Analisis Efisiensi Usahatani Komoditas Bawang Merah Di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat

ANALISIS EFISIENSI USAHATANI BAWANG MERAH
DI KABUPATEN MAJALENGKA, JAWA BARAT

NURUL RISTI MUTIARASARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2017

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Efisiensi
Usahatani Komoditas Bawang Merah di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat
adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapum kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2017


Nurul Risti Mutiarasari
NIM H351140341

RINGKASAN
NURUL RISTI MUTIARASARI. Analisis Efisiensi Usahatani Komoditas
Bawang Merah di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Dibimbing oleh ANNA
FARIYANTI dan NETTI TINAPRILLA
Bawang merah merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai
tinggi dan telah diusahakan secara intensif oleh petani serta memberikan
kontribusi cukup tinggi terhadap perkembangan wilayah di Indonesia. Jawa Barat
merupakan salah satu provinsi yang memberikan kontribusi keempat terbesar
untuk pemenuhan kebutuhan bawang merah, salah satu wilayahnya adalah di
Kabupaten Majalengka. Usahatani bawang merah masih menghadapi kendala,
diantaranya harga bibit berkualitas yang mahal, belum optimalnya penggunaan
input produksi, harga jual yang berfluktuasi, tingkat pengetahuan petani yang
masih rendah, serta adanya ancaman iklim yang sulit dikendalikan dan
penggunaan faktor-faktor produksi yang belum sesuai.
Tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis karakteristik usahatani
bawang merah di Kabupaten Majalengka; (2) menentukan faktor-faktor yang

mempengaruhi efisiensi usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka; (3)
menganalisis efisiensi usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka secara
teknis, alokatif, dan ekonomi. Data utama yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data sekunder yang berasal dari Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT)
IPB dengan jumlah responden sebanyak 37 petani bawang merah di Kabupaten
Majalengka. Waktu pengumpulan data dilakukan pada bulan September 2015
sampai dengan April 2016. Data di analisis menggunakan Stochastic Frontier
Analysis (SFA) yang digunakan sebagai pendekatan untuk mengukur efisiensi
teknis sekaligus faktor-faktor yang mempengaruhinya. Selanjutnya penggunaan
analisis produk marjinal untuk mengukur efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi
diukur dari perkalian antara efisiensi teknis dan alokatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik petani bawang merah di
Kabupaten Majalengka yaitu berada pada usia produktif, telah mengenyam
pendidikan minimal Sekolah Dasar, berpengalamandalam berusahatani bawang
merah,namun keikutsertaan petani terhadap penyuluhan masih sangat kurang.
Selanjutnya faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap nilai produksi
usahatani bawang merah adalah luas lahan, jumlah bibit, dan pestisida. Nilai
efisiensi teknis rata-rata usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka
adalah 0.842 yang menunjukkan bahwa rata-rata petani bawang merah di
Kabupaten Majalengka sudah efisien secara teknis. Faktor-faktor yang

mempengaruhi efisiensi adalah pendidikan formal, status kepemilikan lahan,
keikutsertaan dalam penyuluhan, dan lama waktu menjadi petani. Selanjutnya,
dari hasil penelitian analisis efisiensi alokatif dan ekonomi, nilai efisiensi masingmasing adalah 2.94 dan 2.47 yang menunjukkan bahwa usahatani bawang merah
di Kabupaten Majalengka masih belum efisien. Oleh karena itu, untuk
meningkatkan efisiensi bawang merah di Kabupaten Majalengka adalah dengan
mengurangi penggunaan tenaga kerja dan mengalokasikan biaya pada faktor
produksi yang berpengaruh nyata terhadap efisiensi.
Kata kunci : efisiensi, produksi, stochastic frontier, usahatani bawang merah.

SUMMARY
NURUL RISTI MUTIARASARI. Farming Efficiency Analysis of Shallot
Commodity in Majalengka, West Java. Supervised by ANNA FARIYANTI and
NETTI TINAPRILLA.
Shallot is one of strategic commodity which has high value and has been
intensively cultivated by farmers, highly contribute to district development in
Indonesia. West Java is the fourth-highest province that contributes to shallot
needs fulfillment especially in the country. One of shallot center in West Java is
located in Majalengka. Shallot farming still faces some obstacles, such as the high
price of good quality seeds and ineffective usage of production input so that the
output result cannot be maximized. Moreover, other obstacles are fluctuation of

selling price, low knowledge level of the farmers, existence of climate threat that
hard to control, and inappropriate usage of production factors.
Objectives of this research are: (1) to analyze characteristic of shallot
farming in Majalengka; (2) to determine factors that affect shallot farming
efficiency in Majalengka; (3) to analyze technically, allocatively, and
economically shallot farming efficiency in Majalengka. Main data in this research
is secondary data from previous research executed by Center of Tropical
Horticulture Study (PKHT) Institut Pertanian Bogor. Shallot farmers respondent
were determined with purposive approach. Number of respondent in this research
is 37 shallot farmers in Majalengka. Data in this research include qualitative and
quantitative data of shallot farming in Majalengka were collected between 2015
September until 2016 April. Stochastic Frontier Analysis (SFA) was used as
approach to measure technical efficiency and factors affecting. Furthermore,
analysis of Value Marginal Product (VMP) and Marginal Cost (MC) ratio was
used to measure allocative efficiency, while the combination of technical and
allocative efficiency was used to measure economic efficiency.
Research result shows that shallot farmer characteristic are in productive
age , most of their minimum education is elementary school, long term experience
in farming can motivate farmers to intensively upgrade their business, however,
involvement of farmers in counseling is still very low. Factors that positively and

significantly affect shallot farming production value are land area, amount of
seeds, and pesticide. Shallot farming in Majalengka has average value of technical
efficiency of 0.842 which shows that in average shallot farmer in Majalengka are
technically efficient. Factors that affect efficiency are formal education, land
ownership status, level of access to counselor, and time period as a farmer.
Furthermore, in allocative efficiency analysis using VMP and MC ratio, if the
ratio is equal to one, it shows that the business is allocatively efficient, if the ratio
is more than one it shows that the business is not efficient yet. Meanwhile,
economic efficiency is determined from combination of technical and allocative
efficiency. The research result finds allocative and economic efficiency value are
2.94 and 2.47 respectively, which shows shallot farming in Majalengka is still
allocatively and economically inefficient. Therefore, the shallot efficiency in
Majalengka needs to be improved with minimize labor cost and allocated the cost
to other production factors that affect shallot farming.
Key words: efficiency, farming, marginal product,shallots, stochastic frontier.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

ANALISIS EFISIENSI USAHATANI BAWANG MERAH
DI KABUPATEN MAJALENGKA, JAWA BARAT

NURUL RISTI MUTIARASARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Pada
Program Studi Magister Sains Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2017

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis

: Dr Ir Harianto, MS

Penguji Wakil Program Studi

: Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Analisis Efisiensi
Usahatani Komoditas Bawang Merah di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
Shalawat serta salam senantiasa disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW
sebagai suri taudalan dan pemimpin terbaik umat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si dan
Dr. Ir. Netti Tinaprila, MM selaku dosen pembimbing, Dr. Ir. Harianto, MS
selaku penguji luar komisi dan Prof. Dr. Rita Nurmalina, Ir. MS selaku penguji

Program Studi Agribisnis yang memberikan saran membangun dalam penyusunan
dan perbaikan tesis ini. Terima kasih pula kepada Pusat Kajian Hortikultura
Tropika (PKHT) Institut Pertanian Bogor dengan Dr. Ir. Anna Fariyanti, M. Si
selaku ketua peneliti sub tematik yang telah memfasilitasi penulis dalam
pengumpulan data di lokasi penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ibunda Hj. Tuti Karyani, ayahanda H. Ery Supriyadi Rustidja, kakak
tercinta Hj. Nisa Risti Mustikasari dan H. Burhannudin serta Abizar Thaariq
Cendekia, adik tercinta Nur Ryan Muhamad, dan seluruh keluarga atas segala doa,
dukungan, dan kasih sayangnya. Terima kasih penulis sampaikan juga kepada
rekan-rekan yang memberikan motivasi, sekretariat Magister Sains Agribisnis
yang telah membantu dalam proses administrasi, dan akademik Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah membantu pengurusan akademik
dalam penyelesaian tesis.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Maret 2017

Nurul Risti Mutiarasari

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

xiii

DAFTAR GAMBAR

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

xvi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

Ruang Lingkup Penelitian

1
8
10
10
11

TINJAUAN PUSTAKA

11

Karakteristik Usahatani Bawang Merah
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Efisiensi Usahatani
Faktor Internal
Faktor Penunjang Kegiatan Usahatani
Efisiensi Usahatani
Pengukuran Efisiensi Usahatani

12

13
13
15
16
19

KERANGKA PEMIKIRAN

21

Fungsi Produksi
Efisiensi Teknis, Alokatif, dan Ekonomis
Efisiensi Berorientasi Input
Fungsi Produksi Stochastic Frontier
Pengukuran Efisiensi Alokatif dan Ekonomi Penggunaan Faktor Produksi
Kerangka Pemikiran Operasional

21
24
25
26
28
31

METODE PENELITIAN

34

Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis dan Pengolahan Data
Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier
Analisis Efisiensi Teknis dan Inefisiensi Teknis
Uji Asumsi Klasik
Uji Hipotesis
Analisis Efisiensi Alokatif dan Ekonomis
Konsep Pengukuran Variabel

34
34
34
35
35
36
37
38
39
40

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

42

Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Majalengka
Karakteristik Petani dan Usahatani Bawang Merah
Keragaan Usahatani Bawang Merah Kabupaten Majalengka
Analisis Pendapatan Usahatani Bawang Merah

42
42
45
54

ANALISIS EFISIENSI KOMODITAS BAWANG MERAH DI
KABUPATEN MAJALENGKA

60

Faktor Produksi Bawang Merah di Kabupaten Majalengka
Efisiensi Produksi Bawang Merah
Analisis Efisiensi Teknis Usahatani Bawang Merah
Produksi Potensial dan Potensi yang Hilang Usahatani Bawang Merah
Sumber-sumber Inefisiensi Teknis Usahatani Bawang Merah
Efisiensi Alokatif dan Ekonomi

60
67
67
69
70
79

SIMPULAN DAN SARAN

84

Simpulan
Saran

84
85

DAFTAR PUSTAKA

86

LAMPIRAN

96

RIWAYAT HIDUP

106

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

Perkembangan konsumsi bawang merah di Indonesia tahun
2010-2014
Daerah sentra produksi bawang merah di Indonesia
Produktivitas bawang merah Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten
Majalengka tahun 2010-2014
Luas panen, produksi, dan produktivitas bawang merah
Kabupaten Majalengka tahun 2009-2013
Karakteristik petani bawang merah di Kabupaten Majalengka
Rata-rata penggunaan pupuk per hektar pada bawang merah
di Kabupaten Majalengka
Rata-rata penggunaan tenaga kerja produksi pada bawang merah
di Kabupaten Majalengka
Penerimaan usahatani bawang merah per hektar di Kabupaten
Majalengka berdasarkan varietas yang digunakan petani
Biaya usahatani bawang merah varietas bima per hektar pada
musim kemarau
Biaya usahatani bawang merah varietas balikaret per hektar
pada musim hujan
Biaya usahatani bawang merah varietas ilocos per hektar pada
musim kemarau
Pendapatan dan nilai rasio R/C usahatani bawang merah di
Kabupaten Majalengka
Ringkasan data pendugaan fungsi produksi usahatani bawang
merah di Kabupaten Majalengka
Hasil dugaan fungsi produksi stochastic frontier dengan metode
Ordinary Least Square (OLS)
Hasil dugaan fungsi produksi stochastic frontier dengan metode
Maximum Likelihood Estimation (MLE)
Sebaran nilai efisiensi teknis usahatani bawang merah di
Kabupaten Majalengka
Produksi potensial dan kehilangan produksi bawang merah pada
berbagai tingkat efisiensi di Kabupaten Majalengka
Pendugaan efek inefisiensi teknis usahatani bawang merah di
Kabupaten Majalengka
Nilai rata-rata tingkat efisiensi teknis petani responden
berdasarkan sebaran usia di Kabupaten Majalengka
Nilai rata-rata tingkat efisiensi teknis petani responden
berdasarkan sebaran jumlah tanggungan keluarga petani di
Kabupaten Majalengka
Nilai rata-rata tingkat efisiensi teknis petani responden
berdasarkan sebaran pendidikan formal yang ditempuh petani
di Kabupaten Majalengka
Nilai rata-rata tingkat efisiensi teknis petani responden
berdasarkan status kepemilikan lahan di Kabupaten Majalengka
Nilai rata-rata tingkat efisiensi teknis petani responden
berdasarkan sebaran mutu benih yang digunakan petani di
Kabupaten Majalengka

1
4
5
9
44
47
49
54
56
57
58
59
60
61
64
68
70
71
72
73

74
75

76

24
25
26
27

Nilai rata-rata tingkat efisiensi teknis petani responden
berdasarkan sebaran keikutsertaan petani dalam penyuluhan di
Kabupaten Majalengka
Nilai rata-rata tingkat efisiensi teknis petani responden
berdasarkan sebaran lama waktu menjadi petani di Kabupaten
Majalengka
Rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) dengan Biaya Korbanan
Marjinal (BKM) pada faktor-faktor produksi usahatani bawang
merah di Kabupaten Majalengka
Sebaran efisiensi alokatif dan ekonomi usahatani bawang merah
di Kabupaten Majalengka

77

78
80
83

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Perkembangan harga bawang merah di tingkat produsen dan
konsumen tahun 2009-2014
Perkembangan luas panen bawang merah di Indonesia tahun
2004-2014
Perkembangan produksi bulanan bawang merah di Indonesia
tahun 2012-2014
Produktivitas bawang merah di Indonesia tahun 2004-2014
Kabupaten sentra dan pengembangan produksi bawang merah
di Provinsi Jawa Barat tahun 2014
Fungsi produksi neoklasik
Pengukuran efisiensi teknis, efisiensi alokatif, dan efisiensi
ekonomis berdasarkan orientasi input
Fungsi produksi stochastic frontier
Isoquant, isocost, dan titik kombinasi biaya minimum
Kerangka pemikiran operasional
Pola tanam pada lahan sawah di Kabupaten Majalengka
Pola tanam pada lahan tegalan di Kabupaten Majalengka
Perangkap lampu (night trap) yang digunakan petani responden
untuk menangkap hama pada malam hari
Lahan yang sudah diolah dan siap untuk ditanami bawang merah
di Kabupaten Majalengka (2015)
Proses penanaman bawang merah dengan menggunakan bibit
umbi
Proses pemanenan dan hasil panen bawang merah yang
dilakukan oleh petani responden di Kabupaten Majalengka
Hubungan efisiensi teknis petani bawang merah dengan usia
petani di Kabupaten Majalengka
Hubungan efisiensi teknis petani bawang merah dengan jumlah
tanggungan keluarga di Kabupaten Majalengka
Hubungan efisiensi teknis petani bawang merah dengan
pendidikan formal di Kabupaten Majalengka
Sebaran efisiensi teknis petani bawang merah berdasarkan status
kepemilikan lahan di Kabupaten Majalengka
Sebaran efisiensi teknis petani bawang merah berdasarkan mutu
benih yang digunakan di Kabupaten Majalengka

2
2
3
3
5
22
25
27
28
33
46
46
48
51
51
53
72
73
74
76
77

22
23

Sebaran efisiensi teknis petani bawang merah berdasarkan
keikutsertaan petani dalam penyuluhan di Kabupaten
Majalengka
Sebaran efisiensi teknis petani bawang merah berdasarkan
lama waktu menjadi petani di Kabupaten Majalengka

78
79

DAFTAR LAMPIRAN
1

2
3
4
5
6

Hasil pendugaan fungsi produksi rata-rata (OLS) dan fungsi
produksi stochastic frontier (MLE) dengan menggunakan
program FRONTIER 4.1
Input model produksi bawang merah Kabupaten Majalengka
tahun 2015
Pendapatan petani bawang merah di musim kemarau II
Pendapatan petani bawang merah di musim kemarau I
Pendapatan petani bawang merah di musim hujan
Analisis pendapatan usahatani bawang merah di Kabupaten
Majalengka (Musim Kemarau) tahun 2015

97
102
103
104
104
105

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Komoditas hortikultura memiliki peranan penting dalam pertanian
Indonesia, mengingat komoditas tersebut merupakan komoditas potensial yang
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi yang dapat terus dikembangkan.
Komoditas hortikultura juga merupakan komoditas strategis karena merupakan
salah satu komponen penting dari Pola Pangan Harapan, yang harus tersedia
setiap saat, dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman konsumsi, harga
yang terjangkau, serta dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat
(Kementerian Pertanian 2012). Salah satu komoditas hortikultura bernilai tinggi
yang perlu dikembangkan yaitu bawang merah. Bawang merah (Allium
ascolonicum, L) yang termasuk sebagai komoditas strategis yang menjadi salah
satu komoditas penyumbang inflasi dalam negeri selain beras, cabai merah,
daging ayam, dan daging sapi. Selain itu, bawang merah memiliki nilai ekonomis
yang tinggi dan komoditas yang digunakan dalam pengolahan berbagai makanan.
Hal tersebut menyebabkan permintaan dan kebutuhan bawang merah meningkat
seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Tabel 1 menunjukkan
perkembangan konsumsi bawang merah di Indonesia.
Tabel 1 Perkembangan konsumsi bawang merah di Indonesia Tahun 2010-2014
Tahun

Konsumsi
(kg/kapita/tahun)
2010
2.53
2011
2.36
2012
2.76
2013
2.07
2014
2.49
Rata-rata pertumbuhan
(persen per tahun)

Pertumbuhan
(persen)
-6.60
17.02
-25.29
20.44
1.18

Konsumsi
(‘00 ton)
603 214
571 582
678 355
513 809
627 134

Pertumbuhan
(persen)
-5.24
18.68
-24.26
22.06
3.00

Sumber: Kementerian Pertanian (2015)
Tabel 1 menunjukkan bahwa konsumsi bawang merah di Indonesia setiap
tahun berfluktuatif namun cenderung meningkat dengan pertumbuhan setiap
tahunnya adalah 1.18 persen. Berdasarkan pada Tabel 1, konsumsi bawang merah
tertinggi dicapai pada tahun 2012 yaitu sebesar 2.76 kilogram/kapita/tahun,
namun mengalami penurunan tingkat konsumsi pada tahun 2013 yaitu turun
menjadi 2.07 kilogram/kapita/tahun dan kembali mengalami peningkatan pada
tahun 2014 yaitu menjadi 2.49 kilogram/kapita/tahun. Konsumsi bawang merah
meningkat seiring dengan kebutuhan masyarakat yang terus meningkat karena
adanya pertambahan penduduk dan berkembangnya industri makananan.
Konsumsi bawang merah cenderung meningkat setiap saat, namun produksi
bawang merah bersifat musiman serta rentan terhadap hama dan penyakit,
sehingga adanya keterbatasan dalam memenuhi permintaan. Kondisi ini
menyebabkan terjadinya kesenjangan antara pasokan dan permintaan, sehingga
dapat menyebabkan gejolak harga. Gejolak harga yang terjadi tidak hanya di
tingkat konsumen, namun juga pada tingkat petani sebagai produsen. Gambar 1
memperlihatkan perubahan harga bawang merah di tingkat produsen dan
konsumen tahun 2009-2014.

Harga (Rupiah per
kilogram)

2

40000
30000
20000
10000
0
2010

2011

2012
Tahun

Harga Produsen

2013

2014

Harga Konsumen

Gambar 1 Perkembangan harga bawang merah di tingkat produsen dan konsumen
tahun 2009-2014
Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura 2015 (Diolah)

Luas panen (hektar)

Berdasarkan pada Gambar 1, perkembangan harga bawang merah di
tingkat produsen cenderung meningkat, dengan rata-rata pertumbuhan 7.45 persen
per tahun selama periode 2010-2014. Pada tahun 2010, harga bawang merah di
tingkat produsen adalah Rp. 11 757 per kilogram, kemudian naik menjadi
Rp. 15 591 per kilogram pada tahun 2014. Sedangkan, harga bawang merah di
tingkat konsumen selama periode 2010-2014 juga memiliki kecenderungan harga
yang meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 16.54 persen. Pada tahun 2013
harga bawang merah di tingkat konsumen merupakan harga tertinggi pada periode
tersebut yaitu sebesar Rp. 30 751 per kilogram. Meningkatnya harga bawang
merah tersebut terjadi akibat penurunan jumlah produksi bawang merah pada
waktu-waktu tertentu. Berdasarkan pada Kementerian Pertanian 2015,
peningkatan produksi bawang merah yang terjadi pada tahun 2014 akibat adanya
peningkatan jumlah luas lahan produksi bawang merah di Indonesia. Peningkatan
luas lahan produksi bawang merah yang dapat meningkatkan luas panen bawang
merah dilakukan Pemerintah bertujuan untuk melakukan pemenuhan kebutuhan
bawang merah serta mengurangi lonjakan harga dan menjaga ketersediaan stok
melalui Program Gerakan Tanam Cabai dan Bawang Merah di Musim Kemarau
atau GTCK. Gambar 2 memperlihatkan perkembangan luas panen bawang merah
di Indonesia tahun 2004-2014.
15
10
5
0
2004

2005

2006

2007

2008

2009
Tahun

2010

2011

2012

2013

2014

Gambar 2 Perkembangan luas panen bawang merah di Indonesia tahun 2004-2014
Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura 2015 (Diolah)
Pada Gambar 2 memperlihatkan luas panen bawang merah di Indonesia
mengalami fluktuasi. Penurunan luas panen terluas terjadi pada tahun 2011 yaitu
sebesar 14.56 persen dan pada tahun 2014 terjadi peningkatan luas panen bawang
merah sebesar 22 persen (Direktorat Jenderal Hortikultura 2015). Peningkatan

3

Produksi (ton)

luas panen pada tahun 2014 merupakan luas panen bawang merah tertinggi selama
periode tersebut yaitu 120 704 hektar. Selama lima tahun terakhir
(2010-2014),
rata-rata pertumbuhan luas panen bawang merah meningkat sebesar 3.70 persen
per tahun, lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya yaitu sebesar
3.04 persen per tahun (Kementerian Pertanian 2015). Seiring dengan
perkembangan luas panen bawang merah, perkembangan produksi bawang merah
di Indonesia juga cenderung meningkat setiap tahunnya. Gambar 3
memperlihatkan perkembangan produksi bulanan bawang merah di Indonesia
tahun 2012-2014.
150000
100000

50000
0
Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

2012

Jun
Jul
Tahun
2013

Agu

Sep

Okt

Nov

Des

2014

Gambar 3 Perkembangan produksi bulanan bawang merah di Indonesia tahun
2012-2014
Sumber: Kementerian Pertanian (2015)

Produktivitas

Berdasarkan pada Gambar 3, produksi bulanan bawang merah di Indonesia
selama periode 2012-2014 cenderung berfluktuatif. Selain itu, produksi bawang
merah tahun 2012 dan 2013 tertinggi terjadi pada bulan Januari dan Agustus. Pada
tahun 2014, produksi tertinggi terjadi pada bulan Januari dan Juni dengan masingmasing jumlah produksi yaitu pada bulan Januari adalah 1 490 130 ton dan bulan
Juni adalah 1 406 370 ton. Hal ini memperlihatkan bahwa bawang merah
merupakan komoditas yang bersifat musiman, karena peningkatan produksi hanya
terjadi pada waktu-waktu tertentu, sementara kebutuhan bawang merah cenderung
meningkat. Hal ini yang menyebabkan berfluktuatifnya harga bawang merah, baik
di tingkat konsumen maupun produsen. Rata-rata pertumbuhan produksi bawang
merah tahun 2010-2014 adalah 5.74 persen per tahun, lebih rendah dibandingkan
dengan pertumbuhan pada periode sebelumnya yaitu 6.94 persen per tahun. Selain
itu, peningkatan luas panen berpengaruh pada produktivitas bawang merah di
Indonesia. Gambar 4 menunjukkan produktivitas bawang merah di Indonesia
tahun 2004-2014.
11
10
9
8
7
2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

Tahun

Gambar 4 Produktivitas bawang merah di Indonesia tahun 2004-2014
Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura 2015 (Diolah)

4

Berdasarkan Gambar 4, produktivitas bawang merah cenderung meningkat
setiap tahunnya dengan pertumbuhan 2 persen per tahun. Tingkat produktivitas
secara nasional, didukung oleh produktivitas beberapa sentra produksi bawang
merah, terutama sentra produksi yang berada di Pulau Jawa. Pada tahun 2014,
Pulau Jawa memiliki tingkat produktivitas bawang merah yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tingkat produktivitas di Luar Pulau Jawa yaitu 10.52 ton per
hektar dan 9.31 ton per hektar. Hal tersebut disebabkan karena adanya
peningkatan luas panen yang lebih besar di Pulau Jawa dibandingkan dengan di
Luar Pulau Jawa, dengan rata-rata kontribusi selama kurun waktu 2010-2014
adalah 74.89 persen di Pulau Jawa dan 25.11 di Luar Pulau Jawa (Kementerian
Pertanian 2015).
Dari sisi kontribusi, selama periode 1980-2009 produksi bawang merah di
Pulau Jawa memberikan kontribusi sebesar 74.73 persen, selanjutnya pada
periode 2010-2014 Pulau Jawa memberikan kontribusi sebesar 77.91 persen,
lebih besar dibandingkan dengan periode sebelumnya. Terdapat beberapa sentra
bawang merah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi bawang merah dalam
negeri, yaitu di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa
Barat, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan (BPS 2015). Tabel 2 menunjukkan
beberapa daerah sentra produksi bawang merah di Indonesia.
Tabel 2 Daerah sentra produksi bawang merah di Indonesia
Provinsi Sentra
Jawa Tengah
Jawa Timur
Nusa Tenggara Barat
Jawa Barat

Kabupaten/Kota
Brebes, Demak, Pati, Temanggung,
Tegal, Boyolali, dan Kendal
Nganjuk, Probolinggo, Bojonegoro,
Kediri, dan Pamekasan
Bima dan Lombok Timur
Cirebon, Bandung, Garut, Majalengka,
Indramayu, dan Kuningan

Sumber : Badan Pusat Statistik 2015
Pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa terdapat empat provinsi sentra
produksi bawang merah di dalam negeri yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa
Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Keempat provinsi ini memberikan kontribusi
sebesar 86.24 persen terhadap rata-rata produksi bawang merah Indonesia. Jawa
Tengah merupakan provinsi yang memberikan kontribusi terbesar yaitu 42.70
persen. Provinsi kedua adalah Jawa Timur dengan kontribusi sebesar 22.54
persen, diikuti dengan Provinsi Jawa Barat sebesar 11.24 persen dan Nusa
Tenggara Barat sebesar 9.76 persen, selanjutnya kontribusi sebesar 13.76 persen
berasal dari kontribusi provinsi lainnya. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu
sentra produksi serta pengembangan komoditas bawang merah sesuai dengan
program Pemerintah, yaitu GTCK terdiri dari beberapa wilayah. Gambar 5
memperlihatkan beberapa sentra produksi beserta kontribusinya dalam
pemenuhan kebutuhan bawang merah di Provinsi Jawa Barat tahun 2014.

5

Gambar 5 Kabupaten sentra dan pengembangan produksi bawang merah di
Provinsi Jawa Barat tahun 2014
Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura 2015
Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra pengembangan
komoditas bawang merah yang terdiri dari beberapa wilayah. Salah satu wilayah
sentra pengembangan bawang merah di Jawa Barat adalah Kabupaten
Majalengka. Berdasarkan pada Gambar 5, pada tahun 2014 kontribusi pemenuhan
kebutuhan bawang merah Kabupaten Majalengka sebesar 23.52 persen, berada
pada urutan ketiga setelah Kabupaten Cirebon sebesar 31.53 persen dan
Kabupaten Bandung sebesar 25.13 persen, serta diikuti Kabupaten Garut sebagai
urutan keempat dengan persentase kontribusi sebesar 13.80 persen dan lainnya
sebesar 4.23 persen. Hal lain yang mendukung Kabupaten Majalengka cocok
untuk pengembangan bawang merah yaitu memiliki iklim, tekstur tanah, dan
cuaca yang baik untuk pertumbuhan bawang merah. Selain itu, Kabupaten
Majalengka dijadikan sebagai salah satu kawasan pembangunan sayuran seiring
dengan program pemerintah dalam Program Pengembangan Kawasan
Hortikultura Terintegrasi Dengan Pendampingan Intensif. Tabel 3 menunjukkan
produktivitas bawang merah di Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Majalengka.
Tabel 3 Produktivitas bawang merah Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten
Majalengka tahun 2010-2014
Produktivitas (ton/hektar)
Jawa Barat
Kabupaten Majalengka
2010
9.56
8.93
2011
10.11
9.72
2012
10.13
11.20
2013
10.26
11.01
2014
10.37
11.98
Sumber : Susenas, BPS, dan Direktorat Jenderal Hortikultura 2015 (Diolah)
Tahun

Berdasarkan pada Tabel 3, produktivitas bawang merah di Provinsi Jawa
Barat cenderung meningkat, sedangkan produktivitas bawang merah di Kabupaten
Majalengka mengalami penurunan pada tahun 2013 dan pada tahun 2014 kembali
mengalami kenaikan. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan luas lahan dan
luas panen sebesar 14.75 persen, sehingga produksi dapat meningkat yang juga
mempengaruhi produktivitas bawang merah. Terjadinya penurunan produktivitas
bawang merah dapat disebabkan karena beberapa hal, diantaranya: 1) adanya
ketidakefisienan dalam penggunaan faktor produksi, 2) kondisi lahan yang

6

menurun akibat penggunaan pestisida dan obat-obatan yang berlebihan,
3) prasarana dan sarana produksi terbatas, 4) ketersediaan bibit bawang merah
berkualitas terbatas dan mahal, 5) harga jual yang cenderung fluktuatif, 6)
masalah eksternal berupa kondisi iklim yang tidak dapat dikendalikan, dan 7)
permasalahan dari aspek sosial, berupa akses teknologi, modal, dan pengetahuan
yang masih rendah serta adanya ancaman kesehatan akibat penggunaan pestisida
yang cenderung masih tinggi (Direktorat Jenderal Hortikultura 2014; Bank
Indonesia 2013).
Produktivitas usahatani yang rendah berkaitan dengan persoalan efisiensi
dalam penggunaan input. Alokasi penggunaan input masih belum sesuai dengan
yang dianjurkan. Pengalokasian input yang dilakukan secara efisien diharapkan
dapat meningkatkan produktivitas bawang merah sepanjang tahun. Efisiensi
merupakan faktor yang sangat penting di negara berkembang untuk menentukan
pertumbuhan produktivitas, dimana sumber daya yang terbatas dan kurangnya
kesempatan dalam melakukan pengembangan dan melakukan adopsi teknologi
yang baik (Bifarin 2010). Kemampuan petani dalam melakukan pengelolaan dan
pengalokasian input yang digunakan akan berpengaruh pada produksi dan
produktivitas, serta akan memberikan gambaran mengenai tingkat efisiensi yang
dicapai oleh petani. Faktor sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap efisiensi
teknis usahatani. Penggunaan input dan pencapaian efisiensi teknis merupakan
penentu untuk mempercepat pertumbuhan sektor pertanian.
Ukuran produktivitas pada hakikatnya mempengaruhi tingkat efisiensi
terutama efisiensi teknis yang dilakukan oleh petani dengan menunjukkan output
maksimum yang dapat dihasilkan dari setiap input yang tersedia. Menurut Roger
(1998), produktivitas dan efisiensi memiliki hubungan satu sama lain, yaitu
pertumbuhan produktivitas mencakup perubahan efisiensi dan peningkatan
efisiensi dapat meningkatkan produktivitas. Jika secara teknis, Pelaksanaan
Prosedur Operasional Standar (POS) budidaya bawang merah yang diterbitkan
Kementerian Pertanian dilakukan secara konsisten dan terdokumentasi dengan
baik oleh setiap pelaku usaha atau petani, maka dapat menghasilkan produktivitas
bawang merah sebesar
15-20 ton per hektar (Bank Indonesia 2013).
Permasalahan produktivitas usahatani yang rendah yaitu kurang dari 20 ton per
hektar akan berpengaruh pada tingkat pendapatan petani. Selain itu, dalam
pelaksanaan produksi usahatani bawang merah diperlukan penggunaan input dan
dalam penggunaan input-input tersebut terdapat biaya yang harus dikeluarkan,
sehingga akan berpengaruh pada pendapatan petani. Terdapat beberapa input yang
digunakan dalam melakukan produksi bawang merah, yaitu bibit, pupuk,
pestisida, lahan, dan tenaga kerja. Jumlah penggunaan input tersebut dapat
mempengaruhi jumlah produksi dan pendapatan yang dihasilkan oleh petani
bawang merah dalam menjalankan usahanya. Jika alokasi input yang digunakan
tidak sesuai dengan yang dianjurkan, maka produktivitas maksimal tidak tercapai
yang akan berpengaruh pada pendapatan karena tidak tepatnya biaya produksi
yang dikeluarkan oleh pelaku usaha atau petani.
Pada kenyataannya, perubahan lingkungan secara teknis dan ekonomi
secara terus-menerus menyulitkan petani dalam menyesuaikan keputusankeputusan alokatifnya dalam penggunaan sumber daya. Menurut Waryanto (2015)
menyatakan bahwa usahatani bawang merah yang dilakukan petani dengan skala
kecil menghadapi beberapa masalah kompleks, diantaranya adalah 1) ketersediaan

7

lahan untuk usahatani cenderung berkurang, 2) ketersediaan bibit bawang merah
berkualitas terbatas dan mahal, 3) penggunaan input produksi seperti pupuk
anorganik masih tinggi walau harga mahal, 4) penggunaan pestisida untuk
mengendalikan serangan hama dan penyakit tanaman cenderung berlebihan,
5) harga jual cenderung berfluktuasi, 6) masalah eksternal berupa kondisi iklim
yang tidak dapat dikendalikan, terutama banjir dan kekeringan yang selalu
mengancam setiap tahunnya, dan 7) permasalahan dari aspek sosial petani berupa
akses teknologi, modal, dan pengetahuan yang masih rendah serta adanya
ancaman kesehatan petani akibat penggunaan pestisida yang cenderung masih
tinggi.
Terbatasnya ketersediaan lahan untuk usahatani merupakan konsekuensi
dari pertumbuhan penduduk yang terus meningkat, sedangkan lahan usahatani
tetap bahkan cenderung menurun. Kondisi tersebut mendorong eksploitasi lahan
yang dalam jangka panjang dapat menyebabkan degradasi lahan. Sejalan dengan
pernyataan tersebut, Balitbang Pertanian (2005) menyebutkan bahwa lahan pada
sentra produksi bawang merah seperti Brebes telah mengalami degradasi lahan.
Dampak degradasi lahan ini adalah penurunan minat petani untuk mengusahakan
bawang merah. Terdapat penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian sub
sektor hortikultura, termasuk bawang merah, yaitu pada tahun 2003 terdapat 16.94
juta rumah tangga, pada tahun 2013 berkurang menjadi 10.60 juta rumah tangga
(BPS 2013).
Bibit bawang merah menjadi salah satu kendala dalam melakukan
usahatani bawang merah, terutama terkait dengan kualitas dan harga bibit.
Sebagian besar petani menggunakan bibit yang berasal dari hasil produksi sendiri
atau membeli dari toko saprodi yang tingkat kemurnian varietasnya tidak
diperhatikan. Patokan yang digunakan dalam menilai kualitas bibit dilakukan
hanya pada lama penyimpanan (Rustini dan Bambang 2011). Kendala usahatani
bawang selanjutnya adalah dalam hal penggunaan pupuk anorganik. Penggunaan
pupuk salah satu input produksi yang sangat penting untuk meningkatkan
produksi, namun pemakaiannya cenderung berlebihan, sehingga berpotensi
menyebabkan degradasi lahan. Terdapat indikasi penurunan produktivitas pada
lahan pertanian intensif yang memanfaatkan pupuk anorganik (BBSDLP 2006).
Hal tersebut berkaitan dengan kandungan C-organik dalam tanaha, yaitu kurang
dari 2 persen. Pada kenyataannya, untuk memperoleh produktivitas tinggi
dibutuhkan C-organik lebih dari 2.5 persen. Selain pupuk organik, penggunaan
input pestisida kimia yang melebihi dosis anjuran juga berpotensi mempengaruhi
usahatani bawang merah. Ketergantungan petani terhadap pestisida akan
berdampak juga secara ekonomi, karena harga pestisida semakin mahal, sehingga
proses usahatani menjadi tidak efisien.
Dalam jangka panjang, dampak negatif penggunaan input produksi yang
tidak sesuai dengan dosis dan cenderung berlebihan dapat mempengaruhi
produktivitas usahatani, sehingga hasil yang diperoleh tidak maksimal. Selain itu,
harga jual yang berfluktuatif dengan kecenderungan menurun pada saat panen
raya dapat menyebabkan pendapatan petani berkurang padahal biaya produksi
yang dikeluarkan cukup tinggi. Jika proses produksi bawang merah dapat
dilakukan sesuai dengan ketentuan, maka akan berdampak pada produktivitas
bawang merah dan juga pada pendapatan yang diterima petani. Semakin tinggi
produktivitas dengan kualitas bawang merah yang baik dan juga penggunaan

8

biaya input yang diminimalisir, maka petani akan memperoleh keuntungan.
Keuntungan yang didapatkan jika produktivitas bawang merah dapat mencapai
15 ton per hektar, maka penerimaan yang dapat diperoleh petani adalah sekitar
Rp. 300 000 000. Melakukan usahatani bawang merah merupakan salah satu
usahatani yang menguntungkan. Namun jika produktivitas bawang merah tidak
dapat meningkat, maka hal ini berkaitan dengan efisiensi dalam penggunaan
input, karena alokasi input yang digunakan belum tentu sesuai dengan yang
dianjurkan, sehingga produktivitas maksimal tidak tercapai dan akan berpengaruh
pada pendapatan karena terdapat biaya produksi yang dikeluarkan oleh pelaku
usaha atau petani.
Kemampuan dalam mengkombinasikan penggunaan input secara teknis
pada tingkat biaya minimum, akan berpengaruh terhadap efisiensi dari pelaku
usaha atau petani. Jika secara teknis proses produksi dilakukan secara tidak
efisien, maka akan berdampak pada ketidakberhasilan mewujudkan produktivitas
maksimal. Sedangkan dikatakan secara alokatif proses produksi tidak dilakukan
secara efisien, yaitu jika proporsi penggunanaan input pada komoditas padi tidak
optimum yang diindikasikan dengan produk penerimaan marginal yang tidak
sebanding dengan biaya marginal input yang digunakan (Tinaprilla 2012). Selain
itu, terdapat isu inefisiensi yang timbul dari asumsi bahwa pelaku usahatani
berorientasi untuk memaksimalkan kentungan. Inefisiensi dapat diartikan sebagai
suatu tahapan dimana tujuan dari perilaku ekonomi belum secara penuh
dimaksimalkan (Adiyoga 1999).
Penggunaan input tidak efisien akan berpengaruh pada tingkat
produktivitas usahatani. Oleh karena itu, perlu pengkajian mengenai analisis
efisiensi usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka secara teknis,
alokatif, dan ekonomis serta analisis faktor produksi dan faktor inefisiensi
usahatani untuk dapat meningkatkan kemampuan pengelolaan usahatani dan
peningkatan produktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan bawang merah
secara intensif.
Perumusan Masalah
Bawang merah (Allium ascolonicum, L) merupakan salah satu komoditas
strategis karena menjadi salah satu komoditas penyumbang inflasi. Selain itu,
bawang merah juga merupakan komoditas pertanian utama bumbu masakan
Indonesia sehingga permintaan akan bawang merah meningkat setiap tahunnya.
Peningkatan permintaan tersebut dipengaruhi oleh adanya peningkatan jumlah
penduduk dan berkembangnya industri makanan, sehingga kebutuhan bawang
merah meningkat yaitu 1.18 persen per tahun (Kementerian Pertanian 2015).
Meningkatnya konsumsi, kebutuhan, dan permintaan bawang merah
mendorong petani untuk melakukan produksi bawang merah, namun hasil
produksi masih belum dapat menutupi permintaan akan bawang merah secara
intensif, sehingga menyebabkan harga relatif berfluktuasi. Selain itu, bawang
merah juga merupakan komoditas musiman dan mudah terkena hama dan
penyakit. Jika terjadi panen raya, harga bawang merah baik di tingkat petani
maupun konsumen relatif rendah. Pada saat terjadi panen raya, rata-rata petani
tidak melakukan penyimpanan bawang merah, namun dijual seluruhnya. Hal
tersebut terjadi karena bawang merah merupakan komoditas hortikultura yang
rentan hama dan penyakit, sehingga petani tidak ingin mengalami kerugian akibat

9

kehilangan produk. Rendahnya harga bawang merah di tingkat petani
menyebabkan kerugian terhadap petani, karena biaya produksi yang dikeluarkan
per hektarnya dalam satu kali produksi dapat mencapai Rp. 100 000 000. Namun,
jika harga bawang merah stabil dan relatif meningkat, petani dapat memperoleh
keuntungan lebih dari dua kali lipat biaya yang dikeluarkan. Oleh karena itu,
bawang merah merupakan komoditas yang berpotensi untuk dikembangkan.
Provinsi Jawa Barat sebagai salah satu sentra produksi bawang merah di
Indonesia dengan kontribusi rata-rata hasil produksi Provinsi Jawa Barat tahun
2010-2014 adalah 11.24 persen, yaitu urutan ketiga setelah Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Sentra produksi bawang merah di Provinsi Jawa Barat tersebar atas
beberapa Kabupaten, diantaranya adalah Cirebon, Bandung, Garut, Majalengka,
Indramayu, dan Kuningan. Kabupaten Majalengka merupakan salah satu sentra
produksi bawang merah ketiga di Jawa Barat. Tabel 4 menunjukkan luas panen,
produksi, dan produktivitas bawang merah di Kabupaten Majalengka.
Tabel 4 Luas panen, produksi, dan produktivitas bawang merah Kabupaten
Majalengka tahun 2009-2013
Tahun
2009
2010
2011
2012
2013
Luas Panen (ha)
2 727
2 562
1 917
1 842
2 150
Produksi (ton)
37 338
22 879
18 642
20 636
23 683
Produktivitas (ton/ha)
13.69
8.93
9.72
11.20
11.01
Sumber : Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura, 2015
Uraian

Berdasarkan pada Tabel 4, produktivitas bawang merah di Kabupaten
Majalengka mengalami fluktuasi. Produktivitas terendah terjadi pada tahun 2010,
karena terjadi penurunan luas panen dan produksi. Selanjutnya terjadi kenaikan
produktivitas kembali pada tahun 2011 dan 2012. Namun, pada tahun 2013
produktivitas menurun, padahal luas panen serta produksi lebih tinggi
dibandingkan dengan tahun 2012. Hal ini diduga akibat penggunaan dan
pengalokasian input belum tepat. Penggunaan rata-rata faktor produksi (input)
berupa bibit, pupuk, dan pestisida masing-masing adalah 800-1000 kilogram per
hektar, 1 ton per hektar untuk pupuk anorganik dan 998 kilogram per hektar untuk
pupuk organik, dan 16 kilogram per hektar untuk pestisida padat dan 9 liter per
hektar untuk pestisida cair per hektar. Sedangkan input yang dianjurkan adalah
bibit 2-3 ton per hektar, pupuk anorganik adalah 50-500 kilogram per hektar dan
pupuk organik 10-20 ton per hektar, dan 1-4 kilogram per hektar untuk pestisida
padat dan 2 liter per hektar untuk pestisida cair (Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian 2015; Bank Indonesia 2013).
Peningkatan produksi bawang merah melalui peningkatan produktivitas
usahatani bawang merah dapat dilakukan dengan cara melakukan efisiensi
terhadap usahatani bawang merah. Menurut Farrel (1957) dalam usahatani,
konsep efisiensi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) efisiensi teknis (technical
efficiency), (2) efisiensi alokatif atau efisiensi harga (allocative (price) efficiency),
dan (3) efisiensi ekonomi (economic efficiency). Efisiensi teknis menggambarkan
kemampuan dari suatu usahatani untuk memperoleh produksi yang maksimal dari
sejumlah input tertentu, sedangkan efisiensi alokatif memperlihatkan kemampuan
dari suatu usahatani untuk menggunakan proporsi input secara proporsional pada

10

tingkat biaya minimum dalam menghasilkan output tertentu. Jika dalam
pengelolaan usahatani telah menggunakan kombinasi input secara optimal pada
tingkat biaya minimum, maka tercapai efisiensi ekonomi.
Permasalahan usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka adalah
produktivitas bawang merah yang masih rendah, yaitu dibawah 15 ton per hektar.
Hal tersebut diduga akibat alokasi penggunaan input seperti bibit, pupuk,
pestisida, dan tenaga kerja yang masih belum optimal karena harga input yang
mahal seperti bibit yaitu Rp 23 000 per kilogram, sementara harga jual bawang
merah di tingkat petani yaitu sekitar Rp 15 000 per kilogram. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut, maka penggunaan input harus dioptimalkan, sehingga
biaya produksi dapat dihemat dan output yang dihasilkan maksimal yang
berdampak pada peningkatan efisiensi dalam melakukan usahatani bawang merah.
Penelitian yang dilakukan Purmayanti (2002) dan Waryanto (2015) mengenai
efisiensi bawang merah di Kabuapten Brebes dan Kabupaten Nganjuk masingmasing menunjukkan bahwa usahatani bawang merah sudah efisien secara teknis,
namun belum efisien secara alokatif dan ekonomi. Halil (2013) menyatakan
bahwa tercapainya efisiensi teknis tidak menjamin tercapainya efisiensi alokatif,
karena efisiensi alokatif berkaitan dengan harga input.
Untuk meningkatkan produksi bawang merah adalah dengan melakukan
kombinasi penggunaan input-input produksi, tingkat efisiensi usahatani bawang
merah juga dipengaruhi karakteristik sosial ekonomi petani. Karakteristik petani
mempengaruhi kemampuan manajerial petani pada produksi bawang merah,
sehingga akan berpengaruh pada tingkat efisiensi usahatani bawang merah. Oleh
karena itu, peningkatkan efisiensi juga dapat dilakukan dengan memperbaiki
kemampuan manajerial petani
Berdasarkan pada hal tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa
pertanyaan yang mendasari penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimana karakteristik usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka?
2. Apa faktor yang menjadi sumber inefisiensi usahatani bawang merah di
Kabupaten Majalengka?
3. Apakah usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka efisien secara
teknis, alokatif, dan ekonomis?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah
dikemukakan, tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis karakteristik usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka.
2. Menentukan efisiensi secara teknis dan faktor-faktor yang menjadi sumber
inefisiensi usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka.
3. Menganalisis efisiensi usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka
secara alokatif dan ekonomis.
Manfaat Penelitian
Adapun hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
1. Bagi petani bawang merah, penelitian ini memberikan pengetahuan mengenai
peningkatkan produksi dan produktivitas melalui efisiensi teknis dan efisiensi
alokasi komoditas bawang merah.

11

2. Bagi Pemerintah, penelitian ini bermanfaat sebagai dasar untuk pengambilan
keputusan yag terkait dengan kebijakan intensifikasi dalam rangka peningkatan
produktivitas serta efisiensi usahatani bawang merah secara spesifik,
khususnya di Kabupaten Majalengka dan sebagai sumber informasi untuk
pengembangan komoditas bawang merah bagi pemerintah Indonesia dan para
pelaku yang terlibat dalam sistem agribisnis komoditas bawang merah
Indonesia.
3. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan rujukan
terkait dengan efisiensi usahatani bawang merah.
4. Menambah pengetahuan dan wawasan tentang keilmuan agribisnis, khususnya
dalam peningkatan efisiensi dalam mendorong produktivitas bawang merah di
Indonesia.
Ruang Lingkup Penelitian
Lingkup penelitian ini meliputi analisis efisiensi usahatani bawang merah
di wilayah Kabupaten Majalengka, Jawa Barat sebagai kawasan sentra dan
pengembangan hortikultura. Hal ini dilatarbelakangi bahwa Kabupaten
Majalengka merupakan salah satu kawasan pembangunan sayuran seiring dengan
program Pemerintah dalam Program Pengembangan Kawasan Hortikultura
Terintegrasi Dengan Pendampingan Intensif. Teknik analisis penelitian ini juga
dibatasi oleh pemilihan metode penelitian yang akan digunakan, yaitu untuk
analisis efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomis dengan stochastic frontier
production function approach dan perbandingan biaya marginal.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengukuran efisiensi untuk sebuah industri sangat penting dilakukan, hal
tersebut penting dikarenakan beberapa hal : (1) Masalah efisiensi penting untuk
ahli teori ekonomi maupun pembuat kebijakan ekonomi; (2) Jika secara teori
efisiensi relatif berbeda dari sistem ekonomi, maka perlu dilakukan pengujian
secara empiris, oleh karena itu penting untuk mampu membuat pengukuran
efisiensi aktual sebagai perbandingan antara kondisi riil dan aktual yang dihadapi
oleh perusahaan; (3) Jika perencanaan ekonomi terkait dengan industri tertentu,
maka penting untuk mengetahui seberapa jauh suatu industri dapat meningkatkan
output dengan meningkatkan efisiensi, tanpa perlu menyerap sumber daya lebih
lanjut (Farrell 1957).
Usahatani merupakan salah satu sektor yang memberikan kontribusi secara
langsung terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rumah tangga tani
yang tergantung pada tingkat pendapatan dan surplus yang dihasilkan. Tingkat
pendapatan ini dapat ditentukan oleh efisiensi petani untuk mengalokasikan
sumber daya yang dimiliki ke dalam berbagai alternatif aktivitas produksi. Salah
satu kinerja usahatani yang sering menjadi indikator adalah efisiensi, baik
efisiensi teknik, alokatif input maupun output. Pengukuran efisiensi petani
menjadi penting, mengingatfakta bahwa efisiensi petani secara langsung berkaitan
dengan produktivitas keseluruhan dari sektor pertanian. Penelitian efisiensi masih
merupakan subjek penelitian di negara-negara berkembang maupun negara maju.
Namun, penelitian efisiensi menjadi lebih penting untuk negara berkembang, studi

12

tersebut dapat membantu untuk menentukan sejauh mana peningkatan produksi
dapat dilakukan melalui peningkatan efisiensi usahatani berdasarkan sumber daya
dan teknologi yang tersedia (Kibaara 2005). Peningkatan efisiensi di negara
berkembang sangat diperlukan untuk peningkatan produktivitas, hal ini
dikarenakan yaitu ketika usahatani mengalami ketidakefisienan (inefisiensi) maka
dapat menimbulkan risiko yang lebih besar. Walaupun pada dasarnya petani
menghadapi risiko defaultnamun jika risiko tersebut dapat dihindari, maka output
yang dihasilkan dapat lebih besar dengan penggunaan input yang efisien.
Pada bab ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai jenis-jenis efisiensi dan
faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi usahatani, serta model yang sering
digunakan dalam analisis datanya. Referensi yang digunakan adalah berasal dari
jurnal, artikel ilmiah dan laporan penelitian. Beberapa penelitian menguji efisiensi
pada kondisi dan wilayah yang berbeda dan dengan metode yang berbeda.
Berdasarkan referensi yang telah dibahas, maka diperoleh kesimpulan atas
beberapa konsep yang berhubungan dengan penelitian ini.
Karakteristik Usahatani Bawang Merah
Bawang merah atau Allium Sp merupakan tanaman umbi bernilai ekonomi
tinggi ditinjau dari fungsinya sebagai bumbu penyedap masakan, industri
pengolahan makanan serta dapat juga digunakan sebagai obat herbal. Bawang
merah menjadi salah satu komoditas sayuran komersial. Sebagai komoditas yang
komersial, sebagian besar bahkan hampir seluruh hasil produksi bawang merah
dijual, bukan untuk dikonsumsi sendiri oleh petani. Hasil produksi tersebut
menentukan pendapatan yang diperoleh oleh petani dari sejumlah penggunaan
modal yang dimiliki.
Bawang merah dihasilkan di 24 dari 33 provinsi di Indonesia. Provinsi
penghasil utama (luas areal panen > 1000 hektar per tahun) bawang merah
diantaranya adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, J