan asli tempat teks itu ditulis, dan otonomi terhadap pendengar atau publik yang asli” (Arifin, 2003:225-256, dalam Atho‟ & Fahrudin, 2003:255-256).


(55)

Adapun otonomi tiga rangkap yang dimiliki sebuah teks, peneliti merangkum dalam sebuah gambar berikut.

Gambar 2.1

Otonomi Tiga Rangkap Paul Ricoeur

Sumber: Diadaptasi dari buku Hermeneutika Trasedental: Dari Konfigurasi Filosofis

menuju Praksis Islamic Studies, oleh Nafisul Atho’ & Arif Fahrudin, 2003, hal.

255256

Tiga tahap otonomisasi tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan proses interpretasi teks dalam pendekatan hermeneutika. Oleh karena itu, pemikiran Paul Ricoeur mengenai sifat teks yang otonom dan interpretasinya penulis asumsi dapat menguak makna puisi Charil Anwar dalam puisinya yang berjudul “ Aku”.

Otonomi teks Terhadap:

Lingkup kebuadayaan asli tempat teks

itu ditulis. Maksud

pengarang Maksud

pembaca Lingkup

kebudayaan tempat teks ditulis


(56)

49 BAB III

OBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian 3.1.1 Puisi “AKU”

Objek dalam penelitian ini yaitu sebuah puisi atau tulisan yang ditulis oleh Chairil Anwar pada Bulan Maret 1943, berjudul “Aku”. Puisi ini pada awalnya diterbitkan di Majalah Panji Pustaka. Kemudian diterbitkan kembali dalam kumpulan puisi Chairil dalam Buku Deru Campur Debu. Saat ini, Puisi “Aku” diterbitkan kembali ke dalam sebuah buku yang menyatukan berbagai Puisi Chairil Anwar dari beragai buku. Adapun identitas buku tersebut sebagai berikut.

Judul Puisi : AKU

Judul Buku : Aku Ini Binatang Jalang Penulis : Chairil Anwar

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Cetakan : Kedua Puluh Satu, Juni 2009 Jumlah Halaman : 111


(57)

3.1.2 Isi Puisi “ AKU”

Kalau sampai waktuku

„ku mau tak seorang „kan merayu

Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari Berlari

Hingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi


(58)

3.1.3 Biografi Chairil Anwar

Gambar 3.1 Foto Chairil Anwar

Sumber: Sekelumitceritadaridia.blogspot.com

Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Dan merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan Bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. Yang masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir −Perdana Menteri pertama

Indonesia−.

Chairil masuk sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu masa penjajahan Belanda. Kemudian, ia meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus.

Pada usia sembilan belas tahun, orang tuanya bercerai, bapaknya menikah lagi dengan Ramadhana. Dari ibu tiri itu, Chairil mempunyai empat sodara, yang pertama bernama Nini Toeriza, kedua dan ketiga adalah putri kembar bernama Tuilwa Dan Tuhilwi, sedang adik bungsunya Tuchairiyah.


(59)

Gambar 3.2 Foto Chairil Dan Ibunya

Sumber: Sekelumitceritadaridia.blogspot.com

Chairil sangat menyayangi ibunya, ketimbang bapaknya sehingga, Setelah perceraian orang-tuanya, Chairil ikut pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastra. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.

Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di Majalah Nisan pada tahun 1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun. Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis merujuk pada kematian. Namun saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di majalah Pandji Pustaka untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran


(1)

109

Aminudin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Jakarta: Sinar Baru.

Anwar, Chairil. 2009. Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ardianto, Elvinaro & Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmukomunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatamamedia.

Atho’, Nafisul. 2003. “Hermeneutika Fenomenologis Dasein Dan Pemahaman Eksistensial”; Dalam Nafisul Atho’ & Arif Fahrudin. Hermeneutika Transidental: Dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies. Yogyakarta: IRCisod.

Arifin, Zainal. 2003. “Hermeneutika Fenomenologis Paul Recoeur”; dalam Nafisul Atho’ & Fahrudin, Hermeneutika Transidental: Dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies. Yogyakarta: IRCisod.

Atmazaki. 1993. Analisis sajak: teori, metodologi, dan aplikasi. Bandung: angkasa

Budiman, A. 2007. Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan. Jakarta: Wacana Bangsa. Daymon, Christine & Immy Holloway. 2008. Metode-Metode Riset Kualitatif

Dalam Public Relations & Marketing Communications. Bandung: Bentang.

Djaya, Sjuman. 2003. AKU; Berdasarkan Perjalanan Hidup dan Karya Penyair Chairil Anwar. Jakarta: Metafor Intermedia Indonesia.

Djojosuroto, Kinayati. 2007. Filsafat Bahsa (Edisi Revisi). Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

Esten, Mursal. 1990. Sastra Indonesia dan Tradisi Sub Kultur. Bandung: Angkasa Hidayat, Komaruddin. 2011. Memahami bahsa agama: sebuah kajian

hermeneutika (edisi baru). Bandung: Mizan.

Mulyana, Deddy. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi Dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya.


(2)

110

Jalil, Dianie Abdul. 1990. Teori Dan Periodisasi Indonesia. Bandung: Angkasa Jassin, H. B. (1985). Chairil Anwar: Pelopor Angkatan 45. Jakarta: Gunung

Agung.

Kartika, Dharsono Sony & Prawira, Nanang Ganda. 2004. Pengantar Estetika. Bandung: Rekayasa Sains.

Mulyono, Edi. 2003. “Hermeneutika Linguistik-Dialektis Hans –George Gadamer”; dalam Nafisul Atho’ & Fahrudin, Hermeneutika Transidental: Dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies. Yogyakarta: IRCisod.

Moleong, Lexy J. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nasution, S. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Palmer, E. Richard. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Permata, Ahmad Norma. 2003. “Hermeneutika Fenomenologis Paul Ricoeur” (Apendiks); dalam Paul Ricoeur. Filsafat Wacana: Membelah Makna Dalam Anatomi Bahasa. Yogyakarta: IRCisod.

Piliang, Yasraf Amir. 2011. “Agama Dan Tamasya Hermeneutika” (Pengantar); dalam Komaruddin Hidayat. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika (Edisi Baru). Bandung: Mizan.

Poespoprojo, W. 1987. Interpretasi: Beberapa Catatan Pendekatan Filsafatnya. Bandung: Remaja Karya

Pradopo, Rahmat Djoko.2003. Pengkajian Puisi. Yogyakatra: Universitas Gajah Mada Press.

Rahmanto, Bernardus. 1988. Metode Pengajaran Sastra: Pegangan Guru Pengajar Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Rapar, Jan Hendrik. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius

Ricoeur, Paul. 2003. Filsafat Wacana: Membelah Makna Dalam Anatomi Bahasa. Yogyakarta: IRCisod.


(3)

. 2009. Hermeneutika Ilmu Sosial. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Santana K., Septiawan. 2010. Menulis Ilmiah Metodologi Penelitian Kuliatatif.

Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Sugiharto, I. Bambang. 1996. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Sukarya, Zakarias, dkk. 2008. Pendidikan Seni. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional.

Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Sutjiatiningsih, D. S. 1982. Chairil Anwar: Hasil Karya dan Pengabdiannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumen Sejarah Nasional.

Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Waluyo, Herman J. 2000. Dasar-Dasar Teori Sastra. Bandung: Angkasa

Bandung.

West, Richard & Lyn H. Turner. 2008. Pengantar Teori Komunikasi Analisis Dan Aplikasi (Buku Satu). Jakarta. Salemba Hunanika.

Sumber lain:

Oktriani, Riri. 2012. Makna Pemikiran Demokrasi Bung Hatta (Studi Kualitatif dengan Pendekatan Hermeneutika mengenai Makna Pemikiran Demokrasi Bung Hatta dalam Risalah “Demokrasi Kita”) Bandung. UNISBA. Fakultas Ilmu Komunikasi.

Internet Searching:

http://baruga.mahafatna.com/mendiknas-pds-hb-jassin-aset-mahal-penting/ http://edukasi.kompas.com/read/2011/03/22/04202654/.Dokumentasi.Sastr a.HB.Jassin.Siap.Ditutup

Sekelumitceritadaridia.blogspot.com www.24bit.wordpress.com


(4)

112

http://eprints.undip.ac.id/19444/1/ARTIKEL_PROPAGANDA_JEPANG. Fdf

http://oa.ivaa-online.org/archive/files/uploads/texts/Chairil%20Anwar%20di%20Ruang %20Rupa.pdf

http://abusyauqitamim.wordpress.com/2011/12/23/charles-breijer-pengabadi-bayi-repoeblik-indonesia/

http://nobodycorpfound.wordpress.com/2011/08/22/kelompok-seniman-gelanggang-seniman-merdeka/


(5)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Sarah Andanasari

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat Tanggal Lahir : Karawang, 07-11-1989

Umur : 22 Tahun

Tinggi, Berat Badan : 158 cm, 41 kg

Agama : Islam

Golongan Darah : O Kewarganegaraan : WNI

Status : Belum Menikah

Hobi : Dengar Musik, Masak, Adventure dan Travelling. Alamat : Jl. Jati Mulya No. 41 Rt 01/02 Karawang Barat Telepon, Hp : 022-95191026


(6)

PENDIDIKAN FORMAL

2008 - Sekarang : Program Studi Ilmu Komunikasi Konsentrrasi Jurnalistik (S-1) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) Bandung. 2004 – 2007 : IGB (Islamic Girl Boarding School) Darul-marhamah 2001 – 2004 : IGB (Islamic Girl Boarding School) Darul-marhamah 1995 – 2001 : SD Al-Irsyad Al-Isslamyyah. Karawang

1994 – 1995 : TK Aisyyah Karawang

PENDIDIKAN NON- FORMAL

1. 2009, Peserta “MENTORING AGAMA ISLAM” Audiotorium Miracle

UNIKOM – Bandung (Bersertifikat).

2. 2009, Peserta “STUDY TOUR MASS MEDIA 2009” (Lembaga Sensor

Film (LSF), Media Indonesia, dan Metro TV), Jakarta (Bersertifikat). 3. 2009, keseketariatan “MENUMBUHKAN NASIONALISME

DENGAN REAKTUALISASI SISTEM NILAI BUDAYA NUSANTARA”, Audiotorium Miracle UNIKOM – Bandung (Bersertifikat).

4. 2012, Peserta “WORKSHOP MENULIS KREATIF DI MEDIA

ONLINE”, – Bandung (Bersertifikat).

5. 2008, Sisiwi “LEMBAGA BAHASA & PENDIDIKAN

PROFESIONAL LIA”, – Bandung (Bersertifikat).

6. 2007, Siswi “SONY SUGEMA COLLEGE” Bandung, (tidak bersartifikat)