Volatilitas Harga Pangan Dan Pengaruhnya Terhadap Indikator Makroekonomi Indonesia

VOLATILITAS HARGA PANGAN DAN PENGARUHNYA
TERHADAP INDIKATOR MAKROEKONOMI
INDONESIA

ARINI HARDJANTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul:
Volatilitas Harga Pangan dan Pengaruhnya terhadap
Indikator Makroekonomi Indonesia
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Arini Hardjanto
NIM H353110091

RINGKASAN
ARINI HARDJANTO. Volatilitas Harga Pangan dan Pengaruhnya terhadap
Indikator Makroekonomi Indonesia. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT dan
BONAR MARULITUA SINAGA.
Pangan termasuk isu yang sensitif khususnya bagi negara miskin dan
berkembang. Sensitivitas pangan salah satunya diperlihatkan melalui harganya.
Apabila harga pangan meningkat akan menyebabkan fluktuasi harga dan inflasi.
Fluktuasi harga pangan dunia yang terjadi pada tahun 2007 hingga 2010
menyebabkan volatilitas harga pangan. Indonesia adalah salah satu negara
berkembang yang rentan terhadap volatilitas harga pangan. Hal ini dikarenakan
pangan merupakan kebutuhan pokok yang hingga saat ini sebagian masih
diimpor, sehingga apabila harga pangan dunia meningkat akan berdampak

terhadap harga dalam negeri. Jenis pangan pokok di Indonesia yang
ketersediannya sebagian dipenuhi dari impor adalah beras, jagung dan kedelai.
Volatilitas akan mempengaruhi perekonomian bukan hanya dari sisi mikro,
melainkan juga dari sisi makro seperti inflasi dan Produk Domestik Bruto (PDB)
sektor pertanian. Berdasarkan uraian tersebut, maka tujuan dari penelitian ini
adalah: (1) mengestimasi tingkat volatilitas harga ketiga komoditas pangan pokok
(beras, kedelai, dan jagung), (2) mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan
volatilitas harga pangan, dan (3) menganalisis pengaruh volatilitas harga ketiga
komoditas pangan pokok terhadap indikator makroekonomi (inflasi dan PDB
sektor pertanian).
Penelitian ini menggunakan data sekunder. Jenis data yang digunakan
adalah deret waktu (time series) dari Januari 1985 hingga Desember 2011. Model
ekonometrika yang digunakan dalam penelitian ini yaitu model Autoregressive
Conditional
Heteroscedasticity-Generalized
Autoregressive
Conditional
Heteroscedasticity (ARCH-GARCH) dan Error Correction Model (ECM). Model
ARCH-GARCH digunakan untuk mengestimasi volatilitas harga pangan dan
faktor-faktor yng mempengaruhi volatilitas harga pangan. Sementara itu,

pengaruh volatilitas harga pangan terhadap indikator makroekonomi akan dijawab
menggunakan ECM.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga ketiga komoditas pangan
bersifat volatil. Ketiga harga pangan memperlihatkan volatilitas yang tinggi pada
tahun 1997-1999 yaitu saat terjadi krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Saat
krisis ekonomi harga pangan menjadi tidak terkendali sehingga harga pangan
berfluktuasi tinggi dan akibatnya volatilitas menjadi tinggi. Volatilitas harga
jagung juga tinggi pada saat tahun 2001-2002. Hal ini disebabkan tingginya
permintaan dunia akan sumber energi terbarukan yang berasal dari jagung sejak
tahun 2000-an. Tingginya permintaan terhadap energi terbarukan membuat harga
jagung domestik meningkat. Sementara itu, kedelai juga mengalami volatilitas
tinggi pada tahun 2008 selain pada tahun 1997. Pada tahun 2008 dunia sedang
mengalami krisis pangan, sehingga harga kedelai dunia menjadi tinggi dan harga
kedelai di Indonesia juga ikut naik karena kedelai adalah komoditas impor.
Volatilitas harga beras dipengaruhi oleh nilai tukar riil, suku bunga riil,
harga minyak dunia, dan produksi beras domestik. Volatilitas harga jagung

dipengaruhi oleh nilai tukar riil, suku bunga riil, produksi jagung dalam negeri,
dan harga jagung dunia. Faktor yang berpengaruh terhadap volatilitas harga
kedelai adalah nilai tukar riil, suku bunga riil, harga minyak dunia, produksi

kedelai domestik, harga kedelai dunia, dan curah hujan.
Berdasarkan hasil analisis menggunakan model ECM, volatilitas harga
jagung dan volatilitas harga jagung satu tahun sebelumnya berpengaruh positif
dan signifikan terhadap inflasi. Nilai tukar riil, nilai tukar riil satu tahun
sebelumnya, suku bunga riil dan suku bunga riil satu tahun sebelumnya juga
berpengaruh signifikan terhadap inflasi. Harga pangan yang tinggi akan
menyebabkan inflasi menjadi tinggi. PDB sektor pertanian dipengaruhi oleh
volatilitas harga kedelai, volatilitas harga kedelai satu tahun sebelumnya dan
volatilitas harga jagung satu tahun sebelumnya dengan tanda negatif. Tingginya
volatilitas harga pangan dapat menurunkan PDB sektor pertanian. Nilai tukar riil,
suku bunga riil, dan suku bunga riil satu tahun sebelumnya juga berpengaruh
terhadap PDB sektor pertanian.
Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh, ketiga harga pangan pokok
bersifat volatil. Nilai tukar riil, suku bunga riil, harga minyak dunia, produksi
dalam negeri ketiga komoditas pangan, harga dunia ketiga komoditas pangan dan
curah hujan merupakan variabel yang berpengaruh terhadap volatilitas harga
pangan. Volatilitas harga jagung dan volatilitas harga jagung satu tahun
sebelumnya mempengaruhi inflasi, sedangkan PDB sektor pertanian dipengaruhi
oleh volatilitas harga kedelai, volatilitas harga kedelai satu tahun sebelumnya dan
volatilitas harga jagung satu tahun sebelumnya. Tingginya volatilitas harga tiga

komoditas pangan di Indonesia dan pengaruhnya terhadap indikator
makroekonomi memerlukan kebijakan pengelolaan harga dan produksi agar harga
dapat dikendalikan dan pertumbuhan ekonomi dapat meningkat.
Kata kunci: harga pangan, inflasi, PDB, volatilitas

SUMMARY
ARINI HARDJANTO. Food Price Volatility and Its Effect on Indonesia
Macroeconomic Indicators. Supervised by YUSMAN SYAUKAT and BONAR
MARULITUA SINAGA.
Food remains a sensitive issue to poor and developing countries. Food
commodity sensitivity is shown by price. Increasing price may cause price
fluctuation and inflation. The 2007-2010 price fluctuation caused significant food
price volatility. Indonesia is a developing country vulnerable to food price
volatility as some portions of basic foodstuffs to meet the people’s needs are still
imported, so that instable global food price has significant impact to the domestic
price. Rice, maize and soybean are three food commodities which still imported.
Food price volatility have impacts on economy performance, not only on
micro but also on macro. In the macroeconomic sense, fluctuating food price have
impact on inflation and the agricultural sector of Gross Domestic Product (GDP).
Based on the above description, the objectives of this research are: (1) to estimate

the extend of food price volatility (rice, maize, and soybean), (2) to identify the
determinants of food price volatility, and (3) to analyze effect of food price
volatility on macroeconomic indicators (inflation and agricultural sector of GDP).
This research applies secondary data. The data type is time series covering
period of January 1985 to December 2011. ARCH-GARCH model are applied to
estimate price volatility of the major staple food commodities (i.e. rice, maize and
soybean) and to identify factors affecting food price volatility. Food price
volatility effect on macroeconomic indicators are analysed using Error Correction
Model (ECM).
The results show that rice, maize and soybean prices have become volatile.
Rice, maize and soybean volatility increase significantly in 1997-1999 because
Indonesia was undergoing an economic crisis that led to price rise. Such an
uncontrolled price rise during the period caused price volatility. In 2001-2002 the
world maize price also increased. It started increasing after 2000, in line with
global market’s maize price rise triggered by increase of demand of maize as raw
material to non-fossil fuel/biofuel industries. This forced domestic maize price to
follow the rise. Soybean price volatility rose quite significantly in 1997-1999 and
2008. In 2008 global food crisis broke out and price of soybean as one of global
staple food commodities rose sharply. Indonesian soybean commodity is
imported, thus the domestic soybean price is affected by global price.

Variables that have significant impacts on rice price volatility are real
exchange rate, world oil price, real interest rate, and rice production. Variables
with significant impact on maize price volatility are real exchange rate, real
interest rate, maize production, and world maize price. Variables significantly
affecting soybean price volatility are real exchange rate, world oil price, real
interest rate, world soybean price, domestic soybean production, and rainfall.
Using ECM model, maize price volatility and maize price volatility one year
previously have significant impact on inflation with positive value. This research
also indicates that real exchange rate, real exchange rate one year previously, real
interest rate, and real interest rate one year previously have significant impact on

inflation. High price leads to high inflation, so that it contributes to inflation in
general. Meanwhile, soybean price volatility, soybean price volatility one year
previously, and maize price volatility one year previously are significant and have
negative value on agricultural sector of GDP. High food price volatility lowers the
agriculture sector of GDP. Real exchange rate, real interest rate, and real interest
rate one year previously also have significant effect on agricultural sector of GDP.
Based on the research objectives and the analysis, price of the three food
commodities (rice, maize and soybean) are volatile. The factor affecting food
price volatility are real exchange rate, real interest rate, world oil price, food price

production, world food price, and rainfall. Maize price volatility and maize price
volatility one year previously significantly affects inflation in general. Meanwhile,
agricultural sector of GDP are affected by soybean price volatility, soybean price
volatility one year previously, and maize price volatility one year previously. The
policy should be made to manage food price and to increase economic growth.
Key words: food prices, GDP, inflation, volatility

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

VOLATILITAS HARGA PANGAN DAN PENGARUHNYA
TERHADAP INDIKATOR MAKROEKONOMI
INDONESIA


ARINI HARDJANTO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Harianto, MS
Staf Pengajar Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB

PRAKATA
Puji dan syukur kepada Allah SWT karena atas rahmat, hidayah serta
nikmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Volatilitas

Harga Pangan dan Pengaruhnya terhadap Indikator Makroekonomi Indonesia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Yusman Syaukat, MEc
dan Prof Dr Ir Bonar M. Sinaga, MA selaku ketua dan anggota komisi
pembimbing atas arahan dan pembekalan ilmu serta wawasan selama penyusunan
tesis. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Sri
Hartoyo, MS dan Ibu Dr Meti Ekayani, SHut, MSc selaku ketua dan sekretaris
program studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Dr Ir Harianto, MS selaku penguji luar
komisi pada ujian tesis dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan
bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis berkuliah di program studi
Ilmu Ekonomi Pertanian.
Secara khusus penulis ucapkan terimakasih kepada kedua orang tua
Ayahanda Hardjanto dan Ibunda Sri Sudaryanti yang selalu sabar dan mendoakan
untuk keberhasilan penulis. Teman-teman EPN angkatan 2011 untuk kebersamaan
dalam suka dan duka serta semangat selama perkuliahan. Seluruh staf di
sekretariat program studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang membantu penulis selama
perkuliahan sampai akhir penulis menyelesaikan studi.
Terlepas dari segala keterbatasan yang ada, penulis berharap semoga karya
ilmiah ini bermanfaat dalam pengembangan pendidikan dan sektor pertanian.
Penulis juga berharap bahwa karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
khususnya bagi penulis sebagai proses pembelajaran.


Bogor, Juli 2014

Arini Hardjanto

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

xiv
xiv
xv
1
1
2
6
6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Volatilitas
Faktor-Faktor yang Menyebabkan Volatilitas Harga
Mengukur Dampak Volatilitas Harga
Volatilitas dan Inflasi
Volatilitas dan Pertumbuhan Ekonomi
Kebijakan Mengelola Volatilitas
Kerangka Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional
Hipotesis Penelitian

7
7
7
9
10
11
13
15
20
21

3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengolahan Data

23
23
23

4 ANALISIS VOLATILITAS HARGA PANGAN
Deskripsi Data
Volatilitas Harga Pangan di Indonesia
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Volatilitas Harga Pangan
Indikator Makroekonomi dan Volatilitas Harga Pangan

35
35
35
42
51

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Implikasi Kebijakan
Saran Penelitian Lanjutan

61
61
62
63

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

65
71

DAFTAR TABEL
1 Statistik deskriptif variabel harga beras, jagung, dan kedelai
2 Hasil uji akar unit harga bulanan beras, jagung, dan kedelai periode
Januari 1985-Desember 2011
3 Model ARMA terbaik
4 Identifikasi efek ARCH pada harga komoditas beras, jagung, dan
kedelai
5 Model ARCH-GARCH terbaik pada harga komoditas beras, jagung,
dan kedelai
6 Hasil uji normalitas pada model ARCH-GARCH untuk variabel harga
beras, jagung, dan kedelai
7 Hasil uji ARCH-LM terhadap model ARCH-GARCH untuk variabel
harga beras, jagung, dan kedelai
8 Model volatilitas harga beras dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya
9 Model volatilitas harga jagung dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya
10 Model volatilitas harga kedelai dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya
11 Hasil uji akar unit pada tingkat level dan first difference untuk
pengaruh volatilitas harga pangan terhadap inflasi
12 Hasil uji kointegrasi untuk pengaruh volatilitas harga pangan terhadap
inflasi
13 Pengaruh volatilitas harga pangan dan faktor lain terhadap inflasi
14 Hasil uji akar unit pada tingkat level dan first difference untuk
pengaruh volatilitas harga pangan terhadap PDB sektor pertanian
15 Hasil uji kointegrasi untuk pengaruh volatilitas harga pangan terhadap
PDB sektor pertanian
16 Pengaruh volatilitas harga pangan dan faktor lain terhadap PDB sektor
pertanian

35
36
36
37
37
38
38
43
46
48
52
53
53
55
56
57

DAFTAR GAMBAR
1 Harga dunia komoditas beras, jagung dan kedelai tahun 1970-2011
2 Harga tingkat konsumen komoditas beras, jagung, dan kedelai
Indonesia tahun 1985- 2010
3 Laju pertumbuhan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan
perikanan terhadap PDB Indonesia tahun 2004-2012
4 Kurva pertumbuhan Solow
5 Kurva pertumbuhan Endogen
6 Kerangka pemikiran konseptual
7 Volatilitas harga beras Indonesia tahun 1985-2011
8 Volatilitas harga jagung Indonesia tahun 1985-2011
9 Volatilitas harga kedelai Indonesia tahun 1985-2011

1
3
5
16
17
22
39
40
41

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil pengujian akar unit semua variabel
2 Model Auto Regressive Moving Average (ARMA) untuk data harga
pangan
3 Uji heteroskedastisitas
4 Model Auto Regressive Conditional Heteroscedasticity-Generalized
Auto Regressive Conditional Heteroscedasticity (ARCH-GARCH)
5 Persamaan jangka panjang untuk model inflasi dan PDB sektor
pertanian
6 Uji stasioneritas terhadap residual persamaan jangka panjang
7 Estimasi Error Correction Model (ECM)
8 Korelogram untuk persamaan faktor-faktor yang mempengaruhi
volatilitas harga pangan
9 Uji normalitas pada variabel harga pangan

71
79
80
82

88
89
90
92
93

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peran pangan yang begitu penting menjadikan pangan sebagai sektor yang
strategis karena pangan merupakan salah satu kebutuhan primer manusia.
Meskipun permintaan maupun penawaran pangan cenderung bersifat inelastis,
tetapi bagi negara miskin dan berkembang masalah pangan tetap merupakan
masalah yang sensitif. Sensitivitas komoditas pangan salah satunya diperlihatkan
oleh variabel pasar yaitu harga.
Harga pangan dunia yang tinggi pada tahun 1970-an menyebabkan krisis
pangan dan hal tersebut berulang kembali pada tahun 2007 setelah sebelumnya
selama tiga dekade terakhir harga pangan dunia berada pada tingkat harga yang
stabil. Harga yang terus meningkat dapat menimbulkan fluktuasi harga dan
gejolak inflasi yang tinggi.
Krisis pangan internasional pada tahun 2007 hingga 2010 (Timmer 2011;
Jayasuriya et al. 2012; Minot 2012) membuat harga pangan dunia bergejolak.
Harga meningkat di tahun 2007 dan turun pada tahun 2009 lalu meningkat
kembali pada tahun 2010 (Braun dan Tadesse 2012). Fluktuasi harga yang terjadi
selama tahun 2007 hingga 2010 menimbulkan volatilitas harga pangan yang
cukup tinggi (Gilbert dan Morgan 2010). Beberapa komoditas pangan dunia yang
mengalami peningkatan diantaranya adalah daging, susu, gula, gandum, kedelai,
jagung, dan beberapa jenis serealia lainnya (Jayasuriya et al. 2012) seperti beras
yang mengalami peningkatan harga di beberapa negara Asia-Pasifik (UN-ESCAP
2011). Berdasarkan Gambar 1 pada tahun 1974 harga ketiga komoditas pangan
lebih tinggi dibandingkan tahun sebelum dan sesudahnya. Pada kurun waktu
tahun 1976 hingga 2006 harga beras, jagung, dan kedelai terlihat stabil
dibandingkan tahun 2010. Tahun 1976 dan 2007, dunia mengalami krisis pangan
yang menyebabkan harga pangan meningkat tajam dan hal ini menimbulkan
volatilitas harga pangan.
800.00
Harga (US$/MT)

700.00
600.00
500.00
400.00
300.00
200.00
100.00
1970
1972
1974
1976
1978
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
2010

0.00

Tahun
Beras

Jagung

Kedelai

Sumber: IMF, 2014
Gambar 1 Harga dunia komoditas beras, jagung dan kedelai tahun 1970-2011

2
Volatilitas merupakan isu komplek yang berdampak terhadap berbagai
bidang diantaranya adalah ketahanan pangan, pasar finansial, dan aliran
perdagangan (Miguez dan Michelena 2011). Volatilitas hampir terjadi di seluruh
negara terutama negara berkembang dan miskin, sehingga persoalan ini menjadi
isu internasional. Dalam lingkup internasional volatilitas harga terutama untuk
sektor pangan merupakan salah satu masalah yang dibahas dalam konferensi G20
yang berlangsung di Cannes, Perancis pada tahun 2011 dan Los Cabos, Meksiko
tahun 2012. Terjadinya volatilitas harga pangan yang berlebihan di banyak negara
menyebabkan ketidakpastian yang semakin tinggi bagi pelaku ekonomi dan
rusaknya stabilitas keuangan. Hal senada juga diungkapkan oleh FAO et al.
(2011) yang menyatakan bahwa meningkatnya risiko dan ketidakpastian
menyebabkan volatilitas yang semakin tinggi. Volatilitas tinggi juga menunjukkan
situasi ketidakstabilan pangan dunia dan melemahkan sistem perdagangan pangan
dunia.
Volatilitas pada dasarnya adalah fenomena alamiah. Indonesia sebagai salah
satu negara berkembang rentan terhadap volatilitas harga pangan. Hal ini
dikarenakan sebagian kebutuhan pangan pokok masih diimpor, sehingga jika
harga pangan dunia tidak stabil akan berpengaruh terhadap kondisi harga dalam
negeri, seperti yang diungkapkan oleh Bourdon (2011) bahwa harga pangan yang
tidak stabil merupakan risiko bagi negara berkembang. Jika harga pangan
meningkat, maka inflasi akan naik dan pertumbuhan ekonomi turun yang
kemudian akan berdampak terhadap kondisi rumah tangga masyarakat terutama
penduduk miskin.
Penduduk miskin di negara berkembang seperti Indonesia relatif banyak
jumlahnya dan bila terjadi fluktuasi harga pangan yang cenderung meningkat akan
mengurangi kesejahteraan (Zheng et al. 2008). Hal ini dikarenakan sebagian besar
pendapatan yang diperoleh penduduk miskin digunakan untuk memenuhi
kebutuhan pangan pokok. Apabila harga pangan naik maka pengeluaran terhadap
pangan pokok akan semakin besar dan membuat pendapatan riil turun (Timmer
2004, 2011; Braun dan Tadesse 2012). Tingkat kesejahteraan penduduk
ditentukan oleh kondisi perekonomian makro suatu negara. Pertumbuhan ekonomi
yang tinggi akan mempercepat proses pembangunan dan meningkatkan
pendapatan sehingga kesejahteraan meningkat.
Penelitian yang berkaitan dengan volatilitas harga pangan di Indonesia telah
banyak dilakukan, salah satunya dilakukan oleh Dartanto (2010). Akan tetapi,
penelitian mengenai volatilitas harga pangan di Indonesia yang dihubungkan
dengan beberapa indikator makroekonomi belum banyak dilakukan. Berdasarkan
uraian di atas, maka penelitian ini akan mengkaji pengaruh volatilitas harga tiga
komoditas pangan pokok yaitu beras, jagung, dan kedelai terhadap indikator
makroekonomi di Indonesia.
Perumusan Masalah
Komoditas pangan pokok di Indonesia adalah beras, jagung, kedelai, kacang
hijau, kacang tanah, ubi kayu, dan ubi jalar. Beras, jagung, dan kedelai merupakan
tiga jenis pangan yang akan diteliti lebih lanjut karena beberapa alasan. Pertama,
selama ini ketiga jenis pangan tersebut menjadi perhatian utama dalam sektor
tanaman pangan yang diwujudkan dalam program terbesar seperti, jagung

3

Harga Konsumen (Rp/kg)

termasuk kelompok palawija dengan produksi maupun konsumsi terbesar diantara
lima jenis palawija; kedelai merupakan salah satu jenis dari 30 jenis dalam
kelompok kacang-kacangan dan umbi-umbian dengan komsumsi dan impor yang
cukup besar (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2011). Kedua, beras
merupakan pangan pokok bagi masyarakat yang berdasarkan data Susenas tahun
1999, angka partisipasi konsumsi beras sebesar 97.07 persen. Ketiga, tiga jenis
pangan tersebut termasuk dalam empat jenis pangan yang mendominasi
perdagangan pangan internasional (Gilbert 2012) dan bagi Indonesia ketiga jenis
pangan tersebut selama ini masih terus diimpor, sehingga berpotensi mengalami
fluktuasi harga.
Perkembangan harga ketiga komoditas pangan Indonesia sejak tahun 1985
hingga 2011 dapat dilihat pada Gambar 2. Harga beras, jagung dan kedelai
Indonesia pada rentang waktu 1985-1996 relatif stabil karena pemerintah
menerapkan kebijakan stabilisasi harga. Pada saat krisis ekonomi melanda Asia
tahun 1997, harga beras meningkat tajam dibanding tahun-tahun sebelumnya
karena peran Badan Urusan Logistik (BULOG) sebagai stabilisator harga
dihapuskan dan harga diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Pada
awal pembentukannya tahun 1960-an, BULOG diberikan tiga mandat yaitu:
stabilisasi harga, pengendalian stok ketahanan pangan nasional, dan distribusi
beras ke pegawai militer dan sipil setiap bulan (Timmer 2004). Setelah terjadi
krisis ekonomi tugas BULOG hanya menangani masalah distribusi beras.
Harga jagung di Indonesia pada tahun 2003 hingga 2007 menurun yang
diperlihatkan pada Gambar 2, hal ini diduga karena produksi jagung dalam negeri
terus meningkat sejak tahun 2003, sedangkan konsumsi dan impor relatif tetap.
Dalam periode yang sama hingga tahun 2007 harga kedelai di Indonesia juga
mengalami penurunan karena produksi kedelai dunia meningkat berdasarkan data
yang didapat dari FAOSTAT (2013), sehingga harga pasar dunia menurun yang
berdampak kepada harga dalam negeri, yang merupakan salah satu negara
pengimpor komoditi tersebut.
8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010

0

Tahun
Jagung

Kedelai

Beras

Sumber: BULOG, 2012
Gambar 2. Harga tingkat konsumen komoditas beras, jagung, dan kedelai
Indonesia tahun 1985-2010

4
Berdasarkan Gambar 2 harga beras, jagung dan kedelai tahun 2007/2008
meningkat, namun pada tahun 2009 harga turun dan tahun 2010 harga kembali
meningkat. Kenaikan harga pangan yang relatif tinggi pada tahun 2007/2008 tidak
pernah terjadi setelah dua dekade sebelumnya harga pangan stabil bahkan
cenderung menurun. Tingginya harga pangan pada tahun-tahun tersebut membuat
krisis pangan dunia tidak dapat dihindari (Gilbert dan Morgan 2010; Tothova
2011; Torero 2011; Braun dan Tadesse 2012). Harga kedelai meningkat sangat
tajam dibandingkan dua komoditas lainnya, diduga berhubungan dengan produksi
kedelai AS menurun sampai 18 persen (Naeve dan Orf 2007).
Kenaikan harga pangan tersebut dipicu antara lain oleh meningkatnya
volume produksi bahan bakar nabati dari padi-padian dan biji minyak (oilseed),
melemahnya nilai dollar Amerika dan meningkatnya harga energi (Bank Dunia
2010). Kenaikan ketiga harga pangan tersebut terutama pada tahun 2007 hingga
2010 tidak pelak menyebabkan fluktuasi harga yang dapat menimbulkan
volatilitas harga. Volatilitas adalah variasi nilai fluktuasi terhadap nilai rata-rata
pada data (misal data variabel ekonomi) yang terjadi sepanjang waktu.
Fluktuasi harga yang cepat mengakibatkan terjadinya volatilitas. Penyebab
fluktuasi harga menurut Tangermann (2011) dibedakan menjadi dua, yaitu faktor
tradisional (cuaca, stok, harga energi, pembangunan ekonomi makro, dan
pertumbuhan permintaan), dan faktor insidentil (bioenergi dan hambatan ekspor).
Menurut Miguez dan Michelena (2011) harga pangan yang berfluktuasi
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu, inflasi, cadangan, nilai tukar, suku bunga,
pendapatan per kapita, cuaca, spekulasi, dan aset finansial. Beberapa negara
anggota G20 termasuk Indonesia dan Italia menyatakan bahwa faktor utama dan
mendasar yang menjadi penyebab terjadinya volatilitas harga komoditas di pasar
global adalah dampak likuiditas yang berlebihan. Pasar keuangan secara
umum berfungsi sebagai penyedia likuiditas. Tetapi pada periode volatilitas
yang tinggi, kemampuan transfer sumber daya dan hedging menjadi terbatas,
sehingga volatilitas harga komoditas dipandang memberikan dampak negatif
yang beragam terhadap perekonomian dalam beberapa dimensi (Mboeik dan
Rakhmindyarto 2012).
Volatilitas harga pangan akan mempengaruhi kinerja ekonomi bukan hanya
dari sisi mikro namun juga makro. Secara mikro, harga yang tinggi memberikan
dampak negatif bagi rumah tangga dalam pengambilan keputusan konsumsi
pangan pokok (Timmer 2011). Secara makro, harga pangan yang berfluktuasi
akan mempengaruhi inflasi dan Produk Domestik Bruto (PDB). Inflasi dan PDB
sektor pertanian merupakan dua indikator makroekonomi yang akan dianalisis.
Alasan pemilihan dua indikator makroekonomi tersebut, pertama inflasi sangat
erat hubungannya dengan harga dan harga pangan saat ini menjadi penyebab
utama terjadinya inflasi. Kedua, PDB merupakan indikator makroekonomi yang
paling mudah menggambarkan pertumbuhan. Ketiga, PDB yang digunakan dalam
penelitan ini adalah PDB sektor pertanian yang berkontribusi sebesar 12.51 persen
terhadap PDB Indonesia pada tahun 2012. Sektor pertanian memberikan
kontribusi ketiga terbesar setelah sektor industri pengolahan dan perdagangan,
hotel dan restoran. Kontribusi yang relatif besar terhadap PDB menjadikan sektor
pertanian memiliki peran penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sektor
pertanian memiliki lima sub sektor yaitu, kehutanan, peternakan, perikanan,
tanaman perkebunan dan tanaman pangan. Sub sektor tanaman pangan memiliki

5
andil sebesar 48.45 persen dalam sektor pertanian atau setara dengan 6.06 persen
terhadap PDB tahun 2012 (BPS 2013) dan merupakan penyumbang terbesar
dalam sektor pertanian.
Kontribusi tahunan setiap sektor terhadap PDB ditunjukkan oleh laju
pertumbuhannya. Laju pertumbuhan sektor pertanian pada tahun 2010 hingga
2012 sebesar 3.01; 3.37 dan 3.97 persen (BPS 2013). Tingginya peran sektor
pertanian terhadap laju pertumbuhan, diikuti dengan peningkatan laju
pertumbuhan pada sub sektor tanaman pangan seperti yang terdapat pada Gambar
3. Laju pertumbuhan PDB untuk sub sektor tanaman pangan berfluktuasi seperti
pada tahun 2008 dan 2009 memiliki laju pertumbuhan tertinggi dibandingkan
empat sektor lainnya, namun pada tahun tersebut laju pertumbuhannya memiliki
trend yang menurun. Sebaliknya pada tahun 2010 hingga 2012 yang menunjukkan
kecenderungan laju pertumbuhan yang meningkat walaupun besaran laju
pertumbuhan pada rentang waktu tersebut lebih rendah bila dibandingkan pada
rentang waktu 2008 dan 2009.

Laju Pertumbuhan (%)

8
6
4
2
0
-2

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011* 2012**

-4
Tahun
Tanaman Bahan Makanan

Tanaman Perkebunan

Peternakan

Kehutanan

Perikanan

Sumber: BPS (2013)
Gambar 3. Laju pertumbuhan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan
perikanan terhadap PDB Indonesia tahun 2004-2012
Pentingnya peran pangan bagi perekonomian membuat pemerintah
melakukan berbagai kebijakan untuk mengelola volatilitas. Terdapat berbagai
macam instrumen untuk mengelola volatilitas agar tidak semakin tinggi, salah
satunya dengan kebijakan stabilisasi harga. Terdapat tiga instrumen untuk
stabilisasi harga pangan yaitu membuat cadangan pangan, mengontrol
perdagangan dan mengatur pasar finansial khususnya untuk komoditas pertanian.
Mengontrol perdagangan menurut Timmer (2011), merupakan cara yang paling
efektif dalam menstabilkan harga. Berdasarkan hasil konferensi G20, mitigasi
dampak negatif dari volatilitas harga pangan merupakan cara yang efektif untuk
mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (G20
Agriculture Minister 2011).
Berdasarkan uraian di atas, pangan merupakan kebutuhan primer dan
peranannya sangat strategis sehingga apabila terjadi volatilitas harga pangan akan
mempengaruhi inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu dampak

6
volatilitas harga pangan pokok terhadap indikator makroekonomi menjadi
pertanyaan penelitian utama. Secara spesifik pertanyaan dalam penelitian ini
adalah: (1) bagaimana tingkat volatilitas harga ketiga komoditas pangan pokok
(beras, jagung, dan kedelai), (2) apa saja yang mempengaruhi volatilitas harga
pangan, dan (3) bagaimana pengaruh volatilitas harga ketiga komoditas pangan
pokok terhadap indikator makroekonomi.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis dampak volatilitas harga
tiga komoditas pangan pokok terhadap pertumbuhan ekonomi. Secara khusus
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengestimasi tingkat volatilitas harga ketiga komoditas pangan pokok (beras,
jagung, dan kedelai).
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan volatilitas harga pangan.
3. Menganalisis pengaruh volatilitas harga ketiga komoditas pangan pokok
terhadap indikator makroekonomi (inflasi dan PDB sektor pertanian).
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam lingkup nasional. Objek dalam penelitian ini
hanya mencakup tiga komoditas pangan yaitu beras, jagung, dan kedelai. Jenis
data yang digunakan adalah data deret waktu dengan rentang waktu dari Januari
tahun 1985 hingga Desember 2011. Data PDB yang dianalisis merupakan data
kuartalan yang dimulai dari kuartal 1 tahun 1985 sampai kuartal 4 tahun 2011.
Harga beras yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga beras
medium 25% broken. Harga jagung yang digunakan adalah jenis jagung pipilan
dan harga kedelai yang digunakan adalah harga rata-rata nasional. Oleh karena itu
dalam penelitian ini tidak dilakukan pembedaan komoditas pangan menurut
kualitas dan jenis, tetapi digunakan data jumlah komoditas yang diproduksi,
diminta dan diperdagangkan termasuk impor berdasar data yang tersedia.
Kebijakan perdagangan berupa tarif ekspor maupun impor tidak dijadikan
sebagai variabel penjelas dalam model penelitian ini karena data yang tidak
tersedia dalam periode bulanan. Indikator makroekonomi yang digunakan dalam
penelitian ini hanya inflasi dan PDB sektor pertanian.

7

2 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Volatilitas
Volatilitas adalah variasi dari variabel ekonomi sepanjang waktu. Variasi
harga menjadi masalah jika variasi tersebut besar dan tidak dapat diantisipasi
sehingga dapat meningkatkan risiko bagi produsen, konsumen dan pemerintah
(FAO et al. 2011). Volatilitas merupakan variasi harga pada nilai tengahnya
(Bourdon 2011). Volatilitas digunakan untuk mengukur seberapa jauh sebaran
nilai flukutasi terhadap nilai rata-rata pada data deret waktu (Asmara 2011).
Menurut Tothova (2011) volatilitas dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) volatilitas
historis, dan (2) volatilitas implisit. Volatilitas historis mengacu kepada
pergerakan harga yang terjadi pada masa lalu dan menggambarkan volatilitas pada
masa tersebut. Volatilitas implisit merupakan kebalikan dari volatilitas historis.
Volatilitas implisit bertujuan untuk mengestimasi volatilitas yang terjadi di masa
yang akan datang. Gilbert dan Morgan (2010) menyatakan volatilitas adalah
ukuran yang digunakan untuk membahas variabilitas harga atau kuantitas, yang
oleh para ekonom umumnya fokus pada standar deviasinya.
Volatilitas merupakan sebuah isu yang sangat komplek karena dapat
mempengaruhi banyak aspek seperti, ketahanan pangan, pasar finansial, dan
perdagangan (Miguez dan Michelena 2011). Volatilitas dalam ekonomi
berhubungan dengan harga suatu komoditas seperti komoditas pertanian.
Volatilitas harga yang terjadi di pasar tidak terjadi dengan sendirinya tanpa
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
Faktor-Faktor yang Menyebabkan Volatilitas Harga
Volatilitas harga pangan pokok diduga dipengaruhi oleh hubungan antara
pasar energi dan pasar komoditas pertanian (Gilbert dan Morgan 2010;
Tangermann 2011; Hernandez 2012; Gilbert 2012;). Krisis pangan disebabkan
oleh kebutuhan energi dari sumberdaya terbarukan. Energi sumberdaya terbarukan
diperoleh melalui tanaman pangan seperti jagung dan kedelai. Tingginya
permintaan terhadap jagung dan kedelai, sedangkan penawaran tidak bertambah
menyebabkan terjadinya volatilitas harga pangan (Gilbert 2012).
Harga minyak dunia yang tinggi memicu penggunaan lebih banyak sumber
energi terbarukan yang berasal dari tanaman pangan. Harga minyak dunia yang
tinggi juga mempengaruhi harga input pertanian baik secara langsung maupun
tidak langsung serta persaingan penggunaan lahan yang digunakan untuk
konsumsi ataupun energi terbarukan (FAO et al. 2011).
Peningkatan konsumsi beberapa komoditas pangan di negara yang
permintaannya sedang tumbuh seperti China dan India menjadi penyebab lain
terjadinya volatilitas harga pangan (Tangermann 2011; dan Hernandez 2012).
Tumbuhnya konsumsi pangan di India dan China sebagai penyebab volatilitas
harga pangan masih menjadi perdebatan. Hal ini karena tumbuhnya permintaan
pangan di kedua negara tersebut terjadi sebelum krisis pangan tahun 2007 dan
konsumsi pangan kedua negara tersebut relatif stabil selama krisis pangan. Namun
terdapat dua pendekatan tidak langsung mengapa konsumsi pangan di kedua
negara tersebut mempengaruhi volatilitas harga pangan. Pertama, karena

8
pertumbuhan besar-besaran sedang terjadi di kedua negara tersebut yang menjadi
pemicu rendahnya stok pangan internasional. Kedua, adanya bencana kekeringan
di India yang menyebabkan produksi gandum India berkurang sehingga
mempengaruhi harga gandum internasional (Tangermann 2011).
Harga pangan meningkat disebabkan oleh produksi dan konsumsi pangan
yang bervariasi. Adanya guncangan produksi dan konsumsi pangan yang
disebabkan oleh elastisitas permintaan dan penawaran mengakibatkan terjadinya
volatilitas harga (Gilbert dan Morgan 2010; HLPE 2011; Torero 2011; Braun dan
Tadesse 2012). Faktor lain yang menyebabkan volatilitas harga pangan adalah
stok (Gilbert dan Morgan 2010; Tothova 2011; FAO et al. 2011). Stok pangan
dunia telah mengalami penurunan sejak sepuluh tahun lalu, namun stok bahan
pangan pokok dunia relatif terhadap penggunaan mengalami penurunan terendah
pada tahun 2006 hingga 2008. Penurunan stok pangan dunia disebabkan oleh
beberapa faktor seperti, penurunan pertumbuhan komoditas pertanian akibat
produktivitas dan harga yang rendah, selain itu perubahan kebijakan stok
pertanian yang ditetapkan oleh Uni Eropa dan China juga mempengaruhi
rendahnya stok pangan dunia (Tangermann 2011).
Beberapa penelitian menyatakan bahwa selain masalah energi, faktor-faktor
yang menyebabkan volatilitas harga pangan adalah perubahan iklim dan cuaca
yang berdampak terhadap produksi dan pasar (Gilbert dan Morgan 2010; Tothova
2011; Tangermann 2011). Perubahan iklim dan cuaca menyebabkan terjadinya
beberapa bencana alam seperti kekeringan, banjir dan cuaca panas yang ekstrim,
sehingga dapat menurunkan produksi pertanian (FAO et al. 2011).
Volatilitas harga kedelai Amerika Serikat dipengaruhi oleh kebijakan
energi, nilai tukar mata uang dollar Amerika Serikat terhadap tiga nilai mata uang
negara lain yaitu Argentina; Brazil; dan China serta spekulasi kebijakan finansial
(Hernandez 2012). Spekulasi dapat memberikan dampak positif maupun negatif
terhadap volatilitas. Spekulasi dipicu oleh investasi pada pasar komoditas yang
mengambil keuntungan pada saat harga berfluktuasi. Apabila keuntungan yang
ditawarkan dari investasi semakin tinggi, maka akan meningkatkan likuiditas
sehingga volatilitas akan meningkat (Gilbert dan Morgan 2010; HLPE 2011).
Populasi dan pendapatan yang meningkat di negara berkembang serta
kebijakan pertanian yang tidak sesuai di beberapa negara mengakibatkan
volatilitas harga pangan (FAO et al. 2011). Populasi dan pendapatan yang
meningkat menyebabkan peningkatan permintaan untuk pangan. Penduduk dunia
pada tahun 2050 diramalkan akan mencapai jumlah 9 miliar orang. Tingginya
jumlah permintaan pangan membuat harga pangan akan meningkat dan pada
tahun 2019 harga pangan dunia akan lebih tinggi dibandingkan harga pangan pada
tahun 2007/2008.
Variabel makroekonomi seperti inflasi, suku bunga, dan penawaran uang
mempengaruhi perkembangan makroekonomi dunia dan merupakan salah satu
penyebab terjadinya volatilitas harga pangan (Tangermann 2011). Rendahnya
suku bunga dan meningkatnya penawaran uang di Amerika Serikat menyebabkan
perubahan investasi dari pasar finansial menjadi pasar aset fisik.
Faktor-faktor yang diduga menyebabkan volatilitas dapat dijadikan sebagai
indikasi untuk mengetahui apakah volatilitas terjadi atau tidak. Langkah
selanjutnya yang dilakukan adalah menghitung besarnya volatilitas dan faktorfaktor yang mempengaruhi volatilitas menggunakan alat analisis yang sesuai.

9
Berbagai macam alat analisis yang ada sebagian besar menggunakan pendekatan
ekonometrika untuk mengukurnya.
Mengukur Dampak Volatilitas Harga
Volatilitas harga pangan dan identifikasi faktor-faktor yang menyebabkan
volatilitas harga pangan dalam penelitian ini akan didekati menggunakan model
yang sama yaitu Autoregressive Conditional Heteroscedasticity-Generalized
Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (ARCH-GARCH). Model ARCHGARCH merupakan salah satu model yang dapat digunakan pada data deret
waktu apabila terdapat masalah heteroskedastisitas.
Model ARCH maupun model GARCH sama-sama dapat digunakan untuk
menghitung volatilitas. Beberapa penelitian tentang volatilitas harga pangan
diukur menggunakan GARCH seperti yang telah dilakukan oleh Gilbert dan
Morgan 2010; Shiferaw 2012. Dalam penelitian ini, model ARCH merupakan
model yang digunakan untuk menghitung volatilitas harga ketiga komoditas
pangan. Selain model ARCH-GARCH, alat analisis lainnya yang dapat digunakan
untuk menghitung volatilitas adalah distribusi normal dan distribusi student-t
(Onour dan Sergi 2011) serta standard deviation of returns (Kose et al. 2005;
Minot 2012).
Penelitian menggunakan model GARCH dapat ditempuh dengan jenis
model yang berbeda-beda. Shiferaw (2012) menggunakan model GARCH (1,1);
GARCH (1,2); GARCH (2,1), sedangkan Gilbert dan Morgan (2010) hanya
menggunakan GARCH (1,1). Shiferaw (2012) bertujuan untuk menganalisis
volatilitas harga tiga komoditas pertanian di Ethiopia, yaitu kelompok sereal,
kacang-kacangan dan minyak yang dihasilkan dari tanaman pangan. Hasil yang
didapat yaitu volatilitas harga terjadi secara terus menerus pada ketiga komoditas
tersebut.
Hasil penelitian Gilbert dan Morgan (2010) menunjukkan bahwa volatilitas
harga pertanian lebih rendah dibandingkan kenaikan harga pada tahun 1970-an
dan 1980-an. Penelitian Onour dan Sergi (2011) bertujuan menganalisis volatilitas
harga pangan dunia. Hasil analisis menyatakan bahwa distribusi student-t lebih
baik dibandingkan distribusi normal. Model distribusi student-t digunakan untuk
menganalisis enam komoditas pertanian yaitu gandum, beras, gula, daging sapi,
kopi dan kacang tanah pada periode Oktober 1984 hingga September 2009.
Penelitian Minot (2012) bertujuan untuk mempelajari model serta trend
volatilitas harga yang terjadi di Afrika. Komoditas yang diteliti oleh Minot
sebanyak sepuluh bahan pangan pokok yaitu, kacang-kacangan, roti, minyak
goreng, jagung, beras, gandum, millet, sorghum, teff dan cowpeas. Hasil
penelitian ini menyatakan bahwa harga pangan pada rentang waktu 2007-2010
mengalami volatilitas yang tinggi, namun di wilayah Afrika volatilitas harga
pangan tidak menunjukkan peningkatan.
Volatilitas harga pangan atau komoditas yang diperdagangkan sangat erat
kaitannya dengan kinerja makroekonomi. Beberapa penelitian telah dilakukan
untuk melihat hubungan antara volatilitas dengan kinerja makroekonomi dan
pertumbuhan ekonomi seperti pada penelitian Kargbo (2005); Apergis dan Rezitis
(2011); dan Choi dan Kim (2012).

10
Harga pangan yang tinggi di Afrika khususnya wilayah Afrika barat selama
lebih dari dua dekade menyebabkan volatilitas harga dan mempengaruhi kinerja
ekonomi wilayah tersebut. Penelitian Kargbo (2005) melihat dampak
meningkatnya harga pangan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
makroekonomi. Alat analisis yang digunakan adalah Vector Error Correction
Model (VECM). Penelitian Kargbo memperlihatkan bahwa guncangan harga
pangan memiliki dampak yang signifikan terhadap produksi pangan domestik dan
merupakan penyebab utama ketidakstabilan kondisi makroekonomi di wilayah
Afrika barat.
Apergis dan Rezitis (2011) menggunakan alat analisis berupa model
GARCH dan GARCH-X untuk mengestimasi volatilitas harga pangan di Yunani,
serta hubungannya dengan faktor makroekonomi dalam jangka pendek. Hasil
penelitian ini menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara volatilitas
harga dan faktor ekonomi.
Choi dan Kim (2012) menggunakan GARCH dan Vector Autoregressive
(VAR) untuk mengetahui pengaruh volatilitas harga komoditi dengan kondisi
ekonomi makro di negara-negara G20. Hubungan antara volatilitas harga pangan
dengan indikator makroekonomi di sektor pangan merupakan hal yang ingin
dianalisis lebih lanjut dalam penelitian ini. Salah satu indikator makroekonomi
yang ingin diestimasi adalah inflasi.
Volatilitas dan Inflasi
Kenikan harga-harga secara umum atau biasa disebut dengan inflasi bisa
disebabkan oleh berbagai faktor makroekonomi, pasar komoditas maupun pasar
energi (yang akhirnya menyebabkan kenaikan barang-barang lain). Tingginya
harga pangan seperti beras dan gandum yang menjadi makanan pokok bagi
masyarakat di negara berkembang di Asia telah menyumbang kenaikan inflasi
lebih kurang 10 persen pada Januari 2011 (ADB 2011). Inflasi yang disebabkan
oleh kenaikan harga pangan dunia harus terus menjadi perhatian utama
pemerintah di berbagai negara khususnya negara berkembang dan miskin.
Para ahli membedakan inflasi menjadi inflasi pangan dan non pangan
(Walsh 2011; Hossain dan Rafiq 2012). Inflasi pangan menurut Walsh dapat
menjadi besar jika guncangan harga pangan lebih volatil dibandingkan guncangan
harga non pangan terutama pada saat terjadi krisis pangan. Inflasi makanan secara
keseluruhan cenderung lebih tinggi dan lebih stabil dibandingkan inflasi non
makanan khususnya pada negara-negara berkembang dan miskin. Hal ini
dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hossain dan Rafiq di
Bangladesh. Beras dan gandum sebagai pangan pokok bagi negara tersebut
mengalami peningkatan karena harga internasional yang tinggi. Harga beras
meningkat 61 persen dan gandum meningkat 30 persen pada tahun 2009-2010.
Kenaikan harga pangan berimplikasi terhadap penurunan kesejahteraan penduduk
terutama penduduk miskin karena sebagian besar pendapatan digunakan untuk
konsumsi pangan. Harga pangan yang meningkat hingga 10 persen dapat
mendorong kenaikan kemiskinan hingga 1.9 persen di negara berkembang di Asia
(ADB 2011).
Inflasi baik pangan maupun non pangan menurut penyebabnya dibedakan
menjadi dua yaitu dari sisi permintaan maupun penawaran. Berdasarkan beberapa

11
kajian, inflasi cenderung berasal dari sisi penawaran. Penelitian di Tanzania yang
dilakukan oleh Adam et al. (2012) mengemukakan bahwa inflasi makanan
bersumber dari sisi penawaran baik yang disebabkan oleh ouput pertanian
domestik maupun harga dunia untuk pangan dan energi. Transmisi inflasi yang
berasal dari harga pangan dunia akan lebih berpengaruh jika harga dunia
meningkat dibandingkan ketika harga dunia turun walaupun hubungan antara
inflasi dan harga pangan dunia cenderung lemah. Hasil penelitian Irawan (2005)
yang bertujuan untuk menganalisis gejolak harga input dan output pertanian serta
kausalitas keduanya menunjukkan bahwa inflasi sektor pertanian berasal dari sisi
penawaran (cost-push inflation) yaitu dari harga-harga material pertanian. Harga
output pertanian hanya memiliki hubungan searah dengan harga material
pertanian. Harga material pertanian memiliki hubungan dua arah dengan upah
tenaga kerja. Kebijakan yang dapat diambil berdasarkan hasil penelitian ini adalah
untuk menjaga kestabilan sektor pertanian khususnya harga input, pemerintah
dituntut untuk menjaga kestabilan harga output pertanian terlebih dahulu.
Kinerja makroekonomi, selain dapat didekati melalui inflasi juga dapat
didekati melalui pertumbuhan ekonomi (PDB). Dampak yang ditimbulkan akibat
inflasi atau pun pertumbuhan dapat berbeda. Volatilitas harga pangan cenderung
memiliki pengaruh positif terhadap inflasi, namun pada pertumbuhan ekonomi
hasil yang diperoleh dapat berbeda dengan inflasi.
Volatilitas dan Pertumbuhan Ekonomi
Hubungan antara volatilitas dan pertumbuhan ekonomi memiliki pengertian
yang berbeda-beda. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa hubungan
diantara keduanya bisa negatif maupun positif. Penelitian Kose et al. (2005)
menunjukkan bahwa perdagangan dan integrasi finansial diduga mempengaruhi
hubungan antara volatilitas dan pertumbuhan. Negara yang menerapkan
perdagangan bebas lebih mudah menghadapi trade-off antara pertumbuhan dan
volatilitas. Integrasi finansial merupakan faktor yang dapat memperkuat hubungan
negatif antara pertumbuhan dan volatilitas.
Harga pangan yang selalu meningkat dapat menurunkan tingkat
pertumbuhan di banyak negara (UNCTAD 2012). Negara yang menerima
keuntungan dari terms of trade adalah negara yang memiliki tingkat pertumbuhan
dan investasi yang rendah. Proses pertumbuhan di negara-negara berkembang
relatif rendah karena tidak ada keinginan untuk mempertahankan dan
meningkatkan pertumbuhan itu sendiri. Negara miskin ataupun berkembang dapat
dengan mudah memulai pertumbuhan, namun sulit untuk mempertahankannya.
Pertumbuhan yang tidak stabil disebabkan oleh goncangan eksternal seperti harga
komoditas. Volatilitas harga timbul karena harga komoditas termasuk komoditas
pertanian mengalami peningkatan dan penurunan tajam. Cara yang ditawarkan
untuk mengelola volatilitas dengan mengkombinasikan berbagai kebijakan.
Kebijakan yang dapat dilakukan dengan transparansi pasar dan meminimalkan
dampak buruk dari pertumbuhan makroekonomi akibat volatilitas harga
komoditas. Varibel makroekonomi yang digunakan untuk mengukur pengaruh
makroekonomi terhadap pertumbuhan adalah inflasi dan nilai tukar.
Hubungan antara volatilitas dengan pertumbuhan adalah negatif seperti hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh Ramey G dan Ramey VA (1995);

12
Dabušinskas et al. (2012); Choi dan Kim (2012); Cavalcanti et al (2012); Safdar
et al (2012). Volatilitas yang diteliti tidak terbatas hanya volatilitas harga, namun
juga volatilitas makroekonomi dan volatilitas pertanian.
Penelitian yang dilakukan oleh Ramey G dan Ramey VA (1995) memiliki
tujuan untuk membuktikan bahwa volatilitas ekonomi berhubungan dengan
pertumbuhan. Penelitian ini dilakukan di 92 negara yang termasuk dalam negaranegara OECD dengan menggunakan data deret waktu dari tahun 1962 sampai
1985. Hubungan antara volatilitas dan pertumbuhan ekonomi menurut hasil
penelitian Ramey G dan Ramey VA (1995) adalah negatif. Jika volatilitas di suatu
negara tinggi, maka pertumbuhannya akan rendah, namun apabila diasumsikan
tidak ada hubungan antara volatilitas dan pertumbuhan, maka terdapat elemen
yang hilang dalam lingkaran bisnis. Adanya hubungan yang kuat antara fluktuasi
pengeluaran pemerintah dan volatilitas memperkuat bukti bahwa antara volatilitas
dan pertumbuhan memiliki hubungan negatif. Hasil penelitian ini juga
menyatakan bahwa tidak ada perubahan yang disebabkan oleh penambahan
variabel investasi terhadap hubungan antara volatilitas dan pertumbuhan.
Penelitian yang dilakukan oleh Dabušinskas et al. (2012) bertujuan untuk
menghitung dampak volatilitas makroekonomi terhadap perkembangan ekonomi.
Tujuan khusus penelitian ini adalah mengestimasi volatilitas makroekonomi dan
biaya yang harus ditanggung akibat penurunan pertumbuhan. Penelitian
Dabušinskas et al ingin meneruskan sekaligus membuktikan kembali hasil
peneltian yang dilakukan oleh Ramey G dan Ramey VA (1995) apakah masih
relevan dengan menggunakan data dari tahun 1980 hingga 2010 dan jumlah
negara ditambah menjadi 121 negara. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
kenaikan volatilitas akan menurunkan pertumbuhan. Apabila volatilitas meningkat
sebesar 50 persen maka pertumbuhan per kapita akan berkurang