Media Culture Kerangka Teori

5 Military untuk membuat sebuah film propaganda, yaitu Der Fuehrers Face Barrier, 2007: 174. Selain itu masih ada Story of Corn yang dibuat untu para ahli di Department of Agriculture Amerika, Education of Death, dan Victory Through Air Power Wanger dalam Smoodin, 1994: 42-43.

I.2. Rumusan Masalah

Bagaimana Disney merepresentasikan rasisme secara ideologis dalam film Tinkerbell?

I.3. Tujuan penelitian

Mengetahui, memahami, dan menjelaskan bagaimana Disney menyebarkan dan mengartikulasikan rasisme secara ideologis dalam film Tinkerbell.

I.4. Kerangka Teori

I.4.1. Media Culture

Menurut tradisi Marxian ideologi bicara mengenai kuasa dominan dalam era historikal yang spesifik. Konsep dasarnya berasal dari The German Ideology Marx Engels, 1975: 59ff dalam Kellner, 1995: 57. Bagaimanapun juga dalam dua dekade terakhir model kritik Marxian ini dianggap reduksionis karena disini ideologi disamakan 6 dengan kepentingan kelas sosial dan kepentingan ekonomi, dan dengan demikian seolah mengabaikan fenomena sosial lain seperti masalah ras dan gender yang juga merupakan bagian dari dominasi ideologi. Menyamakan ideologi dengan kepentingan kelas membuat kesan bahwa dominasi yang signifikan dalam masyarakat adalah kelas, atau ekonomi, dimana banyak para teoris yang berpendapat bahwa masalah gender, seksualitas dan ras adalah sesuatu yang mendasar, dan berada diantara hubungan dan masalah kelas-ekonomi. Banyak kritik yang mengajukan bahwa ‘kekuasaan’ ideologi telah diperluas hingga teori, ide, teks dan representasi yang melegitimasi kepentingan dari ras dan gender, sama halnya seperti kekuasaan kelas. Dari perspektif ini, menerapkan kritik ideologi melibatkan kritik seksis, heteroseksis dan idologi rasis seperti halnya ideologi borjuis kapitalis. Kritik ideologi multikultur melibatkan perjuangan atau bisa dikatakan juga “persaingan” antara pria dan wanita, feminis dan anti-feminis, rasis dan anti rasis, gay dan anti gay, serta permasalahan lain yang sama pentingnya untuk diperhatikan seperti halnya permasalahan kelas dalam ideologi Marxis. Asumsinya adalah masyarakat adalah kelompok besar yang penuh dengan persaingan, dan persaingan heterogen tersebut dimainkan dalam layar dan teks media, dan ini merupakan lahan yang layak bagi studi kritik media. Ideologi adalah sesuatu yang diasumsikan sebagai suatu norma yang absolut ideologi adalah norma. Ideologi memberikan batasan tegas kepada apa yang disebut perilaku yang “layak” dan “tidak layak” sementara yang disebut layak dan tidak layak ini memiliki range yang luas dalam beberapa bidang seperti ras, kelas, gender dan 7 sebagainya. Sementara itu yang dianggap sebagai norma yang benar adalah pria, hal berbau barat kulit putih, kelas dominan, heteroseksualitas, dan bentuk kekuasaan lain yang dilegitimasi oleh ideologi, dan yang menunjukkan konstruksi sosial dan arbitrer segala kategori sosial dan sistem ideologi. Kellner, 1995:58,60. Secara umum, media culture membentuk sistem budaya yang terorganisasi, tergantung pada industri, tipe, genre, subgenre, dan sirkulasi genre. Ia mengikuti sirkulasi produksi industrial dan terbagi dalam ‘aturan’ mereka sendiri tentang kategorisasi, konvensi dan formulasi. Teori media culture dikatakan oleh Kellner sebagai bagian dari efek pasca perang dunia ke-II, sama persis dengan yang ditulis John Storey mengenai popular culture Storey, 1993: 33-34. Menurut Kellner, setelah periode perang dunia ke-II media culture menjadi suatu kekuatan yang dominan dalam budaya, masyarakat, politik dan kehidupan sosial Kellner, 1990 dalam Kellner, 1995: 16. Televisi satelit dan kabel, video rekorder dan teknologi multimedia hiburan rumah lainnya dan komputer memperkuat penyebaran media culture dan memperkuatnya. Komersialisasi dan komodifikasi budaya memiliki beberapa konsekuensi. Pertama, produksi profit berarti para eksekutif industri budaya akan memproduksi artifak yang akan dipopulerkan, atau singkatnya yang memiliki kriteria untuk menarik audience secara massal. Alasan mengapa penggunaan istilah media culture lebih tepat, meskipun secara teoritis terdapat banyak kesamaan dengan popular culture adalah definisi high culture dan low culture dalam popular culture bermasalah. Dalam model popular culture tidak dispesifikkan kategorisasi ‘budaya’ yang dimaksud sehingga rangenya luas, dari literatur hingga opera sabun semua termasuk di dalamnya. Karena bagaimanapun sesuatu yang 8 secara kritikal dikategorikan sebagai low culture bisa saja populer di banyak kalangan, sehingga tidak jelas apa yang dimaksud dengan ‘popular culture’ tersebut. Di sisi lain Frankfurt School memposisikan semua mass culture sebagai sesuatu yang ideologis dan menilai; yang berakibat ‘tertipu’nya banyak masyarakat karena pembatasan bahwa low culture diidentifikasi sebagai ideologis, sementara momen kritikal selalu dianggap sebagai high culture Kellner, 1995: 29. Dengan demikian, penggunaan media culture lebih tepat daripada popular culture. Konsep media culture yang membentuk sistem budaya terorganisasi yang bergantung pada industri memberikan gambaran lebih jelas pada riset ini karena media culture juga mengikuti perkembangan mengenai konvensi dan formulasi fenomena sosial, termasuk teks media Kellner, 1995: 61-64.

I.4.2. Formula Film Populer