Analisis Dayasaing Dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Bawang Merah Di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat
ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN
PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BAWANG MERAH
DI KABUPATEN MAJALENGKA, JAWA BARAT
LOLA RAHMADONA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Daya Saing dan
Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Bawang Merah di Kabupaten
Majalengka, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2016
Lola Rahmadona
NIM H351140061
RINGKASAN
LOLA RAHMADONA. Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah
terhadap Komoditas Bawang Merah di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
Dibimbing oleh ANNA FARIYANTI dan BURHANUDDIN.
Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memegang
peranan cukup penting dalam perekonomian Indonesia yaitu sebagai sumber
pendapatan dan devisa bagi negara, penyedia lapangan kerja bagi masyarakat, dan
pengembangan wilayah. Pengembangan wilayah yang memiliki potensi untuk
peningkatan produksi bawang merah di Jawa Barat adalah Kabupaten Majalengka.
Pada empat kurun waktu terakhir (2011-2014) produksi bawang merah di
Kabupaten Majalengka memperlihatkan trend yang meningkat. Total dari jumlah
produksi bawang merah di Kabupaten Majalengka pada tahun 2013 mencapai 23
683 ton dan mengalami peningkatan pada tahun 2014 sebesar 30 299 ton atau
sebesar 27.99 persen. Peningkatan produksi ini salah satunya disebabkan oleh
penambahan luas areal panen sebesar 17.41 persen dengan peningkatan
produktivitas pada tahun 2013 dari 11.02 menjadi 12.01 pada tahun 2014 atau
sebesar 8.98 persen. Meskipun menurut produktivitas bawang merah di Kabupaten
Majalengka memiliki potensi yang cukup baik untuk pengembangan produksi
namun angka produktivitas tersebut masih dibawah produktivitas potensial yaitu
sebesar 20 ton/ha sehingga permintaan bawang merah sebagian besar masih
dipenuhi melalui impor. Hal ini disebabkan oleh produksi bawang merah yang
bersifat musiman, harga bawang merah impor yang jauh lebih murah daripada
bawang merah lokal, dan tingginya biaya produksi usahatani bawang merah. Untuk
mengurangi impor bawang merah, pemerintah telah menetapkan beberapa
kebijakan seperti kebijakan harga referensi impor untuk bawang merah. Dengan
adanya ketetapan harga referensi ini diharapkan dapat mencegah terjadinya
pemasokan bawang merah impor yang tidak tepat. Pemerintah juga menerapkan
beberapa kebijakan untuk mendorong produksi bawang merah dalam negeri seperti
kebijakan subsidi pupuk, subsidi bunga kredit dan subsidi bahan bakar minyak.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keuntungan, dayasaing dan
dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas bawang merah di Kabupaten
Majalengka sebagai salah satu daerah yang memiliki potensi dalam pengembangan
bawang merah. Data yang digunakan adalah merupakan data sekunder yang
diperoleh dari data penelitian komoditas bawang merah Pusat Kajian Hortikultura
Tropika (PKHT) IPB tahun 2015. Jumlah responden yang digunakan sebanyak 37
petani bawang merah. Data yang telah diperoleh dianalisis dengan menggunakan
metode Policy Analysis Matrix (PAM) untuk mengetahui keuntungan, dayasaing
dan dampak kebijakan pemerintah. Kebijakan yang dimiliki bersifat dinamis
sehingga dilakukan analisis lanjutan menggunakan analisis sensitivitas untuk
meramalkan pengaruh kebijakan terhadap dayasaing komoditas bawang merah.
Usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka menguntungkan secara
privat tetapi tidak menguntungkan secara sosial. Besarnya keuntungan yang
diperoleh petani bawang merah bervariasi antar musim. Keuntungan privat
usahatani bawang merah antar musim berkisar antara Rp 19.50 – Rp 40.50 juta per
hektar. Keuntungan privat tertinggi yang dicapai terjadi pada musim hujan.
Berdasarkan perhitungan keuntungan sosial, usahatani bawang merah di Kabupaten
Majalengka mengalami kerugian. Rata-rata kerugian yang diterima petanipun
bervariasi antar musim berkisar antara Rp 16.50 – Rp 33.50 juta per hektar. Hal ini
menunjukkan kebijakan pemerintah terkait dengan usahatani bawang merah yang
diterapkan saat ini dapat memberikan insentif bagi petani bawang merah di
Kabupaten Majalengka. Usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka lebih
menguntungkan dengan adanya kebijakan pemerintah jika dibandingan dengan
tanpa adanya kebijakan pemerintah.
Hasil analisis dayasaing usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka
menunjukkan bahwa usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka hanya
memiliki keunggulan kompetitif tetapi tidak memiliki keunggulan komparatif. Hal
ini ditunjukkan dengan nilai PCR yang lebih kecil dari satu berkisar antara 0.50 –
0.85. Akan tetapi, nilai DRCR yang diperoleh sebaliknya yaitu lebih besar dari satu
berkisar antara 1.50 – 2.50. Hal ini disebabkan oleh masih rendahnya produktivitas
bawang merah dan tingginya biaya produksi usahatani bawang merah di Kabupaten
Majalengka.
Hasil analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap output disimpulkan
mampu memberikan proteksi terhadap bawang merah di Kabupaten Majalengka.
Akan tetapi, kebijakan pemerintah terhadap input belum mampu memberikan
insentif bagi petani bawang merah di Kabupaten Majalengka. Namun, secara
bersamaan kebijakan output dan input usahatani bawang merah di Kabupaten
Majalengka dapat memberikan dukungan terhadap pengembangan bawang merah
di Kabupaten Majalengka dan dapat memberikan insentif bagi petani. Skenario
kebijakan yang dilakukan pada analisis sensitivitas memperlihatkan bahwa
kenaikan harga jual bawang merah dan produksi serta menurunkan biaya produksi
dapat meningkatkan dayasaing komoditas bawang merah di Kabupaten
Majalengka.
Kata kunci: Bawang Merah, Dayasaing, Policy Analysis Matrix
SUMMARY
LOLA RAHMADONA. Analysis of Competitiveness and Government Policy
Effect on Shallot Commodity in the District of Majalengka, West Java. Supervised
by ANNA FARIYANTI and BURHANUDDIN.
Shallot is one of the horticultural commodities which holds an important role
in the Indonesian economy as a source of revenue and foreign exchange for the
country, a provider of jobs for the community and regional development.
Development areas that have the potential to increase shallot production in West
Java of Majalengka. In four of the last period (2011-2014) shallot production in
Majalengka showed an increasing trend. The total of the amount of shallot
production in Majalengka in 2013 reached 23 683 tons and increased in 2014
amounted to 30 299 tons or 27.99 percent. The increase in production is one of them
caused by the addition of harvest area by 17.41 percent with increased productivity
in 2013 of 11.02 becomes 12.01 in the year 2014 amounted to 8.98 percent.
Although, according to the productivity of shallot in Majalengka has good potential
for the development of production but productivity figure is still below the potential
productivity is equal to 20 tons/ha so that the demand for shallot is still largely met
through imports. This is caused by the seasonal production of shallot, stock
management are not going well, constraints in production activity which causes low
productivity and high cost of production. To reduce the import of shallots, the
government has established several policies such as the policy of import reference
prices for shallots. This policy is expected to prevent unappropriate of shallot
imports supply. The Government is also implementing several policies to encourage
the production of Shallots in the country such as fertilizer subsidy policy, loan
interest subsidies and fuel subsidies.
The objectives of this study are to analyze the profitability, competitiveness
and the impact of government policy on commodities shallots in Majalengka as one
of the areas that have potential in the development of the shallot. The data used is
secondary data from the study of Tropical Horticulture Research Center of IPB in
2015. The number of samples used were 37 samples. The data have been analyzed
using the Policy Analysis Matrix (PAM) to determine profitability, competitiveness
and the impact of government policy. Owned policy is dynamic so do advanced
analysis using sensitivity analysis to predict the effect of policy on the
competitiveness of the commodity shallot.
Shallot farming in Majalengka privately profitable but socially unprofitable.
The amount of profit earned shallot farmers varies between seasons. Private profits
shallot farming between seasons ranged between Rp 19.50 - Rp 40.50 million per
hectare. The highest private profits achieved during the rainy season. Based on the
calculation of social benefits, shallot farming in Majalengka loss. The average loss
received by farmers varies between seasons ranged between Rp 16.50 - Rp 33.50
million per hectare. This shows the government's policy related to shallot farming
is applied at this time can provide incentives for shallot farmers in Majalengka.
Shallot farming in Majalengka more favorable government policy when compared
with the absence of government policy.
The results of the analysis of competitiveness of shallot farming in
Majalengka showed that shallot farming in Majalengka only a competitive
advantage but do not have a comparative advantage. This is indicated by the PCR
value that is smaller than a range between 0:50 - 0.85. However, DRCR obtained
otherwise is greater than the range between 1:50 to 2:50. It is caused by low
productivity and high costs shallot farming production in Majalengka.
The results of the analysis of the impact of government policy on the output
summed able to provide protection against the shallot in Majalengka. However, the
government's policy towards the input has not been able to provide incentives for
shallot farmers in Majalengka. However, at the same time input and output policies
shallot farming in Majalengka can provide support to the development of shallot in
Majalengka and provide an incentive for farmers. Policy scenarios conducted on
the sensitivity analysis shows that the increase in selling prices of shallot and
production as well as lower production costs could increase the competitiveness of
commodities shallots in Majalengka.
Keywords: Competitiveness, Policy Analysis Matrix, Shallot Farming
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN
PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BAWANG MERAH
DI KABUPATEN MAJALENGKA, JAWA BARAT
LOLA RAHMADONA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Pada
Program Studi Magister Sains Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Suharno, M. Adev
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2015 ini adalah dayasaing,
dengan judul Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap
Komoditas Bawang Merah di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
Penulis ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
proses penyelesaian thesis ini, diantaranya:
1. Ibu Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si sebagai ketua komisi pembimbing dan
kepada bapak Dr Ir Burhanuddin, MM sebagai anggota komisi pembimbing
yang telah memberikan arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS sebagai ketua program studi Agribisnis
sekaligus sebagai penguji wakil pascasarjana Mayor Agribisnis dan kepada
bapak Dr. Ir. Suharno, M. Adev sebagai penguji luar komisi yang telah
memberikan masukan dan arahan saat ujian tesis.
3. Seluruh staf pengajar dan akademik yang telah memberikan bimbingan
selama penulis kuliah di Mayor Agribisnis.
4. Penghargaan penulis sampaikan kepada Pusat Kajian Hortikultura Tropika
IPB yang telah memfasilitasi dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini
5. Ayahanda dan Ibunda tercinta Bapak Ridwan dan Ibu Huriati yang telah sabar
mendidik dan membesarkan penulis hingga saat ini serta kepada Alm. Abang
dan Adik-Adik tersayang yang telah memberikan dukungan dan semangat
yang sangat berarti bagi penulis.
6. Rekan-rekan di pascasarjana Mayor Agribisnis Angkatan V, Sahabat
seperjuangan “Birds” dan terkhusus orang yang sangat spesial Arry Aulia
Putra yang selama ini telah memberikan dukungan yang tulus, menemani dan
berjuang bersama penulis.
7. Seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang turut
membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Semoga karya ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2016
Lola Rahmadona
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR LAMPIRAN
iv
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
4
6
6
6
2 TINJAUAN PUSTAKA
Analisis Usahatani Bawang Merah
Analsis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah dengan Metode
Policy Analysis Matrix (PAM)
Pengukuran Dayasaing
7
7
9
10
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional
12
12
24
4 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis Data
27
27
27
27
5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Karakteristik Petani Responden
Keragaan Usahatani Bawang Merah di Lokasi Penelitian
Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Bawang Merah di Lokasi
Penelitian
35
35
36
39
6 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keuntungan Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Majalengka
Keunggulam Komparatif dan Kompetitif Usahatani Bawang Merah di
Kabupaten Majalengka
Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Dayasaing Bawang Merah di
Kabupaten Majalengka
Analisis Sensitivitas Dayasaing Usahatani Bawang Merah di Kabupaten
Majalengka
45
45
42
49
54
60
7 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
68
68
69
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
70
75
85
DAFTAR TABEL
1 Luas penen, produksi dan produktivitas bawang merah di Indonesia
tahun 2010-2014
2 Perkembangan ekspor-impor bawang merah tahun 2010-2014
3 Tipe alternatif kebijakan pemerintah
4 Policy Analysis Matrix (PAM)
5 Tabulasi matrix analisis kebijakan
6 Sebaran petani responden Kabupabaten Majalengka berdasarkan umur
pada tahun 2015
7 Sebaran petani responden Kabupaten Majalengka berdasarkan lama
pendidikan pada tahun 2015
8 Sebaran petani responden Kabupaten Majalengka berdasarkan lama
pengalaman berusahatani pada tahun 2015
9 Sebaran petani responden Kabupaten Majalengka berdasarkan jumlah
tanggungan keluarga pada tahun 2015
10 Sebaran petani responden Kabupaten Majalengka berdasarkan luas lahan
yang diusahakan untuk bawang merah pada tahun 2015
11 Sebaran petani responden Kabupaten Majalengka berdasarkan status
kepemilikkan lahan pada tahun 2015
12 Pupuk subsidi dengan penerapan harga eceran tertinggi (HET)
13 Perhitungan harga bayangan output
14 Keuntungan privat dan keuntungan sosial usahatani bawang merah di
Kabupaten Majalengka pada musim tanam tahun 2014-2015
15 Keuntungan privat dan keuntungan sosial usahatani bawang merah di
Kabupaten Majalengka per musim tanam tahun 2014-2015
16 Proporsi biaya pengeluaran usahatani bawang merah di Kabupaten
Majalengka per musim tanam tahun 2014-2015 (Rp 000)
17 Keunggulan kompetitif dan komparatif usahatani bawang merah di
Kabupaten majalengka per musim tanam tahun 2014-2015
18 Indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap output usahatani
bawang merah di Kabupaten Majalengka
19 Indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap input usahatani
bawang merah di Kabupaten Majalengka pada tahun 2014-2015
20 Indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap input dan output
usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka tahun 2014-2015
2
3
15
23
28
36
37
37
38
38
38
44
46
46
47
48
49
55
57
58
21 Dampak keuntungan privat dan keuntungan sosial komoditas bawang
merah di Kabupaten Majalengka per musim tanam akibat peningkatan
harga bawang merah
22 Dampak perubahan harga bawang merah terhadap keunggulan
komparatif dan kompetitif usahatani bawang merah di Kabupaten
Majalengka per musim tanam
23 Dampak keuntungan privat dan keuntungan sosial komoditas bawang
merah di Kabupaten Majalengka per musim tanam akibat penurunan
produksi bawang merah
24 Dampak penurunan produksi terhadap keunggulan komparatif dan
kompetitif usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka per musim
tanam
25 Dampak keuntungan privat dan keuntungan sosial komoditas bawang
merah di Kabupaten Majalengka per musim tanam akibat penurunan
penggunaan tenaga kerja
26 Dampak penurunan penggunaan tenaga kerja terhadap keunggulan
komparatif dan kompetitif usahatani bawang merah di Kabupaten
Majalengka per musim tanam
27 Dampak keuntungan privat dan keuntungan sosial komoditas bawang
merah di Kabupaten Majalengka per musim tanam akibat penurunan
penggunaan tenaga kerja
28 Dampak penurunan penggunaan tenaga kerja terhadap keunggulan
komparatif dan kompetitif usahatani bawang merah di Kabupaten
Majalengka per musim tanam
29 Dampak keuntungan privat dan keuntungan sosial komoditas bawang
merah di Kabupaten Majalengka per musim tanam akibat penurunan
biaya produksi
30 Dampak penurunan biaya produksi terhadap keunggulan komparatif dan
kompetitif usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka per musim
tanam
31 Dampak keuntungan privat dan keuntungan sosial komoditas bawang
merah di Kabupaten Majalengka per musim tanam akibat kombinasi
peningkatan harga bawang merah dan produksi bawang merah dengan
penurunan biaya produksi
32 Dampak peningkatan harga jual bawang merah dan produksi bawang
merah dengan penurunan produksi terhadap keunggulan komparatif dan
kompetitif usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka per musim
tanam
33 Tingkat kepekaan perubahan kebijakan pemerintah naik satu persen
terhadap dayasaing bawang merah di Kabupaten Majalengka
60
61
61
62
63
63
64
65
65
66
66
67
68
DAFTAR GAMBAR
1 Perkembangan konsumsi bawang merah per kapita penduduk di
Indonesia tahun 2010-2014
2 Dampak subsidi positif bagi produsen dan konsumen barang impor
3 Dampak subsidi positif bagi produsen dan konsumen barang ekspor
2
17
18
4
5
6
7
Hambatan perdagangan pada barang ekspor dan impor
Pajak dan subsidi pada input tradable
Pajak dan subsidi pada input non tradable
Kerangka pemikiran operasional analisis dayasaing dan dampak
kebijakan pemerintah terhadap komoditas bawang merah di Kapubaten
Majalengka Jawa Barat
19
20
21
26
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Luas panen, produksi dan produktivitas bawang merah di wilayah
sentra Jawa Barat tahun 2011-2014
Alokasi komponen biaya produksi ke dalam komponen domestik dan
asing pada usahatani bawang merah
Perkembangan harga rata-rata bawang merah nasional tahun 20102014
Perhitungan standar convertion factor dan shadow price exchange rate
tahun 2015
Perkembangan produksi bawang merah di Indonesia tahun 2010-2014
Komponen biaya transportasi pada perhitungan harga bayangan output
bawang merah tahun 2014-2015
Biaya pengeluaran usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka
per musim tanam tahun 2014-2015
Analisis budget privat dan sosial usahatani bawang merah di
Kabupaten Majalengka pada musim hujan tahun 2014-2015
Analisis budget privat dan sosial usahatani bawang merah di
Kabupaten Majalengka pada musim kemarau I tahun 2014-2015
Analisis budget privat dan sosial usahatani bawang merah di
Kabupaten Majalengka pada musim kemarau II tahun 2014-2015
76
77
78
79
79
80
81
82
83
84
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor pertanian
sebagai mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Dengan demikian, sebagian
besar penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Sebagian
besar penggunaan lahan di wilayah Indonesia digunakan sebagai lahan pertanian.
Sektor pertanian merupakan sektor utama dalam pembangunan Indonesia.
Sektor pertanian Indonesia terdiri dari tiga subsektor yaitu subsektor tanaman
perkebunan, tanaman pangan dan tanaman hortikultura. Hortikultura sebagai salah
satu subsektor pertanian terdiri dari berbagai jenis tanaman, yaitu tanaman buahbuahan, tanaman sayuran, tanaman biofarma, dan tanaman hias. Peran dari tanaman
hortikultura sangat besar dalam menunjang usaha pemerintah untuk meningkatkan
pendapatan petani, meningkatkan kesempatan kerja, dan mengurangi impor. Salah
satu komoditas hortikultura yang banyak dikembangkan di Indonesia dan memiliki
peranan penting bagi perekonomian Indonesia adalah bawang merah. Bawang
merah merupakan salah satu komoditas hortikultura unggulan nasional, sehingga
mendapat prioritas pengembangan dari APBN (Kementerian Pertanian 2015).
Bawang Merah merupakan salah satu komoditas strategis di Indonesia,
karena perubahan terhadap harga dari bawang merah dapat mempengaruhi inflasi.
Salah satu penyebab inflasi yang tinggi dikarenakan adanya kenaikan harga bawang
merah. Menurut data inflasi dari BPS pada tahun 2010-2014 inflasi tertinggi terjadi
pada tahun 2013 yaitu terjadi pada bulan Juli. Bawang merah menyumbang sebesar
0.48 persen terhadap inflasi pada bulan Juli 2013 (BPS 2014). Selain itu, komoditas
bawang merah ini juga merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang
memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah
(Balitbang Pertanian 2005).
Bawang merah di Indonesia memiliki potensi produksi cukup tinggi yang
ditunjukan dengan produksi bawang merah yang cenderung meningkat dari tahun
2010 sampai 2014, dengan rata-rata peningkatan produksi bawang merah di
Indonesia sebesar 4.86 persen per tahunnya. Dalam periode lima tahun terakhir,
produksi bawang merah pada tahun 2010 sebesar 1 048 934 ton, kemudian pada
tahun 2011 mengalami penurunan produksi bawang merah menjadi 893 124 ton
atau sebesar 14.85 persen. Akan tetapi untuk tahun berikutnya produksi bawang
merah setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pada tahun 2011 sampai 2014
produksi bawang merah kembali meningkat dengan persentase peningkatan sebesar
38.16 persen. Peningkatan produksi nasional ini salah satunya disebabkan oleh
penambahan luas areal panen sebesar 28.86 persen dari tahun 2011 sampai 2014.
Produksi bawang merah tahun 2014 sebesar 1 233 984 ton, dengan luas areal
sebesar 120 704 hektar. Dibandingkan tahun 2013, produksi bawang merah
mengalami peningkatan sebesar 223 211 ton atau sebesar 21.47 persen dan
peningkatan disebabkan bertambahnya luas panen seluas 21 767 hektar atau sebesar
21.25 persen. Sedangkan produktivitas bawang merah meningkat dari 10.22 ton/ha
pada tahun 2013 menjadi 10.23 ton/ha pada tahun 2014. Tabel 1 memperlihatkan
perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas bawang merah di Indonesia
tahun 2010-2014.
2
Tabel 1 Luas penen, produksi dan produktivitas bawang merah di Indonesia tahun
2010-2014
Indikator
Tahun
Luas Panen
(Ha)
Produksi
(Ton)
Produktivitas
(Ton/ Ha)
2010
109 634
1 048 934
9.57
2011
93 667
893 124
9.54
2012
99 519
964 221
9.69
2013
98 937
1 010 773
10.22
2014
120 704
1 233 984
10.23
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015
Berdasarkan jumlah produksi bawang merah dari tahun 2010 sampai 2014,
sebenarnya kebutuhan bawang merah di Indonesia sudah mencukupi untuk
konsumsi masyarakat dalam negeri. Sebagai contoh, konsumsi bawang merah di
Indonesia pada tahun 2014 sebesar 2.49 kg/tahun, dengan jumlah penduduk
Indonesia pada tahun tersebut sebesar 252 124 458 jiwa (BPS 2015). Maka jumlah
konsumsi bawang merah di Indonesia sebesar 627 790 ton, artinya terjadi kelebihan
produksi sebesar 606 194 ton atau sebesar 49.12 persen. Namun, pada tahun 2014
Indonesia masih mengimpor bawang merah. Gambar 1 menunjukan perkembangan
konsumsi bawang merah per kapita penduduk di Indonesia dari tahun 2010-2014.
3,00
2,76
KG/ KAPITA
2,50
2,53
2,49
2,36
2,06
2,00
1,50
1,00
0,50
0,00
2010
2011
2012
2013
2014
TAHUN
Gambar 1
Perkembangan konsumsi bawang merah per kapita penduduk di
Indonesia tahun 2010-2014
Sumber : Pusdatin, 2015
Indonesia memiliki potensi di dalam memproduksi bawang merah, bahkan
bisa terjadinya kelebihan produksi. Akan tetapi, permintaan bawang merah dalam
negeri masih dipenuhi dari impor. Hal ini dikarenakan produksi bawang merah di
Indonesia masih bersifat musiman (in season) seperti hasil pertanian pada
umumnya, sehingga jumlah permintaan bawang merah pada musim-musim tertentu
lebih tinggi dibandingkan jumlah ketersediaannya. Oleh sebab itu, kebutuhan
3
bawang merah masyarakat Indonesia di luar musim (off season) tidak dapat
dipenuhi sehingga untuk memenuhinya perlu dilakukan tindakan impor. Tindakan
impor bawang merah ini menjadikan Indonesia sebagai net importer bawang merah.
Perkembangan Ekspor-Impor Bawang Merah Tahun 2010-2014 dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2 Perkembangan ekspor-impor bawang merah tahun 2010-2014
Ekspor
Tahun
Volume
(Ton)
Impor
Nilai
(000US$)
Volume
(Ton)
Neraca
Nilai
(000US$)
Volume
(Ton)
Nilai
(000US$)
2010
3 234
1 814
73 270
33 862
-70 036
-32 048
2011
13 792
6 594
160 467
77 444
-146 675
-70 850
2012
18 754
8 552
120 354
53 615
-101 600
-45 063
2013
4 982
2 986
96 139
54 009
-91 157
-51 023
2014
4 439
2 978
74 903
28 309
-70 464
-25 331
Sumber : Kementan, 2015
Dilihat dari sisi ekspor dan impor, perkembangan ekspor dan impor bawang
merah di Indonesia setiap tahunnya berfluktuasi. Namun, volume ekspor untuk
komoditas bawang merah dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 jauh lebih
kecil dari volume impornya yang ditunjukkan dengan volume neraca yang bernilai
negatif, artinya pasar bawang merah di Indonesia masih dipenuhi oleh bawang
merah impor. Kondisi seperti ini memberikan peluang terhadap usahatani bawang
merah di Indonesia untuk melakukan pengembangan produksi di luar musim.
Ketergantungan terhadap bawang merah impor di Indonesia juga disebabkan
oleh harga bawang merah yang jauh lebih murah dibandingkan dengan harga
bawang merah di pasar dalam negeri. Harga bawang merah impor yang diperoleh
dari harga cif (HS 0703102900) sebesar Rp 5 139/kg. Sementara itu, harga bawang
merah di dalam negeri jauh lebih tinggi dengan harga eceran bulanan bawang merah
pada tahun 2013-2014 rata-rata sebesar Rp 28 487/kg (Kemendag 2015). Perbedaan
harga yang sangat jauh ini menyebabkan dayasaing bawang merah dalam negeri
lemah.
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam memproduksi bawang
merah. Pusat penghasil bawang merah di Indonesia tersebar di 10 provinsi dengan
luas areal panen lebih dari 1 000 Ha per tahun. 10 provinsi tersebut diantaranya
Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, D. I Yogyakarta,
Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Bali dan Nusa Tenggara Timur.
Provinsi-provinsi ini menyumbang 87.16 persen dari produksi total bawang merah
di Indonesia pada tahun 2014. Sebesar 78.46 persen disumbang oleh provinsiprovinsi yang ada di Pulau Jawa (Kementerian Pertanian 2015). Di antara provinsi
yang ada di pulau Jawa, Jawa Tengah merupakan provinsi penghasil bawang merah
terbesar dengan sumbangan produksi sebesar 42.8 persen terhadap jumlah produksi
bawang merah di Indonesia. Jawa Timur menempati urutan kedua dalam
sumbangan produksi bawang merah di Indonesia sebesar 22.4 persen dan urutan
ketiga ditempati oleh provinsi Jawa Barat dengan kontribusi sebesar 13.26 terhadap
produksi bawang merah di Indonesia (BPS 2015). Produksi bawang merah di Jawa
4
Barat lebih kecil bila dibandingkan dengan provinsi lainnya, artinya provinsi Jawa
Barat mempunyai peluang untuk dilakukannya pengembangan produksi.
Di Jawa Barat produksi bawang merah pada tahun 2014 sebesar 95.54 persen
dihasilkan di empat wilayah sentra yaitu Kabupaten Cirebon 43 339 ton, Kabupaten
Bandung sebesar 32 689 ton, Kapubaten Majalengka 30 229 ton dan Kabupaten
Garut 17 952 ton. Sisanya sebesar 4.46 persen tersebar di 23 kabupaten atau kota
lainnya (BPS Jawa Barat 2015). Di antara keempat Kabupaten Sentra ini,
Kabupaten Majalengka merupakan salah satu daerah yang berpotensi untuk
pengembangan produksi bawang merah di Jawa Barat. Pada empat kurun waktu
terakhir (2011-2014) produksi bawang merah di Kabupaten Majalengka
memperlihatkan trend yang meningkat. Total dari jumlah produksi bawang merah
di Kabupaten Majalengka pada tahun 2013 mencapai 23 683 ton dan mengalami
peningkatan pada tahun 2014 sebesar 30 299 ton atau sebesar 27.99 persen lebih
tinggi dibandingkan ketiga Kabupaten Sentra lainnya. Peningkatan produksi ini
salah satunya disebabkan oleh penambahan luas areal panen sebesar 17.41 persen
dengan peningkatan produktivitas pada tahun 2013 dari 11.02 menjadi 12.01 pada
tahun 2014 atau sebesar 8.98 persen (Ditan Jawa Barat 2015).
Pada tahun 2014 produktivitas bawang merah di Kabupaten Majalengka
mencapai 12.01 ton/ha, lebih tinggi dari produktivitas nasional yaitu sebesar 10.23
ton/ha, artinya pegalokasian sumberdaya yang efisien oleh petani bawang merah di
Kabupaten Majalengka diharapkan dapat meningkatkan jumlah produksi bawang
merah sebagai produk substitusi impor. Namun, meskipun menurut produktivitas
bawang merah di Kabupaten Majalengka memiliki potensi yang cukup baik untuk
pengembangan produksi namun angka produktivitas tersebut masih dibawah
produktivitas potensial yaitu sebesar 20 ton/ha. Oleh karena itu, penting untuk
dilakukannya penelitian mengenai dayasaing usahatani bawang merah di
Kabupaten Majalengka.
Perumusan Masalah
Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang sejak
lama telah diusahakan oleh petani di Kabupaten Majalengka. Hal ini tidak terlepas
dari status bawang merah sebagai salah satu komoditas hortikultura yang termasuk
dalam kategori komoditas bernilai tinggi (high value comodity), sehingga banyak
petani yang mengusahakannya. Akan tetapi, masih adanya permasalahan yang saat
ini dihadapi oleh petani bawang merah di Kabupaten Majalengka. Permasalahan
yang dihadapi petani bawang merah adalah produksi bawang merah yang bersifat
musiman, tingginya biaya produksi, dan fluktuasi harga bawang merah.
Ketersediaan bawang merah yang tidak merata di pasaran disebabkan oleh
produksi bawang merah yang bersifat musiman. Di Kabupaten Majalengka pada
umumnya musim tanam bawang merah (in season) dilakukan di musim kemarau
pada bulan Februari sampai dengan bulan September (Apriani 2011; Rachman et al
2004). Sedangkan petani jarang sekali melakukan penanaman bawang merah pada
musim hujan yaitu pada bulan Oktober-Januari. Menurut Rachman et al (2004),
petani bawang merah di Kabupaten Majalengka tidak melakukan penanaman pada
musim hujan dikarenakan pengaruh curah hujan yang tinggi akan menyebabkan
terjadinya kerusakan fisik pada daun bawang merah dan busuk umbi. Hal ini akan
5
memberikan dampak terhadap kehilangan hasil panen pada musim hujan. Produksi
rata-rata musim hujan sebesar 8.2 ton /ha lebih rendah dari pada musim kemarau
sebesar 14.2 ton/ha (Rachman et al 2004). Oleh sebab itu, penanaman bawang
merah lebih banyak dilakukan pada musim kemarau. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya perbedaan keuntungan usahatani dan dayasaing bawang merah di setiap
musim (Maryowani dan Darwis 2010).
Kendala selanjutnya yang dihadapi petani adalah produksi bawang merah di
Kabupaten Majalengka juga dihadapkan pada usahatani berbiaya tinggi. Usahatani
bawang merah membutuhkan biaya per satuan luas lahan yang lebih tinggi
khususnya untuk upah tenaga kerja dan sarana produksi. Menurut Rachman et al
(2004) di Kabupaten Majalengka pengeluaran biaya untuk sarana produksi
menempati urutan pertama dengan proporsi biaya berkisar antara 21.60-34.50
persen dibandingkan biaya untuk penggunaan tenaga kerja sebesar 16.3-32.9 persen
terhadap total penerimaan. Tingginya biaya sarana produksi, terutama disebabkan
oleh tingginya harga bibit (Apriani 2011).
Permasalahan yang menjadi bagian dari kompleksitas usahatani bawang
merah adalah harga jual bawang merah yang sangat berfluktuasi, bahkan harga akan
turun pada saat panen raya dan masuknya bawang merah impor. Fluktuasi harga
bawang merah tergantung dengan kondisi pasar yaitu terhadap jumlah permintaan
dan penawaran bawang merah. Harga eceran bawang merah rata-rata pada tahun
2014 sebesar Rp 10 157/kg (Ditan Jawa Barat 2015). Sementara itu, harga rata-rata
bawang merah impor jauh lebih rendah sebesar Rp 4 423/kg yang diperoleh dari
harga cif bawang merah (HS0703102900). Perbedaan harga yang cukup tinggi ini
akan memberikan pengaruh terhadap lemahnya dayasaing bawang merah di
Kabupaten Majalengka.
Bawang merah adalah salah satu komoditas pertanian penting pengendali
inflasi yang tidak terlepas dari adanya campur tangan pemerintah. Kebijakan
pemerintah erat kaitannya dengan output dan input pengusahaan komoditas bawang
merah. Kebijakan pemerintah yang memproteksi komoditas bawang merah
khususnya untuk mencegah tingginya fluktuasi harga jual adalah kebijakan
pemerintah berupa harga referensi bawang merah sebesar Rp 25 700 per kg. Hal ini
berdasarkan Permentan No 86/2013, Permendag 47/2013 dan SK Dirjen
Perdagangan Dalam Negeri No 118/PDN/2013. Dengan dikeluarkannya kebijakan
tersebut diharapkan dapat meregulasi harga bawang merah dan mencegah
pemasokan bawang merah impor yang tidak tepat. Kebijakan terkait pengaturan
impor hortikultura termasuk di dalamnya adalah bawang merah diatur melalui
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 71/M-DAG/PER/9/2015
dan penetapan tarif bea masuk untuk bawang merah impor sebesar 20 persen
melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 241/PMK.001/2010.
Kebijakan terkait input yaitu upaya pemerintah di dalam membantu petani
bawang merah untuk mengurangi biaya produksi dan meningkatkan dayasaing
bawang merah adalah kebijakan subsidi pupuk. Pemerintah menetapkan kebijakan
Harga Eceran Tertinggi (HET) pada pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian tahun
anggaran 2015 yang dikeluarkan dalam Peraturan Menteri Pertanian Republik
Indonesia Nomor 130/Pementan/SR.130/11/2014. Penetapan kebijakan ini akan
mempengaruhi biaya yang akan dikeluarkan pada setiap usahatani bawang merah
agar dapat meningkatkan produksi dan produktivitas.
6
Kebijakan pemerintah yang ada akan mempengaruhi dayasaing komoditas
bawang merah di Kabupaten Majalengka dan kebijakan tersebut akan berpengaruh
terhadap output-input pengusahaan komoditas bawang merah di Kabupaten
Majalengka. Oleh sebab itu, diperlukan analisis mengenai dayasaing dan dampak
kebijakan pemerintah terhadap komoditas bawang merah di Kabupaten
Majalengka. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat
dirumuskan pertanyaan yang mendasari penelitian ini yaitu:
(1) Apakah komoditas bawang merah di Kabupaten Majalengka pada musim hujan
dan musim kemarau menguntungkan secara privat dan sosial?
(2) Bagaimana dayasaing komoditas bawang merah di Kabuapten Majalengka
pada musim hujan dan musim kemarau?
(3) Bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing komoditas
bawang merah di Kabupaten Majalengka pada musim hujan dan musim
kemarau?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka dapat
disusun tujuan penelitian sebagai berikut:
(1) Menganalisis keuntungan privat dan keuntungan sosial usahatani bawang
merah di Kabupaten Majalengka pada musim hujan dan musim kemarau
(2) Menganalisis dayasaing bawang merah di Kabupaten Majalengka pada musim
hujan dan musim kemarau
(3) Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing bawang merah
di Kabupaten Majalengka pada musim hujan dan musim kemarau
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:
(1) Peneliti sebagai sarana pembelajaran dan penerapan ilmu.
(2) Pelaku agribisnis sebagai informasi dan gambaran mengenai usahatani dan
dayasaing komoditas bawang merah dalam pengambilan keputusan untuk
melakukan usaha.
(3) Pemerintah sebagai informasi, masukan dan bahan pertimbangan dalam
menentukan kebijakan pengembangan usahatani bawang merah.
(4) Peneliti lain sebagai bahan informasi untuk penelitian lanjutan.
Ruang Lingkup Penelitian
Analisis dayasaing dilakukan untuk mengetahui dayasaing bawang merah
yang diproduksi di Kabupaten Majalengkat sebagai produk substitusi impor. Hal
ini didasari oleh status Indonesia sebagai net importer bawang merah. Penelitian ini
dibatasi pada penggunaan metode analisis Policy Analysis Matrix (PAM) saja
dalam pengukuran dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap
komoditas bawang merah.
7
2 TINJAUAN PUSTAKA
Analisis Usahatani Bawang Merah
Penelitian-penelitian mengenai usahatani bawang merah ini telah banyak
dilakukan, dan rata-rata menunjukkan bahwa usahatani bawang merah ini layak dan
menguntungkan. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan Revenue-Cost (R/C-rasio)
yang lebih dari satu usahatani yang dilakukan memberikan keuntungan. Hal
tersebut menunjukan bahwa ada insentif yang diterima petani atas faktor-faktor
produksi yang telah digunakan untuk usahatani bawang merah. Terdapat beberapa
indikator keberhasilan suatu usahatani, salah satunya pendapatan. Pendapatan
usahatani adalah keuntungan yang diperoleh petani setelah mengurangkan biaya
yang diperoleh selama proses produksi dengan penerimaan usahatani. Pendapatan
usahatani bawang merah disetiap daerah berbeda-beda. Rachman et al (2004)
menganalisis bahwa usahatani bawang merah di Kabupaten Indramayu dan
Majalengka memiliki nilai pendapatan berkisar antara Rp 3 600 000-Rp 13 600 000
per hektar per musim tanam.
Pendapatan usahatani bawang merah juga bervariasi antar musim. Menurut
Rachman et al (2004) menyatakan bahwa keuntungan usahatani bawang merah di
Indramayu dan Majalengka tertinggi dicapai pada musim kemarau II. Hal ini
disebabkan oleh total biaya yang dikeluarkan pada musim kemarau II lebih kecil
daripada musim lainnya. Selain itu produktivitas yang dihasilkan dan harga jual
yang diterima petani bawang merah pada musim kemarau II lebih besar bila
dibandingkan dengan musim lainnya. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Aldila
(2016), petani bawang merah di Kabupaten Cirebon mencapai keuntungan tertinggi
pada musim kemarau II yang mana pada musim ini produktivitas bawang merah
yang diperoleh relatif lebih tinggi yaitu mencapai 14.1 ton/ha dan harga jual yang
relatif mahal yaitu Rp 9 440/kg. Berbeda dengan yang terjadi di Kabupaten Brebes
dan Tegal. Pencapaian keuntungan tertinggi diperoleh pada saat musim hujan. Hal
ini dikarenakan pada musim hujan harga jual bawang merah lebih tinggi daripada
musim kemarau yaitu berkisar antara Rp 10 222/kg – Rp 13 071/kg.
Salah satu faktor input yang dapat menentukan keberhasilan usahatani
bawang merah adalah penggunaan benih (Iriani 2013). Menurut Apriani (2011),
sumber benih yang ditanam oleh sebagian besar petani bawang merah berasal dari
benih yang dihasilkan sendiri atau berasal dari pasar yaitu pembelian dari pedagang
benih. Sedangkan untuk benih non lokal yang diperoleh petani berasal dari
pembelian di toko saprodi (Purmiyati 2002). Petani bawang merah menggunakan
benih varietas lokal dan non lokal. Purmiyati (2002) melakukan penelitian dengan
membedakan penggunaan varietas benih bawang merah dalam usahatani, yaitu
menggunakan benih varietas non lokal dan lokal. Perbedaan penggunaan benih ini
ternyata dapat memepengaruhi keuntungan yang diperoleh oleh petani bawang
merah. Hasil analisis yang didapatkan bahwa penggunaan benih varietas non lokal
lebih menguntungkan, dengan tingkat keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 5 703
224 per ha bila dibandingkan dengan penggunaan benih varietas lokal hanya
sebesar Rp 556 736 per ha. Kesenjangan keuntungan yang sangat jauh ini
disebabkan oleh produktivitas dan harga jual bawang merah benih varietas non
lokal lebih tinggi daripada menggunakan benih varietas lokal. Sama halnya dengan
penelitian yang dilakukan oleh Apriani (2011), dengan membedakan penggunaan
8
dua varietas benih yaitu varietas Sumenep dan Balikaret. Pendapatan atas biaya
tunai pada usahatani bawang merah varietas Sumenep memberikan keuntungan
sebesar Rp 97 444 388.98 dan varietas Balikaret sebesar Rp 88 693 918.89.
Pendapatan atas biaya total masing-masing usahatani yaitu Rp 81 554 749.62 untuk
varietas Sumenep dan Rp 76 892 539.82 untuk varietas Balikaret. Pendapatan atas
biaya tunai maupun atas biaya total pada setiap usahatani menunjukan bahwa
usahatani yang dilakukan di lokasi penelitian menguntungkan untuk diusahakan.
Hal tersebut dilihat dari nilai pendapatan atas biaya tunai maupun biaya total yang
lebih besar dari nol. Nilai R/C rasio atas biaya tunai pada masing-masing usahatani
nilainya lebih dari satu. Nilai R/C rasio berturut-turut adalah usahatani bawang
merah varietas Sumenep 3.40 dan varietas Balikaret 2.41. Sementara itu, nilai R/C
rasio atas biaya total berturut-turut adalah 2.44 dan 2.03. Berdasarkan nilai R/C
rasio atas biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total, maka usahatani bawang merah
menguntungkan untuk diusahakan karena nilai R/C rasio lebih besar dari satu.
Keberhasilan didalam usahatani bawang merah sangat ditentukan oleh upaya
pemeliharaan tanaman yang dilakukan oleh petani, karena tanaman bawang merah
perlu perhatian yang khusus didalam membudidayakannya seperti membutuhkan
ketersediaan air yang cukup, rentan terhadap serangan hama dan penyakit dan
rentan terhadap perubahan iklim dan cuaca. Sehingga bawang merah membutuhkan
tenaga kerja yang cukup intensif untuk melakukan beberapa aktivitas budidaya
sampai dengan panen atau pascapanen (Mayrowani dan Darwis 2010). Penelitian
yang dilakukan Mayrowani dan Darwis (2010) menunjukkan proporsi pengeluaran
tertinggi untuk tenaga kerja mencapai 40.94 – 51.48 persen. Sementara untuk
perolehan keuntungan usahatani bawang merah di Brebes bisa mencapai Rp 6 830
000 – Rp 21 200 000 per ha per musim tanam. Sedangkan penelitian yang dilakukan
oleh Nurasa dan Darwis (2007) menjelaskan perbedaan keuntungan yang diperoleh
oleh petani disebabkan oleh tingginya pengeluaran biaya produksi yang dikeluarkan
yang mencapai nilai 90 persen dari total pendapatan. Biaya produksi tertinggi
dikeluarkan untuk upah tenaga kerja yang mencapai 51,48 persen, kemudian benih
24,81 persen, pestisida 9,73 persen, pupuk 8,74 persen dan benih lainnya 5,22
persen. Hal ini memberikan dampak terhadap tingkat keuntungan usahatani. Hasil
analisis usahatani bawang merah oleh Nurasa dan Darwis (2007) di Kabupaten
Brebes menunjukkan bahwa produksi yang dihasilkan cukup tinggi mencapai 11.1
ton per hektarnya dengan keuntungan yang diperoleh untuk dua kali musim tanam
dalam setahun sebesar Rp 6 831 000 dengan R/C-rasio sebesar 1.1. Jadi dapat
dikatakan bahwa berusahatani bawang merah memberikan keuntungan meskipun
tingkat keuntungan yang diperoleh petani masih kecil. Perbedaan ini disebabkan
adanya variasi dari produktivitas, harga jual produk dan biaya usahatani bawang
merah yang dikeluarkan pada masing-masing daerah.
Analisis Usahatani bawang merah yang dilakukan oleh Latarang dan Syakur
(2006) membedakan kelompok luas lahan yang digunakan petani yaitu kelompok
usahatani lahan sempit, sedang dan luas. Berdasarkan hasil analisis diperoleh
pendapatan per hektar atas biaya total tertinggi terjadi pada kelompok usahatani
lahan sedang sebesar Rp 25 880 100, kemudian pada urutan kedua adalah kelompok
usahatani lahan luas sebesar Rp 25 613 730 dan pada urutan ketiga adalah pada
kelompok usahatani lahan sempit Rp 19 282 210. Jika dilihat dari R/C rasio bahwa
R/C rasio atas biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total pada kelompok usahatani
lahan sedang adalah 4.04 dan 1.97 lebih besar dibandingkan pada kelompok
9
usahatani lahan sempit adalah 3.47 dan 1.65 dan lahan luas senilai 3.09 dan 1.88.
Hal ini memberikan penjelasan bahwa usahatani bawang merah tersebut dapat
memberikan keuntungan.
Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah dengan Metode
Policy Analysis Matrix (PAM)
Metode Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan metode yang
menggunakan tiga analisis ukuran yakni keuntungan privat dan sosial, analisis
dayasaing berupa keungulan komparatif dan kompetitif, dan analisis dampak
kebijakan pemerintah terhadap komoditas. Penelitian mengenai dayasaing
bukanlah yang pertama kali, banyak peneliti terdahulu yang telah menggunakan
metode PAM ini. Metode PAM membantu mengambil kebijakan baik di pusat
maupun di daerah untuk menelaah tiga isu umum kebijakan pertanian (pearson et
al. 2005). Isu pertama berkaitan dengan sebuah sistem usahatani yang memiliki
dayasaing pada tingkat harga aktual, isu kedua adalah dampak investsi publik
seperti infrastruktur baru dalam sistem usahatani dan isu ketiga berkaitan dengan
dampak investasi baru dalam berbagai bentuk, baik dari segi riset maupun teknologi
pertanian (Pearson 2005; Zimmer 2010). Ketiga isu ini pada dasarnya bertujuan
untuk memberikan informasi dan analisis dalam membantu pengambilan kebijakan
pertanian.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rachman et al (2004) mengenai
pengukuran dayasaing bawang merah di Indramayu dan Majalengka dengan
menggunakan metode PAM. Analisis Dayasaing bawang merah di Majalengka
membedakan dua musim tanam yaitu Musim Kemarau I (MK I) dan Musim
Kemarau II (MK II) dengan perolehan nilai DRCR pada MK I sebesar 0.71 dan MK
II sebesar 0,54. Sedangkan pada Kabupaten Indramayu dibedakan atas tiga musim
yaitu Musim Hujan (MH), Musim Kemarau I (MK I) dan Musim Kemarau II (MK
II) dengan nilai DRCR untuk ketiga musim tersebut berkisar antara 0.55-0.72. Dari
hasil analisis diketahui bahwa usahatani bawang merah di Indramayu di ketiga
musim dan Majalengka di kedua musim memiliki keunggulan komparatif sehingga
memiliki peluang untuk dikembangkan. Apabila dilihat dari nilai PCR di kedua
Kabupaten maka musim kemarau II (MK II) memiliki keunggulan kompetitif yang
lebih baik dibandingkan dengan musim lainnya. Hasil yang sama dengan penelitian
yang dilakukan oleh Saptana (2003) terhadap komoditas kentang dan kubis di
Wonosobo menunjukkan bahwa usahatani komoditas kentang dan kubis dilokasi
tersebut mempunyai keunggulan baik secara kompetitif maupun secara komparatif,
dibuktikan dengan nilai DRCR dan PCR yang lebih besar dari satu. Hasil analisis
untuk komoditas kentang di Kabupaten Wonosobo diperoleh nilai koefisian DRCR
antara 0,239-0,306. Sementara itu untuk komoditas kubis di Wonosobo diperoleh
nilai koefisien DRCR antara 0,660-0,662. Hasil analisis untuk komoditas kentang
di Kabupaten Wonosobo diperoleh nilai koefisian PCR antara 0,413-0,468.
Sementara itu untuk komoditas kubis di Wonosobo diperoleh nilai koefisien PCR
antara 0,854-0,875. Namun penelitian Waryanto (2015) menunjukkan bahwa
usahatani bawang merah di Kabupaten Nganjuk belum memiliki keunggulan
komparatif, karena nilai Domestic Resource Cost sebesar 1.12, artinya bahwa
penggunaan biaya domestik untuk memproduksi satu satuan bawang merah oleh
10
petani lebih tinggi 12 persen dibanding bila mengimpor satu satuan produk yang
sama dan petani bawang merah belum bisa bersaing dengan produsen yang sama
dari negara lain.
Kebijakan pemerintah atau intervensi pemerintah yang diterapkan dalam
pengembangan komoditas memiliki dampak yang berbeda-beda terhadap
dayasaing komoditas tersebut. Joubert et al. (2010) menganalisis keunggulan
komparatif kentang di Afrika Selatan menyatakan bahwa dengan adanya kebijakan
pemerintah pada input dan output komoditas kentang menyebabkan kentang tidak
memiliki keunggulan komparatif di Afrika Selatan. Namun hasil penelitian yang
dilakukan oleh Tinaprilla (2008) menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah
mampu memberikan insentif yang baik terhadap usahatani cabai merah di Lembang
sehingga keuntungan yang diperoleh petani lebih besar jika dibandingkan dengan
keuntungan yang diperoleh tanpa adanya kebijakan atau intervensi pemerintah.
Dari hasil penelitian terdahulu yang menganalisis dayasaing diperoleh
kesimpulan bahwa pengukuran dayasaing dengan menggunakan alat analisis PAM,
selain dapat menganalisis dayasaing suatu sistem usahatani, perhitungannya juga
dapat mengidentifikasi dampak intervensi atau kebijakan pemerintah terhadap
sistem usahatani tersebut. Kebijakan pemerintah terhadap sektor pertanian di
negara yang sedang berkembang seperti Indonesia masih tetap diperlukan baik
untuk melindungi konsumen maupun produsen dalam negeri, kebijakan tersebut
masih diperlukan mengingat komoditas pertanian yang memiliki karakteristik yang
khas dan memiliki perananan strategis dalam struktur perekonomian nasional.
Maka untuk menganalisis tingkat dayasaing suatu komoditas dengan
memperhitungkan dampak dari kebijakan pemerintah lebih tepat jika menggunakan
alat analisis PAM.
Pengukuran Dayasaing
Metode yang dapat digunakan untuk mengukur dayasaing suatu komoditas
pertanian yang telah digunakan pada penelitian-penelitian sebelumnya antara lain
Policy Analysis Matrix (PAM), dan Revealed Comparative Advantage (RCA).
Beberapa metode ini dapat digunakan sesuai dengan tujuan penelitian yang
dilakukan.
Metode Policy Analysis Matrix (PAM) banyak digunakan dalam penelitian
mengenai dayasaing karena hasil analsis PAM ini dapat memberikan informasi
mengenai keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif dengan analisis
perbedaan harga privat dan sosial yang dapat diketahui dari nilai dayasaing suatu
komoditas dan bagaimana dampak kebijakan yang dilakukan pemerintah terhadap
penerimaan petani (Ugochukwu dan Ezedinma 2011; Kasimin dan Suyanti 2012).
Menurut Muthoni dan Nyamongo (2009) bahwa dengan adanya intervensi
pemerintah dapat membantu sua
PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BAWANG MERAH
DI KABUPATEN MAJALENGKA, JAWA BARAT
LOLA RAHMADONA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Daya Saing dan
Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Bawang Merah di Kabupaten
Majalengka, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2016
Lola Rahmadona
NIM H351140061
RINGKASAN
LOLA RAHMADONA. Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah
terhadap Komoditas Bawang Merah di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
Dibimbing oleh ANNA FARIYANTI dan BURHANUDDIN.
Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memegang
peranan cukup penting dalam perekonomian Indonesia yaitu sebagai sumber
pendapatan dan devisa bagi negara, penyedia lapangan kerja bagi masyarakat, dan
pengembangan wilayah. Pengembangan wilayah yang memiliki potensi untuk
peningkatan produksi bawang merah di Jawa Barat adalah Kabupaten Majalengka.
Pada empat kurun waktu terakhir (2011-2014) produksi bawang merah di
Kabupaten Majalengka memperlihatkan trend yang meningkat. Total dari jumlah
produksi bawang merah di Kabupaten Majalengka pada tahun 2013 mencapai 23
683 ton dan mengalami peningkatan pada tahun 2014 sebesar 30 299 ton atau
sebesar 27.99 persen. Peningkatan produksi ini salah satunya disebabkan oleh
penambahan luas areal panen sebesar 17.41 persen dengan peningkatan
produktivitas pada tahun 2013 dari 11.02 menjadi 12.01 pada tahun 2014 atau
sebesar 8.98 persen. Meskipun menurut produktivitas bawang merah di Kabupaten
Majalengka memiliki potensi yang cukup baik untuk pengembangan produksi
namun angka produktivitas tersebut masih dibawah produktivitas potensial yaitu
sebesar 20 ton/ha sehingga permintaan bawang merah sebagian besar masih
dipenuhi melalui impor. Hal ini disebabkan oleh produksi bawang merah yang
bersifat musiman, harga bawang merah impor yang jauh lebih murah daripada
bawang merah lokal, dan tingginya biaya produksi usahatani bawang merah. Untuk
mengurangi impor bawang merah, pemerintah telah menetapkan beberapa
kebijakan seperti kebijakan harga referensi impor untuk bawang merah. Dengan
adanya ketetapan harga referensi ini diharapkan dapat mencegah terjadinya
pemasokan bawang merah impor yang tidak tepat. Pemerintah juga menerapkan
beberapa kebijakan untuk mendorong produksi bawang merah dalam negeri seperti
kebijakan subsidi pupuk, subsidi bunga kredit dan subsidi bahan bakar minyak.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keuntungan, dayasaing dan
dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas bawang merah di Kabupaten
Majalengka sebagai salah satu daerah yang memiliki potensi dalam pengembangan
bawang merah. Data yang digunakan adalah merupakan data sekunder yang
diperoleh dari data penelitian komoditas bawang merah Pusat Kajian Hortikultura
Tropika (PKHT) IPB tahun 2015. Jumlah responden yang digunakan sebanyak 37
petani bawang merah. Data yang telah diperoleh dianalisis dengan menggunakan
metode Policy Analysis Matrix (PAM) untuk mengetahui keuntungan, dayasaing
dan dampak kebijakan pemerintah. Kebijakan yang dimiliki bersifat dinamis
sehingga dilakukan analisis lanjutan menggunakan analisis sensitivitas untuk
meramalkan pengaruh kebijakan terhadap dayasaing komoditas bawang merah.
Usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka menguntungkan secara
privat tetapi tidak menguntungkan secara sosial. Besarnya keuntungan yang
diperoleh petani bawang merah bervariasi antar musim. Keuntungan privat
usahatani bawang merah antar musim berkisar antara Rp 19.50 – Rp 40.50 juta per
hektar. Keuntungan privat tertinggi yang dicapai terjadi pada musim hujan.
Berdasarkan perhitungan keuntungan sosial, usahatani bawang merah di Kabupaten
Majalengka mengalami kerugian. Rata-rata kerugian yang diterima petanipun
bervariasi antar musim berkisar antara Rp 16.50 – Rp 33.50 juta per hektar. Hal ini
menunjukkan kebijakan pemerintah terkait dengan usahatani bawang merah yang
diterapkan saat ini dapat memberikan insentif bagi petani bawang merah di
Kabupaten Majalengka. Usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka lebih
menguntungkan dengan adanya kebijakan pemerintah jika dibandingan dengan
tanpa adanya kebijakan pemerintah.
Hasil analisis dayasaing usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka
menunjukkan bahwa usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka hanya
memiliki keunggulan kompetitif tetapi tidak memiliki keunggulan komparatif. Hal
ini ditunjukkan dengan nilai PCR yang lebih kecil dari satu berkisar antara 0.50 –
0.85. Akan tetapi, nilai DRCR yang diperoleh sebaliknya yaitu lebih besar dari satu
berkisar antara 1.50 – 2.50. Hal ini disebabkan oleh masih rendahnya produktivitas
bawang merah dan tingginya biaya produksi usahatani bawang merah di Kabupaten
Majalengka.
Hasil analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap output disimpulkan
mampu memberikan proteksi terhadap bawang merah di Kabupaten Majalengka.
Akan tetapi, kebijakan pemerintah terhadap input belum mampu memberikan
insentif bagi petani bawang merah di Kabupaten Majalengka. Namun, secara
bersamaan kebijakan output dan input usahatani bawang merah di Kabupaten
Majalengka dapat memberikan dukungan terhadap pengembangan bawang merah
di Kabupaten Majalengka dan dapat memberikan insentif bagi petani. Skenario
kebijakan yang dilakukan pada analisis sensitivitas memperlihatkan bahwa
kenaikan harga jual bawang merah dan produksi serta menurunkan biaya produksi
dapat meningkatkan dayasaing komoditas bawang merah di Kabupaten
Majalengka.
Kata kunci: Bawang Merah, Dayasaing, Policy Analysis Matrix
SUMMARY
LOLA RAHMADONA. Analysis of Competitiveness and Government Policy
Effect on Shallot Commodity in the District of Majalengka, West Java. Supervised
by ANNA FARIYANTI and BURHANUDDIN.
Shallot is one of the horticultural commodities which holds an important role
in the Indonesian economy as a source of revenue and foreign exchange for the
country, a provider of jobs for the community and regional development.
Development areas that have the potential to increase shallot production in West
Java of Majalengka. In four of the last period (2011-2014) shallot production in
Majalengka showed an increasing trend. The total of the amount of shallot
production in Majalengka in 2013 reached 23 683 tons and increased in 2014
amounted to 30 299 tons or 27.99 percent. The increase in production is one of them
caused by the addition of harvest area by 17.41 percent with increased productivity
in 2013 of 11.02 becomes 12.01 in the year 2014 amounted to 8.98 percent.
Although, according to the productivity of shallot in Majalengka has good potential
for the development of production but productivity figure is still below the potential
productivity is equal to 20 tons/ha so that the demand for shallot is still largely met
through imports. This is caused by the seasonal production of shallot, stock
management are not going well, constraints in production activity which causes low
productivity and high cost of production. To reduce the import of shallots, the
government has established several policies such as the policy of import reference
prices for shallots. This policy is expected to prevent unappropriate of shallot
imports supply. The Government is also implementing several policies to encourage
the production of Shallots in the country such as fertilizer subsidy policy, loan
interest subsidies and fuel subsidies.
The objectives of this study are to analyze the profitability, competitiveness
and the impact of government policy on commodities shallots in Majalengka as one
of the areas that have potential in the development of the shallot. The data used is
secondary data from the study of Tropical Horticulture Research Center of IPB in
2015. The number of samples used were 37 samples. The data have been analyzed
using the Policy Analysis Matrix (PAM) to determine profitability, competitiveness
and the impact of government policy. Owned policy is dynamic so do advanced
analysis using sensitivity analysis to predict the effect of policy on the
competitiveness of the commodity shallot.
Shallot farming in Majalengka privately profitable but socially unprofitable.
The amount of profit earned shallot farmers varies between seasons. Private profits
shallot farming between seasons ranged between Rp 19.50 - Rp 40.50 million per
hectare. The highest private profits achieved during the rainy season. Based on the
calculation of social benefits, shallot farming in Majalengka loss. The average loss
received by farmers varies between seasons ranged between Rp 16.50 - Rp 33.50
million per hectare. This shows the government's policy related to shallot farming
is applied at this time can provide incentives for shallot farmers in Majalengka.
Shallot farming in Majalengka more favorable government policy when compared
with the absence of government policy.
The results of the analysis of competitiveness of shallot farming in
Majalengka showed that shallot farming in Majalengka only a competitive
advantage but do not have a comparative advantage. This is indicated by the PCR
value that is smaller than a range between 0:50 - 0.85. However, DRCR obtained
otherwise is greater than the range between 1:50 to 2:50. It is caused by low
productivity and high costs shallot farming production in Majalengka.
The results of the analysis of the impact of government policy on the output
summed able to provide protection against the shallot in Majalengka. However, the
government's policy towards the input has not been able to provide incentives for
shallot farmers in Majalengka. However, at the same time input and output policies
shallot farming in Majalengka can provide support to the development of shallot in
Majalengka and provide an incentive for farmers. Policy scenarios conducted on
the sensitivity analysis shows that the increase in selling prices of shallot and
production as well as lower production costs could increase the competitiveness of
commodities shallots in Majalengka.
Keywords: Competitiveness, Policy Analysis Matrix, Shallot Farming
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN
PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BAWANG MERAH
DI KABUPATEN MAJALENGKA, JAWA BARAT
LOLA RAHMADONA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Pada
Program Studi Magister Sains Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Suharno, M. Adev
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2015 ini adalah dayasaing,
dengan judul Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap
Komoditas Bawang Merah di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
Penulis ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
proses penyelesaian thesis ini, diantaranya:
1. Ibu Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si sebagai ketua komisi pembimbing dan
kepada bapak Dr Ir Burhanuddin, MM sebagai anggota komisi pembimbing
yang telah memberikan arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS sebagai ketua program studi Agribisnis
sekaligus sebagai penguji wakil pascasarjana Mayor Agribisnis dan kepada
bapak Dr. Ir. Suharno, M. Adev sebagai penguji luar komisi yang telah
memberikan masukan dan arahan saat ujian tesis.
3. Seluruh staf pengajar dan akademik yang telah memberikan bimbingan
selama penulis kuliah di Mayor Agribisnis.
4. Penghargaan penulis sampaikan kepada Pusat Kajian Hortikultura Tropika
IPB yang telah memfasilitasi dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini
5. Ayahanda dan Ibunda tercinta Bapak Ridwan dan Ibu Huriati yang telah sabar
mendidik dan membesarkan penulis hingga saat ini serta kepada Alm. Abang
dan Adik-Adik tersayang yang telah memberikan dukungan dan semangat
yang sangat berarti bagi penulis.
6. Rekan-rekan di pascasarjana Mayor Agribisnis Angkatan V, Sahabat
seperjuangan “Birds” dan terkhusus orang yang sangat spesial Arry Aulia
Putra yang selama ini telah memberikan dukungan yang tulus, menemani dan
berjuang bersama penulis.
7. Seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang turut
membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Semoga karya ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2016
Lola Rahmadona
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR LAMPIRAN
iv
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
4
6
6
6
2 TINJAUAN PUSTAKA
Analisis Usahatani Bawang Merah
Analsis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah dengan Metode
Policy Analysis Matrix (PAM)
Pengukuran Dayasaing
7
7
9
10
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional
12
12
24
4 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis Data
27
27
27
27
5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Karakteristik Petani Responden
Keragaan Usahatani Bawang Merah di Lokasi Penelitian
Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Bawang Merah di Lokasi
Penelitian
35
35
36
39
6 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keuntungan Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Majalengka
Keunggulam Komparatif dan Kompetitif Usahatani Bawang Merah di
Kabupaten Majalengka
Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Dayasaing Bawang Merah di
Kabupaten Majalengka
Analisis Sensitivitas Dayasaing Usahatani Bawang Merah di Kabupaten
Majalengka
45
45
42
49
54
60
7 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
68
68
69
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
70
75
85
DAFTAR TABEL
1 Luas penen, produksi dan produktivitas bawang merah di Indonesia
tahun 2010-2014
2 Perkembangan ekspor-impor bawang merah tahun 2010-2014
3 Tipe alternatif kebijakan pemerintah
4 Policy Analysis Matrix (PAM)
5 Tabulasi matrix analisis kebijakan
6 Sebaran petani responden Kabupabaten Majalengka berdasarkan umur
pada tahun 2015
7 Sebaran petani responden Kabupaten Majalengka berdasarkan lama
pendidikan pada tahun 2015
8 Sebaran petani responden Kabupaten Majalengka berdasarkan lama
pengalaman berusahatani pada tahun 2015
9 Sebaran petani responden Kabupaten Majalengka berdasarkan jumlah
tanggungan keluarga pada tahun 2015
10 Sebaran petani responden Kabupaten Majalengka berdasarkan luas lahan
yang diusahakan untuk bawang merah pada tahun 2015
11 Sebaran petani responden Kabupaten Majalengka berdasarkan status
kepemilikkan lahan pada tahun 2015
12 Pupuk subsidi dengan penerapan harga eceran tertinggi (HET)
13 Perhitungan harga bayangan output
14 Keuntungan privat dan keuntungan sosial usahatani bawang merah di
Kabupaten Majalengka pada musim tanam tahun 2014-2015
15 Keuntungan privat dan keuntungan sosial usahatani bawang merah di
Kabupaten Majalengka per musim tanam tahun 2014-2015
16 Proporsi biaya pengeluaran usahatani bawang merah di Kabupaten
Majalengka per musim tanam tahun 2014-2015 (Rp 000)
17 Keunggulan kompetitif dan komparatif usahatani bawang merah di
Kabupaten majalengka per musim tanam tahun 2014-2015
18 Indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap output usahatani
bawang merah di Kabupaten Majalengka
19 Indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap input usahatani
bawang merah di Kabupaten Majalengka pada tahun 2014-2015
20 Indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap input dan output
usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka tahun 2014-2015
2
3
15
23
28
36
37
37
38
38
38
44
46
46
47
48
49
55
57
58
21 Dampak keuntungan privat dan keuntungan sosial komoditas bawang
merah di Kabupaten Majalengka per musim tanam akibat peningkatan
harga bawang merah
22 Dampak perubahan harga bawang merah terhadap keunggulan
komparatif dan kompetitif usahatani bawang merah di Kabupaten
Majalengka per musim tanam
23 Dampak keuntungan privat dan keuntungan sosial komoditas bawang
merah di Kabupaten Majalengka per musim tanam akibat penurunan
produksi bawang merah
24 Dampak penurunan produksi terhadap keunggulan komparatif dan
kompetitif usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka per musim
tanam
25 Dampak keuntungan privat dan keuntungan sosial komoditas bawang
merah di Kabupaten Majalengka per musim tanam akibat penurunan
penggunaan tenaga kerja
26 Dampak penurunan penggunaan tenaga kerja terhadap keunggulan
komparatif dan kompetitif usahatani bawang merah di Kabupaten
Majalengka per musim tanam
27 Dampak keuntungan privat dan keuntungan sosial komoditas bawang
merah di Kabupaten Majalengka per musim tanam akibat penurunan
penggunaan tenaga kerja
28 Dampak penurunan penggunaan tenaga kerja terhadap keunggulan
komparatif dan kompetitif usahatani bawang merah di Kabupaten
Majalengka per musim tanam
29 Dampak keuntungan privat dan keuntungan sosial komoditas bawang
merah di Kabupaten Majalengka per musim tanam akibat penurunan
biaya produksi
30 Dampak penurunan biaya produksi terhadap keunggulan komparatif dan
kompetitif usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka per musim
tanam
31 Dampak keuntungan privat dan keuntungan sosial komoditas bawang
merah di Kabupaten Majalengka per musim tanam akibat kombinasi
peningkatan harga bawang merah dan produksi bawang merah dengan
penurunan biaya produksi
32 Dampak peningkatan harga jual bawang merah dan produksi bawang
merah dengan penurunan produksi terhadap keunggulan komparatif dan
kompetitif usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka per musim
tanam
33 Tingkat kepekaan perubahan kebijakan pemerintah naik satu persen
terhadap dayasaing bawang merah di Kabupaten Majalengka
60
61
61
62
63
63
64
65
65
66
66
67
68
DAFTAR GAMBAR
1 Perkembangan konsumsi bawang merah per kapita penduduk di
Indonesia tahun 2010-2014
2 Dampak subsidi positif bagi produsen dan konsumen barang impor
3 Dampak subsidi positif bagi produsen dan konsumen barang ekspor
2
17
18
4
5
6
7
Hambatan perdagangan pada barang ekspor dan impor
Pajak dan subsidi pada input tradable
Pajak dan subsidi pada input non tradable
Kerangka pemikiran operasional analisis dayasaing dan dampak
kebijakan pemerintah terhadap komoditas bawang merah di Kapubaten
Majalengka Jawa Barat
19
20
21
26
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Luas panen, produksi dan produktivitas bawang merah di wilayah
sentra Jawa Barat tahun 2011-2014
Alokasi komponen biaya produksi ke dalam komponen domestik dan
asing pada usahatani bawang merah
Perkembangan harga rata-rata bawang merah nasional tahun 20102014
Perhitungan standar convertion factor dan shadow price exchange rate
tahun 2015
Perkembangan produksi bawang merah di Indonesia tahun 2010-2014
Komponen biaya transportasi pada perhitungan harga bayangan output
bawang merah tahun 2014-2015
Biaya pengeluaran usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka
per musim tanam tahun 2014-2015
Analisis budget privat dan sosial usahatani bawang merah di
Kabupaten Majalengka pada musim hujan tahun 2014-2015
Analisis budget privat dan sosial usahatani bawang merah di
Kabupaten Majalengka pada musim kemarau I tahun 2014-2015
Analisis budget privat dan sosial usahatani bawang merah di
Kabupaten Majalengka pada musim kemarau II tahun 2014-2015
76
77
78
79
79
80
81
82
83
84
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor pertanian
sebagai mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Dengan demikian, sebagian
besar penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Sebagian
besar penggunaan lahan di wilayah Indonesia digunakan sebagai lahan pertanian.
Sektor pertanian merupakan sektor utama dalam pembangunan Indonesia.
Sektor pertanian Indonesia terdiri dari tiga subsektor yaitu subsektor tanaman
perkebunan, tanaman pangan dan tanaman hortikultura. Hortikultura sebagai salah
satu subsektor pertanian terdiri dari berbagai jenis tanaman, yaitu tanaman buahbuahan, tanaman sayuran, tanaman biofarma, dan tanaman hias. Peran dari tanaman
hortikultura sangat besar dalam menunjang usaha pemerintah untuk meningkatkan
pendapatan petani, meningkatkan kesempatan kerja, dan mengurangi impor. Salah
satu komoditas hortikultura yang banyak dikembangkan di Indonesia dan memiliki
peranan penting bagi perekonomian Indonesia adalah bawang merah. Bawang
merah merupakan salah satu komoditas hortikultura unggulan nasional, sehingga
mendapat prioritas pengembangan dari APBN (Kementerian Pertanian 2015).
Bawang Merah merupakan salah satu komoditas strategis di Indonesia,
karena perubahan terhadap harga dari bawang merah dapat mempengaruhi inflasi.
Salah satu penyebab inflasi yang tinggi dikarenakan adanya kenaikan harga bawang
merah. Menurut data inflasi dari BPS pada tahun 2010-2014 inflasi tertinggi terjadi
pada tahun 2013 yaitu terjadi pada bulan Juli. Bawang merah menyumbang sebesar
0.48 persen terhadap inflasi pada bulan Juli 2013 (BPS 2014). Selain itu, komoditas
bawang merah ini juga merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang
memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah
(Balitbang Pertanian 2005).
Bawang merah di Indonesia memiliki potensi produksi cukup tinggi yang
ditunjukan dengan produksi bawang merah yang cenderung meningkat dari tahun
2010 sampai 2014, dengan rata-rata peningkatan produksi bawang merah di
Indonesia sebesar 4.86 persen per tahunnya. Dalam periode lima tahun terakhir,
produksi bawang merah pada tahun 2010 sebesar 1 048 934 ton, kemudian pada
tahun 2011 mengalami penurunan produksi bawang merah menjadi 893 124 ton
atau sebesar 14.85 persen. Akan tetapi untuk tahun berikutnya produksi bawang
merah setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pada tahun 2011 sampai 2014
produksi bawang merah kembali meningkat dengan persentase peningkatan sebesar
38.16 persen. Peningkatan produksi nasional ini salah satunya disebabkan oleh
penambahan luas areal panen sebesar 28.86 persen dari tahun 2011 sampai 2014.
Produksi bawang merah tahun 2014 sebesar 1 233 984 ton, dengan luas areal
sebesar 120 704 hektar. Dibandingkan tahun 2013, produksi bawang merah
mengalami peningkatan sebesar 223 211 ton atau sebesar 21.47 persen dan
peningkatan disebabkan bertambahnya luas panen seluas 21 767 hektar atau sebesar
21.25 persen. Sedangkan produktivitas bawang merah meningkat dari 10.22 ton/ha
pada tahun 2013 menjadi 10.23 ton/ha pada tahun 2014. Tabel 1 memperlihatkan
perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas bawang merah di Indonesia
tahun 2010-2014.
2
Tabel 1 Luas penen, produksi dan produktivitas bawang merah di Indonesia tahun
2010-2014
Indikator
Tahun
Luas Panen
(Ha)
Produksi
(Ton)
Produktivitas
(Ton/ Ha)
2010
109 634
1 048 934
9.57
2011
93 667
893 124
9.54
2012
99 519
964 221
9.69
2013
98 937
1 010 773
10.22
2014
120 704
1 233 984
10.23
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015
Berdasarkan jumlah produksi bawang merah dari tahun 2010 sampai 2014,
sebenarnya kebutuhan bawang merah di Indonesia sudah mencukupi untuk
konsumsi masyarakat dalam negeri. Sebagai contoh, konsumsi bawang merah di
Indonesia pada tahun 2014 sebesar 2.49 kg/tahun, dengan jumlah penduduk
Indonesia pada tahun tersebut sebesar 252 124 458 jiwa (BPS 2015). Maka jumlah
konsumsi bawang merah di Indonesia sebesar 627 790 ton, artinya terjadi kelebihan
produksi sebesar 606 194 ton atau sebesar 49.12 persen. Namun, pada tahun 2014
Indonesia masih mengimpor bawang merah. Gambar 1 menunjukan perkembangan
konsumsi bawang merah per kapita penduduk di Indonesia dari tahun 2010-2014.
3,00
2,76
KG/ KAPITA
2,50
2,53
2,49
2,36
2,06
2,00
1,50
1,00
0,50
0,00
2010
2011
2012
2013
2014
TAHUN
Gambar 1
Perkembangan konsumsi bawang merah per kapita penduduk di
Indonesia tahun 2010-2014
Sumber : Pusdatin, 2015
Indonesia memiliki potensi di dalam memproduksi bawang merah, bahkan
bisa terjadinya kelebihan produksi. Akan tetapi, permintaan bawang merah dalam
negeri masih dipenuhi dari impor. Hal ini dikarenakan produksi bawang merah di
Indonesia masih bersifat musiman (in season) seperti hasil pertanian pada
umumnya, sehingga jumlah permintaan bawang merah pada musim-musim tertentu
lebih tinggi dibandingkan jumlah ketersediaannya. Oleh sebab itu, kebutuhan
3
bawang merah masyarakat Indonesia di luar musim (off season) tidak dapat
dipenuhi sehingga untuk memenuhinya perlu dilakukan tindakan impor. Tindakan
impor bawang merah ini menjadikan Indonesia sebagai net importer bawang merah.
Perkembangan Ekspor-Impor Bawang Merah Tahun 2010-2014 dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2 Perkembangan ekspor-impor bawang merah tahun 2010-2014
Ekspor
Tahun
Volume
(Ton)
Impor
Nilai
(000US$)
Volume
(Ton)
Neraca
Nilai
(000US$)
Volume
(Ton)
Nilai
(000US$)
2010
3 234
1 814
73 270
33 862
-70 036
-32 048
2011
13 792
6 594
160 467
77 444
-146 675
-70 850
2012
18 754
8 552
120 354
53 615
-101 600
-45 063
2013
4 982
2 986
96 139
54 009
-91 157
-51 023
2014
4 439
2 978
74 903
28 309
-70 464
-25 331
Sumber : Kementan, 2015
Dilihat dari sisi ekspor dan impor, perkembangan ekspor dan impor bawang
merah di Indonesia setiap tahunnya berfluktuasi. Namun, volume ekspor untuk
komoditas bawang merah dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 jauh lebih
kecil dari volume impornya yang ditunjukkan dengan volume neraca yang bernilai
negatif, artinya pasar bawang merah di Indonesia masih dipenuhi oleh bawang
merah impor. Kondisi seperti ini memberikan peluang terhadap usahatani bawang
merah di Indonesia untuk melakukan pengembangan produksi di luar musim.
Ketergantungan terhadap bawang merah impor di Indonesia juga disebabkan
oleh harga bawang merah yang jauh lebih murah dibandingkan dengan harga
bawang merah di pasar dalam negeri. Harga bawang merah impor yang diperoleh
dari harga cif (HS 0703102900) sebesar Rp 5 139/kg. Sementara itu, harga bawang
merah di dalam negeri jauh lebih tinggi dengan harga eceran bulanan bawang merah
pada tahun 2013-2014 rata-rata sebesar Rp 28 487/kg (Kemendag 2015). Perbedaan
harga yang sangat jauh ini menyebabkan dayasaing bawang merah dalam negeri
lemah.
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam memproduksi bawang
merah. Pusat penghasil bawang merah di Indonesia tersebar di 10 provinsi dengan
luas areal panen lebih dari 1 000 Ha per tahun. 10 provinsi tersebut diantaranya
Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, D. I Yogyakarta,
Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Bali dan Nusa Tenggara Timur.
Provinsi-provinsi ini menyumbang 87.16 persen dari produksi total bawang merah
di Indonesia pada tahun 2014. Sebesar 78.46 persen disumbang oleh provinsiprovinsi yang ada di Pulau Jawa (Kementerian Pertanian 2015). Di antara provinsi
yang ada di pulau Jawa, Jawa Tengah merupakan provinsi penghasil bawang merah
terbesar dengan sumbangan produksi sebesar 42.8 persen terhadap jumlah produksi
bawang merah di Indonesia. Jawa Timur menempati urutan kedua dalam
sumbangan produksi bawang merah di Indonesia sebesar 22.4 persen dan urutan
ketiga ditempati oleh provinsi Jawa Barat dengan kontribusi sebesar 13.26 terhadap
produksi bawang merah di Indonesia (BPS 2015). Produksi bawang merah di Jawa
4
Barat lebih kecil bila dibandingkan dengan provinsi lainnya, artinya provinsi Jawa
Barat mempunyai peluang untuk dilakukannya pengembangan produksi.
Di Jawa Barat produksi bawang merah pada tahun 2014 sebesar 95.54 persen
dihasilkan di empat wilayah sentra yaitu Kabupaten Cirebon 43 339 ton, Kabupaten
Bandung sebesar 32 689 ton, Kapubaten Majalengka 30 229 ton dan Kabupaten
Garut 17 952 ton. Sisanya sebesar 4.46 persen tersebar di 23 kabupaten atau kota
lainnya (BPS Jawa Barat 2015). Di antara keempat Kabupaten Sentra ini,
Kabupaten Majalengka merupakan salah satu daerah yang berpotensi untuk
pengembangan produksi bawang merah di Jawa Barat. Pada empat kurun waktu
terakhir (2011-2014) produksi bawang merah di Kabupaten Majalengka
memperlihatkan trend yang meningkat. Total dari jumlah produksi bawang merah
di Kabupaten Majalengka pada tahun 2013 mencapai 23 683 ton dan mengalami
peningkatan pada tahun 2014 sebesar 30 299 ton atau sebesar 27.99 persen lebih
tinggi dibandingkan ketiga Kabupaten Sentra lainnya. Peningkatan produksi ini
salah satunya disebabkan oleh penambahan luas areal panen sebesar 17.41 persen
dengan peningkatan produktivitas pada tahun 2013 dari 11.02 menjadi 12.01 pada
tahun 2014 atau sebesar 8.98 persen (Ditan Jawa Barat 2015).
Pada tahun 2014 produktivitas bawang merah di Kabupaten Majalengka
mencapai 12.01 ton/ha, lebih tinggi dari produktivitas nasional yaitu sebesar 10.23
ton/ha, artinya pegalokasian sumberdaya yang efisien oleh petani bawang merah di
Kabupaten Majalengka diharapkan dapat meningkatkan jumlah produksi bawang
merah sebagai produk substitusi impor. Namun, meskipun menurut produktivitas
bawang merah di Kabupaten Majalengka memiliki potensi yang cukup baik untuk
pengembangan produksi namun angka produktivitas tersebut masih dibawah
produktivitas potensial yaitu sebesar 20 ton/ha. Oleh karena itu, penting untuk
dilakukannya penelitian mengenai dayasaing usahatani bawang merah di
Kabupaten Majalengka.
Perumusan Masalah
Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang sejak
lama telah diusahakan oleh petani di Kabupaten Majalengka. Hal ini tidak terlepas
dari status bawang merah sebagai salah satu komoditas hortikultura yang termasuk
dalam kategori komoditas bernilai tinggi (high value comodity), sehingga banyak
petani yang mengusahakannya. Akan tetapi, masih adanya permasalahan yang saat
ini dihadapi oleh petani bawang merah di Kabupaten Majalengka. Permasalahan
yang dihadapi petani bawang merah adalah produksi bawang merah yang bersifat
musiman, tingginya biaya produksi, dan fluktuasi harga bawang merah.
Ketersediaan bawang merah yang tidak merata di pasaran disebabkan oleh
produksi bawang merah yang bersifat musiman. Di Kabupaten Majalengka pada
umumnya musim tanam bawang merah (in season) dilakukan di musim kemarau
pada bulan Februari sampai dengan bulan September (Apriani 2011; Rachman et al
2004). Sedangkan petani jarang sekali melakukan penanaman bawang merah pada
musim hujan yaitu pada bulan Oktober-Januari. Menurut Rachman et al (2004),
petani bawang merah di Kabupaten Majalengka tidak melakukan penanaman pada
musim hujan dikarenakan pengaruh curah hujan yang tinggi akan menyebabkan
terjadinya kerusakan fisik pada daun bawang merah dan busuk umbi. Hal ini akan
5
memberikan dampak terhadap kehilangan hasil panen pada musim hujan. Produksi
rata-rata musim hujan sebesar 8.2 ton /ha lebih rendah dari pada musim kemarau
sebesar 14.2 ton/ha (Rachman et al 2004). Oleh sebab itu, penanaman bawang
merah lebih banyak dilakukan pada musim kemarau. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya perbedaan keuntungan usahatani dan dayasaing bawang merah di setiap
musim (Maryowani dan Darwis 2010).
Kendala selanjutnya yang dihadapi petani adalah produksi bawang merah di
Kabupaten Majalengka juga dihadapkan pada usahatani berbiaya tinggi. Usahatani
bawang merah membutuhkan biaya per satuan luas lahan yang lebih tinggi
khususnya untuk upah tenaga kerja dan sarana produksi. Menurut Rachman et al
(2004) di Kabupaten Majalengka pengeluaran biaya untuk sarana produksi
menempati urutan pertama dengan proporsi biaya berkisar antara 21.60-34.50
persen dibandingkan biaya untuk penggunaan tenaga kerja sebesar 16.3-32.9 persen
terhadap total penerimaan. Tingginya biaya sarana produksi, terutama disebabkan
oleh tingginya harga bibit (Apriani 2011).
Permasalahan yang menjadi bagian dari kompleksitas usahatani bawang
merah adalah harga jual bawang merah yang sangat berfluktuasi, bahkan harga akan
turun pada saat panen raya dan masuknya bawang merah impor. Fluktuasi harga
bawang merah tergantung dengan kondisi pasar yaitu terhadap jumlah permintaan
dan penawaran bawang merah. Harga eceran bawang merah rata-rata pada tahun
2014 sebesar Rp 10 157/kg (Ditan Jawa Barat 2015). Sementara itu, harga rata-rata
bawang merah impor jauh lebih rendah sebesar Rp 4 423/kg yang diperoleh dari
harga cif bawang merah (HS0703102900). Perbedaan harga yang cukup tinggi ini
akan memberikan pengaruh terhadap lemahnya dayasaing bawang merah di
Kabupaten Majalengka.
Bawang merah adalah salah satu komoditas pertanian penting pengendali
inflasi yang tidak terlepas dari adanya campur tangan pemerintah. Kebijakan
pemerintah erat kaitannya dengan output dan input pengusahaan komoditas bawang
merah. Kebijakan pemerintah yang memproteksi komoditas bawang merah
khususnya untuk mencegah tingginya fluktuasi harga jual adalah kebijakan
pemerintah berupa harga referensi bawang merah sebesar Rp 25 700 per kg. Hal ini
berdasarkan Permentan No 86/2013, Permendag 47/2013 dan SK Dirjen
Perdagangan Dalam Negeri No 118/PDN/2013. Dengan dikeluarkannya kebijakan
tersebut diharapkan dapat meregulasi harga bawang merah dan mencegah
pemasokan bawang merah impor yang tidak tepat. Kebijakan terkait pengaturan
impor hortikultura termasuk di dalamnya adalah bawang merah diatur melalui
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 71/M-DAG/PER/9/2015
dan penetapan tarif bea masuk untuk bawang merah impor sebesar 20 persen
melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 241/PMK.001/2010.
Kebijakan terkait input yaitu upaya pemerintah di dalam membantu petani
bawang merah untuk mengurangi biaya produksi dan meningkatkan dayasaing
bawang merah adalah kebijakan subsidi pupuk. Pemerintah menetapkan kebijakan
Harga Eceran Tertinggi (HET) pada pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian tahun
anggaran 2015 yang dikeluarkan dalam Peraturan Menteri Pertanian Republik
Indonesia Nomor 130/Pementan/SR.130/11/2014. Penetapan kebijakan ini akan
mempengaruhi biaya yang akan dikeluarkan pada setiap usahatani bawang merah
agar dapat meningkatkan produksi dan produktivitas.
6
Kebijakan pemerintah yang ada akan mempengaruhi dayasaing komoditas
bawang merah di Kabupaten Majalengka dan kebijakan tersebut akan berpengaruh
terhadap output-input pengusahaan komoditas bawang merah di Kabupaten
Majalengka. Oleh sebab itu, diperlukan analisis mengenai dayasaing dan dampak
kebijakan pemerintah terhadap komoditas bawang merah di Kabupaten
Majalengka. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat
dirumuskan pertanyaan yang mendasari penelitian ini yaitu:
(1) Apakah komoditas bawang merah di Kabupaten Majalengka pada musim hujan
dan musim kemarau menguntungkan secara privat dan sosial?
(2) Bagaimana dayasaing komoditas bawang merah di Kabuapten Majalengka
pada musim hujan dan musim kemarau?
(3) Bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing komoditas
bawang merah di Kabupaten Majalengka pada musim hujan dan musim
kemarau?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka dapat
disusun tujuan penelitian sebagai berikut:
(1) Menganalisis keuntungan privat dan keuntungan sosial usahatani bawang
merah di Kabupaten Majalengka pada musim hujan dan musim kemarau
(2) Menganalisis dayasaing bawang merah di Kabupaten Majalengka pada musim
hujan dan musim kemarau
(3) Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing bawang merah
di Kabupaten Majalengka pada musim hujan dan musim kemarau
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:
(1) Peneliti sebagai sarana pembelajaran dan penerapan ilmu.
(2) Pelaku agribisnis sebagai informasi dan gambaran mengenai usahatani dan
dayasaing komoditas bawang merah dalam pengambilan keputusan untuk
melakukan usaha.
(3) Pemerintah sebagai informasi, masukan dan bahan pertimbangan dalam
menentukan kebijakan pengembangan usahatani bawang merah.
(4) Peneliti lain sebagai bahan informasi untuk penelitian lanjutan.
Ruang Lingkup Penelitian
Analisis dayasaing dilakukan untuk mengetahui dayasaing bawang merah
yang diproduksi di Kabupaten Majalengkat sebagai produk substitusi impor. Hal
ini didasari oleh status Indonesia sebagai net importer bawang merah. Penelitian ini
dibatasi pada penggunaan metode analisis Policy Analysis Matrix (PAM) saja
dalam pengukuran dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap
komoditas bawang merah.
7
2 TINJAUAN PUSTAKA
Analisis Usahatani Bawang Merah
Penelitian-penelitian mengenai usahatani bawang merah ini telah banyak
dilakukan, dan rata-rata menunjukkan bahwa usahatani bawang merah ini layak dan
menguntungkan. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan Revenue-Cost (R/C-rasio)
yang lebih dari satu usahatani yang dilakukan memberikan keuntungan. Hal
tersebut menunjukan bahwa ada insentif yang diterima petani atas faktor-faktor
produksi yang telah digunakan untuk usahatani bawang merah. Terdapat beberapa
indikator keberhasilan suatu usahatani, salah satunya pendapatan. Pendapatan
usahatani adalah keuntungan yang diperoleh petani setelah mengurangkan biaya
yang diperoleh selama proses produksi dengan penerimaan usahatani. Pendapatan
usahatani bawang merah disetiap daerah berbeda-beda. Rachman et al (2004)
menganalisis bahwa usahatani bawang merah di Kabupaten Indramayu dan
Majalengka memiliki nilai pendapatan berkisar antara Rp 3 600 000-Rp 13 600 000
per hektar per musim tanam.
Pendapatan usahatani bawang merah juga bervariasi antar musim. Menurut
Rachman et al (2004) menyatakan bahwa keuntungan usahatani bawang merah di
Indramayu dan Majalengka tertinggi dicapai pada musim kemarau II. Hal ini
disebabkan oleh total biaya yang dikeluarkan pada musim kemarau II lebih kecil
daripada musim lainnya. Selain itu produktivitas yang dihasilkan dan harga jual
yang diterima petani bawang merah pada musim kemarau II lebih besar bila
dibandingkan dengan musim lainnya. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Aldila
(2016), petani bawang merah di Kabupaten Cirebon mencapai keuntungan tertinggi
pada musim kemarau II yang mana pada musim ini produktivitas bawang merah
yang diperoleh relatif lebih tinggi yaitu mencapai 14.1 ton/ha dan harga jual yang
relatif mahal yaitu Rp 9 440/kg. Berbeda dengan yang terjadi di Kabupaten Brebes
dan Tegal. Pencapaian keuntungan tertinggi diperoleh pada saat musim hujan. Hal
ini dikarenakan pada musim hujan harga jual bawang merah lebih tinggi daripada
musim kemarau yaitu berkisar antara Rp 10 222/kg – Rp 13 071/kg.
Salah satu faktor input yang dapat menentukan keberhasilan usahatani
bawang merah adalah penggunaan benih (Iriani 2013). Menurut Apriani (2011),
sumber benih yang ditanam oleh sebagian besar petani bawang merah berasal dari
benih yang dihasilkan sendiri atau berasal dari pasar yaitu pembelian dari pedagang
benih. Sedangkan untuk benih non lokal yang diperoleh petani berasal dari
pembelian di toko saprodi (Purmiyati 2002). Petani bawang merah menggunakan
benih varietas lokal dan non lokal. Purmiyati (2002) melakukan penelitian dengan
membedakan penggunaan varietas benih bawang merah dalam usahatani, yaitu
menggunakan benih varietas non lokal dan lokal. Perbedaan penggunaan benih ini
ternyata dapat memepengaruhi keuntungan yang diperoleh oleh petani bawang
merah. Hasil analisis yang didapatkan bahwa penggunaan benih varietas non lokal
lebih menguntungkan, dengan tingkat keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 5 703
224 per ha bila dibandingkan dengan penggunaan benih varietas lokal hanya
sebesar Rp 556 736 per ha. Kesenjangan keuntungan yang sangat jauh ini
disebabkan oleh produktivitas dan harga jual bawang merah benih varietas non
lokal lebih tinggi daripada menggunakan benih varietas lokal. Sama halnya dengan
penelitian yang dilakukan oleh Apriani (2011), dengan membedakan penggunaan
8
dua varietas benih yaitu varietas Sumenep dan Balikaret. Pendapatan atas biaya
tunai pada usahatani bawang merah varietas Sumenep memberikan keuntungan
sebesar Rp 97 444 388.98 dan varietas Balikaret sebesar Rp 88 693 918.89.
Pendapatan atas biaya total masing-masing usahatani yaitu Rp 81 554 749.62 untuk
varietas Sumenep dan Rp 76 892 539.82 untuk varietas Balikaret. Pendapatan atas
biaya tunai maupun atas biaya total pada setiap usahatani menunjukan bahwa
usahatani yang dilakukan di lokasi penelitian menguntungkan untuk diusahakan.
Hal tersebut dilihat dari nilai pendapatan atas biaya tunai maupun biaya total yang
lebih besar dari nol. Nilai R/C rasio atas biaya tunai pada masing-masing usahatani
nilainya lebih dari satu. Nilai R/C rasio berturut-turut adalah usahatani bawang
merah varietas Sumenep 3.40 dan varietas Balikaret 2.41. Sementara itu, nilai R/C
rasio atas biaya total berturut-turut adalah 2.44 dan 2.03. Berdasarkan nilai R/C
rasio atas biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total, maka usahatani bawang merah
menguntungkan untuk diusahakan karena nilai R/C rasio lebih besar dari satu.
Keberhasilan didalam usahatani bawang merah sangat ditentukan oleh upaya
pemeliharaan tanaman yang dilakukan oleh petani, karena tanaman bawang merah
perlu perhatian yang khusus didalam membudidayakannya seperti membutuhkan
ketersediaan air yang cukup, rentan terhadap serangan hama dan penyakit dan
rentan terhadap perubahan iklim dan cuaca. Sehingga bawang merah membutuhkan
tenaga kerja yang cukup intensif untuk melakukan beberapa aktivitas budidaya
sampai dengan panen atau pascapanen (Mayrowani dan Darwis 2010). Penelitian
yang dilakukan Mayrowani dan Darwis (2010) menunjukkan proporsi pengeluaran
tertinggi untuk tenaga kerja mencapai 40.94 – 51.48 persen. Sementara untuk
perolehan keuntungan usahatani bawang merah di Brebes bisa mencapai Rp 6 830
000 – Rp 21 200 000 per ha per musim tanam. Sedangkan penelitian yang dilakukan
oleh Nurasa dan Darwis (2007) menjelaskan perbedaan keuntungan yang diperoleh
oleh petani disebabkan oleh tingginya pengeluaran biaya produksi yang dikeluarkan
yang mencapai nilai 90 persen dari total pendapatan. Biaya produksi tertinggi
dikeluarkan untuk upah tenaga kerja yang mencapai 51,48 persen, kemudian benih
24,81 persen, pestisida 9,73 persen, pupuk 8,74 persen dan benih lainnya 5,22
persen. Hal ini memberikan dampak terhadap tingkat keuntungan usahatani. Hasil
analisis usahatani bawang merah oleh Nurasa dan Darwis (2007) di Kabupaten
Brebes menunjukkan bahwa produksi yang dihasilkan cukup tinggi mencapai 11.1
ton per hektarnya dengan keuntungan yang diperoleh untuk dua kali musim tanam
dalam setahun sebesar Rp 6 831 000 dengan R/C-rasio sebesar 1.1. Jadi dapat
dikatakan bahwa berusahatani bawang merah memberikan keuntungan meskipun
tingkat keuntungan yang diperoleh petani masih kecil. Perbedaan ini disebabkan
adanya variasi dari produktivitas, harga jual produk dan biaya usahatani bawang
merah yang dikeluarkan pada masing-masing daerah.
Analisis Usahatani bawang merah yang dilakukan oleh Latarang dan Syakur
(2006) membedakan kelompok luas lahan yang digunakan petani yaitu kelompok
usahatani lahan sempit, sedang dan luas. Berdasarkan hasil analisis diperoleh
pendapatan per hektar atas biaya total tertinggi terjadi pada kelompok usahatani
lahan sedang sebesar Rp 25 880 100, kemudian pada urutan kedua adalah kelompok
usahatani lahan luas sebesar Rp 25 613 730 dan pada urutan ketiga adalah pada
kelompok usahatani lahan sempit Rp 19 282 210. Jika dilihat dari R/C rasio bahwa
R/C rasio atas biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total pada kelompok usahatani
lahan sedang adalah 4.04 dan 1.97 lebih besar dibandingkan pada kelompok
9
usahatani lahan sempit adalah 3.47 dan 1.65 dan lahan luas senilai 3.09 dan 1.88.
Hal ini memberikan penjelasan bahwa usahatani bawang merah tersebut dapat
memberikan keuntungan.
Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah dengan Metode
Policy Analysis Matrix (PAM)
Metode Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan metode yang
menggunakan tiga analisis ukuran yakni keuntungan privat dan sosial, analisis
dayasaing berupa keungulan komparatif dan kompetitif, dan analisis dampak
kebijakan pemerintah terhadap komoditas. Penelitian mengenai dayasaing
bukanlah yang pertama kali, banyak peneliti terdahulu yang telah menggunakan
metode PAM ini. Metode PAM membantu mengambil kebijakan baik di pusat
maupun di daerah untuk menelaah tiga isu umum kebijakan pertanian (pearson et
al. 2005). Isu pertama berkaitan dengan sebuah sistem usahatani yang memiliki
dayasaing pada tingkat harga aktual, isu kedua adalah dampak investsi publik
seperti infrastruktur baru dalam sistem usahatani dan isu ketiga berkaitan dengan
dampak investasi baru dalam berbagai bentuk, baik dari segi riset maupun teknologi
pertanian (Pearson 2005; Zimmer 2010). Ketiga isu ini pada dasarnya bertujuan
untuk memberikan informasi dan analisis dalam membantu pengambilan kebijakan
pertanian.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rachman et al (2004) mengenai
pengukuran dayasaing bawang merah di Indramayu dan Majalengka dengan
menggunakan metode PAM. Analisis Dayasaing bawang merah di Majalengka
membedakan dua musim tanam yaitu Musim Kemarau I (MK I) dan Musim
Kemarau II (MK II) dengan perolehan nilai DRCR pada MK I sebesar 0.71 dan MK
II sebesar 0,54. Sedangkan pada Kabupaten Indramayu dibedakan atas tiga musim
yaitu Musim Hujan (MH), Musim Kemarau I (MK I) dan Musim Kemarau II (MK
II) dengan nilai DRCR untuk ketiga musim tersebut berkisar antara 0.55-0.72. Dari
hasil analisis diketahui bahwa usahatani bawang merah di Indramayu di ketiga
musim dan Majalengka di kedua musim memiliki keunggulan komparatif sehingga
memiliki peluang untuk dikembangkan. Apabila dilihat dari nilai PCR di kedua
Kabupaten maka musim kemarau II (MK II) memiliki keunggulan kompetitif yang
lebih baik dibandingkan dengan musim lainnya. Hasil yang sama dengan penelitian
yang dilakukan oleh Saptana (2003) terhadap komoditas kentang dan kubis di
Wonosobo menunjukkan bahwa usahatani komoditas kentang dan kubis dilokasi
tersebut mempunyai keunggulan baik secara kompetitif maupun secara komparatif,
dibuktikan dengan nilai DRCR dan PCR yang lebih besar dari satu. Hasil analisis
untuk komoditas kentang di Kabupaten Wonosobo diperoleh nilai koefisian DRCR
antara 0,239-0,306. Sementara itu untuk komoditas kubis di Wonosobo diperoleh
nilai koefisien DRCR antara 0,660-0,662. Hasil analisis untuk komoditas kentang
di Kabupaten Wonosobo diperoleh nilai koefisian PCR antara 0,413-0,468.
Sementara itu untuk komoditas kubis di Wonosobo diperoleh nilai koefisien PCR
antara 0,854-0,875. Namun penelitian Waryanto (2015) menunjukkan bahwa
usahatani bawang merah di Kabupaten Nganjuk belum memiliki keunggulan
komparatif, karena nilai Domestic Resource Cost sebesar 1.12, artinya bahwa
penggunaan biaya domestik untuk memproduksi satu satuan bawang merah oleh
10
petani lebih tinggi 12 persen dibanding bila mengimpor satu satuan produk yang
sama dan petani bawang merah belum bisa bersaing dengan produsen yang sama
dari negara lain.
Kebijakan pemerintah atau intervensi pemerintah yang diterapkan dalam
pengembangan komoditas memiliki dampak yang berbeda-beda terhadap
dayasaing komoditas tersebut. Joubert et al. (2010) menganalisis keunggulan
komparatif kentang di Afrika Selatan menyatakan bahwa dengan adanya kebijakan
pemerintah pada input dan output komoditas kentang menyebabkan kentang tidak
memiliki keunggulan komparatif di Afrika Selatan. Namun hasil penelitian yang
dilakukan oleh Tinaprilla (2008) menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah
mampu memberikan insentif yang baik terhadap usahatani cabai merah di Lembang
sehingga keuntungan yang diperoleh petani lebih besar jika dibandingkan dengan
keuntungan yang diperoleh tanpa adanya kebijakan atau intervensi pemerintah.
Dari hasil penelitian terdahulu yang menganalisis dayasaing diperoleh
kesimpulan bahwa pengukuran dayasaing dengan menggunakan alat analisis PAM,
selain dapat menganalisis dayasaing suatu sistem usahatani, perhitungannya juga
dapat mengidentifikasi dampak intervensi atau kebijakan pemerintah terhadap
sistem usahatani tersebut. Kebijakan pemerintah terhadap sektor pertanian di
negara yang sedang berkembang seperti Indonesia masih tetap diperlukan baik
untuk melindungi konsumen maupun produsen dalam negeri, kebijakan tersebut
masih diperlukan mengingat komoditas pertanian yang memiliki karakteristik yang
khas dan memiliki perananan strategis dalam struktur perekonomian nasional.
Maka untuk menganalisis tingkat dayasaing suatu komoditas dengan
memperhitungkan dampak dari kebijakan pemerintah lebih tepat jika menggunakan
alat analisis PAM.
Pengukuran Dayasaing
Metode yang dapat digunakan untuk mengukur dayasaing suatu komoditas
pertanian yang telah digunakan pada penelitian-penelitian sebelumnya antara lain
Policy Analysis Matrix (PAM), dan Revealed Comparative Advantage (RCA).
Beberapa metode ini dapat digunakan sesuai dengan tujuan penelitian yang
dilakukan.
Metode Policy Analysis Matrix (PAM) banyak digunakan dalam penelitian
mengenai dayasaing karena hasil analsis PAM ini dapat memberikan informasi
mengenai keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif dengan analisis
perbedaan harga privat dan sosial yang dapat diketahui dari nilai dayasaing suatu
komoditas dan bagaimana dampak kebijakan yang dilakukan pemerintah terhadap
penerimaan petani (Ugochukwu dan Ezedinma 2011; Kasimin dan Suyanti 2012).
Menurut Muthoni dan Nyamongo (2009) bahwa dengan adanya intervensi
pemerintah dapat membantu sua