Modifikasi Funnel Bubu Lipat terhadap Tangkapan Lobster di Perairan Pamipiran, Teluk Palabuhanratu

(1)

MODIFIKASI

FUNNEL

BUBU LIPAT

TERHADAP TANGKAPAN LOBSTER

DI PERAIRAN PAMIPIRAN, TELUK PALABUHANRATU

HANA RAISA KARIMA

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013


(2)

ABSTRAK

HANA RAISA KARIMA. Modifikasi Funnel Bubu Lipat terhadap Tangkapan Lobster di Perairan Pamipiran, Teluk Palabuhanratu. Dibimbing oleh SULAEMAN MARTASUGANDA dan BUDHI HASCARYO ISKANDAR.

Pemanfaatan Lobster (Panulirus sp.) secara tradisional dan pengusahaannya yang belum optimal di Pamipiran, memberikan peluang optimalisasi penangkapan dengan menggunakan alat tangkap efektif dan efisien, serta tetap memperhatikan kelestarian habitat alami lobster. Alat tangkap yang mempunyai resiko kerusakan hasil tangkapan kecil, menjamin lobster tetap hidup, dan dapat menjaga kestabilan stres yang rendah pada lobster akibat penangkapan adalah bubu lipat. Penelitian ini bertujuan untuk menguji tipe konstruksi funnel yang diteliti untuk menangkap lobster dengan ukuran length maturity layak tangkap di Perairan Pamipiran dan menganalisis hasil tangkapannya. Lobster yang menjadi hasil tangkapan dalam penelitian ini adalah Panulirus homarus, Panulirus penicillatus, dan Panulirus versicolor. Jumlah hasil tangkapan per funnelnya menunjukkan bahwa funnel diperbesar memiliki jumlah dan berat tangkapan tertinggi yaitu 40,16% dan 54,51%. Berdasarkan Uji Kruskall-Wallis dan Uji Duncan menunjukkan bahwa tipe perlakuan funnel bubu lipat diperbesar memiliki kualitas berat, panjang, dan kelayakan tangkap tangkapan lobster yang lebih baik daripada tipe perlakuan funnel bubu lipat kontrol dan elips. Modifikasi konstruksi funnel bubu lipat tipe diperbesar memiliki; panjang 64 cm, lebar 47 cm, tinggi 34 cm; dan spesifikasi funnel; lebar 32 cm, tinggi 5 cm, slope net 50 °.

Kata kunci : bubu lipat, funnel, lobster, Teluk Palabuhanratu

ABSTRACT

HANA RAISA KARIMA. Modification of Collapsible Pot’s Funnel to increase the catch of lobsters in the Pamipiran’s Water, Bay of Palabuhanratu. Supervised by SULAEMAN MARTASUGANDA dan BUDHI HASCARYO ISKANDAR.

Traditional utilization of Lobster (Panulirus sp.), as well as its management which is not optimum yet in Pamipiran, has given a chance of optimum catch by the use of effective and efficient equipment which is eco-friendly especially for the habitat of lobsters. The fishing equipments with low-risk of damage on the catch, and that can keep the lobsters alive and stabilize the stress level is bubu lipat (collapsible pot). This research is necessary in verifying the type of the funnel for fishing lobsters of proper size in Perairan Pamipiran. The catch of lobster carried out for the research are those of Panulirus homarus,Panulirus penicillatus,and Panulirus versicolor. The amount the catch per funnel shows that the enhanced funnel results in the most catch which is 40,16% and 54,51%. The results obtained from Kruskall-Wallis and Duncan tests show that the widened type results better lobsters in terms of weight, length, and proper size than the controlled and ellipse-shaped funnel bubu lipat. Modified construction of widened funnel bubu lipat possesses; 64 cm long, 47 cm wide, 34 cm tall. The specification of the funnel is 32 cm wide, 5 cm tall, 50 °slope net.


(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Modifikasi Funnel Bubu Lipat terhadap Tangkapan Lobster di Perairan Pamipiran, Teluk Palabuhanratu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2013 Hana Raisa Karima NIM C44070041


(4)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

MODIFIKASI

FUNNEL

BUBU LIPAT

TERHADAP TANGKAPAN LOBSTER

DI PERAIRAN PAMIPIRAN, TELUK PALABUHANRATU

HANA RAISA KARIMA

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(5)

Judul Skripsi : Modifikasi Funnel Bubu Lipat terhadap Tangkapan Lobster di Perairan Pamipiran, Teluk Palabuhanratu Nama : Hana Raisa Karima

NIM : C44070041

Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap

Disetujui oleh

Diketahui oleh

Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

Dr. Sulaeman Martasuganda, B.Fish.Sc, M.Sc Pembimbing I

Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si Pembimbing II


(6)

PRAKATA

Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas rahmat dan ridha-Nya, sehingga penyusunan skripsi ini dapat direalisasikan. Skripsi ini ditujukan sebagai pemenuh syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi pertama saya ini berjudul Modifikasi Funnel Bubu Lipat terhadap Tangkapan Lobster di Perairan Pamipiran, Teluk Palabuhanratu yang telah dilaksanakan pada Bulan Agustus – Desember 2011 di perairan Kampung Pamipiran, Desa Kertajaya, Kecamatan Simpenan, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak lepas dari kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dalam penyempurnaannya sangat diharapkan. Skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi setiap pihak yang memerlukannya dan dapat memperkaya khazanah pustaka tentang penelitian bubu lipat terhadap tangkapan lobster.

Penghargaan tertinggi hanya dapat saya utarakan dalam bentuk rasa terima kasih yang tak terhingga dan do’a terbaik, semoga Allah membalas kebaikannya dengan lebih baik dan lebih banyak dari yang diberikan kepada semua pihak terkait. Kumpulan lembaran yang kini berada di tangan pembaca merupakan hasil perjalanan panjang dari penelitian saya di perairan Pamipiran, yang menciptakan obsesi penelitian dalam diri saya. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, terutama kepada:

1. Pak Leman, Pak Riyanto, dan Pak Budhi yang telah bekerja keras dalam upayanya membimbing saya dengan dorongan motivasi yang kuat untuk dapat tetap melangsungkan penelitian hingga menyajikannya dalam bentuk skripsi. 2. Pak Ronny Irawan Wahju atas kesediannya menguji saya dan Pak Muhammad

Imron selaku komisi pendidikan dalam ujian skripsi mahasiswa Strata 1 PSP. 3. Tiga minggu pengasuhan diri di tempat terpencil dalam beberapa bulan

terpisah, tidak akan dapat berjalan begitu lancarnya tanpa rahmat dan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta bantuan dari Pak Dadin dan Pak Uus. 4. Kedua orang tua kami tercinta, Bapak Budi dan Ibu Maryam, dengan kasih

sayang, do’a tulus, dan semangatnya yang memicu anaknya untuk segera

menyelesaikan masa studi. Adik-adik saya tersayang, Aida, Zia, Dhila, dan Harits yang mendorong kakaknya dari kesulitan, kesedihan, dan kemalasan. 5. Teman seperjuangan tak sepenanggungan di Pamipiran, Mukhlis, Diki, Harits,

dan Zaenal, yang meramaikan Pamipiran dengan penelitian kami. Kawan terbaik penuh motivasi, Muflihati, Rohanah, Eneng, Wulan, Nela, Tri, dan Fanny. Kawan Pondok Aisyah yang bersahabat, Wari, Aan, Widya, Indri, Nisa,

Ici dan Mar’ah.

6. Terima kasih sebesar-besarnya kepada saudara saya, Dede Seftian, yang memudahkan perjalanan ini dan menjadikan pengorbanannya sebagai hutang budi bagi saya. Terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu dan tak dapat saya sebutkan satu per satu.

Bogor, Maret 2013 Hana Raisa Karima


(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA Error! Bookmark not defined.

Lobster Error! Bookmark not defined.

Klasifikasi dan morfologi Error! Bookmark not defined.

Habitat dan tingkah laku lobster 5

Pemanfaatan lobster 7

Alat tangkap lobster 9

Unit Penangkapan Bubu Lipat 9

Alat tangkap bubu lipat 10

Kapal bubu lipat 11

Nelayan bubu lipat 12

METODE 12

Waktu dan Lokasi Penelitian 12

Alat dan Bahan 12

Metode Penelitian 1Error! Bookmark not defined.

Metode Pengumpulan Data 15

Rancangan Penelitian 16

Analisis Data 17

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 18

Keadaan Umum Lokasi Penelitian 18

Kondisi Aktual Perikanan Tangkap di Kampung Pamipiran 18

HASIL DAN PEMBAHASAN 20

Modifikasi Funnel Bubu Lipat 20

Konstruksi Unit Penangkapan Lobster 23

Produktivitas Unit Penangkapan Lobster 24

Hasil Analisis Data 26

KESIMPULAN DAN SARAN Error! Bookmark not defined.4

Kesimpulan Error! Bookmark not defined.4

Saran Error! Bookmark not defined.4

DAFTAR PUSTAKA Error! Bookmark not defined.5

LAMPIRAN 37

RIWAYAT HIDUP 59

DAFTAR TABEL

1 Bentuk rancangan acak lengkap 16

2 Tabel sidik ragam (Anova) rancangan acak lengkap 16 3 The general linear model procedure panjang karapas lobster 27


(8)

5 Hasil uji anova panjang karapas lobster 28 6 Non-parametric tests (Kruskal-Wallis Test) panjang karapas lobster 28 7 Perbandingan mean rank antar perlakuan terhadap panjang karapas 29 8 Uji lanjut Duncan terhadap panjang karapas lobster 29 9 Test homogeneity of variances panjang karapas lobster 29 10 The general linear model procedure berat lobsterError! Bookmark not defined.0 11 Deskripsi data berat lobster Error! Bookmark not defined.1 12 Hasil uji anova berat lobster Error! Bookmark not defined.1

13 Non-parametric tests (Kruskal-Wallis Test) berat lobsterError! Bookmark not defined.1 14 Perbandingan mean rank antar perlakuan terhadap berat lobsterError! Bookmark not defined.2 15 Uji lanjut duncan terhadap berat lobster Error! Bookmark not defined.2

16 Test homogeneity of variances berat lobster Error! Bookmark not defined.2

17 Ukuran maksimum, kematangan, dan kelayakan tangkap lobsterError! Bookmark not defined.3 18 Crosstabulation kelayakan tangkap lobster Error! Bookmark not defined.3

19 Non-parametric tests (Kruskal-Wallis Test) kelayakan tangkap lobsterError! Bookmark not defined.

20 Perbandingan mean rank antar perlakuan terhadap kelayakan tangkapError! Bookmark not defined.4

DAFTAR GAMBAR

1 Morfologi spiny lobster 5

2 Salah satu jenis lobster yang dimanfaatkan di Kampung Pamipiran 9 3 Konstruksi bubu lipat yang digunakan di Kampung Pamipiran 11 4 Perahu jukung yang digunakan dalam mengoperasikan bubu lipat 12 5 Rancangan peletakkan bubu lipat di satuan hamparan rumput laut 14 6 Rancangan konstruksi bubu lipat dengan tiga tipe funnel 15 7 Lokasi pembudidayaan rumput laut daerah pesisir pantai Pamipiran 20 8 Peta Pamipiran dalam kawasan Teluk Palabuhanratu (Surfer 8.0) 20 9 Konstruksi funnel bubu lipat dengan menggunakan kawat 22 10 Konstruksi funnel bubu lipat dengan menggunakan pipa paralon 22

11 Konstruksi bubu lipat funnel diperbesar 23

12 Diagram persentase jumlah dan berat tangkapan per trip 25 13 Diagram persentase jumlah dan berat tangkapan per funnel 25

14 Rata-rata berat lobster 26

15 Rata-rata panjang lobster 26

16 Probability plot panjang karapas lobster 27

17 Probability plot berat lobster 30

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil tangkapan bubu lipat per trip (penelitian pendahuluan)Error! Bookmark not defined.7

2 Hasil tangkapan bubu lipat per trip 38

3 Persentase jumlah dan berat tangkapan 45

4 Produktivitas bubu lipat terhadap lobster 50

5 Kategori pengolahan data dalam sas 9.1.3 dan spss 19.0 52

6 Penjadwalan daerah penangkapan lobster 53


(9)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Teluk Palabuhanratu berada pada wilayah administrasi Kabupaten Sukabumi yang memiliki 47 kecamatan. Salah satu dari sembilan kecamatan pesisir yang dimiliki Kabupaten Sukabumi dan merupakan kawasan Teluk Palabuhanratu adalah Kecamatan Simpenan. Kampung Pamipiran yang terletak di Desa Kertajaya, Kecamatan Simpenan merupakan daerah pesisir berpantai batu yang bersinggungan langsung dengan cekungan Teluk Palabuhanratu. Kampung Pamipiran memiliki komunitas penduduk yang bermatapencaharian sebagai nelayan penangkapan, nelayan budidaya rumput laut, dan pengrajin. Potensi sumberdaya alam yang baik di Kampung Pamipiran belum tersentuh industri penangkapan maupun budidaya. Sejak tahun 2009, penduduk Desa Pamipiran mulai dikenalkan dengan cara pembudidayaan rumput laut. Selama rentang waktu satu tahun, perkembangan budidaya rumput laut sangat pesat dan mempengaruhi biota yang hidup di sekitarnya, salah satunya adalah lobster.

Lobster (Panulirus sp.) atau udang barong merupakan salah satu komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Secara nasional, komoditas ini dimanfaatkan secara industrial maupun tradisional, namun demikian tingkat pengusahaannya belum optimal. Kampung Pamipiran memanfaatkan komoditas ini secara tradisional dan pengusahaannya jauh dari optimal. Pemanfaatan peluang tersebut dapat dilakukan dengan optimalisasi penangkapan dengan menggunakan alat tangkap efektif dan efisien, serta tetap memperhatikan kelestarian habitat alami lobster.

Kondisi oseanografi yang berarus kuat di perairan Kampung Pamipiran mendukung pertumbuhan rumput laut sehingga meningkatkan jumlah produksi rumput laut. Berdasarkan wawancara dengan nelayan Pamipiran, peningkatan jumlah produksi rumput laut yang dibudidayakan ternyata berpengaruh positif terhadap perkembangbiakan lobster. Hal ini dikarenakan jumlah jangkar yang banyak digunakan dalam pembudidayaan rumput laut, sehingga menjadi tempat berlindung yang baik bagi lobster untuk berlindung dari pemangsa, mencari makan, dan berkembang biak.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih jenis alat tangkap lobster, terutama tingkat resiko yang ditimbulkan terhadap hasil tangkapan. Hal ini ditekankan karena tingkat intensitas kecacatan yang cukup tinggi pada lobster tangkapan, berupa luka, kehilangan salah satu atau lebih organ tubuh (cacat), ataupun mati akibat penggunaan alat tangkap yang tidak sesuai. Hal tersebut menyebabkan harga jual rendah. Pemilihan alat tangkap perlu dilakukan secara cermat agar kondisi lobster tangkapan baik, sehingga tingkat harga lobster tangkapan mencapai nilai maksimal. Salah satu alat tangkap yang mempunyai resiko kerusakan hasil tangkapan kecil, menjamin lobster tetap hidup, dan memiliki kelebihan untuk menjaga kestabilan stres yang rendah pada lobster akibat penangkapan adalah bubu lipat. Penggunaan bubu lipat tidak menimbulkan dampak negatif yang dapat mengancam kelestarian ekosistem terumbu karang, karena tidak menggunakan racun dan bahan peledak, serta tidak melakukan pengerukkan dasar laut dalam peletakkannya maupun pengangkatannya.


(10)

2

Pada tahun 2010, nelayan desa Pamipiran kemudian dikenalkan dengan penggunaan bubu lipat untuk menangkap lobster sebagai hasil tangkapan utama, ikan baronang, kepiting, dan jenis ikan lainnya sebagai hasil tangkapan sampingan. Tiga bulan pertama penggunaan bubu lipat memberikan dampak yang positif terhadap perekonomian nelayan Kampung Pamipiran, khususnya dikarenakan penjualan lobster sebagai hasil tangkapan utama memiliki harga yang baik dan cukup stabil.

Kendala yang terjadi selama penangkapan adalah lebih banyaknya lobster berukuran kecil yang memasuki bubu dibandingkan dengan lobster berukuran besar. Pengoptimalan lobster layak tangkap yang memasuki bubu dapat mengurangi jumlah lobster yang tidak layak tangkap. Beberapa indikasi kurangnya lobster layak tangkap yang masuk ke dalam bubu adalah bentuk dan ukuran funnel (pintu masuk berbentuk corong) bubu. Ukuran funnel bubu yang digunakan nelayan Pamipiran tidak memenuhi syarat masuknya lobster layak tangkap. Hal ini dikarenakan luas funnel bubu lipat berukuran kecil, sehingga sebagian besar lobster yang masuk ke dalam bubu adalah lobster dengan ukuran tidak layak tangkap. Bentuk funnel bubu lipat yang umum digunakan nelayan Pamipiran dapat dilakukan modifikasi, sehingga memungkinkan masuknya lobster layak tangkap. Berdasarkan kendala yang ada, penangkapan lobster layak tangkap yang optimal belum diketahui, sehingga perlu diadakannya penelitian untuk menemukan ukuran konstruksi funnel yang sesuai dan tepat. Oleh karena itu,

penelitian mengenai “Modifikasi konstruksi funnel bubu lipat terhadap tangkapan lobster di perairan Pamipiran, Kecamatan Simpenan” untuk pengoptimalan penangkapan lobster berukuran layak tangkap sebagai hasil tangkapan utama sangat perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hasil tangkapan lobster, serta untuk menguji tipe konstruksi funnel yang diteliti untuk menangkap lobster dengan ukuran length maturity layak tangkap di Perairan Pamipiran.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru kepada nelayan tentang hasil tangkapan lobster serta ukuran konstruksi funnel yang tepat untuk pengoptimalan pada penangkapan lobster dengan ukuran length maturity layak tangkap. Peningkatan hasil tangkapan lobster layak tangkap diharapkan dapat turut mengurangi jumlah hasil tangkapan lobster tidak layak tangkap. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pelopor untuk terapan lanjutan dengan menggunakan dua tipe alat tangkap bubu lipat yang dimodifikasi sebagai acuan pembuatan bubu selanjutnya. Modifikasi alat tangkap bubu lipat yang telah dimiliki para nelayan diharapkan dapat menekan biaya ekonomi lebih baik pada penerapannya hingga umur teknis bubu lipat elips yang dimiliki habis.


(11)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Lobster Klasifikasi dan morfologi

Lobster termasuk dalam famili Palinuridae. Menurut Kanna (2006), sistematika lobster telah banyak diungkapkan oleh para peneliti, meskipun terdapat berbagai perbedaan. Klasifikasi lobster dijelaskan oleh Waterman dan Chace (1960) dalam Moosa dan Aswandy (1982), dengan penjabaran sebagai berikut; Crustacea (Superkelas) – Malacostraca (Kelas) – Eumalacostraca (Subkelas) – Eucarida (Superordo) – Decapoda (Ordo) – Reptantia (Subordo) – Scyllaridae (Superfamili) – Palinuridae (Famili) – Panulirus (Genus) – Panulirus homarus, P. penicillatus, P. longipes, P. versicolor, P. ornatus, P. Polyphagus (Spesies).

Masyarakat Indonesia mengenal lobster (spiny lobster) dalam berbagai nama, diantaranya adalah urang takka (Makasar), koloura (Kendari), loppa tasu (Bone), hurang karang (Sunda), bongko (Pangkep), udang puyuh (Padang), udang topeng (Karawang) dan lain-lain. Umumnya lobster dikenal sebagai udang barong atau karang (Kanna 2006).

Secara morfologi menurut Kanna (2006), seluruh tubuh lobster terbagi atas ruas-ruas yang tertutup oleh kerangka luar yang keras dan tubuh lobster terdiri atas dua bagian utama, yaitu bagian depan (cephalotorax) dimana kepala menyatu dengan dada dan bagian belakang (abdomen atau badan). Cephalotorax tertutup oleh cangkang yang keras (carapas) dengan bentuk memanjang ke arah depan. Bagian kepala terdiri atas 13 ruas dan bagian dada terdiri atas 6 ruas. Sisi kanan dan kiri kepala ditutupi oleh kelopak kepala dan di bagian bawah dalamnya terdapat insang. Pada bagian ujung cangkang tersebut terdapat bagian runcing yang disebut cucuk kepala (rostrum). Mulut terletak pada kepala bagian bawah di antara rahang-rahang (mandibula). Mata terletak di bawah rostrum, berupa mata majemuk bertangkai yang dapat digerak-gerakkan. Pada bagian kepala terdapat beberapa anggota tubuh yang berpasang-pasangan, antara lain antenulla, sirip kepala (scophent), sungut besar (antena), rahang (mandibula), dua pasang alat pembantu rahang (maxilla), tiga pasang maxilliped dan lima pasang kaki jalan (pereiopoda). Tiga dari lima pasang pereiopoda dilengkapi dengan jepitan (chela). Pada bagian badan terdapat lima pasang kaki renang (pleopoda) yang terletak pada masing-masing ruas. Pleopoda pada ruas keenam membentuk ekor kipas atau sirip ekor (uropoda) dan bagian ujungnya membentuk ekor (telson).

Berdasarkan daerah penyebarannya, lobster dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu continental species spiny lobster, coral species spiny lobster, dan oceanic species spiny lobster (William 1986). Menurut daerah penyebarannya, ruang lingkup lobster pesisir hanya berada pada dua wilayah yaitu continental species spiny lobster dan coral species spiny lobster. Continental species spiny lobster hidup di perairan karang pantai yang dangkal. Jenis-jenis lobster yang termasuk dalam kelompok ini serta karakteristiknya adalah Scalopped spiny lobster (Panulirus homarus Linneaus 1758) dan Pronghorn spiny lobster (Panulirus penicillatus Oliver 1971) (Kanna 2006).

Bagian tubuh Scalopped spiny lobster, terutama bagian punggung didominasi oleh warna kehijau-hijauan atau cokelat kemerah-merahan, dan


(12)

4

terdapat bintik-bintik besar dan kecil berwarna kuning terang. Pada bagian badan terdapat garis kuning, melintang pada tiap bagian sisi belakang segmen abdomen. Selain itu, terdapat bercak-bercak putih pada bagian kakinya. Pada bagian muka terdapat lempeng antenulla dengan dua buah duri besar. Di belakang masing-masing duri tersebut terdapat sebaris duri yang terdiri atas 2-6 buah duri kecil. Duri yang terletak paling belakang berukuran lebih besar, namun masih lebih kecil dibandingkan dengan duri besar yang terletak di bagian muka. Bagian belakang sternum dada, baik pada lobster jantan maupun betina berbentuk lempengan dan bertepi lurus. Maxilliped III tidak mempunyai exopoda. Permukaan bagian atas ruas abdomen II-IV mempunyai alur melintang. Alur tersebut berbentuk lurus dengan tepi bergerigi, terputus di bagian tengah. Ruas abdomen VI mempunyai alur melintang menyerupai huruf M yang melebar. Abdomen tidak mempunyai rambut, kecuali pada bagian alur melintang dan tepi belakang abdomen. Pada bagian sisi abdomen terdapat lekukan (Kanna 2006)

Bagian badan Pronghorn spiny lobster berwarna hijau tua dan hijau kehitam-hitaman, dengan warna cokelat melintang. Lobster jantan biasanya berwarna lebih gelap. Jenis ini banyak ditemui di perairan karang yang tidak jauh dari pantai. Pada bagian abdomen terdapat bintik-bintik yang tidak terlalu jelas. Kaki jalan bergaris putih, memanjang pada setiap ruas kaki. Bintik-bintik yang tampak lebih jelas terdapat pada bagian pleura. Pada lempeng antenulla terdapat enam buah duri besar dengan dasar saling berhubungan, tanpa duri-duri tambahan dibelakangnya. Bagian belakang sternum dada berbentuk gigi, berjumlah dua buah dan terletak saling berdekatan. Maxilliped III mempunyai exopoda dengan flagel beruas satu atau tidak mempunyai flagel. Permukaan bagian atas ruas abdomen II-IV mempunyai alur melintang yang tidak terputus di bagian tengah dan bertepi licin. Pada permukaan bagian bawah ruas abdomen terdapat bulu-bulu keras yang terletak tersebar. Pada tepi bagian belakang abdomen terdapat rambut, sementara pada bagian sisinya terdapat lekukan (Kanna 2006).

Coral species spiny lobster hidup di perairan pantai maupun lepas pantai agak dalam. Salah satu jenis lobster yang termasuk dalam kelompok ini adalah Long legged spiny lobster (Panulirus longipes A. Milne Edwards 1868). Lobster jenis ini memiliki warna dasar kecokelat-cokelatan dengan warna kebiru-biruan pada antena. Namun, ada juga yang berwarna merah cokelat cerah sampai gelap atau hitam kemerah-merahan dengan bintik-bintik putih tersebar di seluruh tubuhnya. Bagian kaki juga berbintik-bintik putih dan setiap ruas kaki bergaris-garis cokelat atau kekuning-kuningan memanjang. Pada bagian muka terdapat lempeng antenulla dengan dua buah duri besar. Di belakang masing-masing duri terdapat sebaris duri kecil sebanyak 1-6 buah. Bagian belakang sternum dada berbentuk gigi berjumlah dua buah dan terletak berdekatan. Morfologi lobster laut dapat dilihat pada Gambar 1 (Holthuis 1991).


(13)

5

Gambar 1 Morfologi spiny lobster (Holthuis 1991)

Habitat dan tingkah laku lobster

Menurut Kanna (2006), habitat alami lobster adalah kawasan terumbu karang di perairan-perairan dangkal hingga 100 meter di bawah permukaan laut. Lobster dapat menyebar di berbagai jenis perairan, diantaranya pesisir, pantai, tepi laut berkarang, dan laut dalam. Di Indonesia, terdapat perairan karang yang merupakan habitat lobster seluas 6.700 km2 dan merupakan perairan karang terluas di dunia. Habitat alami lobster tersebut tersebar di wilayah perairan Sumatera Barat, timur Sumatera, selatan dan utara Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Selat Malaka, timur Kalimantan, barat Kalimantan, selatan Kalimantan, utara dan selatan Sulawesi, serta perairan Maluku dan Papua, terutama Laut Arafura.

Lobster berdiam di dalam lubang-lubang karang atau menempel pada dinding karang. Aktivitas organisme ini relatif rendah. Lobster yang masih muda biasanya hidup di perairan karang di pantai dengan kedalaman 0,5-3 meter. Habitat yang paling disukai adalah perairan dengan dasar pasir berkarang yang ditumbuhi rumput laut (seagrass). Setelah dewasa, lobster akan bergerak ke


(14)

6

perairan yang lebih dalam, dengan kedalaman antara 7-40 meter. Perpindahan ini biasanya berlangsung pada siang dan sore hari. Menurut Moosa dan Aswandy (1984), lobster mendiami suatu perairan tertentu menurut jenisnya (Kanna 2006).

Jenis Panulirus penicillatus biasanya mendiami perairan dangkal berkarang di bagian luar terumbu karang, pada kedalaman 1-4 meter dengan air yang jernih dan berarus kuat. Jenis Panulirus hommarus biasanya ditemukan hidup di perairan karang pada kedalaman belasan meter, dalam lubang-lubang batu granit atau vulkanis. Jenis ini sering ditemukan berkelompok dalam jumlah banyak. Pada saat muda, Panulirus hommarus lebih toleran terhadap perairan yang keruh. Setelah mencapai usia dewasa lebih menyukai perairan yang jernih dengan kedalaman 1-5 meter (Kanna 2006).

Panulirus longipes mampu beradaptasi pada berbagai habitat, namun lebih menyukai perairan yang lebih dalam pada lubang-lubang batu karang. Pada malam hari, jenis ini sering ditemukan pada tubir-tubir batuan dan kadang-kadang tertangkap di perairan yang relatif dangkal (sekitar 1 meter) dengan air yang jernih dan berarus kuat. Jenis Panulirus ornatus lebih menyukai terumbu karang yang agak dangkal dan sering tertangkap di perairan yang agak keruh, pada karang-karang yang tidak tumbuh dengan baik di kedalamn 1-8 meter. Panulirus versicolor senang berdiam di tempat-tempat yang terlindung di antara batu-batu karang pada kedalaman hingga 16 meter. Jenis ini jarang terlihat berkelompok dalam jumlah yang banyak. Jenis Panulirus poliphagus banyak ditemukan hidup di perairan karang yang keruh dan sering kali juga ditemukan di dasar perairan yang berlumpur agak dalam (Kanna 2006).

Menurut Martasuganda (2003), keberadaan ikan dasar, kepiting, dan udang bisa dideteksi dengan fish finder, berdasarkan kepada data hasil tangkapan sebelumnya di suatu lokasi atau informasi daerah penangkapan dari instansi terkait maupun berdasarkan pada catatan mengenai keberadaan ikan dasar, kepiting atau udang di daerah penangkapan.

Menurut Kanna (2006), tingkah laku lobster dapat digambarkan melalui beberapa sifatnya yaitu bersifat nokturnal, bersifat ganti kulit (moulting atau ecdysis), dan bersifat kanibal. Sifat nokturnal merupakan sifat lobster yang melakukan aktifitasnya pada malam hari, terutama aktifitas mencari makan. Pada siang hari lobster beristirahat dan tinggal di tepi laut berkarang di dekat rumput laut yang subur, bersama golongan karang. Lobster senang bersembunyi di tempat gelap pada lubang-lubang yang terdapat di sisi terumbu karang (Kanna 2006).

Peristiwa moulting pada crustacea adalah peristiwa pergantian atau penanggalan rangka luar untuk diganti dengan yang baru. Proses ini biasanya diikuti dengan pertumbuhan dan pertambahan berat badan. Proses pergantian kulit pada lobser hampir sama dengan udang penaeid, misalnya udang windu. Sebelum moulting, lobster mencari tempat persembunyian terlebih dahulu tanpa melakukan aktifitas makan dan tidur. Pada hari ketiga, bagian kepala sudah mulai retak, kemudian dilepaskan dengan gerakan meloncat. Setelah berganti kulit, lobster akan mengisap air sebanyak-banyaknya sehingga tubuhnya terlihat membengkak untuk mengeraskan kulit barunya, lobster membutuhkan gizi yang cukup dan jumlah makanan yang lebih banyak. Proses pengerasan kulit biasanya berlangsung selama satu sampai dua minggu (Kanna 2006).

Sifat kanibalisme terjadi ketika jumlah mangsa atau ketersediaan makanan bagi lobster mulai menurun. Mangsa yang disukai lobster adalah berbagai jenis


(15)

7 kepiting, moluska dan ikan. Jika persediaan makanan tidak memadai, lobster akan memangsa sesamanya. Sifat lobster yang saling memakan sesama jenisnya disebut sifat kanibalisme. Peristiwa ini terjadi terutama jika ada lobster yang sedang dalam kondisi lemah (sedang berganti kulit) atau pakan yang diberikan kurang tepat, baik jenis, jumlah, frekuensi, maupun waktu (Kanna 2006).

Pada umumnya, jenis-jenis udang mampu bertahan hidup pada perairan dengan kondisi salinitas yang berubah-ubah (berfluktuasi). Sifat seperti ini disebut sifat eurihaline. Akan tetapi, beberapa jenis udang termasuk udang barong atau lobster, merupakan biota laut yang sangat sensitif terhadap perubahan salinitas dan suhu. Oleh karena itu, budidaya lobster harus dilakukan di tempat yang beratap sehingga air hujan tidak dapat masuk ke dalam media budidaya. Hal ini diperlukan untuk mencegah terjadinya fluktuasi salinitas dan suhu yang terlalu tinggi. Jenis Panulirus sp. Lebih toleran terhadap salinitas antara 25-45o/oo (Kanna 2006).

Lobster mencari makan pada malam hari di sekitar karang yang lebih dangkal. Lobster bergerak di tempat yang aman pada lubang-lubang karang, merayap untuk mencari makan. Apabila terkena sinar lampu, lobster akan diam sejenak, kemudian melakukan gerakan mundur dan menghindar. Pada saat tertentu, biasanya lobster akan berpindah ke perairan yang lebih dalam untuk melakukan pemijahan. Lobster betina yang telah matang telur biasanya berukuran (dari ujung telson sampai ujung rostrum) sekitar 16 cm, sedangkan lobster jantan sekitar 20 cm (Kanna 2006).

Pemanfaatan lobster

Lobster merupakan jenis komoditas perikanan penting yang memiliki tingkat permintaan dan nilai ekonomis tinggi. Seiring dengan perkembangan teknologi serta tingginya volume permintaan dan tingkat harga, baik di pasar domestik maupun internasional, para nelayan sebagai produsen dituntut untuk menyediakan lobster dalam jumlah cukup dengan kualitas yang baik. Komoditas ini tidak asing di kalangan masyarakat penggemar makanan laut (sea food). Lobster terkenal dengan dagingnya yang halus serta rasanya yang gurih dan lezat. Jika dibandingkan dengan udang jenis lainnya, lobster memang jauh lebih enak. Tidak salah jika makanan ini merupakan makanan yang bergengsi yang hanya disajikan di restoran-restoran besar dan hotel-hotel berbintang. Harga lobster yang mahal biasanya dikonsumsi oleh kalangan ekonomi atas (Kanna 2006).

Pada tahun 1995, total ekspor udang laut Indonesia mencapai 182.065 ton, 2% (2.852 ton) diantaranya adalah lobster. Sementara, total ekspor udang hasil budidaya mencapai 94.511 ton. Ekspor udang bubidaya ini cenderung meningkat setiap tahunnya. Pangsa pasar lobster tidak hanya terbatas di dalam negeri, namun juga di luar negeri. Permintaan akan lobster selalu meningkat tajam setiap tahun. Pada tahun 1990, ekspor lobster ke Belanda, yang merupakan salah satu negara penggemar lobster di Eropa Barat, mencapai 745,132 ton atau 89,59% dari total ekspor lobster Indonesia (826 ton). Permintaan akan lobster juga datang dari Jerman, Belgia, dan Luxemburg dengan tingkat permintaan yang cukup tinggi. Pada tahun 1990, ekspor lobster Indonesia ke Jerman baru sebesar 16.568 kg (1,99%), sementara ke Belgia dan Luxemburg baru sebesar 3.646 kg (0,44%).


(16)

8

Angka ini masih sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah permintaan yakni 42,91% dari total permintaan (Kanna 2006).

Masyarakat Jepang dan Hongkong merupakan pengimpor lobster terbesar di Asia dan terkenal sebagai penggemar makanan laut, termasuk lobster. Di Jepang, lobter biasanya disajikan dalam bentuk lobster rebus dan digunakan untuk menghormati tamu-tamu asing. Selain itu, lobster sering kali disajikan dalam acara pernikahan sebagai pengganti kado. Meskipun termasuk negara penghasil lobster, kebutuhan lobster di Jepang belum terpenuhi sehingga harus mengimpor dari negara lain. Pada tahun 1990, ekspor lobster Indonesia ke Jepang mencapai 53.433 kg atau 6,43% dari total ekspor lobster Indonesia. Permintaan Hongkong akan lobster tidak jauh berbeda dengan Jepang. Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, lobster di Hongkong juga didistribusikan ke negara-negara tetangganya, seperti RRC dan Taiwan. Pada tahun 1990, ekspor lobster di Indonesia ke Hongkong mencapai 12.888 kg atau 1,55% dari total ekspor lobster Indonesia. Tingginya permintaan lobster di Hongkong dilatarbelakangi oleh mitos yang terdapat di Cina, yaitu bentuk lobster yang seperti naga akan dapat mendatangkan hoki bagi yang menyantapnya (Kanna 2006).

Selain untuk ekspor, kebutuhan pasar dalam negeri juga meningkat seiring dengan meningkatnya arus wisatawan manca negara, mengingat sebagian besar konsumen lobster adalah orang asing. Peningkatan permintaan lobster biasanya diikuti dengan peningkatan harga. Selain itu, tingginya harga lobster juga disebabkan oleh terbatasnya volume produksi. Di Indonesia terdapat enam jenis lobster, namun yang banyak dikenal oleh masyarakat hanya tiga jenis, yaitu lobster pasir (Panulirus homarus), lobster mutiara (Panulirus versicolor) dan lobster bambu (Panulirus penicillatus). Harga lobster mutiara biasanya lebih tinggi, dapat mencapai 2-3 kali lipat dibandingkan dengan lobster bambu dan lobster pasir (Kanna 2006).

Kondisi fisik lobster pun sangat menentukan tingkat harga. Lobster yang masih hidup, sehat dan tidak cacat cenderung lebih mahal. Sementara, lobster yang cacat atau mati, harganya jauh lebih murah untuk semua jenis, yaitu sekitar Rp 25.000,- per kg (untuk ukuran > 0,5 kg/ekor) dan Rp 15.000,- per kg (untuk ukuran < 0,5 kg/ekor). Harga lobster relatif stabil. Kalaupun mengalami fluktuasi (pada musim lobster), perubahannya relatif kecil. Mengingat permintaan negara-negara pengimpor lobster yang hingga saat ini belum terpenuhi, harga lobster akan cenderung meningkat. Hal ini merupakan peluang bagi para nelayan dan pembudidaya untuk mengembangkan usaha penangkapan dan budidaya lobster. Volume permintaan dan harga lobster yang cenderung meningkat setiap tahun akan sangat menarik minat nelayan untuk mengadakan penangkapan secara lebih intensif. Demikian juga potensi perairan laut Indonesia baru dimanfaatkan sekitar 658.000 km2 (60%), yang berarti masih ada sekitar 438.800 km2 (40%) yang belum dimanfaatkan. Dari total luas perairan laut Indonesia (1.097.000 km2), 6.782,48 km2 (0,62) diantaranya merupakan habitat lobster (Kanna 2006).

Pemanfaatan lobster selain sebagai produk pangan bergizi tinggi, lobster dapat diolah untuk diambil zat kitin pada karapasnya. Lobster dapat dimanfaatkan jika dieksplorasi secara benar dan tepat, yaitu dengan menggunakan alat tangkap ramah lingkungan, salah satunya adalah bubu lipat yang masih tergolong alat tangkap tradisional. Salah satu jenis lobster yang dimanfaatkan di Kampung Pamipiran dapat dilihat pada Gambar 2.


(17)

9

Gambar 2 Salah satu jenis lobster yang dimanfaatkan di Kampung Pamipiran

Alat tangkap lobster

Seiring dengan perkembangan teknologi dalam usaha penangkapan ikan di laut, variasi atau keragaman alat tangkap pun semakin banyak. Beberapa jenis alat tangkap yang sering digunakan dalam usaha penangkapan lobster di laut adalah bubu bone, bubu bali, bubu beehive pot, bubu batter crayfish, bubu lipat, krendet, dan jenis alat tangkap lainnya (Kanna 2006). Pengoperasian alat tangkap tersebut dapat dikatakan ramah lingkungan karena tidak didahului dengan pengeboman dan pengerukan dasar laut yang menyebabkan kerusakan terumbu karang sebagai habitat ikan karang dan lobster.

Karakteristik alat tangkap lobster yang bersifat ramah lingkungan, dapat ditemukan salah satunya pada bubu lipa, yaitu menjaga ekosistem terumbu karang sebagai habitat lobster dan ikan karang lainnya dengan tidak mendahului penangkapan dengan pengeboman dan pengerukan dasar laut.

Unit Penangkapan Bubu Lipat

Unit penangkapan ikan merupakan satu kesatuan teknis dalam operasi penangkapan ikan, yang terdiri atas kapal, alat penangkap ikan dan nelayan. Ketiga unsur tersebut akan saling berkaitan dan akan berpengaruh terhadap keberhasilan penangkapan ikan.

Menurut Von Brandt (2005), perangkap adalah alat tangkap yang umumnya berbentuk kurungan. Ikan dapat masuk dengan mudah tanpa ada paksaan, tetapi ikan tersebut akan sukar keluar karena terhalang pintu masuk yang berbentuk corong (non-return device). Adapun menurut Sainsbury (1972), bubu terdiri dari berbagai ukuran dan bentuk yang dapat menarik jenis-jenis ikan yang akan tertangkap dengan mempergunakan umpan.


(18)

10

Alat tangkap bubu lipat

Menurut Sudirman dan Mullawa (2004), bubu (pot) adalah alat penangkapan ikan yang dipasang secara menetap dalam air untuk jangka waktu tertentu yang memudahkan ikan masuk dan sulit keluarnya.

Menurut Martasuganda (2003), bentuk bubu biasanya disesuaikan dengan ikan yang akan dijadikan target tangkapan, tetapi meskipun yang dijadikan target tangkapannya sama, terkadang bentuk bubu yang dipakai bisa juga berbeda tergantung pada kebiasaan atau pengetahuan nelayan yang mengoperasikannya. Secara umum konstruksi bubu terdiri dari rangka, badan dan pintu masuk, kemudian ada juga yang dilengkapi dengan pintu untuk mengambil hasil tangkapan dan kantung umpan sebagai tempat untuk menyimpan umpan.

Menurut Martasuganda (2003), bahan utama pembuatan rangka bubu ada beberapa macam yaitu lempengan besi, besi behel, bambu, kayu atau bahan lainnya. Sedangkan badan bubu ada yang terbuat dari kawat, jaring, waring, anyaman bambu atau bahan lain yang bisa dijadikan sebagai badan bubu. Kantung umpan umumnya berbahan kawat kasa. Konstruksi bubu lipat yang digunakan oleh nelayan bubu di kampung Pamipiran dapat dilihat pada Gambar 3.

Menurut Martasuganda (2003), pemasangan bubu ada beberapa jenis, yaitu dipasang satu demi satu (pemasangan sistem tunggal) dan beruntai (pemasangan sistem rawai). Waktu pemasangan (setting) dan pengangkatan (hauling) dilakukan pada waktu pagi hari, siang hari, sore hari, sebelum matahari terbenam atau malam hari tergantung dari nelayan yang nengoperasikannya. Lama perendaman bubu di perairan pun beragam, yaitu beberapa jam, satu, tiga dan tujuh malam.

Alat tangkap bubu sifatnya pasif sehingga dibutuhkan pemikat atau umpan agar ikan yang akan dijadikan target tangkapan mau memasuki bubu. Jenis umpan yang dipakai sangat beranekaragam, ada yang memakai umpan hidup, ikan rucah atau jenis umpan lainnya. Penempatan umpan di dalam bubu pada umumnya diletakkan di tengah-tengah bubu, baik di bagian bawah, tengah atau di bagian atas dari bubu dengan cara diikat atau digantung dengan atau tanpa pembungkus umpan (Martasuganda, 2003).

Bubu dapat menarik jenis ikan yang menjadi target penangkapan dengan menggunakan umpan, baik umpan yang berupa ikan yang sudah terpotong-potong atau hewan laut lainnya (sea creature). Umpan hidup (live bait wells) disimpan dalam suatu tempat pembekuan (refrigerated holding room) di atas kapal-kapal besar yang berada di laut dalam jangka waktu yang cukup lama (Sainsbury 1972).

Menurut Martasuganda (2003), jenis umpan yang dipakai sangat beraneka ragam, ada yang memakai umpan hidup, ikan rucah, atau jenis umpan lainnya. Penempatan umpan di dalam bubu pada umumnya di tengah-tengah bubu baik di bagian bawah, tengah, atau di bagian atas dari bubu dengan cara diikat atau digantung dengan atau tanpa pembungkus umpan.


(19)

11

Gambar 3 Konstruksi bubu lipat yang digunakan di Kampung Pamipiran (Ramdani 2006)

Penggunaan bubu lipat merupakan salah satu solusi dalam teknologi penangkapan lobster dibandingkan dengan penangkapan ikan yang paling tradisioanal yang hanya menggunakan tangan. Penemuan bahwa pengumpulan lobster dengan menggunakan tangan memberikan pengaruh kerusakan yang signifikan terhadap hasil tangkapan lobster, pada kulit lunak dan kulit keras lobster. Pengumpulan lobster dengan menggunakan tangan juga menyebabkan kerusakan utama, dengan 18% kerusakan pada kulit keras lobster dan 31% kerusakan pada kulit lunak lobster yang menyebabkan kehilangan dua atau lebih otot lobster. Kami merekomendasikan bahwa larangan pada penggunaan tangan dalam penangkapan lobster dapat mengurangi cedera dan tekanan terhadap lobster di area rekreasi penyelaman. Sehingga meningkatkan kondisi untuk tetap bertahan hidup pada individu lobster yang ditangkap dan individu lobster yang dilepaskan karena tidak layak tangkap (Powrie dan Tempero 2009).

Kapal bubu lipat

Kapal merupakan suatu bangunan terapung yang dapat digunakan untuk kegiatan pencarian fishing ground, pengoperasian alat penangkap ikan, mengejar segerombolan ikan, dan wadah hasil tangkapan. Menurut Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan. Perahu penangkap lobster yang digunakan dalam pengoperasian bubu lipat di Kampung Pamipiran adalah perahu jukung yang menggunakan bantuan dayung untuk mencapai lokasi setting bubu lipat. Perahu jukung yang digunakan oleh nelayan bubu dapat dilihat pada Gambar 4.


(20)

12

Gambar 4 Perahu jukung yang digunakan dalam mengoperasikan bubu lipat

Nelayan bubu lipat

Nelayan merupakan orang yang secara langsung melakukan operasi penangkapan ikan (Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan). Berdasarkan waktu kerjanya, nelayan dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu nelayan penuh, nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan tambahan. Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan. Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan. Nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan (Diniah 2008). Nelayan yang mengoperasikan bubu lipat secara tradisional adalah satu atau dua orang nelayan. Berdasarkan wawancara pada nelayan Pamipiran, menurut waktu kerjanya, nelayan bubu lipat di Kampung Pamipiran termasuk golongan nelayan sambilan tambahan.

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Bulan Agustus – Desember 2011. Lokasi penelitian terletak di perairan Teluk Palabuhanratu, Kampung Pamipiran, Desa Kertajaya, Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah:

1) Alat tangkap bubu lipat 33 unit (10 unit utama dan 1 unit cadangan untuk setiap tipe funnel),

2) Kapal bubu lipat bercadik (jukung kayu dan fiber),


(21)

13 4) Global Positioning System (GPS)

5) Alat pengukur panjang dengan skala terkecil 1 mm, 6) Alat pengukur berat dengan skala terkecil 1 gram, 7) Alat dokumentasi dengan tingkat ketelitian 12,1 MP, 8) Data sheet hasil tangkapan.

9) Software Surfer 8.0, Minitab 14.0, dan SPSS 13.0

Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah umpan berupa ikan rucah. Rancangan konstruksi bubu lipat dengan tiga tipe funnel berikut dengan konstruksi utamanya ditunjukkan pada Gambar 6.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode experimental fishing. Metode experimental fishing adalah metode penelitian dengan melakukan percobaan pengoperasian alat tangkap bubu lipat secara langsung di lokasi penangkapan. Pengoperasian bubu lipat dilakukan 2 trip setiap harinya pada waktu sore hari pada pukul 16.30 hingga 18.30 WIB dan pagi hari pada pukul 05.30 hingga 07.30 WIB. Dalam jangka waktu 24 jam setiap harinya dilakukan dua trip dengan rincian trip setting di sore hari dan trip hauling di pagi hari. Penyederhanaan dua jenis trip dalam penelitian ini dilakukan untuk mempermudah pemahaman pembaca, sehingga untuk penamaan dan penyebutan selanjutnya disatukan menjadi satu perjalanan (setting dan hauling) atau dengan kata lain per satuan trip.

Dalam melakukan pengoperasian bubu lipat terdapat lima tahapan, yaitu: 1) Tahap persiapan

Tahap persiapan merupakan tahapan yang dilakukan sebelum melakukan operasi penangkapan ikan. Tahapan ini meliputi kegiatan persiapan dan pengecekan kondisi alat tangkap bubu lipat utama dan cadangan, pengecekan kapal penangkap ikan yang digunakan, (penjadwalan) kesiapan peneliti dan nelayan, persiapan umpan dan pemasangannya, serta kebutuhan perbekalan lainnya yang diperlukan dalam melakukan penangkapan.

2) Tahapan penentuan daerah penangkapan ikan

Penentuan daerah penangkapan ikan berdasarkan lokasi yang terdapat hamparan rumput laut yang dibudidayakan atau di sekitar jangkar rumput laut. Jarak fishing base ke fishing ground adalah 200-400 meter dari garis pantai Pamipiran. Waktu tempuh yang diperlukan untuk mencapai lokasi setting membutuhkan waktu kurang lebih 15 menit.

3) Tahap penurunan bubu lipat (setting)

Setelah sampai di daerah penangkapan, bubu lipat sebanyak 30 unit diturunkan satu per satu. Jarak antara bubu lipat yang satu dengan yang lainnya adalah 5-10 meter. Sebelum menurunkan bubu lipat, diawali dengan pemasangan pemberat dan pengaitan bubu lipat. Penurunan bubu lipat, didahului dengan menurunkan pemberat, yang diikuti dengan bubu lipat yang telah diberi umpan dan pelampung tanda, kemudian kapal bergerak perlahan untuk membantu pelepasan tali selambar. Pada tahap ini diperlukan waktu kurang lebih 90 menit untuk menurunkan semua bubu lipat ke dalam perairan.


(22)

14

4) Tahap perendaman bubu lipat (soaking)

Setelah dilakukan tahapan penurunan bubu lipat (setting), bubu lipat direndamkan (soaking) selama kurang lebih 12 jam. Pada tahap ini, target utama penangkapan (lobster) dan tangkapan sampingan akan terperangkap masuk ke dalam bubu adalah lobster. Selama proses perendaman bubu, peneliti dan nelayan dapat kembali lagi ke fishing base sampai menunggu proses pengangkatan bubu. 5) Tahap pengangkatan bubu lipat (hauling)

Setelah tahap perendaman telah selesai, maka selanjutnya dilakukan proses pengangkatan bubu. Keberangkatan trip hauling tidak berbeda jauh dengan trip setting, dengan tambahan persiapan kantung keramba jaring apung mini dan tempat hasil tangkapan. Tahap pengangkatan bubu dimulai dengan pengangkatan pelampung tanda, tali selambar, bubu lipat dan pemberat. Dalam tahap pengangkatan bubu lipat ke atas kapal membutuhkan waktu kurang lebih 90 menit. Tahap pengangkatan bubu lipat diiringi dengan penggulungan tali selambar, pelepasan pemberat, pembersihan sisa umpan, pengambilan hasil tangkapan, pendataan hasil tangkapan, pelipatan dan penumpukan bubu lipat. Hal ini dilakukan untuk mengefisiensikan ruang dalam kapal yang terbatas. Rancangan peletakkan bubu lipat di satuan hamparan rumput laut dapat dilihat pada gambar 5.

Keterangan: (A - diperbesar), (B - kontrol), dan (C - elips)


(23)

15

Keterangan: (Skala 1:15) (A - diperbesar), (B - kontrol), dan (C - elips) a. Mulut bubu

b. Engsel pengunci c. Rangka

d. Badan jaring PE ◊ 2,5cm e. Pengait umpan

Gambar 6 Rancangan konstruksi bubu lipat dengan tiga tipe funnel

Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer dihasilkan dari data pengoperasian bubu lipat di perairan dan melalui wawancara pada pengelola atau nelayan setempat. Wawancara tersebut digunakan untuk mengetahui informasi mengenai pengoperasian bubu secara jelas, pembuatan bubu, kondisi geomorfologi Kampung Pamipiran, sumberdaya ikan yang ada di lokasi tersebut, dan kondisi oseanografis perairan Pamipiran. Data primer yang diambil meliputi komposisi spesies hasil tangkapan, jenis, panjang, dan berat hasil tangkapan. Data akan diperoleh dari form hasil 34 cm

64 cm

47 cm

5 cm

32 cm 50°

18 cm

48 cm

32 cm

3,5 cm

26 cm 35°

4 cm 18 cm

48 cm

32 cm

29 cm 35°

64 cm

47 cm 34 cm 46 cm

b

c a

e

d

48cm

32 cm 18 cm 28 cm

A

B

C

A


(24)

16

tangkapan per hauling untuk setiap jenis bubunya. Target tangkapan utama adalah lobster, sedangkan hasil tangkapan sampingannya adalah rajungan, kepiting, ikan, cumi, sotong dan jenis ikan lainnya, yang akan dipisahkan berdasarkan jenis spesies, panjang, dan beratnya. Data sekunder dapat diperoleh dari informasi pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi dan catatan harian nelayan.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) sebagai rancangan percobaan. Penelitian ini menggunakan tiga jenis bubu lipat yang berbeda sebanyak 33 unit yaitu 10 unit bubu lipat dengan funnel kontrol, 10 unit bubu lipat dengan funnel elips, 10 unit bubu lipat dengan funnel diperbesar, dan 3 unit bubu lipat cadangan. Bentuk rancangan dan sidik ragamnya dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2. Model dasar Rancangan Acak Lengkap (RAL) adalah :

Yij = µ + αi + εij

Keterangan :

Yij = Nilai komposisi hasil tangkapan pada perlakuan ke-i, dan ulangan ke-j; µ = Rata-rata populasi;

αi = Pengaruh aditif pada perlakuan ke-i;

εij = Galat percobaan pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j

Hipotesa yang digunakan dalam Rancangan Acak Lengkap ini adalah :

1) H0 : α1 = 0, berarti tidak ada perbedaan (berat, panjang,dan kelayakan

tangkap) lobster terhadap bubu yang mempunyai jenis funnel berbeda. 2) H1 : αi≠ 0, berarti ada perbedaan (berat, panjang,dan kelayakan tangkap)

lobster terhadap bubu yang mempunyai jenis funnel berbeda. Tabel 1. Bentuk rancangan acak lengkap

Ulangan (n) Perlakuan (P)

1 2 3

1 Y11 Y21 Y31

2 Y11 Y21 Y31

3 Y11 Y21 Y31

Y1.. Y2.. Y3..

J Y1j Y2j Y3j

∑Y Y11 Y21 Y31

∑Y2

Y1.2 Y2.2 Y3.2

( ∑Y2)/n (Y1.2)/ n (Y2.2)/ n (Y3.2)/ n

Sumber : Hasan (2009)

Tabel 2. Tabel sidik ragam (Anova) rancangan acak lengkap

SK dB JK KT Fhitung Ftabel

P p – 1 JKP KTP KTP/KTS Fα/2 (dBP,dBS)

S p (n - 1) JKS KTS

T Pn – 1 JKT


(25)

17

Keterangan :

FK =

KTP =

JKT= ∑ – KTS =

JKP = Fhitung =

JKS = JKT – JKP

Analisis Data

Data yang didapat meliputi komposisi spesies hasil tangkapan utama (lobster) dan sampingan, panjang karapas lobster, panjang cagak ikan (fork length), lebar karapas kepiting, panjang mantel moluska, dan beratnya. Data yang didapatkan terlebih dahulu diuji kenormalannya dengan menggunakan uji Kolmogorov Smirnov pada software SPSS 17 Package. Bila data yang ada menyebar secara normal maka akan dilakukan analisa data dengan menggunakan Uji-F. Tetapi bila data tidak menyebar normal maka akan dilakukan analisis data non parametrik dengan menggunakan uji Kruskall Wallis (Hasan, 2002). Uji-F untuk dilakukan untuk mengetahui perbedaan hasil tangkapan dari ketiga bubu yang menggunakan jenis funnel yang berbeda. Adapun dasar pengambilan keputusan melalui Uji-F yaitu :

1) Jika Fhitung > Ftabelmaka tolak H0, berarti ada perbedaan hasil tangkapan

terhadap perbedaan bubu dengan jenis funnel yang berbeda.

2) Jika Fhitung < Ftabel maka gagal tolak H0, berarti tidak ada perbedaan hasil

tangkapan terhadap perbedaan bubu dengan jenis funnel yang berbeda. Apabila dari Uji-F didapatkan hasil Fhitung > Ftabel selanjutnya dapat

dilakukan Uji-t. Hipotesa yang digunakan dalam Rancangan Acak Lengkap ini adalah :

1) H0 : µ1 = µ2, berarti tidak ada pengaruh perbedaan hasil tangkapan terhadap

bubu yang mempunyai jenis funnel berbeda.

2) H1 : µ1 ≠ µ2, berarti ada pengaruh perbedaan hasil tangkapan terhadap bubu

yang mempunyai jenis funnel berbeda.

Dasar pengambilan keputusan dalam Uji-t adalah:

1) Jika Thitung > Ttabel maka tolak H0, berarti perlakuan perbedaan bubu dengan

jenis funnel yang berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap hasil tangkapan.

2) Jika Thitung < Ttabel maka gagal tolak H0, berarti perlakuan perbedaan bubu

dengan jenis funnel yang berbeda tidak memberikan pengaruh nyata terhadap hasil tangkapan.

Analisis data non parametrik yang digunakan adalah uji Kruskall Wallis. Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan komposisi hasil tangkapan dari ketiga jenis bubu. Model dasar uji Kruskall Wallis adalah :


(26)

18

Keterangan :

ri = Jumlah dari peringkat perlakuan ke-i;

ni = Banyaknya data dari perlakuan ke-i;

n = Banyaknya data dari seluruh perlakuan.

Hipotesa uji Kruskall Wallis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1) H0 : berarti tidak ada perbedaan hasil tangkapan terhadap bubu yang

mempunyai jenis funnel berbeda.

2) H1: berarti ada perbedaan hasil tangkapan terhadap bubu yang mempunyai

jenis funnel berbeda.

Dasar pengambilan keputusan uji Kruskall Wallis yaitu :

1) Jika hi > χα2 maka tolak H0, berarti ada perbedaan komposisi hasil

tangkapan bubu dengan jenis funnel yang berbeda.

2) Jika hi > χα2 maka gagal tolak H0, berarti ada perbedaan komposisi hasil tangkapan bubu dengan jenis funnel yang berbeda.

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Wilayah Kabupaten Sukabumi secara geografis berada pada posisi koordinat 6°57' - 7°25' Lintang Selatan dan 106°49' - 107°00' Bujur Timur, dengan batas-batas wilayah secara administratif di sebelah Utara berbatas-batasan dengan Kabupaten Bogor, Samudera Indonesia (Samudera Hindia) di sebelah Selatan, Kabupaten Cianjur di sebelah Timur, sedangkan di sebelah barat berbatasan denagan Kabupaten Lebak dan Samudera Indonesia. Teluk Palabuhanratu merupakan salah satu potensi wilayah pesisir dan laut yang dimiliki oleh Kabupaten Sukabumi.

Secara administrasi, kabupaten Sukabumi memiliki 47 kecamatan dengan sembilan kecamatan di wilayah pesisir kabupaten. Kecamatan pesisir tersebut diantaranya adalah Cisolok, Cikakak, Palabuhanratu, Simpenan, Ciemas, Ciracap, Surade, Cibitung dan Tegal Buleud. Adapun Kecamatan yang secara administrasi berbatasan dengan Teluk Palabuhanratu, diantaranya adalah Cisolok, Cikakak, palabuhanratu dan Simpenan (Statistik kabupaten sukabumi 2009). Tipe pantai di wilayah pesisir Kabupaten Sukabumi yang meliputi Pantai Karang Buleud di sebelah timur hingga di Muara Cibareno. Nilai produksi perikanan tangkap di laut menurut kuartal 2010 provinsi jawa barat adalah sebesar Rp 70.061.000,- yang didominasi oleh Kabupaten Sukabumi.

Kondisi Aktual Perikanan Tangkap di Kampung Pamipiran

Kampung Pamipiran merupakan daerah pesisir pantai berbatu yang masih termasuk ke dalam Teluk Palabuhanratu, terletak di Desa Kertajaya, Kecamatan Simpenan. Kampung Pamipiran berada pada koordinat 7°5'21" Lintang Selatan dan 106°30'44" Bujur Timur yang berbatasan dengan Loji di sebelah Utara (Anonim 2011). Sedangkan Teluk Palabuhanratu secara geografis,terletak pada koordinat 6o 57’ – 7o 07’ Lintang Selatan dan 106o 22’ – 106o 33’ Bujur Timur, dengan panjang garis pantai kurang lebih 105 km (Pariwono et al. 1998). Suhu


(27)

19 menyatakan bahang yang terkandung oleh suatu benda. Suhu merupakan parameter penting di laut karena berpengaruh secara langsung terhadap kehidupan organisme laut dan berbagai proses fisik yang terjadi. Suhu air berkisar antara 270- 290C untuk daerah tropik (Hutagalung 1998). Kondisi lingkungan Kampung Pamipiran berkisar pada suhu ± 26°C (78,8°F) dengan kelembaban udara ±69% (Anonim 2011). Suhu udara di wilayah Pamipiran memberikan pengaruh yang signifikan terhadap suhu air di pesisir Pamipiran yang akan lebih tinggi nilai suhu airnya atau tidak berbeda jauh dari suhu udara di sekitarnya.

Gerakan air di permukaan laut terutama disebabkan oleh adanya angin yang bertiup di atasnya. Hubungan ini pada kenyataan tidaklah demikian sederhana, sekalipun dilihat dari perbandingan singkat antara angin utama bertiup dan arah dari arus-arus permukaan (Hutabarat dan Evan 2006). Arah angin di wilayah pesisir Pamipiran mengarah ke utara dan utara timur laut dengan kecepatan angin berkisar antara 6-14 km/jam (Anonim 2011).

Berdasarkan wawancara kepada nelayan Pamipiran, komunitas penduduk Pamipiran bermatapencaharian sebagai nelayan penangkapan, nelayan budidaya rumput laut, dan pengrajin. Potensi sumberdaya alam yang baik di Kampung Pamipiran belum tersentuh industri penangkapan maupun budidaya. Sejak tahun 2009, penduduk Kampung Pamipiran mulai dikenalkan dengan cara pembudidayaan rumput laut. Selama rentang waktu satu tahun, perkembangan budidaya rumput laut sangat pesat dan mempengaruhi biota yang hidup di sekitarnya, salah satunya adalah lobster. Kondisi oseanografi yang berarus kuat di perairan Kampung Pamipiran mendukung pertumbuhan rumput laut sehingga meningkatkan jumlah produksi rumput laut. Peningkatan jumlah produksi rumput laut yang dibudidayakan ternyata berpengaruh positif terhadap perkembangbiakan lobster. Hal ini dikarenkan jumlah jangkar yang banyak digunakan dalam pembudidayaan rumput laut, sehingga menjadi tempat berlindung yang baik bagi lobster untuk berlindung dari pemangsa, mencari makan dan berkembang biak.

Lokasi pembudidayaan rumput laut yang di dasar perairannya pada kedalam 10 meter hingga 20 meter terdapat habitat lobster berjarak 200 meter dari tepi pantai Pamipiran. Nelayan desa Pamipiran, pada tahun 2010, dikenalkan dengan penggunaan bubu lipat untuk menangkap lobster sebagai hasil tangkapan utama, ikan baronang, kepiting, dan jenis ikan lainnya sebagai hasil tangkapan sampingan. Tiga bulan pertama penggunaan bubu lipat memberikan dampak yang positif terhadap perekonomian nelayan Kampung Pamipiran, khususnya dikarenakan penjualan lobster sebagai hasil tangkapan utama dengan harga yang baik.

Kendala yang terjadi selama penangkapan adalah lebih banyaknya lobster berukuran kecil yang memasuki bubu dibandingkan dengan lobster berukuran besar. Sejak bulan Januari 2011, sebagian besar nelayan bubu lipat di Kampung Pamipiran mulai berkurang dan beralih profesi menjadi pengrajin, nelayan bagan, dan nelayan pancing. Hal ini disebabkan adanya pengerukan dasar laut di sekitar pembangunan PLTU Sukabumi yang dilaksanakan hingga bulan Juni 2011. Pengerukan tersebut memberikan dampak yang signifikan terhadap kondisi oseanografi perairan pamipiran, yaitu tingkat kecerahan perairan yang menurun dan padatan tersuspensi dalam perairan yang meningkat, sehingga terjadi kekeruhan perairan yang mempengaruhi habitat biota yang hidup di sekitar perairan Pamipiran. Pergerakan arus dan gelombang akibat pengerukan turut mempengaruhi suhu dan salinitas perairan Pamipiran. Lokasi pembudidayaan


(28)

20

rumput laut daerah pesisir pantai Kampung Pamipiran dapat dilihat pada Gambar 7. Peta Pamipiran dalam kawasan Teluk Palabuhanratu (Surfer 8.0) dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 7 Lokasi pembudidayaan rumput laut daerah pesisir pantai Kampung Pamipiran

Gambar 8 Peta Pamipiran dalam kawasan Teluk Palabuhanratu (Surfer 8.0)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Modifikasi Funnel Bubu Lipat

Mulut bubu dirancang untuk memudahkan sasaran tangkapan memasuki bubu lipat dan menyulitkannya untuk keluar. Bentuk mulut bubu lipat merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam keberhasilan penangkapan sasaran tangkapan dengan menggunakan bubu lipat. Bentuk mulut bubu lipat yang umum


(29)

21 digunakan adalah seperti corong pipih yang memberikan ruang horizontal untuk memasuki bubu lipat. Pada bentuk mulut bubu lipat demikian, ruang terluas terdapat di bagian terluar dan sebaliknya ruang tersempit terdapat di bagian terdalam. Mulut bubu lipat bagian terdalam yang membentuk garis tipis horizontal nampaknya terlihat sukar untuk dimasuki, namun dengan kelenturan jaring polyethylene ketika terbebani berat sasaran tangkapan, dapat membuka ruang masuk bubu sehingga sasaran tangkapan dapat memasuki bubu. Modifikasi funnel bubu lipat yang dilakukan pada penelitian ini memiliki tujuan agar sasaran tangkapan dengan length maturity yang lebih matang dapat memasuki bubu lipat. Bubu lipat yang umum digunakan masyarakat nelayan pamipiran memiliki bukaan mulut bubu yang lebih kecil daripada ukuran sasaran tangkapan yang diinginkan, sehingga tangkapan yang didapat dengan bubu lipat yang ada memiliki ukuran yang cukup sedang dan kecil. Modifikasi mulut bubu lipat dilakukan hanya pada bubu lipat yang telah digunakan masyarakat nelayan Pamipiran, sehingga tidak membutuhkan pembuatan alat tangkap bubu dari awal perakitan, dengan maksud untuk menekan pengeluaran dan memberikan nilai ekonomis dalam pembuatannya. Penelitian ini menggunakan tiga jenis funnel, yang terdiri dari bubu lipat dengan mulut bubu yang umum digunakan masyarakat nelayan Pamipiran yang untuk selanjutnya disebut dengan bubu lipat funnel kontrol, bubu lipat dengan mulut bubu termodifikasi, dan bubu lipat dengan mulut bubu diperbesar berikut dengan konstruksi utamanya..

Funnel elips termodifikasi

Rancangan konstruksi bubu lipat dengan tiga tipe funnel dapat dilihat pada Gambar 6 dalam Bab 3 Metodologi Penelitian. Konstruksi bubu lipat funnel elips termodifikasi yang digunakan pada saat penelitian dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10 Pada awalnya terdapat dua jenis konstruksi bubu lipat funnel elips termodifikasi yang melakukan pengujian awal untuk melihat kelayakan konstruksi. Pengujian awal ini dilaukan hanya dua kali ulangan trip dikarenakan keterbatasan waktu dan dana penelitian. Data yang diperoleh pada pengujian awal menyatakan bahwa secara mutlak konstruksi funnel bubu lipat dengan menggunakan pipa paralon dan waring lebih efektif menangkap lobster daripada konstruksi funnel bubu lipat dengan menggunakan kawat. Hal ini dikarenakan kawat memiliki kelenturan tinggi untuk kembali mengatup sehingga menyulitkan lobster untuk memasuki bubu. Berbeda dengan konstruksi funnel bubu lipat dengan menggunakan pipa paralon dan waring yang memiliki kelenturan yang rendah sehingga dalam perairan funnel bubu tetap dalam kondisi terbuka dan memudahkan lobster memasuki bubu. Sehingga untuk penelitian utama, konstruksi funnel bubu lipat yang digunakan adalah dengan menggunakan pipa paralon dan waring, yang ditunjukkan pada Gambar 10. Modifikasi konstruksi funnel bubu lipat tipe elips memiliki spesifikasi bubu lipat sebagai berikut; panjang 48 cm, lebar 32 cm, tinggi 18 cm; dan spesifikasi funnel; lebar 29 cm, tinggi 4 cm, slope net 35 °.


(30)

22

Gambar 9 Konstruksi funnel bubu lipat dengan menggunakan kawat

Gambar 10 Konstruksi funnel bubu lipat dengan menggunakan pipa paralon

Funnel diperbesar

Rancangan konstruksi bubu lipat dengan tiga tipe funnel dapat dilihat pada Gambar 6 dalam Bab 3 Metodologi Penelitian. Konstruksi bubu lipat funnel diperbesar yang digunakan pada saat penelitian dapat dilihat pada Gambar 11. Modifikasi konstruksi funnel bubu lipat tipe diperbesar memiliki spesifikasi bubu lipat sebagai berikut; panjang 64 cm, lebar 47 cm, tinggi 34 cm; dan spesifikasi funnel; lebar 32 cm, tinggi 5 cm, slope net 50 °.


(31)

23

Gambar 11 Konstruksi funnel bubu lipat diperbesar

Konstruksi Unit Penangkapan Lobster

Konstruksi funnel kontrol tidak berbeda jauh dengan konstruksi funnel diperbesar, yang membedakan adalah dimensi ruang konstruksi funnel kontrol lebih kecil daripada konstruksi funnel diperbesar. Konstruksi bubu lipat yang digunakan dalam penelitian ini, terdiri dari beberapa bagian, yaitu mulut bubu, engsel pengunci, rangka, jaring, dan pengait umpan.

Tempat pemasangan umpan pada bubu lipat adalah pada rangka vertikal yang terdapat tepat di tengah konstruksi bubu lipat. Tempat pemasangan umpan tidak menggunakan kawat kasa seperti yang direncanakan pada rancangan konstruksi awal. Hal ini dikarenakan jumlah umpan yang cukup banyak tidak dapat memasuki kantong kawat kasa dan dikarenakan pertimbangan lain, yaitu agar sasaran tangkapan dapat dengan leluasa memakan umpan yang telah disediakan.Umpan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan rucah.Ikan rucah yang umumnya digunakan adalah tangkapan by catch, namun ikan rucah yang digunakan dalam penelitian ini adalah tangkapan utama yang akan difunsikan sebagai umpan sasaran tangkapan bubu lipat. Umpan yang menjadi pertimbangan awal penelitian pendahuluan dalam menentukan konstruksi funnel elips dan jenis umpan yang akan digunakan dalam penelitian utama, adalah Tamikil, yang berasal dari filum moluska, kelas polyplacophora. Tamikil memiliki nama lokal chiton, nama Inggris squamose chiton dan nama ilmiah Chiton squamosus dan banyak berkembang biak di daerah laut tropis, serata memiliki ukuran maksimum 7cm (TL).

Bubu lipat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe bubu dasar, sehingga dalam pengoperasiaannya diperlukan pemberat. Fungsi pemberat selain sebagai momen untuk menambah titik berat pada bubu lipat agar dapat lebih menenggelamkannya dan cepat menjaga dasar perairan, namun juga menjaga bubu agar tidak terbawa arus dan tidak berubah posisi (terbalik). Pemberat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemberat batu yang berberat 400 gram – 600 gram, yang dipasang di sisi yang berlawanan dengan posisi pelampung tanda.


(32)

24

Tali selambar yang digunakan pada penelitian ini ada dua jenis yaitu 16,2 meter untuk pemasangan bubu lipat di perairan dangkal dan 31,5 meter untuk pemasangan bubu lipat di perairan dalam. Tali selambar yang digunakan dalam penelitian ini berbahan dasar polyethylene (PE) dengan diameter 8 milimeter dan berwarna hijau tua.

Pelampung tanda yang digunakan menggunakan botol minuman mineral ukuran diameter 5,5 cm dan tinggi 22,5 cm. Tiap bubu lipat yang dioperasikan menggunakan dua pelampung sejenis yang diikatkan pada ujung tali selambar. Pelampung tanda ini berfungsi sebagai penanda keberadaan unit bubu lipat dan pelampung tali selambar bubu lipat.

Penelitian ini fokus pada pengaruh perbedaan funnel dan tidak memperhatikan perbedaan ukuran konstruksi yang terjadi pada konstruksi funnel diperbesar, dengan tujuan untuk menguji hipotesis awal bahwa lobster berukuran besar dapat memasuki bubu lipat yang memiliki konstruksi lebih besar dari ukuran tubuhnya, sehingga meningkatkan jumlah hasil tangkapan lobster berkategori layak tangkap. Selain itu, bentuk funnel mengkondisikan tangkapan yang telah memasuki bubu lipat tidak dapat dengan mudah keluar dari bubu lipat. Pertimbangan lainnya adalah untuk menekan biaya ekonomis dalam penggunaan bubu yang telah dimiliki.

Produktivitas Unit Penangkapan Lobster Produktivitas trip bubu lipat

Produktivitas unit penangkapan lobster dapat dilihat dari hasil tangkapan yang didapt. Jenis hasil tangkapan yang diperoleh dari unit bubu lipat pada penelitian ini adalah Scalloped Spiny Lobster, Pronghorn Spiny Lobster, Painted Spiny Lobster, Spot-tail mantis, Crucifix Crab(Swimming crab), Ridged Swimming Crab, Box crab, Blood-spotted swimming crab, Spotted box crabs, Blue Swimming Crab, kepiting bakau, kepiting batu, commom whelk, kumbang laut, bunga laut, lintah laut, cuttlefish, squid, octopus, triggerfishes, russel’s snapper, orange-spotted grouper, dan white-straked grouper.

Jumlah trip yang dilakukan dalam penelitian ini adalah 14 trip dalam 14 hari, yang terdiri dari 2 trip penelitian pendahuluan dan 12 trip penelitian utama, yang dilakukan dalam tiga bulan terpisah. Lama perjalan setiap tripnya adalah dua jam perjalanan. Hasil dari penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Lampiran 1. Komposisi hasil tangkapan bubu lipat dapat dilihat pada Lampiran 2. Jumlah dan berat hasil tangkapan dalam 12 kali trip dapat dilihat pada Gambar 12, yang menunjukkan bahwa hauling pertama, ketujuh, dan kesebelas memiliki jumlah tangkapan tertinggi yaitu 11,24%, 13,25%, dan 11,24%. Trip kelima memiliki jumlah tangkapan terendah yaitu 5,22%. Berat hasil tangkapan dalam 12 kali hauling menunjukkan bahwa hauling ketujuh memiliki bobot masaa hasil tangkapan tertinggi yaitu 16,16%. Hauling kelima memiliki bobot masaa hasil tangkapan terendah yaitu 3,65%. Total jumlah tangkapan adalah 249 ekor dengan berat kumulatif 26.060 g.


(33)

25

Gambar 12 Diagram persentase jumlah dan berat tangkapan per trip

Produktivitas tipe konstruksi funnel bubu lipat

Jumlah dan berat hasil tangkapan dalam 12 kali hauling untuk setiap funnelnya dapat dilihat pada Gambar 13, yang menunjukkan bahwa funnel diperbesar memiliki jumlah tangkapan tertinggi yaitu 40,16%. Sedangkan, funnel elips dengan konstruksi funnel paralon memiliki jumlah tangkapan terendah yaitu 29,72%. Berat hasil tangkapan dalam 12 kali hauling untuk setiap funnelnya menunjukkan bahwa funnel diperbesar memiliki berat hasil tangkapan tertinggi yaitu 54,51%. Sedangkan, funnel elips dengan konstruksi funnel kontrol memiliki berat hasil tangkapan terendah yaitu 22,51%.

Gambar 13 Diagram persentase jumlah dan berat tangkapan per funnel 0

3 6 9 12 15 18

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

P

re

se

ntase

jum

lah

&

be

ra

t

tang

ka

pa

n

(%)

Trip ke- Jumlah Berat

0 15 30 45 60

Kontrol Elips Diperbesar

P

erse

ntase

jum

lah

&

be

ra

t

tang

ka

pa

n

(%)

Funnel Jumlah Berat


(34)

26

Hasil Analisis Data Produktivitas bubu lipat terhadap lobster

Berat rata-rata lobster yang menjadi hasil tangkapan utama dalam penelitian ini memiliki nilai yang cukup stabil dengan tiga fluktuasi nilai pada masing-masing funnel bubu lipat, yang dapat dilihat pada Gambar 14. Berat rata-rata lobster yang terendah diperoleh dari funnel bubu lipat kontrol pada hauling ke- 5 dan funnel bubu lipat elips pada hauling ke-10 yaitu 3,61% dan 5,32%. Sedangkan berat rata-rata lobster yang tertinggi diperoleh dari funnel bubu lipat diperbesar pada hauling ke- 3 yaitu 10,53%.

Gambar 14 Rata-rata berat lobster

Panjang rata-rata lobster yang menjadi hasil tangkapan utama dalam penelitian ini memiliki nilai yang cukup stabil dengan tiga fluktuasi nilai pada dua tipe funnel bubu lipat, yang dapat dilihat pada Gambar 15. Panjang rata-rata lobster yang terendah diperoleh dari funnel bubu lipat kontrol pada trip ke- 5 dan trip ke- 9 yaitu 4,13% dan 5,85%. Sedangkan berat rata-rata lobster yang tertinggi diperoleh dari funnel bubu lipat diperbesar pada trip ke- 3 yaitu 9,32%. Produktivitas funnel bubu lipat kontrol, elips, dan diperbesar terhadap tiga jenis lobster yang menjadi hasil tangkapan utama dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 4.

Gambar 15 Rata-rata panjang lobster

20 40 60 80 100 120 140 160

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Ra ta -ra ta b er a t lo bs ter ( g ) Trip ke-

Funnel kontrol Funnel elips Funnel diperbesar

4 6 8 10 12 14 16 18

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Ra ta -ra ta pa nja ng lo bs ter ( cm ) Trip ke-


(35)

27

Respon tipe funnel bubu lipat terhadap panjang karapas lobster

Uji kenormalan dengan One-sample Kolmogorov-Smirnov test dilakukan untuk melihat kenormalan data panjang karapas lobster tangkapan dengan menggunakan hipotesis sebagai berikut:

1) H0 : α1 = 0, data panjang karapas hasil tangkapan utama (lobster) oleh

penggunaan bubu lipat dengan tipe funnel berbeda bersifat menyebar normal. 2) H1 : αi ≠ 0, data panjang karapas hasil tangkapan utama oleh penggunaan

bubu lipat dengan tipe funnel berbeda bersifat tidak menyebar normal. Nilai Asymp. Sig.(2-tailed) (0,001) < alpha (0,05) pada uji kenormalan dengan One-sample Kolmogorov-Smirnov test, maka kesimpulan yang didapat adalah tolak H0, dengan kata lain data panjang karapas hasil tangkapan utama

(lobster) oleh penggunaan bubu lipat dengan tipe funnel berbeda bersifat tidak menyebar normal. Hasil pengolahan data the general linear model procedure panjang karapas lobster dengan menggunakan software SPSS 13.0 dapat dilihat pada Tabel 3. Gambar 16 menunjukkan probability plot panjang karapas lobster yang diolah dengan dengan menggunakan software Minitab 14.0.

Tabel 3 The General Linear Model Procedure panjang karapas lobster

Data Numbers

N 102

Normal Parameters a,b Mean 66,618

Std. Deviation 10,1757

Most Extreme Absolute 0,202

Differences Positive 0,122

Negative -0,202

Kolmogorov-Smirnov Z 2,036

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,001

a. Test distribution is normal. b. Calculated from dat

Gambar 16 Probability plot panjang karapas lobster

Ketidaknormalan data panjang karapas hasil tangkapan utama (lobster) oleh penggunaan bubu lipat dengan tipe funnel berbeda, diperjelas dengan analisis data

Panjang Karapas Pe rc en t 100 90 80 70 60 50 40 30 99,9 99 95 90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 0,1 Mean 0,042 66,62 StDev 10,18 N 102 KS 0,091 P-Value Probability Plot of Panjang Karapas


(36)

28

uji anova oneway. Hasil yang didapatkan dari uji anova adalah nilai p-value (0,000) < alpha (0,05), maka kesimpulan yang didapat adalah data panjang karapas hasil tangkapan utama (lobster) oleh penggunaan bubu lipat dengan tipe funnel berbeda bersifat tidak menyebar normal. Deskripsi data panjang karapas lobster dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil uji anova panjang karapas lobster oleh penggunaan bubu lipat dengan tipe funnel berbeda, dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 4 Deskripsi data panjang karapas lobster

Perlakuan

(funnel) N Mean

Std. Deviation

Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Min. Max.

Lower Bound Upper Bound

Kontrol 27 60,741 11,8243 2,2756 56,063 65,418 30 80 Elips 25 63,600 10,0540 2,0108 59,450 67,750 30 75 Diperbesar 50 71,300 6,6094 0,9347 69,422 73,178 60 80

Total 102 66,618 10,1757 1,0075 64,619 68,616 30 80 Tabel 5 Hasil uji anova panjang karapas lobster

Data Sum of square df Mean square F Sig.

Between Groups 2256,403 2 1128,202 13,618 0,000

Within Groups 8201,685 99 82,845

Total 10458,088 101

Ketidaknormalan data panjang karapas hasil tangkapan utama (lobster) oleh penggunaan bubu lipat dengan tipe funnel berbeda, memberikan pilihan pada peneliti untuk melanjutkan pengolahan data dengan menggunakan analisis data non-parametric, yaitu uji Kruskall-Wallis. Hasil yang didapatkan dari uji Kruskall-Wallis adalah nilai Asymp. Sig. (0,000) < alpha (0,05), maka kesimpulan yang didapat adalah minimal ada satu perlakuan funnel yang memberikan pengaruh berbeda (signifikan) terhadap panjang karapas hasil tangkapan utama (lobster) pada taraf nyata 5%. Deskripsi data olahan non-parametrik, Kruskall-Wallis untuk panjang karapas dapat dilihat pada Tabel 6.

Data perbandingan mean rank antar perlakuan terhadap panjang karapas pada Tabel 7, memberikan gambaran bahwa funnel kontrol dan funnel elips memiliki rata-rata terkecil dan tidak berbeda nyata, sedangkan funnel diperbesar memiliki nilai rata-rata terbesar dan berbeda nyata dengan perlakuan yang lainnya. Sehingga dapat disimpulkan data panjang karapas lobster terbaik ada pada perlakuan funnel diperbesar.

Tabel 6 Non-Parametric Tests (Kruskal-Wallis Test) panjang karapas lobster Test Statistic a,b

Data Numbers

Chi-square 22,713

Df 2

Asymp. Sig. 0,000

a. Kruskal Wallis test.


(1)

54

Lampiran 7 Dokumentasi hasil tangkapan bubu lipat

Sumber Identifikasi :

Allen G et al. (2002).

Jennings S., Kaiser MJ., dan Reynolds JD. (2001).

Udang dan Lobster (Filum Crustacea )

Nama lokal : Udang Barong Pasir Nama Indonesia : Lobster Hijau Pasir Nama Inggris : Scalloped Spiny Lobster Nama ilmiah : Panulirus homarus Linneaus, 1758

Nama lokal : Udang Barong Bambu Nama Indonesia : Lobster Hijau Bambu Nama Inggris : Pronghorn Spiny Lobster Nama ilmiah : Panulirus penicillatus Oliver, 1971

Nama lokal : Udang Barong Mutiara Nama Indonesia : Lobster Mutiara Nama Inggris : Painted Spiny Lobster

Nama ilmiah : Panulirus versicolorLatraille, 1804

Nama lokal : Udang Mantis/Udang Sembah Nama Indonesia : Udang Mantis

Nama Inggris : Spot-tail mantis Nama ilmiah : Squilla mantis

Rajungan dan Kepiting (Filum Crustace)

Nama lokal : Rajungan macan/karang Nama Indonesia : Rajungan

Nama Inggris : Crucifix Crab(Swimming crab) Nama ilmiah : Charybdis feriatus

Nama lokal : Rajungan batu Nama Indonesia : Rajungan

Nama Inggris :Ridged Swimming Crab Nama ilmiah : Charybdis natator


(2)

55

Nama lokal : Rajungan Hitam Nama Indonesia : Rajungan Nama Inggris : Box crab

Nama ilmiah : Charybdis lucifera

Nama lokal : Rajungan Bintang Nama Indonesia : Rajungan

Nama Inggris : Blood-spotted swimming crab Nama ilmiah : Portunus sanguinolentus

Nama lokal : Kepiting kepal Nama Indonesia : Kepiting Nama Inggris : Spotted box crabs Nama ilmiah : Calappa philargius

Nama lokal : Rajungan Biru Nama Indonesia : Rajungan

Nama Inggris : Blue Swimming Crab Nama ilmiah : Portunus pelagicus

Nama lokal : Kepiting Bakau Nama Indonesia : Rajungan Nama Inggris : -

Nama ilmiah : Scylla serrata

Nama lokal : Kepiting Bulu/Batu Nama Indonesia : Rajungan Nama Inggris : -


(3)

56

Keong, Kumbang laut, Cumi (Filum Moluska)

Nama lokal : Keong Nama Indonesia : Siput laut Nama Inggris : Commom whelk Nama ilmiah : Buccinum undatum

Nama lokal : Kumbang laut Nama Indonesia : -

Nama Inggris : - Nama ilmiah : -

Nama lokal : Bunga laut Nama Indonesia : - Nama Inggris : - Nama ilmiah : -

Nama lokal : Lintah laut Nama Indonesia : - Nama Inggris : - Nama ilmiah : -

Nama lokal : Cumi Batok Nama Indonesia : Sotong Nama Inggris : Cuttlefish Nama ilmiah : Sepia sp.

Nama lokal : Cumi Nama Indonesia : Cumi Nama Inggris : Squid Nama ilmiah : -


(4)

57

Nama lokal : Gurita Nama Indonesia : Gurita Nama Inggris : Octopus

Nama ilmiah : Todarodes pacificus

Filum Pisces

Nama lokal : Gogot Nama Indonesia : Gogot Nama Inggris : Triggerfishes Nama ilmiah : Rhinecanthus sp.

Nama lokal : Caweni

Nama Indonesia : Tanda-tanda Nama Inggris : Russel’s snapper Nama ilmiah : Lutjanus russel

Nama lokal : Kerapu Balong Nama Indonesia : Kerapu Lumpur Nama Inggris : Orange-spotted grouper Nama ilmiah : Epinephelus coioides

Nama lokal : Kerapu hitam Nama Indonesia : Kerapu hitam Nama Inggris : White-straked grouper Nama ilmiah : Ephinephelus ongus


(5)

(6)

59

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 11 Desember 1988 dari Bapak

Budi Sulistianto dan Ibu Maryam. Penulis merupakan putri pertama dari lima

bersaudara.

Penulis lulus dari SMA PB. Soedirman I Bekasi pada tahun 2007 dan pada

tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur

seleksi Undangan Saringan Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Mayor

Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Depertemen Pemanfaatan

Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian

Bogor. Selama perkuliahan, penulis aktif di berbagai organisasi dan kepanitiaan

yang ada di lingkungan IPB. Pada tahun 2007

2012, penulis menjadi anggota

Keluarga Mahasiswa Bekasi IPB. Pada tahun 2009

2011, penulis aktif sebagai

anggota Aikido dan anggota Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya

Perikanan (Himafarin). Penulis aktif dalam berbagai kegiatan kepanitian yang

dilaksanakan oleh HIMAFARIN dan BEM KM IPB sejak tahun 2007

2011.

Penulis aktif sebagai partisipan dan pekerja pada program

Go Field

2009 yang

diselenggarakan oleh IPB, program PKM 2009

2010 dan PIMNAS XXIII yang

diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional.

Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul

“Modifikasi

Funnel

Bubu Lipat terhadap Tangkapan Lobster di Perairan

Pamipiran, Teluk Palabuhanratu

”,

yang dibimbing oleh

Dr. Sulaeman