Identifikasi keragaman gen hormon pertumbuhan (EXON 2) pada kambing peranakan etawah (PE), saanen dan persilangannya (PESA) dengan metode PCR-SSCP

(1)

i

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN

(EXON 2) PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH (PE),

SAANEN DAN PERSILANGANNYA (PESA) DENGAN

METODE PCR-SSCP

SKRIPSI IRINE

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PETERNAKAN BOGOR 2011


(2)

ii

RINGKASAN

IRINE. D14070168. 2011. Identifikasi Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan (EXON 2) pada Kambing Peranakan Etawah (PE), Saanen dan Persilangannya (PESA) dengan Metode PCR-SSCP. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA Pembimbing Anggota : Dr. Jakaria, S.Pt, M.Si

Kambing merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang telah dikenal oleh masyarakat Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu genetik ternak kambing adalah dengan melakukan eksplorasi terhadap gen-gen potensial yang diduga kuat berpengaruh terhadap pertumbuhan. Salah satu gen mayor yang diduga kuat terkait dengan pertumbuhan adalah gen Growth Hormone

(GH) yang menghasilkan hormon pertumbuhan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan jaringan dan metabolisme lemak. Gen GH terbagi dalam sekuens nukleotida terdiri dari 5 exon dan 4 intron. Keragaman genetik pada tingkat DNA khususnya di gen GH pada kambing masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen GH exon 2 pada kambing Peranakan Etawah (PE), Saanen, dan persilangannya (PESA) dengan metode PCR-SSCP. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Sampel darah kambing yang berhasil diidentifikasi berjumlah 180 sampel yang terdiri dari kambing PE yang berasal dari Ciapus (4), Cariu (10), Sukajaya (46); kambing Saanen berasal dari Cijeruk (18), Cariu (29), Sukabumi (40); serta kambing PESA yang berasal dari Cariu (17) dan Balitnak (16). Amplifikasi gen GH dilakukan dengan menggunakan teknik PCR, sedangkan untuk identifikasi keragaman dilakukan menggunakan metode PCR-SSCP. Analisis data dilakukan dengan menghitung frekuensi alel dan genotipe serta derajat heterozigositas.

Gen GH kambing exon 2 yang berhasil diamplifikasi berukuran 198 pb. Pendeteksian keragaman gen GH exon 2 menghasilkan dua tipe alel, yaitu alel A dan alel B. Frekuensi alel A pada masing-masing bangsa, yaitu PE (76%), Saanen (63%), dan PESA (71%). Alel B memiliki frekuensi lebih kecil dibandingkan alel A pada semua bangsa, yaitu PE (24%), Saanen (37%), dan PESA (29%). Genotipe yang diperoleh adalah AB dan AA. Frekuensi genotipe AB pada masing-masing bangsa, yaitu PE (48%), Saanen (74%), dan PESA (58%), sementara genotipe AA pada masing-masing bangsa, yaitu PE (52%), Saanen (26%), dan PESA (42%). Nilai heterozigositas pengamatan pada masing-masing bangsa dari yang tertinggi sampai terendah, yaitu Saanen (74%), PESA (58%), dan PE (48%). Nilai heterozigositas harapan pada masing-masing bangsa, yaitu Saanen (47%), PESA (41%), dan PE (37%).

Kata-kata kunci: kambing Peranakan Etawah (PE), kambing Saanen, kambing persilangan Saanen + Etawah (PESA), gen Hormon Pertumbuhan, PCR-SSCP


(3)

iii

ABSTRACT

Growth Hormone Gene Polymorphisms (Exon 2) Identification on Peranakan Etawah (PE), Saanen and Crossbreeding (PESA) Goat Using

PCR-SSCP Method

Irine, Muladno, and Jakaria

The objective of this research was to identify exon 2 Growth Hormone (GH) gene polymorphism on Peranakan Etawah (PE), Saanen, and crossbreeding (PESA) goat using PCR-SSCP method. Identification analysis was carried out at Animal Molecular Genetic Laboratory, Department of Animal Production and Science Technology, Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University during Desember 2010 until March 2011. Total samples which identified are 180 samples of goat DNA which were consisting of the breed of PE which come from Ciapus (4), Cariu (10), Sukajaya (46); Saanen which come from Cijeruk (18), Cariu (29), Sukabumi (40); and PESA which come from Cariu (17) and Balitnak (16). The result shows that highest genotype was found at Saanen (AB) and PE (AA). The highest allele was found at PE (allele A) and Saanen (allele B). Ho values for PE, Saanen, and PESA are 48%, 74%, and 58%, respectively; furthermore He values in order are 37%, 47%, and 41%, respectively. It is concluded that all DNA samples used in analysis contains all genotype (AB, AA) and allele (A,B).


(4)

iv

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN

(EXON 2) PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH (PE),

SAANEN DAN PERSILANGANNYA (PESA)

DENGAN METODE PCR-SSCP

IRINE D14070168

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PETERNAKAN BOGOR 2011


(5)

v

Judul : Identifikasi Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan (EXON 2) pada Kambing Peranakan Etawah (PE), Saanen dan Persilangannya (PESA) dengan Metode PCR-SSCP

Nama : Irine NIM : D14070168

Menyetujui,

Mengetahui, Ketua Departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc) NIP: 19591212 198603 1 004

Tanggal Ujian: 09 Mei 2011 Tanggal Lulus: Pembimbing Utama,

(Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA) NIP: 19610824 198703 1 001

Pembimbing Anggota,

(Dr. Jakaria, S.Pt, M.Si) NIP: 19660105 199303 1 001


(6)

vi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 08 Maret 1989 di Baturaja, Sumatera Selatan. Penulis adalah anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Rusdi dan Ibu Lenawati.

Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1995 di Sekolah Dasar Xaverius 1 Baturaja dan diselesaikan pada tahun 2001. Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai pada tahun 2001 dan diselesaikan pada tahun 2004 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Xaverius 1 Baturaja. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Xaverius 1 Baturaja pada tahun 2004 dan diselesaikan pada tahun 2007.

Penulis diterima di Institut pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan pada tahun 2007. Penulis aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (HIMAPROTER) periode 2008-2009 sebagai staf Klub Unggas dan Keluarga Mahasiswa Buddhis Institut Pertanian Bogor (KMB-IPB) sebagai anggota, periode 2007-2011. Penulis pernah mengikuti kegiatan Pelatihan Penerapan Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) pada Agroindustri Peternakan di Bogor dan Banten pada tahun 2010. Penulis berkesempatan menjadi penerima beasiswa PERTAMINA pada tahun 2008/2009. Skripsi dengan judul Identifikasi Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan (Exon 2) pada Kambing Peranakan Etawah (PE), Saanen dan Persilangannya (PESA) dengan Metode PCR-SSCP diselesaikan penulis sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.


(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan studi, penelitian, dan penulisan skripsi dengan judul Identifikasi Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan (Exon 2) pada Kambing Peranakan Etawah (PE), Saanen dan Persilangannya (PESA) dengan Metode PCR-SSCP.

Beberapa hal yang mendasari dilakukannya penelitian ini diantaranya adalah 1) potensi kambing perah yang cukup tinggi, yaitu sebagai penghasil daging juga sebagai penghasil susu; 2) terbatasnya informasi keragaman genetik pada tingkat DNA khususnya di gen GH pada kambing.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen hormon pertumbuhan exon 2 pada kambing PE, Saanen, dan persilangannya (PESA) dengan metode PCR-SSCP. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini ditujukan sebagai informasi awal mengenai keragaman gen GH exon 2 kambing PE, Saanen, dan persilangannya (PESA) untuk penelitian selanjutnya, guna mendapatkan ternak kambing dengan kuantitas dan kualitas produksi yang lebih baik. Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan yang berarti bagi kemajuan peternakan Indonesia. Amin.

Bogor, Mei 2011


(8)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Sejarah Perkembangan Kambing ... 3

Bangsa-bangsa Kambing di Indonesia ... 3

Kambing Kacang ... 4

Kambing Kosta ... 5

Kambing Gembrong ... 6

Kambing Etawah (Jamnapari) ... 7

Kambing Saanen ... 7

Kambing Peranakan Etawah (PE) ... 8

Kambing PESA ... 9

Gen Hormon Pertumbuhan ... 10

Analisis Keragaman DNA ... 13

Penanda Molekuler ... 13

Metode PCR-SSCP (Polymerase Chain Reaction-Single Strand Conformation Polymorphism) ... 14

METODE ... 16

Lokasi dan Waktu ... 16

Materi ... 16

Sampel Darah ... 16

Primer GH ... 16

Formamide Dye ... 17

Gel Agarose 1,5% ... 17

Gel Poliakrilamida 12% ... 17

Pewarnaan Perak (Silver Staning) ... 17


(9)

ix

Prosedur ... 18

Ekstraksi DNA ... 18

Amplifikasi Gen GH ... 18

Pendeteksian Keragaman Gen GH dengan Metode PCR- SSCP ... 19

Pewarnaan Perak ... 19

Penentuan Genotipe Gen GH ... 19

Analisis Data ... 20

Frekuensi Alel dan Genotipe ... 20

Derajat Heterozigositas ... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

Amplifikasi Gen GH Exon 2 ... 22

Keragaman Gen GH Exon 2 ... 23

Frekuensi Genotipe dan Alel ... 26

Nilai Heterozigositas ... 29

KESIMPULAN DAN SARAN ... 32

Kesimpulan ... 32

Saran ... 32

UCAPAN TERIMA KASIH ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 34


(10)

x

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Sampel Darah Kambing ... 16 2. Frekuensi Genotipe Gen GH Exon 2 ... 27 3. Frekuensi Alel Gen GH Exon 2 ... 28 4. Nilai Heterozigositas Pengamatan dan Heterozigositas Harapan 30


(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kambing Kacang ... 5

2. Kambing Kosta ... 6

3. Kambing Gembrong ... 8

4. Kambing Etawah ... 8

5. Kambing Saanen ... 9

6. Kambing PE ... 9

7. Kambing PESA ... 10

8. Rekonstruksi Struktur Gen GH Berdasarkan Sekuens Gen GH yang Diakses di GenBank No. D00476 ... 11

9. Sekuens Gen GH pada Ternak Kambing yang Diakses di GenBank No. D00476 ... 12

10. Runutan Nukleotida Gen GH Exon 2 Berdasarkan GenBank No. D00476 ... 17

11. Hasil Visualisasi Pita Gen GH Exon 2 pada Kambing Algarvia dengan Metode PCR-SSCP ... 20

12. Hasil Amplifikasi Gen GH Exon 2 dengan PCR dalam Gel 1,5% Agarose ... 22

13. Hasil Pendeteksian Keragaman Gen GH Exon 2 ... 24

14. Rekonstruksi Genotipe Gen GH Exon 2 ... 24

15. Frekuensi Genotipe Gen GH Exon 2 ... 27

16. Frekuensi Alel Gen GH Exon 2 ... 29

17. Nilai Heterozigositas Gen GH Exon 2 pada kambing PE, Saanen, dan PESA ... 30


(12)

1 Kambing merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang telah dikenal oleh masyarakat Indonesia. Populasi ternak kambing terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari populasi kambing pada tahun 2005 sebesar 13.409.277 ekor menjadi 15.655.740 ekor pada tahun 2009 (Direktorat Jenderal Peternakan, 2010). Meskipun demikian, perkembangan ternak kambing masih termasuk rendah yang disebabkan oleh tingkat produktivitas masih rendah. Produktivitas ternak kambing yang rendah disebabkan oleh bibit ternak yang ada di masyarakat berkualitas rendah, baik ternak betina produktif maupun pejantan. Penyebab lain adalah masih tingginya perkawinan antara individu yang masih berkerabat dekat serta semakin menurunnya ternak yang bermutu baik karena banyak yang dijual (Subandriyo et al., 1995).

Kambing mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap iklim tropik yang ekstrim, fertilitas tinggi, interval generasi yang pendek, serta kemampuan memanfaatkan berbagai macam hijauan dengan efisiensi biologis yang lebih tinggi dibandingkan sapi (Heriyadi, 2004). Potensi kambing perah yang cukup tinggi, yaitu sebagai penghasil susu juga sebagai penghasil daging, maka peningkatan mutu ternak kambing harus dilakukan sehingga kuantitas dan kualitas produksi dapat ditingkatkan. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu genetik ternak kambing adalah dengan melakukan eksplorasi terhadap gen-gen potensial yang diduga kuat berpengaruh terhadap pertumbuhan.

Salah satu gen mayor yang diduga kuat terkait dengan pertumbuhan adalah gen Growth Hormone (GH). Gen-gen lain yang juga berpengaruh terhadap pertumbuhan diantaranya yaitu gen Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH),

Somatotropin Releasing-Inhibitor Factor (SRIF) (Anderson et al., 2004), Pituitary

-Specific Positive Transcription Factor 1 (PIT-1) (Brunsch et al., 2002), dan Insulin-like growth factor-1 (IGF-1) (Hartman, 2000).

Hormon pertumbuhan disandikan oleh gen GH. Gen GH terdiri atas 5 exon

dan 4 intron (Barta et al., 2001). Gen GH exon 2 memiliki dua macam alel dan dua macam genotipe, yaitu alel A dan B serta genotipe AB dan BB (Malveiro et al., 2001). PCR-SSCP (polymerase chain reaction-single strain conformation


(13)

2 polymorphism) merupakan metode yang sederhana, mudah, efisien, dan sangat sensitif dalam mendeteksi adanya keragaman pada tingkat DNA. Keterbatasan informasi mengenai keragaman gen GH pada kambing perah yang ada di Indonesia, khususnya kambing PE, Saanen dan PESA, menjadi dasar penelitian ini dilakukan.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman genotipe, jumlah alel, dan nilai heterozigositas genhormon pertumbuhan di exon 2pada kambing PE, Saanen, dan persilangannya (PESA).


(14)

3

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Perkembangan Kambing

Kambing merupakan hewan piaraan tertua yang didomestikasi setelah anjing dan domba. Domestikasi kambing pertama kali diperkirakan terjadi pada abad 7 sebelum Masehi, atau dua abad setelah domestikasi domba. Domestikasi kambing pertama kali terjadi oleh masyarakat yang hidup di Lembah Zawi Chemi Shanidar dan Gua Shanidar di daerah Pegunungan Zagros Asia Barat yang sekarang merupakan daerah di wilayah Irak Utara, kurang lebih sekitar 120 km dari Sungai Tigris (Gall, 1981; Devendra dan Burns, 1994; Moelijanto dan Wiryanta, 2002). Kambing yang berkembang sekarang berasal dari nenek moyang bangsa kambing yang hidup di daerah-daerah marginal dan berbatu (Capra hircus aegagrus) (Heriyadi, 2004).

Sampai saat ini diperkirakan terdapat lebih dari 300 bangsa kambing di seluruh dunia. Berdasarkan jumlah tersebut, baru sekitar 81 bangsa kambing yang telah diidentifikasi dan dideskripsikan dengan baik, minimum dapat dibedakan dari sisi performa fisik yang menyangkut sifat-sifat kualitatif dan sifat-sifat kuantitatif, serta hanya beberapa bangsa yang dapat dibedakan dari segi komposisi darah dan gen (Heriyadi, 2001). Bangsa kambing dapat dikelompokkan berdasarkan kegunaannya, yaitu kambing penghasil daging, susu, dan bulu (mohair). Ada pula beberapa bangsa kambing yang tergolong tipe dwiguna (dual purpose), seperti bangsa kambing PE yang tergolong tipe daging dan susu (Heriyadi, 2004).

Kambing termasuk ternak yang memiliki daya adaptasi tinggi, khususnya dari sisi toleransinya terhadap berbagai jenis hijauan, mulai dari jenis rumput-rumputan, leguminosa, rambanan, daun-daunan, sampai dengan semak belukar yang biasanya tidak disukaioleh jenis ruminansia lain, seperti sapi perah, sapi potong, kerbau, dan domba (Heriyadi, 2004).

Bangsa-bangsa Kambing di Indonesia

Bangsa kambing yang ada di Indonesia antara lain kambing Kacang (menyebar hampir di seluruh wilayah), kambing PE (banyak terdapat di pulau Jawa), kambing Etawah, kambing Kosta (banyak terdapat di provinsi Banten), dan kambing Gembrong (terdapat di pulau Bali dengan populasi yang terus menurun) (Heriyadi,


(15)

4 2001). Bangsa kambing di Indonesia dapat dikelompokkan berdasarkan kegunaannya, yaitu penghasil daging (kambing Kacang dan kambing Kosta), mohair (kambing Gembrong), susu (kambing PESA), serta tipe dwiguna (kambing PE, kambing Etawah dan kambing Saanen).

Kambing Kacang

Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia yang juga terdapat di Malaysia dan Philipina. Kambing Kacang sangat cepat berkembang biak, pada umur 15-18 bulan sudah dapat menghasilkan keturunan. Kambing ini cocok sebagai penghasil daging dan kulit, bersifat prolifik, tahan terhadap berbagai kondisi, dan mampu beradaptasi dengan baik di berbagai lingkungan yang berbeda termasuk dalam kondisi pemeliharaan yang sangat sederhana (Pamungkas et al., 2009).

Ciri-ciri kambing Kacang adalah antara lain bulu pendek dan berwarna tunggal (putih, hitam, dan cokelat). Warna bulunya dapat berasal dari campuran ketiga warna tersebut. Kambing jantan maupun betina memiliki tanduk yang berbentuk pedang, dan melengkung ke atas sampai ke belakang dengan telinga pendek dan menggantung. Janggut selalu terdapat pada jantan, sementara pada betina jarang ditemukan. Leher berukuran pendek dan punggung berbentuk melengkung. Kambing jantan berbulu surai panjang dan kasar sepanjang garis leher, pundak, dan punggung sampai ekor (Pamungkas et al., 2009) (Gambar 1).

Tingkat kesuburan kambing Kacang tinggi dengan kemampuan hidup dari lahir sampai sapih 79,4%, sifat prolifik anak kembar dua 52,2%, kembar tiga 2,6% dan anak tunggal 44,9%. Umur rata-rata dewasa kelamin adalah 307,72 hari dengan persentase karkas 44-51%. Rata-rata bobot anak lahir 3,28 kg dan bobot sapih (umur 90 hari) sekitar 10,12 kg (Pamungkas et al., 2009).


(16)

5 Gambar 1. Kambing Kacang (Pamungkas et al., 2009)

Kambing Kosta

Lokasi penyebaran kambing Kosta dilaporkan Setiadi et al. (2002) ada di sekitar Jakarta dan Propinsi Banten. Kambing ini dilaporkan mempunyai bentuk tubuh sedang, hidung rata dan kadang-kadang ada yang melengkung, tanduk pendek, dan berbulu pendek (Gambar 2). Kambing ini diduga terbentuk dari persilangan kambing Kacang dengan salah satu rumpun kambing impor (Khasmir/Angora/Etawah) (Pamungkas et al., 2009).

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, sebaran warna dari kambing Kosta ini adalah cokelat tua sampai hitam. Persentase terbanyak adalah warna hitam (61%), cokelat tua (20%), cokelat muda (10,2%), cokelat merah (5,8%), dan abu-abu (3,4%). Pola warna tubuh umumnya terdiri dari 2 warna, dan bagian yang belang didominasi oleh warna putih. Persentase sebaran warna, yaitu satu warna (38%), dua warna (56%), dan tiga warna (6%). Hasil pengamatan Setiadi et al. (2002) menunjukkan bahwa rataan lama bunting kambing Kosta adalah 146,33 hari dengan kisaran 142-148 hari. Rataan jumlah anak sekelahiran sebesar 1,71 ekor. Hal ini menunjukkan bahwa kambing Kosta cukup prolifik dengan rataan bobot lahir untuk kelahiran tunggal adalah 1,9 kg dan kelahiran kembar 1,49 kg. Permasalahan pengembangan kambing Kosta adalah masih tingginya laju mortalitas anak periode pra-sapih yaitu pada minggu pertama setelah kelahiran yakni sebesar 42,16 % (Pamungkas et al., 2009).


(17)

6 Gambar 2. Kambing Kosta (Pamungkas etal., 2009)

Kambing Gembrong

Kambing Gembrong berasal dari daerah kawasan Timur Pulau Bali terutama di Kabupaten Karangasem. Ciri khas kambing ini adalah berbulu panjang (15-25 cm), bahkan rambut pada bagian kepala menutupi muka dan telinga. Rambut panjang terdapat pada kambing jantan, sedangkan kambing Gembrong betina berbulu pendek berkisar 2-3 cm (Pamungkas et al., 2009) (Gambar 3).

Berdasarkan pengukuran dari berbagai aspek seperti panjang tubuh, tinggi pundak, lingkar dada, dan tinggi pinggul, kambing Gembrong lebih kecil dibandingkan kambing PE namun lebih besar dari kambing Kacang. Semakin besar ukuran permukaan tubuh, semakin berat bobot badannya. Pengamatan menunjukkan bahwa berat badan betina dewasa adalah 27,6 kg. Bobot badan kambing Gembrong betina lebih rendah dari kambing PE betina dewasa (40,2 kg) dan kambing Jawa randu betina dewasa (28,7 kg), namun sedikit lebih tinggi dari kambing Kacang (23,8 kg) (Setiadi et al., 2002).

Warna tubuh dominan kambing Gembrong adalah putih (61,5%), sebagian berwarna cokelat muda (23,08%) dan cokelat (15,38%). Pola warna tubuh umumnya adalah satu warna (69,23%) dan sisanya terdiri dari dua warna (15,38%) dan tiga warna (15,38%). Rataan litter size kambing Gembrong adalah 1,25. Rataan bobot lahir tunggal 2 kg dan kembar dua 1,5 kg. Tingkat kematian pra-sapih sebesar 20% (Pamungkas et al., 2009).


(18)

7

Kambing Etawah (Jamnapari)

Kambing Etawah asli atau dikenal dengan kambing Jamnapari berasal dari daerah Jamnapari India dengan ciri-ciri hidung melengkung, telinga panjang (30 cm) terkulai, kaki panjang dan berbulu panjang pada garis belakang kaki, warna bulu belang hitam putih atau merah, atau cokelat putih. Kambing Jamnapari sangat baik sebagai hewan perah, dan juga sering dipelihara sebagai penghasil daging. Kambing ini mempunyai banyak warna, termasuk warna putih, merah cokelat, dan hitam. (Devendra dan Burns, 1994). Kambing Jamnapari memiliki tinggi tubuh pada jantan dewasa 90-127 cm dan betina dewasa 76-92 cm (Sudono dan Abdulgani, 2002) (Gambar 4).

Bobot badan jantan dewasa sekitar 68-91 kg dan betina dewasa 36-63 kg. Rataan produksi susu sekitar 3 liter /ekor/hari dengan ambing relatif besar dan panjang seperti botol (Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan, 2008). Kambing Etawah digunakan secara luas untuk meningkatkan mutu kambing asli yang lebih kecil diberbagai negara seperti Malaysia dan Indonesia karena kemampuannya untuk menghasilkan susu dan potensi pertumbuhannya. Produksi susu sekitar 235 kg selama masa laktasi 261 hari (Devendra dan Burns, 1994). Persilangan dari kambing Etawah diantaranya adalah kambing PE dan Jawarandu sebagai penghasil susu.

Kambing Saanen

Kambing Saanen berasal dari Swiss barat dan mempunyai ciri-ciri berwarna putih, krem pucat, atau cokelat muda dengan bercak hitam pada hidung, telinga, dan ambing. Kambing Saanen baik jantan maupun betina berbulu pendek, telinga tegak dan mengarah ke depan (Gambar 5). Kambing Saanen umumnya dipelihara sebagai ternak penghasil daging dan susu (Devendra dan Burns, 1994).

Kambing Saanen sudah tersebar luas di seluruh dunia serta dapat menghasilkan susu 800 kg per ekor per masa laktasi yang berlangsung selama 250 hari. Bobot saat dewasa kelamin sekitar 65 kg. Kambing ini mempunyai rata-rata produksi susu tertinggi dibandingkan bangsa kambing manapun, dan karena alasan ini bangsa kambing ini telah diintroduksi ke banyak negara, termasuk Australia, Puerto Riko, Hindia Barat, India, Fiji, Ghana, Kenya, Korea, Israel, Malaysia, dan Filipina. Kambing ini sulit berkembang di daerah tropis karena kepekaannya terhadap sinar matahari (Devendra dan Burns, 1994).


(19)

8 Gambar 3. Kambing Gembrong Gambar 4. Kambing Etawah

(Pamungkas et al., 2009) (Rout et al., 1998)

Kambing Peranakan Etawah (PE)

Kambing PE adalah hasil persilangan kambing Kacang betina dengan kambing Etawah jantan. Kambing PE termasuk bangsa kambing dwiguna (dual purpose). Sebagai penghasil daging, bangsa kambing ini memiliki nilai lebih dibandingkan kambing lokal, yaitu ukuran tubuh yang lebih besar dan pada umur yang sama memiliki bobot potong lebih berat (Heriyadi, 2004). Selain sebagai penghasil daging, kambing PE betina memiliki kemampuan menghasilkan susu yang cukup baik. Kambing PE betina rata-rata dapat menghasilkan susu 1,2 liter/ekor/hari selama fase 70 hari pertama laktasi (Balai Penelitian Ternak, 2001).

Kambing PE memiliki karakteristik tubuh yang besar dengan bobot badan jantan dapat mencapai 90 kg dan betina 60 kg. Ciri-ciri spesifik kambing PE antara lain memiliki bentuk hidung benguk (chubby), kuping, kaki, dan bulu yang panjang, serta ambing besar dan produksi susu tinggi. Kambing PE telah beradaptasi dengan baik di Indonesia, dan banyak ditemukan di berbagai daerah di Pulau Jawa dan Madura, Pulau Sumbawa, dan Pulau Sumatra khususnya di Padang Mangatas (Direktorat Jenderal Peternakan, 2003).

Kambing PE mempunyai ciri-ciri antara kambing Kacang dengan kambing Etawah, yaitu bagian (1) telinganya panjang dan terkulai sampai dengan 18-30 cm; (2) warna bulu bervariasi dari cokelat muda sampai hitam; (3) bobot hidup kambing PE jantan dewasa sekitar 40 kg dan PE betina sekitar 35 kg dengan tinggi pundak 76-100 cm (Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Pengkajian Pertanian Nusa Tenggara Barat, 2009).


(20)

9 Gambaran umum kambing PE adalah mempunyai pangkal telinga terkulai, menggantung, dan melipat mengarah ke depan, tanduk pipih mengarah ke belakang, serta bulu kaki bagian belakang lebat dan panjang (Dinas Kehewanan dan Kelautan Purworejo, 2002) (Gambar 6). Kambing PE mampu beranak tiga kali dalam dua tahun dengan rataan jumlah anak sekelahiran 1-3 ekor (Balai Penelitian Ternak, 2001). Warna bulu ada yang tunggal; putih, hitam dan cokelat, tetapi jarang ditemukan. Kebanyakan terdiri dari dua atau tiga pola warna, yaitu belang hitam, belang cokelat, dan putih bertotol hitam (Pamungkas et al., 2009). Rataan bobot lahir kambing PE kelahiran tunggal adalah 3,2 kg untuk betina dan 3,7 kg untuk jantan, bobot badan kambing PE dewasa jantan berkisar antara 45-80 kg dan betina berkisar antara 30-50 kg (Setiadi dan Sutama, 1997).

Gambar 5. Kambing Saanen Gambar 6. Kambing PE

(Oklahoma State University, 1995) (Badan Standarisasi Nasional, 2008)

Kambing Peranakan Etawah dan Saanen (PESA)

Kambing PESA merupakan kambing hasil persilangan antara kambing PE betina dengan kambing Saanen jantan. Kambing PESA mempunyai produksi susu harian lebih baik daripada kambing PE, tetapi produksinya lebih rendah dari kambing Saanen impor dan kambing Saanen keturunan (F1) (Ruhimat, 2003). Produksi susu harian kambing Saanen, PE dan PESA di PT Fajar Taurus Dairy Farm masing-masing sebesar 2 liter, 1,6 liter, dan 1,8 liter (Noorcandratini, 2004). Kambing PESA mempunyai produksi susu yang lebih rendah dari Saanen karena mempunyai masa laktasi yang lebih pendek, dan merupakan persilangan dengan PE (tipe dwiguna) (Gambar 7). Rataan lama laktasi kambing Saanen keturunan (F1),


(21)

10 kambing Saanen impor, kambing PESA, dan kambing PE berturut-turut adalah 321,82±113,44 hari, 310,60±60,00 hari, 178±65,05 hari (Ruhimat, 2003) dan 170,07 hari (Atabany, 2001).

Gambar 7. Kambing PESA (Rachman, 2010)

Gen Hormon Pertumbuhan

Hormon pertumbuhan disekresikan oleh kelenjar pituitary yang berperan penting dalam laktasi (Baldi, 1999). Hormon pertumbuhan atau growth hormone

(GH) dibutuhkan untuk pertumbuhan jaringan dan metabolisme lemak yang berperan penting untuk reproduksi, laktasi, dan pertumbuhan tubuh normal (Burton et al., 1994). GH pada hewan yang sedang tumbuh berguna untuk meningkatkan efisiensi produksi, pengurangan deposisi lemak, merangsang pertumbuhan otot, meningkatkan efisiensi penggunaan pakan, meningkatkan pertumbuhan organ, dan meningkatkan pertumbuhan tulang (Etherton dan Bauman, 1998). GH berperan dalam pengaturan perkembangan kelenjar mamae pada ternak ruminansia (Akers, 2006). Hubungan tersebut menjadikan hormon pertumbuhan sebagai salah satu kandidat gen yang dapat digunakan sebagai penanda genetik dalam program seleksi ternak. Hormon pertumbuhan disandikan oleh gen GH.

Gen GH juga merupakan kandidat gen dalam pengaturan produksi susu, karkas, dan respon immun (Ge et al., 2003). Sekuens hormon gen GH pada kambing memiliki panjang 2544 pasang basa (pb) (Kioka et al., 1989). Gen GH terbagi dalam sekuens nukleotida terdiri dari 5 exon dan 4 intron yang sama pada spesies mamalia yang berbeda (Gambar 8) (Barta et al., 2001). Exon adalah pengkode protein sementara intron merupakan spacer internal antara pengkode protein pada saat


(22)

11 transkripsi bagian intron hilang (splicing), sehingga proses translasi berjalan dengan baik (Jakaria, 2008). Sekuens gen GH ditunjukkan pada Gambar 9 (Kioka et al., 1989). Gen GH memiliki keanekaragaman pola genotipe yang sangat tinggi pada

exon 3, 4 dan 5 sementara pada exon 1 dan 2 pola genotipe gen GH lebih terpelihara (seragam) (Marques et al., 2003). Pola genotipe gen GH pada exon 2 yaitu AB (75,9%) dan BB (24,1%) (Malveiro et al., 2001).

Beberapa parameter sekresi GH dan puncak laktasi berhubungan dengan hewan perah yang mempunyai nilai genetik yang tinggi (Reinecke et al., 1993) yang ditunjukkan oleh hewan yang memiliki produksi susu tinggi (mempunyai rata-rata level GH yang tinggi) (Vasilatos dan Wangsness, 1981). Keragaman gen GH pada kambing Algarvia (Portugis) yang diidentifikasi dengan metode single strand conformation polymorphism (SSCP) berhubungan dengan produksi, lemak, dan protein susu (Boutinaud et al., 2003). Keragaman haploid gen GH│HaeIII pada kambing Boer berpengaruh terhadap bobot lahir, bobot sapih, pertambahan bobot badan perhari sebelum sapih, dan bobot pada umur 11 bulan (Hua, 2009).

5’ 3’

kodon awal ATG kodon akhir TAG

exon 1 exon 2 exon 3 exon 4 exon 5

Flanking Intron 1 Intron 2 Intron 3 Intron 4 Flanking

region 5’ region 3’

Keterangan :

Lokus : D00476 Panjang : 2544 pb

Gen : 432-444, 692-852, 1080-1196, 1426-1587, 1864-2064

Sekuens depan : 431pb

Exon 1 : 432-444 = 13 pb Intron 1 : 445-691 = 247 pb Exon 2 : 692-852 = 161 pb Intron 2 : 853-1079 = 227 pb Exon 3 : 1080-1196 = 117 pb Intron 3 : 1197-1425 = 229 pb Exon 4 : 1426-1587 = 162 pb Intron 4 : 1588-1863 = 276 pb Exon 5 : 1864-2064 = 201 pb

Gambar 8. Rekonstruksi Struktur Gen GH Berdasarkan Sekuens Gen GH yang Diakses di GenBank No. D00476 (Kioka et al., 1989)


(23)

12 Gambar 8. Sekuens Gen GH pada Ternak Kambing yang

diakses di GenBank No. D00476 ( Kioka et al., 1989)

1 gggattttct gacccaggga ttaaacctga gtctcctgca tttgcagctc gattctttat 61 ggctgagcca cctgggaagc ccattcgttt ctgctacctc ccccttaaaa agaaaaccta 121 tggggtgggc tctcaagctg agaccctgtg tgtacagccc tcaggctggt ggcagtggag 181 aggggatgat gatgagcctg ggggacatga ccccagagaa ggaacgggaa caggatgagt 241 gagaggaggt tctaaattat ccattagcac aggctgccag tggtccttgc ataaatgtat 301 agagcacaca ggtgggggga aagggagaga gaagaagcca gggtataaaa agggcccagc 361 agagaccaat tccaggatcc caggacccag ttcaccagac gactcagggt cctgctgaca 421 gctcaccaac tatgatggct gcaggtaagc tcacaaaaat cccctccatt agcgtgtcct 481 aagggggtga tgcgggagaa ctgccgatgg atgtgtccac agctttgggt tttagggctt 541 ctgaatgcga acataggtat ctgcacccag acatttggcc aagtttgaaa tgttctcagt 601 ccctggaggg aagggcaggc gggggctggc aggagatcag gcatccagct ctctgggccc 661 ctccgtcgcg gccctcctgg tctctcccta gggccccgga cgtccctgct cctggctttc 721 accctgctct gcctgccctg gactcaggtg gtgggcgcct tcccagccat gtccttgtcc 781 ggcctgtttg ccaacgctgt gctccgggct cagcacctgc atcaactggc tgctgacacc 841 ttcaaagagt ttgtaagctc cccagagatg tgtcctagag gtggggaggc aggaaggggt 901 gaatccgcac cccctccaca caatgggagg gaactgagga cctcagtggt attttatcca 961 agtaaggatg tggtcagggg agtagaaatg ggggtgtgtg gggtggggag ggttccgaat 1021 aaggcagtga ggggaaccac acaccagctt agacccgggt gggtgtgttc tccccccagg 1081 agcgcaccta catcccggag ggacagagat actccatcca gaacacccag gttgccttct 1141 gcttctccga aaccatcccg gcccccacgg gcaagaatga ggcccagcag aaatcagtga 1201 gtggccacct aggaccgagg agcaggggac ctccttcatc ttaagtaggc tgccccagct 1261 ctctgcaccg ggcctggggt ggcgttctcc ctgaggtggc agagggtgtt ggatggcagt 1321 ggaggatgat ggttggtggt ggtggcagga ggtcctcggg cagaggccga ccttgcaggg 1381 ctgccccgag cccggggcac ccaccaacca cccatctgcc agcaggactt ggagctgctt 1441 cgcatctcac tgctccttat ccagtcgtgg cttgggcccc tgcagttcct cagcagagtc 1501 ttcaccaaca gcctggtgtt tggcacctcg gaccgtgtct atgagaagct gaaggacctg 1561 gaggaaggca tcctggcgct gatgcgggtg aggatggcgt tgttgggtcc cttccatgct 1621 gggggccatg cccaccctct cctggcttag ccaggagaac acacgtgggc tgggggagag 1681 agatccctgc tctctctctc tctttctagc agcccagtct tgacccagga gaaacctctt 1741 cccgttttga aacctccttc ctcgcccttc tccaagccta taggggaggg tggaaaatgg 1801 agcgggcagg agggagccgc tcctgagggc cttcggcctc tctgtctctc cctcccttgg 1861 caggagctgg aagatgttac cccccgggct gggcagatcc tcaagcagac ctatgacaaa 1921 tttgacacaa acatgcggag tgacgacgcg ctgctgaaga actacggtct gctctcctgc 1981 ttccggaagg acctgcacaa gacggagacg tacctgaggg tcatgaagtg tcgccgcttc 2041 ggggaggcga gctgcgcgtt ctagttgcca gccatctgtt gttacccctc cccgtgcctt 2101 cctagaccct ggaaggtgcc actccagtgc ccactgtcct ttcctaataa agcgaggaaa 2161 ttgcatcaca ttgtctgagt aggtgtcatt ctattctagg gggtggggtc aggcaggata 2221 gcgagaggga ggattgggaa gacaatagca gggatgctgt gggctctatg ggtacccagg 2281 tgctgaataa ttgacccggt tcttcctggg ccagaaggaa gcaggcacat ccccttctct 2341 gtgacacacc cggtcctcgc ccctggtcct tagttccagc cccactcata ggacactcat 2401 agctcaggag ggctctgcct tcagtcccac ccgctaaagt gcttggagcg gtttctcctt 2461 ccctcatcag cccaccaaac caaacctagc ctccaagagt gggaagaaat taaagcaaga 2521 caggctatga agtacagagg gaga

Gambar 9. Sekuens Gen GH pada Ternak Kambing yang Diakses di


(24)

13

Analisis Keragaman DNA

DNA digunakan sebagai bahan genetik karena dapat mewariskan sifat-sifat organisme induk. Genom adalah segmen DNA yang mengandung informasi genetika yang bisa diturunkan meliputi gen dan non gen. Molekul DNA adalah polimer dari Deoxyribonucleotida (basa, zat gula, dan satu atau lebih gugus fosfat). Polymerase chain reaction (PCR) adalah suatu reaksi in vitro untuk menggandakan molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA tersebut dengan enzim polymerase dan oligonukleotida pendek sebagai primer dalam mesin termocycler. Primer merupakan oligonukleotida spesifik yang menempel pada bagian sampel DNA yang akan diperbanyak. Enzim polymerase merupakan enzim yang dapat mencetak urutan DNA baru (Williams, 2005). Proses yang terjadi dalam mesin PCR meliputi tiga tahap utama, yaitu tahap pradenaturasi, tahap kedua yang terdiri dari 35 siklus yang masing-masing siklus terdiri dari denaturasi (pemisahan untai ganda DNA), penempelan (annealing), ekstensi awal molekul DNA, dan tahap terakhir adalah ekstensi akhir. Produk PCR dapat langsung divisualisasikan melalui proses elektroforesis dan dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut (Muladno, 2002).

Penanda Molekuler

Penanda molekuler merupakan pemanfaatan dari keragaman pada tingkat

deoxyribonucleic acid (DNA). Penanda molekuler memiliki peranan penting dalam genetika ternak, yang merupakan salah satu faktor utama yang mendasari terjadinya proses seleksi (Vignal etal., 2002).

Penanda molekuler yang utama digunakan pada hewan adalah Restriction Fragment Length Polymorphisms (RFLP), Microsatellites (MS), pemetaan genome, metode untuk mendeteksi marker-hubungan QTL dan penggunaan Marker Assisted Selection (MAS) (Montaldo dan Herrera, 1998), Single-Strand Conformation Polymorphisms (SSCP) (Livingstone et al., 1999). Penanda molekuler yang utama yang digunakan untuk pembiakan tanaman tetapi dengan penggunaan yang potensial dapat digunakan untuk hewan adalah Randomly Amplified Polymorphic DNA

(RAPD), Amplification Fragment Length Polymorphism (AFLP) (Montaldo dan Herrera, 1998).


(25)

14 Prinsip dasar penerapan MAS (Marker Assisted Selection) adalah adanya hubungan yang kuat secara statistik antara tipe gen (alel) tertentu dengan sifat ekonomis unggul. Kebanyakan sifat-sifat ekonomis penting merupakan sifat kuantitatif yang dikontrol oleh banyak gen dan masing-masing gen memberikan sedikit kontribusi pada sifat tersebut (Noor, 2004). Namun demikian, diprediksi terdapat beberapa gen utama yang memberikan kontribusi lebih pada variasi suatu sifat. Gen semacam ini disebut dengan gen mayor (major gene) yang terletak pada lokus sifat kuantitatif atau quantitative traits loci (QTL). Gen mayor yang dapat digunakan sebagai kandidat dalam program MAS adalah apabila gen tersebut mempunyai fungsi dan pengaruh biologis yang nyata terhadap sifat kuantitatif (Diyono, 2009).

Sistem mikrosatelit tersusun dari pengulangan DNA yang biasanya merupakan dinukleotida sederhana (seperti TG) yang setiap dinukleotida diulang sekitar sepuluh kali pada setiap lokus. Derajat polimorfisme yang tinggi dalam setiap ulangan memungkinkan penggunaannya sebagai penanda lokasi dalam penandaan genom. Penggunaan teknik RFLP, menjadi semakin intensif setelah dikembangkannya teknik amplifikasi fragmen DNA yaitu polymerase chain reaction

(PCR). Kombinasi teknik PCR dan RFLP merupakan teknik pertama yang dikembangkan untuk memvisualisasikan perbedaan level DNA yang didasarkan pada penggunaan enzim pemotong (restriction enzyme) yang dapat memotong pada sekuens nukleotida spesifik (Montaldo dan Herrera, 1998).

Metode PCR-SSCP (Polymerase Chain Reaction-Single Strand Conformation Polymorphism)

PCR-SSCP merupakan salah satu metode analisis lebih lanjut yang memanfaatkan produk PCR. Metode PCR-SSCP merupakan metode yang handal dalam mendeteksi adanya mutasi secara cepat (Hayashi, 1991). Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa perubahan asam nukleotida akan menyebabkan perubahan pola migrasi pada gel poliakrilamida nondenaturasi(Barroso et al., 1999). Mutasi dideteksi dari adanya perbedaan pola migrasi dari bentuk ikatan utas tunggal DNA pada gel poliakrilamida (Hayashi, 1991) yang disebut sebagai perubahan konformasi atau bentuk molekul. Perbedaan konformasi molekul akan menyebabkan


(26)

15 perbedaan migrasinya dalam gel poliakrilamid pada saat elektroforesis (Montaldo dan Herrera, 1998).

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi sensitivitas dari metode PCR-SSCP yaitu: (1) komposisi gel, (2) ukuran fragmen DNA, (3) komposisi buffer, termasuk kekuatan ion dan derajat keasaman, (4) ada tidaknya buffer aditif seperti gliserol, (5) suhu pada saat elektroforesis, (6) kosentrasi DNA, (7) kandungan basa G dan C dalam fragmen DNA (Nataraj et al., 1999). Barroso et al. (1999) menambahkan bahwa lokasi mutasi pada fragmen DNA juga dapat mempengaruhi sensitivitas dari metode PCR-SSCP.

Metode analisis SSCP meliputi beberapa tahapan seperti yang dijelaskan oleh Nataraj et al. (1999), yaitu tahap amplifikasi DNA target dengan cara PCR, tahap denaturasi DNA produk PCR pada suhu 94 0C, penambahan formamide dye, dan tahap elektroforesis dalam gel poliakrilamida nondenaturasi. Beberapa kelebihan SSCP dibanding metode lain, yaitu: (1) sederhana dan tidak memerlukan peralatan yang rumit dan khusus (Bastos et al., 2001; Nataraj et al., 1999), (2) dapat mendeteksi adanya mutasi pada fragmen DNA (Barroso et al., 1999) sehingga dapat dibedakan dengan yang normal (Nataraj et al., 1999), (3) visualisasi tidak perlu menggunakan bahan radioaktif (Nataraj et al., 1999), (4) dapat dikerjakan di laboratorium biasa dan tidak terlalu mahal (Bastos et al., 2001). Kekurangan PCR-SSCP, yaitu: (1) terbatas ukuran fragmen DNA yang dapat dianalisis, (2) butuh kondisi yang beragam untuk mendeteksi semua kemungkinan mutasi, (3) kadang-kadang sulit untuk mengintepretasikan pita-pita yang dihasilkan, (4) tidak efisien untuk fragmen DNA yang tidak diketahui urutan nukleotidanya. Prizenberg et al. (2005) menambahkan bahwa analisis SSCP juga terbatas dalam menentukan jumlah alel.

Keragaman gen GH pada kambing Algarvia (Portugis) yang diidentifikasi dengan metode single strand conformation polymorphism (SSCP) berhubungan antara pola genotipe yang beragam dari gen GH exon 4 dan exon 5 dengan produksi susu (Malveiro et al., 2001). Marques et al. (2003), menyatakan bahwa produksi susu berhubungan dengan pola genotipe GH exon 2 (tipe Jarmelista) dan GH exon 4 (tipe Ribatejano) dari keturunan kambing Serrana yang diidentifikasi dengan PCR-SSCP.


(27)

16

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan pada pertengahan bulan Desember 2010 sampai akhir bulan Februari 2011 di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi Sampel Darah

Sampel darah kambing yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel darah dalam alkohol 96% (1:2) yang berjumlah 233 sampel dari koleksi sampel Laboratorium Genetika Molekuler Ternak pada tahun 2009 dan 2010 yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sampel Darah Kambing

Bangsa Lokasi Jumlah (ekor)

PE

Ciapus 20

Cariu 28

Sukajaya 50

Saanen

Cijeruk 20

Cariu 31

Sukabumi 40

PESA Cariu 25

Balitnak 19

Total 233

Primer GH

Primer adalah molekul oligonukleotida yang berukuran pendek (sekitar 18-24 pasang basa) yang akan menempel pada DNA cetakan di tempat spesifik. Pasangan primer yang digunakan untuk mengamplifikasi gen GH adalah primer forward: 5’ -TCT AGG ACA CAT CTC TGG GG-3’ dan primer reverse: 5’-CTC TCC CTA GGG CCC CGG AC-3’. DNA target yang akan di amplifikasi berada di daerah exon


(28)

17 (Malveiro et al., 2001). Sekuens gen GH exon 2 yang diapit oleh pasangan primer (Forward dan Reverse) ditunjukkan oleh Gambar 10.

Keterangan : cetak tebal bergaris bawah (posisi primer)

Gambar 10. Runutan Nukleotida Gen GH Exon 2 Berdasarkan GenBank No. D00476 (Kioka et al., 1989)

Formamida Dye

Komponen formamida dye terdiri dari 80% formamida solution,10 mM EDTA, 1 mg/ml bromthymol blue, dan 1 mg/ml xylene cyanol.

Gel Agarose 1,5%

Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat 1 lembar gel agarose 1,5% adalah larutan 0,5 x TBE (Tris-Borat EDTA) 30 ml, serbuk agarose 0,45 gram, dan 2,5 μl EtBr.

Gel Poliakrilamida 12%

Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat 1 lembar gel poliakrilamid 12% adalah air destilata steril 12,3 ml, larutan 30% akrilamida (akrilamida : bis = 29: 1) 10 ml, 2,5 ml larutan 5 x TBE, TEMED 15 μl, dan 10% APS 150μl.

Pewarnaan Perak (Silver Staining)

Bahan-bahan yang digunakan dalam pewarnaan perak adalah larutan A, air destilata (200 ml), larutan B, dan larutan C. Larutan A terdiri dari 200 ml air destilata, 0,2 gram AgNO3, 80 μl NaOH, dan 800 μl ammonia. Larutan B terdiri dari 200 ml air

destilata, 6 gram NaOH dan 200 μl formaldehid, sementara larutan C terdiri dari 100 ml air destilata dan 100 μl asam asetat.

Ekstraksi DNA

Bahan-bahan yang digunakan dalam ekstraksi DNA adalah TE (Tris EDTA), STE (Sodium Tris-EDTA), NaCl, SDS, CIAA (chloroform iso amil alkohol), dan etanol.

661 ctccgtcgcg gccctcctgg tCTCTCCCTA GGGCCCCGGA Cgtccctgct cctggctttc

721 accctgctct gcctgccctg gactcaggtg gtgggcgcct tcccagccat gtccttgtcc 781 ggcctgtttg ccaacgctgt gctccgggct cagcacctgc atcaactggc tgctgacacc 841 ttcaaagagt ttgtaagctC CCCAGAGATG TGTCCTAGAg gtggggaggc aggaaggggt


(29)

18

Prosedur Ekstraksi DNA

Ekstraksi DNA dilakukan secara konvensional mengikuti metode Sambrook

et al. (1989). Sampel darah dalam EtOH diambil sebanyak 200 μl dan dipindahkan

kedalam tabung 1,5 ml, ditambahkan 1000 ml air destilata kemudian di homogenkan dan diamkan selama ± 5 menit. Campuran tersebut kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 8000 rpm selama 5 menit dan bagian supernatannya dibuang. Endapan sel-sel darah yang diperoleh dicuci dengan air destilata sebanyak dua kali. Tahap selanjutnya adalah penambahan 40 μl SDS 10%, 10 μl Prot K 5 mg/ml dan 1 x STE sampai volumenya 400 μl, dikocok pelan dalam inkubator pada suhu 550

C selama 2 jam. Molekul DNA dimurnikan dengan cara penambahkan larutan fenol sebanyak 400 μl, 400 μl CIAA, dan 40 μl 5M NaCl yang dikocok pelan pada suhu ruang selama 1 jam. Molekul DNA yang larut dalam fase air dipisahkan dari fase fenol dengan alat sentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 5 menit. Bagian DNA (bening) dipindahkan dengan menggunakan pipet ke tabung 1,5 ml baru dan ditambahkan 800 μl EtOH absolut serta 40 μl 5M NaCl, kemudian dibekukanselama satu malam. Molekul DNA kemudian dipisahkan dari EtOH absolut dengan cara sentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 5 menit, kemudian supernatan yang terbentuk dibuang. Endapan yang dihasilkan dicuci dengan menambahkan EtOH 70% sebanyak 800 μl. Molekul DNA dipisahkan dari EtOH 70% dengan sentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 5 menit. Supernatan yang diperoleh kemudian dibuang sehingga diperoleh endapan molekul DNA. Endapan tersebut didiamkan dalam keadaan terbuka sampai alkohol hilang dan disuspensikan dalam 100 μl TE 80% buffer TE (tris-EDTA) dan disimpan dalam freezer sampai akan digunakan.

Amplifikasi Gen GH

Amplifikasi gen GH secara in vitro menggunakan teknik PCR dengan mesin

thermocycler. Pereaksi PCR terdiri dari sampel DNA 1 μl, air destilata 8,9 μl, primer 0,2 μl, 10 x buffer 1,2 μl, dNTP 0,1 μl, MgCl2 0,5 μl, dan enzim Taq fermentas 0,1 μl dengan volume akhir 12 μl . Campuran tersebut kemudian diinkubasikan dalam mesin thermocycler dengan kondisi sebagai berikut: tahap pradenaturasi pada suhu


(30)

19 95 oC selama 5 menit, tahap kedua yang terdiri dari 35 siklus yang masing-masing siklus terdiri dari denaturasi pada suhu 95 oC selama 30 detik, penempelan (annealing) 63 oC selama 45 detik, ekstensi awal molekul DNA 72 oC selama 1 menit, dan tahap terakhir adalah ekstensi akhir 72 oC selama 5 menit.

Pendektesiaan Keragaman Gen GH dengan Metode PCR-SSCP

Elektroforesis dilakukan pada produk PCR yang telah dihasilkan dengan menggunakan gel agarose 1,5% dengan tegangan 150 volt. Produk PCR sebanyak 5 μl dicampur dengan loading dye (bromthymol blue 0,01%, xylene cyanol 0,01% dan gliserol 50%) 0,5 μl dimasukkan pada masing-masing sisir yang terdapat pada gel agarose 1,5%, kemudian ditambahkan dengan marker 100 pb. Setelah elektroforesis, (± 35 menit) gel agarose diambil untuk melihat panjang pita DNA dengan menggunakan UV-Transilluminator. Produk PCR yang tersisa (7 μl) kemudian ditambahkan formamide dye sebanyak 7 μl. Campuran tersebut diinkubasi dalam

water bath pada suhu 94 oC selama 5 menit dengan tujuan membuat fragmen DNA untai ganda menjadi untai tunggal. Setelah itu, tabung yang berisi campuran tersebut segera didinginkan pada suhu 0 oC selama 5 menit. Larutan formamida dye berfungsi untuk mencegah penempelan kembali antara DNA untai tunggal. Sampel sebanyak 10 μl didistribusikan dalam gel 12% poliakrilamida nondenaturasi untuk mendeteksi keragaman bentuk DNA untai tunggal. Alat elektroforesis dijalankan pada tegangan 370 V selama 18 jam di dalam refrigerator. Setelah itu, gel 12% poliakrilamida dikeluarkan dari cetakan dan dilakukan pewarnaan perak.

Pewarnaan Perak

Gel dikeluarkan dari cetakannya setelah elektroforesis selesai dan direndam dalam larutan A selama 8 menit. Setelah itu, larutan A dibuang dan gel dibilas dengan air destilata. Perendaman selanjutnya adalah menggunakan larutan B sambil digoyang sampai muncul pita. Larutan B dibuang setelah muncul pita, kemudian gel direndam dalam larutan asam asetat (larutan C) untuk menghentikan reduksi perak.

Penentuan Genotipe Gen GH

Keragaman gen GH dapat dideteksi dengan membandingkan banyaknya pita yang muncul dalam gel 12% poliakrilamida nondenaturasi. Penentuan tipe gen GH dalam penelitian ini adalah didasarkan pada perbedaan banyaknya pita yang muncul


(31)

20 disebabkan karena perbedaan konformasi fragmen DNA untai tunggal. Konformasi yang berbeda akan mempengaruhi laju migrasi gel 12% poliakrilamida nondenaturasi sehingga dapat diidentifikasikan keragamannya. Penentuan genotipe sampel mengacu pada Malveiro et al. (2001) (Gambar 11) namun berbeda dalam cara penamaannya, dalam penelitian ini didasarkan pada migrasi dari anoda (-) ke katoda (+), sehingga pita DNA yang lebih dahulu bermigrasi dinamakan A.

Gambar 11. Hasil Visualisasi Pita Gen GH Exon 2 pada Kambing Algarvia dengan Metode PCR-SSCP (Malviero etal., 2001)

Analisis Data Frekuensi Alel dan Genotipe

Keragaman genotipe tiap-tiap individu dapat ditentukan dari migrasi pita-pita DNA. Masing-masing sampel dibandingkan berdasarkan ukuran yang sama dan dihitung frekuensi alelnya (Nei dan Kumar, 2000) :

Keterangan :

Xi = frekuensi alel ke-i Xii = frekuensi genotipe ke-i nii = jumlah individu bergenotipe ii nij = jumlah individu bergenotipe ij N = jumlah total sampel

Frekuensi genotipe dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Walpole, 1995) :


(32)

21

Derajat Heterozigositas

Keragaman genetik (genetic variability) dilakukan melalui perhitungan nilai heterozigositas pengamatan (Ho), heterozigositas harapan (He) (Weir, 1996) :

Keterangan :

Ho = frekuensi heterozigositas pengamatan

N1ij = jumlah individu heterozigositas pada lokus ke-1 N = jumlah individu yang dianalisis

Keterangan :

He = frekuensi heterozigositas harapan P1i = frekuensi alel ke-1 pada lokus 1 n = jumlah alel pada lokus ke-1


(33)

22

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 2

Gen GH exon 2 pada ternak kambing PE, Saanen, dan persilangannya (PESA) berhasil diamplifikasi menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Pasangan primer yang digunakan berdasarkan Malveiro et al. (2001), yang digunakan pada ternak kambing Algarvia. Hasil amplifikasi gen GH pada gel agarose 1,5% disajikan pada Gambar 12.

Keterangan: M : Marker 100 bp

1-12 : sampel kambing PE dari Sukajaya

Gambar 12. Hasil Amplifikasi Gen GH exon 2 dengan PCR dalam Gel 1,5% Agarose

Menurut Malveiro et al. (2001), panjang gen GH exon 2 hasil amplifikasi dengan pasangan primer (Gambar 10) adalah 198 pb. Panjang fragmen gen GH exon

2 pada penelitian ini juga memiliki panjang 198 pb. Namun, terdapat perbedaan dengan panjang fragmen gen GH exon 2 yang diteliti oleh Kioka et al. (1989) yaitu 161 pb. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan bangsa kambing yang digunakan serta desain primer yang dirancang. Panjang fragmen hasil amplifikasi dapat diketahui dengan cara mencocokkan situs penempelan pasangan primer pada sekuens gen GH exon 2 (GenBank nomor akses D00476) (Lampiran 1).

Beberapa hal yang umum dilakukan untuk optimasi PCR diantaranya adalah suhu annealing (penempelan primer), konsentrasi Mg2+, konsentrasi primer, dan konsentrasi DNA target (Viljoen et al., 2005). Suhu annealing adalah suhu yang memungkinkan terjadinya penempelan primer pada DNA cetakan selama proses PCR. Suhu annealing sangat menentukan keberhasilan amplifikasi karena proses perpanjangan DNA dimulai dari primer. Suhu annealing (penempelan primer) yang 500 pb 300 pb 200 pb 100 pb 198 pb

(-)

(+) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 M


(34)

23 digunakan pada penelitian ini 63 oC selama 45 detik, berbeda dengan Malveiro et al. (2001) yaitu 65 oC . Meskipun terdapat perbedaan suhu annealing yang digunakan untuk mengamplifikasi gen GH exon 2, hal ini tidak menjadi masalah karena gen GH

exon 2 yang menjadi target tetap berhasil diamplifikasi.

Keberhasilan dalam mengamplifiksai DNA tergantung pada interaksi komponen PCR dalam konsentrasi yang tepat (Palumbi, 1996). Persentase keberhasilan amplifikasi gen GH exon 2 sekitar 77% atau sebanyak 180 sampel yang berhasil diamplifikasi dari total 233 sampel. Amplifikasi DNA yang kurang berhasil ini dapat disebabkan oleh adanya mutasi pada sekuens target yang mengakibatkan penempelan primer kurang tepat (mismatches) serta kualitas DNA yang rendah (konsentarsi atau kemurnian DNA). Selain itu, juga dipengaruhi oleh adanya inhibitor dalam sampel DNA, yaitu haemoglobin, yang dapat menghambat kerja enzim taqpolymerase (Al Soud dan Radstrom, 2001).

Keragaman Gen GH Exon 2

Pendeteksian keragaman gen GH exon 2 dengan metode PCR-SSCP dibedakan berdasarkan banyaknya pita yang muncul dan laju migrasi fragmen DNA. Genotipe gen GH exon 2 yang ditemukan dalam penelitian ini memiliki jumlah pita di bawah empat. Hasil ini sesuai dengan penelitian Bastos et al., (2001) yang menyatakan bahwa pita maksimum suatu sampel DNA dengan metode PCR-SSCP adalah empat pita.

Gen GH exon 2 pada penelitian ini yang ditemukan pada kambing perah PE, Saanen, dan PESA bersifat polimorfik (beragam), karena ditemukan dua genotipe pada exon 2 yaitu AB dan AA. Kondisi tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Malveiro et al. (2001) yang menemukan dua genotipe yang mempresentasikan dua alel yaitu genotipe AB dan BB serta alel A dan B. Masing-masing genotipe dibedakan berdasarkan jumlah pita yang muncul dalam gel poliakrilamida 12% nondenaturasi. Genotipe AB ditandai dengan adanya 2 pita dan genotipe AA ditandai dengan adanya 1 pita. Hasil pendeteksian keragaman gen GH

exon 2 dapat dilihat pada Gambar 13, sedangkan rekonstruksi hasil elektroforesis genotipe gen GH exon 2 disajikan pada Gambar 14.


(35)

24

A

Genotipe : AAB AB AA AB AB AB AB AB AB B

Keterangan : 1-9 : sampel kambing PE dari Sukajaya Gambar 13. Hasil Pendeteksian Keragaman Gen GH Exon 2

Gambar 14. Rekonstruksi Genotipe Gen GH Exon 2

Pendeteksian keragaman gen GH exon 2 dilakukan dengan metode

polymerase chain reaction-single strand conformation polymorphism (PCR-SSCP). Metode PCR-SSCP merupakan metode yang handal dalam mendeteksi keragaman DNA yang disebabkan adanya perubahan fragmen DNA dan mendeteksi level mutasi yang rendah (Yahyaoui, 2003). PCR-SSCP memiliki asumsi bahwa perubahan yang terjadi pada nukleotida akan mempengaruhi bentuk (konformasi) dari fragmen DNA untai tunggal (Bastos et al., 2001) dan laju migrasi pada saat elektroforesis.

AA AB

(-)

(+)


(36)

25 Persentase keberhasilan pendeteksian keragaman dengan PCR-SSCP adalah 100% dari 180 sampel DNA.

Tahapan dari metode PCR-SSCP terdiri dari amplifikasi DNA target dengan menggunakan mesin thermocycler, penambahan larutan formamide dye, denaturasi DNA produk PCR pada suhu 94 oC, dan tahap elektroforesis dalam gel poliakrilamida 12% nondenaturasi pada kondisi suhu yang konstan. Penambahan larutan formamide dye berfungsi untuk mencegah terjadinya penempelan kembali (redenaturasi) fragmen DNA untai tunggal dengan komplemennya setelah proses denaturasi, sehingga pada saat sampel dicelupkan dalam air es, suhu turun secara cepat, fragmen DNA untai tunggal akan melipat dan membentuk suatu konformasi yang kompleks. Tahap denaturasi yang sempurna akan sangat berpengaruh terhadap hasil elektroforesis. Denaturasi sampel yang tidak sempurna akan menyebabkan kesulitan dan kesalahan dalam melakukan identifikasi tipe maupun penentuan genotipe dari suatu sampel.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan dengan metode PCR-SSCP adalah:

1. Panjang Fragmen DNA

Gen GH exon 2 mempunyai panjang fragmen 198 pb. Sensitivitas dari metode PCR-SSCP dipengaruhi oleh panjang fragmen DNA gen hasil amplifikasi. Menurut Hayashi (1991) sensitivitas dari metode PCR-SSCP adalah 99% untuk fragmen DNA yang memiliki panjang 100-300 pb dan 89% untuk fragmen yang memiliki panjang 300-450 pb.

2. Suhu

Elektoforesis pada penelitian ini dilakukan dalam refrigerator dengan menggunakan kisaran suhu 4 oC. Suhu yang konstan sangat berpengaruh terhadap ketegasan dan ketajaman pita yang dihasilkan (Bastos et al., 2001) serta untuk menghindari pengaruh dari peningkatan suhu yang ditimbulkan oleh tegangan listrik. Elektroforesis dapat juga dilakukan pada suhu ruang, namun perlu ditambahkan

buffer aditif seperti gliserol ke dalam gel. Elektroforesis dalam penelitian ini dilakukan dalam refrigerator dengan suhu yang relatif konstan (4 oC), sehingga tidak diperlukan tambahan gliserol.


(37)

26

3. Konsentrasi Akrilamida

Konsentrasi akrilamida gel berpengaruh terhadap pendeteksian keragaman dalam SSCP. Konsentrasi akrilamida yang semakin rendah menghasilkan gel yang lebih lembut dan lebih sensitif dalam mendeteksi keragaman (Hayashi, 1991). Konsentrasi akrilamida yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12% (29:1). Hal ini sesuai dengan Muladno (2002) yang menyatakan efektivitas pemisahan DNA di dalam gel poliakrilamida bergantung dari konsentrasi akrilamida yaitu 12% untuk kisaran ukuran DNA 40-200 pb. Panjang target fragmen DNA yang digunakan adalah 198 pb.

4. Perbandingan Akrilamida dan Bis Akrilamida

Perbandingan akrilamida dan bis akrilamida yang digunakan akan berpengaruh terhadap lebar matriks yang akan dilewati oleh utas tunggal DNA. Barroso et al. (1999) menggunakan perbandingan 100:1 untuk menghasilkan kondisi gel terbaik. Ceriotti et al. (2004) menggunakan perbandingan 29:1, sedangkan Agung (2007) menggunakan perbandingan 59:1. Perbandingan akrilamida dan bis akrilamida yang digunakan dalam penelitian ini adalah 29:1 karena lebih efisien dari segi biaya. Perbedaan perbandingan tersebut tidak berpengaruh terhadap pendeteksian selama bentuk ikatan utas tunggal DNA masih dapat bermigrasi dalam matriks gel tersebut.

Frekuensi Genotipe dan Alel

Hasil analisis frekuensi genotipe pada fragmen gen GH pada kambing PE, Saanen, dan PESA disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 15. Frekuensi genotipe dan alel gen GH exon 2 berdasarkan kriteria bangsa ternak, yaitu kambing PE, Saanen, dan PESA. Keragaman genetik terjadi apabila terdapat dua alel atau lebih dalam suatu populasi (Nei dan Kumar, 2000).


(38)

27 Tabel 2. Frekuensi Genotipe Gen GH Exon 2

Bangsa

Kambing Lokasi

Genotipe

Total Frekuensi Genotipe

AB AA AB AA

PE

Ciapus 2 2 4 0,50 0,50

Cariu 6 4 10 0,60 0,40

Sukajaya 21 25 46 0,46 0,54

Subtotal 29 31 60 0,48 0,52

Saanen

Cijeruk 5 13 18 0,28 0,72

Cariu 29 0 29 1,00 0,00

Sukabumi 30 10 40 0,75 0,25

Subtotal 64 23 87 0,74 0,26

PESA Cariu 12 5 17 0,71 0,29

Balitnak 7 9 16 0,44 0,56

Subtotal 19 14 33 0,58 0,42

Total 112 68 180 0,62 0,38


(39)

28 Frekuensi genotipe fragmen gen GH exon 2 pada kambing PE memiliki genotipe AA lebih tinggi dibanding dengan genotipe AB. Hal ini berbeda dengan bangsa kambing Saanen dan silangannya (PESA) yang memiliki frekuensi genotipe AB yang lebih tinggi. Kondisi seperti ini juga didapatkan oleh Malveiro et al. (2001) yang menghasilkan frekuensi genotipe AB yang lebih tinggi dari frekuensi genotipe BB yaitu 0,759 dan 0,241, serta Marques et al. (2003) yang menghasilkan genotipe AB dan BB secara berturut-turut untuk tipe Ribatejano yaitu 0,902 dan 0,98 serta 0,935 dan 0,065 untuk tipe Jarmelista. Perbedaan frekuensi genotipe fragmen gen GH exon 2 antara kambing PE, Saanen, dan PESA disebabkan oleh perbedaan bangsa ternak.

Frekuensi alel adalah frekuensi relatif dari suatu alel dalam populasi atau jumlah suatu alel terhadap total alel yang terdapat dalam suatu populasi (Nei dan Kumar, 2000). Frekuensi alel disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 16.

Tabel 3. Frekuensi Alel Gen GH Exon 2 Bangsa

Kambing Lokasi Total

Frekuensi Alel

A B

PE

Ciapus 4 0,75 0,25

Cariu 10 0,70 0,30

Sukajaya 46 0,77 0,23

Subtotal 60 0,76 0,24

Saanen

Cijeruk 18 0,86 0,14

Cariu 29 0,50 0,50

Sukabumi 40 0,63 0,38

Subtotal 87 0,63 0,37

PESA Cariu 17 0,65 0,35

Balitnak 16 0,78 0,22

Subtotal 33 0,71 0,29


(40)

29 Gambar 16. Frekuensi Alel Gen GH Exon 2

Tabel 3 menunjukkan bahwa frekuensi alel A dan B pada gen GH exon 2 bersifat polimorfik sesuai dengan Nei (1987) yang mengatakan bahwa suatu alel dikatakan polimorfik jika memiliki frekuensi alel sama dengan atau kurang dari 0,99. Hasil analisis data tersebut memperlihatkan bahwa dari populasi kambing perah bangsa PE, Saanen, dan PESA, ketiganya mempunyai frekuensi alel A yang lebih tinggi dibandingkan dengan alel B. Hal tersebut disebabkan tidak ditemukannya bangsa kambing yang bergenotipe BB. Kemungkinan tidak ditemukannya genotipe BB di dalam populasi kambing ini karena terdapat keterbatasan pejantan yang digunakan atau disebabkan oleh banyaknya pejantan bergenotipe BB yang dipotong sehingga pejantan yang tersisa hanya bergenotipe AA.

Nilai Heterozigositas

Nilai heterozigositas merupakan cara yang paling tepat untuk mengukur keragaman genetik suatu populasi (Nei, 1987). Hasil analisis nilai heterozigositas pangamatan (Ho) dan heterozigositas harapan (He) gen GH exon 2 disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 17.


(41)

30 Tabel 4. Nilai Heterozigositas Pengamatan dan Heterozigositas Harapan

Bangsa

Kambing Lokasi Total

Heterozigositas Heterozigositas Pengamatan Harapan

PE

Ciapus 4 0,50 0,38

Cariu 10 0,60 0,42

Sukajaya 46 0,46 0,35

Subtotal 60 0,48 0,37

Saanen

Cijeruk 18 0,28 0,24

Cariu 29 1,00 0,50

Sukabumi 40 0,75 0,47

Subtotal 87 0,74 0,47

PESA Cariu 17 0,71 0,46

Balitnak 16 0,44 0,34

Subtotal 33 0,58 0,41

Total 180 0,62 0,43

Gambar 17. Nilai Heterozigositas Gen GH Exon 2 pada Kambing PE, Saanen, dan PESA

Hasil analisis nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan nilai heterozigositas harapan (He) mengindikasikan adanya perbedaan yang cukup besar pada ketiga


(42)

31 bangsa kambing yang diamati, khususnya pada bangsa kambing Saanen. Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) yang relatif lebih tinggi terdapat pada bangsa kambing Saanen (0,74) dan yang terendah pada bangsa kambing PE(0,48). Menurut Tambasco et al. (2003), perbedaan yang besar antara nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan nilai heterozigositas harapan (He) dapat dijadikan indikator adanya ketidakseimbangan genotipe pada populasi yang diamati. Ketidakseimbangan itu mengindikasikan bahwa belum ada kegiatan seleksi yang dilakukan secara intensif (Machado et al., 2003). Pada kasus ini, ketidakseimbangan ini disebabkan oleh tidak adanya perkawinan secara acak karena terbatasnya jumlah pejantan.


(43)

32

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Gen GH exon 2 pada populasi kambing PE, Saanen, dan persilangannya (PESA) bersifat polimorfik (beragam). Identifikasi keragaman gen GH exon 2 memperoleh dua macam genotipe, yaitu AB dan AA serta dua alel yaitu alel A dan B. Nilai heterozigositas yang diperoleh menunjukkan bahwa heterozigositas pengamatan berada pada kategori tinggi. Hal ini mencerminkan keragaman gen GH kambing exon 2 tinggi.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menentukan situs mutasi pada setiap genotipe yang diperoleh serta untuk mengetahui keterkaitan antara genotipe dengan sifat-sifat produksi susu.


(44)

33

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan nikmat yang tak terhingga sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Pembimbing skripsi Prof. Dr. Ir. Muladno MSA dan Dr. Jakaria S.Pt, M.Si yang telah mengarahkan, membimbing dan membantu pelaksanaan penelitian hingga tersusunnya skripsi ini.

2. Penguji seminar Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc atas segala masukan yang diberikan dan segala saran serta dukungan selama penulis berada di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

3. Penguji sidang Dr. Ir. Heri Ahmad Sukria, M.Sc dan Ir. Sri Darwati, M.Si yang telah memberi banyak masukan untuk perbaikan skripsi.

4. Pembimbing akademik Ir. Salundik, M.Si atas segala arahan, bimbingan dan motivasi yang diberikan.

5. Papa dan mama saya yang telah mencurahkan cinta dan kasih sayang, serta senantiasa memberi motivasi, dukungan, dan doa yang tiada henti. Adik-adik tersayang Imelda dan Ingrit yang selalu memberi warna dalam kehidupan penulis.

6. Kak Eryk Andreas, kak Restu Misrianti, Kak Surya Nur, Pak Muhammad Ihsan Andi Dagong, dan Pak Andi Baso Lompengeng Ishak atas segala bantuan dan bimbingannya selama penulis melakukan penelitian di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika Ternak.

7. Paulina, Ferdy, Lenny, Priskila, Revy, Ica, Diny, Wike, Gabby, Tiffany, Gina, Desy, Rahmah, Erwin yang bersama-sama penulis selama penelitian di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika Ternak.

8. Roceyana dan teman-teman IPTP 44 yang telah bersama saya selama 3 tahun, terima kasih atas persahabatan yang diberikan selama kuliah.

9. Leo Mualim dan Rahman Adi Nugroho yang telah membantu dan memberikan semangat kepada penulis sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan.

10. Yunny K., Arianti T., Meditiari dan KMB IPB terima kasih atas dukungan dan motivasinya.


(45)

34

DAFTAR PUSTAKA

Agung, P. P. 2007. Identifikasi keragaman gen κ-kasein dan β-laktoglobulin pada domba lokal Indonesia. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Akers, R. M. 2006. Major advances associated with hormone and growth factor regulation of mammary growth and lavtation in dairy cows. J. Dairy Sci. 89: 1222-1234.

Al-Soud, W. A. & P. Radstrom. 2001. Purification and characterization of PCR-inhibitory component in bloods cells. J. Clinical Microbiology. 39: 485-493. Anderson, L. L. S. Jeftinija & C. G. Scanes. 2004. Growth Hormone secretion:

molecular and cellular mechanisms and in vitro approaches. Exp. Biol. Med. 229: 291-302.

Atabany, A. 2001. Studi kasus produktivitas kambing Peranakan Etawah dan kambing Saanen pada peternakan kambing perah Barokah dan PT Taurus Dairy Farm. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Standarisasi Nasional. 2008. SNI 7325: Bibit kambing peranakan ettawa (PE).

http://www.agribisnis.deptan.go.id/../mutu..standarisasi/sni_7325 2008_bibit_kambing_pe.pdf [11 April 2011].

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan. 2008. Ternak Kambing. http://lampung.litbang.deptan.go.id/ind/images/stories/publikasi/kambing.pdf [2 Agustus 2010].

Balai Penelitian Ternak. 2001. Kambing PE penghasil daging sekaligus susu. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 23 No. 4. Ciawi, Bogor.

Baldi, A. 1999. Manipulation of milk production and quality by use of somatotropin in dairy ruminants other than cow. Domest. Anim. Endocrinol. 17: 131-137. Barroso, A., S. Dunner & J. Canon. 1999. Technical note: use of PCR-single strand

conformation polymorphism analysis for detection of bovine β-casein variants A1, A2, A3, and B. J. Anim. Sci. 77: 2629-2632.

Barta, C., Z. Ronai, M. Szekely- Sasvari & A. Guttman. 2001. Rapid single nucleotide polymorphism analysis by primer extension and capillary electrophoresis using polyvinyl pyrrolidone matrix. Electrophoresis 22: 779– 782.

Bastos, E., A. Cravador, J. Azevedo & H. G. Pinto. 2001. Single strand conformation polymorphism (SCCP) detection in six genes in Portuguese indigenous sheep breed “Churra da Terra Quente”. Biotechnol. Agron. Soc. Environ. 5 (1): 7 -15.

Boutinaud, M., C. Rousseau, D. H. Keisler & H. James. 2003. Growth hormone and milking frequency act differently on goat mammary gland in late lactation. J. Dairy Sci. 86: 509-520.


(46)

35 Brunsch, C., I. Strenstein., P. Reinecke & J. Bieniek. 2002. Analysis of associations of Pit-1 genotypes with growh, meat quality and carcass composition traits in pigs. J. Appl. Genet. 43 (1): 85-91.

Burton, J. L., B. W. McBride, E. Block & D. R. Glimm. 1994. A review of bovine growth hormone. Can J. Anim. Sci. 74: 167-201.

Ceriotti, G., S. Chessa, P. Bolla, E. Budelli, L. Bianchi, E. Duranti & A. Caroli. 2004. Single nucleotide polymorphisms in the ovine casein genes detested by polymerase chain reaction-single strand conformation polymorphism. J. Dairy Sci. 87: 2606-2613.

Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Pengkajian Pertanian Nusa Tenggara Barat. 2009. Beternak kambing intesif. http://ntb.litbang.deptan.go.id/ind/infotek/it-3.pdf [16 Juli 2010].

Devendra, C. 1980. Milk production in goats compared to buffalo and cattle in humid tropics. J. Dairy Sci. 63: 1755-1767.

Devendra, C. & M. Burns. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Terjemahan: I. D. K. Harya Putra. Institut Teknik Bandung, Bandung.

Dinas Kehewanan dan Kelautan Purworejo. 2002. Standarisasi Mutu Bibit Kambing PE. Dinas Kehewanan dan Kelautan, Purworejo.

Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Data Statistik Peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta.

Direktorat Jenderal Peternakan. 2003. Statistik Peternakan Tahun 2003. Departemen Pertanian, Jakarta.

Diyono, R. 2009. Karakteristik ukuran tubuh dan polimorfisme gen GH, GHRH dan Pit-1 pada populasi kerbau di Banten. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Etherton, T. D. & D. E. Bauman. 1998. Biology of somatotropin in growth and lactation of domestic animals. Physical Rev., 78: 745-761.

Gall, C. 1981. Goat Production. Academic Press Inc. Ltd. London.

Ge, W., M. E. Davis, H. C. Hines, K. M. Irvin & R. C. M. Simmen. 2003. Association of single nucleotide polymorphisms in the growth hormone and growth hormone receptor genes with blood serum insulin-like growth factor I concentration and growth traits in Angus cattle. J. Anim. Sci. 81: 641-648. Hartman, M. L. 2000. Physiological Regulations of Growth Hormone Secretion. 2nd

ed. Cambridge Unversity Press, Cambrige.

Hayashi, K. 1991. PCR-SCCP: A simple and sensitive method for detection of mutations in genomic DNA. PCR Method and Applications 1: 34-38.


(1)

36 Heriyadi, D. 2004. Standarisasi Mutu Bibit Kambing Peranakan Etawah. Kerjasama Penelitian antara Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat dengan Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran, Bandung.

Heriyadi, D. 2001. Teknik Produksi Ternak Ruminansia. Departemen Pendidikan Nasional. Proyek Pengembangan Sistem dan Standar Pengelolaan SMK Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Jakarta.

Hua, G. H. 2009. Polymorphism of the growth hormone gene and its association with growth traits in Boer goat bucks. Meat Sci. 81: 391-395.

Jakaria. 2008. Keragaman genetik gen hormon pertumbuhan pada sapi pesisir Sumatera Barat. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Kioka, N., E. Manabe, M. Abe, H. Hashi, M. Yato, M. Okuno, Y. Yamano, H. Sakai, T. Kumano, K. Utsumi & A. Iritani. 1989. Cloning and sequencing of goat growth hormone gene. Agric. Biol. Chem. 53: 1538-1592. hhtp://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/D00476 [3 Agustus 2010].

Livingstone, K. D., R. C. Grube & M. K. Jahn. 1999. Genom mapping, moleculer markers, and marker-assisted breeding for crop improvement in the United States. Biotechnology in Agriculture in Asia. Asian Productivity Organization, Tokyo.

Machado, M. A., I. Schuster, M. L. Martinez & A. L Campos. 2003. Genetic diversity of four breed using microsatellite markers. Rev. Bras. De Zool. 32: 93-98.

Malveiro, E., M. Pereira, P. X. Marques, I. C. Santos, C. Belo, R. Renaville & A. Cravador. 2001. Polymorphisms at the five exons of the growth hormone gene in the Algarvia goat: possible association with milk traits. Small Rumin. Res. 41: 163-170.

Marques, P. X., M. Pereira, M. R. Marques, I. C. Santos, C. C. Belo, R. Renaville & A. Cravador. 2003. Association of milk traits with SSCP polymorphisms at the growth hormone gene in Serrana goat. Small Rumin. Res. 50: 177-185. Moelijanto, R. D. & B. T. W. Wiryanta. 2002. Sehat dengan Ramuan Tradisional

Khasiat dan Manfaat Susu Kambing Terbaik dari Hewan Ruminansia. PT AgroMedia Pustaka, Depok.

Moioli B., F. Napolitano & G. Catillo. 2004. Genetic diversity between Piedmontese, Maremmana, and Podolica cattle breeds. J. Hered. 95: 250-256.

Montaldo, H. H. & C.A.M Herrera. 1998. Use of molecular markers and major genes in the genetic improvement of livestock. J. Biotechnol 1(2).

Muladno. 2002. Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. Pustaka Wira Usaha Muda, Bogor.


(2)

37 Nataraj, A. J., L. O. Glander, N. Kusukawa & W. E. Highsmith Jr. 1999.

Single-strand conformation polymorphism and heteroduplex analysis for gel-based mutation detection. Electrophoresis. 20: 1177-1185.

Nei, M. 1987. Molecular Evalutionery Genetics. Columbia University Press, New York.

Nei, M. & S. Kumar. 2000. Molecular Evolution and Phylogenetics. Oxford University Press, Inc., New York.

Noor, R. R. 2004. Genetika Ternak. Edisi Keempat. Penebar Swadaya, Jakarta. Oklahoma State University. 1995. Breeds of Livestock. Oklahoma State University

Board of Regents. http://www.ansi.okstate.edu/breeds/goats/ [ 10 April 2011]. Palumbi, S. R. 1996. Nucleid acid II: The polymerase chain reaction. In: D. M. Hillis, C. Moritz & B. K. Mable (Editor). Molecular Systematics. 2nd Edition. Sinauer associates. Inc., Massachusetts USA.

Pamungkas, F. A., A. Batubara, M. Doloksaribu & E. Sihite. 2009. Potensi beberapa plasma nutfah kambing lokal Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.http://lolitkambing.litbang.deptan [ 3Agustus 2010]

Prizenberg, E. M., K. Gutscher, S. Chessa., A. Caroli & G. Erhardt. 2005. Caprine k-casein (CSN3) polymorphism: New developments in molecular knowledge. J. Dairy Sci. 88: 1490-1498.

Rachman, A. B. 2010. Telaah komposisi dan isolasi laktoferin pada kolostrum dan susu dari berbagai bangsa kambing. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Reinecke, R., M. Barnes, R. Akers & R. Pearson. 1993. Effect of selection for milk yield on lactation performance and plasma growth hormone, insulin and IGF-1 in first lactations Holstein cows. J. Dairy Sci. 76 (Suppl. IGF-1): 286.

Rout, P. K., A. Mandal, M. K. Singh, R. Roy, N. Sharma & G. F. W. Haenlein. 1998. Jamunapari A Dairy Goat Breed in India. Genetics Division, Central Institute for Research on Goats Makhdoom, Post Farah, Mathura Uttar Pradesh, India. Ruhimat, A. 2003. Produktivitas kambing persilangan peranakan etawah betina

dengan saanen jantan (PESA) di PT. Taurus Dairy Farm. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sambrook, J., EF. Fritsch & T. Maniatis. 1989. Molecular Cloning: a Laboratory Manual. United State of America: CSH Laboratory Press.

Setiadi, B. & I. K. Sutama. 1997. Kambing Peranakan Etawah, Kambing Perah Indonesia. Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Setiadi, B., B. Tiesnamurti, Subandryo, T. Sartika, U. Adiati, D. Yulistiani & I. Sendow. 2002. Koleksi dan Evaluasi Karakteristik Kambing Kosta dan


(3)

38 Gembrong secara Ex-situ. Laporan Hasil Penelitian APBN 2001. Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor. Hal 59-73.

Subandriyo, B. Setiyadi, D. Priyanto, M. Rangkuti, W. K. Sejati, D. Anggraeni, Hastono & O. S. Butarbutar. 1995. Analisis Potensi Kambing Peranakan Ettawa dan Sumberdaya di Daerah Sumber Bibit Pedesaan. Puslitbang Peternakan, Bogor.

Sudono, A. & I. K. Abdulgani. 2002. Budidaya Aneka Ternak Perah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Tambasco D. D., C. C. P. Paz, M. Tambasco-Studart, A. P. Pereira, M. M. Alencar, A. R. Freitas, L. L. Countinho, I.U. Packer & L. C. A. Regitano. 2003. Candidate genes for growth traits in beef cattle crosses Bos Taurus x Bos indicus. J. Anim. Bred. Genet. 120: 51-60.

Vasilatos, R. & P. J. Wangsness. 1981. Diurnal variations in plasma insulin and growth hormone associated with two stages of lactation in high producing dairy cows. Endocrinology 108: 300-304.

Vignal, A., D. Milan, M. Sancristobel & A. Eggen. 2002. A review on SNP and other types of molecular markers and their use in animal genetics. Genet Sel. 34:275-305.

Viljoen, G. J., L. H. Nel & J. R. Crowther. 2005. Molecular Diagnostic PCR Handbook. Springer, Dordrecht, Netherland.

Walpole, R. E. 1995. Pengantar Statiska. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta.

Weir. B. S. 1996. Genetic Data Analysis: Method for Discrete Population Genetic Data. 2nd. Sinauer Associates. Senderland, MA USA.

Williams, J. L. 2005. The use of marker assisted selection in animal breeding and biotechnology. Rev Sci Technol Int Epiz. 24: 379-391.

Yahyaoui M. H. 2003. Genetic polymorphism in goat. Tesis. Fakultad de Veterinaria. Universida de Barselona, Spanyol. http://www.tesisenxarxa.net [23 Maret 2011].


(4)

39 LAMPIRAN

Sekuens Lengkap Gen GH Exon 2 pada Capra Hircus

Capra

hircus

gene for growth hormone, complete cds

GenBank : D00476.1

LOCUS GOTGHRA 2544 bp DNA linear MAM 12-JUL-2007 DEFINITION Capra hircus gene for growth hormone, complete cds. ACCESSION D00476

VERSION D00476.1 GI:217664 KEYWORDS .

SOURCE Capra hircus (goat) ORGANISM Capra hircus

Eukaryota; Metazoa; Chordata; Craniata; Vertebrata; Euteleostomi;Mammalia; Eutheria; Laurasiatheria;

Cetartiodactyla; Ruminantia;Pecora; Bovidae; Caprinae; Capra.

REFERENCE 1 (bases 1 to 2544)

AUTHORS Kioka,N., Manabe,E., Abe,M., Hashi,H., Yato,M.,

Okuno,M.,Yamano,Y., Sakai,H., Komano,T., Utsumi,K. and Iritani,A.

TITLE Cloning and sequencing of goat growth hormone gene JOURNAL Agric. Biol. Chem. 53, 1583-1587 (1989)

COMMENT In <Agric. Biol. Chem. 53, 1583-1587 (1989)>, they

discuss that the differences in the nucleotide sequences between the goat growth hormone cDNA and the chromosomal gene may be due to polymorphic

differences in individual goats. FEATURES Location/Qualifiers source 1..2544

/organism="Capra hircus" /mol_type="genomic DNA" /sub_species="Tokara" /db_xref="taxon:9925" /tissue_type="spleen"

/note="375 bp upstream of BamHI site.;

a genomic library using bovine growth hormone cDNA as a probe"

TATA_signal 344..349

/note="TATA box" prim_transcript 374..2169

/note="GH mRNA and introns"

CDS join(432..444,692..852,1080..1196,1426..1587, 1864..2064)

/note="GH" /codon_start=1

/product="growth hormone" /protein_id="BAA00368.1" /db_xref="GI:217665"

/translation="MMAAGPRTSLLLAFTLLCLPWTQVVGAFPAMSL

SGLFANAVLRAQHLHQLAADTFKEFERTYIPEGQRYSIQNTQVAFCF SETIPAPTGKNEAQQKSDLELLRISLLLIQSWLGPLQFLSRVFTNSL

VFGTSDRVYEKLKDLEEGILALMRELEDVTPRAGQILKQTYDKFDTN MRSDDALLKNYGLLSCFRKDLHKTETYLRVMKCRRFGEASCAF"


(5)

40

/number=1 intron 445..691 /number=1 protein_bind 475..480

/note="glucocorticoid receptor binding site" /bound_moiety="human glucocorticoid receptor" exon 692..852

/number=2 intron 853..1079 /number=2 exon 1080..1196 /number=3 variation 1148

/note="c in genomic clone; t in cDNA clone" /replace="t"

intron 1197..1425 /number=3 exon 1426..1587 /number=4 intron 1588..1863 /number=4 exon 1864..>2064 /number=5 variation 2055

/note="c in genomic clone; t in cDNA clone" /replace="t"

ORIGIN

1 gggattttct gacccaggga ttaaacctga gtctcctgca tttgcagctc gattctttat 61 ggctgagcca cctgggaagc ccattcgttt ctgctacctc ccccttaaaa agaaaaccta 121 tggggtgggc tctcaagctg agaccctgtg tgtacagccc tcaggctggt ggcagtggag 181 aggggatgat gatgagcctg ggggacatga ccccagagaa ggaacgggaa caggatgagt 241 gagaggaggt tctaaattat ccattagcac aggctgccag tggtccttgc ataaatgtat 301 agagcacaca ggtgggggga aagggagaga gaagaagcca gggtataaaa agggcccagc 361 agagaccaat tccaggatcc caggacccag ttcaccagac gactcagggt cctgctgaca 421 gctcaccaac tatgatggct gcaggtaagc tcacaaaaat cccctccatt agcgtgtcct 481 aagggggtga tgcgggagaa ctgccgatgg atgtgtccac agctttgggt tttagggctt 541 ctgaatgcga acataggtat ctgcacccag acatttggcc aagtttgaaa tgttctcagt 601 ccctggaggg aagggcaggc gggggctggc aggagatcag gcatccagct ctctgggccc 661 ctccgtcgcg gccctcctgg tctctcccta gggccccgga cgtccctgct cctggctttc 721 accctgctct gcctgccctg gactcaggtg gtgggcgcct tcccagccat gtccttgtcc 781 ggcctgtttg ccaacgctgt gctccgggct cagcacctgc atcaactggc tgctgacacc 841 ttcaaagagt ttgtaagctc cccagagatg tgtcctagag gtggggaggc aggaaggggt 901 gaatccgcac cccctccaca caatgggagg gaactgagga cctcagtggt attttatcca 961 agtaaggatg tggtcagggg agtagaaatg ggggtgtgtg gggtggggag ggttccgaat 1021 aaggcagtga ggggaaccac acaccagctt agacccgggt gggtgtgttc tccccccagg 1081 agcgcaccta catcccggag ggacagagat actccatcca gaacacccag gttgccttct 1141 gcttctccga aaccatcccg gcccccacgg gcaagaatga ggcccagcag aaatcagtga 1201 gtggccacct aggaccgagg agcaggggac ctccttcatc ttaagtaggc tgccccagct 1261 ctctgcaccg ggcctggggt ggcgttctcc ctgaggtggc agagggtgtt ggatggcagt 1321 ggaggatgat ggttggtggt ggtggcagga ggtcctcggg cagaggccga ccttgcaggg 1381 ctgccccgag cccggggcac ccaccaacca cccatctgcc agcaggactt ggagctgctt 1441 cgcatctcac tgctccttat ccagtcgtgg cttgggcccc tgcagttcct cagcagagtc 1501 ttcaccaaca gcctggtgtt tggcacctcg gaccgtgtct atgagaagct gaaggacctg 1561 gaggaaggca tcctggcgct gatgcgggtg aggatggcgt tgttgggtcc cttccatgct 1621 gggggccatg cccaccctct cctggcttag ccaggagaac acacgtgggc tgggggagag 1681 agatccctgc tctctctctc tctttctagc agcccagtct tgacccagga gaaacctctt 1741 cccgttttga aacctccttc ctcgcccttc tccaagccta taggggaggg tggaaaatgg 1801 agcgggcagg agggagccgc tcctgagggc cttcggcctc tctgtctctc cctcccttgg 1861 caggagctgg aagatgttac cccccgggct gggcagatcc tcaagcagac ctatgacaaa 1921 tttgacacaa acatgcggag tgacgacgcg ctgctgaaga actacggtct gctctcctgc 1981 ttccggaagg acctgcacaa gacggagacg tacctgaggg tcatgaagtg tcgccgcttc 2041 ggggaggcga gctgcgcgtt ctagttgcca gccatctgtt gttacccctc cccgtgcctt 2101 cctagaccct ggaaggtgcc actccagtgc ccactgtcct ttcctaataa agcgaggaaa 2161 ttgcatcaca ttgtctgagt aggtgtcatt ctattctagg gggtggggtc aggcaggata 2221 gcgagaggga ggattgggaa gacaatagca gggatgctgt gggctctatg ggtacccagg 2281 tgctgaataa ttgacccggt tcttcctggg ccagaaggaa gcaggcacat ccccttctct 2341 gtgacacacc cggtcctcgc ccctggtcct tagttccagc cccactcata ggacactcat


(6)

41 2401 agctcaggag ggctctgcct tcagtcccac ccgctaaagt gcttggagcg gtttctcctt

2461 ccctcatcag cccaccaaac caaacctagc ctccaagagt gggaagaaat taaagcaaga 2521 caggctatga agtacagagg gaga