Analisis Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Bawang Merah (Studi Kasus : Desa Sukasari Kaler, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat)

(1)

xiv 20. Rata-rata Penggunaan Tenaga Kerja di Desa Sukasari Kaler

per Musim Tanam pada Tahun 2011 ... 67 21. Pendugaan Parameter dengan Metode MLE untuk Fungsi

Produksi Cobb-Douglas Stochastic Frontier

di Desa Sukasari Kaler Tahun 2010 ... 76 22. Ringkasan Statistik Bebas Variabel Model Inefisiensi Teknis

Petani Bawang Merah di Desa Sukasari Kaler Tahun 2010 ... 85 23. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Tingkat Efisiensi Teknis

Usahatani Bawang Merah di Desa Sukasari Kaler Tahun 2010 ... 86 24. Pendugaan Parameter Maximum Likelihood Model Inefisiensi

Teknis Produksi Bawang Merah di Desa Sukasari Kaler

Tahun 2010 ... 87 25. Penerimaan Usahatani Bawang Merah per Hektar per Musim

Tanam di Desa Sukasari Kaler Tahun 2010 ... 96 26. Biaya Usahatani Bawang Merah per Hektar per Musim Tanam

di Desa Sukasari Kaler Tahun 2011 ... 97 27. Perhitungan Pendapatan dan Rasio Penerimaan terhadap Biaya

(R/C) Usahatani Bawang Merah per Hektar per Musim Tanam


(2)

xv

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Konsumsi Bawang Merah Nasional per Kapita

Tahun 2002-2009 ... 4

2. Penggunaan Komoditi Bawang Merah untuk Konsumsi Menurut Neraca Bahan Makanan Tahun 2004-2008 (Ton) ... 4

3. Kurva Fungsi Produksi ... 30

4. Fungsi Produksi Stochastic Frontier ... 32

5. Efisiensi Teknis dan Alokatif (Orientasi Input) ... 35

6. Efisiensi Teknis dan Alokatif (Orientasi Output) ... 36

7. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Efisiensi Teknis Dan Pendapatan Usahatani Bawang Merah di Desa Sukasari Kaler ... 40

8. Pengolahan Lahan dan Lahan yang Sudah Diolah di Desa Sukasari Kaler (2011) ... 69

9. Tanaman Bawang Merah Umur ± 40 HST dan Kegiatan Penyiangan di Desa Sukasari Kaler (2011) ... 69

10. Kegiatan Pengendalian HPT dan Beberapa Jenis Obat-obatan yang Digunakan di Desa Sukasari Kaler (2011) ... 73


(3)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Peta Desa Sukasari Kaler pada Tahun 2011 ... 95

2. Karakteristik Petani Responden pada Tahun 2011 ... 96

3. Input Model Produksi Bawang Merah Tahun 2010 ... 98

4. Penyusutan Peralatan Usahatani Bawang Merah Tahun 2010 ... 100

5. Output Minitab Model Produksi Bawang Merah Tahun 2010 ... 101

6. Output Frontier Model Produksi Bawang Merah Tahun 2010 ... 102

7. Perincian Biaya Usahatani Varietas Sumenep Tahun 2010 ... 107

8. Perincian Biaya Usahatani Varietas Balikaret Tahun 2010 ... 108

9. Pendapatan Usahatani Bawang Merah Varietas Sumenep per Hektar per Musim Tanam Tahun 2010 ... 109

10. Pendapatan Usahatani Bawang Merah Varietas Balikaret per Hektar per Musim Tanam Tahun 2010 ... 110


(4)

1

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting dalam perekonomian Indonesia terutama dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB dari hasil pertanian (pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan) atas dasar harga konstan 2000 adalah sebesar Rp 284,6 triliun pada tahun 2008 dan Rp 296,4 triliun pada tahun 2009 atau mengalami pertumbuhan sebesar 4,1 persen. Hal ini menunjukkan bahwa peran dan kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan nasional senantiasa mengalami pertumbuhan, sehingga sektor pertanian semakin berperan penting dalam perekonomian nasional. Peranan sektor pertanian terhadap PDB Indonesia tahun 2009 juga mengalami pertumbuhan dari 14,5 persen menjadi 15,3 persen dan menempatkan sektor pertanian pada peringkat kedua yang memiliki kontribusi terbesar terhadap PDB setelah sektor industri pengolahan yaitu sebesar 26,4 persen (Handyoko 2010).

Sektor pertanian Indonesia terdiri dari tiga subsektor yaitu subsektor tanaman perkebunan, tanaman pangan dan tanaman hortikultura. Hortikultura sebagai salah satu subsektor petanian terdiri dari berbagai jenis tanaman, yaitu tanaman buah-buahan, tanaman sayuran, tanaman biofarmaka, dan tanaman hias. Menurut studi penawaran dan permintaan komoditas hortikultura, komoditas hortikultura paling sedikit mempunyai tiga peran penting terhadap perekonomian Indonesia, yaitu : (1) sumber pendapatan masyarakat; (2) bahan pangan masyarakat khususnya sumber vitamin (buah-buahan), mineral (sayuran) dan bumbu masak dalam memenuhi kebutuhan gizi masyarakat; dan (3) sumber devisa Negara non-migas (PPSEP Deptan 2001).

Hortikultura menempati urutan kedua setelah tanaman pangan dalam struktur pembentukan PDB sektor pertanian. Subsektor hortikultura memperlihatkan kecenderungan yang terus meningkat terhadap pembentukan PDB. Pada tahun 2007 kontribusi terhadap PDB sebesar Rp 76,79 triliun dan pada tahun 2008 meningkat menjadi Rp 80,29 triliun, atau terjadi peningkatan sebesar


(5)

2 4,55 persen dalam satu tahun1). Peningkatan tersebut tercapai karena terjadi peningkatan produksi diberbagai sentra produksi hortikultura, disamping meningkatnya luas areal produksi dan areal panen serta nilai ekonomi dan nilai tambah produk hortikultura yang cukup tinggi dibandingkan komoditas lainnya. Dengan demikian, hal ini berpengaruh positif terhadap peningkatan PDB. Semua jenis tanaman hortikultura baik tanaman buah-buahan, tanaman sayur, tanaman biofarmaka dan tanaman hias mengalami perkembangan yang cenderung meningkat terhadap nilai PDB hortikultura. Tabel 1 memperlihatkan perkembangan nilai PDB hortikultura berdasarkan harga yang berlaku tahun 2007 dan 2008.

Tabel 1. Perkembangan Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga yang Berlaku Tahun 2007 dan 2008

No Jenis Tanaman

Hortikultura

Nilai PDB (miliar) Peningkatan/ Penurunan (%) Tahun 2007 Tahun 2008

1 Tanaman Buah-buahan 42.632 42.660 4,02

2 Tanaman Sayuran 25.587 27.423 7,18

3 Tanaman Biofarmaka 4.105 4.118 0,32

4 Tanaman Hias 4.741 6.091 28,48

Sumber : Direktorat Jendral Hortikultura Departemen Pertanian (2009), diolah

Berdasarkan informasi pada Tabel 1, menunjukkan bahwa dalam PDB subsektor hortikultura tanaman sayuran menempati urutan kedua setelah tanaman buah-buahan dan mengalami peningkatan sebesar 7,18 persen dalam kurun waktu satu tahun yaitu dari tahun 2007 hingga tahun 2008. Hal ini menunjukkan peran penting subsektor hortikultura dalam mendukung perekonomian nasional, khususnya dalam peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan PDB subsektor hortikultura tersebut salah satunya disebabkan karena jumlah produksi sayuran di Indonesia yang cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tabel 2 merupakan data produksi sayuran di Indonesia pada tahun 2006-2010.

1)


(6)

3

Tabel 2. Produksi Sayuran di Indonesia Tahun 2006-2010 (Ton)

No Komoditas Tahun

2006 2007 2008 2009 2010*

1 Kubis 1.267.745 1.288.738 1.323.702 1.358.113 1.384.656 2 Cabai 1.185.057 1.128.792 1.153.060 1.378.727 1.332.356 3 Kentang 1.011.911 1.003.732 1.071.543 1.176.304 1.060.579 4 Bawang Merah 794.931 802.810 853.615 965.164 1.048.228 5 Tomat 629.744 635.475 725.973 853.061 890.169 6 Ketimun 598.890 581.205 540.122 583.139 546.927 7 Mustard Green 590.401 564.912 565.636 562.838 583.004 8 Daun Bawang 571.268 479.924 547.743 549.365 541.359 9 Kacang Panjang 461.239 488.500 455.524 483.793 488.174 10 Terong 358.095 390.846 427.166 451.564 509.093 Keterangan : *) Angka sementara

Sumber : Badan Pusat Statistik (2011), diolah

Tabel 2 menunjukkan produksi nasional berbagai sayuran unggulan di Indonesia yang berada pada peringkat 10 besar. Produksi sayuran tersebut setiap tahunnya mempunyai kecenderungan meningkat. Salah satu komoditas sayuran tersebut yaitu bawang merah. Bawang merah menduduki posisi keempat dalam produksi nasional tanaman sayuran. Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan Indonesia yang telah lama diusahakan oleh petani secara intensif.

Bawang merah dibutuhkan oleh hampir semua kalangan yang umumnya digunakan sebagai bumbu masak atau obat tradisional. Komoditas sayuran ini termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai bumbu penyedap makanan serta bahan obat tradisional. Sifat bawang merah yang tidak memiliki pengganti (substitusi) yaitu tidak adanya komoditi yang memiliki sifat dan fungsi yang sama dengan bawang merah baik yang alami maupun sintetis, membuat pengembangan usaha bawang merah memiliki prospek yang cerah. Selama periode 2005-2009 konsumsi bawang merah per kapita mengalami pertumbuhan yang cenderung meningkat. Pertumbuhan penggunaan bawang merah dapat dilihat pada Gambar 1.


(7)

4

Gambar 1. Konsumsi Bawang Merah Nasional per Kapita Tahun 2005-2009 Sumber : Pusdatin Departemen Pertanian (2011), diolah

Berdasarkan Gambar 1 konsumsi per kapita bawang merah tahun 2005 hingga tahun 2007 cenderung mengalami penurunan, dari 2,36 kg per kapita per tahun menjadi 0,30 kg per kapita tahun. Akan tetapi, pada tahun berikutnya yaitu tahun 2008, konsumsi bawang merah per kapita per tahun mengalami peningkatan yang signifikan mencapai 2,74 kg per kapita per tahun. Oleh karena itu, permintaan bawang merah diperkirakan akan terus meningkat (dengan perkiraan peningkatan lima persen per tahun), sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri olahan (acar/pickles, bumbu, bawang goreng, dan bahan baku campuran obat-obatan) serta pengembangan pasar ekspor2). Gambar 2 memperlihatkan penggunaan bawang merah untuk bahan makanan yang cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Gambar 2. Penggunaan Komoditi Bawang Merah untuk Konsumsi Menurut Neraca Bahan Makanan Tahun 2004-2008 (Ton)

Sumber : Pusdatin Departemen Pertanian (2011), diolah

2)

Direktorat Jendral Hortikultura. 2008. Bahan RAPIM 15 April 2008.

http://www.hortikultura.go.id/ [30 Januari 2011]

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

2005 2006 2007 2008 2009*

K

g/

Th

n

Tahun

0 200 400 600 800

2004 2005 2006 2007 2008*

To

n


(8)

5 Meningkatnya konsumsi bawang merah per kapita per tahun yang disebabkan pertumbuhan penduduk dan berkembangnya produk olahan ini diikuti dengan peningkatan produksi bawang merah nasional. Peningkatan produksi nasional ini salah satunya terjadi akibat pertambahan luas areal panen. Tabel 3 memperlihatkan perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas bawang merah di Indonesia tahun 2001-2010 yang cenderung meningkat setiap tahunnya.

Tabel 3. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Bawang Merah Nasional Tahun 2001-2010 (Ton)

Tahun

Indikator Luas Panen

(Ha)

Produksi (Ton)

Produktivitas (Ton/Ha)

2001 82.147 861.150 10,48

2002 79.867 766.572 9,60

2003 88.029 762.795 8,67

2004 88.707 757.399 8,54

2005 83.614 732.610 8,76

2006 89.188 794.931 8,91

2007 93.694 802.810 8,57

2008 91.339 853.615 9,35

2009 104.009 965.164 9,28

2010 109.634 1.048.228 9,57

Sumber : Departemen Pertanian (2011), diolah

Pusat penghasil bawang merah diIndonesia tersebar di 10 provinsi dengan luas areal panen lebih dari 1.000 hektar per tahun. Provinsi tersebut yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, D.I. Yogyakarta, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Bali dan Nusa Tenggara Timur. Provinsi-provinsi ini seluruhnya menyumbang 97,27 persen dari produksi total bawang merah di Indonesia pada tahun 2008. Sebesar 81,46 persen disumbang oleh provinsi-provinsi yang ada di Pulau Jawa (Deptan 2009). Tabel 4 menampilkan 10 provinsi penghasil utama bawang merah di Indonesia pada Tahun 2006-2010.


(9)

6

Tabel 4. Produksi Nasional Bawang Merah per Provinsi Tahun 2006-2010 (Ton)

No Provinsi Tahun

2006 2007 2008 2009 2010

1 Jawa Tengah 253.411 268.914 379.903 406.725 506.357 2 Jawa Timur 232.953 228.083 181.517 181.490 203.739 3 Jawa Barat 112.964 116.142 116.929 123.587 116.349 4 Nusa Tenggara Barat 85.682 90.180 68.748 133.945 104.324 5 D.I. Yogyakarta 24.511 15.564 16.996 19.763 19.950 6 Sumatera Barat 20.037 18.170 20.737 21.985 25.058 7 Sumatera Utara 8.666 11.005 12.071 12.655 9.413 8 Sulawesi Selatan 12.088 10.701 10.517 13.246 23.271

9 Bali 9.915 9.668 7.759 11.554 10.981

10 Nusa Tenggara Timur 7.142 7.144 15.137 16.602 3.879

Total 767.369 775.571 830.314 941.552 1.023.321

Sumber : Departemen Pertanian (2011), diolah

Provinsi Jawa Barat sebagai salah satu provinsi penghasil utama bawang merah, menempati urutan ketiga dalam menyumbang produksi bawang merah nasional. Seperti halnya perkembangan produksi nasional, di Jawa Barat juga mengalami kecenderungan yang meningkat yang disebabkan peningkatan luas panen. Akan tetapi, peningkatan produksi tersebut tidak seimbang dengan peningkatan luas panen. Hal tersebut karena produktivitas bawang merah di Provinsi Jawa Barat mengalami penurunan. Tahun 2009 produktivitas bawang merah di Jawa Barat mencapai 11,4 ton per hektar, lebih tinggi dari produktivitas nasional yaitu 9,28 ton per hektar. Akan tetapi, pada tahun 2010 produktivitas bawang merah di Jawa Barat mengalami penurunan menjadi 9,57 ton per hektar, sama dengan produktivitas nasional yaitu sebesar 9,57 ton per hektar (BPS 2011). Penurunan produktivitas bawang merah dapat disebabkan karena beberapa hal, seperti adanya ketidakefisienan dalam penggunaan faktor produksi, kondisi lahan yang semakin rusak akibat penggunaan pestisida dan obat-obatan yang berlebihan, serta kesesuaian jenis varietas yang digunakan dengan kondisi daerah. Pengalokasian sumberdaya yang efisien oleh petani bawang merah diharapkan dapat meningkatkan jumlah produksi.


(10)

7 Salah satu sentra bawang merah di Jawa Barat adalah Kabupaten Majalengka. Daerah penghasil bawang merah di Kabupaten Majalengka tersebar di beberapa kecamatan yaitu Kecamatan Dawuan, Jatitujuh, Kertajati dan Kecamatan Argapura. Kabupaten Majalengka memiliki kondisi alam yang subur dan topografi yang sesuai dengan kondisi untuk budidaya bawang merah. Akan tetapi, dari tingkat produktivitas Kabupaten Majalengka juga mengalami penurunan.

1.2. Perumusan Masalah

Kecamatan Argapura merupakan sentra produksi bawang merah di Kabupaten Majalengka. Kontribusi Kecamatan Argapura terhadap jumlah produksi bawang merah di Kabupaten Majalengka setiap tahunnya merupakan jumlah terbesar diantara kecamatan-kecamatan lainnya di Kabupaten Majalengka. Tahun 2008, Kecamatan Argapura menyumbang sebesar 39,01 persen dari produksi total bawang merah di Kabupaten Majalengka. Meskipun dari jumlah produksi merupakan penghasil terbesar di Kabupaten Majalengka, akan tetapi dari tingkat produktivitasnya sangat rendah dibandingkan kecamatan-kecamatan lainnya. Perkembangan luas tanam, luas panen, produksi dan produktivitas bawang merah di Kecamatan Argapura dari tahun 2006 sampai 2010 dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Luas Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Bawang Merah di Kecamatan Argapura Tahun 2006-2010

No Kecamatan Tanam (ha) Panen (ha) Produktivitas(kw/ha) Produksi (ton) 2009 2010 2009 2010 2009 2010 2009 2010 1 Kadipaten 140 135 142 135 113,53 160,76 1.612 2.170 2 Dawuan 344 180 344 186 119,94 122,13 4.126 2.271 3 Jatitujuh 322 148 322 148 160,66 137,51 5.173 2.032

4 Argapura 1.111 1.116 822 1.045 94,88 66,73 7.799 6.973

5 Kertajati 351 278 351 273 161,94 100,26 5.684 2.737 Total Kabupaten 3.046 2.541 2.722 2.504 116,38 91,37 31.678 22.878

Tahun 2008 3.028 3.379 97,71 33.015

Tahun 2007 2.904 2.995 90,34 27.058

Tahun 2006 3.882 3.512 99,98 35.112


(11)

8 Salah satu sentra bawang merah di Kecamatan Argapura yaitu Desa Sukasari Kaler. Desa Sukasari Kaler memiliki potensi sumberdaya alam yang besar. Luas wilayah pertanian mencapai 204,746 hektar yang terdiri dari 53,77 hektar lahan sawah, 119,576 hektar tegalan (tadah hujan) dan 31,4 hektar berupa perkebunan rakyat (Profil Desa Sukasari Kaler 2010). Tahun 2008 luas tanam yang digunakan untuk usahatani bawang merah seluas 305 hektar dengan tiga kali musim tanam selama satu tahun. Luas tanam tersebut berasal dari lahan sawah maupun tegalan (tadah hujan) (Profil Desa Sukasari Kaler 2010).

Mengkaji persoalan tentang produktivitas sebenarnya adalah mengkaji masalah efisiensi teknis. Hal ini dikarenakan ukuran produktivitas pada hakekatnya mempengaruhi tingkat efisiensi teknis budidaya yang dilakukan oleh petani yang menunjukkan pada seberapa besar keluaran (output) maksimum yang dapat dihasilkan per unit masukan (input) yang tersedia. Tingkat efisiensi teknis budidaya akan terlihat dari kapabilitas manajerial dalam aspek budidaya yang tercermin dalam aplikasi teknologi usaha budidaya dan pasca panen, serta kemampuan petani bawang merah mengakumulasikan dan mengolah informasi yang relevan dengan usaha budidayanya sehingga pengambilan keputusan yang dilakukan tepat (Sumaryanto et al. 2003).

Rendahnya produktivitas yang terjadi di lokasi penelitian diduga terjadi karena penggunaan faktor-faktor produksi yang belum efisien, sehingga berdampak pada rendahnya produktivitas bawang merah yang dibudidayakan. Selain itu, teknik budidaya dan penggunaan faktor-faktor produksi antara satu petani dengan petani lainnya pun berbeda. Adanya perbedaan tersebut diduga akan berpengaruh terhadap produksi bawang merah yang dihasilkan. Petani yang dalam teknik budidayanya mampu mengelola penggunaan faktor-faktor produksi (input) untuk mencapai hasil produksi (output) yang maksimum, maka dapat dikatakan efisien.

Permasalahan lain yang dihadapi petani yaitu pupuk. Pupuk merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam usahatani bawang merah. Harga pupuk dari tahun ke tahun senantiasa terus meningkat. Hal tersebut karena adanya kebijakan pemerintah untuk mengurangi subsidi pupuk. Kebijakan pemerintah untuk mengurangi subsidi pupuk mengakibatkan petani menerima harga pupuk


(12)

9 yang tinggi. Kebijakan kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 32/Permentan/SR.130/4/2010 ini berlaku mulai 8 April 2010. Pupuk urea misalnya, dari harga Rp 1.200 per kg dinaikkan menjadi Rp 1.600 per kg, pupuk ZA dari harga Rp 1.050 dinaikkan menjadi Rp 1.400 per kg, pupuk SP dari harga Rp 1.550 dinaikkan menjadi Rp 2.000 per kg dan pupuk NPK dari harga Rp 1.800 per kg dinaikkan menjadi Rp 2.300 per kg.

Pupuk Urea, ZA, SP dan NPK merupakan pupuk yang digunakan para petani di Desa Sukasari Kaler dalam usahatani bawang merah. Kondisi tersebut semakin menyulitkan bagi petani karena harga pupuk yang diterima petani di lapangan lebih tinggi dari harga dasar (HET) yang ditetapkan pemerintah. Biaya produksi untuk usahatani semakin besar yang berakibat pada berkurangnya pendapatan yang diterima petani dari usahataninya, apalagi kenaikan biaya tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan harga produk.

Selain itu, penggunaan varietas bibit di daerah penelitian juga diduga dapat mempengaruhi tingkat pendapatan usahatani bawang merah. Terdapat dua jenis varietas bibit yang digunakan di Desa Sukasari Kaler yaitu varietas Sumenep dan varietas Balikaret. Kedua varietas ini memiliki karakteristik yang cukup berbeda dari sisi harga. Harga bawang merah varietas Sumenep biasanya lebih tinggi dibandingkan harga bawang merah varietas Balikaret. Selain itu, produktivitas kedua varietas ini pun berbeda.

Produktivitas yang rendah yang terjadi akibat penggunaan faktor-faktor produksi yang belum efisien diduga dapat berpengaruh terhadap tingkat efisiensi teknis petani, sedangkan biaya pupuk yang tinggi akibat adanya kenaikan harga dan penggunaan varietas yang berbeda diduga akan berpengaruh terhadap pendapatan yang akan diperoleh petani. Hal tersebut mengakibatkan petani harus berusaha untuk mengefisienkan kegiatan usahatani bawang merah yang dilakukan. Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah :

1) Bagaimana keragaan usahatani bawang merah di Desa Sukasari Kaler, Kecamatan Argapura, Kabupten Majalengka ?


(13)

10 2) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat efisiensi teknis usahatani bawang merah di Desa Sukasari Kaler, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka ?

3) Bagaimana tingkat pendapatan usahatani bawang merah di Desa Sukasari Kaler, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka ?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini diharapkan dapat menjawab berbagai permasalahan di atas. Oleh karena itu, penelitian efisiensi teknis usahatani bawang merah ini bertujuan untuk :

1) Menganalisis keragaan usahatani bawang merah di Desa Sukasari Kaler, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka.

2) Menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat efisiensi teknis usahatani bawang merah di Desa Sukasari Kaler, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka.

3) Menganalisis tingkat pendapatan usahatani bawang merah di Desa Sukasari Kaler, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan dijadikan masukan bagi berbagai pihak yang berkepentingan dalam pengembangan usahatani bawang merah di Desa Sukasari Kaler. Secara rinci penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :

1) Memberikan informasi dan bahan pertimbangan bagi petani dan pihak berkepentingan untuk pengembangan usahatani bawang merah dalam upaya peningkatan produktivitas dan pendapatan usahatani pada pengelolaan usahatani bawang merah di Desa Sukasari Kaler, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka.

2) Akademisi dan peneliti, sebagai bahan rujukan untuk penelitian serupa atau pengembangan penelitian yang sudah dilakukan.

3) Penulis, untuk memberikan wawasan, pengalaman, informasi baru tentang pengembangan usahatani bawang merah serta sebagai media penerapan ilmu dan peningkatan pemahaman yang diperoleh selama masa kuliah.


(14)

11

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dilakukan dengan lingkup wilayah yaitu Desa Sukasari Kaler, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka dengan komoditas yang diteliti adalah bawang merah. Petani yang dijadikan responden adalah petani yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Gunung Sari di daerah penelitian dan mengusahakan usahatani bawang merah pada lahan sawah. Selain itu, petani yang menjadi sampel merupakan petani yang masih melakukan budidaya bawang merah dalam kurun waktu satu tahun terakhir ketika penelitian dilakukan. Analisis kajian dibatasi untuk melihat keragaan usahatani bawang merah, faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis usahatani bawang merah dan tingkat pendapatan usahatani pada usahatani bawang merah di lahan sawah.


(15)

12

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perkembangan Varietas Bawang Merah

Salah satu faktor produksi yang sangat penting dalam usahatani bawang merah adalah bibit. Penggunaan bibit atau varietas unggul akan mampu memberikan hasil/tingkat produksi yang lebih baik dibandingkan dengan varietas tidak unggul. Penggunaan bibit unggul untuk tanaman bawang merah tidak hanya diarahkan untuk peningkatan hasil produksi saja, melainkan juga diarahkan untuk peningkatan kualitas/mutu dari produksi yang dihasilkan.

Varietas bawang merah untuk meningkatkan produksi dan kualitas telah banyak dikembangkan di Indonesia. Varietas yang telah dilepas oleh pemerintah maupun yang berkembang di lapangan memiliki keunggulan tertentu. Tipe bawang merah yang ideal adalah bawang merah yang memiliki sifat-sifat unggul, antara lain tahan terhadap penyakit, memiliki tipe pertumbuhan dan jumlah anakan sedang, umur tanaman genjah, ukuran umbi besar, warna umbi merah tua, dan bentuk umbi bulat sesuai dengan preferensi konsumen (Setijo 2003). Berikut deskripsi beberapa varietas bawang merah :

1) Varietas Bima

Varietas Bima Brebes berasal dari Brebes dan cocok ditanam di daerah dataran rendah. Umbi berbentuk lonjong, bercincin kecil pada leher cakram, berwarna merah muda. Produksi mencapai 9,9 ton per hektar, dengan susut bobot dari umbi basah menjadi umbi kering 21,5 persen.

2) Varietas Medan

Bawang varietas Medan berasal dari daerah Samosir, cocok ditanam di daerah rendah maupun dataran tinggi. Umbi berbentuk bulat dengan ujung runcing dan berwarna merah. Produksi umbi kering dapat mencapai 7,4 ton per hektar, dengan susut umbi basah menjadi umbi kering sekitar 24,7 persen.

3) Varietas Keling

Varietas Keling berasal dari lokal Maja, cocok untuk diusahakan di daerah dataran rendah. Umbi berbentuk bulat dan berwarna merah muda. Produksi umbi kering mencapai 7,9 ton per hektar, dengan susut bobot umbi basah menjadi umbi kering sekitar 14,9 persen.


(16)

13 4) Varietas Maja Panas

Varietas Maja Panas berasal dari lokal Cipanas, cocok untuk ditanam di daerah dataran rendah dan dataran tinggi. Umbi berbentuk bulat dan berwarna merah tua. Produksi umbi kering mencapai 10,9 ton per hektar, dan susut bobot dari umbi basah menjadi umbi kering sekitar 24,9 persen.

5) Varietas Sumenep

Varietas Sumenep merupakan kultivar lokal yang diperkirakan berasal dari daerah Sumenep, Madura. Varietas ini cocok ditanam di dataran rendah sampai dataran medium ataupun dataran tinggi. Umbi tanaman berbentuk lonjong memanjang dan berwarna merah pucat. Produksi umbi basah mencapai 19,3 ton per hektar dan dapat menghasilkan umbi kering sekitar 10,1 ton per hektar. 6) Varietas Kuning

Bawang merah varietas Kuning telah lama dibudidayakan oleh petani di daerah Brebes, Jawa Tengah, sebagai varietas lokal setempat. Kultivar ini baik untuk diusahakan di daerah dataran rendah sampai dataran medium pada musim kemarau. Varietas ini memiliki umbi berwarna gelap. Produksi umbi antara 14,4-20,1 ton per hektar, dengan susut bobot umbi dari umbi basah menjadi umbi kering sekitar 21,5-22,0 persen.

7) Varietas Kuning Gombong

Bawang merah varietas Kuning Gombong berasal dari daerah Sidapurna, Brebes, Jawa Tengah, dan cocok ditanam pada musim kemarau di dataran rendah. Umbi berbentuk bulat lonjong dengan bagian leher agak besar dan berwarna merah muda. Produksi umbi kering mencapai 11,2-17,3 ton per hektar, dengan susut bobot umbi basah menjadi umbi kering sekitar 22,5 persen.

8) Varietas Bangkok

Varietas Bangkok berasal dari Thailand dan pada umumnya ditanam di daerah sentra produksi bawang merah, misalnya di daerah Brebes, Cirebon dan Tegal. Umbi berbentuk bulat dan berwarna merah tua. Produksi umbi berkisar antara 17,6-22,3 ton per hektar, dengan susut bobot umbi basah menjadi umbi kering 21,5-22,0 persen.


(17)

14 Setiap varietas tanaman bawang memiliki ketahanan dan kepekaan yang berbeda-beda terhadap penyakit, misalnya umbi varietas Bima Brebes, varietas Medan, varietas Keling dan umbi varietas Maja Panas yang merupakan umbi bawang merah yang cukup tahan terhadap penyakit busuk umbi (Botrytis alli), namun peka terhadap penyakit busuk ujung daun (Phytophtora porri). Sedangkan varietas Kuning dan varietas Kuning Gombong merupakan varietas umbi yang cukup tahan terhadap busuk umbi (Botrytis alli), namun peka terhadap penyakit bercak ungu (Alternaria porri) maupun antraknosa (Colletotrichum sp.). Berbeda halnya dengan varietas Sumenep yang tahan terhadap penyakit fusarium, bercak ungu (Alternaria porri), dan antraknosa (Colletotrichum sp.), varietas Bangkok justru sangat peka terhadap penyakit bercak ungu (Alternaria porri), dan antraknosa (Colletotrichum sp.).

Selain menggunakan umbi sebagai bahan tanam, sekarang telah dikembangkan dengan menggunakan biji botaninya atau dikenal True Shallots Seed. True Shallots Seed atau yang biasa disebut TSS merupakan bahan perbanyakan generatif bawang merah yang berbentuk biji. Dibandingkan dengan umbi, penggunaan TSS sebagai bahan tanam memiliki beberapa keunggulan yaitu (1) kebutuhan benih hanya sedikit, yaitu sekitar 7,5 kg/ha dibanding umbi sekitar 1,5 ton/ha; (2) bebas virus dan penyakit tular benih; (3) menghasilkan tanaman yang lebih sehat; (4) daya hasil lebih tinggi dibanding umbi, dan (5) hemat biaya (Sopha 2010). Selain itu, hasil bawang merah asal biji memiliki ukuran umbi yang lebih besar dan lebih bulat dibandingkan bawang asal dari umbi.

Varietas bawang merah yang biasa digunakan oleh petani di tempat penelitian yaitu varietas Maja Panas, Sumenep, Balikaret, Bima Curut dan varietas impor seperti varietas Ilokos dari Philipina. Varietas-varietas tersebut merupakan varietas yang cocok ditanam di daerah dataran rendah maupun dataran tinggi. Akan tetapi, beberapa tahun ini varietas yang sering dibudidayakan hanya dua jenis yaitu varietas Balikaret dan Sumenep. Varietas Balikaret umumya ditanam pada lahan tegalan dan varietas Sumenep pada lahan sawah. Bibit yang digunakan petani di lahan tegalan pada umumnya masih menggunakan umbi yang disimpan sendiri sebagai bahan tanam, sedangkan petani di lahan sawah menggunakan bibit yang berasal dari pasar.


(18)

15

2.2. Perkembangan Penelitian Bawang Merah Terkait Produksi

Bawang merah merupakan komoditas sayuran yang telah banyak diteliti dari berbagai disiplin ilmu. Penelitian-penelitian terdahulu mengenai bawang merah terkait produksi telah dikaji oleh beberapa peneliti yaitu Rosantiningrum dan Hamid (2004), Kurniawan (2007) serta Damanah (2008).

Rosantiningrum (2004) meneliti tentang produksi dan pemasaran usahatani di Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa fungsi produksi bawang merah di tempat penelitian berada pada kondisi constant return to scale artinya pada kondisi tersebut apabila semua input dinaikkan sebesar 10 persen maka tingkat produksi naik sebesar proporsi yang sama yaitu 10 persen. Nilai koefisien regresi faktor produksi luas lahan (X1),

jumlah bibit (X2), jumlah tenaga kerja (X3), pupuk N (X4), pupuk P (X5), pupuk

(K6), dan nilai pestisida (X7) bernilai lebih dari nol dan kurang dari satu, karena

koefisien regresi menunjukkan elastisitas produksi, maka dapat disimpulkan bahwa produksi berada si daerah rasional (daerah II) artinya secara teknis faktor produksi tersebut masih dapat ditambah penggunaannya karena setiap penambahan input akan meningkatkan output.

Pada pemasaran usahatani, terbentuk tiga pola saluran pemasaran yang berasal dari 30 petani responden. Dilihat dari efisiensi teknis, pemasaran bawang merah di tempat penelitian belum efisien. Hal tersebut terlihat dari nilai marjin pemasaran yang tinggi yang dipengaruhi oleh tingginya tingkat keuntungan pedagang besar dan besarnya penyusutan. Berdasarkan analisis keterpanduan pasar ditingkat petani di Kecamatan Brebes dengan Pasar Induk Kramat jati adalah koefisien b2 sebesar 1,06. Hal ini menunjukkan adanya keterpaduan pasar

jangka panjang yang kuat antara tingkat petani dengan konsumen. Nilai tersebut berarti setiap perubahan harga lag satu bulan di pasar acuan sebesar Rp 100 akan segera diteruskan ke pasar petani sebesar Rp 106,- sedangkan nilai Indeks Keterpaduan Pasar (IMC) yang merupakan rasio antara peubah harga pasar setempat (b1) dengan peubah harga pasar acuan pada waktu lalu (b3) adalah

sebesar 0,08 nilai ini menunjukkan terdapatnya keterpaduan pasar dalam jangka pendek antara kedua pasar.


(19)

16 Penelitian Damanah (2008) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan pendapatan usahatani menunjukkan bahwa dari tujuh varibel yang diduga berpengaruh terhadap produksi yaitu luas lahan (X1), tenaga kerja pria

(X2), tenaga kerja wanita (X3), bibit (X4), pupuk buatan (X5), pupuk kandang (X6)

dan obat-obatan (X7) ternyata hanya lima variabel yang dapat dijelaskan oleh

fungsi produksi yang diperoleh yakni luas lahan, tenaga kerja pria, bibit, pupuk buatan dan obat-obatan. Hasil pendugaan model fungsi produksi Cobb-Douglas, maka diperoleh faktor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi adalah luas lahan, bibit dan pupuk buatan, sedangkan tenaga kerja wanita dan obat-obatan tidak berpengaruh. Hasil analisis pendapatan usahatani berdasarkan strata luas lahan, baik usahatani pada lahan luas, sedang maupun lahan sempit, ketiganya memberikan keuntungan karena nilai R/C rasio lebih dari satu. R/C rasio atas biaya total pada lahan luas sebesar 1,88, lahan sedang sebesar 1,97 dan pada lahan sempit sebesar 1,65. Berdasarkan nilai R/C rasio atas biaya total tersebut, maka usahatani bawang merah pada lahan sedang relatif lebih efisien jika dibandingkan dengan usahatani bawang merah pada lahan sempit dan lahan luas.

Penelitian Hamid (2004) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan usahatani bawang merah di Kecamatan Wanasari, menduga bahwa ada tiga belas faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan usahatani. Faktor-faktor tersebut yaitu jumlah bibit, lama penyimpanan bibit, luas lahan garapan, biaya untuk obat-obatan, biaya untuk pupuk secara keseluruhan yang meliputi Urea, ZA, KCl, DAP dan pupuk jenis lain yang digunakan petani, jumlah tenaga kerja luar keluarga, jumlah tenaga kerja keluarga untuk usahatani bawang merah, umur tanaman, lama pengalaman bertani bawang merah, usia petani, tingkat pendidikan formal, pendapatan di luar usahatani merah dan modal yang digunakan untuk bertani bawang merah. Berdasarkan Metode Ordinary Least Square (OLS) diperoleh bahwa 13 faktor tersebut secara keseluruhan berpengaruh terhadap pendapatan usahatani bawang merah. Faktor-faktor tersebut ada yang berpengaruh positif dan ada yang berpengaruh negatif. Hampir seluruh faktor-faktor yang diduga berpengaruh positif terhadap pendapatan usahatani bawang merah kecuali faktor pendidikan formal petani.


(20)

17

2.3. Fungsi Produksi Menggunakan Pendekatan Cobb-Douglas Stochastic Frontier

Fungsi produksi merupakan hubungan antara penggunaan input yang digunakan dengan output yang dihasilkan dalam suatu usahatani. Fungsi produksi Stochastic Frontier sendiri merupakan suatu bentuk fungsi produksi yang menunjukkan produksi maksimum yang dapat dicapai suatu usahatani dengan penggunaan sumber daya input yang ada. Untuk mencapai produksi maksimum perlu dilakukan analisis faktor-faktor yang berpengaruh dalam kegiatan usahatani. Khotimah (2010) melakukan penelitian mengenai efisiensi teknis usahatani ubi jalar di Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat menggunakan fungsi Maximum Likelihood Estimation (MLE) dalam mengestimasi fungsi produksi Cobb-Douglas Stochastic Frontier. Penelitian ini pada awalnya menduga bahwa variabel terikat yang mempengaruhi fungsi produksi adalah luas lahan, bibit, tenaga kerja, pupuk N, pupuk P, pupuk K, pupuk daun, pestisida, dan pupuk kandang. Akan tetapi karena variabel pupuk daun, pestisida, dan pupuk kandang hanya digunakan oleh sebagian kecil responden sehingga dianggap tidak mewakili keragaan fungsi produksi ubi jalar di lokasi penelitian, maka variabel tersebut di keluarkan dari model fungsi produksi.

Dugaan awal pada penelitian Khotimah (2010) menggunakan Ordinary Least Square (OLS) menunjukkan bahwa pada model fungsi terdapat multikolinearitas. Kemudian peneliti merestriksi modelnya dengan membagi seluruh variabel bebas dan variabel terikatnya dengan variabel yang banyak terkorelasi yaitu lahan. Sehingga diperoleh model baru dengan variabel terikatnya yaitu produksi per lahan (fungsi produktivitas) dan variabel bebasnya adalah bibit per lahan, tenaga kerja per lahan, pupuk N per lahan, pupuk P per lahan, dan pupuk K per lahan. Model ini tidak mempunyai masalah multikolinearitas, akan tetapi R2-nya sangat kecil sehingga keragaman fungsi yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas kecil. Untuk memperoleh model terbaik maka model direstriksi kembali dengan model produksi sebagai fungsi dari lahan, rasio bibit terhadap lahan, rasio tenaga kerja terhadap lahan, rasio pupuk N terhadap lahan, rasio pupuk P terhadap lahan, dan rasio pupuk K terhadap lahan. Model yang terbentuk merupakan model terbaik karena tidak memiliki masalah multikolinearitas dan memiliki nilai R2 yang sama dengan model 1 yaitu sebesar 90,6 persen.


(21)

18 Hasil penelitian Khotimah (2010) menyimpulkan bahwa semua variabel faktor produksi yang diestimasi yaitu lahan, benih per lahan, tenaga kerja per lahan, pupuk P per lahan, dan pupuk K per lahan berpengaruh positif dan nyata terhadap produksi ubi jalar, kecuali penggunaan pupuk N per lahan yang berpengaruh positif namun tidak nyata terhadap produksi ubi jalar. Faktor produksi yang berpengaruh positif dan nyata menunjukkan bahwa peningkatan pada faktor-faktor produksi tersebut akan meningkatkan produksi ubi jalar. Sedangkan faktor produksi yang berpengaruh tetapi tidak nyata menunjukkan bahwa meskipun ada peningkatan tidak akan meningkatkan produksi usahatani ubi jalar di lokasi penelitian.

Penelitian Podesta (2009) mengenai pengaruh penggunaan benih sertifikat terhadap efisiensi dan pendapatan usahatani pandan wangi di Kabupaten Cianjur dengan menggunakan pendekatan Cobb-Douglas Stochastic Frontier menduga terdapat tujuh variabel independen yang berpangaruh yaitu luas lahan (X1), benih

(X2), pupuk N (X3), pupuk P (X4), pupuk K (X5), obat cair (X6), dan tenaga kerja

(X7). Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap

produksi padi bagi petani benih sertifikat hanya pupuk P. Benih dan pupuk N tidak berpengaruh karena penggunaannya sudah berlebih dari anjuran, sedangkan tenaga kerja tidak berpengaruh karena petani lebih banyak menggunakan tenaga kerja luar keluarga untuk mengerjakan areal persawahannya. Sementara itu, bagi petani benih non sertifikat, variabel yang berpengaruh nyata hanya tenaga kerja. Variabel pupuk P tidak berpengaruh nyata karena penggunaannya belum optimal.

Maryono (2008) melakukan penelitian mengenai analisis efisiensi teknis dan pendapatan usahatani padi program benih bersertifikat dengan pendekatan stochastic production frontier di Desa Pasirtalaga, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang. Berdasarkan perhitungan fungsi produksi stochastic frontier dengan metode MLE, pada masa tanam I diperoleh bahwa faktor produksi urea dan tenaga kerja bernilai positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi dimana adanya peningkatan pada faktor produksi tersebut akan meningkatkan produksi padi. Pada masa tanam II diperoleh hasil bahwa faktor produksi yang bernilai positif dan berpengaruh nyata yaitu urea, obat-obatan dan tenaga kerja.


(22)

19 Penelitian Tanjung (2003) mengenai efisiensi teknis dan ekonomis petani kentang di Kabupaten Solok Propinsi Sumatera Barat menggunakan dua model fungsi produksi stochastic frontier. Dua model tersebut yaitu model A yang memiliki sebelas variabel penjelas dan model B yang memiliki empat variabel penjelas.

Variabel yang diduga berpengaruh pada model fungsi produksi stochastic frontier model A yaitu benih, luas lahan, tenaga kerja, pupuk urea, pupuk SP-36, pupuk KCl, pupuk NPK, pupuk SS, pestisida padat, pestisida cair dan jenis benih (dummy). Variabel yang nyata berpengaruh terhadap produksi yaitu benih, luas lahan, pupuk SP-36, pupuk NPK, pupuk SS, pestisida padat dan jenis benih (dummy). Pada model fungsi produksi stochastic frontier model B, variabel yang diduga berpengaruh yaitu luas lahan, tenaga kerja, modal yang dinormalkan dengan harga output dan jenis benih (dummy). Dari keempat variabel tersebut, variabel yang berpengaruh nyata terhadap produksi hanya dua variabel yaitu variabel luas lahan dan variabel modal yang dinormalkan dengan harga output.

Adhiana (2005) melakukan penelitian mengenai efisiensi ekonomi usahatani lidah buaya (Aloe vera) di Kabupaten Bogor. Variabel yang diduga berpengaruh terhadap produksi yaitu luas lahan, jumlah tanaman, pupuk kandang, pupuk anorganik, tenaga kerja, dan umur tanaman. Dari keenam variabel dugaan, empat diantaranya berpengaruh positif dan nyata terhadap produksi yaitu variabel luas lahan, jumlah tanaman, tenaga kerja dan umur tanaman. Variabel pupuk kandang dan pupuk anorganik berpengaruh positif tetapi tidak nyata.

2.4. Efisiensi Teknis

Penelitian tentang efisiensi teknis usahatani bawang merah belum pernah dilakukan sebelumnya. Tinjauan empiris berikut merupakan hasil penelitian efisiensi teknis serta tingkat pendapatan usahatani dengan komoditas berbeda.

Hasil penelitian Khotimah (2010) menyimpulkan bahwa tingkat efisiensi teknis petani ubi jalar berada pada range 0,52 sampai 0,99 dan rata-rata tingkat efisiensi teknis petani ubi jalar di Kecamatan Cilimus adalah 0,75 atau 75 persen dari produksi maksimum. Hal tersebut menunjukkan bahwa usahatani ubi jalar di Kecamatan Cilimus telah cukup efisien dan masih terdapat peluang meningkatkan produksi sebesar 25 persen untuk mencapai produksi maksimum.


(23)

20 Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis dianalisis dengan model efek inefisiensi teknis dengan variabel umur, pengalaman, pendidikan, lama kerja petani di luar usahatani, pendapatam di luar usahatani, status kepemilikan lahan dan penyuluhan. Hanya tiga variabel yang berpengaruh nyata dan positif terhadap inefisiensi teknis produksi, yaitu pengalaman, lama kerja petani di luar usahatani, dan status kepemilikan lahan. Variabel lainnya seperti umur, pendidikan, pendapatan di luar usahatani, dan penyuluhan berpengaruh negatif terhadap inefisiesi teknis akan tetapi tidak berpengaruh nyata.

Podesta (2009) menyimpulkan bahwa usahatani padi Pandan Wangi benih bersertifikat maupun non sertifikat telah efisien secara teknis. Hal tersebut terlihat dari rata-rata nilai efisiensi teknis usahatani padi Pandan Wangi benih sertifikat maupun non sertifikat masing-masing adalah 0,967 dan 0,713. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis usahatani padi Pandan Wangi meliputi usia, pendidikan formal, pengalaman, umur bibit dan dummy status usahatani serta dummy pendidikan non formal. Faktor dummy pendidikan non formal saja yang berpengaruh bagi usahatani padi Pandan Wangi benih non sertifikat. Sementara itu, tidak ada faktor yang nyata berpengaruh bagi usahatani padi Pandan Wangi benih sertifikat. Hal ini dikarenakan tingkat efisiensi teknis usahatani padi Pandan Wangi benih sertifikat sudah sangat tinggi yakni 0,967 sehingga nilai inefisiensi teknis usahatani padi Pandan Wangi benih sertifikat hanya sebesar 0,033. Berbeda halnya dengan usahatani Pandan Wangi benih non sertifikat dimana nilai inefisiensi teknis sebesar 0,287.

Hasil penelitian Maryono (2008) menunjukkan angka rata-rata tingkat efisiensi teknis pada masa tanam I sebesar 0,966 dengan nilai terendah 0,805 dan nilai tertinggi adalah 0,994. Sedangkan pada masa tanam II nilai rata-rata efisiensi teknis 0,899 dengan nilai terendah 0,732 dan nilai tertinggi 0,990. Pada masa tanam II terjadi penurunan tingkat efisiensi teknis dilihat dari angka rata-rata tingkat efisiensi teknis pada masa tanam II yang lebih kecil daripada masa tanam I. Berdasarkan angka efisiensi teknis tersebut juga dapat disimpulkan bahwa dengan adanya program benih bersertifikat ini justru menurunkan efisiensi teknis rata-rata sebesar 6,935 persen. Hasil pendugaan efek inefisiensi teknis menunjukkan bahwa pada masa tanam I variabel yang berpengaruh nyata terhadap


(24)

21 efisiensi teknis adalah dummy bahan organik dan dummy legowo. Sementara itu, pada masa tanam II faktor-faktor yang nyata berpengaruh dalam menjelaskan inefisiensi teknis di dalam proses produksi petani responden adalah pengalaman, pendidikan dan rasio urea-TSP.

Penelitian Tanjung (2003) menggunakan model efek inefisiensi teknis dari fungsi produksi stochastic frontier model A menunjukkan angka rata-rata tingkat efisiensi teknis petani responden sebesar 0,742 dengan nilai terendah 0,392 dan nilai tertinggi 1,014. Faktor-faktor yang nyata berpengaruh dalam menjelaskan

inefisiensi teknis di dalam proses produksi petani responden pada α = 5% dan α =

10% adalah umur, pengalaman, keanggotaan kelompok tani, dan jenis benih. Pendidikan, rasio tenaga kerja sewaan terhadap tenaga kerja total, rasio luas lahan untuk tanaman kentang terhadap total luas lahan yang diusahakan petani dan keikutsertaan petani dalam kelompok tani dan status kepemilikan lahan, tidak nyata berpengaruh terhadap tingkat inefisiensi teknis petani responden pada α = 10%. Namun, variabel rasio luas lahan terhadap total luas lahan yang diusahakan

dan status kepemilikan lahan pada taraf α = 15% berpengaruh nyata.

Hasil penelitian Adhiana (2005) menunjukkan bahwa rata-rata tingkat efisiensi teknis petani lidah buaya di lokasi penelitian adalah sebesar 0,813 dengan nilai terendah 0,324 dan nilai tertinggi 0,982. Variabel-variabel yang menjadi sumber inefisiensi teknis petani responden yang berpengaruh nyata yaitu

umur (α = 1%), pendidikan (α = 5%) dan pengalaman (α = 15%). Sementara

variabel manajemen dan pendapatan di luar usahatani tidak berpengaruh nyata terhadap efek inefisiensi teknis. Ketiga variabel yang menjadi sumber inefisiensi teknis tersebut berpengaruh negatif, sehingga apabila ketiga variabel tersebut semakin bertambah maka usahatani lidah buaya yang dilakukan akan semakin efisien secara teknis. Variabel pendidikan dan pengalaman hasilnya yang diperoleh sesuai dengan dugaan awal, sedangkan variabel umur hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan dugaan. Hal tersebut terjadi karena semakin bertambah umurnya maka pengalaman dan keterampilan juga semakin meningkat, tetapi mereka semakin lemah dalam berusaha. Petani yang lebih muda mungkin kurang berpengalaman dan memiliki keterampilan yang rendah, tetapi mereka pada umumnya lebih tertarik pada inovasi baru.


(25)

22 Berdasarkan penelitian-penelitian mengenai efisiensi teknis maka dapat disimpulkan bahwa pada umumnya petani masih memiliki potensi maksimum yang seharusnya dicapai. Hal tersebut terlihat dari nilai efisiensi teknis petani yang belum optimal dan masih memungkinkan ditingkatkan agar memperoleh hasil yang optimal. Belum optimalnya potensi maksimum yang dapat dicapai oleh petani, salah satunya karena adanya inefisiensi. Inefisiensi ini dipengaruhi oleh peranan stokastik. Variabel-variabel yang umumnya mempengaruhi tingkat efisiensi teknis petani diantaranya yaitu umur, pendidikan formal, pengalaman, dummy status lahan dan dummy penyuluhan.

2.5. Pendapatan Usahatani

Penelitian mengenai pendapatan usahatani telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa dilihat dari nilai R/C rasio yang lebih besar dari satu, usahatani yang dilakukan memberikan keuntungan. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada insentif yang diterima petani atas faktor-faktor produksi yang telah digunakan untuk usahatani bawang merah.

Hasil penelitian Siregar (2008) menunjukkan bahwa baik usahatani cabai merah organik maupun non organik menguntungkan. Nilai R/C rasio atas biaya total usahatani cabai merah organik adalah 4,61 sedangkan pada usahatani cabai merah non organik nilai R/C rasio yang diperoleh yaitu 3,94. Begitu pun penelitian Hidayat (2010) yang menunjukkan bahwa usahatani jambu getas merah berdasarkan status penguasaan lahan menguntungkan, nilai R/C rasio atas biaya total petani pemilik lahan sebesar 1,67 dan petani penyewa lahan sebesar 1,66. Podesta (2009) juga melakukan analisis pendapatan usahatani tentang padi Pandan Wangi Sertifikat dan Non Sertifikat. Baik padi Pandan Wangi Sertifikat maupun Non Sertifikat, kedua-duanya menguntungkan. Hal tersebut dilihat dari nilai R/C rasio atas biaya total yang lebih besar dari satu. R/C rasio atas biaya total padi Pandan Wangi Sertifikat MT II yaitu 2,90 dan Non Sertifikat MT II yaitu 2,27.


(26)

23

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Usahatani

Ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif bila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki (yang dikuasai) sebaik-baiknya. Sedangkan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input) (Soekartawi et al. 1985). Menurut Mosher (1968) diacu dalam Mubyarto (1994), usahatani adalah suatu tempat atau bagian dari permukaan bumi, dimana pertanian diselenggarakan oleh seorang petani tertentu apakah ia seorang pemilik, penyakap atau manajer yang digaji. Usahatani dapat dipandang sebagai suatu cara hidup (a way of life) atau sebagai bagian dari perusahaan (farm business).

Tujuan setiap petani dalam menjalankan usahataninya berbeda-beda. Apabila dorongannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga baik melalui atau tanpa melalui peredaran uang disebut subsistence farm sedangkan apabila dorongannya untuk mencari keuntungan disebut commercial farm (Hernanto 1996). Sedangkan menurut Soekartawi dkk (1985), tujuan usahatani terbagi dua, memaksimumkan keuntungan dan meminimumkan biaya.

Menurut Hernanto (1996), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani, yaitu faktor-faktor pada usahatani itu sendiri (internal) dan faktor-faktor di luar usahatani (eksternal). Adapun faktor internal antara lain : (1) petani pengelola; (2) tanah usahatani, (3) tenaga kerja, (4) modal, (5) tingkat teknologi, (6) jumlah keluarga, dan (7) kemampuan petani dalam mengaplikasikan penerimaan keluarga. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh pada keberhasilan usahatani yaitu : (1) tersedianya sarana transportasi dan komunikasi, (2) aspek-aspek yang menyangkut pemasaran hasil dan bahan usahatani (harga hasil, harga saprodi, dan lain-lain), (3) fasilitas kredit, dan (4) sarana penyuluhan bagi petani.


(27)

24 Hernanto (1996), menyatakan terdapat empat unsur pokok yang selalu ada dalam usahatani dan disebut sebagai faktor-faktor produksi yaitu :

1) Tanah

Tanah merupakan faktor produksi yang relatif langka dibandingkan faktor produksi usahatani lainnya dan distribusi penguasaan di masyarakat tidak merata. Oleh karena itu, tanah memiliki sifat-sifat khusus yaitu : (1) luasnya relatif tetap atau dianggap tetap; (2) tidak dapat dipindah-pindahkan; (3) dapat dipindahtangankan atau diperjualbelikan; (4) tidak ada penyusutan (tahan lama); dan (5) bunga atas lahan dipengaruhi oleh produktivitas lahan. Tanah yang dimiliki petani atau yang dikelola dapat diperoleh dengan cara membuka lahan sendiri, membeli, menyewa, bagi hasil (menyakap), pemberian negara, warisan atau wakaf. Terdapat hubungan antara tanah dengan pengolahnya yang dinamakan dengan status tanah. Status tanah ini akan memberikan kontribusi bagi pengolahnya. Beberapa status tanah yang dikenal yaitu, tanah milik atau tanah hak milik, tanah sewa, tanah sakap, tanah gadai, dan tanah pinjaman.

2) Tenaga Kerja

Tenaga kerja dalam usahatani ada tiga jenis yaitu tenaga kerja manusia, tenaga kerja ternak dan tenaga kerja mekanik. Tenaga kerja manusia dapat mengerjakan semua jenis pekerjaan usahatani berdasarkan tingkat kemampuannya. Tenaga kerja manusia dibedakan menjadi tenaga kerja pria, wanita dan anak-anak. Tenaga kerja manusia dipengaruhi oleh umur, pendidikan, keterampilan, pengalaman, tingkat kecukupan, tingkat kesehatan, dan faktor alam seperti iklim dan kondisi lahan usahatani. Untuk mengukur tenaga kerja, satuan ukuran yang umum digunakan yaitu jumlah jam dan hari kerja total. Ukuran ini menghitung keseluruhan pencurahan kerja mulai dari persiapan hingga pemanenan dengan menggunakan inventarisasi jam kerja (1 hari = 7 jam kerja) lalu dijadikan kerja total (HK total). Dalam teknis perhitungan, dapat dipakai konversi tenaga kerja dengan cara membandingkan tenaga pria sebagai ukuran baku, yaitu : 1 pria = 1 hari kerja pria (HKP); 1 wanita = 0,7 HKP; 1 ternak = 2 HKP dan 1 anak = 0,5 HKP. Tenaga kerja dapat diperoleh dari dalam maupun luar kelurga.


(28)

25 3) Modal

Modal merupakan barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor produksi lain dan tenaga kerja serta manajemen menghasilkan barang-barang baru yaitu produksi pertanian. Menurut sifatnya, modal dibedakan menjadi dua yakni modal tetap yang meliputi tanah bangunan dan modal tidak tetap yang meliputi alat-alat, bahan, uang tunai, piutang di bank, tanaman, ternak, ikan di kolam. Modal dalam usahatani digunakan untuk membeli sarana produksi serta pengeluaran selama kegiatan usahatani berlangsung. Sumber modal diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit (kredit bank, pelepas uang/keluarga/tetangga), hadiah, warisan, usaha lain ataupun kontrak sewa. Modal usahatani dapat berupa biaya investasi, biaya operasional, biaya pemeliharaan, dan biaya pengelolaan. Ada beberapa ukuran yang dapat digunakan untuk menilai keuangan dan jalannya usahatani, ukuran-ukuran itu antara lain dalam bentuk ratio atau perbandingan seperti current ratio (kemampuan bayar dari modal), intermidiet ratio, net capital ratio,debt equity ratio, dan lain-lain.

4) Manajemen

Manajemen usahatani adalah kemampuan petani untuk menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi dengan sebaik-baiknya sehingga mampu memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan. Ukuran dari keberhasilan pengelolaan itu adalah produktivitas dari setiap faktor maupun produktivitas dari usahanya. Untuk dapat menjadi pengelola yang berhasil, maka pemahaman terhadap prinsip teknik dan prinsip ekonomis menjadi syarat bagi seorang pengelola. Pengenalan dan pemahaman prinsip teknik meliputi : (1) perilaku cabang usaha yang diputuskan; (2) perkembangan teknologi; (3) tingkat teknologi yang dikuasai; (4) daya dukung faktor yang dikuasai; (5) cara budidaya dan alternatif cara lain berdasarkan pengalaman orang lain. Sedangkan, prinsip ekonomis antara lain : (1) penentuan perkembangan harga; (2) kombinasi cabang usaha; (3) pemasaran hasil; (4) pembiayaan usahatani; (5) penggolongan modal dan pendapatan; dan (5) ukuran-ukuran keberhasilan yang lazim.


(29)

26 Soeharjo (1978), diacu dalam Hernanto (1996) mengklasifikasikan usahatani tanaman pangan menurut pola, tipe, corak dan bentuk. Berikut penjelasan mengenai pengklasifikasian tersebut :

1) Pola usahatani

Klasifikasi usahatani menurut pola digolongkan berdasarkan jenis lahannya yaitu pola usahatani lahan basah dan pola usahatani lahan kering.

2) Tipe usahatani

Tipe usahatani menunjukkan klasifikasi tanaman yang didasarkan kepada macam dan atau cara penyusunan tanaman yang diusahakan seperti misalnya usahatani padi, usahatani palawija, usahatani campuran, usahatani khusus, usahatani tidak khusus, usahatani tanaman ganda dan lain-lain.

3) Corak usahatani

Corak usahatani dimaksudkan sebagai tingkatan dari hasil pengelolaan usahatani yang ditentukan oleh berbagai ukuran.

4) Bentuk usahatani

Bentuk atau struktur usahatani menunjukkan bagaimana suatu komoditi diusahakan. Cara pengusahaan itu dapat secara khusus, tidak khusus dan campuran. Menurut Hernanto (1996), terdapat beberapa istilah dalam usahatani campuran, antara lain :

a) Pergiliran tanaman (croprotation)

Usaha ini menunjukkan adanya dua atau lebih tanaman yang diusahakan pada lahan yang sama tetapi dalam masa yang berbeda. Misalnya tanaman A pada musim pertama kemudian tanaman B pada musim berikutnya.

b) Tumpangsari (intercropping)

Tumpangsari yaitu adanya dua atau lebih tanaman yang diusahakan dalam masa yang sama. Misal tanaman C dan D diusahakan sekaligus. Pilihan pergiliran tanaman dan tumpangsari karena kesadaran petani yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan, utamanya bagi petani tradisional. Alasan lain yaitu karena risiko, yang besar kemungkinan akan terjadi baik itu disebabkan oleh alam maupun oleh pasar terutama harga produk maupun sarana.


(30)

27

3.1.2. Konsep Fungsi Produksi

Menurut Soekartawi (1994), fungsi produksi adalah hubungan fisik antara variabel yang dijelaskan (Y) dan variabel yang menjelaskan (X). Variabel yang dijelaskan biasanya berupa input seperti tanah, pupuk, tenaga kerja, modal, iklim dan sebagainya yang mempengaruhi besar kecilnya produksi yang diperoleh. Misalnya Y adalah produksi dan Xi adalah masukan i, maka besar-kecilnya Y juga

tergantung dari besar-kecilnya X1, X2, X3, …, Xm yang digunakan. Hubungan Y

dan X secara aljabar dapat ditulis sebagai berikut : Y = f (X1, X2, X3, …, Xm)

Dimana :

Y = Produksi atau output

X1, X2, X3, …, Xm = Input

Produksi yang dihasilkan dapat diduga dengan mengetahui jumlah masukan/input yang digunakan. Selanjutnya fungsi produksi dapat dimanfaatkan untuk menentukan kombinasi input yang terbaik terhadap suatu proses produksi. Namun demikian, hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan mengingat informasi yang diperoleh dari analisis fungsi produksi tidak sempurna. Soekartawi (1994) menjelaskan penyebab terdapatnya kesulitan dalam menentukan kombinasi input yang terbaik tersebut antara lain karena :

1) Adanya faktor ketidaktentuan mengenai cuaca, hama dan penyakit tanaman. 2) Data yang dipakai untuk melakukan pendugaan fungsi produksi mungkin

tidak benar.

3) Pendugaan fungsi produksi hanya dapat diartikan sebagai gambaran rata-rata suatu pengamatan.

4) Data harga dan biaya yang diluangkan (opportunity cost) mungkin tidak dapat diketahui secara pasti.

5) Setiap petani dan usahataninya mempunyai sifat yang khusus.

Persyaratan yang diperlukan untuk mendapatkan fungsi produksi yang baik adalah : (1) terjadi hubungan yang logis dan benar antara variabel yang dijelaskan dengan variabel yang menjelaskan; dan (2) parameter statistik dari parameter yang diduga memenuhi persyaratan untuk dapat disebut parameter yang mempunyai derajat ketelitian yang tinggi.


(31)

28 Fungsi produksi melukiskan hubungan antara konsep Produk Rata-rata (PR) dengan Produk Marjinal (PM) yang disebut dengan kurva Produk Total (PT) (Soekartawi 1994). PR didefinisikan sebagai perbandingan antara PT per jumlah input atau menunjukkan kuantitas output produk yang dihasilkan.

PR = Dimana :

PR = Produk Rata-rata Y = Output

X = Input

PM adalah tambahan satu satuan input (X) yang dapat menyebabkan penambahan atau pengurangan satu satuan output (Y).

PM =

Dimana :

PM = Produk Marjinal dy = Perubahan output dx = Perubahan input

Persentase perubahan output sebagai akibat dari persentase perubahan input dapat dinyatakan dengan elastisitas produksi (Ep). Besarnya elastisitas

bergantung pada besar kecilnya PM suatu input. Ep =

=

.

Hubungan antara PT, PR, PM dan Ep dapat digambarkan dalam kurva pada

Gambar 3. Kurva tersebut menunjukkan tiga daerah produksi dalam suatu fungsi produksi yaitu peningkatan PR, penurunan PR ketika PM positif, dan penurunan PR ketika PM negatif. Daerah-daerah tersebut mewakili daerah I, II, dan III, yaitu suatu daerah yang menunjukkan elastisitas produksi yang besarnya berbeda-beda (Soekartawi 1994).

Daerah I terletak diantara 0 dan X2 dengan nilai elastisitas yang lebih dari

satu (Ep > 1), terjadi ketika PM lebih besar dari PR yang berarti bahwa setiap

penambahan faktor produksi sebesar satu satuan, akan menyebabkan penambahan produksi yang lebih besar dari satu satuan. Pada kondisi ini keuntungan maksimum belum tercapai karena produksi masih dapat diperbesar dengan penambahan faktor produksi. Daerah I disebut daerah irrasional atau inefisien.


(32)

29 Daerah II terletak antara X2 dan X3 dengan nilai elastisitas produksi yang

berkisar antara nol dan satu (0 < Ep < 1), terjadi ketika PM lebih kecil dari PR

yang berarti bahwa setiap penambahan input sebesar satu satuan akan meningkatkan produksi paling besar satu satuan dan paling kecil nol satuan. Pada tingkat tertentu dari penggunaan faktor-faktor produksi di daerah ini akan memberikan keuntungan maksimum. Hal ini menunjukkan penggunaan faktor produksi lebih optimal sehingga daerah ini disebut daerah rasional atau efisien.

Daerah III merupakan daerah dengan nilai elastisitas yang lebih kecil dari satu (Ep < 1), terjadi ketika PM bernilai negatif yang berarti bahwa setiap

penambahan satu satuan input akan menyebabkan penurunan produksi. Pada daerah ini PT dan PR dalam keadaan menurun. Dalam situasi ini upaya penambahan faktor produksi tetap akan merugikan petani, sehingga di daerah ini sudah tidak efisien atau disebut daerah irrasional.

Gambar 3. Kurva Fungsi Produksi Sumber : Soekartawi (1994)

Input Output

Input

X1 X2 X3

Output

Total Produk (TP)

Produk Rata-rata (PR)

Produk Marjinal (PM)


(33)

30

3.1.3. Konsep Fungsi Produksi Stochastic Frontier

Fungsi produksi stochastic frontier adalah fungsi produksi yang dipakai untuk mengukur bagaimana fungsi produksi sebenarnya terhadap posisi frontiernya (Soekartawi 1994). Fungsi produksi adalah hubungan fisik antara faktor produksi dan produksi, maka fungsi produksi frontier adalah hubungan fisik faktor-produksi dan produksi pada frontier yang posisinya terletak pada garis isokuan yang merupakan garis tempat titik-titk yang menunjukkan titik kombinasi penggunaan masukan produksi yang optimal (Soekartawi 1994).

Aigner et al. (1997) dan Broeck dan Meeusen (1997), diacu dalam Coelli et al. (1998), menyatakan bahwa dalam model fungsi produksi stochastic frontier terdapat penambahan random error, vi, serta non negatif variabel acak, ui, yang

secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :

yi = xi + vi - ui i = 1, β, γ, …., N

Dimana :

yi = Produksi yang dihasilkan petani pada waktu ke-t

xi = Vektor masukan yang digunakan petani pada waktu ke-t

= Vektor parameter yang akan diestimasi

vi = Variabel acak yang berkaitan dengan faktor eksternal (iklim, hama)

sebarannya simetris dan menyebar normal (vi~ N (0, σv2))

ui = Variabel acak non negatif yang diasumsikan mempengaruhi tingkat

inefisiensi teknis dan berkaitan dengan faktor internal dengan sebaran bersifat setengah normal (ui~ │N (0, σv2) │)

Random error, vi, dihitung untuk mengukur error dan faktor random lain

seperti efek cuaca, kesalahan, keberuntungan, dan lain-lain, di dalam nilai variabel output, yang secara bersamaan dengan efek kombinasi dari variabel input yang tidak terdefinisi dalam suatu fungsi produksi. Aigner et al. (1997), diacu dalam Coelli et al. (1998), vis merupakan variabel normal acak yang terdistribusi secara

bebas dan identik (independent and identically distributed, i.i.d) dengan rataan nol dan ragamnya konstan, σv2, variabel bebas, uis, diasumsikan sebagai i.i.d

eksponensial atau variabel acak setengah normal. Variabel ui berfungsi untuk

menangkap inefisiensi teknis.

Model yang dinyatakan dalam persamaan di atas disebut sebagai fungsi produksi stochastic frontier karena nilai output dibatasi oleh variabel acak (stochastic) yaitu nilai harapan dari xi + vi atau exp (xi + vi). Random error bisa


(34)

31 bernilai positif dan negatif dan begitu juga output stochastic frontier bervariasi sekitar bagian tertentu dari model frontier, exp (xi ).

Struktur dasar model stochastic frontier digambarkan seperti Gambar 4. Sumbu x mewakili input sedangkan sumbu y mewakili output. Komponen deterministik dari model frontier, Y = exp (xi ), digambarkan dengan asumsi

bahwa berlaku hukum diminishing return to scale. Penjelasan Gambar 4 adalah terdapat dua petani yaitu petani i dan petani j. Petani i menggunakan input sebesar xi dan menghasilkan output yi. Nilai dari output stochastic frontier adalah yi,

melampaui nilai fungsi produksi yaitu f(xi; ). Hal ini dapat terjadi karena aktivitas

produksi petani i dipengaruhi oleh kondisi yang menguntungkan dimana variabel vi bernilai positif.

Gambar 4. Fungsi Produksi Stochastic Frontier

Sumber : Coelli, Rao, Battase (1998)

Sementara itu, petani ke-j menggunakan input sebesar xj dan memproduksi

yj berada di bawah fungsi produksi karena aktivitas produksi petani j dipengaruhi

oleh kondisi yang tidak menguntungkan dimana vj bernilai negatif. Output

stochastic frontier tidak dapat diamati karena nilai random error tidak teramati. Bagian deterministik dari model stochastic frontier terlihat diantara output stochastic frontier. Output yang diamati dapat menjadi lebih besar dari bagian

y

yi

yi

xi xi x

X X

X

X

Fungsi produksi,

y = exp (x )

Frontier output (yj*), exp (xj + vj), jika vj < 0

Frontier output (yi*), exp (xj + vj), jika vi > 0

Input Output


(35)

32 deterministik dari frontier apabila random error yang sesuai lebih besar dari efek inefisiensinya (misalnya yi > exp (xj ) jika vj > uj) (Coelli et al. 1998).

Model stochastic frontier juga memiliki kelemahan. Kritikan utama terhadap model ini adalah secara umum tidak ada sebuah pengakuan terhadap bentuk penyebaran yang pasti dari variabel-variabel ui. Bentuk distribusi setengah

normal dan eksponensial adalah bentuk distribusi yang selama ini dipilih. Akan tetapi, menurut Coelli et al. (1998) kedua bentuk distribusi ini cenderung bernilai nol sehingga kemungkinan besar efek efisiensi yang dicari juga mendekati nol.

Sejumlah peneliti menanggapi kritikan ini dengan membuat bentuk penyebarannya yang lebih umum seperti terpotong normal (truncated-normal) dan dua parameter gamma untuk menangkap efek inefisiensi teknis. Kedua distribusi tersebut memiliki bentuk distribusi yang lebih luas.

Model pemotongan terhadap penyebaran normal lebih mudah dibandingkan model gamma. Penyebaran pemotongan normal adalah generalisasi dari penyebaran setengah normal. Penyebaran ini diperoleh dari pemotongan pada

nilai nol dari penyebaran normal dengan nilai harapan variasinya µ dan σ2

. Jika nilai µ adalah nol maka distribusinya adalah setengah normal.

3.1.4. Konsep Efisiensi dan Inefisiensi

Soekartawi (1994), tujuan dari produksi tidak hanya melihat seberapa besar output yang dihasilkan melainkan juga efisien dari sisi penggunaan input untuk memaksimumkan keuntungan. Seorang pengusaha atau petani akan selalu berfikir bagaimana mengalokasikan sarana produksi (input) yang dimiliki seefisien mungkin untuk memperoleh produksi yang maksimal. Dalam ilmu ekonomi cara berfikir demikian sering disebut dengan pendekatan memaksimumkan keuntungan atau profit maximization.

Di lain pihak, manakala petani dihadapkan pada keterbatasan biaya dalam melaksanakan usahataninya, maka mereka juga tetap mencoba meningkatkan keuntungan tersebut dengan kendala biaya usahatani yang dimilikinya dalam jumlah terbatas. Pendekatan seperti ini dikenal dengan istilah meminimumkan biaya atau cost minimization, yaitu tindakan untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar dengan menekan biaya produksi sekecil-kecilnya (Soekartawi 1994).


(36)

33 Soekartawi (1994), mengartikan efisiensi sebagai upaya penggunaan input sekecil-kecilnya untuk mendapatkan produksi yang sebesar-besarnya. Efisiensi merupakan perbandingan antara output dan input yang digunakan dalam proses produksi. Daniel (2004), menjelaskan bahwa terdapat berbagai konsep efisiensi yaitu efisiensi teknis (technical efficiency), efisiensi harga (price/allocative efficiency) dan efisiensi ekonomis (economic efficiency). Efisiensi teknis akan tercapai apabila petani mampu mengalokasikan faktor produksi sedemikian rupa sehingga hasil yang tinggi dapat dicapai. Efisiensi harga dapat tercapai jika petani dapat memperoleh keuntungan yang besar dari usahataninya. Misalnya karena pengaruh harga, maka petani tersebut dapat dikatakan mengalokasikan faktor produksinya secara efisiensi harga. Cara seperti ini dapat ditempuh misalnya dengan membeli faktor produksi pada harga yang murah, menjual hasil pada harga yang relatif tinggi. Selanjutnya, apabila petani meningkatkan hasilnya dengan menekan harga faktor produksi, dan menjual hasilnya dengan harga yang tinggi, maka petani tersebut telah melakukan efisiensi teknis dan efisiensi harga secara bersamaan. Situasi yang demikian disebut dengan istilah efisiensi ekonomi. Farrel (1957), diacu dalam Coelli et al. (1998) mengemukakan bahwa efisiensi sebuah usahatani terdiri dari dua konsep yaitu : (1) efisiensi teknis (technical efficiency/TE), yang menggambarkan kemampuan suatu usahatani untuk memaksimalkan output dari sejumlah penggunaan input tertentu, dan (2) efisiensi alokatif (allocative efficiency/AE), menggambarkan kemampuan suatu usahatani dalam menggunakan input dengan proporsi yang optimal untuk mencapai keuntungan maksimum yang dicapai pada saat nilai produk marjinal setiap faktor produksi yang diberikan sama dengan biaya marjinalnya. Kedua pengukuran efisiensi ini bila digabungkan menghasilkan ukuran efisiensi ekonomi (economic efficiency).

Efisiensi secara umum didekati dari dua sisi pendekatan yaitu pendekatan alokasi penggunaan input dan alokasi output yang dihasilkan. Pendekatan dari sisi input membutuhkan ketersediaan harga input dan kurva isoquant yang menunjukkan kombinasi input yang digunakan untuk menghasilkan output secara maksimal. Pendekatan dari sisi output merupakan pendekatan yang digunakan


(37)

34 untuk melihat sejauh mana jumlah output secara proporsional dapat ditingkatkan tanpa merubah jumlah input yang digunakan.

Gambar 5 merupakan gambar kondisi pendekatan berorientasi input, isoquant yang menunjukkan kondisi yang efisien penuh (fully efficient) yang

digambarkan oleh kurva SS’. Jika suatu usahatani menggunakan input sejumlah P

untuk memproduksi 1 unit output, maka nilai inefisiensi teknis dicerminkan oleh jarak QP. Pada ruas garis QP jumlah input yang digunakan dapat dikurangi tanpa harus mengurangi jumlah output yang dihasilkan.

Keterangan :

P = Input

Q = Efisiensi teknis dan inefisiensi alokatif

Q’ = Efisiensi teknis dan efisiensi alokatif

AA’ = Kurva rasio harga input

SS’ = Isoquant fully efficient

Gambar 5. Efisiensi Teknis dan Alokatif (Orientasi Input) Sumber : Collie et al. (1998)

Metode pendekatan yang didasarkan pada orientasi output (Gambar 5) dengan menggunakan kurva kemungkinan produki ZZ’, sementara titik A menunjukkan petani berada dalam kondisi inefisien. Pada gambar yang sama, ruas garis AB menggambarkan kondisi yang inefisien secara teknis dengan ditunjukkan adanya tambahan output tanpa membutuhkan input tambahan. Secara matematis, pendekatan output rasio efisiensi teknis ditulis sebagai berikut :

TE0 = 0A/0B

S

P

Q

Q’

S’ A’

R A

0 x1/q


(38)

35 Notasi 0 digunakan untuk menunjukkan nilai efisiensi teknis dengan pendekatan orientasi input. Dengan adanya informasi harga output yang digambarkan oleh garis isorevenueDD’, maka efisiensi alokatif ditulis sebagai berikut :

AE0 = 0B/0C

Sedangkan kondisi efisien secara ekonomis yaitu :

EE0 = TE0 x AE0 = (0A/0B) x (0B/0C) = 0A/0C

Rasio dari ketiga nilai efisiensi tersebut berkisar antara 0 dan 1.

Keterangan :

ZZ’ = Kurva Kemungkinan Produksi

DD’ = Isorevenue

Gambar 6. Efisiensi Teknis dan Alokatif (Orientasi Output) Sumber : Collie et al. (1998)

Model inefisiensi teknis yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada model Coelli et al. (1998). Untuk mengukur inefisiensi teknis digunakan variabel ui yang diasumsikan bebas dan distribusinya terpotong normal dengan N (µ, σ2

). Penentuan nilai parameter distribusi (µ) efek inefisiensi teknis digunakan rumus sebagai berikut :

µ = δ0 + Zitδ + wit

dimana Zit adalah variabel penjelas yang merupakan vektor dengan ukuran (1 x M) yang nilainnya konstan, δ adalah parameter skalar yang dicari nilainya dengan

ukuran (1 x M).

Z’

0 q2/x1

q1/x1

C

B

D’ B’

Z D


(1)

108

Lampiran 8. Perincian Biaya Usahatani Varietas Balikaret Tahun 2010

No. Nama Responden

Pendapatan (Rp)

Biaya Bibit (Rp)

Biaya TK Laki-laki

(Rp)

Biaya TK Wanita

(Rp)

Biaya Pupuk

(Rp)

Biaya Pestisida

(Rp)

Biaya Pupuk Kandang

(Rp)

Biaya Penyusutan

Alat (Rp)

Biaya Pajak (Rp)

Biaya Pengganti

Lahan (Rp) 1 Kuswana 20.120.000 5.000.000 2.435.000 1.322.767 399.000 602.000 600.000 306.500 3.750 508.289 2 Musa 7.308.000 1.860.000 1.800.000 1.162.500 250.000 653.000 480.000 72.333 3.500 487.957 3 Mugni 14.040.000 10.000.000 1.458.333 810.000 569.000 521.000 180.000 131.000 1.875 264.310 4 Diding 7.410.000 1.690.000 1.132.083 827.567 198.900 266.500 150.000 237.333 1.750 145.225 5 Rohadi 4.455.000 680.000 480.000 153.000 139.667 460.667 133.333 214.700 1.167 67.772 6 Suhendi 4.545.000 1.275.000 1.697.500 633.333 274.500 125.000 204.000 347.000 1.750 243.978 7 Darjo 15.570.000 850.000 1.125.000 538.333 171.000 377.000 150.000 675.000 1.750 254.144 8 Atmo 7.122.500 7.500.000 800.000 738.095 45.357 382.143 85.714 433.167 1.250 87.135 9 Ibad 20.000.000 2.100.000 1.867.262 1.105.357 122.857 647.143 428.571 640.667 2.143 363.063 10 Danco 8.785.000 1.845.000 603.125 695.000 40.500 726.000 135.000 265.500 1.125 190.608 11 Warta 3.825.000 1.200.000 688.172 657.419 212.258 118.065 154.839 133.167 1.371 162.652 Rata-rata 10.289.136,36 3.090.909,09 1.280.588,69 785.761,07 220.276,27 443.501,54 245.587,07 314.215,15 1.948,23 252.284,94


(2)

109

Lampiran 9. Pendapatan Usahatani Bawang Merah Varietas Sumenep per Hektar per Musim Tanam pada Tahun 2010

No Keterangan Jumlah Harga per

Satuan (Rp) Nilai (Rp)

% Atas Biaya A Penerimaan Tunai

1 Bawang merah 12.479,53 10.710,53 133.662.357,65 Total Penerimaan Tunai 133.662.357,65 B Penerimaan Non Tunai

1 Konsumsi 56,94 10.710,53 609.904,97 2 Cadangan Bibit 73,10 10.710,53 782.933,21 3 Untuk Pembayaran Panen (Catu) 275,61 10.710,53 2.951.935,58 Total Penerimaan Non Tunai 12.885,19 4.344.773,77

C Total Penerimaan 138.007.131,41

D Biaya Tunai

1 Bibit Bawang Merah 1.242,25 16.526,32 20.529.888,27 36,36 2 Pupuk Kandang 7.054,01 392,98 2.772.102,19 4,91 3 Pupuk Urea 390,00 1.668,42 650.684,21 1,15 Pupuk Za 251,67 1.426,32 358.962,10 0,64 Pupuk TSP 174,31 2.173,68 378.896,58 0,67 Pupuk Phonska 215,08 2.000,00 430.158,73 0,76 Pupuk KCl 61,70 1.763,16 108.779,62 0,19 3 Pestisida Cair 25,31 87.125,00 2.205.074,07 3,90 Pestisida Padat 16,70 45.007,52 751.674,54 1,33

5 TKLK

Laki-laki 230,77 30.687,76 7.081.893,92 12,54 Wanita 297,05 17.700,39 5.257.951,79 9,31 6 Pajak Lahan 1,00 36.676,41 36.676,41 0,06 Total Biaya Tunai 40.562.742,43 71,83 E Biaya Non Tunai

1 TKDK

Laki-laki 237,04 30.687,76 7.274.082,47 12,88 Wanita 94,45 17.700,39 1.671.736,99 2,96 2 Untuk Pembayaran Panen (Catu) 275,61 10.710,53 2.951.935,58 5,23 3 Sewa Lahan 1,00 3.872.674,52 3.872.674,52 6,86

4 Irigasi 1,00 68.571,43 68.571,43 0,12

5 Penyusutan 1,00 67.781,22 67.781,22 0,12 Total Biaya Diperhitungkan 15.906.782,22 28,17

F Total Biaya 56.469.524,65 100,00

G Pendapatan Atas Biaya Tunai 97.444.388,98 H Pendapatan Atas Biaya Total 81.554.749,62

I R/C Atas Biaya Tunai 3,40


(3)

110

Lampiran 10. Pendapatan Usahatani Bawang Merah Varietas Balikaret per Hektar per Musim Tanam pada Tahun 2010

No Keterangan Jumlah Harga per

Satuan (Rp) Nilai (Rp)

% Atas Biaya A Penerimaan Tunai

1 Bawang merah 23.914,09 6.163,64 147.397.729,54 Total Penerimaan Tunai 147.397.729,54 B Penerimaan Non Tunai

1 Konsumsi 68,18 6.163,64 420.247,93 Cadangan Bibit 343,32 6.163,64 2.116.120,24 Untuk Pembayaran Panen (Catu) 278,43 6.163,64 1.716.171,46 Total Penerimaan Non Tunai 4.252.539,64

C Total Penerimaan 151.650.269,19

D Biaya Tunai

1 Bibit Bawang Merah 3.359,46 11.454,55 38.481.055,31 51,47 2 Pupuk Kandang 7.776,66 381,82 2.969.268,50 3,97 3 Pupuk Urea 488,76 1.827,27 893.099,69 1,19 Pupuk Za 337,06 1.227,27 413.668,15 0,55 Pupuk TSP 254,27 1.518,18 386.020,64 0,52 Pupuk Phonska 277,32 1.409,09 390.772,86 0,52 Pupuk KCl 95,84 2.409,09 230.897,28 0,31 4 Pestisida Cair 37,91 103.325,76 3.916.633,69 5,24 Pestisida Padat 20,43 50.922,08 1.040.115,76 1,39

5 TKLK

Laki-laki 244,05 30.175,66 7.364.281,59 9,85 Wanita 367,86 18.605,40 6.844.251,95 9,16 6 Pajak Lahan 1,00 26.284,87 26.284,87 0,04

Total Biaya Tunai 62.956.350,29 84,21

E Biaya Non Tunai

1 TKDK

Laki-laki 184,77 30.175,66 5.575.449,18 7,46 Wanita 79,71 18.605,40 1.483.002,64 1,98 2 Untuk Pembayaran Panen (Catu) 278,43 6.163,64 1.716.171,46 2,30 3 Sewa Lahan 1,00 2.904.505,89 2.904.505,89 3,89

4 Irigasi 1,00 51.428,57 51.428,57 0,07

5 Penyusutan 1,00 70.821,33 70.821,33 0,09 Total Biaya Diperhitungkan 11.801.379,07 15,79

F Total Biaya 74.757.729,37 100,00

G Pendapatan Atas Biaya Tunai 88.693.918,89 H Pendapatan Atas Biaya Total 76.892.539,82

I R/C Atas Biaya Tunai 2,41


(4)

(5)

ii RINGKASAN

LENI NURUL APRIANI. Analisis Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Bawang Merah (Studi Kasus : Sukasari Kaler, Kecamatan Argapura,

Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat). Skripsi. Departemen Agribisnis,

Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan YUSALINA).

Pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting dalam perekonomian Indonesia terutama dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Hortikultura sebagai salah satu subsektor pertanian, menempati urutan kedua setelah tanaman pangan dalam struktur pembentukan PDB sektor pertanian. Subsektor hortikultura memperlihatkan kecenderungan yang terus meningkat terhadap pembentukan PDB terutama produksi sayuran. Salah satu komoditas sayuran yang telah lama dibudidayakan adalah bawang merah. Bawang merah termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai bumbu penyedap makanan serta bahan obat tradisional. Sifat bawang merah yang tidak memiliki pengganti (substitusi), membuat pengembangan usaha bawang merah memiliki prospek yang cerah.

Kecamatan Argapura merupakan sentra produksi bawang merah di Kabupaten Majalengka. Kontribusi Kecamatan Argapura terhadap jumlah produksi bawang merah di Kabupaten Majalengka setiap tahunnya merupakan jumlah terbesar diantara kecamatan-kecamatan lainnya. Meskipun dari jumlah produksi merupakan penghasil terbesar di Kabupaten Majalengka, akan tetapi dari tingkat produktivitasnya sangat rendah dibandingkan kecamatan-kecamatan lainnya. Hal ini diduga karena adanya ketidakefisienan dalam penggunaan faktor-faktor produksi. Disamping itu, harga pupuk yang semakin meningkat karena adanya kebijakan pemerintah untuk mengurangi subsidi pupuk dapat mempengaruhi pendapatan petani. Oleh karena itu, diperlukan informasi mengenai efisiensi teknis dan pendapatan usahatani bawang merah di lokasi penelitian. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Menganalisis keragaan usahatani bawang merah di Desa Sukasari Kaler Kecamatan Argapura Kabupaten Majalengka, (2) Menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat efisiensi teknis usahatani bawang merah di Desa Sukasari Kaler Kecamatan Argapura Kabupaten Majalengka, dan (3) Menganalisis tingkat pendapatan usahatani bawang merah di Desa Sukasari Kaler Kecamatan Argapura Kabupaten Majalengka.

Penelitian dilakukan di Desa Sukasari Kaler yang berada di wilayah Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan salah satu sentra produksi bawang merah di Kabupaten Majalengka. Pengambilan data dilakukan pada bulan April-Mei 2011. Penentuan responden penelitian dilakukan melalui dua metode yaitu metode

purposive sampling untuk memilih Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan)

Gunung Sari sebagai sampling frame dan snowball sampling untuk memilih petani sampel dengan ketua kelompok tani sebagai sampel awalnya. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis deskriftif, analisis fungsi produksi


(6)

iii serta analisis R/C rasio. Alat analisis yang digunakan adalah Cobb-Douglas

Stochastic Frontier dan R/C rasio.

Hasil estimasi dari parameter Maximum Likelihood untuk fungsi produksi

Cobb-Douglas Stochastic Frontier menunjukkan bahwa variabel yang

berpengaruh nyata terhadap produksi bawang merah adalah variabel lahan, bibit, pupuk N, pupuk P, pupuk K, pestisida padat dan pupuk kandang. Variabel lahan, bibit, pupuk K dan pestisida padat berpengaruh positif terhadap produksi, sedangkan pupuk pupuk N, pupuk P, dan pupuk kandang bernilai negatif. Sementara itu, variabel tenaga kerja dan pestisida cair berpengaruh positif tetapi tidak nyata.

Tingkat efisiensi teknis rata-rata usahatani bawang merah di Desa Sukasari Kaler adalah 0,72 atau 72 persen dari produksi maksimum. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat peluang untuk meningkatkan produksi agar mencapai produksi maksimum. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata dan positif terhadap efek inefisiensi teknis usahatani bawang merah adalah pendidikan formal dan

dummy varietas bibit yang digunakan. Faktor pengalaman, dummy penyuluhan

dan dummy status kepemilikan lahan berpengaruh negatif dan nyata terhadap

inefisiensi teknis. Sementara itu, faktor umur berpengaruh positif tetapi tidak nyata terhadap inefisiensi teknis usahatani bawang merah.

Pendapatan atas biaya tunai pada usahatani bawang merah varietas Sumenep memberikan keuntungan sebesar Rp 97.444.388,98 dan varietas Balikaret sebesar Rp 88.693.918,89. Pendapatan atas biaya total masing-masing usahatani yaitu Rp 81.554.749,62 untuk varietas Sumenep dan Rp 76.892.539,82 untuk varietas Balikaret. Pendapatan atas biaya tunai maupun atas biaya total pada setiap usahatani menunjukkan bahwa usahatani yang dilakukan di lokasi penelitian menguntungkan untuk diusahakan. Hal tersebut dilihat dari nilai pendapatan atas biaya tunai maupun atas biaya total yang lebih besar dari nol.

Nilai R/C rasio atas biaya tunai pada masing-masing usahatani nilainya lebih dari satu. Nilai R/C rasio berturut-turut adalah usahatani bawang merah varietas Sumenep 3,40 dan varietas Balikaret 2,41. Sementara itu, nilai R/C rasio atas biaya total berturut-turut adalah 2,44 dan 2,03. Berdasarkan nilai R/C rasio atas biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total, maka usahatani bawang merah di daerah penelitian menguntungkan untuk diusahakan karena nilai R/C rasio lebih besar dari satu.

Berdasarkan hasil penelitian, maka saran yang dapat diberikan untuk peningkatan efisiensi teknis dan pendapatan usahatani bawang merah di Desa Sukasari Kaler yaitu: (1) Melakukan penambahan bibit dengan memperpendek jarak tanam, (2) Melakukan penggunaan pupuk N karena telah melebihi anjuran dan menurunkan produksi, dan (3) Peningkatan pembinaan petani melalui penyuluhan lapang oleh tenaga penyuluh lapang, dengan memilih program-program yang tepat.


Dokumen yang terkait

Analisis Usahatani Bawang Merah( Studi Kasus: Kelurahan Haranggaol, Kecamatan Haranggaol Horisan Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara)

21 143 103

Analisis Perbandingan Kelayakan Usahatani Cabai Merah (Capsiccum Annum L.) dengan Cabai Rawit (Capsiccum Frutescens L.) (Studi Kasus : Desa Hinalang, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun)

17 140 134

Analisis pendapatan usahatani dan efisiensi pemasaran kubis (Brassica oleracea L. var capitata L.). studi kasus di desa Argalingga kecamatan Argapura kabupaten Majalengka, Jawa Barat

0 18 126

Analisis Efisiensi Produksi dan Pendapatan Usahatani Ubi Kayu (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

0 4 208

Analisis Pendapatan dan Efisiensi Teknis Usahatani Bayam Jepang (Horenso) Kelompok Tani Agro Segar Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur Jawa Barat

10 79 93

Analisis Efisiensi Usahatani Komoditas Bawang Merah Di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat

0 5 122

this PDF file Analisis dalam Memanfaatkan Lahan Pertanian di Desa Sukasari Kaler Kecamatan Argapura Majalengka | Sudrajat | Majalah Geografi Indonesia 1 PB

0 1 14

Analisis Efisiensi dan Pendapatan Usahatani Kedelai di Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat

0 1 10

PERILAKU PETANI DALAM MENGELOLA LAHAN TERASERING DI DESA SUKASARI KALER KECAMATAN ARGAPURA KABUPATEN MAJALENGKA

0 2 10

ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN INPUT PRODUKSI PADA USAHATANI BAWANG MERAH DI KECAMATAN SEMBALUN KABUPATEN LOMBOK TIMUR JURNAL

0 0 17