Efektivitas Metode Aplikasi Hormon Progesteron, PGF2α Dan hCG Dalam Peningkatan Efisiensi Reproduksi Kambing PE Anestrus Postpartum.

EFEKTIVITAS METODE APLIKASI HORMON PROGESTERON, PGF2α
DAN hCG DALAM PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI
KAMBING PE ANESTRUS POSTPARTUM

MUHAMMAD SYAWAL
B352120081

BIOLOGI REPRODUKSI
SEKOLAH PASCA SARJANA
ISTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efektivitas Metode
Aplikasi Hormon Progesteron, PGF2α Dan hCG Dalam Peningkatan Efisiensi
Reproduksi Kambing PE Anestrus Postpartum adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015

Muhammad Syawal
NIM B352120081

RINGKASAN
MUHAMMAD SYAWAL. Efektivitas Metode Aplikasi Hormon Progesteron,
PGF2α Dan hCG Dalam Peningkatan Efisiensi Reproduksi Kambing PE Anestrus
Postpartum. Dibimbing oleh TUTY LASWARDI YUSUF dan MUHAMMAD
AGIL.
Anestrus Postpartum pada kambing PE sering terjadi karena kesalahan
manajemen reproduksi dan pakan sehingga mengakibatkan gangguan fungsional
pada ovarium. Anestrus postpartum yang berlangsung lama menimbulkan
kerugian bagi peternak karena efisiensi reproduksi yang rendah. Penelitian ini
bertujuan memperbaiki kondisi reproduksi pada kambing PE betina yang
mengalami anestrus postpartum dengan menggunakan hormon Prostaglandin
(PGF2α) atau progesteron (CIDR-G) dan meningkatkan kebuntingan hasil IB

dengan pemberian hCG serta menggunakan dosis IB 100x106/0.25ml atau
200x106/0.25 ml. Selama penelitian sebanyak 30 ekor kambing dibagi menjadi 3
kelompok yaitu CIDR-G, PGF2α dan kontrol. Kambing diberi pakan berupa
konsentrat yang memiliki protein kasar 16% sebanyak 700 g/e/h. Kelompok
progesteron diberi CIDR-G (0.3 progesteron) ditanam intravaginal selama 12 hari
dan kelompok prostaglandin diberi PGF2α dengan dosis 5 mg/ekor sebanyak 2
kali dengan selang waktu 11 hari. Respon estrus diamati setiap tiga jam sekali
dengan cara memasukkan pejantan pengusik (teaser) ke dalam kandang kambing.
Kambing dianggap positif estrus (onset estrus) jika diam dinaiki oleh pejantan.
Kelompok kambing yang estrus sebagian diberi hCG, kemudian semua kambing
estrus diinseminasi dengan dosis yang berbeda (100x106 /0.25ml dan
200x106/0.25ml).
Pemberian progesteron menghasilkan respon estrus 100% lebih tinggi
dibanding respon pada pemberian PGF2α (70%). Onset estrus kelompok CIDR-G
adalah 35.81±13.33 jam lebih cepat dibandingkan kelompok PGF2α yaitu
45.6±9.2 jam. Gejala klinis vulva maksimal (kemerahan dan kebengkakan) lebih
tinggi intensitasnya pada pemberian progesteron (80% dan 70%) dibanding
PGF2α (71% dan 57%). Intensitas kebasahan (lendir vulva) tidak menjadi
parameter utama pada kambing estrus karena variasi antar individu sangat tinggi.
Lama estrus hasil pemberian PGF2α (52.17±3.34) jam lebih lama dibandingkan

pada kelompok CIDR-G (49.61±3.56) jam. Kebuntingan pada kelompok yang
diberi hCG lebih tinggi (67%) dibandingkan dengan yang tidak diberi hCG (42%).
Kelompok yang menggunakan dosis IB dengan konsentrasi sperma
200x106/0.25ml menghasilkan kebuntingan yang tidak signifikan dibandingkan
dengan dosis 100x106/0.25ml (54% dan 50%).
Kesimpulan menunjukkan bahwa pemberian hormon progesteron dan
PGF2α bisa memperbaiki fungsi reproduksi pada kambing anestrus postpartum
2-4 bulan. Pemberian hormon hCG menghasilkan kebuntingan lebih baik daripada
yang tidak diberi hCG. Penggunaan dosis IB dengan konsentrasi sperma
100x106/0.25ml dan 200x106/0.25ml menghasilkan tingkat kebuntingan yang
relatif sama.
Kata kunci: Kambing PE, Anestrus Postpartum, Progesteron, PGF2α dan hCG

SUMMARY
MUHAMMAD SYAWAL. Effectiveness of Progesterone, PGF2α And hCG
Application to Improve Reproductive Efficiency in PE Goat Postpartum Anestrus.
Supervised by TUTY LASWARDI YUSUF dan MUHAMMAD AGIL.
Postpartum anestrus in PE goat often occurs due to mismanagement of
reproduction and feed resulting in functional disorders of the ovary. Prolonged
postpartum anestrus incur losses for farmers due to low reproductive efficiency.

This study aims to improve the conditions of reproduction in PE goat females who
experience postpartum anestrus using the hormone prostaglandin (PGF2α) or
progesterone (CIDR-G) and improve pregnancy rate as AI result by administering
hCG and AI doses of sperm concentration of 100x106/0.25ml or 200x106/0.25 ml.
During the study 30 goats were divided into 3 groups of CIDR, PGF2α and
control. Goats were fed with a concentrate which has a 16% crude protein as
much as 700 g / e / h. Progesterone group was given CIDR (0.3 g progesterone)
intravaginal for 12 days, and the prostaglandin group was treated with PGF2α
dose of 5 mg/goat which was delivered 2 times with an interval of 11 days. Estrus
response was observed every three hours by entering teaser into the goat pen. The
females were considered positive estrus (estrus onset) if receptive to the male
mounting. Partly of goats estrous were given hCG, and all of goat estrus were
inseminated with different doses (100x106/0.25 ml or 200x106/0.25ml).
Progesterone administration produced estrus response 100%, higher than
the response to the administration of PGF2α (70%). Onset of estrus CIDR group
is 35.81 ± 13:33 hours, faster than the PGF2α group (45.6 ± 9.2 hours). The
intensity of vulva morphological changes (redness and swelling) was higher on
progesterone administration (80% vs 70%) compared to PGF2α (71% vs 57%).
Intensity wetness (mucus vulva) was not taken as parameter of estrus because the
variation between individuals is very high. Duration of estrous in PGF2α group

was about 52.17 ± 3.34 h which was longer than the CIDR group (49.61 ± 3.56 h).
Pregnancy in the group given hCG is higher (67%) compared with those not given
hCG (42%). Pregnancy obtained from AI with sperm dose concentration of
200x106/0.25ml, which was not significant compared with the dose
100x106/0.25ml (54% dan 50%).
The conclusion showed that administration of progesterone and PGF2α
can improve reproductive function in goats 2-4 months postpartum anestrus. hCG
administration increased pregnancy rate. AI doses with sperm concentration
100x106 / 0.25ml and 200x106/ 0.25ml produced relatively the same pregnancy
rate.
Keywords: PE Goat, Anestrus Postpartum, Progesterone, PGF2α and hCG

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB


Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

EFEKTIVITAS METODE APLIKASI HORMON PROGESTERON, PGF2α
DAN hCG DALAM PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI
KAMBING PE ANESTRUS POSTPARTUM

MUHAMMAD SYAWAL

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Reproduksi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr drh Iman Supriatna

Judul Tesis : Efektivitas Metode Aplikasi Hormon Progesteron, PGF2α Dan
hCG Dalam Peningkatan Efisiensi Reproduksi Kambing PE
Anestrus Postpartum.
Nama
: Muhammad Syawal
NIM
: B352120081
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr drh Tuty L.Yusuf, MS
Ketua

Dr drh Muhammad Agil, MSc Agr
Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi
Biologi Reproduksi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr drh Mohamad Agus Setiadi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian : 18 November 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2013 ialah kambing
PE Anestrus Postpartum, dengan judul Efektivitas Metode Aplikasi Hormon
Progesteron, PGF2α Dan hCG Dalam Peningkatan Efisiensi Reproduksi Kambing

PE Anestrus Postpartum.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof.Dr. drh. Tuty L.Yusuf MS
dan Bapak Dr. drh.Muhammad Agil, Msc. Agr selaku pembimbing. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada bapak Dr. Ir. Nasrullah, MS
selaku kepala Balitnak dan Ibu Lisa Elisabeth beserta staf Balai Penelitian Ternak
Ciawi - Bogor, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada ibu, istri dan anak-anakku serta seluruh keluarga,
atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2015

Muhammad Syawal

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerangka Pemikiran
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
3
3

.4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Reproduksi Kambing PE ......................... ......................................................4
Anestrus Postpartum.......................................................................................9
Prostaglandin (PGF2α)..................................................................................10

Progesteron (CIDR).......................................................................................11
human Chorionic Gonadotrophin (hCG).......................................................14
Inseminasi Buatan (IB)..................................................................................15
3 MATERI DAN METODE
16
Tempat dan Waktu
16
Materi Penelitian
16
Prosedur Percobaan......................................................................................17
Parameter Yang Diamati .............................................................................19
Rancangan Percobaan dan Analisa Data .....................................................19
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................19
Tingkat Kejadian Estrus Kambing PE Anestrus Postpartum ......................19
Perbedaan Intensitas Estrus Kambing PE Anestrus Postpartum .................24
Tingkat Kebuntingan Hasil IB setelah Pemberian hCG ..............................26
5 KESIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

29
29
29

DAFTAR PUSTAKA

29

LAMPIRAN

37

RIWAYAT HIDUP

39

DAFTAR TABEL

1. Sifat Reproduksi pada Kambing PE Betina dan Jantan
2. Komposisi Bahan Pakan Konsentrat
3. Respon, Onset dan Lama Estrus kambing PE
4. Intensitas Estrus Kambing PE
5. Tingkat Kebuntingan Hasil IB Setelah Pemberian hCG
6 Tingkat Kebuntingan Hasil IB menurut Dosis Inseminasi Buatan

9
17
20
25
27
28

DAFTAR GAMBAR

1. Alur Kegiatan Penelitian
2. Siklus Estrus Kambing PE
3. Perlakuan CIDR-G dan PGF2α
4. Betina Diam Dinaiki Pejantan (onset estrus)
5. Gejala Klinis Vulva Kambing Yang Sedang Estrus

3
5
17
18
26

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kambing peranakan ettawa (PE) merupakan kambing yang cukup produktif
dan adaptif dengan kondisi lingkungan setempat. Kambing ini banyak diminati
peternak rakyat karena manajemen pemeliharaan yang mudah dan murah.Selain
itu bisa juga digunakan sebagai penghasil tambahan dan tabungan.Jumlah
permintaan kambing semakin meningkat sedangkan peningkatan populasi
kambing masih rendah.Menurut statistik peternakan dan kesehatan hewan
(Ditjenak 2013) populasi kambing sebanyak18.576.192 ekor peningkatannya
hanya mencapai 0.03% (67.0330 ekor) dari tahun sebelumnya (2012) yakni
17.905.862 ekor.
Kambing PE memiliki potensi biologi reproduksi yang cukup baik seperti
umur pubertas adalah 6–10 bulan, mencapai dewasa tubuh (organ reproduksi siap
bunting) pada umur 10 -12 bulan dimana saat bobot badan mencapai 55 - 60 kg.
Kambing PE memiliki rataan berat badan betina 40,2 kg dan jantan 60 kg yang
difungsikan sebagai penghasil susu dan daging. Selain itu jumlah anak sekelahiran
(litter size) sebanyak 1.3–1.7 ekor dengan selang beranak yang relatif pendek
yaitu 240 hari (Sutama et al. 2007). Memiliki tinggi badan untuk jantan/betina 70100 cm, dengan berat badan dewasa mencapai 40-80 kg untuk jantan dan 30-50
kg untuk betina yang difungsikan sebagai penghasil susu dan daging (Sutama
2011). Pada umumnya manajemen kambing PE dilakukan oleh peternak secara
tradisional sehingga banyak terjadi anestrus setelah partus (anestrus postpartum).
Kejadian anestrus postpartum bisa berlangsung lama bahkan bisa mencapai 200
hari (Freitas 2004). Kondisi yang demikian menyebabkan banyak peternak yang
menjual ternaknya dengan harga yang murah sehingga merugikan peternak secara
ekonomis. Anestrus postpartum bisa terjadi karena kesalahan manajemen
reproduksi dan kualitas pakan yang mengakibatkan hipofungsi ovarium
(Gonzalez-Stagnaro 1984). Selain itu, gangguan fungsi uterus dapat menyebabkan
terjadinya korpus luteum persisten (CLP) sehingga mengganggu fungsi reproduksi
secara keseluruhan.
Perbaikan reproduksi pada kambing anestrus postpartum dapat dilakukan
dengan cara pemberian pakan berkualitas. Pakan bisa membantu pencapaian
kondisi tubuh yang optimal sehingga hormon gonadotropin terbentuk secara
seimbang untuk menstimulasi folikulogenesis. Menurut De Santiago-Miramontes
et al. (2008) bahwa keberhasilan estrus kambing dapat mencapai 88% dengan
pemberian pakan yang cukup baik kualitas maupun kuantitas. Menurut Marwah et
al. (2010) menyatakan bahwa kebutuhan kambing PE yang sedang laktasi
(postpartum) adalah bahan kering (BK) 1.867 kg/hari, protein kasar (PK) 0.344
kg/hari dan total digestible nitrogen (TDN) 1.105 kg/hari. Sumber energi
diperoleh dari TDN, sedangkan PK berperan sebagai sumber protein dalam
pembentukan hormon-hormon terutama hormon reproduksi, seperti FSH dan LH.
Pemberian hormon reproduksi pada kambing anestrus postpartum dapat
meningkatkan fungsi reproduksi sehingga kambing dapat kembali estrus secara
normal. Pemberian progesteron secara intravaginal dalam waktu tertentu terjadi
mekanisme umpan balik negatif dan menginisiasi terjadinya perkembangan folikel
setelah pencabutan sehingga dimulainya estrus kembali (Fonseca et al. 2005).

2

Pemberian prostaglandin (PGF2α) berfungsi untuk melisiskan korpus luteum yang
mengakibatkan terjadinya proses folikulogenesis hingga estrus kembali.
Pelaksanaan inseminasi buatan (IB) pada kambing telah banyak dilakukan
namun hasilnya masih rendah seperti hasil penelitian Tambing dan Sariubang
(2008) menghasilkan angka kebuntingan hanya 25%. Rendahnya hasil IB
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah waktu inseminasi, teknik
inseminasi dan konsentrasi sperma serta kombinasi hormon sewaktu sinkronisasi
estrus (Hastono 2000). Untuk mencapai hasil IB yang lebih optimal pada kambing
PE yang sedang anestrus postpartum, maka dalam penelitian ini dilakukan
beberapa kegiatan yaitu (1) Pemberian hormon progesteron (CIDR-G) secara
intravaginal/pemberian PGF2α secara intramuscular, (2) Pemberian hCG saat
onset estrus, (3) Menggunakan dosis IB 100x106/0.25ml atau 200x106/0.25ml.
Penggunaan hormon hCG yang dikombinasikan dengan hormon progesteron atau
PGF2α. Dimana hCG memiliki fungsi yang sama dengan LH yaitu untuk
merangsang pematangan oosit dan ovulasi (Ginther et al. 2009).
Kerangka Pemikiran
Anestrus postpartum bisa terjadi karena kesalahan manajemen reproduksi
dan kualitas pakan yang mengakibatkan hipofungsi ovarium. Kejadian anestrus
postpartum bisa berlangsung lama bahkan bisa mencapai 200 hari, kondisi yang
demikian menyebabkan banyak peternak merugi. Kambing anestrus postpartum
2–4 bulan diberikan nutrisi legum dan konsentrat berkualitas yang memenuhi
kebutuhan standar ternak (Protein kasar:16%). Pemberian pakan berkualitas
dilakukan sebelum perlakuan hormon reproduksi dengan tujuan agar nutrisi
kambing terpenuhi sehingga mencapai kondisi tubuh yang optimal. Selanjutnya
tubuh kambing akan memproduksi hormon-hormon reproduksi secara seimbang.
Penggunaan CIDR-G selama 12 hari akan meningkatkan jumlah hormon
progesteron dalam darah yang selanjutnya memberikan mekanisme umpan balik
negatif. Pencabutan CIDR-G akan menurunkan jumlah progesteron secara drastis
sehingga kondisi yang demikian memicu hypotalamus melepaskan hormon
GnRH. Kemudian GnRH merangsang pelepasan hormon FSH dan LH oleh
hypofisa anterior. Selanjutnya FSH dan LH akan merangsang terjadinya
perkembangan folikel yang mengakibatkan siklus estrus dimulai lagi. Pemberian
PGF2α berperanan untuk melisiskan korpus luteum yang mungkin ada pada
ovarium, dengan lisisnya korpus luteum maka hormon progesteron akan segera
turun secara mendadak yang memicu hypotalamus melepaskan hormon GnRH.
Kemudian GnRH merangsang pelepasan hormon FSH dan LH oleh hypofisa
anterior. Selanjutnya FSH dan LH akan merangsang terjadinya perkembangan
folikel sehingga siklus estrus dimulai lagi.
Pemberian hCG saat onset estrus (diam dinaiki pejantan teaser) akan
membantu pematangan oosit dan menyebabkan terjadinya ovulasi. Pelaksanaan
Inseminasi Buatan pada prinsipnya mendekati waktu ovulasi baik sesudah
maupun sebelumnya, waktu inseminasi yang terbaik antara 12 sampai dengan 36
jam sejak onset estrus. Pelaksanaan Inseminasi dilakukan 12 dan 24 jam sejak
onset estrus dengan menggunakan semen beku yang memiliki dosis IB
100x106/0.25 ml atau 200x106/0.25 ml.

3

Alur Kegiatan Penelitian
Anestrus Postpartum
(2-4 bulan)

Pemberian pakan
berkualitas
(1
Tahap 1: Perlakuan Hormon

CIDR-G

Tahap 2: Inseminasi Buatan
hCG

PGF2α

Kontrol

Respon estrus (%)
(vulva&diam dinaiki)

Non hCG

IB (2x ) 12 & 24 jam
onset estrus

100x106/0.25ml
Partus
6

200x10 /0.25ml

Gambar 1 Alur Kegiatan Penelitian
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan memperbaiki kondisi reproduksi pada kambing PE
yang sedang anestrus postpartum dengan menggunakan hormon PGF2α atau
progesteron (CIDR-G) dan meningkatkan keberhasilan kebuntingan hasil IB
melalui pemberian hormon hCG dan menggunakan dosis IB 100x106/0.25ml atau
200x106/0.25 ml.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menghasilkan
metode aplikasi hormon reproduksi terbaik yang dapat menginduksi estrus pada
kambing PE anestrus postpartum dan aplikasi penggunaan hormon hCG dan dosis
IB yang tepat guna meningkatkan persentase kebuntingan.
HipotesisPenelitian

1.
2.
3.

Hipotesis pada penelitian ini adalah:
Pemberian hormon progesteron dan PGF2α dapat mengurangi jumlah
kejadian induk yang mengalami anestrus postpartum
Pemberian hCG pada kambing saat onset estrus dapat meningkatkan
persentase angka kebuntingan.
Tingkat kebuntingan dengan dosis IB 200x106/0.25 ml lebih tinggi daripada
100x106/0.25 ml.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Reproduksi Kambing Peranakan Ettawa (PE)
Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan hasil persilangan antara kambing
Ettawa yang berasal dari India dengan kambing Kacang (lokal), yang
penampilannya mirip Ettawa tetapi lebih kecil. Kambing PE merupakan tipe
dwiguna yaitu sebagai penghasil daging dan susu (perah). Ciri khas kambing PE
antara lain: bentuk muka cembung melengkung dan dagu berjanggut, terdapat
gelambir di bawah leher, telinga panjang menggantung dan ujungnya agak
berlipat, ujung tanduk agak melengkung, tubuh tinggi, pipih, bulu tumbuh panjang
di bagian leher, pundak, punggung dan paha, bulu paha panjang dan tebal. Secara
biologis, Kambing PE cukup produktif dan adaptif dengan kondisi lingkungan
setempat, sehingga memudahkan untuk budidaya dan pengembangan. Dapat
menghasilkan daging dan susu dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan
keluarga petani di pedesaan (Sutama 2007).
Pubertas dan Dewasa Tubuh
Pubertas (dewasa kelamin) adalah umur atau waktu dimana organ-organ
reproduksi mulai berfungsi dan perkembangbiakan dapat terjadi. Pubertas pada
ternak betina merupakan fase atau keadaan dimana ternak tersebut menunjukkan
tanda-tanda estrus pertama kali atas pengaruh hormon estrogen (Feradis 2010).
Pubertas pada kambing PE betina berumur kisaran 8–10 bulan (Utomo 2011) dan
sekitar 10-12 bulan (Tomaszewska et al. 1991). Pubertas kambing PE pada umur
8 – 12 bulan dimana bobot badan 18 – 22 kg atau sekitar 53 – 60% bobot badan
dewasa ( Sutama 2009).
Dewasa tubuh adalah umur atau waktu dimana kondisi tubuh ternak sudah
siap untuk kawin pertama kali. Menurut Atabany et al. (2004) Umur kawin
pertama kali kambing PE ketika mencapai 403.32 hari (13.44 bulan), Umur 15
bulan (Suranindyah et al. 2009), Devendra (1990) menyatakan 12 bulan,
Saithanoo et al. (1991) pada umur 7 bulan, Pralomkarn (1996) 10-12 bulan.
Siklus Estrus
Siklus estrus merupakan jarak waktu antara satu estrus ke fase estrus
berikutnya. Walaupun aktivitas estrus ternak kambing tergolong poliestrus artinya
estrus terjadi beberapa kali dalam satu tahun, akan tetapi siklus bervariasi. Sutama
(2007) menyatakan bahwa lama siklus estrus pada kambing adalah 18-24 hari
dengan rata-rata 21 hari. Menurut Atabany et al. (2004) bahwa siklus estrus
kambing PE adalah 22.79 hari dan Sutama (1996) sebesar18-22 hari. Sebagai
pembanding pada kambing Kacang memiliki siklus estrus antara 19-50 hari
(Prabowo et al. 1995) dan pada kambing Boer sebesar 20.7 hari kisaran 13-25 hari
(Greyling 2000). Menurut Fatet et al. (2011) siklus estrus pada kambing dibagi 4
fase (Gambar 2).
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya variasi siklus estrus
diantaranyaperbedaan bangsa, tatalaksana pemeliharaan terutama pengelolaan
reproduksi dan juga faktor gelombang pertumbuhan folikel (follicle development

5

wave). Gelombang pertumbuhan folikel dalam satu siklus estrus pada kambing
saat ini belum diketahui dengan pasti, sehingga sulit untuk menentukan dengan
tepat aplikasi hormonal dalam program sinkronisasi estrus dan waktu inseminasi.
Mengkontrol gelombang pertumbuhan folikel penting dalam program sinkronisasi
estrus dan inseminasi buatan (Adams 1994). Salah satu cara mengkontrol
gelombang pertumbuhan folikel yakni dengan mengamati fase yang terjadi pada
siklus estrus yang telah terbagi dalam empat fase yaitu Proestrus,Estrus, Metestrus
dan Diestrus.

Hari

Gambar 2 Siklus estrus kambing (Fatet et al. 2011)
Proestrus merupakan fase sebelum estrus yaitu periode pada saat folikel de
Graaf tumbuh di bawah pengaruh FSH dari adenohipofisa anterior dan LH serta
ovarium menghasilkan sejumlah estradiol (estrogen yang paling kuat) yang
semakin lama semakin bertambah dan memicu peningkatan suplai darah ke
saluran kelamin sehingga menyebabkan meningkatnya perkembangan uterus,
vagina, oviduk, dan folikel ovarium. Fase ini berlangsung selama 2-3 hari (Fatet et
al. 2011).
Fase proestrus dimulai dengan regresi korpus luteum dan berhentinya
progesteron dan mempersiapkan untuk memulai estrus kembali. Fase proestrus
dicirikan dengan pertumbuhan folikel dan mulai memproduksi estrogen.
Meningkatnya kadar estrogen yang diserap dari folikel ke dalam aliran darah akan
merangsang peningkatan vaskularisasi dan pertumbuhan sel genital dalam
persiapan untuk estrus dan kebuntingan yang akan terjadi. Karakteristik sel pada
saat ini yaitu penampakan histologi dari ulas vagina diawal periode ditandai
dengan banyak sel-sel ephitel yang memiliki inti kemudian diakhir periode sel-sel
mulai bertanduk/kornifikasi (Leigh 2010). Pada fase ini akan terlihat perubahan
pada alat kelamin luar dan terjadi perubahan-perubahan tingkah laku dimana
hewan betina berperilaku seperti gelisah, agresif, dan mungkin akan menanduk,
melenguh. Pada saat ini hewan sudah mulai menunjukkan tanda-tanda estrus tapi
belum bersedia untuk kopulasi karena kadar hormon estrogen yang dihasilkan
folikel belum mencapai optimal. Ovarium pada fase ini memiliki korpus luteum

6

albikan yang berasal dari korpus luteum yang mengalami atropi dan mengecil
yang menyerupai tenunan pengikat (Senger 2003).
Estrus merupakan kondisi saat hewan betina bersedia dikawini oleh
pejantan atau merupakan periode penerimaan pejantan oleh hewan betina untuk
berkopulasi. Fase ini berlangsung selama 34-38 jam (1-2 hari) pada kambing
betina (Feradis 2010). Fase ini mengalami kejadian cervik relaksasi dan pada
ovarium terdapat folikel de Graaf yang membesar dan sudah matang,
memperlihatkan tingkah laku estrus, umpan balik positif dan negatif terhadap
pelepasan GnRH, karakteristik seks skunder, peningkatan kontraksi uterus. Pada
fase ini produksi estrogen bertambah, puncak klimaks fase folikel yang terutama
ditentukan oleh tingkat sirkulasi estrogen selanjutnya terjadi ovulasi. Pada saat
initerjadi penurunan konsentrasi hormon FSH dan kenaikan kadar LHdalam
darah, hormon ini yang menyebabkan terjadinya ovulasi dan pembentukan korpus
luteum yang terlihat pada masa sesudah estrus. Mukosa dari uterus banyak
mengandung darah, pada saat ini kambing betina siap dikawini olehpejantan.
Kambing estrus umumnya memperlihatkan tanda-tanda perilaku
gelisah,nafsu makan turun atau hilang sama sekali, menghampiri pejantan, diam
dinaiki pejantan diikuti keluarnya cairan yang kental dan bening dari vulva,
adanya kemerahan dan kebengkakan vulva, saling menaiki, urinasi yang
berlebihan, mengembik terus menerus (Siregar et al. 2004). Karakteristik sel pada
saat ini yaitu penampakan histologi dari ulas vagina diawal periode ditandai
dengan banyak sel-sel yang bertanduk/kornifikasi (Leigh 2010).
Metestrus atau Postestrus. Metestrus ditandai dengan berhentinya puncak
estrus. Periode ini berlangsung selama 6–7 hari ((Fatet et al. 201). Menjelang
pertengahan sampai akhir metestrus, uterus menjadi agak lunak karena
pengendoran otot uterus. Folikel sudah mengalami ovulasi dan bekas folikel
setelah ovulasi mengecil dan berhentinya pengeluaran lendir. Ovarium akan
cekung karena bekas folikel yang ovulasi dan terbentuk korpus luteum dengan
konsistensi menyerupai jantung. Pada fase ini sekresi mukus vagina berkurang
dan epithel karunkula uterus hiperemis. Selama metestrus, rongga yang
ditinggalkan oleh pemecahan folikel mulai terisi dengan darah. Darah membentuk
struktur yang disebut korpus hemoragikum. Korpus hemoragikum mulai berubah
menjadi luteal,menghasilkan korpus luteum atau CL. Fase ini sebagian besar
berada di bawah pengaruh progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum.
Progesteron menghambat sekresi FSH dari pituitary anterior sehingga
menghambat pertumbuhan folikel ovarium dan mencegah terjadinya estrus.
Karakteristik sel pada saat ini yaitu ditandai dengan mulai terdapat leukosit (Leigh
2010).
Diestrus adalah periode terakhir dalam siklus estrus. Fase diestrus
merupakan fase korpus luteum bekerja secara optimal dan pengaruh progesteron
terhadap saluran reproduksi menjadi nyata. Fase ini merupakan fase yang
terpanjang di dalam siklus estrus. Periode ini berlangsung selama 10-11 hari
(Feradis 2010). Pada fase ini ovarium didominasi oleh korpus luteum dengan
bentuk permukaan yang tidak rata, menonjol keluar serta konsistensinya agak
keras dari korpus luteum pada fase metestrus.
Fase ini dimulai ketika konsentrasi progresteron darah meningkat dapat
dideteksi dan diakhiri dengan regresi korpus luteum. Fase ini disebut juga fase
persiapan uterus untuk kebuntingan. Baik terjadi kebuntingan maupun tidak, CL

7

akan tetap berkembang dengan sendirinya menjadi organ yang fungsional yang
menghasilkan hormon progesteron. Selama periode ini dibawah pengaruh hormon
progesteron dari korpus luteum. Korpus luteum ini tetap ada sampai hari ke 17
atau 18 dari siklus estrus. Uterus pada fase ini dalam keadaan relaksasi dan servik
dalam kondisi mengalami kontraksi. Perubahan selama diestrus yaitu periode
persiapan uterus untuk suatu kebuntingan,endometrium menebal dan kelenjarkelenjar uterusnya hypertropi, cervix tertutup, mukosa vagina pucat, akhir periode
endometrium dan kelenjar uterus mengalami atropi kembali. Periode diestrus
disebut pula periode istrahat dari alat kelamin. Bila terjadi kebuntingan korpus
luteum akan berlangsung sampai terjadi kebuntingan. Korpus luteum berubah
menjadi korpus luteum periodikum. Jika sel telur tidak dibuahi (tidak bunting)
maka CL akan berfungsi hanya beberapa hari setelah itu CL akan meluruh dan
akan masuk siklus estrus yang baru. Bila korpus luteum tidak regresi sedangkan
tidak dalam keadaan bunting maka disebut korpus luteum persisten (Senger
2003).
Fase diestrus biasanya diikuti pertumbuhan folikel pertama tapi akhirnya
mengalami atresia sedangkan pertumbuhan folikel kedua nantinya akan
mengalami ovulasi. Selama fase diestus tidak ada aktifitas seksual,terlihat folikel
kecil-kecil (folicle primer). Pada fase diestrus, histologi dari ulas vagina
menunjukkan karakteristik sel ditandai dengan banyak sel-sel yang memiliki
leukosit kemudian diakhir periode sel-sel berinti mulai muncul (Leigh 2010).
Lama Bunting dan Litter Size
Lama bunting adalah waktu dari saat terjadinya fertilisasi sampai saat
kambing partus (Sutama 2009). Lama bunting seekor ternak dipengaruhi oleh
faktor genetik dan faktor lingkungan baik internalmaupun eksternal (Gatot
Murdjitoet al. 2011). Lama bunting bervariasi tergantung dari spesies ternak,
bahkan antar individu dalam spesies yang sama. Beberapa laporan hasil penelitian
bahwa lama bunting pada kambing PE adalah 5-6 bulan (Astuti et al. 2007) 142–
156 hari (Sutama 2009). Sebagai pembanding, lama bunting pada jenis kambing
lain seperti pada kambing Bligon memiliki rataan 5.5 bulan dengan kisaran 5-6
bulan (Gatot Murdjito et al.2011) dan kambing Kacang sekitar 5 bulan (Loliwu
2002).
Litter size adalah jumlah anak sekelahiran. Kambing PE merupakan
kambing lokal yang mempunyai keragaan reproduksi yang cukup baik terutama
potensi genetik yang cukup tinggi pada jumlah anak sekelahiran (Sakul et al.
1994).Jumlah anak sekelahiran (litter size) kambing PE relatif tinggi 1.3–1.7 ekor
(Adriani et al. 2003; Sutama et al. 2007). Jumlah anak perkelahiran (litter size)
bervariasi 1 sampai dengan 3 ekor. Tinggi rendahnya litter size antara lain
dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor umur induk, bobot badan induk dan tingkat
nutrisi (Doloksaribu et al.2005), lingkungan dan iklim(Hardjosubroto1994).
Menurut Inounu (1996) pemberian pakan dengan tingkat nutrisi yang lebih tinggi
pada saat menjelang ovulasi akan meningkatkan jumlah ovum yang diovulasikan,
dimana jumlah ovum yang diovulasikan lebih dari satu berpeluang meningkatkan
jumlah anak sekelahiran.

8

Involusi Uteri dan Estrus Post Partum
Involusi uteri adalah proses uterus kembali ke ukuran normal setelah
melahirkan. Semakin lambat uterus kembali ke ukuran normal (involusi uterus)
akan semakin lambat ovarium untuk beraktivitas kembali yang mengakibatkan
siklus birahinya yang lambat. Menurut Tambing et al. (2001) faktor-faktor yang
mempengaruhi involusi uterus adalah suckling (menyusui), kualitas dan kuantitas
pakan, serta aktivitas hormonal. Semakin lama periode menyusui, kualitas dan
kuantitas pakan yang tidakoptimal dan kurangnya rangsangan hormonal
terutamaprostaglandin, akan memperlama involusi uterus yang mengakibatkan
masa selang beranak semakin panjang. Pelepasan PGF2α setelah melahirkan
diperlukan untuk meningkatkan tonus uterus dan selanjutnya merangsang involusi
(Jainudeen dan Hafez 1993). Involusi uterus pada kambing PE berkisar 20-40 hari
(Agrawal et al. 1992) dan pada kambing Boer 28 hari (Greyling 2000).
Estrus Post Partummerupakan kemampuan kambing menunjukkan estrus
kembali setelah beranak. Kambing PE termasuk bangsa kambing yang cukup
produktif, kondisi ini bisa dilihat dari kemampuan kambing menunjukkan estrus
kembali setelah melahirkan.Beberapa hasil penelitian terhadap kambing PE
memiliki Estrus Post Partum4.2 bulan (Utomo 2013), 64.19 hari atau 2.14 bulan
(Atabany et al. 2004 ). Pada jenis kambing lain seperti kambing Bligon 4.6 bulan
(Utomo 2013), 45–180 hari dengan rata-rata 95 hari (Murdjito et al. 2011) dan
122 hari (Rustadi 2008).
Days Open dan Selang Beranak
Days open atau lama kosong adalah lama waktu sesudah induk beranak
sampai dengan bunting kembali. Murdjito et al. (2011) menyebutkan bahwa Days
Open (DO) atau waktu kosong adalah lamanya waktu ternak kambing setelah
melahirkan sampai bunting lagi normalnya antara 2-3 bulan setelah kambing
menyapih anaknya. Lama kosong menunjukkan selang waktu antara saat beranak
sampai dengan terjadi konsepsi kembali (Hafez and Hafez 2008). Days open pada
seekor ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya IB yang mencakup
teknik inseminasi, penggunaan semen berkualitas baik dan kualitas estrus induk,
kesehatan ternak, fertilitas induk dan manajemen yang meliputi recording,
ketepatan dalam deteksi estrus dan nilai nutrisi yang memadai (Hafez and Hafez
2008). Days open yang hampir sama menunjukkan bahwa manajemen reproduksi
sudah baik. Susilawati dan Affandi (2004) menyatakan DO yang panjang
disebabkan oleh tingginya kegagalan inseminasi buatan sehingga S/C nya menjadi
tinggi, umur pertama kali dikawinkan lambat dan pertambahan berat badannya
yang lambat. Days open kambing PE 112.3+30.27 hari pada perkawinan alam dan
pada perkawinan IB sebesar 104.4+21.32 hari (Badriyah et al. 2014). Hasil
penelitian tentang lama kosong pada kambing Boer yakni selama 202.71± 90,54
hari sedangkan pada kambing persilangan Boer X Ettawa 208.04 ± 137.51 hari
(Parasmawati et al. 2013)
Selang Beranakmerupakan jangka waktu antara satu kelahiran dengan
kelahiran berikutnya. Selang beranak ditentukan oleh lama kebuntingan dan lama
waktu kosong. Menurut Sutama (2011) menyatakan selang beranak pada kambing
PE selama 8 bulan. Beberapa peneliti melaporkan kambing PE memiliki selang

9

beranak 8.33 bulan (Rustadi 2008), kisaran 8-10 bulan (Sutama et al. 2007), 240
hari (Sodiq dan Sumaryadi (2002). Sebagai pembanding selang beranak pada jenis
kambing yang lain seperti Bligon rata-rata 8.53 bulan dengan kisaran 7–12 bulan
(Murdjito et al. 2011), kambing West African Dwarf rata-rata 275.68 ± 608 hari
(9.2 bulan) dengan rentang waktu 187 s/d 478 hari (Odubote’s 2000). Sifat-sifat
reproduksi Kambing PE (Tabel1).
Tabel 1 Sifat Reproduksi pada kambing PE betina dan jantan
No.
1

Sifat Reproduksi
Betina
Tipe siklus birahi

2
3
4
5

Panjang siklus birahi
Lama birahi
Lonjakan sekresi LH (LH surge)
Ovulasi

6
7
8

Rataan (Kisaran)

Waktu kawin yang optimal
Lama bunting
Sumber hormon progesteron
selama kebuntingan
9
Tipe plasenta
10 Umur pubertas
11 Interval beranak
Jantan
12 Umur pubertas
13 Umur pemacek
14 Ratio kawin
15 Volume ejakulat
16 Konentrasi sperma
17 Motilitas sperma
18 Abnormalitas sperma
Sumber : Sutama (2011)

Polyestrus dan tidak terpengaruh
musim
20 hari (18 – 24 hari
36 jam ( 12 – 48 jam)
3-6 jam setelah onset birahi
12 – 24 jam setelah lonjakan LH atau
30 – 36 jam setelah onset birahi
24 – 36 jam setelah onset birahi
150 hari (147 – 155 hari)
Corpus luteum (CL)
Kotiledon
6 – 12 bulan
8 bulan
6 – 10 bulan
15 – 18 bulan
1: 3 - 4/ minggu
0.5 – 2 ml
1 – 3 milyar/ ml
> 70%
8 – 15 %

Anestrus Postpartum
Anestrus Postpartum adalah suatu keadaan dimana hewan tidak
menunjukkan gejala estrus setelah melahirkan (partus). Kejadian anestrus
postpartum dipengaruhi beberapa faktor, terutama faktor nutrisi yang rendah dan
kesalahan manajemen reproduksi. Defisiensi nutrisi yakni level energi yang
dikonsumsi mempunyai pengaruh yang nyata terhadap aktivitas ovarium.
Kekurangan nutrisi pada ternak betina akan menyebabkan hipofungsi ovarium.
Anestrus akibat hipofungsi ovarium yaitu gagalnya sel-sel folikel menanggapi
rangsangan hormonal, adanya perubahan kuantitas maupun kualitas sekresi
hormonal, menurunnya rangsangan yang berhubungan dengan fungsi
hipotalamus- ovarium menyebabkan menurunnya sekresi gonadotropin sehingga
tidak ada aktivitas ovarium setelah melahirkan. Defisiensi mineral atau vitamin

10

seperti kekurangan fosfor pada kambing menyebabkan fungsi ovarium terganggu
yang mengakibatkan pubertas tertunda, tanda-tanda estrus tidak jelas dan bahkan
tidak pernah menunjukkan estrus. Defisiensi vitamin A dan vitamin E dapat
menyebabkan tidak teraturnya siklus estrus atau anestrus. Ketersediaan pakan
merupakan faktor lingkungan yang penting untuk mempengaruhi lama anestrus
postpartum (Blache and Martin 2009). Anestrus postpartum juga bisa terjadi
akibat adanya korpus luteum persisten. kejadian ini karena tubuh kekurangan
nutrisi maka tidak mampu memproduksi hormon prostaglandin dalam jumlah
yang cukup untuk melisiskan korpus luteum setelah melahirkan. Fase anestrus
postpartum konsentrasi hormon estradiol rendah disebabkan karena rendahnya
produksi GnRh pada kambing, lamanya bisa mencapai 202.4±6.4 hari (Zarazaga
et al. 2005). Penelitian lain menyatakan 176 hari (Rivera et al. 2003).
Pemberian nutrisi yang cukup bagi ternak yang sedang mengalami anestrus
postpartum bisa mempersingkat waktu lama anestrus. Laporan Zarazaga et al.
(2005) mengatakan bahwa kambing anestrus postpartum menunjukkan aktivitas
reproduksi kembali berfungsi setelah mendapatkan nutrisi yang cukup.
Rangsangan aktivitas ovarium pada kasus anestrus (hipofungsi ovarium) bisa
dilakukan dengan menggunakan hormon Gn-RH. Seperti hasil penelitian,
dilaporkan penyuntikan GnRH pada kambing anestrus dapat menginduksi
pelepasan FSH dan LH (Holtz et al. 2008). Sebagai pembanding pada hewan lain
dilaporkan bahwa penyuntikan GnRH pada sapi yang sedang anestrus dapat
menginduksi pelepasan FSH dan LH (Yavas and Walton 2003). Gabungan
hormon estrogen dengan progesteron juga pernah dicoba pada sapi perah yang
mengalami anestrus, namun kurang berhasil dibandingkan hormon gonadotropin.
Penanganan yang paling efektif pada kasus hipofungsi ovarium adalah pemberian
FSH yang diikuti dengan pemberian LH (Dougall and Compton 2005).
ProstaglandinF2α (PGF2α)
Prostaglandin (PGF2α) merupakan hormon yang bekerja secara lokal,
karena mekanisme kerjanya terbatas pada organ penghasil dan segera diinaktifkan
di tempat yang sama (Senger 2003). Secara invivo PGF2α adalah hormon yang
disekresikan endometrium (Saoeni 2008). Di dalam tubuh hewan terdapat
berbagai jenis hormon prostaglandin yang memiliki tempat dan mekanisme kerja
berbeda-beda. Hormon reproduksi ini berperan sangat penting terhadap alur siklus
estrus, kebuntingan dan kelahiran pada hewan. Prinsip kerja prostaglandin di
dalam tubuh berfungsi sebagai hormon pengatur proses ovulasi, luteolisis dan
mempengaruhi efek beberapa hormon reproduksi misalnya Luteinizing Hormone
(Syarif dan Muchtar 1995). Hormon ini berfungsi secara efektif pada kambing
jika sudah memiliki korpus luteum.
Hormon prostaglandin memiliki sifat luteolitik yang berfungsi menginduksi
kejadian berahi dengan cara melisiskan korpus luteum (Saoeni 2007). PGF2α
bekerja melisiskan CL. Korpus luteum yang baru terbentuk dari peristiwa sel telur
yang ovulasi akan sensitiv terhadap hormon PGF2α (Rubianes et al. 2003).
Namun, adanya ambang optimal reseptor PGF2α didalam CL menyebabkan
tingkat kepekaan ternak kambing menurun dan akibatnya pengaruh yang
diharapkan gagal diekspresikan. Oleh sebab itu penyuntikan dosis tunggal untuk
penyerentakan berahi tidak akan menjamin seluruh hewan bisa berahi sekaligus.

11

Agar semua hewan bisa estrus dalam priode waktu yang hampir bersamaan
dilakukan penyuntikan kedua yaitu 11 atau 12 hari setelah penyuntikan pertama.
Dengan injeksi PGF2α dapat memicu perkembangan folikel walaupun pada
fase pertengahan luteal dari siklus (Contreras Solis et al. 2008). Hasil penelitian
Yacoub et al. (2011) menyatakan bahwa penggunaan PGF2α dalam program
sinkronsasi estrus dapat menimbulkan estrus pada kambing yang fase luteal Holtz
et al. (2008) mengatakan untuk mempersingkat lama waktu anestrus pada ternak
kambing dapat dilakukan dengan menggunakan hormon prostaglandin melalui
program sinkronisasi estrus dan superovulasi.
Mekanisme kerja prostaglandin adalah melisiskan atau meregresi CL yang
mengakibatkan terjadinya penurunan sekresi progesterone sehingga kembali
terjadinya siklus berahi yang dimulai dengan pertumbuhan folikel dalam ovarium.
Hal ini dapat terjadi karena prostaglandin menghambat aliran darah menuju CL.
Penghambatan aliran darah ini terjadi cukup lama dan menyebabkan regresi
bagian CL. Hal lain adalah fetus menghasilkan ACTH-RH,dimana terjadinya
lonjakan kadar ACTH dari fetus akan mengakibatkan peningkatan sekresi kortisol
melewati plasenta sehingga memicu produksi PGF2α dalam jumlah yang banyak
(Wodzicka-Tomaszewska et al. 1991). PGF2α diduga menyebabkan kontraksi
pembuluh darah uteroovarica sehingga terjadi hipoksia (pengecilan) sel luteum
dan menyebabkan luteolisis. Regresi CL akan diikuti dengan penurunan
konsentrasi progesteron. Penurunan kadar progesteron ini akan merangsang
hipofisa anterior melepaskan FSH dan LH. Kedua hormon ini bertanggung jawab
dalam proses folikulogenesis dan ovulasi sehingga terjadi pertumbuhan dan
pematangan folikel. Folikel-folikel tersebut akhirnya menghasilkan hormon
estrogen yang mampu memanifestasikan gejala berahi (Fonseca et al. 2005).
Penggunaan prostaglandin (PGF2α) pada sinkronisasi estrus dengan secara
intra muskuler satu kali pada fase luteal atau dua kali berselang sebelas hari tanpa
melihat siklus berahi hasilnya bervariasi antara 75%-100% (Macmilan et al.
1991). Hasil penelitian lain yaitu Tambing dan Sariubang (2008) menghasilkan
estrus 84.1%. Sedangkan Siregar et al. (2010) menghasilkan estrus 100%. Siregar
(2001) melaporkan, injeksi tunggal prostaglandin akan menghasilkan 80%
kambing estrus sedang injeksi kedua yang dilakukan 10 hari kemudian akan
menghasilkan 100% estrus dan dapat menghasilkan 93% estrus pada kambing
yang disinkronisasi (Rubianes and Menchaca 2003). Penelitian lain juga
menyatakan kambing mengalami estrus 100% setelah diinjeksi PGF2α pada
kambing yang telah ditanam CIDR-G (Hamdan et al. 2012). Penggunaan PGF2α
dikombinasikan dengan FGA dan eCG yang ditanam secara intravaginal pada
kambing selama 5 hari dapat menstimulasi estrus (Wildeus 2000).
Progesteron
Progesteron adalah nama umum untuk grup steroid yang terdiri dari 21
atom karbon (Murtidjo et al. 2011). Progesteron salah satu hormon penting yang
berhubungan dengan reproduksi yang disekresikan oleh sel-sel luteal korpus
luteum (Atabany 2000). Hormon ini juga disekresikan oleh plasenta dan glandula
adrenal. Konsentrasi progesteron serum darah dapat menentukan keadaan hewan
tersebut dalam keadaan infertil, normal, berahi, dan bunting sehingga dapat
digunakan untuk deteksi berahi, pemeriksaan kebuntingan dan mengetahui kondisi

12

patologis lainnya (Hartanto 1995). Progesteron ditransportasikan kedalam darah
melalui ikatan pada globulin seperti androgen dan estrogen. Progesteron berfungsi
menjaga kebuntingan dengan cara mempersiapkan uterus untuk implantasi embrio
melalui peningkatan glandula sekretori didalam endometrium dan menghambat
kontraksi miometrium (Senger 2003). Selain menjaga kebuntingan, hormon
progesteron berperan penting untuk menstimulasi terjadinya estrus pada kambing.
Mekanisme kerja progesteron dalam menstimulasi estrus dimulai dari
penurunan konsentrasi progesteron secara didalam darah. Penurunan kadar
hormon progesteron memicu hipotalamus untuk mensekresikan GnRH dan
hipofisa segera mensekresikan FSH ke dalam darah selanjutnya mempengaruhi
pertumbuhan folikel. Folikel yang tumbuh dan matang akan menghasilkan
estrogen dari sel theca folikel. Peningkatan kadar estrogen akan menyebabkan
umpan balik positif (positif feedback) terhadap LH pada hipotalamus sehingga
terjadi estrus dan ovulasi (Menchaca et al. 2007).
Peningkatan kadar hormon progesteron 2-3 minggu pertama setelah kawin.
Kenaikan kadar hormon progestron ini disebabkan karena pada awal kebuntingan
CL aktif menghasilkan progesteron dan terus meningkat selama fase luteal
(Llewelyn et al. 1997), sedangkan penurunan yang terjadi setelah fase tersebut
disebabkan oleh mulai menyusutnya fungsi CL pada hari ke 12-14, sehingga bila
ovum tidak dibuahi (tidak bunting) produksi progesteron akhirnya menurun. Hal
yang sama juga dikemukakan oleh Jarrel dan Dziuk (1991) bahwa kenaikan kadar
hormon progesteron terjadi sejak awal kebuntingan sampai pada hari ke-13
kebuntingan, tetapi sesudah itu terjadi penurunan. Dalam keadaan bunting, setelah
mengalami penurunan sampai minggu ke-6 terjadi peningkatan kadar hormon
progesteron lagi. Kejadian ini berkaitan dengan perkembangan plasenta yang
sudah sempurna, sehingga kenaikan progesteron tersebut diduga akibat
terbentuknya laktogen plasenta dengan tujuan untuk mempersiapkan uterus dalam
memelihara kebuntingan. Pendapat lain menyatakan bahwa kenaikan kadar
hormon progesteron tersebut diduga karena adanya progesteron yang dihasilkan
oleh plasenta, walaupun pada kambing jumlahnya sangat kecil
Progesteron mempersiapkan uterus dalam hal implantasi embrio dan
kebuntingan. Hasil penelitian menyebutkan bahwa kadar progesteron pada fetus
kembar lebih tinggi dari yang mempunyai fetus tunggal. Dalam hal ini
diasumsikan bahwa ternak dengan fetus tunggal juga mempunyai CL tunggal. CL
pada kambing sangat esensial dalam menghasilkan progesteron yang berfungsi
merangsang uterus mempersiapkan implantasi zygot dan untuk memelihara fetus
selama kebuntingan (Stabendfelt dan Edqvist 1993). Hasil penelitian, rataan kadar
hormon progesteron kambing PE selama 21 minggu kebuntingan masing-masing
6.75 ng/ml dan 8.69 ng/ml pada kambing beranak satu dan beranak dua/kembar
(Budiarsana dan Sutama 2001). Hasil lain hampir sama dilaporkan oleh Manalu et
al. (1996) bahwa kadar hormon progesteron selama 2 bulan terakhir masa
kebuntingan pada kambing dengan anak dua lebih tinggi dari yang beranak satu
11.11 vs 5.79 ng/ml. Progesteron beraksi secara sinergik dengan estrogen untuk
menginduksi tingkah laku estrus. Induksi estrus
bisa dilakukan dengan
memberikan progesteron dalam kurun waktu tertentu, baik secara oral,
penyuntikan maupun intravagina. Bahan penyerentak berahi dapat berupa
senyawa kimia yang mengandung hormon progesteron yang dikemas dalam
spons, yang dikenal dengan nama medroxyprogesteron acetate atau flugeston

13

acetate atau kemasan lain seperti CIDR-G mengandung 0.33 gram progesteron
alami.
Controlled Internal Drug Release (CIDR-G) adalah alat intravaginal yang
melepaskan progesteron untuk stimulasi siklus estrus dan pengendalian siklus
pada kambing. CIDR-G yang dibuat oleh Carter Holt Harvey Plastic Product
(New Zealand) mempunyai rangka dengan tubular T-shape dari bahan dasar nilon
dan diselubungi oleh silikon yang dipergunakan luas secara implan baik pada
manusia maupun pemberian pada hewan. Silicon bersifat inaktif dan tidak
mengiritasi membran mukosa yang sensitif seperti epitel vagina. CIDR-G
mengandung 0.33 gram progesteron alami. yang dikeluarkan secara bertahap
dalam aliran darah melalui difusi dari karet silicon yang dilapisi nilon dan
dicelupkan dalam larutan progesteron, bentuknya disesuaikan dengan bentuk
vagina (Inter 1996). Prinsip CIDR-G sebagai sumber progesteron eksogenous
diserap oleh vagina kedalam darah untuk memelihara level progesteron sehingga
menekan pengeluaran LH dan FSH dari hypothalamus selama waktu yang
direkomendasikan sesuai program.
Hormon progesteron yang diperoleh dari penanaman CIDR-G sangat besar
pengaruhnya pada kambing fase luteal. Perbedaan jumlah progesteron akan
mengakibatkan perbedaan perkembangan folikel diovarium. Jumlah progesteron
yang lebih banyak akan menstimulasi terjadinya perkembangan folikel lebih
banyak (Menchaca and Rubianes 2001) dan bisa menyebabkan banyak folikel
yang dominan (Diskin et al. 2002). Perkembangan folikel akan mempengaruhi
pematangan oosit dan waktu ovulasi (Burke et al. 2001). Hasil penelitian Roche
(2006) melaporkan bahwa jika jumlah folikel yang tumbuh dan matangmakin
banyak maka akan mengakibatkan sekresi estradiol menjadi banyak
(meningkat)sehingga menyebabkan awal estrus dan ovulasi yang lebih cepat.
Penggunaan CIDR-G telah terbukti efektif untuk mengontrol siklus estrus
pada spesies ruminansia. Beberapa studi melaporkan bahwa CIDR-G efektif
digunakan pada kambing, sinkronisasi dengan CIDR-G selama 10 hari yang
dikombinasikan dengan injeksi prostaglandin 2 hari sebelum pencabutan CIDR-G
efisien untuk memunculkan estrus dan ovulasi (Junaidi dan Norman 2005).
Penggunaan CIDR-G intravaginal selama 10 hari dikombinasikan dengan
suntikan prostaglandin bisa menghasilkan estrus 100 % (Diah et al. 2010).
Sunendar (2008) bahwa sinkronisasi estrus dengan implant CIDR-G
memperlihatkan onset estrus 20 - 40 jam setelah CIDR-G dilepas. Penggunaan
CIDR-G untuk ternak kambing dan domba bervariasi antara 10-17 hari,
penggunaan CIDR-G dengan kombinasi PGF2α pada ternak kambing selama 13
hari menunjukkan tingkat keserantakan estrus 80-100% (Feradis 2010).
Penggunaan CIDR-G menunjukkan onset estrus 27.2±0.4 jam sejak pencabutan
CIDR-G dengan lama estrus 32.2±0.7 jam Motlomelo et al. (2002). Hasil
penelitian Popalayah et al. (2013) bahwa sejak pencabutan CIDR-G menunjukkan
onset estrus pada kambing Bligon 40.2±19.3 jam dan kambing Kacang 52.6±18.4
jam dengan lama estrus masing-masing 34.6±15.4 jam dan 24.0±8,6 jam.
Penggunaan CIDR-G pada kambing hampir sama dengan domba dimana tingkat
kebuntingan dan beranak dari domba yang ditreatment dengan CIDR-G
menunjukkan tingkat kebuntingan tertinggi pada perlakuan dengan penanaman
CIDR-G selama 12 hari yaitu 91.2% (Fukui 1994). Hasil penelitian Sadat (2003)

14

melaporkan persentase tingkat kebuntingan sebesar 66.6% pada kambing yang
dikawinkan setelah penanaman CIDR-G selama 17 hari.
human Chorionic Gonadotrophin (hCG)
hCG merupakan glikoprotein dengan berat molekul 39.000 dan memiliki
struktur dan fungsi yang sama dengan LH. LH adalah hormon yang disintesis dan
disekresikan oleh gonadotropin dalam glandula hipofisa anterior sama seperti
FSH yang distimulasi oleh GnRH. Hormon LH mempunyai sub unit beta dengan
121 asam amino yang memberikan respon biologis spesifik dan bertanggung
jawab untuk interaksi dengan reseptor LH. Bagian gula hormon ini terdiri dari
fruktosa, galaktosa, mannosa, galaktosamine, dan asam sialat. Asam sialat penting
untuk waktu paruh biologisnya yang hanya sekitar 20 menit. LH berfungsi untuk