Modifikasi Bubu Lipat Untuk Pemanfaatan Lobster

MODIFIKASI BUBU LIPAT UNTUK PEMANFAATAN
LOBSTER

EDY MISWAR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Modifikasi Bubu Lipat
untuk Pemanfaatan Lobster adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya dan yang
diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Edy Miswar
NRP. C451110051

iii

© Hak Cipta Milik IPB Tahun 2015
Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

iv


MODIFIKASI BUBU LIPAT UNTUK PEMANFAATAN
LOBSTER

EDY MISWAR

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

v

Penguji luar komisi pada Ujian Thesis : Dr Ir Budhi Hascaryo Iskandar, M Si


vi

vii

PRAKATA
Penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT karena atas
karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini menjelaskan
tentang modifikasi bubu lipat untuk pemanfaatan lobster. Isinya merupakan
rangkuman hasil penelitian yang dilaksanakan sejak November 2014 sampai Maret
2015 yang dilakukan di laboratorium.
Dalam proses penelitian hingga penyelesaian tesis ini, penulis telah
mendapatkan arahan dan bimbingan dari para pembimbing serta bantuan dari banyak
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menghaturkan banyak
terimakasih kepada:
1. Dr. Roza Yusfiandayani, S.Pi. sebagai Ketua Komisi Pembimbing.
2. Dr. Ir. Zulkarnain, M.Si. dan Dr. Ir. Gondo Puspito, M.Sc. sebagai Anggota
Komisi Pembimbing.
3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Republik Indonesia.
4. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
5. Rektor Institut Pertanian Bogor.

6. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor beserta
para dosen dan staf administrasi.
7. Rektor Universitas Syiah Kuala Aceh.
8. Dekan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala Aceh dan staf
administrasi.
9. Ketua Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap beserta staf.
10. Ayah A. Rachman. AR (Alm), Ibu Khadijah Hasan, Adik (Ety Rahmawati, Eny
Rahmawati, Muhammad Ikram dan Putri Murhamah).
11. Istriku Maulinda dan ketiga anakku (Ukhtiya Nur Walimah, Imtiyaz Akifah dan
Muhammad Oemar Syarief).
12. Pak Ismawan, Mas Didin Komarudin, Pak Ucha, Supriono, Mose, Pak Chalil,
Yopi Ilhamsyah, Ratu Sari Mardiah, Fauzan IM, Muthmainnah, David JCH,
Nanda, Irfannur, Rizal, Riyan, dan teman-teman seperjuangan mayor TPT dan
SPT 2011 yang selalu memberi motivasi dan do a yang tulus selama penulis
menimba ilmu di Program Pascasrjana IPB.
13. Sahabat dan sanak saudara serta semua pihak yang telah berkontribusi dalam
penelitian dan penyelesaian tulisan ini yang belum disebutkan satu persatu.
Penulis sangat mengharapkan masukan dan kritik yang membangun dari
pembaca untuk perbaikan tulisan ini. Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat bagi
pembaca khususnya dan dunia perikanan umumnya.

Bogor, Agustus 2015

Edy Miswar

viii

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lhokseumawe pada hari
kamis tanggal 16 Agustus 1979 dari Bapak A. Arachman.
AR dan Ibu Khadijah Hasan. Penulis merupakan anak
pertama dari lima bersaudara.
Penulis lulus dari SMU Negeri 2 Lhokseumawe,
Lhokseumawe pada tahun 1998 dan pada tahun yang sama
lulus seleksi masuk Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(UMPTN). Penulis memilih Program Studi Fisika, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengatahuan Alam, Universitas Syiah
Kuala Banda Aceh dan lulus pada tahun 2003.
Pada tahun 2011 penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan pascasarjana pada Mayor Teknologi Perikanan Tangkap, Departemen

Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, IPB.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains, penulis
melakukan penelitian dengan judul Analisis Desain dan Konstruksi Bubu Lobster .
Hasil dari penelitian ini penulis publikasikan pada Jurnal Teknologi Perikanan dan
Kelautan, Vol. 6, No. 1, Bulan Mei, Tahun 2015 (ISSN 2087-4871) dengan judul
Rekonstruksi Pintu Masuk Bubu Lipat Lobster .

ix

RINGKASAN
EDY MISWAR. Modifikasi Bubu Lipat untuk Pemanfaatan Lobster. Dibimbing
oleh ROZA YUSFIANDAYANI, ZULKARNAIN dan GONDO PUSPITO.

Udang karang atau lobster merupakan komoditi laut yang memiliki nilai
ekonomi tinggi. Bubu merupakan jenis alat tangkap yang bersifat pasif. Nelayan
tradisional banyak menggunakan bubu lipat ini untuk menangkap kepiting bakau
dan rajungan, sedangkan untuk menangkap lobster bubu lipat ini masih jarang
digunakan. Keuntungan dari penggunaan bubu adalah cara pembuatan dan
pengoperasiannya mudah, dapat dioperasikan di tempat dimana alat tangkap lain
tidak dapat dioperasikan, hasil tangkapan masih dalam keadaan hidup dan biaya

operasinya lebih murah. Kelemahannya yaitu jumlah tangkapannya relatif sedikit
dan terdapat beberapa kelemahan pada konstruksinya.Tujuan dari penelitian ini
adalah mendapatkan konstruksi bubu lipat yang memberikan jumlah tangkapan
lobster terbanyak dan membuktikan bahwa tutupan dapat meningkatkan jumlah
tangkapan lobster. Penelitian dilakukan di laboratorium menggunakan metode
deskriptif komparatif dan eksperimental pada bulan November 2014-Maret 2015.
Satu bubu lipat nelayan atau bubu lipat standar (BLS) dan dua konstruksi
bubu yang dimodifikasi dibandingkan. Bubu modifikasi terdiri atas bubu lipat
modifikasi 1 (BM-1) dan bubu lipat modifikasi 2 (BM-2). Ketiga bubu berbentuk
balok dengan dimensi 50 × 33 × 18 (p × l × t) (cm). Celah masuk BS berbentuk
celah sempit, sedangkan BM-1 dan BM-2 adalah 4 persegi panjang dengan ukuran
33 × 6 (p × t) (cm) yang dilengkapi dengan deretan jeruji besi. Dalam penelitian
ini, ketiga bubu dan 20 lobster dimasukkan ke dalam tangki air. Bubu diangkat
setelah direndam selama 30 menit. Aktivitas lobster diamati dan jumlah lobster
yang terperangkap dihitung. Ujicoba penangkapan lobster dilakukan sebanyak 20
ulangan.
Hasil ujicoba perangkap dengan menggunakan tiga model bubu yang
berbeda adalah BM-2 menangkap 470 individu, atau lebih banyak dibandingkan
dengan BM-1 (221 individu), dan BLS (109 individu). Hasil perhitungan dengan
uji statistik ternyata juga membuktikan bahwa jumlah tangkapan setiap perangkap

berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% dengan nilai F hit= 284,172 > F tab= 3,07.
Hasil ujicoba penggunaan tutupan berwarna merah menunjukkan bahwa bubu
lipat dengan tutupan (BLT) memperoleh hasil tangkapan sebanyak 227 individu,
atau lebih banyak dibandingkan dengan bubu lipat tanpa tutupan (BLTT) (123
individu). Hasil uji statistik juga membuktikan bahwa jumlah tangkapan setiap
perangkap berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% dengan nilai F hit= 50,982 >
F tab= 3,96.
.
Kata kunci : bubu lipat, lobster, modifikasi, tutupan, lintasan

x

SUMMARY
EDY MISWAR. Collapsible Traps Modification for Utilization Lobster.
Supervised by ROZA YUSFIANDAYANI, ZULKARNAIN and GONDO
PUSPITO.

Crayfish or lobster is sea commodities that has high economic value. Bubu
is a passive fishing gear. Traditional fishermen use this folding trap to catch
mangrove crabs and crabs, while the lobster traps are to capture lobster but are

still rarely used. The advantages of the use of traps are easy to build and easy to
operate, can be operated in places where other fishing gears cannot be operated,
the catch is still alive and operation costs are cheaper. The disadvantage is the
amount of catch relatively few and there are some weaknesses of its construction.
The purpose of this study is to get traps cathing most lobster and to prove that
cover can be able to increase lobster cought. The study was conducted in the
laboratory using comparative descriptive and experimental methods, detail
periode of November 2014-March 2015.
One folding fishing traps or standard folding traps (BLS) and 2 constructed
are traps are modified compared. Traps modification consists of modified 1
folding traps (BM-1) and modified 2 folding traps (BM-2). Third traps of beam
shaped with dimensions 50×33×18 (cm). BLS entrance slit-shaped narrow slit,
while the BM-1 and BM-2 are rectangle with size of 4 m2 with dimension of 33×6
(cm) equipped with a row bars. In this study, three traps and 20 lobsters were put
in to a water tank. Bubu removed after 30 minutes. Lobster activity is observed
and the number of lobsters caught is counted. Catching lobsters tests were
replicated as many as 20 replications.
The results of trap tests by using three different models of traps are showed
that the BM-2 capture 470 individuals, or more than the BM-1 (221 individuals),
and BS (109 individuals).The results of calculations with the statistical test proved

that the amount of each trap catches were significantly different at the level of
95% with a value of Fhit = 284.172> Ftab = 3.07. The results showed that the use of
red-colored cover for covered-folding traps (BLT) obtaining the catch as many as
227 individuals, or more than the non covered-folding traps (BLTT) (123
individuals). Statistical test results also show that the number of catch for each
traps was significantly different at the level of 95% with a value of Fhit = 50.982>
Ftab = 3.96.
Keywords: collapsible traps, lobster, modification, cover, trajectory

xi

DAFTAR ISI
1 PENDAHULUAN
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 MODIFIKASI KONSTRUKSI LINTASAN DAN CELAH MASUK
TERHADAP HASIL TANGKAPAN LOBSTER
PENDAHULUAN
METODOLOGI

Tempat dan Waktu Penelitian
Alat dan Bahan Penelitian
Metode Penelitian
Penentuan konstruksi lintasan masuk
Uji coba bubu lipat
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
Ukuran lobster
Konstruksi Pintu Masuk Bubu
Respon lobster terhadap bubu standar dan modifikasi
Kesimpulan
3 PENGARUH WARNA TUTUPAN TERHADAP RESPON LOBSTER
PENDAHULUAN
Metodologi
Tempat dan Waktu Penelitian
Alat dan Bahan Penelitian
Metode Penelitian
Analisis data
Pemilihan warna tutupan
Ujicoba tutupan
HASIL
Warna Tutupan
PEMBAHASAN
Warna Tutupan
Pengaruh Tutupan terhadap jumlah tangkapan bubu
Kesimpulan
4 PEMBAHASAN UMUM
5 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

1
2
3
3
5
5
6
6
6
7
8
10
11
13
13
14
14
15
15
17
18
18
19
19
19
19
20
20
21
22
22
23
23
25
26
27
28
28
28
29
32

xii

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Analisis Data
Tabel 2. Perlakuan dan ulangan
Tabel 3. Sidik ragam/tabel ANOVA

11
12
13

DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka Penelitian
4
2. Bubu lipat standar nelayan (BLS)
7
3. Konstruksi bubu modifikasi 1/ BM-1 (a) dan bubu modifikasi 2 / BM-2 (b)
7
4. Diagram alir metode penelitian
8
5. Model lintasan (a) dan ilustrasi posisi pemasangannya di dalam
9
6. Ilustrasi ujicoba kemiringan sudut lintasan masuk perangkap.
10
7. Ilustrasi posisi bubu di dalam tangki silinder pada ujicoba tiga bubu
11
8. Hubungan antara panjang dan tebal karapas lobster
14
9. Jumlah tangkapan bubu berdasarkan konstruksi pintu masuk.
16
10. Diagram alir metode penelitian
19
11. Konstruksi balok penutup berwarna (a) dan posisi peletakannya di
20
12. Tabel kombinasi warna shelter (a) dan matrik pasangan kombinasi
21
13. Ilustrasi posisi bubu di dalam tangki silinder pada ujicoba posisi bubu
22
14. Jumlah lobster yang mendatangi tutupan berwarna.
22
15. Panjang gelombang elektromagnetik
24
16. Komposisi jumlah tangkapan lobster yang didapat oleh bubu lipat
25
17. Proses modifikasi lintasan masuk
33
18. Shelter yang digunakan pada penelitian
33
19. Posisi peletakan bubu pada ujicoba bubu standar (BS), Bubu modifikasi 1
(BM-1) dan bubu modifikasi 2 (BM-2)
33
20. Posisi peletakan bubu pada ujicoba bubu lipat tutupan (BLT) dan bubu lipat
tanpa tutupan (BLT)
33
21. Trigger yang digunakan pada celah masuh bubu
34
22. Celah masuk bubu yang telah di pasang trigger
34
23. Proses pemindahan lobster ke dalam wadah penampungan
34
24. Lobster yang akan digunakan pada penelitian
34
25. Lobster dalam wadah penampungan akuarium
35

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.

Hasil uji ANOVA
Foto-foto kegiatan penelitian

32
32

xiii

DAFTAR ISTILAH

Bubu
Modifikasi
Karapas
Konstruksi
Ukuran mata jaring
Model
Desain
Kamera CCTV

Efektif
Shelter

: Alat penangkap berupa jebakan
: Perubahan
yang
dilakukan
untuk
tujuan
penyempurnaan
: Bagian keras yang menutupi punggung dan bagian
bawah (plastron) tubuh suatu individu hewan
(biasanya pada kepiting, lobster dan kura-kura)
: Susunan-susunan yang saling terhubung sehingga
menjadi suatu kesatuan
: Ukuran panjang dua kali kaki jaring
: Rencana, representasi, atau
deskripsi yang
menjelaskan suatu objek, sistem, atau konsep, yang
seringkali berupa penyederhanaan atau idealisasi
: Pola rancangan yang menjadi dasar pembuatan suatu
benda
: Sebuah kamera video digital yang difungsikan untuk
memantau dan mengirimkan sinyal video pada suatu
ruang yang kemudian sinyal itu akan diteruskan ke
sebuah layar monitor
: Berhasil sesuai dengan tujuan
: Tempat berlindung

1 PENDAHULUAN
Udang karang atau lobster merupakan komoditi laut yang memiliki nilai
ekonomi tinggi. Statistik perikanan tahun 2012 menyatakan bahwa produksi hasil
tangkapan lobster sebesar 13.549 ton. Produksi tertinggi (3.385 ton) terdapat di
WPP-RI 713, diikuti WPP-RI 711 (3.057 ton) dan WPP-RI 718 (2.155 ton). Data
statistik ekspor perikanan juga menyatakan bahwa hasil ekspor lobster pada tahun
2012 sebesar 5.309 ton, tahun 2013 turun sebesar 3,8% menjadi 5.104 ton. Tahun
2012 jumlah volume ekspor tertinggi (98,2%) ditujukan ke negara Asia (terutama
Tiongkok, diikuti Jepang dan Taiwan), Eropa dan Australia (Sumiono 2015).
Provinsi Aceh khususnya, memiliki potensi sumberdaya lobster yang
masih sangat baik. Kegiatan penangkapan lobster di Aceh masih sangat sederhana
dengan menggunakan gillnet, trammel net dan kemampuan menyelam.
Penggunaan bius dan racun dengan potasium juga masih digunakan oleh nelayan
di beberapa tempat untuk menangkap lobster, dengan menyemprot atau
menyuntikkan pada sela-sela rongga karang. Nelayan di Aceh belum
menggunakan bubu untuk melakukan penangkapan lobster.
Masithoh et al. (2014) mengemukakan bahwa lobster (Panulirus spp.)
merupakan salah satu komoditas perairan karang yang mempunyai nilai ekonomi
tinggi, yang produksinya masih dihasilkan dari penangkapan (Kusuma 2012).
Lobster dikenal dengan rasanya yang lezat, sehingga lobster hanya disajikan di
restoran-restoran besar dan hotel berbintang dan biasanya hanya dikonsumsi oleh
kalangan ekonomi atas (Badan Besar Pengembangan Penangkapan ikan 2006
dalam ( Kusuma 2012). Lobster yang memiliki nilai ekonomi tinggi ada enam
jenis yang tersebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia.
Terdapat enam spesies lobster endemik kepulauan Indonesia Panulirus
homarus (lobster pasir), Panulirus longipes (lobster bintik/batik), Panulirus
ornatus (lobster mutiara/maradona), Panulirus penicillatus (lobster batu),
Panulirus polyphagus (lobster pakistan) dan Panulirus versicolor (lobster bambu)
yang di identifikasi secara random (Agustus 2007 September 2008) disekitar
lokasi pendaratan ikan di Lhok Kruet Aceh Jaya Provinsi Aceh, dari keenam
spesies ini yang memiliki harga ekonomi paling tinggi adalah lobster
mutiara/maradona (Panulirus ornatus) (Tewfik et al. 2009). Pemanfaatan hasil
tangkapannya dilakukan dengan cara penangkapan di alam.
Penangkapannya menggunakan berbagai jenis alat tangkap sederhana,
seperti pancing, tombak dan bubu. Akan tetapi, pada saat ini pancing dan tombak
sudah sangat jarang digunakan karena merusak hasil tangkapan organisme
tersebut, sementara bubu masih banyak dioperasikan oleh nelayan. Hal ini
dikarenakan kualitas lobster tangkapan bubu lebih baik dibaik dibandingkan alat
tangkap yang lain seperti masih dalam keadaan hidup dengan anggota tubuh yang
lengkap, sehingga nilai jualnya sangat tinggi di pasaran (Ritonga 2006).
Tallo (2015) menginformasikan bahwa perangkap yang digunakan oleh
nelayan untuk menangkap ada beberapa jenis. Perangkap yang biasa digunakan
antara lain pintor, rakang, wadong, bubu lipat bentuk balok, bubu lipat bentuk
tabung dan bubu lipat bentuk kubah. Dari keenam jenis perangkap tersebut, bubu
lipat bentuk balok, bentuk tabung dan bentuk kubah lebih baik digunakan. Hal ini
dikarenakan ketiga alat tersebut mudah dioperasikan tanpa memerlukan keahlian
dan kemampuan khusus dari nelayan.

2

Tallo (2015) menyatakan kemudahan pengoperasian bubu lipat
menyebabkan jenis bubu ini telah banyak tersebar di beberapa wilayah Indonesia
dengan organisme target penangkapan adalah kepiting. Bubu lipat telah digunakan
di perairan Kalimantan untuk menangkap kepiting bakau (Tiku 2004) dan perairan
Povinsi Jawa Barat serta Jawa Tengah untuk menangkap rajungan dan kepiting
bakau (Iskandar 2009). Ketiga jenis bubu tersebut bubu lipat bentuk balok relatif
lebih banyak digunakan oleh nelayan untuk menangkap kepiting.
Keuntungan dari penggunaan bubu adalah cara pembuatan dan
pengoperasiannya mudah, dapat dioperasikan di tempat dimana alat tangkap lain
tidak dapat dioperasikan, hasil tangkapan masih dalam keadaan hidup dan biaya
operasinya lebih murah. Kelemahannya yaitu jumlah tangkapannya relatif sedikit
(Permatasari 2006). Salah satu jenis bubu yang sangat populer digunakan oleh
nelayan untuk menangkap lobster adalah bubu lipat. Jenis bubu ini sebenarnya
sudah lama dioperasikan oleh nelayan Jepang untuk menangkap kepiting laut Le
Vay (2001). Nelayan Thailand menggunakan bubu lipat untuk memerangkap
rajungan Jirapunpipat et al. (2008). Bubu ini dapat dilipat sehingga mudah
disusun dan dibawa dalam jumlah yang sangat banyak pada tempat yang terbatas
di atas perahu Puspito (2009). Walaupun demikian, bubu ini masih memiliki
kelemahan. Puspito (2009), bubu ini cenderung menangkap organisme target
berukuran belum layak tangkap. Hal ini dikarenakan oleh konstruksinya yang sulit
dimasuki organisme dewasa.
Informasi tentang hasil kajian bubu lipat untuk menangkap belum banyak
tersedia. Padahal informasi tersebut dapat membantu untuk memberikan solusi
bagi peningkatan efektifitas dan efisiensi penangkapan lobster dengan
menggunakan bubu lipat balok. Oleh karena itu penelitian ini perlu mengkaji
modifikasi konstruksi bubu lipat dalam upaya peningkatan efektivitas dan
efisiensi penangkapan lobster dengan bubu lipat yang ramah lingkungan.

Perumusan Masalah
Mengacu pada potensi kelautan pesisir Indonesia dan minimnya teknologi,
maka diperlukan alat tangkap yang memadai dalam melakukan penangkapan
udang karang (lobster) sehingga penelitian ini menganalisis desain dan konstruksi
bubu untuk dilakukan perbaikan agar dapat diperoleh hasil tangkapan yang cukup
baik dan ramah lingkungan.
Bubu yang digunakan untuk menangkap lobster antara lain berbentuk
empat persegi panjang, silinder, gendang, limas terpancung, dan kubah. Bahan
utama pembentuknya dapat terbuat dari bambu, besi, jaring, kawat, dan plastik.
Adapun di Indonesia, yang umum digunakan adalah yang berbentuk empat
persegi panjang, dengan bahan utama pembentuknya terbuat dari bambu
Budihardjo (1981).
Konstruksi bubu lobster yang digunakan nelayan masih banyak harus
dilakukan kajian ilmiah terhadap bubu tersebut, karena dengan adanya kajian
ilmiah dapat menutupi kekurangan-kekurangan terhadap konstruksi bubu tersebut
demi tercapainya hasil tangkapan yang maksimal dengan tetap menjaga
keramahan terhadap lingkungan pada area tangkapan.

3

Salah satu bagian bubu lipat yang penting adalah bagian mulut masuk
(entrance). Bagian ini berfungsi sebagai pintu masuk dan jebakan bagi setiap
organisme yang melewatinya. Miller (1990) mengatakan bahwa mulut masuk
bubu memiliki peran penting pada konstruksi bubu. Berdasarkan pengamatan
terhadap konstruksi bubu lipat, bagian mulut masuk tidak berfungsi sendirian.
Bagian lain juga berperan sehingga lobster bisa melewati bagian mulut masuk.
Bagian yang dimaksud adalah lintasan masuk (funnel).
Lintasan masuk berada di bagian depan dari mulut masuk dan merupakan
jalan masuk ke dalam bubu. Tanpa bagian ini lobster tidak akan sampai ke bagian
mulut masuk atau ke dalam ruangan bubu. Kemudahan lobster menemukan dan
melewatinya merupakan tahapan penting bagi keberhasilan penangkapan lobster.
Penelitian mengenai modifikasi bubu lipat perlu dilakukan untuk
meningkatkan efektivitas penangkapan lobster dengan perangkap. Bagian-bagian
yang harus diperbaiki diantaranya adalah : ukuran mata jaring lintasan masuk
mulut bubu; sudut kemiringan lintasan masuk bubu; ukuran bukaan mulut, bentuk
mulut dan penggunaan trigger pada bubu dan penentuan warna tutupan pada bubu
yang disukai lobster (Gambar 1).

Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah memperbaiki desain umum bubu
lipat.
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Menentukan ukuran mata jaring (mesh size) pada lintasan masuk bubu untuk
menangkap lobster.
2. Menentukan sudut kemiringan pada lintasan masuk bubu yang tepat untuk
menangkap lobster.
3. Menentukan bentuk mulut yang tepat pada bubu baik ukuran, bentuk dan
penggunaan trigger pada pintu masuk bubu.
4. Menentukan warna tutupan sebagai shelter yang disukai oleh lobster.
5. Ujicoba hasil tangkapan bubu standar dan bubu modifikasi serta bubu yang
menggunakan tutupan dan bubu modifikasi tanpa tutupan.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai pengembangan ilmu pengetahuan tentang alat tangkap bubu dan
memberikan informasi teknologi penangkapan lobster yang efisien.
2. Sebagai rekomendasi bagi nelayan agar dapat menggunakan bubu yang efektif
dan efisien untuk menangkap lobster.
3. Sebagai dasar penelitian lanjutan di bidang teknologi alat penangkapan ikan

4

Perikanan perangkap lobster

Perangkap merupakan
introduksi dari luar negeri

Konstruksi perangkap belum
sesuai

Hasil tangkapan belum
optimal

PERMASALAHAN
Populasi lobster

Kegiatan penangkapan lobster

IN PUT
Diperlukan penelitian konstruksi perangkap yang sesuai
dengan tingkah laku lobster

Penelitian konstruksi perangkap dan desain

Ukuran mata jaring pada
lintasan masuk perangkap

Sudut kemiringan
lintasan masuk perangkap

Bukaan dan bentuk
mulut perangkap

Penggunaan trigger
pada mulut perangkap

Warna shelter yang
disukai lobster

PROSES
Konstruksi perangkap yang sesuai
untuk menangkap lobster

OUT PUT
Efektivitas bubu untuk menangkap lobster

TUJUAN
Gambar 1. Kerangka Penelitian

5

2 MODIFIKASI KONSTRUKSI LINTASAN DAN CELAH
MASUK TERHADAP HASIL TANGKAPAN LOBSTER
PENDAHULUAN
Lobster adalah hasil laut yang bernilai ekonomis tinggi dalam perdagangan
produk perikanan, baik di tingkat lokal maupun internasional. Fridman (1988)
mengatakan bahwa strategi yang diperlukan untuk menangani masalah teknis
yang muncul dalam aktivitas nelayan suatu alat tangkap diantaranya adalah
menentukan parameter suatu alat tangkap dengan memperhitungkan kondisi
lokasi penangkapan serta menyempurnakan konstruksi alat tangkap yang ada
sesuai dengan kondisi daerah penangkapan ikan.
Harga lobster umumnya sangat tinggi yang ditentukan oleh jenis dan
ukuran lobster tersebut. Zulkarnain et al. (2011) mengatakan lobster akan
memiliki nilai ekonomis lebih tinggi apabila diekspor dalam kondisi hidup dan
mutu yang baik, anggota tubuh yang masih lengkap, serta tanpa ada bagian yang
rusak atau terluka.
Lesmana (2006) menginformasikan unit penangkapan ikan yang
dikembangkan di Indonesia untuk menangkap lobster diantaranya adalah jaring
insang karang (coral reef gillnet), jaring insang dasar (buttom gillnet), bubu
(lobster pot), jaring hampar (spread out net), tombak (spear ), pancing (special
hook and line for spiny lobster ), pesambet (cover net) dan unit penangkapan hasil
modifikasi gillnet seperti krendet.
Bubu adalah alat tangkap yang dipasang secara pasif dan memiliki ciri
khusus pada mulutnya yaitu memudahkan ikan untuk masuk namun membuat
ikan sukar keluar. Menurut Brandt (2005), bubu digolongkan ke dalam kelompok
perangkap (trap). Subani dan Barus (1989) mendefinisikan perangkap adalah
semua alat penangkap yang berupa jebakan atau penghadang ikan.
Menurut Baskoro (2006), perangkap adalah salah satu alat penangkap
yang bersifat statis yang umumnya berbentuk kurungan, berupa jebakan dimana
ikan akan mudah masuk tanpa adanya paksaan dan sulit untuk keluar atau lolos
karena dihalangi dengan berbagai cara. Keefektifan alat perangkap ini tergantung
dari pola migrasi ikan dan tingkah laku renang ikan.
Slack-Smith (2001) membuat terminologi mengenai bubu yang sedikit
berbeda dibanding Brandt (2005). Slack-Smith (2001) membedakan terminologi
antara perangkap (trap) dengan bubu (pot). Perangkap merupakan alat tangkap
yang bersifat pasif dan menetap, yang memudahkan ikan untuk masuk dan sulit
untuk keluar. Pada beberapa konstruksi perangkap, terdapat bagian yang berfungsi
mengarahkan ikan agar masuk ke dalam perangkap. Perangkap bersifat menetap
sehingga tidak dapat dipindah-pindahkan karena konstruksi dan ukurannya yang
besar. Beberapa macam perangkap diantaranya adalah sero, barrier atau
penghadang yang terbuat dari tumpukan batu, fyke, dan lain-lain. Adapun bubu
berbentuk lebih sederhana dan ukurannya lebih kecil, sehingga mudah untuk
dipindah-pindahkan. Namun prinsip kerjanya sama dengan perangkap, yaitu
memudahkan ikan untuk masuk dan sukar untuk keluar.
Tipe bubu yang ada di luar negeri diantaranya adalah bubu berbentuk
lingkaran yang berasal dari Australia, bubu Z yang berasal dari Karibia, dan

6

bubu berbentuk drum yang berasal dari Jerman. Tipe bubu di Indonesia
diantaranya adalah bubu paralon, bubu gurita, bubu lobster, bubu pakaja, dan
bubu kakap merah.
Bubu bersifat pasif menunggu ikan atau hewan laut lainnya masuk ke
dalam perangkap dan mencegah ikan atau hewan laut lainnya keluar dari
perangkap.Pemasangannya didasarkan atas pengetahuan tentang lintasan-lintasan
yang merupakan daerah ruaya ikan ataupun yang berhubungan erat dengan ruaya
ikan ke arah pantai pada waktu-waktu tertentu Gunarso (1985). Subani dan Barus
(1989) membagi bubu ke dalam tiga golongan, yaitu bubu dasar (ground fishpot),
bubu apung (floating fishpot), dan bubu hanyut (drifting fishpot).
Bubu lipat balok merupakan alat tangkap yang banyak digunakan dalam
penangkapan kepiting kerena mudah dioperasikan dan cukup efektif menangkap
kepiting. Alat ini mudah dioperasikan oleh nelayan karena tidak membutuhkan
keahlian khusus. Bubu lipat balok digunakan oleh nelayan apa adanya untuk
menangkap kepiting. Para nelayan hanyan menggunakan alat ini sesuai dengan
kebiasaan dan pengalaman sehingga banyak masalah yang terjadi pada alat
tersebut.
Purbayanto et al. (2010) menginformasikan bahwa pengetahuan tingkah laku
ikan termasuk tingkah laku lobster merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dalam pengembangan teknologi penangkapan karena merupakan dasar penentuan
aspek teknologi alat yang akan dikembangkan.
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menentukan ukuran mata jaring (mesh size) pada lintasan masuk bubu.
2. Menentukan sudut kemiringan pada lintasan masuk bubu.
3. Menentukan bentuk mulut yang tepat pada bubu baik ukuran, bentuk dan
penggunaan trigger pada pintu masuk bubu.

METODOLOGI Tempat dan
Waktu Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian skala laboratorium yang dilaksanakan
antara bulan November 2014 Maret 2015. Penelitian ini dilaksanakan di
laboratorium Teknologi Alat Penangkapan Ikan, Departemen Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
Alat dan Bahan Penelitian
Penelitian ini menggunakan beberapa alat dan bahan. Beberapa alat utama
dalam penelitian ini terdiri atas alat ukur kualitas, wadah aklimatisasi lobster,
wadah penampungan dan wadah percobaan, alat pertukangan (martil, tang, gergaji
besi, pelipat kawat), frame lintasan masuk, busur derajat, mistar, jangka sorong,
assesoris aquarium, kamera CCTV, kawat galvanis, waring, bubu standar dan
bubu modifikasi. Bahan penelitian berupa lobster jenis pasir (Panulirus
Homarus), umpan lobster (ikan kembung yang di potong dadu kecil-kecil dengan
ukuran sekitar 0,5 cm) dan air laut. Ada tiga model bubu yang digunakan dalam

7

penelitian, yaitu bubu lipat standar yang digunakan nelayan (BLS) yang dapat
dilihat pada Gambar 2, bubu lipat modifikasi 1 (BM-1) dengan sudut kemiringan
lintasan 45o yang dapat dilihat pada Gambar 3(a), dan bubu lipat modifikasi 2
(BM-2) dengan sudut lintasan 45o serta lintasan masuk dengan ukuran mata jaring
0,25 inci (waring) yang dapat dilihat pada Gambar 3(b).

Gambar 2. Bubu lipat standar nelayan (BLS)

(a)

(b)

Gambar 3. Konstruksi bubu modifikasi 1/ BM-1 (a) dan bubu modifikasi 2 / BM-2
(b)

Metode Penelitian
Penelitian terbagi atas 4 tahapan, yaitu penentuan ukuran mata jaring pada
lintasan masuk bubu, penentuan sudut kemiringan pada lintasan masuk bubu,
penentuan bentuk celah masuk dan penggunaan trigger, pengujian konstruksi
bubu standar dan bubu modifikasi. Seluruh penelitian menggunakan metode
percobaan dengan melakukan pengujian langsung keempat tahapan penelitian
(Gambar 4).

8

Ukuran mata jaring
1,25 dan 0,25 inchi

Sudut kemiringan
= 30o, 45o dan 60o

Bentuk celah masuk

Penggunaan trigger
pada celah masuk

Respon lobster terhadap bubu
lipat standard (BLS) dan bubu
lipat modifikasi 1 (BM-1)
Gambar 4. Diagram alir metode penelitian
Media penelitian berupa 2 akuarium berbentuk balok berukuran
5015040 (plt) (cm) dan tabung silinder 150750 (Øt) (cm). Masing-masing
akuarium berisi air laut sebanyak 150 l dan 300 l dengan salinitas 25-30 ppt.
Jumlah lobster yang digunakan sebanyak 80 individu berukuran panjang total
antara 7,3-10,85 cm dan tebal karapas antara 1,6-2,6 cm.
Penentuan konstruksi lintasan masuk
Uji lintasan masuk bubu dibuat dalam bentuk sebuah lintasan tiruan sesuai
dengan ukuran dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu. Jaring yang biasa
digunakan membuat bubu dengan beberapa ukuran mata jaring dipasang pada
bidang tiruan lintasan masuk. Ukuran mata dan sudut kemiringan bidang lintasan
masuk yang lebih mudah dilalui oleh lobster dipilih sebagai ukuran mata jaring
dan sudut kemiringan yang mudah dirayapi oleh lobster.
Pengujian lintasan masuk dilakukan dalam dua tahapan yaitu pengujian
ukuran mata jaring pada bagian lintasan masuk dan pengujian sudut kemiringan
lintasan. Pengujian ukuran mata jaring dimaksudkan untuk mendapatkan ukuran
mata jaring yang mudah dilalui oleh lobster, sedangkan pengujian lintasan masuk
bubu dimaksudkan untuk mengetahui sudut kemiringan lintasan masuk yang
mudah dilalui oleh lobster.
Ada 2 macam model lintasan berbentuk 4 persegi panjang yang diujicoba.
Setiap lintasan dibentuk oleh kerangka kawat berdiameter 2 mm dan ditutupi oleh
jaring berukuran mata 1,25 dan 0,25 . Konstruksi salah satu model lintasan
ditunjukkan pada Gambar 5(a).

9

Penelitian dimulai dengan meletakkan 1 model lintasan di dasar akuarium.
Sudut kemiringan model lintasan ditetapkan 45 o (Gambar 5(b)). Selanjutnya, 1
individu lobster dibiarkan bergerak merayapi model lintasan. Seluruh
pergerakannya direkam dengan CCTV yang diposisikan di atas akuarium. Waktu
yang dibutuhkan oleh lobster untuk melewati model lintasan dihitung dengan
menggunakan stopwatch. Ujicoba dilakukan sebanyak 20 kali ulangan
menggunakan 1 individu lobster yang berbeda pada setiap ulangan. Perlakuan
yang sama dikenakan terhadap model lintasan berikutnya.
Pola pergerakan dan kecepatan merayap lobster melalui kedua model
lintasan dicatat secara deskriptif komparatif. Model lintasan dianggap mudah
dilalui oleh lobster jika pola lintasan yang dibentuk cenderung lurus dan waktu
yang dibutuhkan oleh lobster untuk melewati model lintasan tidak lama.
Konstruksi mulut masuk dibentuk celah persegi panjang sebagai jalan
masuk atau keluar. Ukuran tinggi celah masuk tersebut dibuat sama dengan
ukuran tinggi maksimal kepiting. Jirapunpipat et al. (2008) dan Tongdee (2001)
mengatakan bahwa kepiting bakau dewasa berada pada ukuran lebar karapas ratarata 8,5-8,6 cm. penentuan tinggi celah masuk ini bertujuan agar bubu lipat ini
tidak hanya menangkap lobster tetapi juga dapat berfungsi menangkap rajungan.

Gambar 5. Model lintasan (a) dan ilustrasi posisi pemasangannya di dalam
akuarium (b).
Pengujian sudut kemiringan lintasan masuk dimaksudkan untuk mengetahui
sudut kemiringan tersebut yang mudah dilewati oleh lobster. Tiga sudut lintasan
masuk yang diujicobakan dalam penelitian adalah 30 derajat, 45 derajat dan 60
derajat (Gambar 6). Ukuran sudut 30 derajat merupakan ukuran sudut kemiringan
lintasan masuk bubu standar nelayan. Adapun sudut kemiringan 40 derajat dan 60
derajat merupakan modifikasi sudut kemiringan bidang masuk pada penelitian ini.

10

Gambar 6. Ilustrasi ujicoba kemiringan sudut lintasan masuk perangkap.

Uji coba bubu lipat
Bubu yang digunakan terdiri atas 2 jenis, yaitu 1 bubu lipat standar (BS)
dan 2 bubu lipat modifikasi (BM). Seluruh permukaan BS diselimuti oleh jaring
berukuran mata 1,25 , sudut lintasan masuk 30o dan celah masuk berbentuk elips.
Adapun kedua bubu modifikasi memiliki pintu masuk berbentuk 4 persegi
panjang berukuran 33  18 (p  t) (cm). Celah masuknya yang berukuran 33  6
(p  t) (cm) dilengkapi dengan deretan jeruji kawat Ø = 1,5 mm sebanyak 10
batang Jarak antar jeruji sejauh 5 cm. Perbedaan kedua BM terdapat pada bagian
konstruksi lintasannya yang tersusun atas jaring berukuran mata 1,25 (BM-1)
dan 0,25 (BM-2).
Percobaan dilakukan dengan meletakkan ketiga bubu yang telah berisi
umpan kembung ke dalam akuarium membentuk pola segitiga (Gambar 7).
Berikutnya, sebanyak 20 lobster diposisikan di bagian tengah ketiga bubu. Lobster
dibiarkan bergerak selama 1 jam. Percobaan diulang sebanyak 40 kali dengan
merubah posisi bubu dan menggunakan lobster yang berbeda. Bubu yang banyak
dimasuki oleh lobster dinyatakan sebagai bubu modifikasi terbaik.

11

Gambar 7. Ilustrasi posisi bubu di dalam tangki silinder pada ujicoba tiga bubu
berbeda.

Analisis Data
Analisis data yang digunakan pada masing-masing perlakuan berbeda-beda.
Secara lengkap, analisis data yang akan dilakukan ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Analisis Data
No. Tujuan
1. Menentukan kenormalan ukuran lobster yang
digunakan pada percobaan
2. Menentukan ukuran mata jaring lintasan
masuk mulut perangkap
3. Menentukan sudut kemiringan lintasan masuk
mulut perangkap
4. Menentukan tinggi pintu perangkap
5. Menentukan warna tutupan

Analisis
Regresi
Deskriptif
Deskriptif
Deskriptif
Deskriptif

6.

Membandingkan efektifitas perangkap lipat Analysis of variance
desain baru dengan perangkap nelayan
(rancangan acak lengkap)

7.

Membandingkan efektifitas perangkap dengan Analysis of variance
tutupan dan tanpa tutupan
(rancangan acak lengkap)

Analisis regresi menggambarkan sekumpulan teknik statistika yang
menjadi dasar pengambilan kesimpulan tentang hubungan antar peubah yang
terukur. Analisis regresi yang digunakan adalah analisis regresi linear tunggal.
Model umum analisis regresi tersebut (Matjik dan Sumertajaya, 2000):

12

Y=

0

+

Keterangan :
Y :
0 :
1 :
X :
:

1

x+ ;

.

(1)

Peubah tak bebas/peubah respon;
Intersep/perpotongan dengan sumbu tegak;
Kemiringan;
Peubah bebas/peubah penjelas; dan
Galat.

Analisis regresi ini digunakan untuk menentukan hubungan antara panjang
dengan tebal lobster.
Data hasil penelitian 1, 2, 3, 4 dan 5 dianalisa secara deskriptif komparatif.
Adapun analisa statistik dikenakan terhadap data hasil penelitian ketiga. Jenisnya
adalah analisis regresi dan rancangan acak lengkap 1 faktor (Mattjik dan
Sumertajaya 2006).
Tabel 2. Perlakuan dan ulangan
Ulangan (r)
Perlakuan (t)
P1
P2
P3
1
Y11
Y21 Y31
2
Y12
Y22 Y32
3
Y13
Y23 Y33
Total perlakuan (Yi.) Y1.
Y2.
Y3.

Total ulangan

Y.1
Y.2
Y.3

Total keseluruhan (Y..)

Model liniernya adalah:

Yij =

+

i

+

ij

Keterangan
P 1 : Bubu standar (BLS);
P 2 : Bubu modifikasi 1 (BM-1)
P 3 : Bubu modifikasi 2 (BM-2)
Yij : Nilai respon pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j;
: Rataan umum;
i : Pengaruh perlakuan ke-i;
ij : Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j; dan
i, j : 1, , t dan j = 1, , r .
Asumsi: ij ~ N(0, 2) dan i = 0.
Adapun hipotesisnya :
H0: 1 =
= 6 = 0 (perlakuan tidak berpengaruh terhadap respon yang
diamati)
H1: minimal ada satu perlakuan yang berpengaruh terhadap respon i 0.

13

Tabel 3. Sidik ragam/tabel ANOVA
Sumber
Derajat
Jumlah
Kuadrat
F hit
keragaman bebas (DB)
kuadrat (JK) tengah (KT)
Ulangan sama r 1 = r 2 = = r t = r
Perlakuan
t 1
JKP
KTP
KTP/KTG
Galat
t (r 1)
JKG
KTG
Total
tr 1
JKT
Ulangan tidak sama r 1 r 2
rt r
Perlakuan
t 1
JKP
KTP
KTP/KTG
Galat
(r t 1)
JKG
KTG
Total
( r t) 1
JKT

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pergerakan lobster pada bidang lintasan masuk bubu nelayan menunjukkan
bahwa lobster mengalami kesulitan ketika bergerak pada bagian tersebut. Kaki-kaki
jalannya tampak terperosok ke dalam jaring bidang lintasan dan kesulitan mendapat
pijakan namun lobster tetap berupaya merayap mendekati bagian mulut masuk.
Kelemahan bubu lipat bubu nelayan juga terletak pada bagian bidang lintasan
masuk dan konstruksi mulut masuk. Lobster mengalami kesulitan untuk melewati
bidang lintasan masuknya. Kaki jalannya menembus mata jaring dan berpijak di atas
wadah percobaan sehingga sering terkait pada mata jaring bidang lintasan masuk.
Adapun bagian konstruksi mulut masuk juga menghambat lobster untuk masuk ke
dalam bubu. Mulut masuknya terlampau rapat dan sempit sehingga lobster
mengalami kesulitan membukanya. Lobster telah berupaya melewati bagian mulut
masuk, namun duri-duri (spine) pada bagian atas karapas tersebut masih terkait pada
jaring di bagian mulut masuk. Selain itu, tarikan dan ikatan tali pada bagian mulut
masuk juga terlampau kencang sehingga bagian celah mulut masuk tampak
menegang. Mulut masuk yang kurang kendur menyebabkan lobster kesulitan
membuka celah mulut masuk. Dengan demikian, bidang lintasan masuk dan
konstruksi mulut masuknya harus diperbaiki untuk memudahkan lobster dapat
melewatinya dan masuk ke dalam bubu.
Pada dasarnya, lobster dapat melalui semua ukuran mata jaring. Akan tetapi,
lobster sulit bergerak pada ukuran mata jaring 1,25 inci. Pada ukuran mata jaring 1,25
inci ini, lobster mengalami kesulitan merayap karena kaki jalannya tidak
mendapatkan tumpuan sebagai pijakan dan terperosok masuk ke dalam mata jaring
tersebut. Lobster lebih mudah merayap di atas mata jaring 0,25 inci. Kaki-kaki
jalannya mendapatkan tumpuan pada ukuran mata jaring ini sehingga dapat merayap
dengan mudah di atas mata jaring tersebut.
Hasil pengamatan ini menunjukkan jaring dengan ukuran mata 0,25 inci
lebih sesuai sebagai material penutup pada bidang lintasan masuk karena lobster
lebih mudah bergerak di atas jaring dengan ukuran mata 0,25 inci. Sementara itu,
jaring PE dengan ukuran lainnya kurang sesuai sebagai material bidang lintasan
masuk karena lobster sulit bergerak di atasnya. Kesulitan dan kemudahan lobster
bergerak pada mata jaring ditentukan oleh adanya tumpuan kakinya untuk
mendorong tubuhnya melewati bidang lintasan masuk tersebut.

14

Pergerakan lobster ketika merayapi setiap bidang lintasan masuk dilakukan
dengan cara yang berbeda. Kaki jalan pada posisi terdepan menarik tubuhnya ke
atas bidang lintasan, sedangkan kaki jalan bagian belakang aktif mendorong tubuh
lobster. Kaki jalan bagian depan menggapai setiap mata jaring bagian atas untuk
ikut menarik badan lobster ke atas bidang lintasan masuk. Kaki jalan lainnya
digunakan sebagai tumpuan untuk berpindah dari mata jaring yang satu ke mata
jaring berikutnya. Pergerakan lobster di atas bidang lintasan masuk juga dibantu
oleh tumpuan kaki jalan di bagian belakang dan tarikan kaki jalan bagian depan.
Lobster dapat melewati ketiga sudut kemiringan bidang lintasan masuk
dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Lobster lebih mudah melewati
bidang lintasan masuk dengan sudut 45 derajat. Pada sudut 30 derajat (standar
nelayan) lobster akan lebih mudah terperosok ke dalam jaring sedangkan pada
sudut 60 derajat mengalami kesulitan pada saat merayapinya, karena pada sudut
60 derajat ini pergerakannya melambat karena harus menanggung berat tubuhnya
saat naik dan merayapi lintsan yang relatif meninggi.
Hasil pengamatan juga menunjukkan tingkah laku lobster setelah
mengambil umpan. Lobster cenderung memilih sudut di bawah lintansan untuk
menghabiskan umpan. Semakin luas celah di bawah lintasan kapasitas
menampung lobster jadi lebih banyak.
Pembahasan
Ukuran lobster
Hubungan panjang (p) dan tebal (t) dari 40 karapas lobster ditunjukkan pada
Gambar 8. Persamaan regresi yang dihasilkannya adalah t = 0,2278 p. Persamaan
ini menjelaskan bahwa setiap pertambahan panjang karapas sebesar 1 cm akan
diikuti oleh peningkatan tebal karapas 0,2278 cm. Berdasarkan persamaan
tersebut terlihat bahwa hubungan linier antara panjang dan tebal karapas ternyata
sangat kuat. Ini ditunjukkan oleh koefisien korelasinya r = 0,9065. Menurut
Supranto (2001), nilai ini sangat akurat, karena r  0,5. Dengan demikian, analisis
terhadap hasil penelitian dapat dilakukan, karena hampir seluruh lobster memiliki
ukuran panjang dan tebal yang sebanding atau proporsional antara satu lobster
dengan lobster lainnya.

Gambar 8. Hubungan antara panjang dan tebal karapas lobster

15

Konstruksi Pintu Masuk Bubu
Dua bagian pintu masuk yang dikaji adalah celah masuk dan lintasan
masuk. Pada penelitian ini, celah masuk ditentukan berbentuk 4 persegi panjang
yang dilengkapi dengan deretan jeruji besi. Ketinggian celah masuk disesuaikan
dengan hasil kajian Puspito (2013) sebesar 6 cm yang memungkinkan rajungan
berbagai ukuran akan mudah melewati celah. Selain itu, pemasangan deretan
jeruji pada bagian atas celah masuk dimaksudkan untuk menghadang rajungan
yang sudah terperangkap agar tidak dapat membebaskan diri keluar bubu.
Selanjutnya, kajian terhadap lintasan masuk difokuskan pada sudut kemiringan
lintasan dan ukuran mata jaring lintasan.
Respon lobster terhadap bubu standar dan modifikasi
Ujicoba penangkapan lobster dalam akuarium pengujian dengan ketiga jenis
bubu lipat memberikan hasil yang berbeda. Bubu lipat modifikasi 2 (BM-2)
menangkap lobster terbanyak, yaitu 470 individu. Hasil tangkapan terbanyak
kedua didapat oleh bubu modifikasi 1 (BM-1) sebanyak 221 individu, sedangkan
bubu lipat standar (BLS) berada pada urutan terakhir dengan jumlah tangkapan
sebanyak 109 individu. Hasil perhitungan dengan uji statistik ternyata juga
membuktikan bahwa jumlah tangkapan setiap perangkap berbeda nyata pada taraf
kepercayaan 95% dengan nilai F hit= 284,172 > F tab= 3,07 (Lampiran 1). Pada
penelitian terakhir, BM-2 dijadikan sebagai materi penelitian yang diberi tutupan
berwarna merah untuk meningkatkan jumlah tangkapan. Pada Gambar 9
ditunjukkan perbedaan jumlah tangkapan lobster berdasarkan jenis perangkap.
Perbedaan jumlah tangkapan antara bubu lipat standar dan modifikasi
disebabkan oleh 2 faktor, yaitu konstruksi lintasan masuk dan celah masuk. Sudut
lintasan masuk bubu lipat standar cukup sempit sebesar 30o. Akibatnya adalah
luasan bagian dasar perangkap sangat terbatas, sehingga kapasitas tampungnya
juga sedikit. Lobster tidak dapat menempati area yang berada di bawah lintasan,
karena ruangnya sangat sempit. Selain itu, lobster mengalami kesulitan pada saat
merayapi lintasan bersudut 30o. Kait pada ujung kaki jalannya sulit mendapat
pijakan, sehingga kaki-kaki jalannya cenderung terperosok ke dalam mata jaring.
Ujung-ujung kaki jalan lobster berbentuk runcing yang mirip dengan kepiting,
menurut Tallo et al. (2014) dan Komarudin (2012), akan mengalami kesulitan
ketika harus merayapi permukaan jaring yang memiliki kerapatan yang rendah. Ini
berbeda dengan sudut kemiringan lintasan bubu modifikasi yang dirancang
bersudut 45o. Pergerakan lobster merayapi lintasan masuk tidak terhambat, karena
ujung kaki-kaki jalannya dapat mengait pada benang jaring sebagai pijakan untuk
merayap. Selanjutnya, volume ruang bagian dasar bubu modifikasi lebih luas,
sehingga kapasitas tampung lebih besar. Lobster dapat mendiami seluruh bagian
dasar bubu lipat.

16

Gambar 9. Jumlah tangkapan bubu berdasarkan konstruksi pintu masuk.
BLS=109, BM-1=221, BM-2=470
Konstruksi celah masuk bubu standar berbentuk oval yang menyempit ke
arah dinding perangkap sangat mengurangi peluang lobster untuk masuk kedalam
bubu. Lobster hanya dapat masuk ke dalam bubu jika melalui bagian tengah yang
agak terbuka. Berdasarkan pengamatan langsung, pergerakan lobster terkadang
terhenti pada lubang masuk. Penyebabnya adalah duri-duri yang terdapat pada
karapas lobster tersangkut pada jaring, sehingga menghalangi lobster lain yang
akan melewati celah masuk. Kelebihan celah masuk bubu standar hanya pada
kemampuannya untuk menghadang lobster yang akan membebaskan diri dari
dalam perangkap. Lobster yang sudah terperangkap tidak mungkin dapat keluar
dari bubu. Sementara itu, lobster dapat melewati celah masuk bubu modifikasi
dari segala arah. Pergerakan lobster hanya sedikit terhambat oleh keberadaan
deretan jeruji besi berengsel yang dapat didorong kedalam. Namun demikian,
lobster yang telah terperangkap juga tidak dapat membebaskan diri, karena
deretan jeruji besi yang terpasang pada bagian sisi atas kerangka celah masuk
menghadang pergerakannya.
Jumlah tangkapan bubu modifikasi 2 (BM-2) sebanyak 470 individu, atau
lebih dari 2 kali lipat jumlah tangkapan BM-1 (221 individu). Lintasan pada BM2 dibuat dari jaring dengan ukuran mata 0,25 . Kerapatan yang tinggi pada mata
jaring ini menyebabkan lintasan mudah dilalui oleh lobster yang memiliki ukuran
kaki jalan yang sangat ramping. Ini dibuktikan dengan hasil penelitian tahap 1
yang mendapatkan bahwa waktu tempuh rata-rata lobster merayapi jaring dengan
ukuran mata 0,25 mencapai 11,6 detik. Kerapatan yang tinggi ini juga
menyebabkan adanya bidang gelap di bawah lintasan yang sangat disukai oleh
lobster. Pada BM-1, kerapatan lintasan masuk cukup besar. Pergerakan lobster
sering terhambat, karena kaki-kaki jalannya selalu terperosok kedalam mata
jaring. Hasil penelitian tahap 1 juga membuktikan bahwa waktu tempuh lobster
mencapai 20,2 detik ketika melewati lintasan jaring dengan ukuran mata 1,25 .

17

Kesimpulan
Kesimpulan yang di dapat dari penelitian ini adalah:
1. Ukuran mata jaring dengan waktu rata-rata tempuh tercepat lobster masuk ke
dalam bubu dengan ukuran 0,25 inci.
2. Sudut kemiringan yang mudah dilalui oleh lobster adalah sudut 45o.
3. Bentuk mulut yang tepat pada bubu adalah berbentuk empat persegi panjang
dengan menggunakan trigger.

18

3 PENGARUH WARNA TUTUPAN TERHADAP RESPON

LOBSTER
PENDAHULUAN
Lobster lebih banyak ditangkap dengan menggunakan perangkap. Kondisi
lobster yang ditangkap dengan perangkap lebih baik dibandingkan dengan alat
tangkap lain. Anggota tubuh dan kondisinya ketika ditangkap dengan perangkap
masih lengkap tanpa mengalami kerusakan atau kehilangan anggota tubuh,
sementara jika ditangkap dengan alat tangkap lain seperti jaring gillnet, trawl,
tombak dan panah maka anggota tubuhnya bisa mengalami kerusakan atau
terlepas bahkan lobster mengalami kematian (Ritonga 2006).
Salah satu jenis alat tangkap yang banyak digunakan untuk menangkap
lobster adalah bubu. Bubu merupakan jenis alat tangkap pasif yang menunggu
organisme masuk ke dalamnya dan terperangkap kemudian tidak dapat
meloloskan diri. Bubu dapat dibuat dari beberapa jenis material baik material
alami maupun material buatan (sintesis) sesuai dengan karakteristiknya masingmasing. Sudirman dan Mallawa (2004) mengatakan bahwa bubu umumnya dibuat
dari material seperti rotan, bambu, jaring, plastik atau kawat besi. Material
penyusun bubu baik material alami maupun buatan pasti memiliki warna tertentu.
Material dengan warna tertentu akan menghasilkan bubu seperti seperti dengan
warna bawaannya. Dengan demikian, bubu memiliki warna sesuai dengan warna
material penyusunnya.
Fungsi penglihatan bagi lobster memiliki peran penting bagi aktifitas
lobster. Lobster bisa melakukan aktifitas hidupnya seperti bergerak, mencari
makanan, menghindari predator dan berinteraksi dengan organisme lain di
habitatnya. Menurut Chiou et al. (2008) dan Grober (1988), indera penglihatan
krustacea seperti kepiting digunakan untuk mengenali suatu objek, membedakan
kontras, navigasi dan berkomunikasi mengenai refleksi polarisasi, mengenali
makanan dan menghindari predator. Respon lobster terhadap bubu menentukan
keberhasilan penangkapan. Salah satu respon lobster terhadap bubu adalah respon
penglihatan lobster terhadap warna. Warna bubu mungkin dapat mempengaruhi
lobster yang menjadi target penangkapannya. Penangkapan lobster akan berhasil
jika lobster tertarik untuk mendekati bubu, sebaliknya akan gagal apabila lobster
cenderung menjauhi bubu.
Purbayanto et al. (2010) menginformasikan bahwa kajian fisiologi dan
tingkah laku ikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pengembangan
teknologi penangkapan ikan, karena merupakan dasar dalam penentuan aspek
teknologi alat tangkap yang akan dikembangkan, sehingga dapat dikatakan bahwa
teknologi penangkapan tidak akan berkembang jika tidak ada kajian fidiologi dan
tingkah laku ikan yang dihubungkan dengan pengembangan suatu alat tangkap.
Kajian mengenai respon penglihatan lobster terhadap warna benda dapat
diaplikasikan pada pada pemilihan material dan perancangan bubu untuk
menangkap lobster. Penelitian mengenai kemampuan penglihatan lobster belum
banyak dilakukan oleh para peneliti. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih
kurangnya informasi mengenai respon penglihatan dan analisis fisiologi
penglihatan lobster. Padahal informasi tersebut dapat memberika