Vernalization and Growth Regulator Role on Flowering and Seed Yield of Shallot at Highland and Lowland
PERAN VERNALISASI DAN ZAT PENGATUR TUMBUH
DALAM PENINGKATAN PEMBUNGAAN DAN PRODUKSI
BIJI BAWANG MERAH DI DATARAN RENDAH DAN
DATARAN TINGGI
DIAN FAHRIANTY
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Peran Vernalisasi dan Zat
Pengatur Tumbuh dalam Peningkatan Pembungaan dan Produksi Biji
Bawang Merah di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi” adalah karya saya
dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2013
Dian Fahrianty
A 252100151
ABSTRACT
DIAN FAHRIANTY. Vernalization and Growth Regulator Role on Flowering and
Seed Yield of Shallot at Highland and Lowland. Supervised by Roedhy
Poerwanto, Winarso D Widodo and Endah R Palupi.
The aim of this research was to observe the effect of vernalization and
growth regulator in increasing flowers and true shallot seed yield in lowland and
highland. This reaserch was conducted at lowland, Dramaga (250 masl, t=25260C, rainfall: 105-548 mm/month, RH:71-87%), and highland, Cipanas (1250
masl, t=20-210C, rainfall 204-479 mm/month, RH:80-87%). Shallot bulb 5-7 g
was used as planting material. This research was conducted in two experiments.
In the first experimental completely Randomized Block Design with two factors
was used. The first factor was vernalisation, i.e.without vernalisation (V0) and
vernalisation at 10 0C for thirty five days (V1) s, and the second factor was GA3
concentration, i.e. 0 ppm (G1), 100 ppm (G2), and 200 ppm (G3). In the second
experiment, NAA at concentration of 0 (A1), 50 (A2), 100 (A3) and 200 ppm(A4)
was used. Before planting, the bulbs was vernalized and submerged in 200 ppm
GA3 solution for one hour. NAA is given by spraying to the plants aged 3 and 5
weeks after planting. The result showed that vernalization and GA3 affected
flowering and TSS production. In lowland, combination of vernalization and 200
ppm GA3 increased flowering 233 times compared to the control and increased
one-half times compared to the vernalization treatment without GA3 and in
highland it increased four times compared to the control and one-half times
compared to the vernalization without GA3. Combination of vernalization and 200
ppm GA3 resulted in the TSS production 3.93 g/m2 (39.3 kg/ha) in lowland and
4:41 g/m2 (44.1 kg/ha) in highland. Aplication of 200 ppm GA3 without
vernalization and combination of vernalization until 200 ppm GA3 produced >
80% germination in lowland and highland. Aplication of 50 ppm NAA increase
24% flowering, 4.80 g or equal to 48.00 kg/ha TSS production with 87%
germination. The result also show that vernalization can be substituted by GA3
aplication to enhance flowering and TSS production in highland however in
lowland as well as high land area a combination of vernalization and GA3 was the
best treatment.
Key words: shallot, vernalization,GA3, NAA, highland, lowland.
RINGKASAN
DIAN FAHRIANTY. Peran Vernalisasi dan Zat Pengatur Tumbuh dalam
Peningkatan Pembungaan dan Produksi Biji Bawang Merah di Dataran Rendah
dan Dataran Tinggi.
Peningkatan produksi dan produktivitas bawang merah dihadapkan pada
masalah ketersediaan benih bermutu. Bawang merah umumnya ditanam
menggunakan umbi bibit. Biaya penyediaan umbi bibit dapat mencapai 40% dari
biaya produksi total. Untuk mendapatkan benih berdaya hasil tinggi, banyak
petani yang menggunakan benih umbi dari bawang konsumsi asal impor yang
harganya relatif mahal. Salah satu cara untuk memecahkan masalah tersebut
adalah melalui introduksi teknologi budidaya menggunakan biji botani atau true
shallot seed (TSS).
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh vernalisasi dan GA3,
terhadap pembungaan dan hasil biji bawang merah di dataran rendah dan dataran
tinggi serta mempelajari pengaruh NAA terhadap pembungaan dan hasil biji
bawang merah yang dikombinasikan dengan vernalisasi dan GA3 baik di dataran
rendah dan dataran tinggi.
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua percobaan. Percobaan I: pengaruh
vernalisasi dan GA3 terhadap pembungaan dan hasil biji bawang merah di dataran
rendah dan dataran tinggi, menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap
dengan dua faktor yaitu vernalisasi (tanpa vernalisasi dan vernalisasi pada suhu 10
0
C) sebagai faktor pertama dan GA3 (0, 100 dan 200 ppm) sebagai faktor kedua
dengan empat ulangan. Percobaan II: pengaruh NAA terhadap pembungaan dan
hasil biji bawang merah kali ulangan di dataran rendah dan dataran tinggi,
menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap dengan menggunakan NAA
(0, 50, 100, 200 ppm) yang sebelumnya telah diberi perlakuan vernalisasi dan 200
ppm GA3 pada umbi bibitnya dengan empat kali ulangan. NAA diberikan dengan
cara penyemprotan pada tanaman umur 3 dan 5 minggu setalah tanam. Peubah
yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah daun, panjang tangkai bunga, jumlah
anakan per rumpun, waktu muncul kuncup bunga, waktu bunga mekar, jumlah
bunga per umbel, jumlah bunga per petak, persentase bunga jadi buah (%),
persentase tanaman berbunga, waktu panen, jumlah umbel per rumpun, jumlah
umbel per petak, bobot umbel per rumpun, bobot umbel per petak, bobot biji per
umbel, bobot biji per rumpun, bobot biji per petak dan daya kecambah biji.
Hasil penelitian pada percobaan pertama menunjukkan bahwa terdapat
interaksi antara vernalisasi dan GA3 terhadap pembungaan dan produksi TSS di
dataran rendah maupun di dataran tinggi. Pembungaan dan produksi TSS tertinggi
diperoleh pada kombinasi vernalisasi dan 200 ppm GA3. Kombinasi perlakuan
tersebut meningkatkan pembungaan 233 kali lipat jika dibandingkan perlakuan
kontrol dan meningkat 1.5 kali lipat dibandingkan perlakuan vernalisasi tanpa
GA3, sedangkan di dataran tinggi terjadi peningkatan hingga 4 kali lipat
dibandingkan perlakuan kontrol dan meningkat 1.5 kali lipat dibandingkan
perlakuan vernalisasi tanpa GA3. Produksi TSS yang dihasilkan sebesar 3.93 g/m2
atau (39.3 kg/ha) di dataran rendah dan 4.41 g/m2 (44.1 kg/ha) di dataran tinggi.
Persentase daya kecambah untuk bawang merah di dataran rendah dan dataran
tinggi tertinggi diperoleh pada perlakuan 200 ppm GA3 tanpa vernalisasi serta
kombinasi perlakuan vernalisasi dan 100-200 ppm GA3, dan vernalisasi tanpa
GA3 yaitu > 80%.
Hasil penelitian pada percobaan kedua menunjukkan bahwa untuk
penanaman yang dilakukan di dataran rendah hanya sampai pertumbuhan
vegetatif saja. Hal ini disebabkan oleh keadaan cuaca yang tidak mendukung
terjadinya inisiasi pembungaan walaupun umbi bawang merah sudah diberi
perlakuan vernalisasi dan GA3. Percobaan di dataran tinggi menunjukkan bahwa
perlakuan NAA dengan konsentrasi 50 ppm pada tanaman yang sebelumnya
diberi perlakuan vernalisasi dan 200 ppm GA3 pada umbi bibit meningkatkan
pembungaan sebesar 32% dari perlakuan kontrol dengan produksi TSS sebesar
4.80 g atau setara dengan 48.00 kg/ha. Perlakuan 50 ppm NAA menghasilkan
daya kecambah sebesar 87%. Namun demikian hasil terbaik diperoleh pada
perlakuan 50 ppm NAA yang tidak berbeda nyata dengan hasil perlakuan 0 ppm
NAA. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perlakuan vernalisasi dan 200
ppm GA3, baik tanpa maupun dengan penambahan perlakuan 50 ppm NAA, dapat
digunakan sebagai metode produksi TSS di dataran rendah dan di dataran tinggi
karena biji yang dihasilkan layak dijadikan benih karena memiliki daya kecambah
> 80%.
Perlakuan GA3 sampai 200 ppm di dataran rendah tidak dapat
menggantikan vernalisasi dalam meningkatkan pembungaan dan produksi TSS
bawang merah. Walaupun perlakuan vernalisasi bisa meningkatkan pembungaan
dan produksi TSS, hasil tertinggi diperoleh dengan kombinasi perlakuan
vernalisasi dan GA3. Di dataran tinggi GA3 bisa menggantikan vernalisasi. Untuk
meningkatkan pembungaan dan produksi TSS di dataran rendah maupun di
dataran tinggi, sebaiknya umbi bibit diberi kombinasi perlakuan vernalisasi dan
GA3.
Kata kunci: bawang merah, vernalisasi, GA3, NAA
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERAN VERNALISASI DAN ZAT PENGATUR TUMBUH
DALAM
PENINGKATAN
PEMBUNGAAN DAN PRODUKSI
BIJI BAWANG MERAH DI DATARAN RENDAH DAN
DATARAN TINGGI
DIAN FAHRIANTY
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Thesis : Dr. Ir Ketty Suketi M.Si
Judul : Peran Vernalisasi dan Zat Pengatur Tumbuh dalam Peningkatan
Pembungaan dan Produksi Biji Bawang Merah di Dataran Rendah dan
Dataran Tinggi
Nama : Dian Fahrianty
NIM : A252100151
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Roedhy Poerwanto, MSc
Ketua
Ir. Winarso D. Widodo, MS., PhD
Anggota
Dr. Ir. Endah R. Palupi, M.Sc
Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi
Agronomi dan Hortikultura
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr
Tanggal Ujian : 23 Januari 2013
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas karunia-Nya sehingga
karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Shalawat dan salam penulis haturkan
kepada Nabi Muhammad Shalallahu ’alaihi wasallam yang telah membawa
umatnya ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penelitian ini berjudul “Peran Vernalisasi dan Zat Pengatur Tumbuh dalam
Peningkatan Pembungaan dan Produksi Biji Bawang Merah di Dataran Rendah
dan Dataran Tinggi”. Penelitian dan penulisan tesis ini berlangsung di bawah
bimbingan Prof. Dr. Roedhy Poerwanto, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing
dan dua orang Anggota Komisi Pembimbing yaitu: Dr Winarso D Widodo, MS
dan Dr. Endah R Palupi, MSc. Penulis menyampaikan terima kasih yang tulus dan
penghargaan atas arahan keilmuan, bimbingan dan dorongan yang telah diberikan.
Penghargaan dan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada
kedua orang tua yaitu Ayahanda Fahruddin, SH dan Ibunda Sunarti, kepada adik
tercinta Kurniati Statistiani, M. Fachry Ali Usmaini serta kepada Wahyu Wijaya
Kusuma Abadi atas kesabaran serta penantian dan seluruh keluarga atas segala
pengorbanan yang tak terhingga serta limpahan kasih sayang, sehingga penulis
dapat menyelesaikan tesis ini.
Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan terima kasih kepada
penanggung
jawab
Laboratorium
Terpadu
Departemen
Agronomi
dan
Hortikultura (Ibu Ely, Nova, Mbak Ismi, Mas Agus), penanggung jawab kebun
percobaan Sawah Baru (Pak Dadang, Pak Ara, Pak Nandang) serta Kepala Kebun
Percobaan Balai Tanaman Hias, Cipanas yang telah memberikan tempat untuk
melaksanakan penelitian ini. Ucapan terima kasih setulusnya penulis sampaikan
kepada seluruh anggota dan pengurus FORSCA, kepada bapak Ismail Maskromo,
Bapak Aris Aksara, Bapak Odit Fery, Bapak M. Thamrin, Bapak Roberdi, Bapak
Amin Nur dan Ibu Dewi Erika atas semangat yang diberikan. Terima kasih
penulis ucapkan atas dukungan dari teman-teman Sekolah PascaSarjana Program
Studi Agronomi dan Hortikultura (AGH, ITB, PBT). Penulis mengucapkan terima
kasih kepada teman-teman seperjuangan: Ibu Gina Alya Sopha, Ibu Nur
Maslahah, Yulia Delsi, Ahmad Rifki Fauzi, Mutiara Dewi Puspitawati, Ida
Widyawati, Bapak Engelbert Manaroinsong, Nope Gromikora, Nofrianil, Bapak
Thoyip, Bapak Halim, Anita Darwis, Desty Sulistiyowati, Kartika Kirana, Jorge
Araujo Rerenstradika Tizar Terryana, Apriana Vinasyiam, Siti Gusti Ningrum
dan Nadia Mega Aryani atas motivasinya selama ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada para sahabat: Intan
Pramudita, Yulfa Rizki Amita, Dita Paramitha, Gita Oktaviana, Ni luh Putu Janur
Asih dan BQ. Arinita Adriantini beserta keluarga yang tak henti-hentinya
memberikan semangat dan dorongan agar penulis bisa menyelesaikan Sekolah
PascaSarjana di Institut Pertanian Bogor ini.
Penghargaan dan terima kasih setulusnya kepada para pembimbing penulis
di Universitas Mataram: Bapak Dr. Ir Bambang Budi Santoso MS.c, dan Ir
Nurrachman M.Si yang senantiasa memberi masukan, nasihat serta dorongan pada
penulis agar segera menyelesaikan pendidikan di sekolah Pascasarjana IPB.
Penelitian ini dibiayai dari hibah penelitian KKP3T yang berjudul
“Teknologi True Shallot Seed (TSS) Sebagai Bahan Tanam Untuk Meningkatkan
Produktivitas Bawang Merah” yang dihibahkan kepada Ir. Winarso D Widodo,
MS.,PhD, untuk ini penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya.
Akhirnya penulis mengucapkan ucapan terima kasih dan penghargaan
sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu demi kelancaran
penelitian ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Januari 2013
Dian Fahrianty
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Mataram, Nusa Tenggara Barat pada tanggal 28
Agustus 1987 sebagai anak pertama diantara tiga bersaudara dari pasangan
Fahruddin dan Sunarti.
Tahun 2005, penulis lulus dari Madrasah Aliyah Negeri 2 Mataram. Pada
tahun yang sama melanjutkan pendidikan sarjana pada Jurusan Budidaya
Pertanian Program Studi Hortikultura, Fakultas Pertanian, Universitas Mataram,
Mataram. Penulis memperoleh gelar sarjana tahun 2010.
Tahun 2010 penulis mengikuti pendidikan Pascasarjana pada Program
Studi Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. Penulis pernah
mengikuti Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah Internasional pada 10 November
2011 serta bergabung pada Forum Mahasiswa Pascasarjana (FORSCA) sebagai
anggota pada bidang Olah raga dan Seni pada periode 2010-2011.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiii
PENDAHULUAN ........................................................................................... xiv
Latar belakang .................................................................................... 1
Tujuan penelitian ................................................................................ 5
Hipotesis ............................................................................................. 5
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi bawang merah ....................................................................
Pembungaan .......................................................................................
Vernalisasi .........................................................................................
Giberelin ............................................................................................
Auksin ................................................................................................
Aplikasi zat pengatur tumbuh ............................................................
6
8
10
12
14
16
BAHAN DAN METODE
Tempat dan waktu..............................................................................
Bahan dan alat ....................................................................................
Metode penelitian ..............................................................................
Percobaan I ........................................................................................
Percobaan II .......................................................................................
Pelaksanaan penelitian .......................................................................
Pengamatan ........................................................................................
19
19
19
19
20
21
22
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi umum………………………………………………………. 25
Hasil penelitian .................................................................................. 26
Percobaan I ........................................................................................ 26
Percobaan II ....................................................................................... 39
Pembahasan ....................................................................................... 45
KESIMPULAN ................................................................................................ 57
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 59
LAMPIRAN ..................................................................................................... 64
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Pengaruh vernalisasi dan GA3 terhadap persentase tanaman
berbunga, waktu muncul kuncup bunga, waktu bunga mekar dan
waktu panen biji ...................................................................................... 27
2. Pengaruh vernalisasi dan GA3 terhadap jumlah umbel per rumpun
dan jumlah umbel per m2 .......................................................................... 29
3. Pengaruh vernalisasi dan GA3 terhadap jumlah bunga per umbel,
jumlah bunga per m2, persentase pembentukan buah (fruitset) ................ 32
4. Pengaruh vernalisasi dan GA3 terhadap bobot umbel per rumpun,
bobot umbel per m2, bobot biji per umbel, bobot biji per rumpun ........... 34
5. Pengaruh vernalisasi dan GA3 terhadap daya kecambah biji bawang
merah......................................................................................................... 37
6. Pengaruh NAA terhadap persentase tanaman berbunga, waktu
muncul kuncup bunga, waktu bunga mekar dan waktu panen biji ........... 39
7. Pengaruh NAA terhadap jumlah umbel per rumpun dan jumlah
umbel per m2 ............................................................................................. 40
8. Pengaruh NAA terhadap jumlah bunga per umbel, jumlah bunga
per m2, persentase pembentukan buah (fruitset) ....................................... 41
9. Pengaruh NAA terhadap bobot umbel per rumpun, bobot umbel per
m2, bobot biji per umbel ........................................................................... 41
10. Pengaruh NAA terhadap bobot biji per umbel, bobot biji per
rumpun, daya kecambah biji bawang merah............................................. 42
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Data iklim bulanan pada percobaan I di Sawah Baru, Dramaga .............. 64
2. Data iklim bulanan pada percobaan II di Kebun percobaan Cipanas ....... 64
3. Denah percobaan I .................................................................................... 65
4. Denah percobaan II ................................................................................... 66
5. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh vernalisasi dan GA3 di Dramaga ...... 67
6. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh vernalisasi dan GA3 di Cipanas ........ 68
7. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh NAA di Dramaga dan Cipanas ......... 69
8. Pengaruh vernalisasi dan GA3 terhadap tinggi tanaman bawang merah
di Dramaga dan Cipanas ............................................................................ 70
9. Pengaruh vernalisasi dan GA3 terhadap jumlah daun bawang merah
di Dramaga dan Cipanas ........................................................................... 71
10. Pengaruh NAA terhadap tinggi tanaman bawang merah di Dramaga
dan Cipanas ............................................................................................... 72
11. Pengaruh NAA terhadap jumlah daun bawang merah di Dramaga dan
Cipanas ...................................................................................................... 72
12. Pengaruh vernalisasi dan GA3 terhadap panjang tangkai bnga, jumlah
anakan per rumpun dan bobot biji per m2 ................................................. 73
13. Pengaruh NAA terhadap panjang tangkai bunga, jumlah anakan per
rumpun di Cipanas .................................................................................... 74
14. Sidik ragam percobaan 1, Dramaga .......................................................... 74
15. Sidik ragam percobaan 1, Cipanas ............................................................ 80
16. Sidik ragam percobaan 2, Dramaga .......................................................... 86
17. Sidik ragam percobaan 2, Cipanas ............................................................ 87
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Gambar bunga dan biji bawang merah ..................................................... 5
2. Gambar tanaman tanpa GA3 dan tanaman dengan perlakuan 200 ppm
GA3 ........................................................................................................... 46
3. Kurva hubungan perlakuan vernalisasi dan pemberian GA3 terhadap bobot
biji per m2 di dataran rendah Dramaga dan dataran tinggi Cipanas.......... 34
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas sayuran
unggulan yang memiliki banyak manfaat dan bernilai ekonomi tinggi, serta
mempunyai prospek pasar yang baik. Dalam dekade terakhir ini, permintaan
bawang merah untuk konsumsi dan bibit dalam negeri mengalami peningkatan.
Namun produktivitas tanaman bawang merah di Indonesia tergolong masih
rendah. BPS (2011) mencatat, selama setahun terakhir ini, produksi bawah merah
Nasional menurun tajam hingga 155.810 ribu ton atau sekitar 14.85 persen.
Produksi bawang merah di tahun 2011 mencapai 893.124 ribu ton dengan luas
panen sebesar 93.667 ribu hektar. Adapun untuk rata-rata produksinya adalah 9.54
ton per hektar. Untuk memenuhi permintaan akan bawang merah yang terus
meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya
berbagai industri yang memerlukan bahan baku bawang merah, maka produksi
dan kualitas hasil bawang merah harus senantiasa ditingkatkan, dan penanaman
bawang merah harus dapat dilakukan sepanjang tahun agar pasokan dan harganya
tidak berfluktuasi.
Peningkatan
produksi
bawang
merah
dihadapkan
pada
masalah
kelangkaan benih yang bermutu dan harga benih yang mahal. Selama ini, para
petani masih menggunakan umbi sebagai bahan tanam. Penggunaan umbi bibit
sebagai bahan tanam menghabiskan biaya produksi mencapai 40% sehingga
ongkos produksi menjadi permasalahan tersendiri dalam budidaya bawang merah
(Suherman & Basuki 1990). Biaya yang tinggi ini mencakup besarnya gudang
untuk penyimpanan benih, kehilangan selama penyimpanan karena rusak atau
berkecambah, serangan penyakit tular benih dan hama penyakit. Disamping itu,
mutu umbi bibit kurang terjamin karena hampir selalu membawa patogen
penyakit seperti Fusarium sp., Colletotrichum sp., Alternaria sp. dan virus dari
tanaman asalnya yang terserang, sehingga menurunkan produktivitasnya (Permadi
1993). Sebagian petani menggunakan umbi bibit asal impor yang harganya relatif
mahal untuk menghasilkan benih yang berdaya hasil tinggi. Salah satu cara untuk
2
mengatasi masalah tersebut adalah dengan menggunakan biji botani atau true
shallot seed (TSS).
Penggunaan biji botani bawang merah untuk budidaya bawang merah
belum banyak dilakukan. Sebagai bahan tanam, TSS memiliki beberapa
keunggulan dibandingkan dengan menggunakan umbi antara lain penyimpanan
yang mudah, biaya pengangkutan lebih murah, kebutuhan benih lebih sedikit (6
kg/ha setara Rp 7.2 juta) dibandingkan umbi bibit biasa (+1,5 t/ha setara Rp 37.5
juta) (Permadi 1993; Ridwan et al.1989), menghasilkan tanaman yang lebih sehat
dan biji bebas virus dan penyakit tular benih, serta menghasilkan umbi dengan
kualitas yang lebih baik yaitu lebih besar dan bulat (Permadi 1993). Penelitian
Sumarni et al (2005) menunjukkan bahwa produksi bawang merah kultivar Bima
asal TSS dapat mencapai 33,30 ton/ ha.
Masalah utama dalam produksi TSS adalah rendahnya kemampuan
berbunga dan menghasilkan biji bawang merah yang secara alami rata-rata hanya
30% di dataran tinggi sedangkan di dataran rendah tidak berbunga (Putrasamedja
& Permadi 1994). Rendahnya persentase pembungaan bawang merah disebabkan
oleh keadaan cuaca, terutama fotoperiodisitas yang pendek (180C), sehingga tidak mendukung
terjadinya pembungaan secara optimal. Tanaman bawang merah membutuhkan
suhu yang rendah (7-12 0C) dan fotoperiodisitas yang panjang (>12jam) untuk
keperluan inisiasi pembungaan (Brewster 1990).
Selama ini, untuk memproduksi bunga dan biji bawang merah masih
difokuskan di dataran tinggi, karena merupakan lokasi yang cocok untuk
menghasilkan pembungaan bawang. Pada umumnya bawang merah dapat
berbunga dan menghasilkan biji, dan selanjutnya biji akan digunakan sebagai alat
perbanyakan. Masalah yang dihadapi adalah tidak semua bawang merah dapat
berbunga di dataran rendah. Di Baranang Siang, Bogor pernah ditemukan bawang
merah berbunga, akan tetapi tingkat pembungaannya sangat rendah (Prakoso
1983). Menurut Sumarni et al (2009) kondisi cuaca di dataran rendah tidak cocok
untuk terjadinya inisasi pembungaan bawang. Namun terdapat indikasi bahwa
pembentukan buah dan biji, kondisi cuaca di dataran rendah lebih cocok daripada
3
di dataran tinggi karena untuk pembentukan buah dan biji dibutuhkan suhu yang
lebih tinggi.
Pembungaan tanaman bawang merah dapat dirangsang oleh suhu rendah
selama pertumbuhannya. Pemberian perlakuan suhu rendah secara buatan
(vernalisasi) pada umbi bibit dapat merangsang pembungaan bawang merah.
Satjadiputra (1990) melaporkan bahwa perlakuan vernalisasi dengan suhu 10 0C
selama 30-35 hari pada umbi bibit bawang merah, dapat meningkatkan
pembungaan dan hasil biji bawang merah.
Penelitian yang dilakukan di dataran tinggi menunjukkan bahwa perlakuan
vernalisasi pada umbi bibitnya menghasilkan persentase tanaman yang berbunga
sebanyak 51.33% dengan hasil biji 6.89 kg/ha di dataran tinggi (Sumarni &
Soetiarso 1998). Peningkatan pembungaan dapat dilakukan dengan penambahan
zat pengatur tumbuh secara eksogen seperti giberelin yang dapat menginduksi dan
merangsang pembungaan, dan dapat menggantikan sebagian atau seluruh fungsi
suhu rendah dalam merangsang pembungaan (Galston & Davies 1970). Auksin
juga dapat merangsang pembungaan, mengatur perkembangan bunga dan
pembentukan buah, serta mencegah gugur bunga dan bakal buah (Leopold &
Kriedemann 1979). Sumarni dan Sumiati (2001) melaporkan bahwa perlakuan
vernalisasi yang dikombinasikan dengan 200 ppm GA3 dan 50 ppm NAA dengan
aplikasi penyemprotan pada umur 3 dan 5 minggu setelah tanam menghasilkan
pembungaan sebesar 51.67% dengan produksi biji sebesar 3.36 atau setara dengan
22.40 kg/ha.
Terdapat berbagai macam teknik aplikasi yang digunakan untuk
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Menurut Weaver (1972), ada tiga
metode aplikasi yang sering digunakan, salah satunya adalah perendaman.
Perendaman yang dilakukan ada umbi bibit bawang merah pada lautan GA3
diharapkan dapat meningkatkan induksi bunga pada titik tumbuh karena apabila
diberikan dengan penyemprotan, GA3 akan merangsang pemanjangan sel
sehingga tidak memiliki efek pada primordia bunga karena tunas generatif telah
terbentuk sejak induksi dalam umbi. Harbaugh dan Wilfret (1979) melaporkan
bahwa perendaman umbi 3 kultivar Caladium hortulanum dalam larutan 250 ppm
GA3 selama 8-16 jam meningkatkan jumlah bunga per tanaman. Pemberian NAA
4
dilakukan dengan cara penyemprotan karena fungsi NAA lebih pada
perkembangan bunga danpembentukan buah, serta mencegah gugur bunga dan
bakal buah (Leopold & Kriedemann 1979).
Berdasarkan permasalahan tersebut perlu diketahui pengaruh vernalisasi
dan zat pengatur tumbuh terhadap pembungaan dan produksi TSS di dataran
rendah, karena selama ini penelitian tentang pembungaan untuk memproduksi
TSS baru dilakukan di dataran tinggi. Sumarni et al (2005) melaporkan bahwa
pembungaan bawang merah di dataran rendah Subang (150 mdpl) tidak optimal
dibandingkan di dataran tinggi Lembang (1250 mdpl) sehingga perlu dilakukan
penanaman baik di dataran tinggi dan dataran rendah untuk melihat respon
pembungaan di kedua tempat tersebut yang mendapatkan perlakuan vernalisasi
dan zat pengatur tumbuh. Perlakuan vernalisasi dan pemberian zat pengatur
tumbuh diharapkan dapat meningkatkan pembungaan bawang merah terutama di
dataran rendah.
5
Tujuan Penelitian
Tujuan dari Penelitian ini adalah:
1. Mempelajari peran vernalisasi dan GA3 terhadap pembungaan serta hasil
biji bawang merah di dataran rendah dan di dataran tinggi.
2. Mendapatkan konsentrasi GA3 terbaik terhadap pembungaan dan hasil biji
bawang merah di dataran rendah dan di dataran tinggi.
3. Mempelajari peran NAA terhadap pembungaan dan hasil biji bawang
merah yang sebelumnya diberi perlakuan vernalisasi + GA3.
4. Mendapatkan konsentrasi NAA terbaik terhadap pembungaan dan hasil
biji bawang merah di dataran rendah dan di dataran tinggi.
Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah :
1. Kombinasi vernalisasi dengan konsentrasi 100 ppm GA3 dapat
meningkatkan pembungaan dan hasil biji bawang merah di dataran tinggi
dan dataran rendah.
2. GA3 dapat menggantikan vernalisasi dalam meningkatkan pembungaan
dan hasil biji bawang merah di dataran tinggi dan dataran rendah
3. NAA yang diberikan pada tanaman yang sudah divernalisasi + 100 ppm
GA3 dapat meningkatkan pembungaan dan hasil biji bawang merah di
dataran tinggi dan dataran rendah.
6
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Bawang Merah
Bawang merah merupakan tanaman semusim, membentuk rumpun dan
tumbuh tegak dengan tinggi dapat mencapai 15-50 cm. Perakarannya berupa akar
serabut yang tidak panjang dan tidak terlalu dalam tertanam di tanah. Seperti
halnya bawang putih, tanaman ini termasuk tidak tahan kekeringan. Daun bawang
merah berbentuk silindris seperti pipa dengan bagian ujungnya meruncing yang
bewarna hijau muda sampai hijau tua, memiliki batang sejati atau “diskus” yang
bentuknya seperti cakram tipis dan pendek sebagai tempat melekatnya perakaran
dan mata tunas (titik tumbuh) yang memanjang antara 50-70 cm. Pangkal daun
bersatu membentuk batang semu. Batang semu yang berada di dalam tanah akan
berubah bentuk dan fungsinya menjadi umbi lapis atau bulbus (Sumarni &
Rosliani 1996). Umbinya mempunyai kulit yang ’membranous’, serta memiliki
variasi dalam bentuk, ukuran dan warna (Rabinowitch & Brewster 1990).
a
b
Gambar 1. bunga bawang merah (a), biji bawang merah (b)
Bunga bawang merah termasuk bunga majemuk yang berbentuk tandan,
yang bertangkai, bunga berwarna putihyang terdiri dari 50-200 kuntum bunga.
Bunga bawang merah adalah bunga sempurna (hermaphrodite) yaitu memiliki dua
organ kelamin yaitu stamen dan stigma dalam satu bunga. Bawang merah pada
umumnya terdiri atas 5-6 helai benang sari, satu putik, dengan daun bunga yang
berwarna putih, termasuk hypogenous yaitu posisi ovarium berada diatas calix
dengan posisi superior. Bakal buah terbentuk dari 3 daun buah yang disebut carpel
7
yang membentuk tiga ruang dan dalam tiap ruang terdapat dua bakal biji
(Rabinowitch & Brewster 1990).
Pertumbuhan vegetatif bawang merah dibagi menjadi dua tahap yaitu :
fase vegetatif yaitu terjadinya perkembangan akar dan daun serta fase generatif
yaitu pembungaan dan pertumbuhan umbi. Pada perkembangan akar dan daun
terjadi akumulasi karbohidrat yang lebih besar daripada penggunaannya (Brewster
1990). Aktivitas pembentukan umbi meningkat pada pertumbuhan vegetatif dan
pembentukan umbi dipengaruhi oleh ketersediaan nitrogen, panjang hari dan
suhu.
Pembentukan
daun
terhenti
ketika
pembentukan
umbi
dimulai.
Pertumbuhan umbi selanjutnya akan ditentukan oleh jumlah daun yang sudah ada
sebelumnya. Daun bawang merah berbentuk sederhana dengan permukaan yang
sempit sehingga kemampuan untuk berfotosintesis rendah (Splittosser 1978 &
Edmond et al. 1983 dalam Abdullatif 1999).
Tanaman bawang merah memiliki daya adaptasi luas karena dapat ditanam
mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi (1000 m diatas permukaan laut)
dan baik diusahakan pada lahan bekas sawah maupun di tanah darat atau lahan
kering seperti tegalan, kebun dan pekarangan (Suwandi & Hilman 1997).
Tanaman bawang merah dapat tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 800
m dpl. Namun demikian tanaman akan berumur lebih panjang dan hasil umbinya
lebih rendah daripada di dataran rendah. Tanaman bawang merah termasuk
tanaman hari panjang, menyukai tempat yang terbuka dan cukup mendapat sinar
matahari (70%) terutama bila lamanya penyinaran lebih dari 12 jam (Sumarni &
Rosliani 1996). Untuk dapat tumbuh dengan baik, tanaman bawang merah
memerlukan
kondisi
perkembangannya.
lingkungan
Menurut
yang
Rabinowitch
cocok
dan
untuk
Brewster
pertumbuhan
(1990),
dan
Inisiasi
pembungaan terjadi pada suhu rendah 9-12 0C, sedangkan untuk pembuahan dan
pembijiannya diperlukan suhu yang lebih tinggi yaitu 35 0C serta curah hujan
sekitar 100-200 mm/bulan.
Bawang merah dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang gembur, subur,
banyak mengandung bahan organik atau humus, aersinya baik, dan tidak becek
dengan derajad kemasaman tanah (pH) yang paling baik adalah 6.0-6.8.
8
Tanahyang gembur dan subur akan mendorong perkembangan umbi secara
optimal (Brewster 1990).
Pembungaan
Perubahan dari fase vegetatif ke fase reproduktif cukup dramatis. Pada
masa vegetatif, tanaman secara teratur menumbuhkan daun baru, cabang, dan
akar. Perubahan ketahap pembungaan melibatkan perubahan utama di pola
diferensiasi pada meristem apical pucuk. Perubahan ini sepertinya dipicu oleh
senyawa biokimia (dikenal sebagai florigen) yang dikirim dari bagian akar
kebagian apeks tanaman, terutama dari daun. Jadi pembungaan menggambarkan
struktur kompleks yang sangat terspesialisasi, dimana struktur ini sangat berbeda
dengan bentuk dari bagian vegetatif dan juga berbeda antara spesies yang satu
dengan yang lain (Taiz & Zeiger 1991). Disamping kompleksitas ini, pembungaan
disemua spesies tumbuhan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang
menghubungkan perkembangan reproduktif tanaman dengan lingkungannya.
Faktor internal meliputi umur (Taiz & Zeiger 1991), hormon
pertumbuhan, dan nutrisi (Wareing & Phillips 1970; Berreiet al. 1987). Tanaman
mencapai fase pembungaan pada umur (atau ukuran) yang berbeda. Hormonhormon yang mempengaruhi pembungaan terutama adalah asam giberelin dan
auksin (Bleasdale 1981). Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi
bervariasi dari suhu, fotoperiodisme (Bleasdale 1981; Berrie et al. 1987), curah
hujan hingga stres air (Wareing & Phillips 1970; Kinet et al. 1985).
Induksi bunga merupakan suatu peristiwa penting dalam proses
pembungaan, yang menandai terjadinya perubahan pola pertumbuhan
dan
perkembangan dari fase vegetatif menuju fase generatif (produktif). Pada fase ini
terjadi perubahan fisiologis dan biokimia pada mata tunas sedangkan secara
secara morfologi belum terjadi perubahan secara visual. Pembungaan juga
merupakan interaksi dari pengaruh dua faktor yaitu faktor eksternal/lingkungan
(cahaya, suhu, kelembaban, curah hujan, dan unsur hara) dan faktor internal
(genetik dan fitohormon) (Gardner et al. 1991).
Proses pembungaan tanaman melalui empat tahapan yaitu induksi,
inisiasi bunga, deferensiasi bunga, pendewasaan bagian-bagian bunga dan
anthesis (Lang 1952). Induksi pembungaan merupakan awal dari fase reproduktif
9
tanaman. Pada tahap induksi terjadi perubahan respon biokimia pada lapisan
sruktur apeks, yang menjadi sinyal utama perubahan dari fase vegetatif ke fase
generatif. Inisiasi bunga merupakan tahap yang penting pada pembungaan
tanaman, karena tahap ini terjadi perubahan morfologis menjadi bentuk kuncup
generatif dan transisi dari tunas vegetatif menjadi kuncup generatif yang dapat
dideteksi dari perubahan bentuk maupun ukuran kuncup, serta proses-proses
selanjutnya yang mulai membentuk organ-organ generatif. Perubahan tunas apikal
dan aksilar dari fase vegetatif menjadi tunas bunga merupakan hasil dari aktivitas
hormonal yang berlangsung pada tanaman tersebut yang umumnya diinduksi oleh
kondisi lingkungan tertentu, seperti suhu dan perubahan panjang hari (lama
penyinaran) (Lang 1952).
Pada tahap diferensiasi, struktur primordia bunga terlihat jelas dibawah
mikroskop; terdiri atas sepal, petal, stamen, pistil maupun karpelnya. Pada tahap
ketiga terjadi pematangan bagian-bagian bunga, seperti jaringan sporogenous,
stigma dan pollen. Peristiwa mekarnya bunga dikenal dengan anthesis. Pada tahap
ini, bagian-bagian bunga akan mencapai ukuran maksimum, stigma menjadi
reseptifserta serbuk sari berkembang sempurna (Lang 1952).
Pembentukan buah dimulai dengan proses penyerbukan yang meliputi
jatuhnya butir-butir serbuk sari di atas permukaan stigma. Selanjutnya serbuk sari
membentuk tabung sari dan masuk ketangkai putik melalui jaringan transmisi
tabung sari (Pollen Tube Transmiting Tissue - PTT) untuk mencapai bakal biji.
Pembuahan (fertilisasi) terjadi saat serbuk sari (sel jantan) membuahi sel telur di
dalam bakal buah. Perkembangan buah dipengaruhi oleh keberhasilan
penyerbukan pada stigma sampai pada pembentukan biji pada buah dan banyak
proses terjadi yang melibatkan interaksi antara bagian-bagian bunga jantan dan
bunga betina (Herrero et al. 1988).
Perkembangan buah berlangsung dalam tiga fase yaitu: 1. Perkembangan
ovari, fertilisasi dan pembentukan buah, 2. Pembelahan sel, pembentukan biji dan
perkembangan awal embrio, 3. Pembesaran sel dan pematangan embrio. Secara
garis besar perkembangan buah dari mulai fruitset sampai senescence meliputi
beberapa tahapan antara lain pertumbuhan pematangan (maturation), matang
10
fisiologis
(physiological
maturity),
pemasakan
(ripening),
dan
penuaan
(senescence) (Gillaspy et al. 1993).
Buah dan biji terbentuk dari hasil penyerbukan dan pembuahan yang
terjadi pada ovul/bakal biji. Jumlah buah dan biji masak yang terbentuk pada
tanaman dipengaruhi beberapa faktor. Banyaknya buah masak yang dapat dipanen
ditentukan oleh: (1) Jumlah bunga yang dihasilkan oleh tanaman, (2) Persentase
bunga yang mengalami pembuahan, (3) Persentase buah muda yang dapat terus
tumbuh hingga menjadi buah masak dan (4) umur buah. Sedangkan kualitas dan
kuantitas biji pada buah ditentukan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah
kuantitas polen viabel yang berhasil membuahi ovul. Perkembangan buah dan biji
sangat dipengaruhi oleh suhu dan lingkungan penyinaran matahari (Goldsworthy
1992).
Pada prinsipnya, terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi
pembungaan, yaitu : (1) adanya hormon pembungaan atau florigen atau produksi
stimulus pembungaan pada daun yang mengalihkan fase vegetatif menjadi
reproduktif, (2) adanya kondisi nutrisi yang optimum pada saat yang sama dengan
perubahan dalam apeks, (3) terjadinya perubahan biokomia pada apeks yang
mengubah dan mengkonversi nutrient sehingga terjadi induksi pembungaan
(Ryugo 1990). Pembungaan dan peristiwa-peristiwa reproduktif hingga selesainya
pembentukan biji dicapai melalui sejumlah proses penyesuaian termasuk
penyesuaian suhu rendah seperti vernalisasi, kepekaan terhadap panjang hari, atau
terhadap intensitas sinar matahari yang dapat diterima oleh tanaman. Menurut
Barnier et al (1985) terdapat dua teori pembungaan, teori pertama yaitu inisiasi
pembungaan tidak akan terjadi kecuali ada yang menstimulasi, sedangkan teori
kedua menyatakan bahwa tanaman memiliki potensi untuk berbunga akan tetapi
kadang-kadang tertekan oleh kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Dengan
mengetahui teori pembungaan, maka pengaturan pembungaan tanaman dapat
ditentukan sesuai dengan kebutuhan tanaman
Vernalisasi
Pembungaan tanaman, sebagaimana perkembangan pertumbuhan tanaman
secara keseluruhan atau fenologi, sangat dipengaruhi oleh iklim terutama suhu
11
udara. Pengaruh dari suhu ini berbeda antara masa vegetatif dan masa reproduktif
(Penning de Vries et al. 1989). Selain itu, suhu dapat mengubah atau
memodifikasi respon terhadap fotoperiode pada spesies dan varietas, banyak
spesies yang membutuhkan periode dingin selama 2-6 minggu agar dapat
berbunga. Perlakuan dingin ini disebut vernalisasi (Gardner et al. 1991).
Istilah vernalisasi pertama kali digunakan pada perlakuan suhu dingin
pada benih yang berimbibisi atau semai kecambah, kemudian meluas kepada
semua perlakuan yang mempunyai efek yang sama terhadap tanaman seperti
halnya perlakuan terhadap umbi sebelum ditanam. Tujuan vernalisasi biasanya
adalah untuk mempercepat keluarnya bunga karena suhu dapat merangsang
inisiasi bunga. Tunas atau meristem yang lazimnya memberikan respon terhadap
suhu rendah dengan cara mengalami vernalisasi. Hanya jika tunas diberi suhu
rendahlah, tumbuhan akan berbunga (Salisbury & Ross 1995). Akan tetapi selain
dipengaruhi oleh vernalisasi, periode menuju waktu berbunga juga di pengaruhi
oleh suhu dan panjang hari selama masa pertumbuhan dan pengaruhnya saling
berinteraksi. Banyak tanaman-tanaman dwi musim yang berasal dari daerah
subtropik yang memerlukan vernalisasi. Suhu-suhu rendah yang diperlukan oleh
tanaman-tanaman subtropik dapat diperoleh secara alami dari daerah asalnya,
tetapi untuk daerah tropis suhu yang rendah sukar sekali diperoleh kecuali
ditempat-tempat tinggi. Oleh karena itu dibutuhkan suhu rendah secara buatan,
yaitu dengan teknik vernalisasi (Peat 1983).
Menurut Wareing dan Philips (1981), periode vernalisasi minimal yang
dibutuhkan untuk pembungaan berbeda dari spesies ke spesies, tetapi biasanya
berlangsung selama beberapa minggu. Sebagian besar spesies suhu antara -1
sampai 10 0C efektif untuk vernalisasi. Berdasarkan tanggap tanaman terhadap
vernalisasi maka dapat dibentuk dua kelompok tanaman yaitu (1) tanaman yang
memberikan tanggap kuantitatif, artinya perlakuan suhu rendah hanya
mempercepat pembungaan dimana tanaman akan berbunga meskipun tanpa
perlakuan vernalisasi. Hal ini terjadi pada ”petkus rye” (Secale cereale) yang
divernalisasi hanya membutuhkan waktu 7 minggu untuk berbunga dan jika tanpa
vernalisasi membutuhkan waktu 14-18 minggu. (2) tanaman yang memberikan
tanggap secara kualitatif, artinya kebutuhan akan suhu rendah mutlak diperlukan
12
untuk pembungaan sehingga tanpa perlakuan vernalisasi, tanaman tidak akan
berbunga dan ini ditemukan pada tanaman bienial Hyoscyamus niger (Salisbury &
Ross 1978).
Vernalisasi biasanya terjadi antara suhu -5 hingga 16 0C dengan pengaruh
maksimun antara 0 hingga 8 0C (Whyte 1960). Lamanya perlakuan vernalisasi
mulai beberapa hari hingga 60 hari hingga lebih lama lagi, tergantung pada
spesies dan genotipe tanaman dan suhu yang digunakan. Bawang merah pada fase
post-juvenile merespon suhu dingin baik pada saat penyimpanan ataupun pada
saat tumbuh dilapangan, dan sensitifitasnya terhadap suhu dingin meningkat, yaitu
semakin tua umur bibit maka membutuhkan induksi dingin lebih sedikit. Saragih
(1994) dalam penelitiannya terhadap lobak menunjukkan bahwa tanaman lobak
yang
divernalisasi,
lebih
cepat
berbunga
dibandingkan
tanaman
yang
tidakdivernalisasi. Suhu dingin dapat menginduksi pembungaan namun
sebaliknya suhu yang tinggi (28-30
0
C) dapat memperlambat pembungaan
(Kamenetsky & Rabinowitch 2002). Suhu yang tinggi selama penyimpanan tidak
hanya menghambat pembungaan namun juga menunda umur berbunga,
mengurangi jumlah bunga serta menekan munculnya rangkaian bunga yang telah
terinisiasi (Krontal et al. 2000).
Giberelin
Hormon tanaman merupakan senyawa-senyawa kimia yang terjadi secara
alamiah di dalam tanaman yang berperan dalam mengatur pertumbuhan dan
perkembangan tanaman secara aktif pada konsentrasi yang rendah. Hormon
tanaman adalah senyawa organik bukan nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil (106
– 10-5Mm), yang diseintesis pada bagian tertentu dari tanaman dan pada
umumnya diangkut kebagian lain tanaman dimana zat tersebut menimbulkan
tanggapan secara biokimia, fisiologis dan morfologis (Wattimena 1988). Bahan
kimia sintetik yang mempunyai peranaan sama dengan hormon tanaman disebut
zat pengatur tumbuh tanaman sintetik. Fitohormon yang secara umum dikenal
adalah auksin, giberelin, sitokinin, asam absisat dan etilen (Slisbury & Ross
1995). Penggunaan zat pengatur tumbuh dalam bidang hortikultura sudah banyak
dilakukan. Zat pengatur tumbuh diberikan pada tanaman dengan tujuan untuk
mengontrol dan memodifikasikan pertumbuhan tanaman agar diperoleh hasil yang
13
secara ekonomis menguntungkan. Keuntungan tersebut meliputi: peningkatan
hasil dan memperbaiki kualitas produksi (Wattimena 1988).
Selain faktor genotipe dan lingkungan, zat pengatur tumbuh yang berperan
mempengaruhi pembungaan diantaranya adalah asam giberelat (GA3). Giberelin
(GA3) adalah senyawa tetrasiklik diterpenoid dengan sistem cincin ent-giberelan
yang ditemukan pada tahun 1926 olek E. Kurosawa, ilmuan Jepang yang
menemukan cendawan penyebab elongasi pada batang padi. Kemudian cendawan
tersebut diberi nama Gibberella fujikuroi. Giberelin (GA3) merupakan salah satu
zat pengatur tumbuh yang diketahui dapat mendorong terjadinya pembungaan.
Giberelin
dapat
menggantikan
kondisi
lingkungan
spesifik
guna
mengendalikanpembentukan bunga. Induksi pembungaan yang disebabkan oleh
giberelin merupakan peran pengganti hari panjang dan menginduksi pembungaan
pada tanaman hari pendek (Sponsel 1995).
Giberelin terdapat pada berbagai organ dan jaringan tanaman seperti akar,
tunas, mata tunas, daun, bunga, bintil akar, buah dan jaringan halus. Giberelin
berpengaruh terhadap pertambahan panjang batang, memperbesar luas daun dari
berbagai jenis tanaman serta bunga dan buah. Giberelin memacu pemanjangan sel,
pertumbuhan serta pembesaran sel. Hormon ini meningkatkan hidrolisi pati dan
fruktan menjadi fruktosa dan glukosa. Heksosa-heksosa hasil dari hidraksi pati
tersebut merupakan sumber energi terutama untuk pembentukan sel dan
menyebabkan potensial air menjadi rendah yang menyebabkan penurunan
potensial air kemudian air dari luar sel mudah berdifusi masuk ke dalam sel,
sehingga sel dapat membesar. Pembesaran sel yang disebabkan oleh GA3 dapat
mencapai 15 kali lebih besar dari sel yang tidak diberi perlakuan GA3 (Davies
1995).
Pada beberapa jenis tanaman tertentu menghasilkan GA3 yang berbeda.
Pada kondisi tertentu tanaman menghasilkan GA3 endogen yang berlebih.
Sementara pada kondisi lainnya tanaman menghasilkan GA3 dalam jumlah yang
rendah. Tidak semua GA3 yang terdapat pada tanaman aktif. Oleh karena itu,
pemberian GA3 pada tanaman harus disesuaikan dengan waktu yang diinginkan
oleh tanaman. Pemberian GA3 pada saat kandungan GA3 eksogen rendah akan
memberikan pengaruh yang signifikan pada tanaman, namun kadang tidak cukup
14
untuk merangsang (Wattimena 1988). Menurut Annis et al (1992), pada tanaman
Craspedia globosa pemberian GA3 dengan penyemprotan pada konsentrasi 0 dan
500 mg/l merangsang pembungaan. Namun pemberian GA3 pada tanaman ini
tidak meningkatkan produksi bunga, meningkatkan tinggi tanaman dan
pemanjangan batang.
Menurut Chaari-Rkhis et al (2006) pemberian GA3 10 mg/l dapat
menginduksi pembungaan tanaman zaitun (Olive). Pertumbuhan dan pembungaan
philodendron dapat meningkat dengan pemberian konsentrasi GA3 125 mg/l
hingga 1.000 mg/l (Chen et al. 2003). Yursak (2003) dalam penelitiannya
menyatakan hal yang sama bahwa pemberian GA3 selain meningkatkan
pertumbuhan tinggi dan jumlah ruas batang juga merangsang pembungaan lily.
Selain itu, Wuryaningsih dan Sutater (1993) melaporkan bahwa pemberian 230
ppm GA3 sebanyak tiga kali pada tanaman krisan meningkatkan tinggi tanaman
sampai dengan minggu ke 12 dan produksi bunga dan panjang tangkai lebih dari
60 cm serta kesegaran bunga 5 hari.
Auksin
Auksin merupakan hormon pertama yang ditemukan dalam tanaman dan
merupakan penanda utama yang mengontrol perkembangan tanaman. Bentuk
alami auksin umumnya adalah IAA (indole -3-acetic acid). Auksin mengatur
pertumbuhan dan gerak tropisme, selain itu berperan dalam dominasi apikal,
inisiasi akar lateral, absisi daun, diverensiasi vascular, pembentukan tunas bunga
dan perkembangan buah (Taiz dan Zeiger 2002).
Istilah auksin digunakan pada sekelompok senyawa kimia yang memiliki
fungsi utama mendorong pemanjangan kuncup yang sedang berkembang.
Beberapa auksin dihasilkan secara alami oleh tumbuhan, misalnya IAA
(indoleacetic acid), PAA (Phenylacetic acid), 4-chloroIAA (4-chloroindole acetic
acid) dan IBA (indolebutyric acid) dan beberapa lainnya merupakan auksin
sintetik,
misalnya
NAA
(napthalene
acetic
acid),
2,4
D
(2,4
dichlorophenoxyacetic acid) dan MCPA (2-methyl-4 chlorophenoxyacetic acid)
(Ratna 2008).
15
Auksin
berperan
penting
dalam
meningkatkan
pembelahan
dan
pembesaran sel. Pembelahan dan pembesaran sel mengakibatkan buah aktif
tumbuh dan membesar, akibatnya buah yang terbentuk akan memiliki sink
strength yang tingi. Semakin tinggi sink strength maka semakin tinggi
kemampuan buah untuk memmobilisasi asimilat kebuah tersebut. De