Modifikasi Asam Ampas Sagu dan Pengaruhnya Terhadap Sifat Fisik Mekanik Biofoam

MODIFIKASI ASAM AMPAS SAGU DAN PENGARUHNYA
TERHADAP SIFAT FISIK MEKANIK BIOFOAM

AHMAD TAUFIQURRAHMAN

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Modifikasi Asam
Ampas Sagu dan Pengaruhnya Terhadap Sifat Fisik Mekanik Biofoam adalah
benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Ahmad Taufiqurrahman
NIM F34090094

ABSTRAK
AHMAD TAUFIQURRAHMAN. Modifikasi Asam Ampas Sagu dan
Pengaruhnya Terhadap Sifat Fisik Mekanik Biofoam. Dibimbing oleh TITI
CANDRA SUNARTI.
Styrofoam merupakan bahan baku kemasan yang banyak digunakan,
padahal bahan baku kemasan tersebut berasal dari sumberdaya yang tidak dapat
diperbaharui. Bahan polimer alami seperti pati dan serat dapat digunakan sebagai
bahan baku kemasan alternatif biofoam. Ampas sagu mengandung pati dan serat
dalam jumlah yang besar, namun secara alami pati dan serat memiliki kelemahan
karena bersifat hidrofobik, karena itu perlu dimodifikasi untuk meningkatkan
hidrofobisitasnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh modifikasi
asam terhadap karakteristik ampas sagu yang dihasilkan, dan karakteristik fisik
mekanik biofoam yang dihasilkan. Modifikasi asam dilakukan dengan
perendaman ampas sagu dalam larutan HCl 0.144% dalam methanol selama 0, 60,
120, 180 dan 240 jam. Biofoam dihasilkan dengan metode thermopressing dengan

mencampurkan ampas sagu dengan pati sagu, polimer sintetik PVA, dan aditif
lainnya. Hasil memperlihatkan bahwa semakin lama perendaman terbukti
menyebabkan kerusakan pada pati. Dibandingkan ampas sagu alami, perendaman
juga menyebabkan penurunan kristalinitas, bahkan pola kristalinitasnya berubah
setelah perendaman 60 jam. Hal ini mempengaruhi karakteristik biofoam yang
dihasilkan. Pencucian tanpa perendaman (perlakuan 0 jam) menghasilkan biofoam
dengan karakteristik fisik mekanik yang lebih dibandingkan ampas sagu alami,
berupa penurunan daya serap air (57.13%), peningkatkan kuat tarik (19.14 MPa),
kuat lentur (358.21 MPa) dan kuat patah (7.25 MPa). Jika dibandingkan dengan
styrofoam, maka biofoam yang dihasilkan ampas sagu termodifikasi memiliki
keunggulan dalam kuat patah (1.61-7.25 MPa) dan kuat lenturnya (104.62-358.21
MPa).
Kata kunci: ampas sagu, metanol asam, modifikasi asam.

ABSTRACT
AHMAD TAUFIQURRAHMAN. Acid modified of sago hampas and its effect to
the physical mechanic properties of biofoam. Supervised by TITI CANDRA
SUNARTI.
Styrofoam is one of packaging materials that are widely used, and
produced from non-renewable resources. Natural polymeric materials such as

starch and fiber can be used as an alternative raw material for biofoam production.
Sago hampas contains large amounts of starch and fiber, but naturally starch and
fiber has disadvantages because its moisture sensitivity and poor mechanical
properties, so it needs to be modified to improve its properties. This study aimed
to assess the effect of acid modification on the characteristics of sago hampas
produced, utilization of acid modified sago hampas for biofoam production, and
characterization of biofoam‘s physical mechanical properties. Acid modification

is conducted by soaking the sago hampas in 0.144% of HCl solution in methanol
for 0, 60, 120, 180 and 240 hours. Biofoam was produced from the mixture of
sago hampas, sago starch, synthetic polymer (polyvinyl alcohol), and additives;
and then molded by thermopressing method. The results showed that the longer
soaking time proved to cause the damage of the starch. Compared to native sago
hampas, acid soaking also caused a decreasing in crystallinity, even crystallinity
pattern changed after 60 hours of soaking time. This affected to the characteristics
of the biofoam produced. Washing the sago hampas without soaking (treatment 0
hours) resulted biofoam with better physical mechanical characteristics compared
to native sago hampas, as decreasing in water absorption (57.13%); increasing the
tensile strength (19.14 MPa), modulus of elasticity (358.21 MPa) and modulus of
rupture (7.25 MPa). Compared to styrofoam, the biofoam which produced from

modified sago hampas has better mechanical properties in modulus of rupture
(1.61-7.25 MPa) and modulus of elasticity (104.62-358.21 MPa).
Keywords: acid methanol, acid modification, sago hampas.

MODIFIKASI ASAM AMPAS SAGU DAN PENGARUHNYA
TERHADAP SIFAT FISIK MEKANIK BIOFOAM

AHMAD TAUFIQURRAHMAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014


Judul Skripsi : Modifikasi Asam Ampas Sagu dan Pengaruhnya Terhadap Sifat
Fisik Mekanik Biofoam
Nama
: Ahmad Taufiqurrahman
NIM
: F34090094

Disetujui oleh

Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi
Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia
dan limpahan rahmat-Nya, sehingga penyusunan skripsi berjudul “Modifikasi
Asam Ampas Sagu dan Pengaruhnya Terhadap Sifat Fisik Mekanik Biofoam”
dapat diselesaikan. Penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi selaku dosen pembimbing atas arahan dan
bimbingannya selama penelitian dan penyusunan skripsi.
2. Ayahanda Akhmad Jazuli, Ibunda Iis Aisyah, adik-adik beserta keluarga
besar atas doa dan dukungannya.
3. Laboran TIN atas kesediaannya membantu penulis selama penelitian.
4. Keluarga besar TIN 46 atas kebersamaannya serta semua pihak yang telah
memberikan bantuan kepada penulis selama penelitian sampai penulisan
skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.
5. Kepada Rojali, Jadda, Castro penulis mengucapkan banyak terimakasih
atas semangat dan inspirasinya selama penelitian dan penyusunan skripsi.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dan bermanfaat demi perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi pembaca dan memberikan kontribusi untuk perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya di bidang teknologi pertanian.


Bogor, Februari 2014
Ahmad Taufiqurrahman

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN

ix

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

2

METODE

2

Waktu dan Tempat

2


Bahan

2

Alat

2

Metode Penelitian

2

Proses Produksi Biofoam

3

Prosedur Analisis Data

4


HASIL DAN PEMBAHASAN

5

Karakteristik Ampas Sagu

5

Modifikasi Asam Ampas Sagu

6

Karakteristik Ampas Sagu Termodifikasi

8

Produksi Biofoam
SIMPULAN DAN SARAN


11
14

Simpulan

14

Saran

14

DAFTAR PUSTAKA

14

LAMPIRAN

13

RIWAYAT HIDUP

15

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Formulasi biofoam dalam 69.5 g bahan kering
Komposisi ampas sagu (basis kering)
Karakteristik ampas sagu hasil hidrolisis asam
Pengaruh modifikasi asam terhadap derajat kristalinitas ampas sagu
Karakteristik fisik dan mekanik biofoam
Karakteristik sifat fisik dan mekanis biofoam dan styrofoam

3
6
8
10
12
13

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir proses modifikasi asam
2 Diagram alir proses pembuatan biofoam
3 Pengaruh lama perendaman terhadap rendemen ampas sagu
termodifikasi dan total gula yang terlarut dalam cairan
4 Bentuk granula pati (Δ) dan serat (□) ampas sagu hasil pengujian
SEM untuk (a) ampas sagu alami; ampas sagu hasil hidrolisis asam (b)
0 jam; (c) 60 jam; (d) 120 jam; (e) 180 jam; dan (f) 240 jam.
5 Profil kristal ampas sagu hasil (Lai et al. 2013)
6 Pola kristalinitas berdasarkan analisa XRD hasil hidrolisis asam

4
5
7

9
11
11

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Prosedur analisis karakterisasi bahan baku
Prosedur analisa karakterisasi ampas sagu termodifikasi
Prosedur analisa karakterisasi biofoam
Analisa statistik ampas sagu dan biofoam

17
20
22
24

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dewasa ini styrofoam berbahan baku minyak bumi sudah menjadi hal
yang lumrah. Padahal bahan baku dari kemasan tersebut termasuk sumber daya
yang tidak dapat diperbarui yang saat ini produksinya pun terbatas. Di Indonesia
saja menurut Ditjen Migas (2012) cadangan minyak mentah hanya 3.6 milyar
barrel dengan tingkat produksi 314,666 ribu barrel per hari diperkirakan akan
habis dalam kurun waktu tiga belas tahun. Styrofoam yang dikenal dengan nama
dagang polistirena diketahui menyimpan bahaya yang dapat mengancam
kesehatan manusia. Bahan utama styrofoam yakni polistirena apabila terpapar
dapat menyebabkan gangguan syaraf dan penurunan kadar hemoglobin (Dowly et
al. 1976). Disisi lain, penggunaan styrofoam sebenarnya kurang tepat untuk
mengemas makanan karena dapat terjadi migrasi bahan kimia (Lickly et al. 1995).
Masalah lain yang ditimbulkan dari styforoam ini yaitu limbah hasil penggunaan
styrofoam yang berdampak buruk terhadap lingkungan karena sulit terurai di alam
sehingga dapat menyebabkan penumpukan yang memperparah kondisi alam.
Betapa besarnya dampak buruk dari penggunaan styrofoam, oleh karena
itu harus ada upaya untuk mencari kemasan alternatif pengganti styrofoam. Bahan
potensial yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biopolimer yang berasal
dari limbah pertanian seperti pati dan selulosa yang memilki keistimewaan yaitu
dapat diperbaharui, tersedia melimpah, dan harganya murah (Davis et al. 2006).
Salah satu sumber bahan yang potensial adalah ampas sagu yang merupakan
limbah dari pengolahan pati sagu. Ampas sagu dipilih karena komposisinya yang
terdiri dari 58% pati, 23% selulosa, 9.2% hemiselulosa, dan 3.9% lignin
(Linggang et al. 2012). Kandungan pati pada ampas sagu berpengaruh pada
pencetakan biofoam baik pada proses gelatinisasi maupun proses ekspansinya.
Sedangkan serat berfungsi sebagai penguat (reinforcement) yang berpengaruh
besar pada sifat mekanik biofoam (Lawton et al. 2004).
Pada umumnya pemilihan bahan baku untuk pembuatan biofoam
menimbang dari segi sifat fisik dan mekanis biofoam yang tidak jauh berbeda dari
styrofoam komersial. Penelitian mengenai modifikasi pada bahan baku biofoam
menjadi tema objek penelitian yang menarik. Penggunaan modifikasi khususnya
hidrolisis asam akan mendegradasi daerah amorf pada granula pati hingga amilosa
menjadi berantai pendek dan bobot molekulnya rendah yang diharapkan dapat
meningkatkan daya ikat dan menurunkan viskositas (Bloembergen et al. 2005).
Menurut Buleon et al. (1998), struktur granula pati terdiri dari daerah amorf dan
daerah kristalin. Kedua daerah tersebut letaknya berselang-seling pada granula
pati. Daerah amorf sendiri merupakan daerah yang sebagian besar tersusun atas
amilosa dan titik-titik percabangan amilopektin. Lain hal dengan daerah kristalin
yang sebagian besar tersusun dari ikatan-ikatan pendek dari amilopektin yang
membentuk klaster. Sedangkan pada serat ampas sagu pengaruh hidrolisis asam
akan mendegradasi hemiselulosa dan bagian amorf selulosa sehingga hanya
tersusun bagian selulosa nanokristalin yang memiliki nilai modulus elastisitas
tinggi sekitar 150 GPa sehingga diharapkan mampu meningkatkan sifat mekanik
biofoam (Samir et al. 2004).

2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan ampas sagu untuk
menghasilkan biofoam sebagai pensubstitusi kemasan styrofoam, selain itu untuk
mengetahui pengaruh perlakukan hidrolisis asam metanol terhadap karakteristik
biofoam yang dihasilkan, dan untuk mengetahui pengaruh perbedaan waktu
perendaman terhadap karakteristik biofoam yang dihasilkan.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah penggunaan ampas sagu yang
berasal dari industri rumah di Bogor. Pembuatan biofoam menggunakan teknik
thermopressing dan juga penggunaan PVA sebagai polimer sintetik.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan sejak bulan Februari hingga Desember 2013.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Dasar Ilmu Terapan dan Laboratorium
Bioindustri, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selain itu beberapa analisa juga dilakukan di
Badan Teknologi Atom Nasional (BATAN), Laboratorium Teknologi Hasil
Hutan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong.
Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ampas sagu kering
yang diperoleh dari rumah industri di Bogor. Bahan lain yang digunakan pada
pembuatan biofoam seperti pektin, polivinil alkohol (PVA), magnesium stearat
(MgSt), dan pati sagu. Bahan yang digunakan untuk hidrolisis asam diantaranya
HCl, metanol, NaHCO3, dan akuades. Bahan yang digunakan untuk analisis
antara lain, H2SO4 pekat, fenol 5%, NaOH, dan indikator pp.
Alat
Alat utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat molding untuk
mencetak biofoam. Alat yang digunakan untuk hidrolisis asam adalah wadah
plastik bertutup, pompa plastik, dan timbangan. Alat yang digunakan untuk
analisis yaitu peralatan gelas, spektrofotometer, pH meter, Scanning Electron
Microscop (SEM), Texture Analyzer, cawan aluminium, oven, dan penangas air.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahapan, yaitu tahap persiapan dan
karakterisasi bahan baku, tahap modifikasi asam ampas sagu dan karakterisasinya,
serta tahap pembuatan biofoam dan karakterisasinya.

3
Penyiapan dan Karakterisasi Bahan Baku
Penyiapan bahan baku dilakukan dengan penjemuran, penggilingan, dan
pengayakan 40 mesh ampas sagu dan pati sagu. Karakterisasi bahan baku utama
yaitu ampas sagu meliputi kadar air, kadar abu, kadar serat kasar, analisa
komponen serat, dan kadar pati. Prosedur analisa untuk karakterisasi bahan ini
disajikan pada Lampiran 1.
Modifikasi Asam Ampas Sagu
Modifikasi asam ampas sagu dilakukan dengan metode rekomendasi Lin et
al. (2003). Ampas sagu sebanyak 100 g (basis kering) direndam dengan 1000 ml
metanol dengan penambahan 4 ml larutan HCl (0.144%) dengan rentang lima
waktu berbeda yaitu 0 (pencucian tanpa perendaman atau perendaman dengan
waktu singkat), 60, 120, 180, dan 240 jam pada suhu 25ºC. Kemudian
dinetralisasi dengan larutan NaHCO3 1 M dan dicuci dengan larutan etanol.
Setelah itu dilakukan pengeringan dengan suhu 40ᴼC. Setelah kering ampas sagu
digiling dan diayak dengan ukuran 40 mesh, kemudian disimpan dalam plastik
sampai digunakan. Diagram alir proses modifikasi asam disajikan pada Gambar 1.
Filtrat yang dihasilkan dari proses penyaringan pada produksi ampas sagu
termodifikasi dianalisa total gula sebagai penduga tingkat hidrolisis asam terhadap
pati. Analisa total gula dilakukan dengan metode fenol-asam sulfat yang disajikan
pada Lampiran 2.
Karakterisasi Ampas Sagu Termodifikasi
Karakterisasi ampas sagu termodifikasi meliputi kadar pati, analisa
komponen serat, dan kadar air. Prosedur karakterisasi ampas sagu termodifikasi
disajikan pada Lampiran 2.
Proses Produksi Biofoam
Proses pembuatan biofoam dilakukan dengan metode rekomendasi dari
Iriani et al. (2012). Pertama terlebih dahulu dilakukan dengan mencampurkan
ampas sagu, pati sagu, polivinil alkohol (PVA), pektin, magnesium stearat, dan air
sehingga membentuk adonan. Kemudian dihomogenisasi dengan menggunakan
mixer selama 10 menit hingga bahan tercampur merata. Selanjutnya adonan
dicetak dengan alat thermopressing selama 4 menit dengan suhu 150ºC. Formulasi
seluruh bahan tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1 Formulasi biofoam dalam 69.5 g bahan kering
Bahan
Ampas Sagu
Pati Sagu
Pektin
Polivinil Alkohol
Magnesium Stearat
Air

Jumlah
7.5 g
30 g
15 g
15 g
2g
130 ml

4
Karakterisasi Biofoam
Karakterisasi biofoam meliputi sifat fisik yang terdiri dari ketebalan, daya
serap air, dan densitas kamba, sedangkan sifat mekanik diantaranya kuat tarik,
kuat lentur, dan kuat patah. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 3,
sementara itu proses pembuatan biofoam disajikan pada Gambar 2.

Ampas Sagu
Alami

Metanol-HCl
(0.144%)

Perendaman

(T = 25 C)
Penetralan

Filtrat

NaHCO3 1N

Penyaringan

Pengeringan

(T=40 C)

Ampas Sagu
Termodifikasi
Gambar 1 Diagram alir proses modifikasi asam
Prosedur Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan
percobaan acak lengkap dengan faktor yaitu lama hidrolisis asam. Pada rancangan
percobaan ini akan dilihat pengaruh faktor tersebut terhadap karakteristik residu
hidrolisis asam serta karakteristik fisik dan mekanik biofoam. Taraf untuk faktor
lama hidrolisis asam yaitu 0, 60, 120, 180, dan 240 jam. Bentuk hipotesis yang
akan diuji ialah:
H0 : semua τi = 0 (i = 1, 2, ..., t)
H1 : tidak semua τi = 0 (i = 1, 2, ..., t)
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis ragam (ANOVA). Jika
pengujian ANOVA menghasilkan penolakan terhadap H0 maka dilakukan uji
lanjut. Uji lanjut yang digunakan adalah Duncan’s Multiple Range Test.

5
Bahan Baku
Ampas Sagu
Pencampuran bahan kering
Pembuatan adonan
dengan mixer 10 menit

Air ( 1:1.8)

Pencetakkan menggunakan
thermopressing machine
Pendinginan
Ampas Sagu
Termodifikasi
Gambar 2 Diagram alir proses pembuatan biofoam

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Ampas Sagu
Karakteristik bahan baku sangat mempengaruhi kemampuan ekspansi
biofoam. Karakteristik bahan baku yang meliputi kadar air, pati, lemak, protein,
serat dan rasio amilosa terhadap amilopektin akan berpengaruh pada aliran dan
kekentalan dari pati atau tepung (Chinnaswamy dan Hanna 1988). Ampas sagu
yang digunakan pada penelitian ini terlebih dahulu dilakukan proses pengeringan
dan pengecilan hingga 40 mesh. Proses pengeringan dimaksudkan menurunkan
kadar air ampas sagu sehingga mempermudah proses pengecilan dan juga
menghindari tumbuhnya mikroorganisme selama penyimpanan. Proses pengecilan
yang dilakukan juga berguna untuk memperluas bidang kontak permukaan antara
ampas sagu dengan bahan-bahan lainnya sehingga pada saat pembuatan adonan
seluruh ampas sagu tercampur merata. Komposisi ampas sagu disajikan pada
Tabel 2.
Berdasarkan pada Tabel 2, komposisi ampas sagu hasil penelitian dengan
pustaka memiliki perbedaan terutama pada kadar pati dan kadar serat. Perbedaan
pada kadar serat hasil penelitian dapat disebabkan pada proses penyaringan ampas
sagu banyak serat yang terbuang sehingga mengurangi rendemen serat. Pada hasil
pengujian kadar pati perbedaan yang terjadi kemungkinan karena adanya zat-zat
ekstraktif pada ampas sagu yang termasuk dalam penghitungan kadar pati.

6
Pertimbangan ampas sagu sebagai bahan baku pembuatan biofoam yaitu
ketersediannya memadai dan harganya terbilang sangat murah mengingat ampas
sagu merupakan limbah hasil pengolahan pati sagu. Dilihat dari komposisinya
yang terdiri dari kadar protein dan kadar lemak yang relatif rendah yang
berpengaruh terhadap kemampuan ekspansinya untuk produksi biofoam.
Tabel 2 Komposisi ampas sagu (basis kering)
Sumber
Pustaka*
Pati (%)
30-45
Serat Kasar (%)
30-35
Protein (%)
1
Tidak
Lemak(%)
terdeteksi
Air (%)
Abu (%)
*
Sumber: Adeni et al.(2009)
Komposisi

Hasil
Pengamatan
49.94
19.22
1.95
0.84
11.00
8.60

Komponen protein juga berperan untuk membantu memperkuat matriks
polimer yang dihasilkan pati. Namun kandungan protein sebaiknya tidak tinggi
agar biofoam mudah dilepaskan dari alat cetak akibat kerak dari protein yang
terdenaturasi. Lemak memiliki pengaruh baik pada proses pembuatan biofoam
yang berguna untuk membantu pelepasan biofoam dari alat cetak. Selain itu yang
dilaporkan Poovarodom (2006) bahwa lemak juga dapat berfungsi sebagai
plasticizer dan untuk meningkatkan hidrofobisitas biofoam karena sifatnya yang
hidrofobik. Komponen lemak sebaiknya tidak tinggi agar biofoam yang dihasilkan
tidak tengik karena mudah dihidrolisis.
Komponen serat pada ampas sagu berperan meningkatkan fleksibilitas dan
kekuatan biofoam (Andersen dan Hodson 1996). Serat juga menurut Lawton et al.
(2004) dan Salgado et al. (2008) mampu meningkatkan hidrofobisitas biofoam.
Penambahan serat juga dapat berpengaruh pada proses ekspansi biofoam.
Pati merupakan polimer glukosa yang terdiri dari amilosa yang berantai
lurus dan amilopektin yang memiliki rantai bercabang. Struktur amilosa yang
berantai lurus ini yang menyebabkan pati memiliki kedekatan karakteristik dengan
polimer sintetis sehingga peneliti membuat biofoam dengan bahan baku dari pati.
Namun ternyata biofoam yang dihasilkan memiliki nilai sifat fisik dan mekanik
yang rendah. Hal ini disebabkan pati yang mudah sekali menyerap air (Glenn et
al. 2001). Amilosa dan amilopektin pada pati akan menyebabkan perbedaan sifat
fungsional pati seperti kemampuan membentuk gel dan kekentalannya sehingga
akan berpengaruh pada kelarutan dan derajat gelatinisasi pati pada biofoam yang
dihasilkan Rapaille dan Vanhemelrijck (1994).
Modifikasi Asam Ampas Sagu
Pengaruh lama perendaman ampas sagu terhadap nilai total gula filtrat dan
rendemen residu disajikan pada Gambar 3, dapat diketahui bahwa nilai rendemen
ampas sagu termodifikasi yang dihasilkan berkisar antara 91-94% sedangkan nilai
total gula yang terlarut pada filtrat antara 0.39-87.73 ppm. Pada Gambar 3

7
memperlihatkan pola yang cenderung menurun pada rendemen ampas sagu
termodifikasi. Namun, grafik total gula cenderung meningkat. Hal ini dapat
dipahami bahwa semakin lama perendaman ampas sagu nilai rendemen semakin
rendah. Penurunan ini karena adanya degradasi yang dilakukan oleh hidrolisis
asam pada polisakarida ampas sagu menjadi gula sederhana yang tampak pada
meningkatnya nilai total gula pada filtrat. Berdasarkan analisa statistik pada
Lampiran 2, pengaruh modifikasi asam signifikan tiap perlakuan jam sedangkan
pada rendemen penurunan signifikan pada jam ke-120. Hal ini menandakan
banyaknya polisakarida yang dilepaskan yang terhitung dalam total gula yang
menyebabkan terjadinya penurunan rendemen ampas sagu.

Gambar 3 Pengaruh lama perendaman terhadap rendemen ampas sagu
termodifikasi dan total gula yang terlarut dalam cairan
Modifikasi asam yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan
konsentrasi rendah dan pada suhu ruang. Perlakuan asam menyebabkan bagian
amorf pada pati terdegradasi sehingga menghasilkan pati kristalin. Penggunaan
pelarut metanol dimaksudkan agar mempengaruhi permukaan dan struktur granula
pati pada saat degradasi sehingga granula menjadi kasar, berlubang dan ukurannya
mengecil (Lin et al. 2003). Perubahan struktur pada granula ini diharapkan
mampu memperkuat biofoam karena daya ikatnya yang tinggi. Pada umumnya
granula pati terdiri dari daerah amorf dan daerah kristalin yang tersusun atas
amilosa dan amilopektin. Asam kuat yang digunakan pada hidrolisis akan
memotong rantai-rantai amilosa rantai panjang dan percabangan amilopektin yang
terdapat pada daerah amorf hingga menjadi amilosa rantai pendek dengan bobot
molekul yang rendah Ma et al. (2008). Modifikasi asam menghasilkan pati yang
memiliki daya ikat yang tinggi dan viskositas yang rendah (Bloembergen et al.
2005). Hidrolisis asam juga tidak hanya mendegradasi komponen pati namun juga
mendegradasi komponen non-pati lainnya yaitu serat seperti yang diungkapkan
Radley (1976), bahwa asam akan menghidrolisis semua jenis polisakarida yang
mampu terhidrolisis. Pada serat yang tersusun dari lignin, selulosa, dan
hemiselulosa perlakuan asam akan mendegradasi bagian-bagian amorf dari serat.
Hemiselulosa yang tersusun dari bagian amorf akan terhidrolisis dan juga daerah
amorf pada selulosa. Hidrolisis ini akan menghasilkan selulosa nanokristalin yang
diharapkan dapat meningkatkan sifat mekanis dari biofoam (Samir et al. 2004).

8

Karakteristik Ampas Sagu Termodifikasi
Kandungan pati pada bahan baku biofoam mempengaruhi kemampuan
ekspansinya pada saat proses pencetakan. Hal ini karena rasio amilosa dan
amilopektin yang dikandungnya. Amilosa menurut Fritz (1994), berekspansi
secara maksimal pada suhu 225 ᴼC sedangkan amilopektin pada suhu 135 ᴼC.
Dengan demikian pati yang memiliki kadar amilosa yang tinggi membutuhkan
suhu yang tinggi. Selain itu, pengembangan amilosa cenderung memanjang
sedangkan amilopektin radial. Menurut Iriani et al. (2012), semakin banyaknya
amilosa yang dikandung pati maka semakin besar daya serapnya terhadap air
karena pada struktur amilosa masih bersifat amorf yang tingkat sensitifitas
terhadap airnya tinggi pada gugus hidroksilnya. Hal inilah yang menjadi alasan
dilakukannya modifikasi asam. Berdasarkan analisa statistik, kadar pati ampas
sagu termodifikasi signifikan pada tiap jam perlakuan. Terlihat pada Tabel 3,
kadar pati dari ampas sagu alami dengan ampas sagu yang telah dilakukan
perendaman pada jam ke-0 terjadi penurunan. Hal ini disebabkan karena
terlarutnya sejumlah zat ekstraktif pada ampas sagu oleh HCl-metanol.
Tabel 3 Karakteristik ampas sagu hasil hidrolisis asam
Waktu (jam)
Parameter
Kontrol
0
60
120
180
49.94
Kadar pati (%)
48.07a 42.94b
40.02c
25.72d
4.97
Lignin (%)
4.32a
4.70a
4.83a
5.71a
15.10
Selulosa (%)
15.31b 14.00ab
11.37a
13.04ab
a
a
a
5.33
Hemiselulosa (%)
5.87
4.98
4.58
5.04a
11.00
Kadar air (%)
7.68b
7.77b
5.42a
5.75a

240
19.38e
3.11a
14.20ab
5.91a
5.58a

Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda signifikan pada
taraf uji 5%

Selulosa adalah homopolisakarida dengan glukosa sebagai monomernya
dan juga merupakan molekul organik yang terdapat pada tumbuhan. Selulosa
adalah polimer glukosa yang membentuk rantai linier dan dihubungkan oleh
ikatan β-1,4 glikosidik. Struktur yang linier menyebabkan selulosa bersifat
kristalin dan tidak mudah larut. Selulosa tidak mudah didegradasi secara kimia
maupun mekanis. Pada umumnya di alam selulosa berasosiasi dengan
polisakarida lain seperti hemiselulosa atau lignin membentuk kerangka utama
dinding sel tumbuhan (Holtzapple 1993). Secara alamiah molekul-molekul
selulosa tersusun dalam bentuk fibril-fibril yang terdiri dari beberapa molekul
selulosa yang dihubungkan dengan ikatan hidrogen. Fibril-fibril ini membentuk
struktur kristal yang dibungkus oleh lignin. Komposisi kimia dan struktur yang
demikian membuat kebanyakan bahan yang mengandung selulosa bersifat kuat
dan keras. Hasil analisis kadar selulosa disajikan pada Tabel 3. Hidrolisis asam
yang dilakukan pada penelitian ini tidak merusak komponen selulosa karena
berlangsung pada suhu kamar. Menurut Kusuma (2012), selulosa akan
terhidrolisis apabila menggunakan konsentrasi asam 2% dengan suhu 121 οC
selama 45 menit. Berdasarkan analisa statistik, pengaruh hidrolisis asam tidak
signifikan terhadap kadar selulosa yang dihasilkan.

9
Hemiselulosa merupakan heteropolimer kompleks yang memiliki
kandungan utama xilosa dan juga sejumlah arabinosa, manosa, glukosa dan
galaktosa (Burchardt dan Ingram 1992). Fengel dan Wegener (1995)
menyebutkan bahwa selain arabinosa, manosa dan glukosa, beberapa
hemiselulosa juga mengandung galaktosa dan senyawa tambahan yaitu asam
uronat. Analisis kandungan hemiselulosa disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan
analisa statistik, pengaruh hidrolisis asam tidak signifikan terhadap kadar
hemiselulosa yang dihasilkan.
Lignin merupakan bahan organik bukan karbohidrat yang berbentuk amorf
dan tersusun atas satuan-satuan fenol (Chang et al. 1981). Pada tanaman, lignin
yang membungkus selulosa dan hemiselulosa. Kandungan lignin disajikan pada
Tabel 3. Berdasarkan analisa statistik, pengaruh hidrolisis asam tidak signifikan
terhadap kadar lignin yang dihasilkan.
a

b

c

d

e

f

Gambar 4 Bentuk granula pati (Δ) dan serat (□) ampas sagu hasil pengujian
SEM untuk (a) ampas sagu alami; ampas sagu hasil hidrolisis asam
(b) 0 jam; (c) 60 jam; (d) 120 jam; (e) 180 jam; dan (f) 240 jam,
dengan perbesaran 500×.

10
Pengaruh hidrolisis asam terhadap morfologi granula ampas sagu dapat
dilihat menggunakan mikroskop, yakni SEM. Granula pati pada ampas sagu
memiliki ukuran diameter 29.41 μm hampir sama dengan ukuran granula pati
sagu yang memiliki ukuran 28.43 μm (Lai et al. 2013). Berdasarkan hasil analisa
SEM, granula pati ampas sagu yang telah dihidrolisis asam masih memilki bentuk
dan ukuran yang sama dengan ampas sagu alami. Ini mengindikasikan bahwa
proses hidrolisis asam merusak daerah amorf pada granula tanpa mempengaruhi
bentuk dan ukurannya.
Lama waktu hidirolisis asam dapat berpengaruh terhadap derajat
kristalinitas ampas sagu. Ini terlihat dari Tabel 4 bahwa kristalinitas ampas sagu
alami adalah 80.73% sedangkan setelah dihidrolisis nilai kristalinitas ampas sagu
menurun. Hal ini menunjukkan bahwa hidrolisis asam turut juga mendegradasi
daerah kristalin pada ampas sagu. Perusakan daerah kristalinitas oleh asam
terlihat signifikan ini mengacu dari analisa filtrat total gula yang telah dilakukan
sebelumnya, dimana total gula dalam filtrat meningkat tiap jam perlakuan.
Tabel 4 Pengaruh modifikasi asam terhadap derajat kristalinitas ampas sagu
Sampel
Ampas sagu alami
0
60
120
180
240

Derajat kristalinitas (%)
80.73
57.33
64.37
62.68
52.22
58.55

Pola difraksi sinar X dari ampas sagu disajikan pada Gambar 6. Ampas sagu
menurut Ahmad dan Williams (1999) dan Pukkahuta dan Varavinit (2007)
memiliki tipe kristalinitas diantara sereal (tipe–A) dan umbi (tipe-B). Peak dari
ampas sagu menunjukkan bahwa ampas sagu memilki campuran dari pati sagu
dan serat ampas sagu. Ampas sagu yang dimodifikasi pada jam 0, 60, dan 120 jam
memiliki pola kristalinitas yang sama dengan pati alaminya hanya peak tidak
terlalu tinggi dengan pati alami. Pengaruh modifikasi hanya merusakkan daerah
amorf hingga didapatkan pati yang lebih bersifat kristalin dan tidak mengalami
perubahan struktur. Namun ampas sagu yang dimodifikasi pada jam 180 dan 240
jam memiliki pola kristalinitas yang berbeda dengan pati alami. Terlihat bahwa
pola kristalinitas pada ampas sagu 180 dan 240 jam memiliki pola yang lebih
landai dari pati alami dan persis seperti pola kristalinitas serat ampas sagu. Hal ini
dikarenakan terjadi degradasi pada pati ampas sagu. Perubahan ini diduga karena
terbukanya struktur double helix pada daerah kristalin. Selain itu juga mungkin
terjadi proses terkristalinisasinya amilosa rantai pendek yang membentuk double
helix sehingga dapat menyebabkan perubahan bentuk kristalin dalam granula pati
dan terjadi penurunan derajat kristalinitas.

11

Gambar 5 Profil kristal ampas sagu hasil (Lai et al. 2013)
23.4ᴼ
17.2ᴼ

17.8ᴼ

Intensitas

15.1ᴼ

Ampas
Ampas sagu
biasaalami
0 jam
60 jam
120 jam
180 jam
240 jam

10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34

Gambar 6 Pola kristalinitas berdasarkan analisa XRD hasil hidrolisis asam
Produksi Biofoam
Teknologi pembuatan biofoam yang digunakan pada penelitian ini adalah
thermopressing karena dapat dibentuk sesuai yang diinginkan. Alat yang
digunakan berupa dua cetakan besi atau baja yang kemudian dipanaskan di bagian
atas dan bawahnya. Bagian atasnya akan menekan adonan sehingga akan
terbentuk biofoam yang sesuai cetakan. Pada proses ini pati tergelatinisasi, air
perlahan-lahan berimbibisi ke dalam granula bolak-balik, setelah itu terjadi
pengembangan granula dengan cepat karena penyerapan air cepat sehingga
kehilangan sifat birefrigent. Sifat birefrigent adalah sifat dari granula pati yang
dapat merefleksi cahaya terpolarisasi sehingga di bawah mikroskop polarisasi
membentuk bidang berwarna kuning dan biru. Ketika suhu terus naik molekul
yang terdapat pada amilosa terdifusi keluar (McCready 1970). Proses gelatinisasi
menyebabkan pengerusakan ikatan hidrogen intramolekuler. Ikatan ini
bertanggung jawab mempertahankan struktur granula. Pembengkakan yang terjadi

12
pada granula saat gelatinisasi dikarenakan adanya gugus hidroksil bebas yang
akan menyerap air.
Pada pembuatan biofoam penggunaan suhu 150ºC dilakukan mengingat titik
leleh polivinil alkohol 148ºC (Iriani et al. 2012) dan titik leleh sagu tertinggi
120ºC (Maaruf et al 2001). Dengan mempertimbangkan masing-masing titik leleh
bahan serta titik leleh pektin tertinggi sekitar 153ºC, maka suhu proses pembuatan
biofoam sekitar 150ºC. Penggunaan bahan pektin berperan sebagai pengikat air
bebas dan menjaga kekompakan biofoam. Sementara magnesium stearat berguna
sebagai demolding agent. Tekanan yang diberikan pada pembuatan biofoam
memang tidak dikontrol namun tekanan pada alat thermopressing sekitar 155-600
Bar.
Hasil pengukuran densitas kamba biofoam ini berkisar antara 0.0126-0.0207
3
g/cm . Bila dibandingkan dengan styrofoam yang sebesar 0.035 g/cm3 densitas
biofoam penelitian ini lebih rendah. Tentu sebagai produk kemasan, biofoam
sebaiknya memiliki densitas yang rendah karena akan berpengaruh pada bobot
produk, daya serap air, dan sifat mekanisnya (Iriani et al. 2012). Berdasarkan
analisa statistik, pengaruh perlakuan asam tidak berpengaruh nyata pada densitas
biofoam yang dihasilkan. Namun, pada Tabel 5 densitas biofoam cenderung
meningkat seiring bertambahnya waktu perendaman.
Tingginya densitas suatu biofoam akan berpengaruh pada rendahnya daya
serap air. Proses ekspansi pada pembuatan biofoam menghasilkan struktur yang
berongga. Rongga-rongga ini dapat terisi oleh air. Apabila serat ditambahkan ke
dalam adonan biofoam akan membuat rongga-rongga tersebut mengecil karena
proses ekspansi terhambat oleh serat. Jika rongga kecil air yang mengisi pun
sedikit sehingga nilai daya serap air pun berkurang (Iriani et al. 2012).
Tabel 5 Karakteristik fisik dan mekanik biofoam
Perlakuan Waktu Perendaman (jam)
Parameter

Waktu
(menit)

Daya serap
air (%)

3
5

Densitas kamba (g/cm3)
Kuat tarik (N/mm2)
Kuat Lentur (MPa)
Kuat Patah (MPa)

Ampas Sagu
Alami
110.88

0

60

120

180

240

57.13a

54.68a

36.99a

40.58a

43.13a

224.68 131.96a 108.66a 136.9a 127.2a 94.28a
0.0026 0.0126a 0.0127a 0.0145a 0.0213a 0.0207a
14.44 19.14a 20.34a 21.43a 16.92a 13.71a
186.71 358.21c 215.51b 282.50c 159.53b 104.62a
3.39
7.25e
4.74d
4.94c
2.01b
1.61a

Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda signifikan pada
taraf uji 5%

Pada Tabel 6 diketahui bahwa nilai daya serap air biofoam tinggi bila
dibandingkan dengan styrofoam komersial. Berdasarkan analisa statistik,
perlakuan hidrolisis asam tidak signifikan terhadap nilai daya serap air biofoam.
Secara keseluruhan nilai daya serap air biofoam meningkat. Nilai daya serap air
yang tinggi dapat dipengaruhi oleh porositas dari biofoam dan penggunaan pati
(Vercelheze et al. 2011). Menurut Dubat (2004), pati alami mampu menyerap air
sebesar 0.4 berat mula-mula pati. Selain itu, penambahan serat juga dapat
meningkatkan penyerapan air yang lebih besar karena struktur morfologi yang

13
lebih padat dan viskositas yang cenderung kental (Iriani et al. 2012). Sedangkan
penurunan daya serap air dapat terjadi karena pada pati yang telah dirusak bagian
amorfnya oleh hidrolisis asam cenderung menurun sensitifitasnya terhadap air.
Pengujian kuat lentur pada biofoam ini berkisar antara 104 MPa sampai
358 MPa. Sementara nilai kuat lentur styrofoam komersial berkisar antara 105
MPa sampai 280 MPa. Biofoam pada penelitian ini memiliki nilai kuat lentur pada
selang nilai kuat lentur styrofoam komersial. Berdasarkan analisa statistik,
penurunan nilai kuat lentur biofoam signifikan pada 0 jam, 60 jam dan 240 jam.
Menurut Glenn et al. (2001) bahwa kekuatan dan fleksibilitas pati biofoam dapat
ditingkatkan dengan penambahan serat. Namun penambahan serat yang tidak rata
pada adonan biofoam akan mengurangi elastisitas karena bagian yang tidak terisi
oleh serat pada biofoam akan menjadi titik lemah untuk elastisitas biofoam.
Nilai kuat patah pada biofoam berkisar antara 1.6 MPa sampai 7.2 MPa.
Nilai kuat patah pada biofoam ini lebih tinggi dibanding nilai kuat patah
styrofoam komersial yang berkisar antara 1.3 MPa sampai 1.39 MPa. Ini berarti
biofoam pada penelitian ini mampu sebagai pensubstitusi styrofoam komersial
sebagai bahan pengemas berkadar air rendah. Berdasarkan analisa statistik, nilai
kuat patah biofoam signifikan pada tiap perlakuan.
Tingginya nilai kuat patah pada biofoam ini tidak terlepas dari adanya serat
yang ditambahkan. Penambahan serat yang tepat menurut Lawton et al. (2004)
menyebabkan serat terdistribusi merata dan melekat sempurna pada matriks pati
biofoam sehingga meningkatkan kekuatan biofoam. Begitu pula menurut
Andersen et al. (1999) bahwa serat dapat digunakan sebagai bahan pengisi
biofoam yang berfungsi untuk meningkatkan kekuatan biofoam. Adanya
penurunan nilai patah dapat disebabkan serat tidak terdistribusi merata pada
biofoam. Tidak meratanya serat dikarenakan terjadi penggumpalan serat pada
adonan biofoam akibat pencampuran yang tidak baik (Lawton et al. 2004).
Tabel 6 Karakteristik sifat fisik dan mekanis biofoam dan styrofoam
Styrofoam
Biofoam Hasil
Parameter Uji Biofoam
Komersial
Penelitian
a
Ketebalan (mm)
2.3
2.60
3
a
Densitas (g/cm )
0.063
0.012
b
Daya serap air (%)
0.02
36.99
cd
Kuat lentur (MPa)
105-280
358
Kuat Patah (MPa)
1.3-1.39c
7.2
a

Glenn et al. (2000)
Cowd (1991)
c
Glenn et al. (2001)
d
Shogren et al. (1998)
b

Nilai kuat tarik disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan analisa statistik, nilai
kuat tarik tidak signifikan di tiap perlakuan. Namun, secara umum adanya
kecenderungan penurunan nilai kuat tarik terhadap lamanya hidrolisis asam.
Adanya penurunan kuat tarik diakibatkan karena tidak terdistribusinya serat secara
merata pada formulasi biofoam. Menurut Buzarovska et al. (2008) penuruan yang
terjadi diduga karena rendahnya gaya adhesi antara serat dengan pati sehingga
menyebabkan perbedaan fasa antara pati dan serat. Biofoam yang ditambahkan

14
serat memungkinkan menurunnya kemampuan ekspansi biofoam sehingga
biofoam tidak memiliki rongga-rongga yang cukup. Hal ini akan menyebabkan
biofoam akan lebih mudah dipatahkan atau dibengkokkan (Cinelli et al. 2006).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Ampas sagu mengandung komponen terbesar pati dan serat sehingga
berpotensi digunakan sebagai bahan baku biofoam. Semakin lama perendaman
terbukti menyebabkan kerusakan pada pati. Dibandingkan ampas sagu alami,
perendaman juga menyebabkan penurunan kristalinitas, bahkan pola
kristalinitasnya berubah setelah perendaman 60 jam. Hal ini mempengaruhi
karakteristik biofoam yang dihasilkan. Pencucian tanpa perendaman (perlakuan 0
jam) menghasilkan biofoam dengan karakteristik fisik mekanik yang lebih
dibandingkan ampas sagu alami, berupa penurunan daya serap air, peningkatkan
kuat tarik, kuat lentur, dan kuat patah. Jika dibandingkan dengan styrofoam, maka
biofoam yang dihasilkan ampas sagu termodifikasi memiliki keunggulan dalam
kuat patah dan kuat lenturnya.
Saran
Biofoam pada penelitian ini dapat diaplikasikan sebagai pengganti
styrofoam komersial namun ada beberapa karakteristik yang harus diperbaiki,
terutama nilai sifat fisik. Pengurangan daya serap air pada biofoam ini dapat
dilakukan dengan mengganti plasticizer yang hidrofobik. Penentuan waktu
pencampuran juga diperhatikan supaya bahan-bahan pada adonan tercampur
merata. Dibutuhkan juga penelitian suhu penyimpanan biofoam yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA
Adeni DSA, Janggu U, Abd-Aziz S, Bujang KB, Yee PL . 2009. Glucose
Recovery from Sago Hampas for Ethanol Fermentation. Di dalam: Iskandar
ZS, Tahlim S, Hiroshi E, Suwardi Iskandar L, Sintho WA, editor.
Proceedings of the 10th International Sago Symposium; 2011 Oct 29-30;
Bogor. Indonesia (ID): IPB Pr. hlm 27.
Ahmad FB, Williams PA. 1999. Effect of salts on the gelatinization and
rheological properties of sago starch. J Agric Food Chem. 47(8):3359–3366.
Andersen P, Kumar A, Hodson S. 1999. Inorganically filled starch ased reinforced
composite foam materials for food packaging. Res Innovation. 3:2-8.
Andersen PJ, Hodson SK. 1996. Molded articles having in inorganically filled
organic polymer matrix. US Patent 5545450.
[AOAC] The Association Official Analytical Chemists. 2006. Washington (USA):
Official Methods of Analysis.
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989.
Analisis Pangan. Bogor (ID): IPB Pr.

15
[ASTM] American Society for Testing and Materials. Standard Test Methods for
Flexural Properties of Unreinforced and Reinforced Plastics and Electrical
Insulating Material. Philadelpia, USA, ASTM (Annual Book of ASTM
Standards).
Bloembergen S, Kappen F, Beelen B. 2005. Environmentally friendly biopolymer
adhesives and applications based thereon. US Patent 6921430 B2.
Buleon A, Colonna P, Planchot V, Ball S. 1998. Starch granules: structure and
biosynthesis. Int J Biol Macromol. 23:85-112.
Burchardt G, Ingram LO. 1992. Conversion of Xylan to Ethanol by Ethalogenic
Strains of Escherichia coli and Klebsiella oxytoca. Appl Environ Microbiol.
58:1128-1133.
Buzarovska A, Gaceva B, Grozdanov A, Avella M, Gentile G, Errico M. 2008.
Potential use of rice straw as filler in ecocomposite materials. Aust J Crop
Sci. 1(2): 37-45.
Chang M, Chon TC, Tsao GT. 1981. Structure Pretreatment and Hydrolysis
Cellulose. Adv Biochem Eng. 20: 14-25.
Chinnaswamy R, Hanna MA. 1988. Relationship between amylose content and
extrusion-expansion properties of corn starches. Cereal Chem. 65:138-143.
Cinelli P, Chiellini E, Lawton JW. 2006. Foamed articles based on potato starch,
cornfibers and polyvinyl alcohol. J Polym Degrad Stabil. 91:1147-1155.
Cowd MA. 1991. Kimia Polimer. Bandung (ID): ITB Pr.
Davis G, Song JH. 2006. Biodegradable packaging based on raw material from
crops and their impact on waste management. J Ind Crops Prod. 23:147161.
Dowly BJ, Laseter JL, Storet J. 1976. Transplacental migration and accumulation
in blood of volatile organic constituents. J Pediatr Res.10: 696–701.
Dubat A. 2004. The Importance and Impact of Starch Damage and Evolution of
Measuring Methods. New York (USA): CRC Pr.
Fengel D, Wegener D. 1995. Kimia Kayu, Reaksi Ultrastruktur: Terjemahan S.
Hardjono. Yogyakarta (ID): UGM Pr.
Fritz HG, Seidenstucker T, Bolz U, Juza M. 1994. Study On Production of
Thermoplastics and Fibres Based Mainly on Biological Materials., German
(GE): University Stuttgrat. hlm 350.
Glenn GM, Orts WJ. 2000. Properties of starch-based foam formed by
compression: explosion processing. J Ind Crops Prod. 13:135-143.
Glenn GM, Orts WJ, Nobes GAR. 2001. Starch, fiber, CaCO3 effect on the
physical properties of foams made by a baking process. J Ind Crops Prod.
14:201-212.
Holtzapple MT. 1993. Cellulose. In: Encyclopedia of Food Science, Food
Technology and Nutrition. London (UK): Academic Pr. hlm 2731-2738.
Iriani ES, TT Irawadi, TC Sunarti, N Richana, I Yuliasih. 2012. Effect of
polyvinyl alcohol and corn hominy on improvement of physical and
mechanical properties of cassava starch based foam. Eur J Sci Res. 81(1):
83-87.
Kusuma AH. 2012. Proses Hidrolisis Asam Senyawa Polisakarida Rumput Laut
Caulerpa racemosa, Sargassum crassifolium, dan Gracilia salicornia.
[Skripsi]. Bogor (ID): Insitut Pertanian Bogor.

16
Maaruf AG, YB Che Man, BA Asbi, AH Junainah, JF Kennedy. 2001. Effect of
water content on the gelatinisation temperature of sago starch. Carbohydr
polym. 46:331-337.
Ma X, Jian R, Chang PR, Ju Y. 2008. Fabrication and characterization of citric
acid-modified starch nanoparticles/ plasticized-starch composites.
Biomacromolecular. 9(11):3314-3320.
McCready RM. 1970. Starch and dextrin method in food analysis. New York
(USA): M. A. Joslyn Academic Pr.
Lai JC, Rahman WAWA, Toh WY.2013. Characterisation of sago pith waste and
its composites. J Ind Crops and Prod. 45: 319-326.
Lawton JW, Shogren RL, Tiefenbacher KF. 2004. Aspen fiber addition improves
the mechanical properties of baked cornstarch foams. J Ind Crops
Prod.19:41-48.
Lickly TD, Lehr KM, Welsh GC. 1995. Migration of styrene from polystyrene
foam food-contact articles. Food Chem Toxic. 33(6):475-481.
Linggang S, Phang LY, Wasoh MH, Abd-Aziz S. 2012. Sago Pith Residue as an
Alternative Cheap Substrate for Fermentable Sugars Production. Appl
Biochem Bioetanol. 167:122-131.
Lin JH, Lee SY, Chang YH. 2003. Effect of acid–alcohol treatment on the
molecular structure and physicochemical properties of maize and potato
starches. Carbohydr Polym. 53: 475–482.
Poovarodom N. 2006. Non-synthetic biodegradable starch-based composition for
production of shaped bodies.US Patent 7067651.
Pukkahuta C, Varavinit S. 2007. Structural transformation of sago starch by
heatmoisture and osmotic-pressure treatment. Starch-Starke. 59(12): 624–
631.
Radley, JA. 1976. Examination and Analysis of Starch and Starch Products.
London (UK): Applied Science Publishers.
Rapaille A, Vanhemelrijck J. 1994. Modified starch. London (UK): Champman
and Hall.
Salgado PR, Schmidt VC, Ortiz SEM, Mauri AN, Laurindo JB. 2008.
Biodegradable foams based on cassava starch, sunflower proteins and
cellulose fibers obtained by baking process. J Food Eng. 85: 435-443.
Samir M, Alloin F, Paillet M, Dufresne A .2004. Tangling effect in fibrillated
cellulose reinforced nanocomposites. Macromolecules. 37:4313–4316
Shogren RL, Lawton JW, Tiefenbacher KF, Chen L. 1998. Starch-poly(vinyl
alcohol) foamed articles prepared by a baking process. J Appl Polym Sci.
68:2129-2140.
Tien R, Muchtadi, dan Sugiyono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan
Bahan Pangan. Bogor (ID): IPB Pr.
Vercelheze AES, Fakhouri FM, Antonia LHD, Urbano A, Youssef EY,
Yamashita F, Mali S. 2011. Properties of baked foams based on cassava
starch, sugarcane bagasse, fibers and montmorillonite. Carbohydr Polym.
87:1302-1310.

17
Lampiran 1 Prosedur analisis karakterisasi bahan baku
1. Kadar air metode oven (AOAC 2006)
Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan
dalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang (a). Sejumlah sampel
dengan bobot tertentu (b) dimasukkan dalam cawan. Cawan beserta isinya
dikeringkan dalam oven bersuhu 105 °C selama 6 jam, didinginkan dalam
desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Cawan beserta isinya
dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan (c). Kadar air contoh dapat
dihitung dengan persamaan berikut:

2. Kadar abu metode tanur (AOAC 2006)
Cawan porcelen dibakar dalam tanur (550 oC) selama 15 menit, kemudian
didinginkan dalam desikator, dan ditimbang (a). Sampel sebanyak 2–3 g (w)
ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian cawan yang berisi sampel dibakar
sampai didapatkan abu berwarna abu-abu atau sampai bobotnya konstan.
Pengabuan dilakukan pada suhu 550 oC selama 6 jam. Cawan yang berisi sampel
didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang dengan neraca analitik (x).
Kadar abu diukur dengan cara sebagai berikut:
adar abu % =

x a

x 100%

3. Kadar protein kasar metode mikro Kjeldahl (AOAC 2006)
Sebanyak 0.1 g sampel ditimbang kemudian ditambahkan katalis (CuSO4
dan Na2SO4) dengan perbandingan 5:6 dan 2.5 H2SO4 pekat. Setelah itu
didestruksi sampai bening (hijau). Didinginkan dan dicuci dengan aquades
secukupnya. Selanjutnya didestilasi dengan penambahan NaOH 50% sebanyak 15
mL. Hasil destilasi ditampung dengan HCl 0.02 N. Proses destilasi dihentikan
apabila volume destilat telah mencapai dua kali volume sebelum destilasi. Hasil
destilasi dititrasi dengan NaOH 0.02 N dan indikator mensel (campuran metil
merah dan metil biru). Kadar protein kasar dapat dihitung dengan cara berikut :
adar protein kasar % =
dimana, b
s
n
m
f

b s n 14
(m 1000)

f

x 100%

= volume titrasi blanko (ml)
= volume titrasi sampel (ml)
= normalitas NaOH
= berat sampel (g)
= faktor konversi dari nitrogen ke protein (tepung 6.25; beras 5.95)

18
4. Kadar lemak kasar metode soxhlet (AOAC 2006)
Sampel ditimbang 3 g lalu dimasukkan ke kertas saring berbentuk tabung
(selongsong). Labu lemak/soxhlet dimasukkan ke dalam oven, lalu ditambahkan
batu didih dan ditimbang sebagai bobot kosong. Selongsong dimasukkan ke
dalam soxhlet, kemudian labu lemak dihubungkan dengan soxhlet dan
ditambahkan pelarut heksan 150 mL melewati soxhlet. Labu lemak dan soxhlet
dihubungkan dengan penangas dan diekstrak selama 4 jam. Setelah ekstraksi
selesai, labu lemak dievaporasi untuk menghilangkan pelarut. Selanjutnya labu
lemak dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105 oC selama 1 jam. Setelah dingin
ditimbang sebagai bobot akhir (bobot labu dan lemak). Kadar lemak kasar dapat
dihitung dengan cara berikut :
adar lemak kasar % =

c

b
a

x 100%

dimana, a = bobot sampel (g)
b = bobot labu lemak dan batu didih (g)
c = bobot labu lemak, batu didih, dan lemak (g)
5. Kadar serat kasar (AOAC 2006)
Sebanyak 0.5 g sampel yang telah digunakan pada penetapan lemak
ditimbang lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Selanjutnya ditambahkan 100
mL asam sulfat 1.25% dan dipanaskan sampai mendidih. Setelah 1 jam
ditambahkan 100 mL NaOH 3.25%, dipanaskan kembali sampai mendidih selama
1 jam, kemudian didinginkan dan disaring dengan menggunakan kertas saring
yang telah diketahui bobotnya. Endapan dicuci dengan asam sulfat encer dan
alkohol, lalu kertas saring dan endapan dikeringkan dalam oven dan ditimbang.
Kadar serat kasar dapat dihitung dengan cara berikut :
adar serat kasar % =

b c
x 100%
a

dimana, a = bobot sampel (g)
b = bobot endapan (g)
c = bobot abu (g)
6. Kadar pati (Apriyanto et al. 1989)
Sebanyak 3 g sampel ditimbang (w), dimasukkan dalam erlenmeyer 250
mL, ditambahkan aquades sebanyak 80 ml, dan dipanaskan dengan pengangas air
hingga terjadi gelatinisasi. Setelah tergelatinisasi, larutan ditambahkan 0.1 ml
enzim α-amilase. Pemanasan dilakukan pada suhu 90 oC hingga hidrolisis pati
sempurna yang ditandai dengan warna jingga larutan saat diteteskan larutan iod
2%. Larutan dalam erlenmeyer ditera hingga 250 mL. Sebanyak 1 ml sampel
diambil dari erlenmeyer dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu
ditambahkan 0.5 mL fenol 5% dan 2.5 mL H2SO4 pekat. Larutan dibiarkan hingga
dingin, kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 490 nm. Kadar pati dihitung dengan rumus berikut:

19
adar pati % =

c 250

fp

0.

x 100%

dimana, c = konsentrasi pati sampel dari kurva standar fenol sulfat (mg/ml)
w = bobot residu sampel (g)
fp = faktor pengenceran