Biologi Reproduksi Ikan Seriding, Ambassis Nalua (Hamilton, 1822) Di Perairan Teluk Pabean Jawa Barat
i
BIOLOGI REPRODUKSI
IKAN SERIDING, Ambassis nalua (Hamilton, 1822)
DI PERAIRAN TELUK PABEAN JAWA BARAT
NISHA DESFI ARIANTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Biologi Reproduksi Ikan
Seriding, Ambassis nalua (Hamilton, 1822) di Perairan Teluk Pabean Jawa Barat
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2017
Nisha Desfi Arianti
NIM C251140071
iv
RINGKASAN
NISHA DESFI ARIANTI. Biologi reproduksi ikan seriding, Ambassis nalua
(Hamilton, 1822) di perairan Teluk Pabean Jawa Barat. Dibimbing oleh M.F.
RAHARDJO dan AHMAD ZAHID.
Ikan seriding (Ambassis nalua) merupakan salah satu ikan yang hidup di
Teluk Pabean Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aspek
reproduksi yang meliputi ukuran ikan kali pertama matang gonad, musim dan
lokasi pemijahan, serta tipe pemijahan ikan seriding. Ikan sampel dikumpulkan
dari April hingga Oktober 2015 dengan menggunakan alat tangkap sero dan jaring
(trammel net) pada tiga zona, yaitu zona dalam, tengah, dan luar.
Ikan contoh yang tertangkap diawetkan dengan formalin 10% dan dibawa ke
Laboratorium Biologi Makro I, Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan,
FPIK, Institut Pertanian Bogor. Ikan contoh diukur panjang total dan ditimbang
bobot tubuh. Panjang total digunakan untuk menentukan ukuran kali pertama
matang gonad. Kemudian ikan contoh dibedah guna menentukan jenis kelamin
dan diamati tingkat kematangan gonad secara makroskopis. Gonad ikan contoh
dipisahkan dan diawetkan untuk pengamatan fekunditas, diameter telur dan
histologi.
Total 424 ikan seriding yang dikumpulkan terdiri atas 114 jantan dan 310
betina dengan panjang total antara 38,04-112,63 mm dan bobot antara 0,37-25,44
gram. Perkembangan oosit dibagi dalam empat tahapan, yaitu pertumbuhan awal
(kromatin nukleus dan perinuklear), kortikal alveoli, vitelogenesis, dan matang.
Berdasarkan tahapan tersebut, ikan seriding termasuk pemijah asinkroni. Dalam
oosit terdapat semua tahapan perkembangan tanpa ada yang mendominasi.
Total nisbah kelamin ikan jantan dan ikan betina pada tingkat kematangan
gonad (TKG) IV adalah 1:1,9. Ikan jantan dan ikan betina (TKG IV) ditemukan
setiap bulan pengamatan. Nilai indek kematangan gonad berkisar antara 0,40-0,83
untuk ikan jantan dan 2,36-4,54 untuk ikan betina. Puncak pemijahan terjadi pada
bulan September. Ukuran kali pertama matang gonad ikan jantan (79,17 mm)
lebih kecil daripada ikan betina (91,25 mm). Fekunditas bervariasi dari 3.45132.465 butir. Sebaran telur menunjukkan bahwa pola pemijahan ikan seriding
adalah pemijahan bertahap.
Pengelolaan ikan seriding harus tetap memperhatikan keberadaan spesies
lain di perairan Teluk Pabean. Adapun hal yang menjadi fokus dalam pengelolaan
ikan seriding adalah perlindungan habitat dan pengaturan alat tangkap yang
digunakan di perairan Teluk Pabean.
Kata kunci: Teluk Pabean, Ambassis nalua, reproduksi, musim pemijahan, tipe
pemijahan
v
SUMMARY
NISHA DESFI ARIANTI. Reproductive biology of scalloped perchlet, Ambassis
nalua (Hamilton, 1822) in Pabean Bay West Java. Supervised by M.F.
RAHARDJO and AHMAD ZAHID.
Scalloped perchlet is one of fish found in Pabean Bay West Java. This study
aimed to analyze the reproductive aspects including length maturity, spawning
season, spawning area, and spawning type. Fish samples were collected from
April to October 2015 by the trap net and trammel net at three zones based on a
representative of Pabean Bay, inside, middle and outside zone.
Fish samples were preserved in 10% formalin for analyzing in laboratory
Biology Macro I. Fish samples measured the total length and weighed weight. The
total length was determined for these first maturity. Afterward, fish samples were
dissected to determine the sex and macroscopically the stages of gonadal
maturition. Then, gonads are separated and preserved for observation of fecundity,
egg diameter and histology.
A total of 424 of the fish were caught, consist of 114 males and 310
females; with range from 38.04 to 112.63 mm in total length and 0.37-25.44 g in
total weight. The length-weight relationship of the fish shows allometric growth
(b>3) and the condition factor ranged from 0.90-1.15 and 1.04-1.21 for males and
females, respectively.
The development of scalloped perchlet oocytes was divided in four stages,
i.e. primary growth stage (the chromatin of the nucleus and perinuclear), cortical
alveoli, vitellogenesis, and ripe. The development of the oocyte shows that
scalloped perchlet was an asynchronous spawner.
Sex ratio in the mature phase (Stage 4) sample was 1 male to 1.9 females.
The maturity gonads phase of fish (males and females) were found every month.
Value of gonadosomatic index (GSI) ranged from 0.40 to 0.83 for male and from
2.36 to 4.54 for females. Peak of the spawning seasons were found in September.
The first maturity (Lm50) for male was a smaller size than female at 79.17 mm and
91.25 mm, respectively. Fecundity varied from 3,451-32,465 of 117 females
(mature). Distribution of oocyte diameter shows that the spawning pattern of the
fish was batch spawner.
Management of scalloped perchlet must be considering the existence of the
other species in Pabean bay. As for things that become focus on the management
of scalloped perchlet is habitat protection and regulation of fishing gear used in
the Pabean bay.
Key words: Pabean Bay, Ambassis nalua, reproduction, spawning season,
spawning type
vi
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vii
BIOLOGI REPRODUKSI
IKAN SERIDING, Ambassis nalua (Hamilton, 1822)
DI PERAIRAN TELUK PABEAN JAWA BARAT
NISHA DESFI ARIANTI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
viii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc
ix
Judul Tesis : Biologi Reproduksi Ikan Seriding, Ambassis nalua (Hamilton,
1822) di Perairan Teluk Pabean Jawa Barat
Nama
: Nisha Desfi Arianti
NIM
: C251140071
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. M.F Rahardjo, DEA
Ketua
Dr. Ahmad Zahid, SPi. MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumber Daya Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Sigid Hariyadi, MSc
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr
Tanggal Ujian: 18 November 2016
Tanggal Lulus:
x
xi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Biologi Reproduksi Ikan Seriding,
Ambassis nalua (Hamilton, 1822) di Perairan Teluk Pabean Jawa Barat dapat
diselesaikan. Tulisan ini mencakup beberapa informasi biologi ikan seriding yang
dibagi dalam beberapa bagian yaitu pola pertumbuhan dan faktor kondisi; aspek
reproduksi.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihakpihak yang telah memberikan pemikiran serta membantu dalam penyelesaian tesis
ini, terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada:
1. Prof. Dr. Ir. M.F Rahardjo, DEA dan Dr. Ahmad Zahid, SPi MSi selaku
komisi pembimbing atas bimbingan, arahan, nasihat serta semangat yang
telah diberikan selama penyusunan tesis;
2. Prof. Dr. Ir. Sulistiono, MSc selaku penguji luar komisi atas masukan yang
diberikan pada ujian akhir;
3. Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Perairan beserta staf yang
telah memberikan pelayanan dengan baik;
4. Kedua orang tua, Bapak H. Ahmad Effendi Siagian dan Ibu Hj. Rosnani
untuk kasih sayang, kerja keras dan perjuangan serta doa yang diberikan.
Saudaraku Julpri Ardani S.Ip dan Rizki Efsandi yang terus menyemangati
penulis;
5. Bapak Charles PH Simanjuntak, S.Pi M.Si Ph.D, Bapak Emmanuel
Manangkalangi dan Ibu Dati Pertami untuk diskusi-diskusi singkat yang
penuh dengan ilmu;
6. Tim Cimanuk (Arinie G, Andriano, Eda PS, Dedek PS dan Devi SS) serta
seluruh Staf Lab. Biologi Makro MSP FPIK (Mas Aries A, Bg Reiza M,
Ibu Tina dan Ibu Dewi, serta Mifta dan Dewi. Terimakasih buat kerja
sama dan rasa kekeluargaan yang tercipta;
7. Keluarga Bapak Swara dan masyarakat Pabean Ilir atas bantuan selama
melakukan penelitian;
8. Sahabat: Amalia D, Nadia D, Yola A, Devana SM, Sari M;
9. Keluarga kecil di Pondok Kemuning 25; Teman-teman SDP 2014 dan
Anggresia Manalu yang selalu memberikan keceriaan, kebersamaan dan
kekompakan selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2017
Nisha Desfi Arianti
NIM C251140071
xii
xiii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
xiii
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
1 PENDAHULUAN UMUM
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
1
1
2
3
2 POLA PERTUMBUHAN DAN FAKTOR KONDISI
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil
Pembahasan
Simpulan
4
4
4
6
7
8
3 PERKEMBANGAN SEL TELUR
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil
Pembahasan
Simpulan
9
9
9
10
13
14
4 ASPEK REPRODUKSI
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil
Pembahasan
Simpulan
16
16
16
18
22
24
5 PEMBAHASAN UMUM
25
6 SIMPULAN DAN SARAN
27
DAFTAR PUSTAKA
28
LAMPIRAN
33
RIWAYAT HIDUP
42
xiv
DAFTAR TABEL
3.1 Kisaran diameter telur perkembangan oosit ikan seriding (A. nalua)
di Teluk Pabean
3.2 Tahapan perkembangan oosit ikan seriding (A. nalua) secara
morfologis dan histologis di Teluk Pabean (skala: 500µ) / 400x
3.3 Karakteristik morfologis dan histologis ovarium ikan seriding (A.
nalua) betina di Teluk Pabean
4.1 Penentuan tingkat kematangan gonad ikan seriding (A. nalua) betina
di Teluk Pabean berdasarkan karakteristik morfologis dan histologis
4.2 Nisbah kelamin ikan seriding (A. nalua) jantan dan betina (TKG IV)
selama penelitian di Teluk Pabean
10
11
13
17
19
DAFTAR GAMBAR
1.1 Ikan Seriding, Ambassis nalua (Hamilton, 1822)
2.1 Lokasi penelitian pada tiga zona (I, II, III) di Teluk Pabean
Indramayu, Jawa Barat
2.2 Hubungan panjang bobot ikan seriding (A. nalua) jantan (a) dan
betina (b) selama penelitian di Teluk Pabean
2.3 Rata-rata nilai faktor kondisi ikan seriding (A. nalua) jantan (a) dan
betina (b) selama penelitian di Teluk Pabean
3.1 Penampang histologi oosit ikan seriding (A. nalua) di Teluk Pabean
4.1 Persentase tingkat kematangan gonad ikan seriding (A. nalua) jantan
(a) dan betina (b) selama penelitian di Teluk Pabean
4.2 Indek kematangan gonad (IKG) ikan seriding (A. nalua) jantan (a)
dan betina (b) selama penelitian di Teluk Pabean
4.3 Ukuran kali pertama matang gonad (Lm50) ikan seriding (A. nalua)
jantan di Teluk Pabean
4.4 Ukuran kali pertama matang gonad (Lm50) ikan seriding (A. nalua)
betina di Teluk Pabean
4.5 Hubungan fekunditas ikan seriding (A. nalua) dengan panjang total
(a) dan bobot tubuh (b) di Teluk Pabean
4.6 Sebaran diameter telur ikan seriding (A. nalua) di Teluk Pabean
2
5
6
7
10
19
20
20
21
21
22
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
Zona penelitian di Teluk Pabean
Foto alat tangkap yang digunakan selama penelitian di perairan Teluk
Pabean
Faktor kondisi ikan seriding (A. nalua) di Teluk Pabean pada bulan
April - Oktober 2015 berdasarkan selang kelas ukuran
Skema fiksasi contoh gonad ikan seriding (A. nalua)
Skema pewarnaan sediaan histologi gonad ikan seriding (A. nalua)
(Hematoksilin dan Eosin)
34
35
36
37
38
xv
6
7
8
Jumlah ikan seriding (A. nalua) pada selama penelitian di Teluk
Pabean
Nisbah kelamin ikan seriding (A. nalua) berdasarkan selang kelas
ukuran di Teluk Pabean
Dokumentasi penelitian di Teluk Pabean Indramayu
39
40
41
1
1 PENDAHULUAN UMUM
1.1 Latar Belakang
Teluk Pabean merupakan salah satu muara Sungai Cimanuk yang
berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Pengaruh dari daratan maupun lautan
membuat Teluk Pabean menjadi daerah yang subur, serta merupakan daerah
hunian ikan yang sangat beragam, antara lain pemijahan, pencarian makanan,
tempat persinggahan dalam ruaya, dan perlindungan. Setiap jenis ikan dalam
komunitasnya akan berinteraksi dan menempati relung tertentu. Ikan akan
beradaptasi terhadap lingkungan (fisik, kimiawi, maupun hayati) agar tetap ada
dan bertahan. Blaber (2000) menyatakan bahwa muara memainkan peran penting
dalam menjaga produktivitas biologi dan keanekaragaman, menjadi habitat
penting bagi banyak spesies ikan yang hidup di muara pada sebagian atau seluruh
daur hidupnya.
Sjafei et al. (2001) menjelaskan bahwa 15 jenis ikan ditemukan pada
segmen hilir Sungai Cimanuk (Indramayu), 11 jenis diantaranya merupakan ikan
laut/payau. Penelitian tentang reproduksi ikan yang terdapat di Teluk Pabean juga
telah dilakukan, seperti ikan belanak (Liza subviridis) (Effendie 1984). Salah satu
ikan di Teluk Pabean yang belum dilakukan penelitian, yaitu ikan seriding (A.
nalua) yang merupakan salah satu ikan penghuni estuari. Ikan seriding merupakan
spesies estuari asli karena ditemukan dalam jumlah yang melimpah pada berbagai
tahap hidupnya di estuari. Dalam rantai makanan, ikan seriding berperan sebagai
karnivora tingkat pertama yang memakan krustase (sergestid dan mysid).
Keberlangsungan hidup ikan seriding memengaruhi ketersediaan makanan bagi
karnivor tingkat diatasnya yang memakan ikan (piscivora) di estuari. Ikan seriding
bukan merupakan ikan tangkapan utama, sehingga secara ekonomis ikan seriding
tidak begitu penting, seringkali dijadikan pakan ternak dan campuran bahan
pangan (terasi).
Teluk Pabean dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar yang bekerja sebagai
nelayan untuk menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap, misal sero,
jaring udang, dan jaring arad. Sero dan jaring udang merupakan alat tangkap yang
pasif, sedangkan jaring arad merupakan alat tangkap aktif yang digerakkan
dengan menggunakan perahu. Penangkapan ikan dengan menggunakan jaring arad
dikhawatirkan mengganggu aktivitas ikan-ikan yang melakukan pemijahan,
mencari makan dan beruaya ke Teluk Pabean. Keberhasilan pemijahan akan
memengaruhi proses penambahan populasi ikan. Menurut Effendie (2002)
penambahan populasi ikan juga bergantung kepada kondisi telur dan larva ikan
yang akan berkembang.
Penelitian mengenai ikan seriding terutama mengenai reproduksi masih
sangat sedikit, diantaranya yang telah diteliti adalah ikan seriding jenis lain, yaitu
Ambassis nigripinnis (Millton & Arthington 1985); Ambassis agassizii (Liewellyn
2008); Parambassis siamensis (Okutsu 2011) dan Parambassis ranga (Ishikawa
& Tachihara 2012). Widodo & Suadi (2006) menerangkan bahwa aspek biologi
yang dikaji dapat berupa perubahan (dinamika) yang terjadi pada stok sumber
daya yang dieksploitasi salah satunya dipengaruhi oleh keberhasilan reproduksi
dan rekrutmen. Proses reproduksi ini dapat memberikan gambaran tentang aspek
2
biologi yang terkait proses reproduksi, mulai dari diferensiasi seksual hingga
dihasilkannya individu baru (larva) (Affandi & Tang 2002). Hal ini perlu
diketahui sebagai informasi dasar dalam pengelolaan ikan di Teluk Pabean, salah
satunya ikan seriding.
1.2. Perumusan Masalah
Teluk merupakan daerah yang subur dengan berbagai aktivitas ikan
diantaranya sebagai lokasi pemijahan, pembesaran, mencari makan, dan jalur
ruaya. Ikan seriding dapat dimanfaatkan baik sebagai ikan konsumsi maupun
sebagai ikan hias. Ikan seriding termasuk kelompok ikan hias karena tubuhnya
yang transparan dan dikenal dengan nama scalloped perchlet.
Gambar 1.1 Ikan seriding, Ambassis nalua (Hamilton, 1822)
Kegiatan pemijahan ikan memberikan kesempatan bagi ikan untuk
menghasilkan keturunan yang pada giliran berikutnya akan tumbuh hingga
dewasa untuk kemudian memijah kembali. Kegiatan pemijahan oleh ikan akan
terhambat jika penggunaan alat tangkap aktif dan tidak selektif seperti jaring arad
yang digunakan nelayan menangkap ikan-ikan yang akan memijah serta mencari
makan di Teluk Pabean. Hal ini akan memengaruhi keberhasilan reproduksi ikan.
Selain itu tertangkapnya ikan-ikan kecil akan berdampak terhadap proses
peremajaan ikan. Tidak menutup kemungkinan bahwa ukuran ikan yang matang
gonad akan semakin kecil. Dalam posisi penurunan ukuran ikan yang matang
gonad, diduga akan memengaruhi jumlah telur yang dihasilkan, sehingga hal ini
akan berpengaruh terhadap jumlah individu baru.
Selain kegiatan penangkapan, kegiatan antropogenik yang berlangsung di
wilayah sekitar teluk maupun di teluk itu sendiri dapat menyebabkan terhambatnya proses pemijahan dikarenakan hilangnya ruang pemijahan maupun
rusaknya ruang pemijahan bagi ikan serta ruang mencari makan bagi ikan, seperti
aktivitas tambak yang dapat menyebabkan pendangkalan, mempersempit ruang
gerak ikan. Hal ini dikhawatirkan akan berdampak pada salah satu ikan yaitu ikan
seriding (A. nalua). Penelitian mengenai aspek reproduksi ikan seriding (A. nalua)
memberikan informasi dasar untuk pengelolaan perikanan, khususnya ikan
seriding di Teluk Pabean.
3
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan aspek reproduksi ikan
seriding (A. nalua) yang meliputi ukuran kali pertama matang gonad, musim dan
lokasi pemijahan, serta tipe pemijahan di Teluk Pabean. Hasil analisis tersebut
akan digunakan sebagai dasar menyusun alternatif pengelolaan ikan seriding (A.
nalua) di Teluk Pabean.
4
2 POLA PERTUMBUHAN DAN FAKTOR KONDISI
2.1 Pendahuluan
Dalam biologi perikanan, pola pertumbuhan yang tergambar dari hubungan
panjang bobot ikan merupakan salah satu informasi pelengkap yang perlu
diketahui dalam kaitan pengelolaan sumber daya perikanan. Kajian mengenai
hubungan panjang bobot ikan telah banyak dilakukan seperti Johnius belangerii di
pantai Mayangan (Rahardjo & Simanjuntak 2008); Cynoglossus bilineatus di
pantai Mayangan (Zahid & Simanjuntak 2009); Mugil cephalus, Ambassis koopsii,
Leiognathus fasciatus di perairan Kuala Gigieng (Mulfizar 2012). Selain itu ada
juga kajian mengenai hubungan panjang bobot populasi ikan, diantaranya adalah
33 jenis ikan di Teluk Euboikos Selatan (Petrakis & Stergiou 1995) dan 40 ikan
mangrove di Estuari Curuçá, Brazil (Giarrizzo et al. 2006).
Hubungan panjang bobot digunakan untuk memperkirakan bobot tubuh ikan
dengan panjangnya (Gomiero & Braga 2003; Froese 2006; Gomiero et al. 2008).
Hubungan panjang bobot dan faktor kondisi juga merupakan kajian biologi yang
dapat mendukung dalam memahami aspek reproduksi ikan. Faktor kondisi
digunakan untuk membandingkan kondisi tubuh, perkembangan gonad, kemontokan, atau kesejahteraan ikan, yang didasarkan kepada asumsi bahwa jika bobot
ikan lebih cepat dibandingkan pertambahan panjang maka ikan berada dalam
kondisi baik (Gomiero & Braga 2003; Froese 2006). Selain itu, faktor kondisi
juga dapat memberikan informasi mengenai status fisiologi ikan, terutama pada
ikan betina mengenai alokasi energi selama perkembangan gonad.
Namun, informasi mengenai kajian spesies ikan seriding masih sangat sedikit, terutama di perairan Teluk Pabean belum pernah dilakukan. Oleh karena itu
penelitian ini penting sebagai data penunjang mengenai aspek reproduksi ikan
seriding. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan pola pertumbuhan
dan faktor kondisi ikan seriding di Teluk Pabean.
2.2 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan April hingga Oktober 2015 di Teluk
Pabean, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Lokasi pengambilan contoh
dibagi menjadi tiga zona berdasarkan daerah representatif teluk, yaitu zona dalam,
zona tengah, dan zona luar (Gambar 2.1, Lampiran 1). Zona dalam teluk merupakan daerah yang tenang dan tertutupi oleh tumbuhan mangrove; di zona tengah
teluk terdapat beberapa keramba ikan bandeng milik nelayan; sedangkan zona luar
teluk merupakan daerah yang mendapatkan pengaruh dari laut, angin kuat, terdapat banyak sero nelayan, perairan lebih luas.
Pengambilan ikan contoh dilakukan sebanyak satu kali dalam satu bulan
dengan menggunakan alat tangkap sero dan jaring (trammel net) (Lampiran 2).
Sero dipasang pada malam hari dan diangkat pada pagi hari oleh nelayan. Jaring
dipasang pada saat turun lapangan (panjang 72 m; tinggi 1,5 m; waktu 60 menit).
Ikan seriding yang telah tertangkap kemudian diawetkan dengan formalin 10%
untuk dibawa ke Laboratorium Biologi Makro I, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
5
Ikan seriding diukur panjang totalnya (PT) dengan jangka sorong berketelitian 1 mm dan ditimbang bobot tubuhnya (BT) dengan menggunakan timbangan digital berketelitian 0,01 g. Menentukan jenis kelamin (jantan dan betina)
dilakukan dengan pembedahan terlebih dahulu, bobot gonad ditimbang dengan
menggunakan timbangan digital ketelitian 0,0001 g, kemudian diawetkan dengan
formalin 4%.
Gambar 2.1 Lokasi penelitian pada tiga zona (I, II, III) di Teluk Pabean
Indramayu, Jawa Barat
Pola pertumbuhan ikan seriding dapat ditentukan dengan melakukan analisis
hubungan panjang bobot. Hubungan panjang bobot diperoleh dengan menggunakan persamaan Effendie (1979).
Keterangan:
W
: bobot tubuh ikan (g)
L
: panjang tubuh ikan (mm)
a, b
: konstanta
Jika nilai b sama dengan 3 maka pertumbuhan ikan isometrik (pertambahan
panjang ikan seimbang dengan pertambahan bobotnya), dan jika nilai b tidak
6
sama dengan 3 maka pertumbuhan allometrik (pertumbuhan lebih ke arah panjang
atau bobot).
Hubungan panjang bobot dan faktor kondisi dihitung terpisah antara ikan
jantan dan ikan betina. Faktor kondisi (K) dianalisis berdasarkan panjang bobot
ikan menggunakan persamaan Effendie (1979).
Keterangan:
K
: faktor kondisi
W
: bobot tubuh ikan (g)
L
: panjang total ikan (mm)
a, b
: konstanta
2.3 Hasil
Bobot (g)
Jumlah ikan yang diperoleh selama tujuh bulan penelitian berjumlah 424
ekor ikan, yang terdiri atas 114 ikan jantan dan 310 ikan betina. Berdasarkan
analisis hubungan panjang bobot diperoleh persamaan sebagai berikut: W = 5 x
10-6 L3,2186 (r = 0,9678) untuk ikan jantan dan W = 7 x 10-6 L3,1486 untuk ikan
betina (Gambar 2.2).
14
12
10
8
6
4
2
0
W = 5 x 10-6L3,2186
r = 0.9678
n = 114
0
30
150
W = 7 x 10-6L3,1486
r = 0.9551
n = 310
25
Bobot (g)
50
100
Panjang (mm) (a)
20
15
10
5
0
0
50
100
Panjang (mm) (b)
150
Gambar 2.2 Hubungan panjang bobot ikan seriding (A. nalua) jantan (a) dan
betina (b) di Teluk Pabean
7
Hasil analisis menunjukkan bahwa hubungan panjang bobot ikan seriding
jantan dan betina memiliki korelasi yang kuat. Hal ini dapat dilihat dari nilai r
yang mendekati 1. Nilai b persamaan yang didapatkan menunjukkan bahwa ikan
seriding jantan dan betina memiliki pola pertumbuhan allometrik (b>3), yang artinya pertumbuhan lebih diarahkan kepada pertambahan bobot tubuh dibandingkan
dengan pertambahan panjang tubuh atau ikan dalam kondisi gemuk.
Nilai faktor kondisi rata-rata ikan seriding jantan berkisar 0,90-1,15 dan
ikan betina berkisar 1,04-1,21 (Gambar 2.3). Nilai faktor kondisi rata-rata ikan
jantan mengalami penurunan pada bulan Mei dan Juni, sedangkan nilai faktor
kondisi rata-rata ikan betina mengalami penurunan pada bulan Mei dan Agustus.
1,6
1,2
0,8
Faktor kondisi
0,4
0,0
Apr*
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep
Okt
Sep
Okt
Bulan (a)
1,6
1,2
0,8
0,4
0,0
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Bulan (b)
Gambar 2.3 Rata-rata nilai faktor kondisi ikan seriding (A. nalua) jantan (a) dan
betina (b) selama penelitian di Teluk Pabean.
Keterangan: * tidak ditemukan ikan
2.4 Pembahasan
Hubungan panjang bobot yang didapat dari analisis regresi menunjukkan
bahwa ikan seriding memiliki pola pertumbuhan allometrik dengan nilai b>3. Hal
ini juga terlihat pada morfologi tubuh ikan seriding yang pendek atau padat. Pola
pertumbuhan allometrik juga ditemukan pada Ambassis koopsii di estuari Kuala
Gigeeng, Aceh (Mulfizar 2012). Akan tetapi pola pertumbuhan pada ikan A.
koopsii adalah b3), menunjukkan
pertumbuhan bobot yang lebih dominan. Faktor kondisi ikan betina pada selang
ukuran yang sama lebih tinggi daripada ikan jantan.
9
3 PERKEMBANGAN SEL TELUR
3.1 Pendahuluan
Reproduksi merupakan upaya untuk menghasilkan individu baru melalui
proses perkawinan atau pemijahan. Siklus reproduksi masing-masing ikan
bervariasi, dilihat dari perkembangan oosit dan musim pemijahan. Ada beberapa
jenis ikan yang pemijahan dilakukan dalam jangka panjang, jangka pendek, serta
ada juga ikan yang memijah sepanjang tahun dengan pelepasan telur secara
bertahap. Tipe pemijahan ikan dapat dilihat melalui pengamatan perkembangan
oosit pada histologi ovarium ikan betina.
Perkembangan oosit terdiri atas beberapa tahapan, yaitu tahap pertumbuhan
primer (ditandai dengan terbentuknya nukleus kromatin dan perinuklear); tahap
kortikal alveoli; tahap vitelogenesis dan tahap pematangan (pematangan awal dan
pematangan akhir) (McMillan 2007). Perkembangan oosit yang terjadi juga tidak
harus mengikuti tahapan yang sudah ada, dapat disesuaikan dengan periode
perkembangan oosit ikan itu sendiri.
Menurut Selman & Wallace (1989), ovarium ikan dapat diklasifikasikan
dalam tiga tipe berdasarkan bentuk perkembangan oositnya yaitu tipe berkembang
bersamaan (synchronic), berkembang bersamaan secara berkelompok (group
synchronic) dan berkembang tidak bersamaan (asynchronic). Tipe perkembangan
oosit tidak bersamaan (asynchronic) dapat ditemukan dalam ovarium yang
memiliki beberapa kelompok oosit dengan tingkat perkembangan kematangan
yang berbeda-beda (Nagahama 1983; Nejedli et al. 2004).
Selama ini masih sedikit penelitian terkait dengan biologi ikan seriding.
Zahid et al. (2011) hanya mengungkap tentang makanan ikan seriding di perairan
Segara Menyan, Jawa Barat. Tahapan perkembangan sel telur secara histologi
merupakan dasar untuk kajian reproduksi terkait strategi reproduksi. Marques et al.
(2000) menjelaskan bahwa kajian mengenai reproduksi ikan dapat digunakan
untuk mendukung manajemen dan program konservasi ikan yang dirancang untuk
mempertahankan atau meningkatkan stok ikan. Penelitian ini dilakukan dengan
tujuan menjelaskan tahapan perkembangan sel telur (oosit) dan tipe pemijahan
ikan seriding.
3.2 Metode Penelitian
Ikan betina hasil tangkapan yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan
ukuran, kemudian ikan betina dari masing-masing kelompok dipilih secara acak
untuk dibedah dan dilihat ovari dari berbagai ukuran. Gonad dipisahkan dari isi
perut lainnya, kemudian gonad yang mewakili tingkat kematangan gonad yang
berbeda secara morfologi kemudian dipisahkan kedalam plastik klip, diawetkan
menggunakan larutan BNF (Buffer Neutral Formalin). Menentukan tingkatan
kematangan gonad pada ikan seriding secara morfologi dapat dilihat dengan
memperhatikan ukuran, warna, dan butiran telur yang terlihat secara kasat mata.
Preparat histologi gonad dibuat dengan metode pewarnaan Hematoxylin dan
Eosin (Lampiran 4 & 5) dengan ketebalan pengirisan 3-5 µm pada posisi
melintang. Pengamatan gonad dilakukan di Laboratorium Histopatologi Fakultas
10
Kedokteran Hewan IPB dan preparat gonad diamati di bawah mikroskop
berkamera (perbesaran 40x) di Laboratorium Terpadu Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan IPB. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif mengacu
kepada Murua & Saborido-Rey (2003); McMillan (2007); Genten et al. (2009).
3.3 Hasil
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dalam satu penampang oosit ikan
seriding betina terdapat dua hingga tiga perkembangan telur. Gambar 3.1 menunjukkan adanya tahap pertumbuhan awal, kortikal alveoli dan vitelogenesis.
Gambar 3.1 Penampang histologi oosit ikan seriding (A. nalua) di Teluk Pabean
Keterangan: KA, kortikal alveoli; N, nukleus; VTL, vitelogenesis; n, nukleolus; PA, pertumbuhan
awal (primer) (a, kromatin nukleus & b, perinuklear); bl, butiran lemak: bkt, butiran
kuning telur: z, zona radiata (skala: 500 µm).
Ukuran oosit pada setiap fase perkembangannya sangat bervariasi. Hal ini
terlihat dari diameter telur yang teramati melalui preparat histologi perkembangan
oosit (Tabel 3.1). Tahapan perkembangan oosit ikan seriding betina terpampang
pada Tabel 3.2. Karakteristik morfologis dan histologis ovarium ikan seriding (A.
nalua) betina dipaparkan pada Tabel 3.3.
Tabel 3.1 Kisaran diameter telur perkembangan oosit ikan seriding (A. nalua) di
Teluk Pabean
Tahapan Perkembangan Oosit
Ukuran (µm)
Pembentukan kromatin nukleus
30 - 500
a. Pembentukan perinuklear
600 - 1300
Kortikal alveoli
1000 - 2500
Vitelogenesis
1500 - 7300
Matang
3700 - 5000
11
Tabel 3.2 Tahapan perkembangan oosit ikan seriding (A. nalua) secara morfologis
dan histologis di Teluk Pabean (skala: 500 µm) / (400 x)
Tahapan
Kromatin nukleus
Perinuklear
Kortikal alveoli
Vitelogenesis
Matang
Karakteristik Morfologis
Gonad Betina
Karakteristik Histologis
Gonad Betina
12
Tahap kromatin nukleus
Kromatin nukleus merupakan tahapan awal ketika oogonia mengalami
pembelahan meiosis profase. Dari pembelahan tersebut kemudian muncul oosit di
lumen ovarium. Oosit dikelilingi oleh beberapa sel folikel skuamosa dan memiliki
inti yang dikelilingi oleh lapisan sitoplasma yang tipis, disebut dengan nukleus
(Tabel 3.2, kromatin nukleus).
Tahap perinuklear
Bersamaan dengan berkembangnya oosit, nukleolus tumbuh di dalam
nukleus, umumnya berada di pinggiran lapisan inti. Kemudian terbentuk cincin
putih yang mengelilingi nukleus. Pada akhir tahap ini juga akan terlihat beberapa
pembentukan butiran kuning telur dan lemak di sitoplasma. Hal ini menunjukkan
oosit akan menuju ke tahapan kortikal alveolus. Hampir rata-rata pada tahap ini
oosit belum mengalami matang gonad (Tabel 3.2, perinuklear).
Tahap kortikal alveoli
Pada tahap ini ovarium mengalami perkembangan sitoplasma, disebabkan
adanya pembentukan butiran lemak dan butiran kuning telur di sekeliling nukleus.
Nukleus masih berada di posisi inti dengan beberapa nukleolus yang melekat di
membran (Tabel 3.2, kortikal alveoli). Kortikal alveoli (yolk vesicle) terbentuk
dengan ukuran yang bervariasi dan, memiliki bentuk yang tidak beraturan. Pada
tahap ini zona radiata terlihat lebih jelas. Memasuki tahap vitelogenesis, kortikal
alveoli akan bermigrasi kepinggiran oosit.
Tahap vitelogenesis
Setelah kortikal alveoli, terjadi pertambahan ukuran serta jumlah butiran
kuning telur dan lemak mengisi sitoplasma. Tahap ini disebut awal vitelogenesis
(early vitellogenesis). Selanjutnya pada tahap akhir vitelogenesis (late
vitellogenesis) terjadi pengendapan butiran kuning telur pada sisi tepi oosit yang
matang dan kemudian menyebar keseluruh sitoplasma mendekati nukleus (Tabel
3.2, vitelogenesis). Proses ini membuat ukuran nukleus semakin mengecil dengan
bentuk yang tidak beraturan. Butiran kuning telur mulai mengalami pencairan
sejalan dengan berkembangnya sitoplasma. Selain itu zona radiata terlihat lebih
tebal dan jelas antara teka internal dan teka eksternal.
Tahap matang
Terjadi proses dimana nukleus menghilang dan nekleolus keluar ke
sitoplasma, sehingga oosit sulit diidentifikasi. Butiran kuning telur mengalami
pencairan dan terlepas ke lumen ovarium. Zona radiata (teka internal dan teka
eksternal) mengalami penipisan karena peningkatan ukuran sel sehingga epitel
folikular menjadi pecah dan ini disebut dengan tahap matang (Tabel 3.2, matang).
13
Tabel 3.3 Karakteristik morfologis dan histologis ovarium ikan seriding (A. nalua)
betina di Teluk Pabean
Tahapan
perkembangan
Karakter morfologis
Karakter histologis
individu oosit
Kromatin
Ukuran ovarium kecil, tipis, Sel kecil dengan inti sel
nukleus
bewarna jingga dan terlihat (nukleus) ditengah dan bentuk
seperti minyak.
tidak beraturan.
Perinuklear
Ukuran ovarium membesar, Sel lebih besar sejalan dengan
warna kekuningan tetapi bu- perkembangan sitoplasma, nuktiran telur belum terlihat.
leus semakin membesar disertai
dengan munculnya nukleolus.
Di-temukan seperti cincin putih
yang mengelilingi nukleus.
Kortikal alveoli Ukuran ovarium semakin Ditandai dengan munculnya
membesar, bewarna kuning pembentukkan butiran kuning
dan mulai terlihat adanya telur dan butiran lemak di sitobutiran telur.
plasma. Zona radiata dan lapisan
folikel mulai terlihat jelas.
Vitelogenesis
Butiran telur terlihat dengan Nukleus mulai terdesak dengan
jelas dan rongga ovarium semakin meningkatnya jumlah
rapat dengan telur. Pem- dan ukuran butiran kuning telur
buluh darah terlihat sangat di sitoplasma. Zona radiata sejelas.
makin tebal dan terlihat jelas.
Matang
Butiran telur terlihat dan Pada tahap ini, nukleus mengrongga ovarium mulai me- hilang dan nekleolus keluar ke
renggang, terdapat bagian sitoplasma. Pembentukan butiryang transparan.
an kuning telur telah berhenti
dan sitoplasma di dominasi oleh
bu-tiran kuning telur.
3.4 Pembahasan
Jumlah tahapan perkembangan gonad dan sub-tahap pada ikan dapat
bervariasi sesuai dengan perkembangan ovarium untuk setiap spesies dan juga
sesuai dengan kriteria berbeda yang digunakan oleh masing-masing penulis
(Santos et al. 2005). Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan ditemukan lima
tahapan perkembangan oosit pada ikan seriding yaitu 1. Kromatin nukleus; 2.
Perinuklear; 3. Kortikal alveoli; 4. Vitelogenesis; dan 5. Matang. Tahap kromatin
nukleus dan perinuklear disebut sebagai tahap pertumbuhan primer (Forberg
1982; Selman et al. 1993). Menurut Begovac & Wallace (1988) tahapan
perinuklear pada sebagian ikan ditandai dengan adanya cincin (perinuclear ring)
seperti pada ikan Tilapia nilotica dan Sygnathus scovelli. Tahap pertumbuhan
primer ini merupakan tahapan awal yang sering dijumpai pada perkembangan sel
telur ikan.
Pada ikan-ikan yang mengeluarkan telurnya secara bersamaan, hanya ada
satu tahapan dalam penampang oosit seperti pada Mallotus villosus (Forberg
1982); Anguilla rostrata (Krueger & Oliveira 1997). Pada ikan seriding, tahapan
14
perkembangan oosit menunjukkan keunikan yaitu dalam satu perkembangan
ovarium terdapat dua sampai tiga tahapan perkembangan (Gambar 3.1). Hal ini
menunjukkan bahwa perkembangan oosit ikan seriding tergolong kedalam
berkembang tidak bersamaan (asynchronic), seperti pada ikan Oligosarcus
hepsetus (Santos et al. 2005); Notropis buccula (Durham & Wilde 2008); Danio
rerio (Ucuncu 2009). Ikan-ikan dengan tipe pemijahan tidak bersamaan
(asynchronic) memiliki musim pemijahan yang panjang dan biasanya pemijahan
terjadi sepanjang tahun terlepas dari pengaruh kondisi lingkungan (Durham &
Wilde 2008).
Dilihat dari perkembangan oosit, dapat dihubungkan dengan melihat tingkat
kematangan gonad pada ikan. Ikan yang belum matang gonad dengan warna
kuning muda disebabkan pada tahapan awal pertumbuhan primer (kromatin
nukleus dan perinuklear) butiran kuning telur dan lemak belum muncul. Pada
tahapan kortikal alveoli, butiran kuning telur dan lemak mulai muncul di
sekeliling sitoplasma. Kortikal alveoli memiliki peranan penting dalam menuju
tahap vitelogenesis. Dengan munculnya butiran-butiran kecil pada kortikal alveoli
yang kemudian tumbuh menjadi lebih besar dan memenuhi sitoplasma
mendukung terjadinya proses vitelogenesis. Hal ini dapat terlihat pada ikan yang
telah matang gonad atau ikan dengan tingkat kematangan gonad IV.
Pada tahapan vitelogenesis, butiran lemak akan terlihat bewarna jingga
karena adanya pigmen karotenoid. Beberapa hormon yang mengatur dalam pertumbuhan oosit pada ikan, diantaranya gonadotropin (GTH) seperti LH (luteinizing hormone) dan FSH (follicle stimulating hormone) yang bekerja merangsang dalam penyerapan untuk menuju ke tahap vitelogenesis; tiroksin, triiodothyronine, hormon pertumbuhan, dan insulin (Tyler 1996). Meskipun ada beberapa hormon yang tidak bekerja secara langsung dalam perkembangan oosit, seperti hormon pertumbuhan yang memacu pertumbuhan tubuh pada ikan agar ikan
tumbuh lebih cepat dan mengalami matang gonad.
Pada beberapa ikan, perpaduan butiran kuning telur dan lemak menjadi sulit
dibedakan pada saat proses pematangan, dan oosit menjadi sulit ditemukan saat
akan pembubaran inti. Hal ini disebabkan oleh penyusutan dan distorsi dari oosit
selama pemrosesan kembali normal. West (1990) juga menjelaskan bahwa oosit
tidak jarang hilang dari lumen ovarium dalam proses pengembalian ke jaringan
awal perkembangan. Setelah tahapan akhir pematangan, ikan seriding akan
kembali mempersiapkan untuk tahapan pertumbuhan primer untuk pemijahan
selanjutnya.
Terlihat adanya tumpang tindih ukuran antara tahap vitelogenesis dan tahap
matang. Hal ini disebabkan karena perbedaan ukuran tubuh dan bobot tubuh pada
ikan seriding. West (1990) juga menegaskan bahwa bias pada ukuran oosit mungkin terjadi karena sampel yang digunakan dari ukuran tubuh yang berbeda. Hal
serupa juga ditemukan pada ikan Mugil cephalus dengan habitat yang berbeda
memiliki ukuran diameter oosit tumpang tindih antara tahap matang dan tahap
penyerapan.
3.5 Simpulan
Ikan seriding memiliki lima tahapan perkembangan oosit: 1. Kromatin nukleus; 2. Perinuklear; 3. Kortikal alveoli; 4. Vitelogenesis; dan 5. Matang. Dalam
15
satu ovarium terdapat tiga tahapan perkembangan oosit yang berbeda, hal ini
menunjukkan bahwa ikan seriding termasuk kedalam ikan yang memiliki oosit
berkembang tidak bersamaan (asynchronic).
16
4 ASPEK REPRODUKSI
4.1 Pendahuluan
Ikan seriding merupakan ikan yang menggantungkan hidupnya di muara.
Berbagai tahap hidupnya ditemukan di ekosistem muara, dengan jumlah yang
melimpah seperti yang ditemukan di estuari Mayangan (Zahid et al. 2011) dan di
Teluk Bintuni (Simanjuntak et al. 2011). Pada kedua lokasi tersebut, ikan seriding
merupakan ikan yang cukup mendominasi dan memiliki sebaran yang cukup luas.
Persebaran ikan seriding di dunia mencakup Australia; Bangladesh; India;
Indonesia; Malaysia; Myanmar; Papua Nugini; Filipina; Singapura; Thailand;
Amerika Serikat. Ikan seriding (Ambassis nalua) saat ini terdaftar di IUCN Red
List sebagai spesies dengan status tingkat kekhawatiran minimal (least concern)
(IUCN 2011). Informasi mengenai populasi ikan tersebut masih minim, beberapa
penelitian telah dilakukan pada genus Ambassis diantaranya oleh Semple (1985);
Allen & Burgess (1990); Coates (1990). Selain itu nilai komersial dari genus ini
masih terbatas; sebagian genus Ambassis diperdagangkan sebagai ikan hias
karena tubuhnya yang transparan.
Di perairan Teluk Pabean, kajian biologi mengenai aspek reproduksi ikan
seriding belum pernah dilakukan. King & McFarlane (2003) dan Silva et al.
(2005) menjelaskan bahwa biologi reproduksi ikan memberikan acuan dasar
penting dalam manajemen stok dan konservasi ikan. Selain itu kajian mengenai
aspek biologi penting untuk keberlanjutan suatu spesies. Keberhasilan reproduksi
bergantung kepada rekrutmen, serta berdampak kepada keberlangsungan populasi
spesies. Penelitian aspek reproduksi ini bertujuan untuk menjelaskan beberapa
aspek reproduksi meliputi nisbah kelamin, musim pemijahan, ukuran ikan kali
pertama matang gonad, fekunditas serta tipe pemijahan.
4.2 Metode Penelitian
Data yang telah diamati di laboratorium meliputi data ukuran panjang, bobot
tubuh dan bobot gonad digunakan untuk menganalisis nisbah kelamin, ukuran kali
pertama matang gonad serta hubungan fekunditas dengan panjang dan bobot.
Sedangkan untuk menentukan musim pemijahan menggunakan tingkat kematangan gonad (TKG) dan indeks kematangan gonad (IKG).
Gonad ikan seriding jantan dan betina diawetkan, kemudian gonad ikan
betina dibagi menjadi tiga bagian yaitu anterior, tengah dan posterior (masingmasing bagian ditimbang). Masing-masing bagian kemudian diambil 5% dari
bobotnya; diencerkan dengan aquades untuk memudahkan menghitung fekunditas.
Diameter telur diukur dengan mengambil masing-masing bagian sebanyak 100
butir, kemudian dilakukan pengamatan menggunakan mikroskop pembesaran 4 x
10 dengan mikrometer okuler yang telah ditera dengan mikrometer objektif.
Nisbah kelamin ikan seriding dihitung dengan membandingkan jumlah ikan
seriding jantan dan betina yang telah matang gonad (TKG IV) yaitu:
17
Keterangan:
NK
: nisbah kelamin;
nJ
: jumlah ikan jantan;
nB
: jumlah ikan betina.
Tingkat kematangan gonad (TKG) ditentukan berdasarkan tanda-tanda
morfologi gonad (Tabel 4.1).
Tabel 4.1 Penentuan tingkat kematangan gonad ikan seriding (A. nalua) betina di
Teluk Pabean berdasarkan karakteristik morfologis dan histologis
TKG
I
II
Karakter morfologis
Ukuran ovarium kecil, tipis, bewarna jingga dan terlihat seperti minyak.
Ukuran ovarium membesar, warna
kekuningan tetapi butiran telur belum terlihat.
III
Ukuran ovarium semakin membesar, bewarna kuning dan mulai terlihat adanya butiran telur.
IV
Butiran telur terlihat dengan jelas
dan rongga ovarium rapat dengan
telur. Pembuluh darah terlihat sangat
jelas.
Butiran telur terlihat dan rongga
ovarium mulai merenggang, terdapat bagian yang transparan.
V
Karakter histologis
Sel kecil dengan inti sel (nukleus)
ditengah dan bentuk tidak beraturan.
Sel lebih besar sejalan dengan perkembangan sitoplasma, nukleus semakin
mem-besar disertai dengan munculnya
nukleolus. Ditemukan seperti cincin
putih yang mengelilingi nukleus.
Ditandai dengan munculnya pembentukkan butiran kuning telur dan butiran
lemak di sitoplasma. Zona radiata dan
lapisan folikel mulai terlihat jelas.
Nukleus mulai terdesak dengan semakin
meningkatnya jumlah dan ukuran butiran kuning telur di sitoplasma. Zona
radiata semakin tebal dan terlihat jelas.
Pada tahap ini, nukleus menghilang dan
nekleolus keluar ke sitoplasma. Pembentukan butiran kuning telur telah
berhenti dan sitoplasma di dominasi
oleh butiran kuning telur.
Nilai indeks kematangan gonad (IKG) dihitung setiap bulan pengamatan.
Musim pemijahan yaitu bulan dengan ditemukannya ikan yang matang gonad;
puncak pemijahan yaitu bulan dengan ditemukannya ikan dengan proporsi TKG
dan IKG tertinggi. Indeks kematangan gonad dihitung berdasarkan rumus
Effendie (1979), yaitu:
Keterangan:
IKG : indeks kematangan gonad;
Bg
: bobot gonad (g);
Bt
: bobot tubuh (g)
Ukuran ikan kali pertama matang gonad (Lm50) dihitung menggunakan
metode pendekatan ukuran morfologi berdasarkan frekuensi kumulatif ikan yang
matang gonad (TKG III & IV).
18
Ikan seriding (A. nalua) yang telah mengalami matang gonad dihitung
fekunditas totalnya. Persamaan yang digunakan dalam menghitung telur secara
gravimetrik adalah sebagai berikut (Effendie 1979):
Keterangan:
F
: fekunditas total (butir);
G
: bobot gonad (g);
g
: bobot gonad contoh (g);
f
: jumlah telur tercacah (butir)
Hubungan antara fekunditas total dengan panjang ikan dan bobot tubuh
dinyatakan dengan persamaan berikut:
dan F
Keterangan :
F
: fekunditas (butir);
B
: bobot ikan (g);
PT
: panjang ikan (mm);
a dan b, konstanta
Pengukuran diameter telur (TKG IV) dilakukan dengan mengambil contoh
telur dari tiga bagian gonad yang mewakili (anterior, tengah, dan posterior)
dengan jumlah masing-masing 100 butir. Diameter telur diukur dengan menggunakan mikroskop binokuler yang diberi mikrometer okuler dengan perbesaran 4
x 10. Persebaran diameter telur digunakan sebagai dasar penentuan tipe pemijahan.
4.3 Hasil
Nisbah Kelamin
Ikan seriding yang diperoleh selama tujuh bulan penelitian berjumlah 424
ekor ikan, dengan panjang total antara 38,04-112,63 mm dan bobot antara 0,3725,44 g. Jumlah yang diperoleh tersebut terdiri atas 114 ekor (26,9%) ikan
seriding jantan dan 310 ekor (73,1%) ikan seriding betina (Lampiran 6).
Ikan betina lebih banyak dibanding dengan jumlah ikan jantan. Nisbah
kelamin ikan seriding jantan dan betina yang matang gonad (TKG IV) secara
keseluruhan adalah 1 : 1,9 (Tabel 4.2). Uji khi kuadrat terhadap nisbah kelamin
menunjukkan bahwa nisbah kelamin tidak mengikuti pola 1:1 (tidak seimbang)
pada taraf 95% [χ2 hitung (90,60) > χ2 tabel (db=2-1) (3,841)].
19
Tabel 4.2 Nisbah kelamin ikan seriding (A. nalua) jantan dan betina (TKG IV)
selama penelitian di Teluk Pabean
Bulan
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
Total
Jumlah (ekor)
Jantan
Betina
0
1
1
11
1
3
10
11
8
28
41
45
2
18
63
117
Ket :Nilai hitung yang lebih kecil dari
** nisbah kelamin tidak 1:1
Nisbah Kelamin
(Jantan : Betina)
0
1 : 11,0
1 : 3,0
1 : 1,1
1 : 3,5
1 : 1,1
1 : 9,0
1 : 1,9
tabel (0,05;1)
χ2 hitung
0
8,33**
1,00
0,05
11,11**
0,19
12,80**
16,20**
= 3,841 menunjukkan bahwa nisbah kelamin adalah 1:1;
Musim Pemijahan
Ikan seriding mengisi semua tahapan perkembangan gonad (TKG I - V)
selama bulan pengamatan (Gambar 4.1). Frekuensi tertinggi pada ikan seriding
(TKG IV) terdapat pada bulan September yaitu ikan jantan berjumlah 41 ekor
sedangkan untuk ikan betina berjumlah 45 ekor. Ikan seriding TKG V ditemukan
pada bulan September dan Oktober untuk ikan jantan dan pada bulan Mei, Juli,
Agustus, September dan Oktober untuk ikan betina.
100
n=1
80
n=21
n=64
n=18
n=1
n=9
60
Persentase (%)
40
20
0
n=0
Apr*
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep
Okt
Bulan (a)
100
80
n=6
n=4
n = 37
n = 37
n = 89
n = 36
n = 101
60
40
20
0
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep
Okt
Bulan (b)
Gambar 4.1 Persentase tingkat kematangan gonad ikan seriding jantan (a) dan
betina (b) selama penelitian di Teluk Pabean
Keterangan: * tidak ditemukan ikan; n:jumlah tangkapan
Nilai rata-rata indeks kematangan gonad (IKG) selama bulan pengamatan
pada ikan seriding jantan dan betina berfluktuasi. Nilai IKG ikan jantan terendah
20
berada pada bulan Agustus (0,40) dan tertinggi berada pada bulan September
(0,83) dan nilai IKG ikan betina terendah berada pada bulan Juli (2,36) dan
tertinggi berada pada bulan September (4,54) (Gambar 4.2). Nilai IKG maksimum
ikan jantan dan ikan betina ditemukan pada bulan September.
1,6
1,2
0,8
0,4
0,0
Jun
IKG
Apr* Mei
Jul
Agu
Sep
Okt
Bulan (a)
8
6
4
2
0
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep
Okt
Bulan (b)
Gambar 4.2 Indeks kematangan gonad (IKG) ikan seriding (A. nalua) jantan (a)
dan betina (b) selama penelitian di Teluk Pabean
Keterangan: * tidak ditemukan ikan
Frekuensi (%)
Ukuran Ikan Seriding Kali Pertama Matang Gonad (Lm50)
Berdasarkan ukuran morfologi dan kematangan gonad (TKG III dan IV)
dari ikan seriding jantan dan betina maka dapat diketahui bahwa ikan jantan
mengalami matang gonad dengan ukuran lebih kecil (Gambar 4.3) dibandingkan
ikan betina (Gambar 4.4), yaitu 79,17 mm dan 91,25 mm.
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
51,5 57,5 63,5 69,5 75,5 81,5 87,5 93,5
Panjang (mm)
Gambar 4.3 Ukuran kali pertama matang gonad (Lm50) ikan seriding (A. nalua)
jantan di Teluk Pabean
21
Frekuensi (%)
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
67,5 73,5 79,5 85,5 91,5 97,5 103,5 109,5
Panjang (mm)
Gambar 4.4 Ukuran kali pertama matang gonad (Lm50) ikan seriding (A. nalua)
betina di Teluk Pabean
Fekunditas
Nilai fekunditas total ikan seriding yang diperoleh dari April hingga
Oktober berkisar antara 3.451-32.465 butir dengan rata-rata yaitu 12.618±6156
butir dari 117 ekor ikan betina (TKG IV) yang berukuran panjang total 70,37112,63 mm dan bobot tubuh 5,61-25,44 g. Fekunditas minimum (3451 butir)
ditemukan pada ikan berukuran 72,97 mm sedangkan fekunditas maksimum
(32465 butir) ditemukan pada ikan berukuran 111,12 mm.
Hubungan antara fekunditas dengan panjang total dan fekunditas dengan
bobot tubuh ikan dinyatakan dengan persamaan F = 0,0732PT2,6389 (r = 0,6037)
dan F = 1112,2B0,9346 (r = 0,6729) (Gambar 4.5).
40000
F = 0,0732PT2,6389
R² = 0,3645
r = 0,6037
n = 117
30000
Fekunditas (butir)
20000
10000
0
-
20
40
60
80
100
120
25
30
Panjang total (mm) (a)
40000
F = 1112,2B0,9346
R² = 0,4528
r = 0,6729
n = 117
30000
20000
10000
0
0
5
10
15
20
Bobot tubuh (g) (b)
Gambar 4.5 Hubungan fekunditas ikan seriding (A. nalua) dengan panjang total
(a) dan bobot tubuh (b) di Teluk Pabean
22
Diameter Telur
Sebaran diameter telur ikan seriding dari 31 ikan betina yang telah matang
gonad (TKG IV) bervariasi, dibagi ke dalam 14 kelompok ukuran yaitu antara
0,1-1,06 mm (Gambar 4.6). Pada Gambar 4.6 terlihat bahwa sebaran diameter
telur ikan seriding memiliki tiga buah modus. Modus pertama terdapat pada
selang kelas 0,23-0,29 mm; modus kedua terdapat pada selang kelas 0,44-0,50
mm; dan modus ketiga terdapat pada selang kelas 0,79-0,85 mm. Ketiga modus
yang muncul menunjukkan bahwa ikan seriding (A. nalua) memiliki tipe
pemijahan bertahap, yang artinya ikan akan mengeluarkan telurnya sebagian demi
sebagian.
2500
2000
n = 31
Butir
1500
1000
500
0
Sebaran diameter telur (mm)
Gambar 4.6 Sebaran diameter telur ikan seriding (A. nalua) di Teluk Pabean
4.4 Pembahasan
Nisbah Kelamin
Nisbah kelamin pada ikan seriding (TKG IV) tidak mengikuti pola 1:1. Ikan
betina lebih dominan dibanding ikan jantan. Kondisi yang sama juga ditemukan
pada beberapa ikan pesisir seperti ikan Micropogonias furnieri di Teluk Sepetiba,
Rio de Jeneiro (Vicentini & Araujo 2003), Parambassis ranga di perairan
Haebaru, Okinawa (Ishikawa & Tachihara 2012), akan te
BIOLOGI REPRODUKSI
IKAN SERIDING, Ambassis nalua (Hamilton, 1822)
DI PERAIRAN TELUK PABEAN JAWA BARAT
NISHA DESFI ARIANTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Biologi Reproduksi Ikan
Seriding, Ambassis nalua (Hamilton, 1822) di Perairan Teluk Pabean Jawa Barat
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2017
Nisha Desfi Arianti
NIM C251140071
iv
RINGKASAN
NISHA DESFI ARIANTI. Biologi reproduksi ikan seriding, Ambassis nalua
(Hamilton, 1822) di perairan Teluk Pabean Jawa Barat. Dibimbing oleh M.F.
RAHARDJO dan AHMAD ZAHID.
Ikan seriding (Ambassis nalua) merupakan salah satu ikan yang hidup di
Teluk Pabean Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aspek
reproduksi yang meliputi ukuran ikan kali pertama matang gonad, musim dan
lokasi pemijahan, serta tipe pemijahan ikan seriding. Ikan sampel dikumpulkan
dari April hingga Oktober 2015 dengan menggunakan alat tangkap sero dan jaring
(trammel net) pada tiga zona, yaitu zona dalam, tengah, dan luar.
Ikan contoh yang tertangkap diawetkan dengan formalin 10% dan dibawa ke
Laboratorium Biologi Makro I, Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan,
FPIK, Institut Pertanian Bogor. Ikan contoh diukur panjang total dan ditimbang
bobot tubuh. Panjang total digunakan untuk menentukan ukuran kali pertama
matang gonad. Kemudian ikan contoh dibedah guna menentukan jenis kelamin
dan diamati tingkat kematangan gonad secara makroskopis. Gonad ikan contoh
dipisahkan dan diawetkan untuk pengamatan fekunditas, diameter telur dan
histologi.
Total 424 ikan seriding yang dikumpulkan terdiri atas 114 jantan dan 310
betina dengan panjang total antara 38,04-112,63 mm dan bobot antara 0,37-25,44
gram. Perkembangan oosit dibagi dalam empat tahapan, yaitu pertumbuhan awal
(kromatin nukleus dan perinuklear), kortikal alveoli, vitelogenesis, dan matang.
Berdasarkan tahapan tersebut, ikan seriding termasuk pemijah asinkroni. Dalam
oosit terdapat semua tahapan perkembangan tanpa ada yang mendominasi.
Total nisbah kelamin ikan jantan dan ikan betina pada tingkat kematangan
gonad (TKG) IV adalah 1:1,9. Ikan jantan dan ikan betina (TKG IV) ditemukan
setiap bulan pengamatan. Nilai indek kematangan gonad berkisar antara 0,40-0,83
untuk ikan jantan dan 2,36-4,54 untuk ikan betina. Puncak pemijahan terjadi pada
bulan September. Ukuran kali pertama matang gonad ikan jantan (79,17 mm)
lebih kecil daripada ikan betina (91,25 mm). Fekunditas bervariasi dari 3.45132.465 butir. Sebaran telur menunjukkan bahwa pola pemijahan ikan seriding
adalah pemijahan bertahap.
Pengelolaan ikan seriding harus tetap memperhatikan keberadaan spesies
lain di perairan Teluk Pabean. Adapun hal yang menjadi fokus dalam pengelolaan
ikan seriding adalah perlindungan habitat dan pengaturan alat tangkap yang
digunakan di perairan Teluk Pabean.
Kata kunci: Teluk Pabean, Ambassis nalua, reproduksi, musim pemijahan, tipe
pemijahan
v
SUMMARY
NISHA DESFI ARIANTI. Reproductive biology of scalloped perchlet, Ambassis
nalua (Hamilton, 1822) in Pabean Bay West Java. Supervised by M.F.
RAHARDJO and AHMAD ZAHID.
Scalloped perchlet is one of fish found in Pabean Bay West Java. This study
aimed to analyze the reproductive aspects including length maturity, spawning
season, spawning area, and spawning type. Fish samples were collected from
April to October 2015 by the trap net and trammel net at three zones based on a
representative of Pabean Bay, inside, middle and outside zone.
Fish samples were preserved in 10% formalin for analyzing in laboratory
Biology Macro I. Fish samples measured the total length and weighed weight. The
total length was determined for these first maturity. Afterward, fish samples were
dissected to determine the sex and macroscopically the stages of gonadal
maturition. Then, gonads are separated and preserved for observation of fecundity,
egg diameter and histology.
A total of 424 of the fish were caught, consist of 114 males and 310
females; with range from 38.04 to 112.63 mm in total length and 0.37-25.44 g in
total weight. The length-weight relationship of the fish shows allometric growth
(b>3) and the condition factor ranged from 0.90-1.15 and 1.04-1.21 for males and
females, respectively.
The development of scalloped perchlet oocytes was divided in four stages,
i.e. primary growth stage (the chromatin of the nucleus and perinuclear), cortical
alveoli, vitellogenesis, and ripe. The development of the oocyte shows that
scalloped perchlet was an asynchronous spawner.
Sex ratio in the mature phase (Stage 4) sample was 1 male to 1.9 females.
The maturity gonads phase of fish (males and females) were found every month.
Value of gonadosomatic index (GSI) ranged from 0.40 to 0.83 for male and from
2.36 to 4.54 for females. Peak of the spawning seasons were found in September.
The first maturity (Lm50) for male was a smaller size than female at 79.17 mm and
91.25 mm, respectively. Fecundity varied from 3,451-32,465 of 117 females
(mature). Distribution of oocyte diameter shows that the spawning pattern of the
fish was batch spawner.
Management of scalloped perchlet must be considering the existence of the
other species in Pabean bay. As for things that become focus on the management
of scalloped perchlet is habitat protection and regulation of fishing gear used in
the Pabean bay.
Key words: Pabean Bay, Ambassis nalua, reproduction, spawning season,
spawning type
vi
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vii
BIOLOGI REPRODUKSI
IKAN SERIDING, Ambassis nalua (Hamilton, 1822)
DI PERAIRAN TELUK PABEAN JAWA BARAT
NISHA DESFI ARIANTI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
viii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc
ix
Judul Tesis : Biologi Reproduksi Ikan Seriding, Ambassis nalua (Hamilton,
1822) di Perairan Teluk Pabean Jawa Barat
Nama
: Nisha Desfi Arianti
NIM
: C251140071
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. M.F Rahardjo, DEA
Ketua
Dr. Ahmad Zahid, SPi. MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumber Daya Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Sigid Hariyadi, MSc
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr
Tanggal Ujian: 18 November 2016
Tanggal Lulus:
x
xi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Biologi Reproduksi Ikan Seriding,
Ambassis nalua (Hamilton, 1822) di Perairan Teluk Pabean Jawa Barat dapat
diselesaikan. Tulisan ini mencakup beberapa informasi biologi ikan seriding yang
dibagi dalam beberapa bagian yaitu pola pertumbuhan dan faktor kondisi; aspek
reproduksi.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihakpihak yang telah memberikan pemikiran serta membantu dalam penyelesaian tesis
ini, terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada:
1. Prof. Dr. Ir. M.F Rahardjo, DEA dan Dr. Ahmad Zahid, SPi MSi selaku
komisi pembimbing atas bimbingan, arahan, nasihat serta semangat yang
telah diberikan selama penyusunan tesis;
2. Prof. Dr. Ir. Sulistiono, MSc selaku penguji luar komisi atas masukan yang
diberikan pada ujian akhir;
3. Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Perairan beserta staf yang
telah memberikan pelayanan dengan baik;
4. Kedua orang tua, Bapak H. Ahmad Effendi Siagian dan Ibu Hj. Rosnani
untuk kasih sayang, kerja keras dan perjuangan serta doa yang diberikan.
Saudaraku Julpri Ardani S.Ip dan Rizki Efsandi yang terus menyemangati
penulis;
5. Bapak Charles PH Simanjuntak, S.Pi M.Si Ph.D, Bapak Emmanuel
Manangkalangi dan Ibu Dati Pertami untuk diskusi-diskusi singkat yang
penuh dengan ilmu;
6. Tim Cimanuk (Arinie G, Andriano, Eda PS, Dedek PS dan Devi SS) serta
seluruh Staf Lab. Biologi Makro MSP FPIK (Mas Aries A, Bg Reiza M,
Ibu Tina dan Ibu Dewi, serta Mifta dan Dewi. Terimakasih buat kerja
sama dan rasa kekeluargaan yang tercipta;
7. Keluarga Bapak Swara dan masyarakat Pabean Ilir atas bantuan selama
melakukan penelitian;
8. Sahabat: Amalia D, Nadia D, Yola A, Devana SM, Sari M;
9. Keluarga kecil di Pondok Kemuning 25; Teman-teman SDP 2014 dan
Anggresia Manalu yang selalu memberikan keceriaan, kebersamaan dan
kekompakan selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2017
Nisha Desfi Arianti
NIM C251140071
xii
xiii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
xiii
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
1 PENDAHULUAN UMUM
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
1
1
2
3
2 POLA PERTUMBUHAN DAN FAKTOR KONDISI
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil
Pembahasan
Simpulan
4
4
4
6
7
8
3 PERKEMBANGAN SEL TELUR
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil
Pembahasan
Simpulan
9
9
9
10
13
14
4 ASPEK REPRODUKSI
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil
Pembahasan
Simpulan
16
16
16
18
22
24
5 PEMBAHASAN UMUM
25
6 SIMPULAN DAN SARAN
27
DAFTAR PUSTAKA
28
LAMPIRAN
33
RIWAYAT HIDUP
42
xiv
DAFTAR TABEL
3.1 Kisaran diameter telur perkembangan oosit ikan seriding (A. nalua)
di Teluk Pabean
3.2 Tahapan perkembangan oosit ikan seriding (A. nalua) secara
morfologis dan histologis di Teluk Pabean (skala: 500µ) / 400x
3.3 Karakteristik morfologis dan histologis ovarium ikan seriding (A.
nalua) betina di Teluk Pabean
4.1 Penentuan tingkat kematangan gonad ikan seriding (A. nalua) betina
di Teluk Pabean berdasarkan karakteristik morfologis dan histologis
4.2 Nisbah kelamin ikan seriding (A. nalua) jantan dan betina (TKG IV)
selama penelitian di Teluk Pabean
10
11
13
17
19
DAFTAR GAMBAR
1.1 Ikan Seriding, Ambassis nalua (Hamilton, 1822)
2.1 Lokasi penelitian pada tiga zona (I, II, III) di Teluk Pabean
Indramayu, Jawa Barat
2.2 Hubungan panjang bobot ikan seriding (A. nalua) jantan (a) dan
betina (b) selama penelitian di Teluk Pabean
2.3 Rata-rata nilai faktor kondisi ikan seriding (A. nalua) jantan (a) dan
betina (b) selama penelitian di Teluk Pabean
3.1 Penampang histologi oosit ikan seriding (A. nalua) di Teluk Pabean
4.1 Persentase tingkat kematangan gonad ikan seriding (A. nalua) jantan
(a) dan betina (b) selama penelitian di Teluk Pabean
4.2 Indek kematangan gonad (IKG) ikan seriding (A. nalua) jantan (a)
dan betina (b) selama penelitian di Teluk Pabean
4.3 Ukuran kali pertama matang gonad (Lm50) ikan seriding (A. nalua)
jantan di Teluk Pabean
4.4 Ukuran kali pertama matang gonad (Lm50) ikan seriding (A. nalua)
betina di Teluk Pabean
4.5 Hubungan fekunditas ikan seriding (A. nalua) dengan panjang total
(a) dan bobot tubuh (b) di Teluk Pabean
4.6 Sebaran diameter telur ikan seriding (A. nalua) di Teluk Pabean
2
5
6
7
10
19
20
20
21
21
22
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
Zona penelitian di Teluk Pabean
Foto alat tangkap yang digunakan selama penelitian di perairan Teluk
Pabean
Faktor kondisi ikan seriding (A. nalua) di Teluk Pabean pada bulan
April - Oktober 2015 berdasarkan selang kelas ukuran
Skema fiksasi contoh gonad ikan seriding (A. nalua)
Skema pewarnaan sediaan histologi gonad ikan seriding (A. nalua)
(Hematoksilin dan Eosin)
34
35
36
37
38
xv
6
7
8
Jumlah ikan seriding (A. nalua) pada selama penelitian di Teluk
Pabean
Nisbah kelamin ikan seriding (A. nalua) berdasarkan selang kelas
ukuran di Teluk Pabean
Dokumentasi penelitian di Teluk Pabean Indramayu
39
40
41
1
1 PENDAHULUAN UMUM
1.1 Latar Belakang
Teluk Pabean merupakan salah satu muara Sungai Cimanuk yang
berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Pengaruh dari daratan maupun lautan
membuat Teluk Pabean menjadi daerah yang subur, serta merupakan daerah
hunian ikan yang sangat beragam, antara lain pemijahan, pencarian makanan,
tempat persinggahan dalam ruaya, dan perlindungan. Setiap jenis ikan dalam
komunitasnya akan berinteraksi dan menempati relung tertentu. Ikan akan
beradaptasi terhadap lingkungan (fisik, kimiawi, maupun hayati) agar tetap ada
dan bertahan. Blaber (2000) menyatakan bahwa muara memainkan peran penting
dalam menjaga produktivitas biologi dan keanekaragaman, menjadi habitat
penting bagi banyak spesies ikan yang hidup di muara pada sebagian atau seluruh
daur hidupnya.
Sjafei et al. (2001) menjelaskan bahwa 15 jenis ikan ditemukan pada
segmen hilir Sungai Cimanuk (Indramayu), 11 jenis diantaranya merupakan ikan
laut/payau. Penelitian tentang reproduksi ikan yang terdapat di Teluk Pabean juga
telah dilakukan, seperti ikan belanak (Liza subviridis) (Effendie 1984). Salah satu
ikan di Teluk Pabean yang belum dilakukan penelitian, yaitu ikan seriding (A.
nalua) yang merupakan salah satu ikan penghuni estuari. Ikan seriding merupakan
spesies estuari asli karena ditemukan dalam jumlah yang melimpah pada berbagai
tahap hidupnya di estuari. Dalam rantai makanan, ikan seriding berperan sebagai
karnivora tingkat pertama yang memakan krustase (sergestid dan mysid).
Keberlangsungan hidup ikan seriding memengaruhi ketersediaan makanan bagi
karnivor tingkat diatasnya yang memakan ikan (piscivora) di estuari. Ikan seriding
bukan merupakan ikan tangkapan utama, sehingga secara ekonomis ikan seriding
tidak begitu penting, seringkali dijadikan pakan ternak dan campuran bahan
pangan (terasi).
Teluk Pabean dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar yang bekerja sebagai
nelayan untuk menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap, misal sero,
jaring udang, dan jaring arad. Sero dan jaring udang merupakan alat tangkap yang
pasif, sedangkan jaring arad merupakan alat tangkap aktif yang digerakkan
dengan menggunakan perahu. Penangkapan ikan dengan menggunakan jaring arad
dikhawatirkan mengganggu aktivitas ikan-ikan yang melakukan pemijahan,
mencari makan dan beruaya ke Teluk Pabean. Keberhasilan pemijahan akan
memengaruhi proses penambahan populasi ikan. Menurut Effendie (2002)
penambahan populasi ikan juga bergantung kepada kondisi telur dan larva ikan
yang akan berkembang.
Penelitian mengenai ikan seriding terutama mengenai reproduksi masih
sangat sedikit, diantaranya yang telah diteliti adalah ikan seriding jenis lain, yaitu
Ambassis nigripinnis (Millton & Arthington 1985); Ambassis agassizii (Liewellyn
2008); Parambassis siamensis (Okutsu 2011) dan Parambassis ranga (Ishikawa
& Tachihara 2012). Widodo & Suadi (2006) menerangkan bahwa aspek biologi
yang dikaji dapat berupa perubahan (dinamika) yang terjadi pada stok sumber
daya yang dieksploitasi salah satunya dipengaruhi oleh keberhasilan reproduksi
dan rekrutmen. Proses reproduksi ini dapat memberikan gambaran tentang aspek
2
biologi yang terkait proses reproduksi, mulai dari diferensiasi seksual hingga
dihasilkannya individu baru (larva) (Affandi & Tang 2002). Hal ini perlu
diketahui sebagai informasi dasar dalam pengelolaan ikan di Teluk Pabean, salah
satunya ikan seriding.
1.2. Perumusan Masalah
Teluk merupakan daerah yang subur dengan berbagai aktivitas ikan
diantaranya sebagai lokasi pemijahan, pembesaran, mencari makan, dan jalur
ruaya. Ikan seriding dapat dimanfaatkan baik sebagai ikan konsumsi maupun
sebagai ikan hias. Ikan seriding termasuk kelompok ikan hias karena tubuhnya
yang transparan dan dikenal dengan nama scalloped perchlet.
Gambar 1.1 Ikan seriding, Ambassis nalua (Hamilton, 1822)
Kegiatan pemijahan ikan memberikan kesempatan bagi ikan untuk
menghasilkan keturunan yang pada giliran berikutnya akan tumbuh hingga
dewasa untuk kemudian memijah kembali. Kegiatan pemijahan oleh ikan akan
terhambat jika penggunaan alat tangkap aktif dan tidak selektif seperti jaring arad
yang digunakan nelayan menangkap ikan-ikan yang akan memijah serta mencari
makan di Teluk Pabean. Hal ini akan memengaruhi keberhasilan reproduksi ikan.
Selain itu tertangkapnya ikan-ikan kecil akan berdampak terhadap proses
peremajaan ikan. Tidak menutup kemungkinan bahwa ukuran ikan yang matang
gonad akan semakin kecil. Dalam posisi penurunan ukuran ikan yang matang
gonad, diduga akan memengaruhi jumlah telur yang dihasilkan, sehingga hal ini
akan berpengaruh terhadap jumlah individu baru.
Selain kegiatan penangkapan, kegiatan antropogenik yang berlangsung di
wilayah sekitar teluk maupun di teluk itu sendiri dapat menyebabkan terhambatnya proses pemijahan dikarenakan hilangnya ruang pemijahan maupun
rusaknya ruang pemijahan bagi ikan serta ruang mencari makan bagi ikan, seperti
aktivitas tambak yang dapat menyebabkan pendangkalan, mempersempit ruang
gerak ikan. Hal ini dikhawatirkan akan berdampak pada salah satu ikan yaitu ikan
seriding (A. nalua). Penelitian mengenai aspek reproduksi ikan seriding (A. nalua)
memberikan informasi dasar untuk pengelolaan perikanan, khususnya ikan
seriding di Teluk Pabean.
3
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan aspek reproduksi ikan
seriding (A. nalua) yang meliputi ukuran kali pertama matang gonad, musim dan
lokasi pemijahan, serta tipe pemijahan di Teluk Pabean. Hasil analisis tersebut
akan digunakan sebagai dasar menyusun alternatif pengelolaan ikan seriding (A.
nalua) di Teluk Pabean.
4
2 POLA PERTUMBUHAN DAN FAKTOR KONDISI
2.1 Pendahuluan
Dalam biologi perikanan, pola pertumbuhan yang tergambar dari hubungan
panjang bobot ikan merupakan salah satu informasi pelengkap yang perlu
diketahui dalam kaitan pengelolaan sumber daya perikanan. Kajian mengenai
hubungan panjang bobot ikan telah banyak dilakukan seperti Johnius belangerii di
pantai Mayangan (Rahardjo & Simanjuntak 2008); Cynoglossus bilineatus di
pantai Mayangan (Zahid & Simanjuntak 2009); Mugil cephalus, Ambassis koopsii,
Leiognathus fasciatus di perairan Kuala Gigieng (Mulfizar 2012). Selain itu ada
juga kajian mengenai hubungan panjang bobot populasi ikan, diantaranya adalah
33 jenis ikan di Teluk Euboikos Selatan (Petrakis & Stergiou 1995) dan 40 ikan
mangrove di Estuari Curuçá, Brazil (Giarrizzo et al. 2006).
Hubungan panjang bobot digunakan untuk memperkirakan bobot tubuh ikan
dengan panjangnya (Gomiero & Braga 2003; Froese 2006; Gomiero et al. 2008).
Hubungan panjang bobot dan faktor kondisi juga merupakan kajian biologi yang
dapat mendukung dalam memahami aspek reproduksi ikan. Faktor kondisi
digunakan untuk membandingkan kondisi tubuh, perkembangan gonad, kemontokan, atau kesejahteraan ikan, yang didasarkan kepada asumsi bahwa jika bobot
ikan lebih cepat dibandingkan pertambahan panjang maka ikan berada dalam
kondisi baik (Gomiero & Braga 2003; Froese 2006). Selain itu, faktor kondisi
juga dapat memberikan informasi mengenai status fisiologi ikan, terutama pada
ikan betina mengenai alokasi energi selama perkembangan gonad.
Namun, informasi mengenai kajian spesies ikan seriding masih sangat sedikit, terutama di perairan Teluk Pabean belum pernah dilakukan. Oleh karena itu
penelitian ini penting sebagai data penunjang mengenai aspek reproduksi ikan
seriding. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan pola pertumbuhan
dan faktor kondisi ikan seriding di Teluk Pabean.
2.2 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan April hingga Oktober 2015 di Teluk
Pabean, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Lokasi pengambilan contoh
dibagi menjadi tiga zona berdasarkan daerah representatif teluk, yaitu zona dalam,
zona tengah, dan zona luar (Gambar 2.1, Lampiran 1). Zona dalam teluk merupakan daerah yang tenang dan tertutupi oleh tumbuhan mangrove; di zona tengah
teluk terdapat beberapa keramba ikan bandeng milik nelayan; sedangkan zona luar
teluk merupakan daerah yang mendapatkan pengaruh dari laut, angin kuat, terdapat banyak sero nelayan, perairan lebih luas.
Pengambilan ikan contoh dilakukan sebanyak satu kali dalam satu bulan
dengan menggunakan alat tangkap sero dan jaring (trammel net) (Lampiran 2).
Sero dipasang pada malam hari dan diangkat pada pagi hari oleh nelayan. Jaring
dipasang pada saat turun lapangan (panjang 72 m; tinggi 1,5 m; waktu 60 menit).
Ikan seriding yang telah tertangkap kemudian diawetkan dengan formalin 10%
untuk dibawa ke Laboratorium Biologi Makro I, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
5
Ikan seriding diukur panjang totalnya (PT) dengan jangka sorong berketelitian 1 mm dan ditimbang bobot tubuhnya (BT) dengan menggunakan timbangan digital berketelitian 0,01 g. Menentukan jenis kelamin (jantan dan betina)
dilakukan dengan pembedahan terlebih dahulu, bobot gonad ditimbang dengan
menggunakan timbangan digital ketelitian 0,0001 g, kemudian diawetkan dengan
formalin 4%.
Gambar 2.1 Lokasi penelitian pada tiga zona (I, II, III) di Teluk Pabean
Indramayu, Jawa Barat
Pola pertumbuhan ikan seriding dapat ditentukan dengan melakukan analisis
hubungan panjang bobot. Hubungan panjang bobot diperoleh dengan menggunakan persamaan Effendie (1979).
Keterangan:
W
: bobot tubuh ikan (g)
L
: panjang tubuh ikan (mm)
a, b
: konstanta
Jika nilai b sama dengan 3 maka pertumbuhan ikan isometrik (pertambahan
panjang ikan seimbang dengan pertambahan bobotnya), dan jika nilai b tidak
6
sama dengan 3 maka pertumbuhan allometrik (pertumbuhan lebih ke arah panjang
atau bobot).
Hubungan panjang bobot dan faktor kondisi dihitung terpisah antara ikan
jantan dan ikan betina. Faktor kondisi (K) dianalisis berdasarkan panjang bobot
ikan menggunakan persamaan Effendie (1979).
Keterangan:
K
: faktor kondisi
W
: bobot tubuh ikan (g)
L
: panjang total ikan (mm)
a, b
: konstanta
2.3 Hasil
Bobot (g)
Jumlah ikan yang diperoleh selama tujuh bulan penelitian berjumlah 424
ekor ikan, yang terdiri atas 114 ikan jantan dan 310 ikan betina. Berdasarkan
analisis hubungan panjang bobot diperoleh persamaan sebagai berikut: W = 5 x
10-6 L3,2186 (r = 0,9678) untuk ikan jantan dan W = 7 x 10-6 L3,1486 untuk ikan
betina (Gambar 2.2).
14
12
10
8
6
4
2
0
W = 5 x 10-6L3,2186
r = 0.9678
n = 114
0
30
150
W = 7 x 10-6L3,1486
r = 0.9551
n = 310
25
Bobot (g)
50
100
Panjang (mm) (a)
20
15
10
5
0
0
50
100
Panjang (mm) (b)
150
Gambar 2.2 Hubungan panjang bobot ikan seriding (A. nalua) jantan (a) dan
betina (b) di Teluk Pabean
7
Hasil analisis menunjukkan bahwa hubungan panjang bobot ikan seriding
jantan dan betina memiliki korelasi yang kuat. Hal ini dapat dilihat dari nilai r
yang mendekati 1. Nilai b persamaan yang didapatkan menunjukkan bahwa ikan
seriding jantan dan betina memiliki pola pertumbuhan allometrik (b>3), yang artinya pertumbuhan lebih diarahkan kepada pertambahan bobot tubuh dibandingkan
dengan pertambahan panjang tubuh atau ikan dalam kondisi gemuk.
Nilai faktor kondisi rata-rata ikan seriding jantan berkisar 0,90-1,15 dan
ikan betina berkisar 1,04-1,21 (Gambar 2.3). Nilai faktor kondisi rata-rata ikan
jantan mengalami penurunan pada bulan Mei dan Juni, sedangkan nilai faktor
kondisi rata-rata ikan betina mengalami penurunan pada bulan Mei dan Agustus.
1,6
1,2
0,8
Faktor kondisi
0,4
0,0
Apr*
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep
Okt
Sep
Okt
Bulan (a)
1,6
1,2
0,8
0,4
0,0
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Bulan (b)
Gambar 2.3 Rata-rata nilai faktor kondisi ikan seriding (A. nalua) jantan (a) dan
betina (b) selama penelitian di Teluk Pabean.
Keterangan: * tidak ditemukan ikan
2.4 Pembahasan
Hubungan panjang bobot yang didapat dari analisis regresi menunjukkan
bahwa ikan seriding memiliki pola pertumbuhan allometrik dengan nilai b>3. Hal
ini juga terlihat pada morfologi tubuh ikan seriding yang pendek atau padat. Pola
pertumbuhan allometrik juga ditemukan pada Ambassis koopsii di estuari Kuala
Gigeeng, Aceh (Mulfizar 2012). Akan tetapi pola pertumbuhan pada ikan A.
koopsii adalah b3), menunjukkan
pertumbuhan bobot yang lebih dominan. Faktor kondisi ikan betina pada selang
ukuran yang sama lebih tinggi daripada ikan jantan.
9
3 PERKEMBANGAN SEL TELUR
3.1 Pendahuluan
Reproduksi merupakan upaya untuk menghasilkan individu baru melalui
proses perkawinan atau pemijahan. Siklus reproduksi masing-masing ikan
bervariasi, dilihat dari perkembangan oosit dan musim pemijahan. Ada beberapa
jenis ikan yang pemijahan dilakukan dalam jangka panjang, jangka pendek, serta
ada juga ikan yang memijah sepanjang tahun dengan pelepasan telur secara
bertahap. Tipe pemijahan ikan dapat dilihat melalui pengamatan perkembangan
oosit pada histologi ovarium ikan betina.
Perkembangan oosit terdiri atas beberapa tahapan, yaitu tahap pertumbuhan
primer (ditandai dengan terbentuknya nukleus kromatin dan perinuklear); tahap
kortikal alveoli; tahap vitelogenesis dan tahap pematangan (pematangan awal dan
pematangan akhir) (McMillan 2007). Perkembangan oosit yang terjadi juga tidak
harus mengikuti tahapan yang sudah ada, dapat disesuaikan dengan periode
perkembangan oosit ikan itu sendiri.
Menurut Selman & Wallace (1989), ovarium ikan dapat diklasifikasikan
dalam tiga tipe berdasarkan bentuk perkembangan oositnya yaitu tipe berkembang
bersamaan (synchronic), berkembang bersamaan secara berkelompok (group
synchronic) dan berkembang tidak bersamaan (asynchronic). Tipe perkembangan
oosit tidak bersamaan (asynchronic) dapat ditemukan dalam ovarium yang
memiliki beberapa kelompok oosit dengan tingkat perkembangan kematangan
yang berbeda-beda (Nagahama 1983; Nejedli et al. 2004).
Selama ini masih sedikit penelitian terkait dengan biologi ikan seriding.
Zahid et al. (2011) hanya mengungkap tentang makanan ikan seriding di perairan
Segara Menyan, Jawa Barat. Tahapan perkembangan sel telur secara histologi
merupakan dasar untuk kajian reproduksi terkait strategi reproduksi. Marques et al.
(2000) menjelaskan bahwa kajian mengenai reproduksi ikan dapat digunakan
untuk mendukung manajemen dan program konservasi ikan yang dirancang untuk
mempertahankan atau meningkatkan stok ikan. Penelitian ini dilakukan dengan
tujuan menjelaskan tahapan perkembangan sel telur (oosit) dan tipe pemijahan
ikan seriding.
3.2 Metode Penelitian
Ikan betina hasil tangkapan yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan
ukuran, kemudian ikan betina dari masing-masing kelompok dipilih secara acak
untuk dibedah dan dilihat ovari dari berbagai ukuran. Gonad dipisahkan dari isi
perut lainnya, kemudian gonad yang mewakili tingkat kematangan gonad yang
berbeda secara morfologi kemudian dipisahkan kedalam plastik klip, diawetkan
menggunakan larutan BNF (Buffer Neutral Formalin). Menentukan tingkatan
kematangan gonad pada ikan seriding secara morfologi dapat dilihat dengan
memperhatikan ukuran, warna, dan butiran telur yang terlihat secara kasat mata.
Preparat histologi gonad dibuat dengan metode pewarnaan Hematoxylin dan
Eosin (Lampiran 4 & 5) dengan ketebalan pengirisan 3-5 µm pada posisi
melintang. Pengamatan gonad dilakukan di Laboratorium Histopatologi Fakultas
10
Kedokteran Hewan IPB dan preparat gonad diamati di bawah mikroskop
berkamera (perbesaran 40x) di Laboratorium Terpadu Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan IPB. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif mengacu
kepada Murua & Saborido-Rey (2003); McMillan (2007); Genten et al. (2009).
3.3 Hasil
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dalam satu penampang oosit ikan
seriding betina terdapat dua hingga tiga perkembangan telur. Gambar 3.1 menunjukkan adanya tahap pertumbuhan awal, kortikal alveoli dan vitelogenesis.
Gambar 3.1 Penampang histologi oosit ikan seriding (A. nalua) di Teluk Pabean
Keterangan: KA, kortikal alveoli; N, nukleus; VTL, vitelogenesis; n, nukleolus; PA, pertumbuhan
awal (primer) (a, kromatin nukleus & b, perinuklear); bl, butiran lemak: bkt, butiran
kuning telur: z, zona radiata (skala: 500 µm).
Ukuran oosit pada setiap fase perkembangannya sangat bervariasi. Hal ini
terlihat dari diameter telur yang teramati melalui preparat histologi perkembangan
oosit (Tabel 3.1). Tahapan perkembangan oosit ikan seriding betina terpampang
pada Tabel 3.2. Karakteristik morfologis dan histologis ovarium ikan seriding (A.
nalua) betina dipaparkan pada Tabel 3.3.
Tabel 3.1 Kisaran diameter telur perkembangan oosit ikan seriding (A. nalua) di
Teluk Pabean
Tahapan Perkembangan Oosit
Ukuran (µm)
Pembentukan kromatin nukleus
30 - 500
a. Pembentukan perinuklear
600 - 1300
Kortikal alveoli
1000 - 2500
Vitelogenesis
1500 - 7300
Matang
3700 - 5000
11
Tabel 3.2 Tahapan perkembangan oosit ikan seriding (A. nalua) secara morfologis
dan histologis di Teluk Pabean (skala: 500 µm) / (400 x)
Tahapan
Kromatin nukleus
Perinuklear
Kortikal alveoli
Vitelogenesis
Matang
Karakteristik Morfologis
Gonad Betina
Karakteristik Histologis
Gonad Betina
12
Tahap kromatin nukleus
Kromatin nukleus merupakan tahapan awal ketika oogonia mengalami
pembelahan meiosis profase. Dari pembelahan tersebut kemudian muncul oosit di
lumen ovarium. Oosit dikelilingi oleh beberapa sel folikel skuamosa dan memiliki
inti yang dikelilingi oleh lapisan sitoplasma yang tipis, disebut dengan nukleus
(Tabel 3.2, kromatin nukleus).
Tahap perinuklear
Bersamaan dengan berkembangnya oosit, nukleolus tumbuh di dalam
nukleus, umumnya berada di pinggiran lapisan inti. Kemudian terbentuk cincin
putih yang mengelilingi nukleus. Pada akhir tahap ini juga akan terlihat beberapa
pembentukan butiran kuning telur dan lemak di sitoplasma. Hal ini menunjukkan
oosit akan menuju ke tahapan kortikal alveolus. Hampir rata-rata pada tahap ini
oosit belum mengalami matang gonad (Tabel 3.2, perinuklear).
Tahap kortikal alveoli
Pada tahap ini ovarium mengalami perkembangan sitoplasma, disebabkan
adanya pembentukan butiran lemak dan butiran kuning telur di sekeliling nukleus.
Nukleus masih berada di posisi inti dengan beberapa nukleolus yang melekat di
membran (Tabel 3.2, kortikal alveoli). Kortikal alveoli (yolk vesicle) terbentuk
dengan ukuran yang bervariasi dan, memiliki bentuk yang tidak beraturan. Pada
tahap ini zona radiata terlihat lebih jelas. Memasuki tahap vitelogenesis, kortikal
alveoli akan bermigrasi kepinggiran oosit.
Tahap vitelogenesis
Setelah kortikal alveoli, terjadi pertambahan ukuran serta jumlah butiran
kuning telur dan lemak mengisi sitoplasma. Tahap ini disebut awal vitelogenesis
(early vitellogenesis). Selanjutnya pada tahap akhir vitelogenesis (late
vitellogenesis) terjadi pengendapan butiran kuning telur pada sisi tepi oosit yang
matang dan kemudian menyebar keseluruh sitoplasma mendekati nukleus (Tabel
3.2, vitelogenesis). Proses ini membuat ukuran nukleus semakin mengecil dengan
bentuk yang tidak beraturan. Butiran kuning telur mulai mengalami pencairan
sejalan dengan berkembangnya sitoplasma. Selain itu zona radiata terlihat lebih
tebal dan jelas antara teka internal dan teka eksternal.
Tahap matang
Terjadi proses dimana nukleus menghilang dan nekleolus keluar ke
sitoplasma, sehingga oosit sulit diidentifikasi. Butiran kuning telur mengalami
pencairan dan terlepas ke lumen ovarium. Zona radiata (teka internal dan teka
eksternal) mengalami penipisan karena peningkatan ukuran sel sehingga epitel
folikular menjadi pecah dan ini disebut dengan tahap matang (Tabel 3.2, matang).
13
Tabel 3.3 Karakteristik morfologis dan histologis ovarium ikan seriding (A. nalua)
betina di Teluk Pabean
Tahapan
perkembangan
Karakter morfologis
Karakter histologis
individu oosit
Kromatin
Ukuran ovarium kecil, tipis, Sel kecil dengan inti sel
nukleus
bewarna jingga dan terlihat (nukleus) ditengah dan bentuk
seperti minyak.
tidak beraturan.
Perinuklear
Ukuran ovarium membesar, Sel lebih besar sejalan dengan
warna kekuningan tetapi bu- perkembangan sitoplasma, nuktiran telur belum terlihat.
leus semakin membesar disertai
dengan munculnya nukleolus.
Di-temukan seperti cincin putih
yang mengelilingi nukleus.
Kortikal alveoli Ukuran ovarium semakin Ditandai dengan munculnya
membesar, bewarna kuning pembentukkan butiran kuning
dan mulai terlihat adanya telur dan butiran lemak di sitobutiran telur.
plasma. Zona radiata dan lapisan
folikel mulai terlihat jelas.
Vitelogenesis
Butiran telur terlihat dengan Nukleus mulai terdesak dengan
jelas dan rongga ovarium semakin meningkatnya jumlah
rapat dengan telur. Pem- dan ukuran butiran kuning telur
buluh darah terlihat sangat di sitoplasma. Zona radiata sejelas.
makin tebal dan terlihat jelas.
Matang
Butiran telur terlihat dan Pada tahap ini, nukleus mengrongga ovarium mulai me- hilang dan nekleolus keluar ke
renggang, terdapat bagian sitoplasma. Pembentukan butiryang transparan.
an kuning telur telah berhenti
dan sitoplasma di dominasi oleh
bu-tiran kuning telur.
3.4 Pembahasan
Jumlah tahapan perkembangan gonad dan sub-tahap pada ikan dapat
bervariasi sesuai dengan perkembangan ovarium untuk setiap spesies dan juga
sesuai dengan kriteria berbeda yang digunakan oleh masing-masing penulis
(Santos et al. 2005). Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan ditemukan lima
tahapan perkembangan oosit pada ikan seriding yaitu 1. Kromatin nukleus; 2.
Perinuklear; 3. Kortikal alveoli; 4. Vitelogenesis; dan 5. Matang. Tahap kromatin
nukleus dan perinuklear disebut sebagai tahap pertumbuhan primer (Forberg
1982; Selman et al. 1993). Menurut Begovac & Wallace (1988) tahapan
perinuklear pada sebagian ikan ditandai dengan adanya cincin (perinuclear ring)
seperti pada ikan Tilapia nilotica dan Sygnathus scovelli. Tahap pertumbuhan
primer ini merupakan tahapan awal yang sering dijumpai pada perkembangan sel
telur ikan.
Pada ikan-ikan yang mengeluarkan telurnya secara bersamaan, hanya ada
satu tahapan dalam penampang oosit seperti pada Mallotus villosus (Forberg
1982); Anguilla rostrata (Krueger & Oliveira 1997). Pada ikan seriding, tahapan
14
perkembangan oosit menunjukkan keunikan yaitu dalam satu perkembangan
ovarium terdapat dua sampai tiga tahapan perkembangan (Gambar 3.1). Hal ini
menunjukkan bahwa perkembangan oosit ikan seriding tergolong kedalam
berkembang tidak bersamaan (asynchronic), seperti pada ikan Oligosarcus
hepsetus (Santos et al. 2005); Notropis buccula (Durham & Wilde 2008); Danio
rerio (Ucuncu 2009). Ikan-ikan dengan tipe pemijahan tidak bersamaan
(asynchronic) memiliki musim pemijahan yang panjang dan biasanya pemijahan
terjadi sepanjang tahun terlepas dari pengaruh kondisi lingkungan (Durham &
Wilde 2008).
Dilihat dari perkembangan oosit, dapat dihubungkan dengan melihat tingkat
kematangan gonad pada ikan. Ikan yang belum matang gonad dengan warna
kuning muda disebabkan pada tahapan awal pertumbuhan primer (kromatin
nukleus dan perinuklear) butiran kuning telur dan lemak belum muncul. Pada
tahapan kortikal alveoli, butiran kuning telur dan lemak mulai muncul di
sekeliling sitoplasma. Kortikal alveoli memiliki peranan penting dalam menuju
tahap vitelogenesis. Dengan munculnya butiran-butiran kecil pada kortikal alveoli
yang kemudian tumbuh menjadi lebih besar dan memenuhi sitoplasma
mendukung terjadinya proses vitelogenesis. Hal ini dapat terlihat pada ikan yang
telah matang gonad atau ikan dengan tingkat kematangan gonad IV.
Pada tahapan vitelogenesis, butiran lemak akan terlihat bewarna jingga
karena adanya pigmen karotenoid. Beberapa hormon yang mengatur dalam pertumbuhan oosit pada ikan, diantaranya gonadotropin (GTH) seperti LH (luteinizing hormone) dan FSH (follicle stimulating hormone) yang bekerja merangsang dalam penyerapan untuk menuju ke tahap vitelogenesis; tiroksin, triiodothyronine, hormon pertumbuhan, dan insulin (Tyler 1996). Meskipun ada beberapa hormon yang tidak bekerja secara langsung dalam perkembangan oosit, seperti hormon pertumbuhan yang memacu pertumbuhan tubuh pada ikan agar ikan
tumbuh lebih cepat dan mengalami matang gonad.
Pada beberapa ikan, perpaduan butiran kuning telur dan lemak menjadi sulit
dibedakan pada saat proses pematangan, dan oosit menjadi sulit ditemukan saat
akan pembubaran inti. Hal ini disebabkan oleh penyusutan dan distorsi dari oosit
selama pemrosesan kembali normal. West (1990) juga menjelaskan bahwa oosit
tidak jarang hilang dari lumen ovarium dalam proses pengembalian ke jaringan
awal perkembangan. Setelah tahapan akhir pematangan, ikan seriding akan
kembali mempersiapkan untuk tahapan pertumbuhan primer untuk pemijahan
selanjutnya.
Terlihat adanya tumpang tindih ukuran antara tahap vitelogenesis dan tahap
matang. Hal ini disebabkan karena perbedaan ukuran tubuh dan bobot tubuh pada
ikan seriding. West (1990) juga menegaskan bahwa bias pada ukuran oosit mungkin terjadi karena sampel yang digunakan dari ukuran tubuh yang berbeda. Hal
serupa juga ditemukan pada ikan Mugil cephalus dengan habitat yang berbeda
memiliki ukuran diameter oosit tumpang tindih antara tahap matang dan tahap
penyerapan.
3.5 Simpulan
Ikan seriding memiliki lima tahapan perkembangan oosit: 1. Kromatin nukleus; 2. Perinuklear; 3. Kortikal alveoli; 4. Vitelogenesis; dan 5. Matang. Dalam
15
satu ovarium terdapat tiga tahapan perkembangan oosit yang berbeda, hal ini
menunjukkan bahwa ikan seriding termasuk kedalam ikan yang memiliki oosit
berkembang tidak bersamaan (asynchronic).
16
4 ASPEK REPRODUKSI
4.1 Pendahuluan
Ikan seriding merupakan ikan yang menggantungkan hidupnya di muara.
Berbagai tahap hidupnya ditemukan di ekosistem muara, dengan jumlah yang
melimpah seperti yang ditemukan di estuari Mayangan (Zahid et al. 2011) dan di
Teluk Bintuni (Simanjuntak et al. 2011). Pada kedua lokasi tersebut, ikan seriding
merupakan ikan yang cukup mendominasi dan memiliki sebaran yang cukup luas.
Persebaran ikan seriding di dunia mencakup Australia; Bangladesh; India;
Indonesia; Malaysia; Myanmar; Papua Nugini; Filipina; Singapura; Thailand;
Amerika Serikat. Ikan seriding (Ambassis nalua) saat ini terdaftar di IUCN Red
List sebagai spesies dengan status tingkat kekhawatiran minimal (least concern)
(IUCN 2011). Informasi mengenai populasi ikan tersebut masih minim, beberapa
penelitian telah dilakukan pada genus Ambassis diantaranya oleh Semple (1985);
Allen & Burgess (1990); Coates (1990). Selain itu nilai komersial dari genus ini
masih terbatas; sebagian genus Ambassis diperdagangkan sebagai ikan hias
karena tubuhnya yang transparan.
Di perairan Teluk Pabean, kajian biologi mengenai aspek reproduksi ikan
seriding belum pernah dilakukan. King & McFarlane (2003) dan Silva et al.
(2005) menjelaskan bahwa biologi reproduksi ikan memberikan acuan dasar
penting dalam manajemen stok dan konservasi ikan. Selain itu kajian mengenai
aspek biologi penting untuk keberlanjutan suatu spesies. Keberhasilan reproduksi
bergantung kepada rekrutmen, serta berdampak kepada keberlangsungan populasi
spesies. Penelitian aspek reproduksi ini bertujuan untuk menjelaskan beberapa
aspek reproduksi meliputi nisbah kelamin, musim pemijahan, ukuran ikan kali
pertama matang gonad, fekunditas serta tipe pemijahan.
4.2 Metode Penelitian
Data yang telah diamati di laboratorium meliputi data ukuran panjang, bobot
tubuh dan bobot gonad digunakan untuk menganalisis nisbah kelamin, ukuran kali
pertama matang gonad serta hubungan fekunditas dengan panjang dan bobot.
Sedangkan untuk menentukan musim pemijahan menggunakan tingkat kematangan gonad (TKG) dan indeks kematangan gonad (IKG).
Gonad ikan seriding jantan dan betina diawetkan, kemudian gonad ikan
betina dibagi menjadi tiga bagian yaitu anterior, tengah dan posterior (masingmasing bagian ditimbang). Masing-masing bagian kemudian diambil 5% dari
bobotnya; diencerkan dengan aquades untuk memudahkan menghitung fekunditas.
Diameter telur diukur dengan mengambil masing-masing bagian sebanyak 100
butir, kemudian dilakukan pengamatan menggunakan mikroskop pembesaran 4 x
10 dengan mikrometer okuler yang telah ditera dengan mikrometer objektif.
Nisbah kelamin ikan seriding dihitung dengan membandingkan jumlah ikan
seriding jantan dan betina yang telah matang gonad (TKG IV) yaitu:
17
Keterangan:
NK
: nisbah kelamin;
nJ
: jumlah ikan jantan;
nB
: jumlah ikan betina.
Tingkat kematangan gonad (TKG) ditentukan berdasarkan tanda-tanda
morfologi gonad (Tabel 4.1).
Tabel 4.1 Penentuan tingkat kematangan gonad ikan seriding (A. nalua) betina di
Teluk Pabean berdasarkan karakteristik morfologis dan histologis
TKG
I
II
Karakter morfologis
Ukuran ovarium kecil, tipis, bewarna jingga dan terlihat seperti minyak.
Ukuran ovarium membesar, warna
kekuningan tetapi butiran telur belum terlihat.
III
Ukuran ovarium semakin membesar, bewarna kuning dan mulai terlihat adanya butiran telur.
IV
Butiran telur terlihat dengan jelas
dan rongga ovarium rapat dengan
telur. Pembuluh darah terlihat sangat
jelas.
Butiran telur terlihat dan rongga
ovarium mulai merenggang, terdapat bagian yang transparan.
V
Karakter histologis
Sel kecil dengan inti sel (nukleus)
ditengah dan bentuk tidak beraturan.
Sel lebih besar sejalan dengan perkembangan sitoplasma, nukleus semakin
mem-besar disertai dengan munculnya
nukleolus. Ditemukan seperti cincin
putih yang mengelilingi nukleus.
Ditandai dengan munculnya pembentukkan butiran kuning telur dan butiran
lemak di sitoplasma. Zona radiata dan
lapisan folikel mulai terlihat jelas.
Nukleus mulai terdesak dengan semakin
meningkatnya jumlah dan ukuran butiran kuning telur di sitoplasma. Zona
radiata semakin tebal dan terlihat jelas.
Pada tahap ini, nukleus menghilang dan
nekleolus keluar ke sitoplasma. Pembentukan butiran kuning telur telah
berhenti dan sitoplasma di dominasi
oleh butiran kuning telur.
Nilai indeks kematangan gonad (IKG) dihitung setiap bulan pengamatan.
Musim pemijahan yaitu bulan dengan ditemukannya ikan yang matang gonad;
puncak pemijahan yaitu bulan dengan ditemukannya ikan dengan proporsi TKG
dan IKG tertinggi. Indeks kematangan gonad dihitung berdasarkan rumus
Effendie (1979), yaitu:
Keterangan:
IKG : indeks kematangan gonad;
Bg
: bobot gonad (g);
Bt
: bobot tubuh (g)
Ukuran ikan kali pertama matang gonad (Lm50) dihitung menggunakan
metode pendekatan ukuran morfologi berdasarkan frekuensi kumulatif ikan yang
matang gonad (TKG III & IV).
18
Ikan seriding (A. nalua) yang telah mengalami matang gonad dihitung
fekunditas totalnya. Persamaan yang digunakan dalam menghitung telur secara
gravimetrik adalah sebagai berikut (Effendie 1979):
Keterangan:
F
: fekunditas total (butir);
G
: bobot gonad (g);
g
: bobot gonad contoh (g);
f
: jumlah telur tercacah (butir)
Hubungan antara fekunditas total dengan panjang ikan dan bobot tubuh
dinyatakan dengan persamaan berikut:
dan F
Keterangan :
F
: fekunditas (butir);
B
: bobot ikan (g);
PT
: panjang ikan (mm);
a dan b, konstanta
Pengukuran diameter telur (TKG IV) dilakukan dengan mengambil contoh
telur dari tiga bagian gonad yang mewakili (anterior, tengah, dan posterior)
dengan jumlah masing-masing 100 butir. Diameter telur diukur dengan menggunakan mikroskop binokuler yang diberi mikrometer okuler dengan perbesaran 4
x 10. Persebaran diameter telur digunakan sebagai dasar penentuan tipe pemijahan.
4.3 Hasil
Nisbah Kelamin
Ikan seriding yang diperoleh selama tujuh bulan penelitian berjumlah 424
ekor ikan, dengan panjang total antara 38,04-112,63 mm dan bobot antara 0,3725,44 g. Jumlah yang diperoleh tersebut terdiri atas 114 ekor (26,9%) ikan
seriding jantan dan 310 ekor (73,1%) ikan seriding betina (Lampiran 6).
Ikan betina lebih banyak dibanding dengan jumlah ikan jantan. Nisbah
kelamin ikan seriding jantan dan betina yang matang gonad (TKG IV) secara
keseluruhan adalah 1 : 1,9 (Tabel 4.2). Uji khi kuadrat terhadap nisbah kelamin
menunjukkan bahwa nisbah kelamin tidak mengikuti pola 1:1 (tidak seimbang)
pada taraf 95% [χ2 hitung (90,60) > χ2 tabel (db=2-1) (3,841)].
19
Tabel 4.2 Nisbah kelamin ikan seriding (A. nalua) jantan dan betina (TKG IV)
selama penelitian di Teluk Pabean
Bulan
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
Total
Jumlah (ekor)
Jantan
Betina
0
1
1
11
1
3
10
11
8
28
41
45
2
18
63
117
Ket :Nilai hitung yang lebih kecil dari
** nisbah kelamin tidak 1:1
Nisbah Kelamin
(Jantan : Betina)
0
1 : 11,0
1 : 3,0
1 : 1,1
1 : 3,5
1 : 1,1
1 : 9,0
1 : 1,9
tabel (0,05;1)
χ2 hitung
0
8,33**
1,00
0,05
11,11**
0,19
12,80**
16,20**
= 3,841 menunjukkan bahwa nisbah kelamin adalah 1:1;
Musim Pemijahan
Ikan seriding mengisi semua tahapan perkembangan gonad (TKG I - V)
selama bulan pengamatan (Gambar 4.1). Frekuensi tertinggi pada ikan seriding
(TKG IV) terdapat pada bulan September yaitu ikan jantan berjumlah 41 ekor
sedangkan untuk ikan betina berjumlah 45 ekor. Ikan seriding TKG V ditemukan
pada bulan September dan Oktober untuk ikan jantan dan pada bulan Mei, Juli,
Agustus, September dan Oktober untuk ikan betina.
100
n=1
80
n=21
n=64
n=18
n=1
n=9
60
Persentase (%)
40
20
0
n=0
Apr*
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep
Okt
Bulan (a)
100
80
n=6
n=4
n = 37
n = 37
n = 89
n = 36
n = 101
60
40
20
0
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep
Okt
Bulan (b)
Gambar 4.1 Persentase tingkat kematangan gonad ikan seriding jantan (a) dan
betina (b) selama penelitian di Teluk Pabean
Keterangan: * tidak ditemukan ikan; n:jumlah tangkapan
Nilai rata-rata indeks kematangan gonad (IKG) selama bulan pengamatan
pada ikan seriding jantan dan betina berfluktuasi. Nilai IKG ikan jantan terendah
20
berada pada bulan Agustus (0,40) dan tertinggi berada pada bulan September
(0,83) dan nilai IKG ikan betina terendah berada pada bulan Juli (2,36) dan
tertinggi berada pada bulan September (4,54) (Gambar 4.2). Nilai IKG maksimum
ikan jantan dan ikan betina ditemukan pada bulan September.
1,6
1,2
0,8
0,4
0,0
Jun
IKG
Apr* Mei
Jul
Agu
Sep
Okt
Bulan (a)
8
6
4
2
0
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep
Okt
Bulan (b)
Gambar 4.2 Indeks kematangan gonad (IKG) ikan seriding (A. nalua) jantan (a)
dan betina (b) selama penelitian di Teluk Pabean
Keterangan: * tidak ditemukan ikan
Frekuensi (%)
Ukuran Ikan Seriding Kali Pertama Matang Gonad (Lm50)
Berdasarkan ukuran morfologi dan kematangan gonad (TKG III dan IV)
dari ikan seriding jantan dan betina maka dapat diketahui bahwa ikan jantan
mengalami matang gonad dengan ukuran lebih kecil (Gambar 4.3) dibandingkan
ikan betina (Gambar 4.4), yaitu 79,17 mm dan 91,25 mm.
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
51,5 57,5 63,5 69,5 75,5 81,5 87,5 93,5
Panjang (mm)
Gambar 4.3 Ukuran kali pertama matang gonad (Lm50) ikan seriding (A. nalua)
jantan di Teluk Pabean
21
Frekuensi (%)
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
67,5 73,5 79,5 85,5 91,5 97,5 103,5 109,5
Panjang (mm)
Gambar 4.4 Ukuran kali pertama matang gonad (Lm50) ikan seriding (A. nalua)
betina di Teluk Pabean
Fekunditas
Nilai fekunditas total ikan seriding yang diperoleh dari April hingga
Oktober berkisar antara 3.451-32.465 butir dengan rata-rata yaitu 12.618±6156
butir dari 117 ekor ikan betina (TKG IV) yang berukuran panjang total 70,37112,63 mm dan bobot tubuh 5,61-25,44 g. Fekunditas minimum (3451 butir)
ditemukan pada ikan berukuran 72,97 mm sedangkan fekunditas maksimum
(32465 butir) ditemukan pada ikan berukuran 111,12 mm.
Hubungan antara fekunditas dengan panjang total dan fekunditas dengan
bobot tubuh ikan dinyatakan dengan persamaan F = 0,0732PT2,6389 (r = 0,6037)
dan F = 1112,2B0,9346 (r = 0,6729) (Gambar 4.5).
40000
F = 0,0732PT2,6389
R² = 0,3645
r = 0,6037
n = 117
30000
Fekunditas (butir)
20000
10000
0
-
20
40
60
80
100
120
25
30
Panjang total (mm) (a)
40000
F = 1112,2B0,9346
R² = 0,4528
r = 0,6729
n = 117
30000
20000
10000
0
0
5
10
15
20
Bobot tubuh (g) (b)
Gambar 4.5 Hubungan fekunditas ikan seriding (A. nalua) dengan panjang total
(a) dan bobot tubuh (b) di Teluk Pabean
22
Diameter Telur
Sebaran diameter telur ikan seriding dari 31 ikan betina yang telah matang
gonad (TKG IV) bervariasi, dibagi ke dalam 14 kelompok ukuran yaitu antara
0,1-1,06 mm (Gambar 4.6). Pada Gambar 4.6 terlihat bahwa sebaran diameter
telur ikan seriding memiliki tiga buah modus. Modus pertama terdapat pada
selang kelas 0,23-0,29 mm; modus kedua terdapat pada selang kelas 0,44-0,50
mm; dan modus ketiga terdapat pada selang kelas 0,79-0,85 mm. Ketiga modus
yang muncul menunjukkan bahwa ikan seriding (A. nalua) memiliki tipe
pemijahan bertahap, yang artinya ikan akan mengeluarkan telurnya sebagian demi
sebagian.
2500
2000
n = 31
Butir
1500
1000
500
0
Sebaran diameter telur (mm)
Gambar 4.6 Sebaran diameter telur ikan seriding (A. nalua) di Teluk Pabean
4.4 Pembahasan
Nisbah Kelamin
Nisbah kelamin pada ikan seriding (TKG IV) tidak mengikuti pola 1:1. Ikan
betina lebih dominan dibanding ikan jantan. Kondisi yang sama juga ditemukan
pada beberapa ikan pesisir seperti ikan Micropogonias furnieri di Teluk Sepetiba,
Rio de Jeneiro (Vicentini & Araujo 2003), Parambassis ranga di perairan
Haebaru, Okinawa (Ishikawa & Tachihara 2012), akan te