Analisis efisiensi rantai pasokan komoditas bawang merah (Studi kasus di Kotamadya Bogor)

(1)

ANALISIS EFISIENSI RANTAI PASOKAN

KOMODITAS BAWANG MERAH

(Studi Kasus Di Kotamadya Bogor)

Oleh

NOVIANTI PRIHATININGSIH F34102091

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Novianti Prihatiningsih. F34102091. Analisis Efisiensi Rantai Pasokan Komoditas Bawang Merah (Studi Kasus Di Kota Bogor). Di bawah Bimbingan : Sukardi. 2007

RINGKASAN

Bawang merah merupakan salah satu dari sebelas komoditas unggulan yang diprioritaskan dalam rencana pembangunan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian periode 2005-2009. Rencana pengembangan agribisnis bawang merah salah satunya ditekankan pada penanganan pasca panen dan pengolahan bawang merah untuk meningkatkan nilai tambah. Pendirian industri berbasis komoditas bawang merah memiliki prospek yang cukup tinggi mengingat komoditas sayuran ini termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubtitusi dan bersifat mudah rusak. Pemenuhan kebutuhan bawang merah di Kota Bogor tidak dapat dipenuhi secara mandiri sehingga memerlukan pasokan dari daerah lain. Pertimbangan yang cermat dari segi keefisienan pasokan diperlukan untuk mengembangkan industri berbasis bawang merah di Kota Bogor.

Analisis efisiensi rantai pasokan komoditas bawang merah di Kota Bogor diharapkan dapat memberikan gambaran ketersediaan pasokan bawang merah sebagai pertimbangan pengelolaan supply chain bagi industri pengolahan bawang merah dan dapat dijadikan pertimbangan bagi pihak pengelola pasar untuk mengadakan sistem pemasokan yang lebih efisien. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis pengelolaan rantai pasokan (Supply Chain) komoditas bawang merah yang beredar di Kota Bogor dan (2) menganalisis efisiensi rantai pasokan komoditas bawang merah di Kota Bogor.

Anggota primer rantai pasokan bawang merah di Kota Bogor terdiri dari pengirim, pedagang besar, pedagang pengecer dan konsumen termasuk industri, sedangkan anggota sekundernya terdiri dari lembaga pengangkutan yang bergerak di bidang jasa transportasi, produsen kemasan, buruh angkut, dan penyedia mesin pengiris bawang. Pasokan bawang merah di Kota Bogor berasal dari beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang sangat tergantung pada musim. Daerah yang secara rutin memasok bawang merah adalah Brebes. Pasokan bawang merah diperoleh melalui dua cara, yaitu dikirim langsung oleh pengirim ke pedagang besar Kota Bogor dan dibeli langsung oleh pedagang besar Kota Bogor dari grosir di Pasar Induk Cibitung, Bekasi. Pedagang besar menjual bawang merah kepada para pedagang pengecer yang kemudian disalurkan kepada konsumen.

Terdapat 16 saluran pemasaran bawang merah di Kota Bogor. Saluran pemasaran ke-1 adalah saluran yang paling efisien diantara saluran lainnya. Hal ini terjadi karena saluran pemasaran pertama memiliki marjin pemasaran yang paling rendah dibandingkan saluran pemasaran lainnya yaitu sebesar Rp 1.800,00. Saluran pemasaran 1 terdiri dari pengirim, pedagang besar di Pasar Induk Kemang dan pedagang pengecer di Pasar Baru Bogor.

Model transshipment menghasilkan alokasi bawang merah yang meminimalkan biaya pasokan bawang merah ke pasar-pasar di Kota Bogor. Biaya pasokan minimal diperoleh jika pedagang besar Pasar Induk Kemang mendapat


(3)

pasokan bawang merah dari pengirim (687,5 ton), pedagang besar Pasar Baru Bogor mendapat pasokan bawang merah dari grosir Pasar Induk Cibitung (137,5 ton), pengecer Pasar Baru Bogor mendapat pasokan bawang merah dari pedagang besar Pasar Baru Bogor (104 ton). Pasar Sukasari dan Pasar Gunung Batu memperoleh pasokan bawang merah dari pedagang besar Pasar Induk Kemang dengan jumlah secara berurutan sebesar 6 ton dan 4,5 ton. Pemasokan bawang merah dengan alokasi tersebut akan lebih efisien karena akan mengurangi biaya pasokan sebesar Rp 22.357.000,00 per bulan.


(4)

Novianti Prihatiningsih. F34102091. An Analysis of Supply Chain Efficiency of Shallot Commodity (Case Study in Bogor Regency, Indonesia). Supervised by Sukardi. 2007

SUMMARY

Shallot is one of the eleven main comodities that is priorited in agriculture crops processing and marketing development plan for 2005 – 2009 period. One focus of shallot agroindustry development plan is on shallot post harvest handling and processing to increase it’s added value. The development of shallot based industry has high prospect considering this vegetable commodity is included in group of insubstitute and perishable spices. Demand of shallot in Bogor is fulfilled from several regions. An accurate consideration of supply chain efficiency is needed to develop shallot based industries in Bogor.

The efficiency analysis to supply chains of shallot commodity in Bogor can give some informations necessary for shallot industries. This research is expected to help the markets managers to implement more efficient supply chain. This research is intended to : (1) analyze the management of supply chain of shallot in Bogor and (2) analyze the efficiency of shallot supply chain of shallot in Bogor.

The primary members of supply chain in Bogor are : supplier, wholesalers, retailers, and consumers including industries. The secondary members are : transportation service companies, the packaging producers, labours and the shallot slicer machine suppliers. Supply of shallot in Bogor comes from Central Java and East Java that’s depend on the climate. Brebes supplies shallots to Bogor regularly. Shallot are supplied to traditional markets in Bogor in two ways, which are : direct delivery by suppliers to wholesalers in Bogor and directly bought by wholesaler in Bogor from grocers at Pasar Induk Cibitung, Bekasi. The wholesalers sell the shallot to retailers who then distribute the shallots to consumers.

Supply chain efficiency can be measured by the marketing efficiency approach. Specificly, marketing efficiency value could be gain by marketing margin calculation. There are 16 shallot supply channel in Bogor. Marketing channel No. 1 is the most efficient channel among the other channels, because it’s have marketing marjin is lowest to be compared to other marketing channel that is equal to Rp 1.800,00. This supply channel consist of supplier, wholesaler at Pasar Induk Kemang, and retailer from Pasar Baru Bogor.

Transshipment model result is shallot allocation that minimize the shallot supply cost to traditional markets in Bogor. The calculation results that minimum cost can be obtained if the wholesalers in Pasar Induk Kemang receive delivery from supplier as much as 687,5 tons, wholesalers in Pasar baru Bogor buy shallot from grocers at Pasar Induk Cibitung as much as 137,5 tons per month, retailers in Pasar Baru Bogor buy shallot directly from wholesalers at Pasar Baru Bogor, and the retailer Pasar Sukasari and Pasar Gunung Batu buy shallot from Pasar Induk Kemang. With such allocation, the current cost can be reduced by Rp 22.357.000,00 per month.


(5)

ANALISIS EFISIENSI RANTAI PASOKAN KOMODITAS BAWANG MERAH (Studi Kasus Di Kotamadya Bogor)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

NOVIANTI PRIHATININGSIH F34102091

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

ANALISIS EFISIENSI RANTAI PASOKAN KOMODITAS BAWANG MERAH (Studi Kasus Di Kotamadya Bogor)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Novianti Prihatiningsih F34102091

Dilahirkan pada tanggal 22 November 1983 Di Bogor

Tanggal lulus : Disetujui,

Bogor, 18 April 2007

Dr. Ir. Sukardi, MM Dosen Pembimbing


(7)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Analisis Efisiensi Rantai Pasokan Komoditas Bawang Merah (Studi Kasus Di Kotamadya Bogor)” adalah hasil karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditujukan rujukannya.

Bogor, April 2007

Yang Membuat Pernyataan,

Novianti Prihatiningsih F34102091


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 22 November 1983 dari pasangan M. Sarwanto dan Ngatidjah. Penulis adalah anak terakhir dari empat bersaudara. Pada tahun 1989 penulis masuk Taman Kanak-Kanak Perisna dan lulus pada tahun 1990, kemudian melanjutkan ke SD Negeri Telukpinang 1 Ciawi dan lulus pada tahun 1996. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Ciawi dan lulus tahun 1999. Tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 3 Bogor dan lulus tahun 2002.

Tahun 2002 penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis melaksanakan Praktek Lapangan di PT Indolakto, Sukabumi pada tahun 2005. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana, penulis menyusun skripsi yang berjudul Analisis Efisiensi Rantai Pasokan Komoditas Bawang Merah (Studi Kasus Di Kotamadya Bogor).


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Efisiensi Rantai Pasokan Komoditas Bawang Merah (Studi Kasus Di Kotamadya Bogor)”. Skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis telah mendapatkan banyak bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Dr. Ir. Sukardi, MM selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan selama penulis menjadi mahasiswa S1 serta dalam penelitian.

2. Dr. Ir. Yandra Arkeman M. Eng dan Ir. Indah Yuliasih, MSi atas kesediaannya menjadi penguji serta atas arahan dan bimbingannya.

3. Pihak Kantor Kesbang-Linmas dan Dinas Perindagkop Kotamadya Bogor, para staf Unit Pengelola Teknis Dinas Pasar Baru Bogor, Pasar Warung Jambu, Pasar Kebon Kembang, Pasar Merdeka, Pasar Sukasari, Pasar Gunung Batu, Pasar Padasuka, Pasar Induk Kemang, serta para pedagang bawang merah atas kesediannya untuk membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian.

4. Kedua orangtua, kakak-kakak, keponakan-keponakan serta keluarga besar atas doa, dorongan dan semangat yang diberikan kepada penulis selama menempuh kuliah dan menyelesaikan penelitian.

5. Sahabat-sahabat penulis (Hani, Diny, Fery, Tantri, Okie, Dodot) atas doa, dukungan dan kebersamaanya.

6. Teman-teman sebimbingan (Euis, Asep, Mbak Wati dan Mas Rio) atas bantuan dan kebersamaannya.

7. Seluruh mahasiswa TIN 39 dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya selama penulis menyelesaikan kuliah dan penulisan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu persatu.


(10)

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas semua bantuan dan dorongan yang telah diberikan. Penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna sehingga penulis sangat terbuka terhadap saran dan kritik yang bersifat membangun. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, April 2007


(11)

ANALISIS EFISIENSI RANTAI PASOKAN

KOMODITAS BAWANG MERAH

(Studi Kasus Di Kotamadya Bogor)

Oleh

NOVIANTI PRIHATININGSIH F34102091

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

Novianti Prihatiningsih. F34102091. Analisis Efisiensi Rantai Pasokan Komoditas Bawang Merah (Studi Kasus Di Kota Bogor). Di bawah Bimbingan : Sukardi. 2007

RINGKASAN

Bawang merah merupakan salah satu dari sebelas komoditas unggulan yang diprioritaskan dalam rencana pembangunan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian periode 2005-2009. Rencana pengembangan agribisnis bawang merah salah satunya ditekankan pada penanganan pasca panen dan pengolahan bawang merah untuk meningkatkan nilai tambah. Pendirian industri berbasis komoditas bawang merah memiliki prospek yang cukup tinggi mengingat komoditas sayuran ini termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubtitusi dan bersifat mudah rusak. Pemenuhan kebutuhan bawang merah di Kota Bogor tidak dapat dipenuhi secara mandiri sehingga memerlukan pasokan dari daerah lain. Pertimbangan yang cermat dari segi keefisienan pasokan diperlukan untuk mengembangkan industri berbasis bawang merah di Kota Bogor.

Analisis efisiensi rantai pasokan komoditas bawang merah di Kota Bogor diharapkan dapat memberikan gambaran ketersediaan pasokan bawang merah sebagai pertimbangan pengelolaan supply chain bagi industri pengolahan bawang merah dan dapat dijadikan pertimbangan bagi pihak pengelola pasar untuk mengadakan sistem pemasokan yang lebih efisien. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis pengelolaan rantai pasokan (Supply Chain) komoditas bawang merah yang beredar di Kota Bogor dan (2) menganalisis efisiensi rantai pasokan komoditas bawang merah di Kota Bogor.

Anggota primer rantai pasokan bawang merah di Kota Bogor terdiri dari pengirim, pedagang besar, pedagang pengecer dan konsumen termasuk industri, sedangkan anggota sekundernya terdiri dari lembaga pengangkutan yang bergerak di bidang jasa transportasi, produsen kemasan, buruh angkut, dan penyedia mesin pengiris bawang. Pasokan bawang merah di Kota Bogor berasal dari beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang sangat tergantung pada musim. Daerah yang secara rutin memasok bawang merah adalah Brebes. Pasokan bawang merah diperoleh melalui dua cara, yaitu dikirim langsung oleh pengirim ke pedagang besar Kota Bogor dan dibeli langsung oleh pedagang besar Kota Bogor dari grosir di Pasar Induk Cibitung, Bekasi. Pedagang besar menjual bawang merah kepada para pedagang pengecer yang kemudian disalurkan kepada konsumen.

Terdapat 16 saluran pemasaran bawang merah di Kota Bogor. Saluran pemasaran ke-1 adalah saluran yang paling efisien diantara saluran lainnya. Hal ini terjadi karena saluran pemasaran pertama memiliki marjin pemasaran yang paling rendah dibandingkan saluran pemasaran lainnya yaitu sebesar Rp 1.800,00. Saluran pemasaran 1 terdiri dari pengirim, pedagang besar di Pasar Induk Kemang dan pedagang pengecer di Pasar Baru Bogor.

Model transshipment menghasilkan alokasi bawang merah yang meminimalkan biaya pasokan bawang merah ke pasar-pasar di Kota Bogor. Biaya pasokan minimal diperoleh jika pedagang besar Pasar Induk Kemang mendapat


(13)

pasokan bawang merah dari pengirim (687,5 ton), pedagang besar Pasar Baru Bogor mendapat pasokan bawang merah dari grosir Pasar Induk Cibitung (137,5 ton), pengecer Pasar Baru Bogor mendapat pasokan bawang merah dari pedagang besar Pasar Baru Bogor (104 ton). Pasar Sukasari dan Pasar Gunung Batu memperoleh pasokan bawang merah dari pedagang besar Pasar Induk Kemang dengan jumlah secara berurutan sebesar 6 ton dan 4,5 ton. Pemasokan bawang merah dengan alokasi tersebut akan lebih efisien karena akan mengurangi biaya pasokan sebesar Rp 22.357.000,00 per bulan.


(14)

Novianti Prihatiningsih. F34102091. An Analysis of Supply Chain Efficiency of Shallot Commodity (Case Study in Bogor Regency, Indonesia). Supervised by Sukardi. 2007

SUMMARY

Shallot is one of the eleven main comodities that is priorited in agriculture crops processing and marketing development plan for 2005 – 2009 period. One focus of shallot agroindustry development plan is on shallot post harvest handling and processing to increase it’s added value. The development of shallot based industry has high prospect considering this vegetable commodity is included in group of insubstitute and perishable spices. Demand of shallot in Bogor is fulfilled from several regions. An accurate consideration of supply chain efficiency is needed to develop shallot based industries in Bogor.

The efficiency analysis to supply chains of shallot commodity in Bogor can give some informations necessary for shallot industries. This research is expected to help the markets managers to implement more efficient supply chain. This research is intended to : (1) analyze the management of supply chain of shallot in Bogor and (2) analyze the efficiency of shallot supply chain of shallot in Bogor.

The primary members of supply chain in Bogor are : supplier, wholesalers, retailers, and consumers including industries. The secondary members are : transportation service companies, the packaging producers, labours and the shallot slicer machine suppliers. Supply of shallot in Bogor comes from Central Java and East Java that’s depend on the climate. Brebes supplies shallots to Bogor regularly. Shallot are supplied to traditional markets in Bogor in two ways, which are : direct delivery by suppliers to wholesalers in Bogor and directly bought by wholesaler in Bogor from grocers at Pasar Induk Cibitung, Bekasi. The wholesalers sell the shallot to retailers who then distribute the shallots to consumers.

Supply chain efficiency can be measured by the marketing efficiency approach. Specificly, marketing efficiency value could be gain by marketing margin calculation. There are 16 shallot supply channel in Bogor. Marketing channel No. 1 is the most efficient channel among the other channels, because it’s have marketing marjin is lowest to be compared to other marketing channel that is equal to Rp 1.800,00. This supply channel consist of supplier, wholesaler at Pasar Induk Kemang, and retailer from Pasar Baru Bogor.

Transshipment model result is shallot allocation that minimize the shallot supply cost to traditional markets in Bogor. The calculation results that minimum cost can be obtained if the wholesalers in Pasar Induk Kemang receive delivery from supplier as much as 687,5 tons, wholesalers in Pasar baru Bogor buy shallot from grocers at Pasar Induk Cibitung as much as 137,5 tons per month, retailers in Pasar Baru Bogor buy shallot directly from wholesalers at Pasar Baru Bogor, and the retailer Pasar Sukasari and Pasar Gunung Batu buy shallot from Pasar Induk Kemang. With such allocation, the current cost can be reduced by Rp 22.357.000,00 per month.


(15)

ANALISIS EFISIENSI RANTAI PASOKAN KOMODITAS BAWANG MERAH (Studi Kasus Di Kotamadya Bogor)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

NOVIANTI PRIHATININGSIH F34102091

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(16)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

ANALISIS EFISIENSI RANTAI PASOKAN KOMODITAS BAWANG MERAH (Studi Kasus Di Kotamadya Bogor)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Novianti Prihatiningsih F34102091

Dilahirkan pada tanggal 22 November 1983 Di Bogor

Tanggal lulus : Disetujui,

Bogor, 18 April 2007

Dr. Ir. Sukardi, MM Dosen Pembimbing


(17)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Analisis Efisiensi Rantai Pasokan Komoditas Bawang Merah (Studi Kasus Di Kotamadya Bogor)” adalah hasil karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditujukan rujukannya.

Bogor, April 2007

Yang Membuat Pernyataan,

Novianti Prihatiningsih F34102091


(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 22 November 1983 dari pasangan M. Sarwanto dan Ngatidjah. Penulis adalah anak terakhir dari empat bersaudara. Pada tahun 1989 penulis masuk Taman Kanak-Kanak Perisna dan lulus pada tahun 1990, kemudian melanjutkan ke SD Negeri Telukpinang 1 Ciawi dan lulus pada tahun 1996. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Ciawi dan lulus tahun 1999. Tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 3 Bogor dan lulus tahun 2002.

Tahun 2002 penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis melaksanakan Praktek Lapangan di PT Indolakto, Sukabumi pada tahun 2005. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana, penulis menyusun skripsi yang berjudul Analisis Efisiensi Rantai Pasokan Komoditas Bawang Merah (Studi Kasus Di Kotamadya Bogor).


(19)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Efisiensi Rantai Pasokan Komoditas Bawang Merah (Studi Kasus Di Kotamadya Bogor)”. Skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis telah mendapatkan banyak bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Dr. Ir. Sukardi, MM selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan selama penulis menjadi mahasiswa S1 serta dalam penelitian.

2. Dr. Ir. Yandra Arkeman M. Eng dan Ir. Indah Yuliasih, MSi atas kesediaannya menjadi penguji serta atas arahan dan bimbingannya.

3. Pihak Kantor Kesbang-Linmas dan Dinas Perindagkop Kotamadya Bogor, para staf Unit Pengelola Teknis Dinas Pasar Baru Bogor, Pasar Warung Jambu, Pasar Kebon Kembang, Pasar Merdeka, Pasar Sukasari, Pasar Gunung Batu, Pasar Padasuka, Pasar Induk Kemang, serta para pedagang bawang merah atas kesediannya untuk membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian.

4. Kedua orangtua, kakak-kakak, keponakan-keponakan serta keluarga besar atas doa, dorongan dan semangat yang diberikan kepada penulis selama menempuh kuliah dan menyelesaikan penelitian.

5. Sahabat-sahabat penulis (Hani, Diny, Fery, Tantri, Okie, Dodot) atas doa, dukungan dan kebersamaanya.

6. Teman-teman sebimbingan (Euis, Asep, Mbak Wati dan Mas Rio) atas bantuan dan kebersamaannya.

7. Seluruh mahasiswa TIN 39 dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya selama penulis menyelesaikan kuliah dan penulisan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu persatu.


(20)

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas semua bantuan dan dorongan yang telah diberikan. Penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna sehingga penulis sangat terbuka terhadap saran dan kritik yang bersifat membangun. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, April 2007


(21)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan ... 4

C. Ruang Lingkup ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A. Bawang Merah ... 5

B. Produksi, Konsumsi, Ekspor dan Impor Bawang Merah di Indonesia 12

C. Rantai Pasokan/Supply Chain ... 14

D. Identifikasi Anggota Rantai Pasokan ... 16

E. Pemasaran dan Efisiensi Pemasaran ... 19

F. Pengendalian Persediaan ... 22

G. Program Linier ... 23

H. Model Transshipment ... 26

I. LINDO ... 27

J. Hasil Penelitian Terdahulu ... 28

III. METODOLOGI ... 31

A. Kerangka Pemikiran ... 31

B. Tata Laksana ... 32

IV. PEMBAHASAN ... 37

A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 37

B. Konsumsi dan Kebutuhan Bawang Merah ... 40

C. Identifikasi Anggota Rantai Pasokan ... 41

D. Konfigurasi Jaringan Logistik ... 45

E. Pengendalian Persediaan ... 50

F. Marjin Pemasaran ... 51

G. Model Transshipment ... 55

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68

LAMPIRAN ... 71


(22)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Syarat mutu bawang merah sesuai dengan SNI ... 9 Tabel 2. Persyaratan mutu bawang merah sesuai dengan permintaan segmen

pasar ... 9 Tabel 3. Kandungan dan komposisi gizi dalam tiap 100 gram bawang

merah ... 11 Tabel 4. Produksi, luas panen, dan produktivitas bawang merah di

Indonesia tahun 2000-2004 ... 12 Tabel 5. Volume ekspor dan impor bawang merah di Indonesia tahun 2002

– 2004 (dalam ton) ... 13 Tabel 6. Jumlah penduduk Kota Bogor tahun 2000 – 2004(dalam jiwa) ... 38 Tabel 7. Perkembangan konsumsi total bawang merah di Indonesia tahun

1995 – 2000 ... 40 Tabel 8. Konsumsi bawang merah Kota Bogor selama tahun 2006 ... 41 Tabel 9. Aktivitas anggota primer rantai pasokan bawang merah di Kota

Bogor ... 43 Tabel 10. Kebutuhan bawang merah industri pengolahnya di Kota Bogor ... 49 Tabel 11. Total biaya, total keuntungan dan total marjin saluran pemasaran 1,

2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8 bawang merah (dalam Rp/kg) ... 54 Tabel 12. Total biaya, total keuntungan dan total marjin saluran pemasaran 9,

10, 11, 12, 13, 14, 15 dan 16 bawang merah (dalam Rp/kg) ... 54 Tabel 13. Variabel keputusan ... 57 Tabel 14. Biaya pasokan dari tiap sumber ke tiap tujuan (Cij) ... 61

Tabel 15. Nilai optimal variabel keputusan (dalam ton) ... 62 Tabel 16. Batas-batas perubahan koefisien fungsi tujuan (Rp/kg) ... 64 Tabel 17. Rentang perubahan sisi kanan fungsi kendala ... 65


(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Bawang merah ... 5 Gambar 2. Penampang membujur dan melintang umbi bawang merah ... 6 Gambar 3. Rangkaian rantai pasokan (Supply Chain Stages) ... 18 Gambar 4. Sumber dan penyebaran pasokan bawang merah per bulan di

Kota Bogor . ... 48 Gambar 5. Saluran pasokan bawang merah di kota bogor ... 52 Gambar 6. Skema sumber dan pasar tujuan pasokan bawang merah ... 56


(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Tahapan Tata Laksana Penelitian ... 72 Lampiran 2. Peta Lokasi Penelitian ... 73 Lampiran 3. Sumber dan Penyebaran Pasokan Bawang Merah per Bulan di

Kota Bogor ... 74 Lampiran 4. Perhitungan Marjin Pemasaran Bawang Merah Saluran

Pemasaran 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 (per kg) ... 75 Lampiran 5. Perhitungan Marjin Pemasaran Bawang Merah Saluran

Pemasaran 7, 8, 9, 10, 11, dan 12 (per kg) ... 77 Lampiran 6. Perhitungan Marjin Pemasaran Bawang Merah Saluran

Pemasaran 13, 14, 15, dan 16 (per kg) ... 79 Lampiran 7. Selisih Biaya Selama Ini dengan Biaya Pasokan Optimal (per

bulan) ... 81 Lampiran 8. Formulasi Masalah Dalam LINDO ... 82 Lampiran 9. Solusi Optimal Berdasarkan Perhitungan Lindo ... 83 Lampiran 10. Analisis Sensitivitas Berdasarkan Perhitungan Lindo ... 84


(25)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bawang Merah bersama sebelas komoditas lain seperti beras, ketan, jagung, kelapa, kakao, temulawak, manggis, jarak pagar, ubi kayu, jeruk dan sapi merupakan komoditas unggulan yang diprioritaskan dalam rencana pembangunan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian periode 2005-2009. Rencana pengembangan agribisnis bawang merah salah satunya diprioritaskan pada penanganan pasca panen dan pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah. Hal ini dilakukan karena bawang merah merupakan salah satu sumber pendapatan petani maupun ekonomi negara. Meskipun harga di pasaran sering berfluktuasi tajam, usaha bawang merah tetap menjadi andalan petani (terutama di musim kemarau) dan menghasilkan keuntungan yang memadai. Permintaan bawang merah terus meningkat, tidak hanya di pasar dalam negeri, tetapi berpeluang juga untuk ekspor (Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2006).

Bawang merah memiliki banyak manfaat, diantaranya sebagai bumbu penyedap rasa masakan. Menurut Rahayu dan Berlian (1998), adanya kandungan minyak atsiri yang terdapat dalam bawang merah menimbulkan aroma khas dan memberikan cita rasa yang gurih serta mengundang selera. Disamping itu, kandungan minyak atsiri juga berfungsi sebagai pengawet karena bersifat bakterisida dan fungisida untuk bakteri dan cendawan.

Manfaat lain yang diperoleh dari bawang merah yaitu dapat digunakan sebagai obat tradisional. Dalam bawang merah terkandung flavon-glikosida yang berfungsi sebagai antiradang, dan pembunuh bakteri. Kandungan lain yaitu saponin, berkhasiat untuk mengencerkan dahak. Bawang merah juga memiliki khasiat menurunkan panas, menghangatkan badan, memudahkan pengeluaran angin dari perut, melancarkan pengeluaran air seni, dan mencegah penggumpalan darah. Selain itu, tanaman ini juga mampu menurunkan kolesterol dan kadar gula, menghambat penumpukkan trombosit, serta meningkatkan aktifitas fibrinolitik sehingga dapat memperlancar aliran darah. Bawang merah juga mampu memobilisasi kolesterol dari tempat


(26)

penimbunannya. Adanya pengaruh semacam ini menyebabkan bawang merah mampu menekan penyakit kencing manis dan kemungkinan komplikasinya. Menurut hasil penelitian terakhir, bawang merah bisa mencegah kanker karena kandungan sulfurnya (Republika Online, 2004).

Kebutuhan bawang merah terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertambahan penduduk dan daya beli. Tetapi terdapat beberapa kendala dalam usaha bawang merah. Salah satu kendala utama adalah terjadinya fluktuasi harga yang tidak menentu. Turun naiknya harga tidak dapat dipastikan, tergantung dari kondisi pasar. Setiap daerah umumnya memiliki kondisi pasar yang berbeda-beda sehingga mengakibatkan perbedaan harga antara daerah satu dengan lainnya. Salah satu sebab dari masalah ini adalah adanya ketergantungan produksi terhadap musim. Pada musim panen jumlah produksi melimpah, sedangkan pada musim paceklik terjadi sebaliknya. Jumlah produksi yang melimpah akan menyebabkan turunnya harga dipasaran karena tingkat penawaran yang lebih besar dari permintaan. Keadaan akan berubah sebaliknya jika jumlah produksi lebih rendah dari yang dibutuhkan sehingga mengakibatkan harga naik. Melihat hal ini serta pertimbangan bawang merah merupakan produk yang mudah rusak (perishable), maka pendirian industri berbasis komoditas bawang merah memiliki prospek yang cukup tinggi. Bawang merah dapat diolah sedemikian rupa sehingga mempunyai nilai tambah. Hal ini sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan bawang merah dan menghindari fluktuasi harga yang disebabkan produksi yang tidak menentu.

Selain dijual dalam bentuk bawang segar, berbagai produk olahan dapat dihasilkan dari komoditas bawang. Dalam industri makanan, umbi bawang merah sering diolah sehingga mempunyai nilai tambah seperti irisan kering, bawang goreng, bubuk bawang merah, oleoresin, minyak bawang, acar, dan pasta.

Keadaan geografis kota Bogor yang berada ditengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya yang berdekatan dengan ibukota negara, menjadikan Kota Bogor sebagai tempat yang strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan industri. Kebutuhan bawang merah di Kota Bogor tidak dapat


(27)

dipenuhi secara mandiri sehingga penyediaan bawang merah harus dipasok dari daerah lain. Oleh karena itu, untuk mendirikan atau mengembangkan industri berbasis bawang merah di Kota Bogor, memerlukan pertimbangan yang cermat dari segi sistem dan ketersediaan komoditas ini.

Supply Chain Management (SCM) merupakan salah satu cara baru dalam memandang mata rantai penyediaan barang, dimana masalah logistik dilihat sebagai rangkaian yang sangat panjang sejak dari bahan dasar sampai barang jadi yang dipakai konsumen akhir. Simchi-Levi, et al. (2003) mendefinisikan SCM sebagai serangkaian pendekatan yang diterapkan untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang dan tempat penyimpanan lainnya secara efisien sehingga produk dihasilkan dan didistribusikan dengan kuantitas yang tepat, lokasi dan waktu yang tepat untuk memperkecil biaya dan memuaskan kebutuhan pelanggan. Dengan demikian sistem ketersediaan produk yang didapat dari berbagai pemasok (Supplier) pada komoditas bawang merah merupakan suatu fenomena yang menarik untuk dijadikan dasar penelitian dengan menggunakan pendekatan SCM. Pendekatan ini ditujukan untuk pengelolaan dan pengawasan hubungan saluran distribusi secara kooperatif untuk kepentingan semua pihak yang terlibat, untuk mengefisienkan penggunaan sumberdaya dalam mencapai tujuan kepuasan konsumen rantai pasokan.

Pertimbangan rancangan supply chain meliputi pengelolaan bagian hulu dan hilir rantai pasokan. Bagian hulu rantai pasokan terdiri dari proses-proses yang berlangsung antara pemasok dan pihak pabrik. Pertimbangan rancangan hulu rantai pasokan perlu memperhatikan dukungan pasokan bahan baku. Analisis efisiensi rantai pasokan bawang meah di Kota Bogor diharapkan dapat memberikan gambaran ketersediaan pasokan bawang merah sebagai pertimbangan pengelolaan supply chain bagi industri pengolah bawang merah. Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan pertimbangan bagi pihak pengelola pasar untuk mengadakan sistem pemasokan yang lebih efisien.


(28)

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis pengelolaan rantai pasokan (Supply Chain) komoditas bawang merah di Kota Bogor.

2. Menganalisis efisiensi saluran rantai pasokan bawang merah di Kota Bogor.

C. Ruang Lingkup

Masalah khusus ini mempelajari dan menganalisa faktor-faktor yang berpengaruh pada mekanisme rantai pasokan komoditas bawang merah yang masuk ke Kota Bogor dengan memperhatikan pelaku-pelaku yang berperan di dalamnya seperti pedagang di pasar induk, pedagang di pasar tradisional dan instansi-instansi yang terkait. Biaya-biaya yang dianalisis adalah biaya yang terkait dengan pemasaran komoditas bawang merah guna menentukan tingkat efisiensi jaringan distribusi yaitu dengan menganalisis marjin pemasaran. Selain itu, biaya-biaya pemasaran juga digunakan untuk mencari solusi optimal yang akan menghasilkan rancangan alokasi bawang merah dengan biaya terendah di Kota Bogor. Aktivitas anggota rantai pasokan yang dianalisis khususnya adalah yang dilakukan oleh anggota primer.

Wilayah pasar yang dianalisis adalah wilayah pemasaran di Kota Bogor. Data dan informasi yang diperoleh berasal dari pedagang di Pasar Induk Kemang, Pasar Baru Bogor, Pasar Warung Jambu, Pasar Kebon Kembang, Pasar Merdeka, Pasar Sukasari, Pasar Gunung Batu, Pasar Padasuka, pengirim bawang merah, Departemen Pertanian, Dinas Pertanian, Dirjen Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kota Bogor, Direktorat Bina Produksi Hortikultura, Biro Pusat Statistik dan studi literatur.


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Bawang Merah

Tanaman bawang merah dikenal hampir di setiap daerah di wilayah tanah air. Kalangan Internasional menyebutnya shallot. Bawang merah memiliki nama latin Allium cepa var. ascalonicum atau Allium ascalonicum. Bawang merah merupakan tanaman satu marga dengan tanaman bawang daun, bawang putih dan bawang bombay yang termasuk dalam famili Liliaceae (Rukmana, 1994). Di dalam dunia tumbuhan, tanaman bawang merah diklasifikasikan kedalam Divisi Spermatophyta, Sub Divisi Angiospermae, Kelas Monocotyledonae, Ordo Liliales/Liliflorae, Keluarga Liliaceae, Genus Allium dan Spesies Allium ascalonicum atau Allium cepa var. ascalonicum (Rahayu dan Berlian, 1998).

Gambar 1. Bawang merah

Bawang merah telah lama dikenal dan digunakan orang sejak beberapa ribu tahun yang lalu. Menurut Rahayu dan Berlian (1998), tanaman bawang merah diduga berasal dari daerah Asia Tengah, yaitu di deretan daerah sekitar India, Pakistan sampai Palestina. Negara-negara di Eropa Barat, Eropa Timur dan Spanyol baru mengenal bawang merah sekitar abad kedelapan. Dari sinilah kemudian bawang merah menyebar hingga ke daratan Amerika, Asia Timur dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Di Indonesia, daerah yang menjadi sentra produksi bawang merah yaitu Brebes, Probolinggo, Majalengka, Tegal, Nganjuk, Cirebon, Kediri, Bandung, Malang dan


(30)

Pemalang. Daerah-daerah tersebut termasuk ke dalam urutan sepuluh besar sentra produksi bawang merah di Indonesia.

Bawang merah termasuk tanaman semusim yang berumbi lapis, berakar serabut serta mempunyai bentuk daun silindris. Pangkal daun bersatu membentuk batang-batang semu yang kelak berubah bentuk dan fungsi dari bentuk pangkal daun menjadi umbi lapis. Lapisan pembungkus siung umbi bawang merah tidak banyak, terbatas pada 2-3 helai dan tidak tebal. Sebaliknya lapisan-lapisan dari setiap siung ini berukuran relatif lebih tebal. Setiap siung dapat membentuk umbi baru dan sekaligus membentuk umbi samping sehingga terbentuklah rumpun yang terdiri atas 3-8 umbi baru. Bawang merah merupakan tanaman rendah yang tingginya hanya mencapai 15-60 cm. Daun bawang merah berbentuk pipa dan warnanya hijau muda. Akarnya berbentuk serabut, tidak panjang dan tidak pula dalam. Karena sifat perakaran inilah maka bawang merah tidak tahan kekeringan (Wibowo, 1999).

Gambar 2. Penampang membujur dan melintang umbi bawang merah (Rahayu dan Berlian, 1998)

Bawang merah banyak dibudidayakan di dataran rendah yang beriklim kering dengan suhu yang agak panas dan cuaca cerah. Tanaman ini juga tidak menyukai tempat yang tergenang air (Rahayu dan Berlian, 1998). Bawang


(31)

merah dapat dibudidayakan dengan syarat pertumbuhan antara lain : tanah subur, banyak mengandung humus, tidak tergenang air, aerasi (pertukaran udara dalam tanah) baik, pH antara 5,5 – 6,5. Jika pH terlalu rendah (kurang dari 5,5) maka garam-garam Alumunium (Al) yang terlarut akan bersifat racun terhadap bawang merah yang menyebabkan tanaman tumbuh kerdil. Demikian juga dengan pH yang lebih besar dari 6,5 maka unsur mikro Mangan (Mn) tidak dapat digunakan, sehingga umbi kecil-kecil dan hasil produksi rendah.

Selain itu, tanaman bawang merah dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran rendah sampai dataran tinggi yaitu pada ketinggian kurang lebih 1.100 meter diatas permukaan laut (dpl). Walaupun demikian, ketinggian tempat yang paling ideal untuk menghasilkan produk yang optimal adalah antara 0-800 meter dpl. Selain itu, untuk menghasilkan produksi bawang merah terbaik di dataran rendah harus didukung dengan keadaan iklim yang meliputi suhu udara 25oC-32oC dan beriklim kering. Tanaman ini sangat menyukai areal yang terbuka dan mendapat sinar matahari kurang lebih 70%, karena bawang merah termasuk tanaman yang memerlukan sinar matahari cukup (long day plan). Tiupan angin yang sepoi-sepoi juga akan berpengaruh baik terhadap laju proses fotosintesis, sehingga akan meningkatkan produksi umbi (Rukmana, 1994).

Menurut Samadi dan Cahyono (1996) dalam Hamid (2004), tanaman bawang merah masih dapat ditanam di dataran tinggi, tetapi hasilnya tidak sebaik jika ditanam di dataran rendah. Tanaman bawang merah yang ditanam di dataran tinggi menghasilkan umbi yang kecil-kecil dan umur panennya panjang, yaitu 80 – 90 hari, sedangkan bawang merah yang ditanam di dataran rendah biasanya akan menghasilkan umbi yang besar-besar dan umur panennya sekitar 60 – 70 hari bahkan bisa kurang tergantung varietas yang digunakan. Hasil bawang merah sangat dipengaruhi oleh lamanya tanaman menerima sinar matahari. Lama penyinaran sinar matahari tergantung varietasnya, berkisar antara 11 – 16 jam. Oleh karena itu, tanaman ini paling baik ditanam pada awal musim kemarau, yaitu pada bulan Maret atau April sampai bulan Oktober.


(32)

Tanaman bawang merah yang sudah dipanen perlu mendapatkan penanganan yang hati-hati agar kualitasnya dapat dipertahankan dengan baik. Kerusakan bawang merah dapat disebabkan oleh penurunan kandungan air, pertumbuhan tunas, pertumbuhan akar, kebusukan, dan pelunakan umbi. Kerusakan-kerusakan tersebut akan menyebabkan penurunan mutu bawang merah baik dari nilai gizi,warna, bau, maupun rasa.

Penanganan yang dapat dilakukan untuk menghindari kerusakan bawang merah setelah dipanen meliputi pembersihan, pengeringan, sortasi dan grading, penyimpanan, pengemasan, pengangkutan, dan pengolahan. Pembersihan umbi bawang merah dilakukan untuk menghindari terjadinya busuk umbi karena banyaknya tanah yang melekat pada saat umbi tersebut baru dipanen. Pengeringan dilakukan agar umbi bawang merah dapat terhindar dari kerusakan yang disebabkan oleh cendawan dan bakteri pembusuk serta penyakit lainnya. Pengeringan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu dengan penjemuran, pengasapan dan pengeringan dengan menggunakan alat mekanis. Pengeringan ini berlangsung hingga didapat bobot penyusutan umbi berkisar 15-20% dari bobot hasil panen.

Kegiatan sortasi dilakukan untuk memisahkan umbi bawang merah yang baik dari yang cacat, busuk, terkena hama dan penyakit atau kerusakan lainnya. Ukuran atau kriteria yang dapat dijadikan acuan, yaitu :

1. keseragaman sifat varietas, 2. ketuaan/umur umbi, 3. tingkat kekeringan, 4. bebas hama dan penyakit,

5. bentuk umbi (bulat atau lonjong), dan 6. ukuran besar kecilnya umbi.

Berdasarkan kriteria diatas, umbi bawang merah dapat dikelaskan (grading) ke dalam beberapa tingkat mutu. Berdasarkan SNI bawang merah SNI 01–3159-1992, persyaratan mutu bawang merah digolongkan dalam 2 jenis mutu yaitu Mutu I dan Mutu II. Batasan-batasan mutunya dijelaskan seperti yang tertera pada Tabel 1.


(33)

Tabel 1. Syarat mutu bawang merah sesuai dengan SNI

Karakteristik Syarat

Mutu I Mutu II

Verietas seragam seragam

Ketuaan tua cukup tua

Kekerasan keras cukup keras

Diameter min. 1,7 cm min. 1,3 cm

Kerusakan (b/b) maks. 5 % maks. 8%

Busuk (b/b) maks. 1% maks. 2 %

Kotoran (b/b) tidak ada (%) tidak ada (%) Sumber : Departemen Pertanian (2006)

Disamping syarat mutu yang ditetapkan dalam SNI bawang merah, segmen pasar juga menetapkan persyaratan-persyaratan dan mengelompokan dalam beberapa kelas mutu. Persyaratan mutu yang ditetapkan segmen pasar bawang merah dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Persyaratan mutu bawang merah sesuai dengan permintaan segmen pasar

Kriteria Kelas Mutu

Mutu I Mutu II

Ukuran umbi diameter

besar, diameter >2,5 cm kecil, diameter 1,5 – 2,5 cm

warna umbi merah ungu sampai keputihan

merah ungu sampai keputihan

Kesegaran segar segar

Kadar air (%) 80 – 85 % 75 - 80 %

Kotoran bebas, tidak berakar maks. 0.1 %, tidak berakar

Kekeringan/layu 3 % 3 – 5%

Hama/penyakit bebas serangga bebas serangga Sumber : Departemen Pertanian (2006)

Setelah pemanenan, penyimpanan terbaik adalah dengan menggantung bawang merah yang masih berdaun, karena selama penyimpanan diperoleh tingkat kerusakan, susut bobot dan kadar air rendah serta kadar total padatan terlarut dan VRS (Volatile Reduction Substance)-nya tinggi. Menurut percobaan yang dilakukan oleh Musaddad dan Sinaga (1994), penyimpanan bawang merah pada suhu 30o C memberikan kualitas yang baik, karena setelah delapan minggu penyimpanan diperoleh kekerasan yang masih tinggi, kerusakan rendah (5%), dan VRS-nya tinggi. Ditambahkan oleh Rahayu dan


(34)

Berlian (1998), suhu ruangan yang dibutuhkan untuk penyimpanan bawang merah, berkisar antara 25-30o C, kelembabannya 60-70%, dan ventilasi udaranya baik. Dalam kondisi yang baik bawang merah dapat disimpan selama 6 bulan.

Pengemasan bawang merah terutama dilakukan untuk memudahkan pengangkutan. Bahan pengemas yang digunakan adalah karung anyaman plastik yang berlubang-lubang. Pengemasan yang dilakukan harus dapat memberikan ruang gerak yang leluasa. Selama bahan berada dalam kemasan, sirkulasi udara ke dalam dan ke luar bahan pengemas juga harus dapat berjalan dengan baik. Setelah dikemas, bawang diangkut ke beberapa tempat tujuan. Penanganan bahan selama pengangkutan harus dijaga dengan dengan baik agar terhindar dari terjadinya kerusakan terhadap umbi, seperti benturan fisik, kontaminasi kotoran, ataupun tertimpa air hujan.

Varietas bawang merah yang ditanam di Indonesia cukup banyak macamnya, tetapi umumnya produksi varietas tersebut masih rendah (kurang dari 10 ton/ha). Beberapa hal yang membedakan varietas bawang merah satu dengan yang lain biasanya didasarkan pada bentuk, ukuran, warna, kekenyalan, aroma umbi, umur tanaman, ketahanan terhadap penyakit serta hujan, dan lain-lain. Varietas yang ditanam ada varietas lokal dan varietas impor. Varietas lokal yang banyak ditanam oleh petani adalah varietas bima brebes, medan, keling, maja cipanas, ampenan, sumenep, kuning dan lampung. Varietas impor yang sudah ditanam di Indonesia adalah bangkok, filipina dan australia. Varietas ini umumnya memiliki sifat-sifat yang lebih unggul dibanding varietas lokal. Menurut Rahayu dan Berlian (1998), beberapa keunggulan varietas bawang merah impor yaitu: (1) memiliki bentuk umbi yang bulat dan berukuran besar dengan warna merah memikat, (2) jumlah anakan umbi banyak, lebih dari 10 anakan, (3) hasil produksinya tinggi, rata-rata mencapai 15 ton umbi kering per hektar, (4) daya simpan lebih tinggi, serta (5) nilai penyusutan dalam pemasaran (ekspor) lebih kecil, sekitar 10% (varietas lokal mencapai 15%).

Menurut Rahayu dan Berlian (1998), ditinjau dari kandungan gizinya, bawang merah bukanlah merupakan sumber karbohidrat, protein, lemak,


(35)

vitamin, atau mineral. Namun, komponen-komponen tersebut ada di dalam bawang merah walaupun dalam jumlah yang sedikit. Komponen lainnya, seperti minyak atsiri, juga terkandung di dalam umbi bawang merah. Komponen inilah yang sebenarnya banyak dimanfaatkan untuk penyedap rasa makanan, bakterisida, fungisida, dan berkhasiat untuk obat-obatan. Daftar kandungan dan komposisi gizi bawang merah selengkapnya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan dan komposisi gizi dalam tiap 100 gram bawang merah

Komposisi Gizi Bawang Merah Biasa

a b Kalori (ka) Protein (gr) Lemak (gr) Karbohidrat (gr) Serat (gr) Abu (gr) Kalsium (mg) Fospor (mg) Zat besi (mg) Natrium (mg) Kalium (mg) Niacin (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B1 (mg)

Vitamin B2 (mg)

Vitamin C (mg) Air (gr) 39,00 1,50 0,30 0,20 - - 36,00 40,00 0,80 - - - 0,00 0,03 - 2,00 88,00 67,00 1,90 0,30 15,40 0,70 0,60 36,00 45,00 0,80 12,00 334,00 0,30 5,00 0,04 0,02 2,00 - Keterangan : (a) Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (1981)

(b) Food and Nutrition Research Center, Hand Book No. I Manila (1964) Sumber : Rukmana (1994)

Di dalam umbi bawang merah terdapat juga komponen lain yang dinamakan allin. Allin merupakan suatu senyawa yang mengandung asam amino yang tidak berbau, tidak berwarna, dan tidak larut dalam air. Karena sesuatu hal, allin kemudian berubah menjadi senyawa allicin. Senyawa allicin dengan thiamin (vitamin B1) dapat membentuk ikatan kimia yang disebut

allithiamin. Senyawa bentukan ini ternyata lebih mudah diserap oleh tubuh daripada vitamin B1-nya sendiri. Dengan demikian allicin dapat membuat

vitamin B1 menjadi lebih efisien dimanfaatkan tubuh (Rahayu dan Berlian,

1998).


(36)

Bawang merah termasuk sayuran umbi mutliguna, sebagai bumbu dapur dan penyedap berbagai masakan. Kegunaan lain sebagai obat tradisional untuk obat nyeri perut, penyembuhan luka atau infeksi, pencegahan terhadap kolera, disetri dan diare. Khasiat umbi bawang merah sebagai obat, diduga karena mempunyai efek antiseptik dari senyawa allin dan allisin. Senyawa allin ataupun allisin oleh enzim allisin liase diubah menjadi asam piruvat, ammonia dan allisin antimikroba yang bersifat bakterisida. Keuntungan mengkonsumsi bawang merah, selain sebagai penyedia bahan pangan dan berkhasiat obat, juga sangat baik untuk kesehatan. Fungsi dalam tubuh antara lain adalah memperbaiki dan memudahkan pencernaan serta menghilangkan lendir-lendir dalam kerongkongan (Rukmana, 1994).

B. Produksi, Konsumsi, Ekspor dan Impor Bawang Merah di Indonesia Perkembangan produksi dan produktivitas bawang merah di Indonesia pada tahun 2000 – 2004 cenderung menurun. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4 yang menyajikan data bahwa produksi tertinggi bawang merah terjadi pada tahun 2001 yaitu sebesar 861.150 ton dengan luas panen 82.147 Ha sehingga produktivitasnya sebesar 10,48 ton/Ha. Produksi bawang merah terendah terjadi pada tahun 2004 yaitu sebesar 757.399 ton dengan luas panen 88.707 Ha sehingga produktivitasnya adalah sebesar 8,54 ton/Ha.

Tabel 4. Produksi, luas panen, dan produktivitas bawang merah di Indonesia tahun 2000-2004

Tahun Produksi (ton)

Luas Panen (Ha)

Produktivitas (ton/Ha)

2000 772.818 84.038 9,19

2001 861.150 82.147 10,48

2002 766.572 79.867 9,59

2003 762.795 88.029 8,67

2004 757.399 88.707 8,54

Sumber : Departemen Produksi Tanaman Hortikultura Indonesia (2006)

Rendahnya produksi dan produktivitas hasil pertanian disebabkan oleh banyak hal, diantaranya adalah sempitnya penguasaan lahan pertanian per Kepala Keluarga (KK) petani Indonesia yang rata-rata hanya 0,3 hektar. Selain itu, kebanyakan petani Indonesia adalah turun-temurun, sementara


(37)

banyak diantara anak-anak petani yang sudah tidak mau lagi terjun dalam dunia pertanian dan menekuni bidang lain karena melihat bidang lain lebih menguntungkan (Hamid, 2004). Rendahnya kualitas dan produktivitas menjadi penyebab rendahnya tingkat pendapatan petani bawang merah karena harga bawang merah tergantung dari kualitas dan produktivitas bawang itu sendiri.

Produsen bawang merah pada tahun 2003 masih berpusat di pulau Jawa terutama Jawa Tengah dengan produksi 231.052 ton disusul oleh Jawa Timur 213.818 ton dan Jawa Barat 120.219 ton. Daerah lain diluar pulau jawa yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Nanggroe Aceh Darussalam, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan dan daerah lain (Biro Pusat Statistik, 2004). Untuk tingkat Kabupaten, Brebes merupakan daerah penghasil terbanyak dengan jumlah 165.305 ton atau sekitar 23,37 persen dari total produksi seluruh Indonesia.

Walaupun produksi cenderung meningkat tetapi Indonesia masih harus mengimpor bawang merah dari beberapa negara, seperti Filipina, Vietnam, India dan lain-lain. Volume ekspor dan impor bawang merah di Indonesia tahun 2002 – 2004 dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Volume ekspor dan impor bawang merah di Indonesia tahun 2002 – 2004 (dalam ton)

Tahun Ekspor Impor

2002 1.368 12.913

2003 21 12.342

2004 62 3.137

Sumber : Biro Pusat Statistik (2005)

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa Indonesia lebih banyak mengimpor daripada mengekspor bawang merah. Jumlah impor tertinggi terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 12.913 ton. Ekspor bawang merah tertinggi pun terjadi pada tahun yang sama, yaitu sebesar 1.368 ton.

Produksi bawang merah selama ini sebenarnya mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri bahkan lebih. Namun kenyataannya Indonesia masih mengimpor bawang merah dari luar negeri dalam jumlah yang cukup besar. Menurut Hamid (2004), hal ini disebabkan oleh :


(38)

1. Rendahnya kualitas bawang merah yang dihasilkan oleh petani Indonesia sehingga kalah bersaing dengan bawang merah yang berasal dari luar negeri,

2. Adanya permasalahan dalam bahan baku (bibit dan saprotar) dan biaya-biaya pemasaran yang cukup tinggi,

3. Bawang merah merupakan produk pertanian yang tidak tahan lama, sehingga setelah panen harus langsung dijual untuk menghindari kerusakan dan untuk penyimpanannya membutuhkan biaya yang besar 4. Adanya residu bahan kimia yang terdapat pada bawang merah,

5. Bawang merah banyak dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan restoran dan hotel yang konsumennya kebanyakan berasal dari luar negeri yang cukup selektif dalam memilih kualitas,

6. Turunnya bea masuk impor bawang merah sehingga banyak orang beranggapan bahwa lebih baik jika Indonesia mengimpor.

C. Rantai Pasokan/Supply Chain

Rantai pasokan/Supply Chain (SC) didefinisikan oleh Indrajit dan Djokopranoto (2003) sebagai suatu sistem tempat organisasi menyalurkan barang produksi dan jasanya kepada para pelanggannya. Rantai ini juga merupakan jaringan atau jejaring dari berbagai organisasi yang saling berhubungan dan mempunyai tujuan yang sama, yaitu sebaik mungkin menyelenggarakan pengadaan dan penyaluran barang tersebut.

Menurut Simchi-Levi, et al. (2003), Supply Chain Management (SCM) merupakan serangkaian pendekatan yang diterapkan untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang dan tempat penyimpanan lainnya secara efisien sehingga produk dihasilkan dan didistribusikan dengan kuantitas yang tepat, lokasi dan waktu yang tepat untuk memperkecil biaya dan memuaskan kebutuhan pelanggan. SCM bertujuan untuk membuat seluruh sistem menjadi efisien dan efektif; minimasi biaya sistem total, dari transportasi dan distribusi sampai inventory bahan mentah, bahan dalam proses dan produk jadi. Melalui tujuan tersebut, penekanan SCM tidak hanya sebatas meminimalisasikan biaya transportasi atau mengurangi inventory,


(39)

tetapi lebih kepada melakukan pendekatan untuk SCM. SCM bergerak disekitar integrasi pemasok, pabrik, gudang dan toko-toko secara efisien, mencakup aktivitas-aktivitas perusahaan dari level strategis, taktis sampai operasional.

Perspektif SCM hampir sama dengan saluran pemasaran yang teradministrasi atau terkontrak dimana pendekatan-pendekatan ini membutuhkan kerjasama sukarela ataupun kerjasama berdasarkan kontrak dari anggota-anggota saluran untuk mencapai tujuan umum. Menurut Eltram (1991), pendekatan SCM berbeda dengan perspektif saluran pemasaran tradisional dalam dua hal. Pertama, SCM mempunyai tujuan yang lebih luas yaitu mengelola inventory dan hubungan untuk mencapai pelayan konsumen tingkat tinggi daripada pencapaian tujuan-tujuan pemasaran spesifik. Kedua, pendekatan SCM mencoba untuk mengelola baik aktivitas hulu maupun aktivitas hilir dalam rantai persediaan. Saluran pemasaran cenderung untuk fokus pada aktivitas hilir.

Menurut Miranda dan Tunggal (2005), SCM terdiri atas tiga elemen yang saling terkait satu sama lain, yaitu :

1. Struktur jaringan supply chain

Jaringan kerja anggota dan hubungan dengan anggota supply chain lainnya.

2. Proses bisnis supply chain

Aktifitas-aktifitas yang menghasilkan nilai keluaran tertentu bagi para pelanggan.

3. Komponen manajemen supply chain

Variabel-variabel manajerial dimana proses bisnis disatukan dan disusun sepanjang suppy chain.

Dalam SCM terdapat enam faktor kunci manajemen rantai pasokan dalam pengusahaan rantai pasokan yang optimal. Enam faktor kunci tersebut antara lain :

1. Memfokuskan pada pelanggan dan konsumen 2. Menciptakan dan membagi nilai

3. Memperoleh produk yang tepat


(40)

4. Memastikan proses logistik dan distribusi yang efektif 5. Memiliki strategi informasi dan komunikasi

6. Membangun hubungan yang efektif

Enam prinsip kunci diatas digunakan untuk mengetahui cara pandang anggota rantai pasokan terhadap rantai pasokan yang telah berjalan sehingga dapat diidentifikasi bagian dalam rantai pasokan yang memerlukan perbaikan. Perbaikan pada salah satu anggota rantai pasokan untuk memberikan perhatian secara langsung untuk meningkatkan penampilan keseluruhan rantai pasokan. Akan tetapi, merancang dan mengimplementasikan rantai pasokan yang optimal secara global cukup sulit. Hal ini karena kedinamisannya serta terjadinya konflik tujuan antar fasilitas dan partner.

D. Identifikasi Anggota Rantai Pasokan

Pelaksanaan SCM meliputi pengenalan anggota rantai pasokan dengan siapa dia berhubungan, proses apa yang perlu dihubungkan dengan tiap anggota inti dan jenis penggabungan apa yang diterapkan pada tiap proses hubungan tersebut. Tujuannya adalah untuk memaksimalkan persaingan dan keuntungan bagi perusahaan dan seluruh anggotanya, termasuk pelanggan akhir.

Anggota rantai pasokan meliputi semua perusahaan dan organisasi yang berhubungan dengan perusahaan inti baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pemasok dan pelanggannya dari point of origin hingga point consumption. Primary members (anggota primer) adalah semua perusahaan atau unit bisnis strategi yang benar-benar menjalankan aktivitas operasional dan manajerial dalam proses bisnis yang dirancang untuk menghasilkan keluaran tertentu bagi pelanggan atau pasar. Secondary members (anggota sekunder) adalah perusahaan-perusahaan yang menyediakan sumberdaya, pengetahuan, utilitas atau aset-aset bagi anggota primer. Melalui definisi anggota primer dan anggota sekunder diperoleh pengertian the point of origin dari supply chain adalah titik dimana tidak ada pemasok primernya. Semua pemasok adalah anggota sekunder, sedangkan the point consumption adalah titik dimana tidak ada pelanggan utama (Miranda dan Tunggal, 2005).


(41)

Beberapa pemain utama yang merupakan pelaku-pelaku yang mempunyai kepentingan yang sama, yaitu :

1. Pemasok (Suppliers)

Jaringan berawal dari sini, merupakan sumber yang menyediakan bahan pertama, dimana mata rantai penyaluran barang akan dimulai. Bahan pertama ini bisa dalam bentuk bahan baku, bahan mentah, bahan penolong, bahan dagangan, subassemblies, suku cadang, dan sebagainya. Sumber pertama dinamakan pemasok, termasuk juga pemasoknya pemasok atau sub-pemasok. Jumlah pemasok dapat berjumlah banyak atau sedikit.

2. Produsen (Manufacturer)

Pemasok sebagai mata rantai pertama dihubungkan dengan manufacturer atau assembler atau fabricator atau bentuk lain yang melakukan pekerjaan membuat, memfabrikasi, mengasembling, merakit, mengkonversikan, atau menyelesaikan barang (finishing). Hubungan dengan mata rantai pertama ini sudah mempunyai potensi untuk melakukan penghematan. Pada tahap ini terjadi penghematan sebesar 40 % - 60 % atau bahkan lebih.

3. Distributor (Distribution)

Barang sudah jadi yang dihasilkan oleh manufacturer dapat mulai disalurkan kepada pelanggan. Walaupun tersedia banyak cara untuk penyaluran barang ke pelanggan, yang umum adalah melalui distributor dan ini biasanya ditempuh oleh sebagian besar rantai pasokan. Barang dari pabrik melalui gudangnya disalurkan ke gudang distributor atau wholesaler atau pedagang besar dalam jumlah besar, dan akhirnya pedagang besar menyalurkan dalam jumlah yang lebih kecil kepada retailers atau pengecer.

4. Pengecer (Retail outlets)

Pedagang besar biasanya mempunyai fasilitas gudang sendiri atau dapat juga menyewa dari pihak lain. Gudang ini digunakan untuk menimbun barang sebelum disalurkan lagi ke pihak pengecer. Pada tahap ini terdapat kesempatan untuk memperoleh penghematan dalam bentuk


(42)

jumlah persediaan dan biaya gudang, dengan cara melakukan desain kembali pola-pola pengiriman barang baik dari gudang pengolahan maupun ke toko pengecer (retail outlet).

5. Pelanggan (Customers)

Pengecer menawarkan barangnya langsung kepada para pelanggan atau pembeli atau pengguna barang tersebut. Pihak yang termasuk pengecer antara lain toko, warung, toko serba ada, pasar swalayan, toko koperasi, mal, clubstore, dan sebagainya di mana pembeli akhir melakukan pembelian. Walaupun secara fisik dapat dikatakan bahwa ini merupakan mata rantai yang terakhir, sebenarnya masih ada satu mata rantai lagi, yaitu pembeli (yang mendatangi toko pengecer) ke pengguna atau pembeli sesungguhnya, karena pembeli belum tentu pengguna sesungguhnya. Mata rantai pasokan baru benar-benar berhenti setelah barang yang bersangkutan tiba di pemakai sebenarnya barang atau jasa yang dimaksud. Rangkaian rantai pasokan dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Rangkaian rantai pasokan (Chopra dan Meindl, 2001)

Panjang pendek SC berbeda-beda, tergantung dari jenis barang yang disimpan. Setiap tahapan tidak harus selalu ada dalam rantai. Desain yang tepat dalam rantai akan tergantung dari tiap kebutuhan pelanggan dan pada peran setiap tahap yang terlibat dalam pemenuhan setiap kebutuhan. Setiap tahap dalam rantai pasokan akan meningkatkan kesan dari produk atau penawaran melalui perpindahan yang terjadi dari pemasok kepada pengolah, distributor, pengecer dan akhirnya kepada pelanggan secara berantai. Pada kenyataannya, tahap yang terjadi dalam rantai penyediaan dapat melibatkan

Pemasok

Pemasok

Pemasok

Produsen

Produsen

Produsen

Distributor

Distributor

Distributor

Pengecer

Pengecer

Pengecer

Pelanggan

Pelanggan


(43)

banyak pemasok, pengolah, distributor dan pedagang eceran, sehingga banyak rantai pasokan yang mirip jaringan kerja(Chopra dan Meindl, 2001).

E. Pemasaran dan Efisiensi Pemasaran

Supply Chain merupakan salah satu konsep inti pemasaran. Sementara saluran pemasaran menghubungkan pemasar dengan pembeli sasaran, SC menggambarkan suatu saluran yang lebih panjang yang terentang dari bahan mentah, komponen-komponen, hingga produk-produk final yang disampaikan kepada pembeli akhir. Rantai pasokan meggambarkan sistem penyerahan nilai. Setiap perusahaan mendapat hanya persentase tertentu dari nilai total yang dihasilkan oleh rantai pasokan. Apabila sebuah perusahaan mengambil alih perusahaan pesaing atau menambah usaha kearah sumber daya atau kearah pelanggan, tujuannya adalah merebut persentase yang lebih tinggi dari rantai nilai pemasok.

Menurut Kotler (2002) berdasarkan definisi sosial, pemasaran adalah suatu proses sosial yang di dalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain. Berdasarkan definisi manajerial, pemasaran sering digambarkan sebagai “seni menjual produk”, sedangkan pemasaran menurut Sudiyono (2002) dianggap sebagai proses aliran barang yang terjadi dalam pasar dimana barang-barang yang mengalir dari produsen sampai kepada konsumen akhir disertai dengan penambahan guna bentuk melalui proses pengolahan, guna tempat melalui proses pengangkutan dan guna waktu melalui proses penyimpanan.

Dalam menciptakan guna tempat, guna bentuk dan guna waktu diperlukan biaya pemasaran. Biaya pemasaran ini diperlukan untuk melakukan fungsi-fungsi pemasaran oleh lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat dalam proses pemasaran dari produsen sampai kepada konsumen akhir. Pengukuran kinerja dari pemasaran ini memerlukan ukuran efisiensi pemasaran.

Menurut Said dan Intan (2001) suatu sistem pemasaran dinyatakan bekerja secara efektif dan efisien apabila sistem tersebut mampu menyediakan


(44)

insentif bagi pelaku (produsen, konsumen, dan lembaga pemasaan) yang mampu mendororng pengambilan keputusan para pelaku tersebut secara tepat dan efisien. Kompleksitas sistem pemasaran bervariasi antar komoditi, pasar dan waktu yang berbeda.

Kohls (1968) mendefinisikan efisiensi pemasaran sebagai usaha untuk meningkatkan rasio output-input. Output pemasaran yaitu kepuasan atas produk dan jasa, sedangkan input adalah berbagai macam tenaga kerja, modal, manajemen pemasaran yang digunakan dalam proses pemasaran tersebut. Berdasarkan definisi diatas semakin besar rasio output-input semakin efisien suatu saluran pemasaran. Perubahan yang mengurangi biaya input tanpa mengurangi tingkat output secara nyata akan memperbaiki efisiensi. Namun perubahan yang mengurangi (biaya) juga akan mengurangi output (kepuasan konsumen sehingga mengurangi efisiensi. Ada dua cara untuk meningkatkan efisiensi pemasaran yang sering dilakukan pada komoditi pertanian, yaitu : meningkatkan produktivitas dengan input tetap dan efisiensi input dengan output tetap.

Sukartawi (1993), menjelaskan bahwa pasar yang tidak efisien akan terjadi apabila biaya pemasaran semakin besar dan nilai produk yang dipasarkan jumlahnya tidak terlalu besar. Untuk itu efisiensi pemasaran dapat terjadi apabila (1) biaya pemasaran dapat ditekan sehingga keuntungan pemasaran dapat lebih tinggi, (2) persentase harga yang dibayar konsumen dan produsen tidak terlalu tinggi, (3) tersedianya fasilitas fisik pemasaran, dan (4) adanya kompetisi pasar yang sehat. Salah satu cara untuk mempelajari apakah suatu sistem pemasaran telah bekerja efisien dalam suatu struktur pasar tertentu adalah dengan melakukan analisis terhadap biaya dan marjin pemasaran, serta analisis terhadap penyebaran harga dari tingkat produsen sampai ke tingkat konsumen, untuk melihat besarnya sumbangan pedagang perantara sebagai penghubung antara produsen dan konsumen.

Efisiensi pemasaran dapat diukur dengan menggunakan konsep efisiensi operasional dan efisiensi penetapan harga. Efisiensi operasional diukur dengan membandingkan output pemasaran terhadap input pemasaran. Penetapan efisiensi operasional dilakukan dengan asumsi-asumsi bahwa sifat


(45)

utama output tidak mengalami perubahan atau efisiensi ini lebih berkaitan dengan teknologi. Efisiensi penetapan harga berhubungan dengan keefektifan pemasaran sehingga harga dapat digunakan untuk menilai hasil kinerja proses pemasaran dalam menyampaikan output pertanian dari daerah produsen ke daerah konsumen.

Marjin pemasaran menurut Sudiyono (2002) merupakan perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan harga yang diterima lembaga pemasaran. Komponen marjin pemasaran ini terdiri dari : 1). Biaya-biaya yang diperlukan lembaga-lembaga pemasaran untuk melakukan fungsi-fungsi pemasaran (functional cost); dan 2). Keuntungan (profit) lembaga pemasaran. Biaya pemasaran adalah semua jenis biaya yang dikeluarkan pemasaran suatu komoditas dalam proses penyampaian barang oleh lembaga-lembaga yang terlibat dalam sistem distribusi mulai dari titik produsen sampai ke titik saluran distribusi tertentu yang pada dasarnya mempunyai tujuan mencari keuntungan. Keuntungan pemasaran merupakan penerimaan yang diperoleh lembaga pemasaran sebagai imbalan dari menyelenggarakan fungsi-fungsi pemasaran.

Perbedaan rantai pemasaran dan perlakuan dari lembaga dalam sejumlah saluran pemasaran menyebabkan perbedaan harga jual dari lembaga yang satu dengan lembaga yang lainnya sampai ke tingkat konsumen akhir. Semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat dalam penyaluran suatu komoditas dari titik produsen sampai titik konsumen, maka akan semakin besar perbedaan harga komoditas tersebut di titik produsen dibandingkan dengan harga yang akan dibayar oleh konsumen.

Penyediaan fasilitas fisik untuk pengangkutan, penyimpanan dan pengolahan dianggap dapat digunakan untuk melihat efisiensi pemasaran. Kurang tersedianya fasilitas fisik, terutama pengangkutan diidentikan dengan ketidakefisienan proses pemasaran. Intensitas persaingan pasar juga seringkali digunakan untuk menilai efisiensi pemasaran. Struktur pasar persaingan sempurna dianggap lebih efisien dibanding struktur pasar oligopolistik maupun monopolistik.


(46)

F. Pengendalian Persediaan

Persediaan atau inventory menurut Handoko (1997) adalah suatu istilah umum yang menunjukkan segala sesuatu atau sumber daya organisasi yang disimpan dalam antisipasinya terhadap pemenuhan permintaan. Gaspersz (1998) berpendapat bahwa persediaan merupakan penyimpanan dari barang dan stok, termasuk persediaan bahan baku, persediaan barang dalam proses, persediaan barang jadi, dan persediaan yang berfungsi sebagai penujang dalam proses operasi atau produksi agar berjalan lancar.

Pengendalian persediaan berkenaan dengan masalah adanya kebutuhan atau demand terhadap barang (bahan atau produk). Pada kasus Agroindustri yang bahan bakunya merupakan hasil pertanian yang karakteristiknya spesifik, antara lain mudah rusak dan tidak dapat disimpan lama, maka masalah persediaan menjadi lebih rumit. Disamping itu pengendaliaan persediaan juga diperlukan untuk mengingat masalah ketidakpastian pemasokan, harga, dan kebutuhan terhadap persediaan itu sendiri.

Khusus untuk persediaan produk, pengendaliannya menjadi semakin penting jika dikaitkan dengan tingkat pelayanan (service factor) terhadap pemenuhan kebutuhan konsumen, on time delivery, tingkat kepercayaan konsumen, serta resiko beralihnya pelanggan kepada produk saingan karena tidak tersedianya produk.

Uraian diatas memberi kesan bahwa menumpuk persediaan dalam jumlah besar lebih disukai. Tetapi permasalahannya adalah bahwa dengan jumlah persediaan yang besar, berarti terdapat sejumlah besar uang yang tertanam dalam bentuk barang (persediaan), yang ditinjau dari segi kebijakan keuangan (finansial) tidak dikehendaki. Selain itu, dengan menumpuk persediaan dalam jumlah besar, berarti perusahaan menanggung biaya penyimpanan persediaan dan penanganan yang besar. Komponen biaya persediaan ini antara lain menyangkut biaya gudang, pajak dan asuransi, kerusakan dan biaya perawatan, serta penurunan mutu. Berdasarkan hal tersebut, maka fungsi pengendalian persediaan adalah mencari keseimbangan antara keuntungan atau manfaat menyediakan persediaan (jumlah besar atau kecil) dengan kerugian atau biaya yang dikeluarkan.


(47)

G. Programa Linier

Programa linier menurut Dimyati dan Dimyati (2003) adalah perencanaan aktivitas-aktivitas untuk memperoleh suatu hasil yang optimum yaitu suatu hasil yang mencapai tujuan terbaik di antara seluruh alternatif yang fisibel. Metode ini dilakukan untuk menyelesaikan persoalan pengalokasian sumber-sumber yang terbatas di antara beberapa aktivitas yang bersaing, dengan cara yang terbaik yang mungkin dilakukan. Programa linier menggunakan model matematis untuk menjelaskan persoalan yang dihadapinya. Dalam membangun model dari formulasi persoalan digunakan karakteristik-karakterstik yang biasa digunakan dalam persoalan programa linier, yaitu :

a. Variabel keputusan

Variabel keputusan adalah variabel yang menguraikan secara lengkap keputusan-keputusan yang akan dibuat.

b. Fungsi tujuan

Fungsi tujuan merupakan fungsi dari variabel keputusan yang akan dimaksimumkan (untuk pendapatan atau keuntungan) atau diminimumkan (untuk ongkos).

c. Pembatas

Pembatas merupakan kendala yang dihadapi sehingga kita tidak bisa menentukan harga-harga variabel keputusan secara sembarang.

Bentuk standar dari persoalan programa linier tersaji di bawah ini. Setiap situasi yang formulasi matematisnya memenuhi model ini adalah persoalan programa linier.

Maksimumkan z = c1x1 + c2x2 + ... + cnxn (fungsi tujuan)

berdasarkan pembatas :

a11 x1 + a12 x2 + ... + a1nxn ≤ b1

a21 x1 + a22 x2 + ... + a2nxn ≤ b2

. . .

am1 x1 + am2x2 + ... + amnxn ≤ bm

dan

x1 ≥ 0, x2 ≥ 0, ... , xn ≥ 0


(48)

Selain model programa linier dengan bentuk seperti yang telah disebutkan di atas, ada pula model programa linier dengan bentuk yang agak lain, seperti :

1. Fungsi tujuan bukan memaksimumkan, melainkan meminimumkan.

2. Beberapa konstrain fungsionalnya mempunyai ketidaksamaan dalam bentuk lebih besar atau sama dengan.

3. Beberapa konstrain fungsionalnya mempunyai bentuk persamaan. 4. Menghilangkan konstrain nonnegatif untuk beberapa variabel keputusan.

Dalam menggunakan model programa linier, diperlukan beberapa asumsi sebagai berikut :

1. Asumsi kesebandingan (proportionality)

Konstribusi setiap variabel keputusan terhadap fungsi tujuan adalah sebanding dengan nilai variabel keputusan. Konstribusi suatu variabel terhadap ruas kiri dari setiap pembatas juga sebanding dengan nilai variabel keputusan itu.

2. Asumsi Penambahan (additivity)

Konstribusi setiap variabel keputusan terhadap fungsi tujuan bersifat tidak tergantung pada niali variabel keputusan yang lain. Konstribusi suatu variabel terhadap ruas kiri dari setiap pembatas bersifat tidak tergantung pada nilai variabel keputusan yang lain.

3. Asumsi pembagian (divisibility)

Dalam persoalan programa linier, variabel keputusan boleh diasumsikan berupa bilangan pecahan.

4. Asumsi kepastian (certainty)

Setiap parameter, yaitu koefisien fungsi tujuan, ruas kanan, dan koefisien teknologis, diasumsikan dapat diketahui secara pasti.

Sistematika dari analisis-analisis dalam proses pengambilan keputusan yang memakai programa linier dan variasinya sebagai teknik riset operasi, pada dasarnya mempunyai lima tahap sebagai berikut :

1. Identifikasi persoalan

Identifikasi persoalan terdiri dari kegiatan penentuan dan perumusan tujuan, identifikasi peubah serta pengumpulan data tentang


(49)

kendala-kendala yang menjadi syarat ikatan terhadap peubah-peubah dalam fungsi tujuan sistem model yang dipelajari.

2. Penyusunan model

Kegiatan penyusunan model terdiri dari empat hal, yaitu : (1)memilih model yang cocok sesuai dengan permasalahannya

(2)merumuskan segala macam faktor yang terkait di dalam model yang bersangkutan secara simbolik ke dalam rumusan model matematika (3)menentukan peubah-peubah beserta kaitannya satu sama lain

(4)menetapkan fungsi tujuan dan kendala-kendalanya dengan nilai-nilai dan parameter yang jelas

3. Analisis model

Model-model yang dipilih untuk dapat dianalisis dengan teknik programa linier dan variasinya akan menghasilkan hasil-hasil yang optimal. Hasil-hasil analisis tersebut perlu dikaji kepekaannya guna melihat sampai seberapa jauh hasil yang diperoleh berupa nilai-nilai dan parameter dari peubah-peubah yang ditetapkan dapat bertahan apabila terjadi perubahan pada sistem.

4. Pengesahan model

Analisis pengesahan model menyangkut penilaian terhadap model dengan cara mencocokannya dengan keadaan dan data nyata. Hal ini dilakukan untuk menguji dan mengesahkan asumsi-asumsi yang membentuk model tersebut secara struktural.

5. Implementasi

Hasil-hasil yang diperoleh dapat dipakai dalam perumusan-perumusan rencana kegiatan (sepanjang diperlukan pemikiran demikian) yang sewaktu-waktu dapat dinilai. Implementasi hasil ini juga menyangkut sistem dokumentasi model dan dokumentasi hasil analisis yang baik, yang sewaktu-waktu dapat dipakai untuk penyempurnaan model dan asumsi-asumsinya.


(50)

H. Model Transshipment

Model transshipment adalah model transportasi yang memungkinkan dilakukannya pengiriman barang (komoditas) secara tidak langsung, dimana barang dari suatu sumber dapat berada pada sumber lain atau tujuan lain sebelum mencapai tujuan akhirnya (Dimyati dan Dimyati, 2003). Menurut Russel dan Taylor (2003), metode transportasi sendiri merupakan suatu teknik kuantitatif yang digunakan untuk menentukan cara menyelenggarakan transportasi dengan biaya seminimal mungkin. Dalam model ini dibahas masalah pendistribusian suatu komoditas atau produk dari sejumlah sumber (supply) kepada sejumlah tujuan (demand), dengan tujuan meminimumkan ongkos pengangkutan yang terjadi. Ciri-ciri khusus persoalan transportasi adalah :

1. Terdapat sejumlah sumber dan sejumlah tujuan tertentu.

2. Kuantitas komoditas atau barang yang didistribusikan dari setiap sumber dan yang diminta oleh setiap tujuan, besarnya tertentu.

3. Komoditas yang dikirim atau diangkut dari suatu sumber ke suatu tujuan, besarnya sesuai dengan permintaan dan atau kapasitas sumber.

4. Ongkos pengangkutan komoditas dari suatu sumber ke suatu tujuan, besarnya tertentu.

Misalkan ada m buah sumber dan n buah tujuan. Masing-masing sumber mempunyai kapasitas ai, dengan i = 1, 2, ..., m. Masing-masing tujuan

membutuhkan komoditas sebanyak bj, dengan j = 1, 2, ..., n. Jumlah satuan

yang dikirimkan dari sumber i ke tujuan j adalah sebanyak Xij dengan ongkos

pengiriman per unit adalah Cij. Dengan demikian, maka formulasi programa

liniernya adalah sebagai berikut.

Meminimumkan Z =

∑∑

= = m i n j ij ijX C 1 1

berdasarkan pembatas :

i n j ij a X =

=1

; i = 1, 2, ..., m j m i ij b X =

=1

; i = 1, 2, ..., n


(51)

Dalam model transshipment, setiap sumber maupun tujuan dipandang sebagai titik potensial bagi demand maupun supply. Oleh karena itu, untuk menjamin bahwa tiap titik potensial tersebut mampu menampung total barang di samping jumlah barang yang telah ada, pada titik tersebut, maka perlu ditambahkan kepada titik-titik itu kuantitas supply dan demand-nya masing-masing sebesar B.

B ≥

= =

= n

j j m

i

i b

a

1 1

I. LINDO

LINDO (Linear Interactive and Discrete Optimizer), merupakan program komputer yang digunakan untuk aplikasi programa linier. Aplikasi programa linier yaitu suatu pemodelan matematik yang digunakan untuk mengoptimalkan suatu tujuan dengan berbagai kendala yang ada.

LINDO adalah suatu perangkat lunak yang digunakan untuk menyelesaikan masalah pemrograman linier, non-linier dan integer (Siswanto, 1990). LINDO disusun sedemikian rupa sehingga sangat mudah digunakan. Persoalan programa linier yang telah dinyatakan dalam fungsi tujuan dan kendala-kendala tidak perlu dipindahkan ke dalam format-format tertentu yang menyulitkan, akan tetapi secara langsung dapat dimasukkan sesuai dengan bentuk aslinya.

LINDO digunakan oleh perusahaan-perusahaan untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimumkan biaya. Selain itu, LINDO juga digunakan dalam pengambilan keputusan untuk perencanaan produksi, transportasi, keuangan, alokasi saham, pengaturan modal, penjadwalan, inventarisasi, alokasi sumber daya dan lain-lain.

Untuk mendayagunakan LINDO ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan, yaitu :

1. Merumuskan masalah dalam kerangka programa linier. 2. Menuliskan dalam persamaan matematik.

3. Merumuskan rumusan ke dalam LINDO dan mengeksekusinya. 4. Interpretasi keluaran LINDO.


(52)

J. Hasil Penelitian Terdahulu

Susiyana (2005) melakukan analisis rantai persediaan komoditas jeruk medan dengan melakukan studi kasus di Pasar Induk Kramat jati dan Carrefour Cempaka Mas Jakarta. Data primer pada penelitian tersebut diperoleh dari hasil wawancara dengan 4 pedagang grosir Kramat jati, 3 pedagang pengecer grosir Cililitan, 7 pedagang pengecer serta pihak marketing Carrefour. Data sekunder diperoleh dari BPS, Pasar Induk Kramat Jati, Dirjen Perkebunan, Departemen Pertanian, Dinas Pertanian, Dirjen Tanaman Pangan dan Hortikultura, dan instansi-instansi lain. Penelitian tersebut membahas struktur jaringan, aktivitas dan marjin pemasaran rantai pasokan serta elastisitas transmisinya. Elastisitas transmisi yaitu perbandingan perubahan nisbi dari harga di tingkat pengecer dengan perubahan harga di tingkat petani.

Anggota primer SC jeruk medan adalah pedagang antar pulau (PAP), pedagang grosir, pedagang eceran, perusahaan pemasok dan swalayan. Anggota sekunder SC ini yaitu distributor dan supermarket collector. Marjin pemasaran dihitung berdasarkan ketiga saluran pemasaran yang terjadi, yaitu : 1. Petani – PAP – Grosir Pasar Induk Kramat Jati – Pengecer

2. Petani – PAP – Grosir Cililitan – Perusahaan Pemasok – Pengecer 3. Petani – PAP – Grosir Cililitan – Perusahaan Pemasok – Swalayan

Pola saluran 3 memiliki marjin pemasaran yang paling besar. Saluran pemasaran 1 memperoleh total keuntungan yang terbesar. Pola saluran pemasaran 1 juga yang paling efisien karena memiliki total biaya, keuntungan dan marjin pemasaran yang terendah serta rasio keuntungan dan biaya tertinggi. Pola saluran pemasaran 1 dapat memberikan nilai lebih bagi petani karena menghasilkan farmer’s share (bagian petani) yang tinggi. Korelasi harga antara pedagang pengecer dan hipermarket dengan agennya adalah positif dan nyata berdasarkan perhitungan koefisien korelasi harga dan uji statistik. Nilai elastisitas transmisi harga yang tidak sama dengan satu menunjukkan sistem pemasaran komoditas jeruk medan belum efisien.

Ritonga (2005) melakukan analisis pemasaran komoditas kentang dengan pendekatan konsep SCM di Semarang, dimana analisis difokuskan


(53)

pada pola rantai pasokan serta analisis marjin pemasaran dan farmer’s share. Penelitian tersebut menggunakan data primer yang diperoleh melalui pengamatan dan wawancara langsung dengan anggota mata rantai pasokan komoditas kentang baik melalui hipermarket maupun pasar tradisional. Data sekunder yang digunakan berasal dari BPS, Deptan, Internet dan literatur lain. Anggota rantai pasokan yang terlibat dalam rantai pasokan kentang di Semarang yaitu petani, pedagang pengumpul, pedagang grosir, pemasok, pedagang pengecer termasuk hipermarket serta konsumen.

Pada penelitian tersebut, terdapat tiga rantai pasokan komoditas kentang yang bersumber dari Desa Pesurenan, Kecamatan Dieng, Kabupaten Banjarnegara. Tiga pola rantai pasokan komoditas kentang dari desa Pesurenan, yaitu :

1. Pola rantai pasokan 1 : Petani → Pedagang pengumpul → Pedagang besar Pasar Johar Semarang → Pedagang Pengecer Pasar Tradisional → Konsumen rumah tangga.

2. Pola rantai pasokan 2 : Petani → Pedagang pengumpul → Pedagang Besar Pasar Bandungan Semarang → Pedagang Pengecer Pasar Tradisional → Konsumen rumah tangga. 3. Pola rantai pasokan 3 : Petani → Pedagang pengumpul → Pedagang besar

Pasar Johar Semarang → Supplier/ pemasok → Makro Cash and Carry → Konsumen rumah tangga.

Perhitungan marjin, sebaran marjin dan farmer’s share dilakukan berdasarkan tiga kelas mutu komoditas kentang yaitu AB Super, AB dan ABC. Pola rantai pasokan 3 memiliki total marjin pemasaran yang lebih besar dibandingkan pola 1 dan pola 2. Dari segi rasio keuntungan, rantai pasokan 3 lebih menguntungkan dibandingkan pola lainnya. Penyebaran marjin belum merata di antara ketiga rantai pasokan. Pedagang grosir memperoleh marjin pemasaran terendah diantara anggota rantai pasokan lain karena sedikitnya aktivitas pedagang grosir yang membutuhkan biaya dan sedikitnya keuntungan yang diambil. Bagian petani (farmer’s share) terbesar diperoleh


(54)

pada pola rantai 1 karena pada pola ini harga jual komoditas di tingkat konsumen lebih rendah.

Perolehan marjin tertinggi rantai pasokan kentang mutu kelas AB super pada pola 1 dan pola 2 terdapat pada tingkat pengecer, sedangkan marjin tertinggi pada rantai pasokan 3 terdapat pada tingkat pemasok. Keuntungan lebih besar kontribusinya dalam marjin-marjin tersebut daripada biaya yang dikeluarkan. Marjin total untuk komoditas kentang mutu kelas AB dan ABC pada pola 1 dan 2 cenderung rendah. Kedua komoditas tersebut dijual dengan harga murah dan terkadang pedagang tidak mengambil keuntungan karena hanya mengharapkan keuntungan yang besar dari kentang untuk mutu AB super.

Persentase biaya terbesar yang dikeluarkan masing-masing anggota rantai pasokan adalah biaya penyusutan. Pada pola rantai 1, biaya pemasaran terbesar untuk setiap kelas mutu ditanggung oleh pengecer karena banyaknya aktivitas yang memerlukan biaya. Untuk pola rantai 1 biaya pemasaran terbesar untuk kentang kelas AB super ditanggung oleh pedagang pengumpul karena besarnya biaya angkut ke pasar grosir. Untuk kelas mutu lainnya, biaya pemasaran terbesar untuk setiap kelas mutu ditanggung oleh pengecer seperti pada pola pertama. Pada rantai pasokan ke 3, biaya pemasaran terbesar ditanggung oleh pemasok ke pasar modern karena tingginya biaya seperti biaya pengemasan, pengangkutan dan resiko kerusakan komoditas di supermarket.


(55)

III. METODOLOGI

A. Kerangka Pemikiran

Dalam pendirian suatu industri, salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan bahan baku baik dari jumlah maupun dari segi kontinyuitasnya. Industri yang berbasis komoditas bawang merah di Kota Bogor, perlu mempertimbangkan dengan cermat ketersediaan komoditas ini agar dapat memenuhi kebutuhan bahan bakunya sehingga kegiatan produksi dapat berjalan lancar. Hal ini dikarenakan kebutuhan bawang merah yang tidak dapat dipenuhi secara mandiri oleh Kota Bogor sehingga perlu dipasok dari daerah lain.

Penelitian tentang analisis efisiensi rantai pasokan bawang merah ini meninjau anggota, aktivitas, pengelolaan, biaya dan efisiensi rantai pasokan bawang merah di Kota Bogor. Aliran rantai pasokan bawang merah yang dimaksud adalah aliran pasokan bawang merah dari daerah pemasok atau pasar induk yang memasok bawang merah ke pasar-pasar di Kota Bogor. Rantai pasokan terdiri dari anggota-anggota rantai pasokan dengan aktivitas-aktivitas yang mereka lakukan. Analisis aktivitas-aktivitas anggota rantai pasokan dilakukan khusus pada aktivitas yang dilakukan oleh anggota primer. Konfigurasi jaringan logistik bawang merah dianalisis untuk diketahui bagaimana penyebaran bawang merah di Kota Bogor, sedangkan pengelolaan persediaan dianalisis untuk diketahui bagaimana bawang merah sebagai inventori ditangani dalam rantai pasokannya.

Pengelolaan rantai pasokan tidak hanya dilakukan agar seluruh bagian sistem memberikan kinerja keseluruhan sistem yang efektif, tetapi juga efisien. Analisis efisiensi rantai pasokan dibuat agar diketahui bagaimana efisiensi rantai pasokan bawang merah yang selama ini diterapkan di Kota Bogor. Analisis marjin pemasaran dilakukan untuk mengetahui efisiensi rantai pasokan secara spesifik dengan menghitung marjin diantara lembaga pemasaran yang terlibat dalam rantai pasokan bawang merah di Kota Bogor. Penelitian ini juga membahas alternatif upaya pengalokasian pasokan bawang merah dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi rantai pasokan.


(1)

Lampiran 6. Perhitungan Marjin Pemasaran Bawang Merah Saluran Pasokan 13, 14, 15, dan 16 (per kg), (Lanjutan)

Saluran Pasokan 13 14 15 16

Komponen Marjin Rp (%) Rp (%) Rp (%) Rp (%)

Konsumen

Harga Beli 3800 4000 4000 3900

Total Biaya Keseluruhan 875 43,75 1120 50,91 1140 51,82 1030 49,05

Total Keuntungan 1125 56,25 1080 49,09 1060 48,18 1070 50,95

Total Marjin 2000 100,00 2200 100,00 2200 100,00 2100 100,00

Rasio Keuntungan-Biaya 1,29 0,96 0,93 1,04

Keterangan : (%) Sebaran Marjin PIC : Pasar Induk Cibitung

Total biaya pemasaran = upah tenaga kerja + biaya transportasi + biaya mbongkar muat dan penimbangan + biaya penyusutan + biaya lain-lain

Biaya lain-lain = biaya sewa kios + biaya listrik, air, kebersihan dan keamanan + retribusi Biaya penyusutan =

elian VolumePemb

t VolumeSusu

x Harga Beli

Marjin Pemasaran untuk setiap saluran pasokan ke-i = Harga jual oleh anggota rantai pasokan ke-i – biaya pemasaran anggota rantai pasokan ke-i

Total Marjin = Marjin pemasaran pedagang besar + marjin pemasaran pedagang pengecer


(2)

Lampiran 7. Selisih Biaya Selama Ini dengan Biaya Pasokan Optimal (per bulan)

Simbol Variabel Keputusan

Biaya (Rp per kg)

Aktual Hasil Perubahan Alokasi Pasokan (kg) Jumlah (Rp) Pasokan (kg) Jumlah (Rp) X13 Pengirim ke pedagang besar di PIK 2.220 510.000 1.132.200.000 687.500 1.526.250.000 X23 Bandar PIC ke pedagang besar PIK 2.230 240.000 535.200.000 0 0 X24 Bandar PIC ke pedagang besar PBB 2.120 75.000 159.000.000 137.500 291.500.000 X35 Pedagang besar PIK ke pengecer PBB 3.150 66.000 207.900.000 0 0 X39 Pedagang besar PIK ke pengecer PS 3.110 3.800 11.818.000 6.000 18.660.000 X310 Pedagang besar PIK ke pengecer PGB 3.090 3.200 9.888.000 4.500 13.905.000 X45 Pedagang besar PBB ke pengecer PBB 2.950 38.000 112.100.000 104.000 306.800.000 X49 Pedagang besar PBB ke pengecer PS 3.240 2.200 7.128.000 0 0 X410 Pedagang besar PBB ke pengecer PGB 3.260 1.300 4.238.000 0 0

Total 2.179.472.000 2.157.115.000

Selisih 22.357.000

Keterangan : PIC : Pasar Induk Cibitung PIK : Pasar Induk Kemang PBB : Pasar Baru Bogor PWJ : Pasar Warung Jambu

PKK : Pasar Kebon Kembang PM : Pasar Merdeka PS : Pasar Sukasari PGB : Pasar Gunung Batu

PPs : Pasar Padasuka


(3)

(4)

Lampiran 8. Formulasi Masalah Dalam LINDO


(5)

(6)

Lampiran 10. Analisis Sensitivitas Berdasarkan Perhitungan Lindo