Karakterisasi Sepuluh Aksesi Hotong (Setaria Italica (L) Beauv) Di Rumah Kaca
i
KARAKTERISASI SEPULUH AKSESI HOTONG
(Setaria italica (L) Beauv) DI RUMAH KACA
ETIK SULISTIYOWATI
AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakterisasi Sepuluh
Aksesi Hotong (Setaria italica (L) Beauv) di Rumah Kaca adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2015
Etik Sulistiyowati
NIM A24110025
0
ABSTRAK
ETIK SULISTIYOWATI. Karakterisasi Sepuluh Aksesi Hotong (Setaria italica
(L) Beauv) di Rumah Kaca. Dibimbing oleh SINTHO WAHYUNING ARDIE dan
NURUL KHUMAIDA.
Foxtail millet (Setaria italica (L) Beauv) atau yang lebih dikenal dengan
hotong adalah tanaman serealia yang berasal dari Cina. Hotong memiliki
kandungan karbohidrat yang setara dengan beras, dengan indeks glikemik rendah
dan kandungan protein tinggi. Meskipun hotong bernilai gizi tinggi, tanaman ini
kurang dipelajari dan dikembangkan di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengkarakterisasi morfologi sepuluh aksesi hotong di rumah kaca. Penelitian
ini dilakukan di rumah kaca Kebun Percobaan di Cikabayan (240 m dpl) pada
Januari–Juli 2015. Sepuluh aksesi hotong yang digunakan dalam penelitian ini
berasal dari Balai Penelitian Serealia (Balitsereal). Percobaan disusun berdasarkan
rancangan kelompok lengkap teracak dengan lima ulangan. Dendogram dibangun
berdasarkan metode kluster UPGMA yang menempatkan seluruh aksesi ke dalam
empat kelompok kekerabatan didasarkan pada karakter kualitatif. Kelompok
pertama hanya terdiri atas satu aksesi, yaitu ICERI 3. Kelompok kedua terdiri atas
ICERI 4, ICERI 7, dan ICERI 9. Kelompok ketiga terdiri atas ICERI 2 dan ICERI
8, sedangkan kelompok keempat terdiri atas ICERI 1, ICERI 5, ICERI 6, dan ICERI
10. Analisis korelasi menunjukkan bahwa bobot biji malai utama berkorelasi positif
dengan waktu panen sehingga mengindikasikan bahwa semakin lama waktu panen
maka bobot biji malai utama semakin tinggi. Diagram pencar menunjukkan bahwa
aksesi ICERI 3 berada pada kuadran I, yang berarti aksesi tersebut memiliki bobot
biji malai utama yang tinggi dan waktu panen yang lama. Aksesi ICERI 1, ICERI
5 dan ICERI 6 berada pada perbatasan kuadran I dan II, yang berarti aksesi-aksesi
tersebut memiliki bobot biji malai utama sedang dan waktu panen yang tidak terlalu
lama. Aksesi ICERI 4, ICERI 7, ICERI 9 dan ICERI 10 berada pada kuadran III,
yang berarti aksesi-aksesi tersebut memiliki bobot biji malai utama yang rendah
dengan waktu panen yang cepat. Aksesi ICERI 2 dan ICERI 8 berada pada kuadran
IV, yang berarti aksesi-aksesi tersebut memiliki bobot biji malai utama tinggi dan
waktu panen yang cepat. Beragam aksesi yang diidentifikasi dalam penelitian ini
dapat digunakan sebagai tetua potensial dalam program efisiensi peningkatan hasil
tanaman. Aksesi potensial yang dapat dikembangkan untuk pemuliaan tanaman
adalah ICERI 2, ICERI 3 dan ICERI 8 karena memiliki bobot biji malai utama
tinggi dan di dalam kelompok yang berbeda.
Kata kunci : karakter morfologi, keragaman genetik, sereal, sumber karbohidrat,
tanaman yang kurang dimanfaatkan
1
ABSTRACT
ETIK SULISTIYOWATI. Characterization of Ten Foxtail Millet Accessions
(Setaria italica (L) Beauv) in the Greenhouse. Supervised by SINTHO
WAHYUNING ARDIE and NURUL KHUMAIDA.
Foxtail millet (Setaria italica (L) Beauv), known as hotong in Indonesian, is
a plant originated from China. Foxtail millet contains carbohydrate which is
equivalent to rice, low glycemic index, and high protein. Despite the high
nutritional value of foxtail millet, this plant is less studied and developed in
Indonesia. The objective of this study was to characterize the morphological
characters of ten foxtail millet accessions in the greenhouse. The experiment was
conducted in a greenhouse experimental station in Cikabayan (240 m asl) on
January-July 2015. Ten foxtail millet accessions from Indonesian Cereal Research
Institute (ICERI) were used in this study. The experiment was arranged in a
randomized complete block design with five replications. A dendrogram
constructed based on the UPGMA clustering method put all accessions in four
groups genetic relationship based on qualitative characters. The first group
consisted only one accession, ICERI 3. The second group consisted of ICERI4,
ICERI 7, and ICERI 9. The third group consisted of ICERI 2 and ICERI 8, while
the fourth group consisted of ICERI 1, ICERI 5, ICERI 6, and ICERI 10. The
correlation analysis showed that the main panicle grain weight positively
correlated with the time of harvest. Scatter plot showed that ICERI 3 accession
was located in quadrant I, which means this accession has high panicle grain
weight and long time to harvest. ICERI 1, ICERI 5 and ICERI 6 accession were
located in the border of quadrant I and II, which means these accessions have
medium main panicle grain weight and medium time to harvest. ICERI 4, ICERI 7,
ICERI 9 and ICERI 10 accessions were located in quadrant III, which means these
accessions have low main panicle grain weight with a shorter time to harvest.
ICERI 2 and ICERI 8 accessions were located in the quadrant IV, which means
these accessions have high main panicle grain weight and shorter time to harvest.
Diverse accessions identified in this study can be used as potential parents in an
efficient crop improvement program. The potential accessions that can be
developed for high yielding foxtail millet are ICERI 2, ICERI 3, and ICERI 8
because they have high main panicle grain weight and they were located in different
groups.
Keywords : morphological character, carbohydrate source, cereals, genetic
variability, underuitilized crop
2
KARAKTERISASI SEPULUH AKSESI HOTONG
(Setaria italica (L) Beauv) DI RUMAH KACA
ETIK SULISTIYOWATI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura
AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
3
Judul Skripsi : Karakterisasi Sepuluh Aksesi Hotong (Setaria italica (L) Beauv)
di Rumah Kaca
Nama
: Etik Sulistiyowati
NIM
: A24110025
Disetujui oleh
Dr Sintho Wahyuning Ardie, SP MSi
Dosen Pembimbing I
Dr Ir Nurul Khumaida, MSi
Dosen Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Sugiyanta, MSi
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
4
PRAKATA
Alhamdulillahi rabbil ‘alamiin. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi
yang berjudul Karakterisasi Sepuluh Aksesi Hotong (Setaria italica (L) Beauv) di
Rumah Kaca dapat diselesaikan dengan baik.
Terima kasih penulis sampaikan kepada
1. Ibu Dr Sintho Wahyuning Ardie, SP MSi dan Ibu Dr Ir Nurul Khumaida,
MSi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan
dan pengarahan selama kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi ini.
2. Bapak Prof Dr Ir Bambang Sapta Purwoko, MSc selaku dosen pembimbing
akademik yang telah memberikan bimbingan dalam hal akademis selama
perkuliahan dan sebagai dosen penguji yang telah memberikan banyak saran
dan masukan untuk perbaikan skripsi ini.
3. Beasiswa Bidik Misi Institut Pertanian Bogor, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan bantuan berupa dana
kuliah, uang saku, dan dana penelitian.
4. Mama, Bapak, dan keluarga atas doa, dukungan dan kasih sayangnya.
5. Kakak Nurul Fauziah yang selalu membantu dalam penelitian dan
pengolahan data.
6. Aulia Adillah rekan satu bimbingan yang selalu membantu dalam proses
penelitian.
7. Nuri Kiptantiyawati, Adelina Ratnasari, Lubering artha, Fadhila Rifka
Widati, Renaya Azima Sari yang selalu memberikan doa dan semangatnya
kepada penulis.
8. Teman-teman AGH 48 (Dandelion) yang telah membantu dalam penelitian
ataupun penulisan skripsi.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2015
Etik Sulistiyowati
5
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
2
Hipotesis
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Tanaman Hotong
2
Ekologi dan Syarat Tumbuh Hotong
3
Teknik Budidaya dan Pasca Panen Hotong
4
Karakterisasi Tanaman
5
METODE
5
Waktu dan Tempat
5
Bahan dan Alat
5
Rancangan Percobaan
5
Pelaksanaan Percobaan
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
12
Kondisi Umum Penelitian
12
Pertumbuhan dan Produksi Sepuluh Aksesi Hotong di Rumah Kaca
14
Karakterisasi Morfologi Sepuluh Aksesi Hotong di Rumah Kaca
18
SIMPULAN DAN SARAN
28
Simpulan
28
Saran
28
DAFTAR PUSTAKA
28
RIWAYAT HIDUP
31
6
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
Tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, jumlah anakan, panjang
daun bendera, lebar daun bendera, dan rasio panjang/lebar daun bendera
sepuluh aksesi hotong.
Waktu muncul malai, periode pengisian biji, dan waktu panen sepuluh
aksesi hotong.
Karakter kuantitatif fase generatif sepuluh aksesi hotong
Bobot 100 butir, panjang biji, diameter biji, rasio panjang/lebar biji dan
warna biji sepuluh aksesi hotong
Karakter kualitatif sepuluh aksesi hotong (Setaria italica (L) Beauv)
Korelasi antar variabel pada sepuluh aksesi hotong
Analisis komponen utama menunjukkan Eigen values, proporsi
keragaman, dan total kumulatif keragaman.
Analisis komponen utama pada karakter kuantitatif
15
16
17
18
19
25
26
27
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Peubah pertumbuhan vegetatif hotong, yaitu jumlah daun, diameter
batang, panjang dan lebar daun bendera, dan jumlah anakan. Anak
panah menunjukkan bagian yang diamati.
Peubah generatif, komponen hasil, dan hasil hotong, yaitu umur
berbunga, jumlah malai per tanaman, panjang malai utama, panjang
biji, dan diameter biji. Anak panah menunjukkan bagian yang diamati.
Bentuk ujung daun pertama hotong (UPOV 2010)
Pewarnaan antosianin pada pangkal daun hotong (UPOV 2010)
Pewarnaan antosianin pada pangkal batang hotong (UPOV 2010)
Tipe pertumbuhan anakan hotong (UPOV 2010)
Arah daun hotong (UPOV 2010)
Panjang rambut malai hotong (UPOV 2010)
Arah malai hotong (UPOV 2010)
Bentuk malai utama hotong (UPOV 2010)
Bentuk biji hotong (UPOV 2010)
Suhu dan Kelembapan di Rumah kaca
Laju pertumbuhan sepuluh aksesi hotong berdasarkan tinggi tanaman
Pewarnaan antosianin pada pangkal daun sepuluh aksesi hotong
Pewarnaan antosianin pada pangkal batang sepuluh aksesi hotong
Tipe pertumbuhan anakan sepuluh aksesi hotong
Arah malai sepuluh aksesi hotong
Arah daun sepuluh aksesi hotong
Panjang rambut malai utama sepuluh aksesi hotong
Bentuk malai utama sepuluh aksesi hotong.
Bentuk biji sepuluh aksesi hotong.
Dendogram sepuluh aksesi hotong berdasarkan karakter kualitatif.
Diagram pencar sepuluh aksesi hotong dengan bobot biji malai utama
dan waktu panen.
7
8
9
9
10
10
11
11
11
12
12
13
14
20
20
21
21
22
22
23
23
24
27
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan pangan masyarakat Indonesia semakin meningkat seiring
dengan meningkatnya jumlah penduduk. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(2014a), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2014 mencapai 252 165 000 jiwa.
Jumlah tersebut meningkat 1.40% jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pada
tahun 2010 (BPS 2015). Meningkatnya jumlah penduduk tidak diikuti oleh
meningkatnya luas lahan pertanian. Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non
pertanian semakin meningkat setiap tahunnya. Berkurangnya lahan pertanian
menyebabkan Indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan pokoknya, yaitu
beras. Produksi beras nasional pada tahun 2013 mencapai 71 juta ton (BPS 2014b),
akan tetapi Indonesia masih perlu mengimpor beras sebesar 0.47 juta ton pada tahun
yang sama (BPS 2014c).
Total luas lahan Indonesia mencapai 188.2 juta ha, akan tetapi 148 juta ha
diantaranya merupakan lahan kering bertanah masam (ultisols) (Hairiah et al. 2000),
dan 13.2 juta ha merupakan lahan salin (Direktorat Bina Teknik Jenderal Pengairan
1997). Besarnya luasan lahan marjinal di Indonesia menyebabkan bergesernya
pertanian ke lahan marjinal. Oleh karena itu, diversifikasi pangan menggunakan
tanaman yang dapat berproduksi pada lahan marjinal diperlukan dalam rangka
memenuhi kebutuhan pangan nasional.
Foxtail millet (Setaria italica (L) Beauv) atau yang lebih dikenal dengan
nama hotong merupakan tanaman yang berasal dari Cina (Ensminger dan
Ensminger 1993). Hotong adalah salah satu tanaman yang dapat dikembangkan
sebagai sumber karbohidrat alternatif. Hotong potensial untuk dikembangkan
sebagai pangan alternatif karena memiliki kandungan karbohidrat sebesar 72.8%
(Cheng dan Dong 2010), nilai tersebut setara dengan nilai kandungan karbohidrat
pada beras (80.4%) (Vaclavik dan Christian 2003). Hotong juga dilaporkan
memiliki indeks glikemik yang rendah (Jali et al. 2012), dan kandungan protein
yang tinggi sebesar 11.50 (Amadou et al. 2013). Hotong dapat dikonsumsi dalam
bentuk tepung ataupun sereal. Hotong dalam bentuk tepung dapat dijadikan sebagai
bubur, mie, atau dibuat aneka kue kering. Selain itu, hotong tidak memerlukan
pemeliharaan yang intensif seperti padi dan dapat dibudidayakan pada lahan
marjinal (Herodian et al. 2008). Salah satu lahan marjinal yang dapat ditumbuhi
hotong adalah tanah berpasir yang umumnya kurang subur untuk tanaman pangan
lainnya. Kemampuan hotong untuk tumbuh di lahan marjinal merupakan
keunggulan tersendiri yang jarang dimiliki oleh tanaman lain.
Hotong belum banyak diteliti dan dikembangkan di Indonesia. Hotong hanya
dibudidayakan secara konvensional oleh petani di Pulau Buru, Maluku. Data-data
tentang produktivitas hotong belum didapatkan secara valid sehingga dibutuhkan
data-data hasil penelitian untuk memperoleh informasi kekerabatan dan potensi
hasil sepuluh aksesi hotong (Setaria italica (L) Beauv) koleksi dari Balitsereal.
Aksesi yang memiliki hasil terbaik akan dikembangkan menjadi tanaman pangan
alternatif di Indonesia.
2
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi karakter morfologi,
pertumbuhan, produksi, dan kekerabatan sepuluh aksesi hotong (Setaria italica (L)
Beauv) koleksi dari Balitsereal.
Hipotesis
Terdapat minimal satu aksesi hotong (Setaria italica (L) Beauv) yang
memiliki pertumbuhan dan produksi yang lebih baik, serta karakter morfologi yang
menunjukkan kekerabatan antar aksesi.
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Hotong
Foxtail millet atau yang lebih dikenal dengan sebutan hotong merupakan
tanaman semusim seperti rumput, yang dapat tumbuh mencapai ketinggian 150 –
175 cm. Batangnya tegak, kadang-kadang bercabang. Daun tunggal, berseling,
bentuk garis atau pita, meruncing di ujung, tulang daun tengahnya menonjol;
dengan pelepah sepanjang 10 – 15 cm, gundul atau sedikit berambut, lidah (ligula)
pendek, berjumbai. Malainya rapat, berambut, dan dapat mencapai panjang 30 cm.
Bulirnya kecil, hanya sekitar 3 mm diameternya, bahkan ada yang lebih kecil.
Warna bulir beraneka ragam, mulai dari hitam, ungu, merah, sampai jingga
kecokelatan (Brink dan Belay 2006). Biji berukuran 2 – 3 mm, dan agak sempit.
Warna biji ada yang putih, kuning, cokelat, merah atau hitam. Malai tidak mudah
pecah (Bewley et al. 2006). Benih hotong tidak dapat langsung ditanam karena
mempunyai masa dorman selama 12 minggu setelah penen (MSP) (Simanjuntak
2012).
Tanaman hotong termasuk dalam famili poaceae (Gramineae) (NODC
Taxonomy code 1996). Taksonomi tanaman hotong selengkapnya adalah sebagai
berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida
Famili
: Poaceae
Genus
: Setaria
Spesies
: Setaria italica (L.) Beauv
Hotong memiliki kandungan karbohidrat sebesar 72.8% (Cheng dan Dong
2010), nilai tersebut setara dengan nilai kandungan karbohidrat pada beras (80.4%)
(Vaclavik dan Christian 2003), berpotensi sebagai anti kanker usus (Shan et al.
3
2014), kandungan protein yang tinggi sebesar 11.50% (Amadou et al. 2013), dan
indeks glikemik yang rendah (Jali et al. 2012). Hotong yang dijadikan makanan
seperti kukis, mi instan, dan snack kandungan indeks glikemiknya rendah sehingga
baik untuk diet (Prasetyo 2008), dan merupakan makanan ideal untuk penderita
diabetes. Hotong memiliki kandungan vitamin A dan B1, mineral yang lebih tinggi
dari beras, kandungan kalsium yang mirip dengan beras, dan kaya akan selenium
(Cheng dan Dong 2010). Biji hotong termasuk dalam kategori biji beramilosa
sedang. Hotong juga mengandung komponen bioaktif yang mempunyai sifat
antioksidan (Herodian et al. 2008). Berdasarkan hasil penelitian Suma dan Urooj
(2012) hotong mengandung antioksidan pada lapisan kulit biji.
Produksi hotong di dunia sekitar 5 juta ton per tahun. Angka tersebut setara
dengan 18% dari total produksi gabah yang dihasilkan oleh semua millet.
Produktivitas hotong di dunia berkisar antara 0.8 – 1.8 ton ha-1 tergantung pada
ketersediaan air (Krishna 2013). Produktivitas hotong berkisar antara 205 kg ha-1
(Nurshanti 2008) hingga 755 kg ha-1 (Fitria 2007) saat dibudidayakan di Kebun
Percobaan Leuwikopo dan Sawah Baru, Dramaga, Kabupaten Bogor.
Ekologi dan Syarat Tumbuh Hotong
Drainase yang baik penting diperhatikan untuk pertumbuhan hotong.
Hotong mampu beradaptasi dengan berbagai jenis tanah mulai dari yang subur
hingga tanah yang kurang subur (Winch 2007). Tanah yang kurang subur antara
lain adalah alfisols, xerasols, calcixerals, inceptisols dan alluvial. Hotong dapat
mentoleransi kekeringan, kesuburan tanah rendah dan bahan organik rendah.
Hotong biasa tumbuh di daerah di mana sereal utama lainnya mungkin gagal untuk
ditanam (Krishna 2013). Lahan kering bertanah masam merupakan tanah yang
kurang subur terluas yang ada di Indonesia (Hairiah et al. 2000). Hotong dapat
tumbuh pada area yang memiliki curah hujan rendah dengan ketinggian hingga
mencapai 2 000 m dpl (Winch 2007).
Hotong dilaporkan cukup toleran terhadap cekaman kekeringan dan
salinitas, akan tetapi toleransinya bervariasi antar genotipenya. Tuasamu (2009)
yang menggunakan 3 aksesi hotong, yaitu A1 dan A2 dari pulau Buru serta A3 hasil
dari pemuliaan melaporkan bahwa aksesi A3 lebih toleran kekeringan selama 14
hari setelah perlakuan kekeringan dibandingkan dua aksesi lainnya. Perlakuan
kekeringan diberikan pada saat tanaman berumur 6 minggu setelah tanam.
Berdasarkan hasil penelitian Ardie et al. (2015), aksesi ICERI 5 dan ICERI 6 adalah
aksesi toleran salin, ICERI 1 dan ICERI 7 adalah aksesi agak toleran salin, dan
aksesi ICERI 2, ICERI 3, ICERI 4, ICERI 8, ICERI 9, dan ICERI 10 adalah aksesi
peka terhadap salinitas.
Penyakit penting pada hotong terdiri atas embun jelaga, karat, penyakit
bulai, dan blast (Rangaswami dan Mahadevan 1998). Hama yang menyerang
hotong lebih dari 30 spesies termasuk ke dalam 20 famili namun hanya dua hama
yang penting untuk dihindari, yaitu lepidopteran (ngengat) dan dipteran (stalk fly)
(Cheng dan Dong 2010).
4
Teknik Budidaya dan Pasca Panen Hotong
Tahapan teknik budidaya hotong adalah pengolahan tanah dan persiapan
lahan, penanaman, pemeliharaan serta pemanenan. Pengolahan tanah yang
dilakukan adalah pengolahan tanah sempurna. Pengolahan tanah dilakukan dengan
tiga tahap, yaitu pembajakan pertama dengan menggunakan implemen bajak piring,
penggaruan dengan garu piring, dan pencacahan tanah dengan bajak rotari.
Pengolahan tanah bertujuan untuk menyamakan kondisi tanah di Pulau Buru. Cara
tanam yang dilakukan ada dua jenis, yaitu sistem larik dan tugal. Pemupukan dan
pengendalian gulma dilakukan pada saat 2 bulan setelah tanam. Hasilnya metode
tanam larik lebih baik dalam segi keuntungan (Prakoso 2006).
Berdasarkan hasil penelitian Nurshanti (2008) hotong baik ditanam pada
jarak 15 x 10 cm, 20 x 10 cm, dan 25 x 10 cm. Umur bibit yang baik digunakan
adalah bibit dengan umur 5 minggu setelah semai dan 4 minggu setelah semai.
Umur tersebut disarankan karena saat dipindah tanamkan ke lapang persentasi
hidupnya tinggi. Fitria (2007) melaporkan bahwa dosis pupuk yang digunakan
untuk pemeliharaan hotong adalah 300 kg ha-1 Urea, 150 kg ha-1 SP-36, dan 75 kg
ha-1 KCl. Pemupukan dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada 2 minggu setelah
tanam dengan memberikan setengah dosis pupuk Urea dan seluruh dosis untuk
pupuk SP-36 dan KCl. Sisa Urea diberikan saat tanaman berumur 6 minggu setelah
tanam. Metode penanaman yang dilakukan adalah dengan menebar benih pada
larikan.
Teknik budidaya hotong oleh masyarakat di Pulau Numfor masih tradisional
dengan ladang berpindah. Penanaman hotong dilakukan dengan menebar benih ke
lahan dan dibiarkan selama satu minggu apabila tanaman tumbuh kemudian
tanaman dibiarkan tidak dipelihara secara intensif. Penanganan pasca panen hotong
oleh masyarakat pulau Numfor juga masih sangat tradisional dengan menumbuk
hotong menggunakan lesung dengan penumbuk alu. Hasil panen hotong biasanya
di konsumsi sendiri atau dijual (Suharno et al. 2015).
Alat perontok biji hotong sudah dirancang dan diuji, namun belum efektif
untuk merontokkan biji hotong dikarenakan ukuran biji hotong yang bervariasi
(Kharisun 2003). Alat penyosoh dan penepung biji hotong sudah dirancang dan
diuji. Hasil pengujian dari alat penyosoh adalah kadar air biji yang baik untuk
melakukan penyosohan sebesar 6.2%, namun pada kadar air biji tersebut persentase
biji yang tidak tersosoh tinggi sebesar 3.03%. Penepungan biji hotong yang baik
menggunakan kadar air biji sebesar 11.1% menghasilkan rendemen penepungan
sebesar 88.52%, sedangkan pada kadar air biji 6.2% rendemen penepungan yang
dihasilkan sebesar 84.64% (Sutanto 2006). Alat penyosoh biji hotong dimodifikasi
untuk meningkatkan persentase biji hotong yang tersosoh dan menurunkan
persentase biji hotong yang tidak tersosoh. Hasil pengujian alat penyosoh adalah
persentase biji hotong tersosoh meningkat 0.69% dari hasil sebelumnya menjadi
93.69% (Kalabadi 2007). Modifikasi alat penyosoh hotong dibuat menggunakan
batu abrasive. Hasil pengujian performansi mesin penyosoh tipe abrasive roll,
didapat kapasitas penyosohan mesin penyosoh biji buru hotong sebesar 15.4 kg/jam
dengan dua kali lintasan, rendemen penyosohan sebesar 62.2%, derajat sosoh
sebesar 96.36% dan efektifitas pembersihan sebesar 94.66% (Darajat 2008).
5
Karakterisasi Tanaman
Karakterisasi merupakan tahap kedua setelah koleksi plasma nutfah dalam
proses pemuliaan tanaman (Syukur et al. 2012). Karakterisasi tanaman adalah proses
mempelajari karakter-karakter unggul yang dimiliki tanaman. Tujuan karakterisasi
adalah melihat sifat-sifat unggul yang dimiliki tanaman yang dapat digunakan sebagai
bahan pemuliaan selanjutnya, atau merupakan evaluasi dari tanaman hasil kegiatan
pemuliaan. Karakter yang dipelajari dapat berupa karakter agronomi, karakter
morfologi, kualitas biji, kerusakan tanaman akibat hama dan penyakit, dan kerusakan
akibat cekaman lingkungan (Deptan 2003).
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari–Juli 2015. Lokasi penelitian
adalah di Rumah Kaca Kebun Percobaan Cikabayan Institut Pertanian Bogor,
Dramaga, Bogor yang berada pada ketinggian ±240 m dpl.
Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan adalah sepuluh aksesi hotong (Setaria italica
(L) Beauv) koleksi dari Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal)-Maros.
Aksesi-aksesi hotong tersebut adalah ICERI 1, ICERI 2, ICERI 3, ICERI 4, ICERI
5, ICERI 6, ICERI 7, ICERI 8, ICERI 9, dan ICERI 10. Pot yang digunakan adalah
pot yang berdiameter ±30 cm. Pupuk yang digunakan adalah pupuk urea dengan
dosis 1 g pot-1, pupuk KCl dengan dosis 1 g pot-1, dan pupuk SP-36 dengan dosis
0.75 g pot-1, serta Carbofuran 3%. Media tanam yang digunakan adalah tanah dan
pasir dengan perbandingan 1:1 (v/v). Alat yang digunakan adalah ajir sepanjang
150 cm, penggaris, jangka sorong, net, meteran, timbangan, TDS meter (Ezdo
5031), pH meter (HI 96107), termometer, dan mikroskop digital 800X.
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok
Lengkap Teracak (RKLT) faktor tunggal dengan lima ulangan. Faktor perlakuan
adalah aksesi hotong terdiri atas sepuluh aksesi. Setiap satuan percobaan terdiri atas
satu pot dengan satu perlakuan (aksesi) dengan lima ulangan sehingga terdapat 50
satuan percobaan.
6
Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut :
Yij = µ + αi + βj + εij
Keterangan :
Yij
= Nilai pengamatan pada aksesi ke-i dan ulangan ke-j
µ
= Rataan umum
αi
= Pengaruh aksesi ke-i
βj
= Pengaruh ulangan ke-j
εij
= Galat percobaan
Pengaruh dari seluruh perlakuan diamati dengan menggunakan uji F pada
taraf 5% dan 1%. Apabila terdapat pengaruh yang nyata maka dilakukan uji lanjut
Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kepercayaan 95% dengan
menggunakan perangkat lunak SAS 9.1. Uji korelasi dilakukan pada data karakter
kualitatif menggunakan perangkat lunak STAR. Hasil analisis korelasi digunakan
untuk membangun diagram pencar dan dendogram.
Pelaksanaan Percobaan
Setiap pot disusun dengan jarak antar pot 20 cm x 20 cm, sehingga luas rumah
kaca yang digunakan adalah ±50 m2. Net dipasang menutupi petak percobaan
dengan tinggi 200 cm dari dasar rumah kaca dengan tujuan untuk menghindari
burung atau serangga yang masuk ke dalam petak percobaan. Gulma yang tumbuh
di petak percobaan dibersihkan secara manual. Media tanam yang digunakan adalah
campuran tanah dan pasir dengan perbandingan 1 : 1 (v/v). Tanah dan pasir sebelum
dicampur dikering anginkan selama satu hari. Tanah dan pasir di ayak untuk
mendapatkan tanah dan pasir dengan butiran halus kemudian dicampur. Media
tanam tersebut dimasukkan ke dalam pot sebanyak 5 kg per pot. Setiap pot disiram
dengan air hingga kapasitas lapang. Pot yang telah disiram didiamkan selama satu
hari. Tiga lubang tanam dibuat pada setiap pot dan tiap lubang tanam ditanami satu
benih hotong kemudian diberikan Carbofuran 3%. Tanaman dijarangkan menjadi
satu tanaman tiap pot pada 2 minggu setelah tanam (MST), dengan memilih
tanaman yang pertumbuhannya seragam. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan
menyiram tanaman setiap hari hingga kapasitas lapang, sedangkan penyiangan
gulma pada setiap pot dilakukan setiap satu minggu sekali. Aplikasi pupuk
dilakukan sebanyak dua kali, yaitu setelah tanaman berumur 2 MST dengan
setengah dosis pupuk Urea (0.5 g pot-1), seluruh dosis SP-36 (0.75 g pot-1), dan KCl
(1 g pot-1). Pemupukan kedua adalah setengah dosis pemupukan urea, yaitu 0.5 g
pot-1 pada umur 6 MST. Pemanenan dilakukan pada saat malai sudah berisi dan
masak yang biasanya ditunjukkan oleh malai yang berwarna cokelat dan kering.
Pemanenan malai hotong dilakukan dengan menggunting tangkai malai sepanjang
± 5 cm. Pemanenan tanaman dilakukan dengan mencabut seluruh tanaman.
Pengamatan dilakukan terhadap peubah karakter kuantitatif dan kualitatif.
Pelaksanaan pengamatan mengacu pada deskriptor Foxtail millet (UPOV 2010).
Pengamatan peubah karakter kuantitatif meliputi pertumbuhan vegetatif, generatif,
komponen hasil, dan hasil, serta terhadap faktor lingkungan.
7
Karakter kuantitatif meliputi:
A. Peubah pertumbuhan vegetatif
1. Tinggi tanaman (cm), diukur mulai dari permukaan tanah sampai dengan
ujung daun terpanjang setiap minggu.
2. Jumlah daun, dihitung keseluruhan jumlah daun per tanaman yang sudah
membuka sempurna setiap minggu (Gambar 1A).
3. Diameter batang (mm), diamati pada buku (node) ke-3 dari pangkal batang
(Gambar 1B).
4. Panjang dan lebar daun bendera, diukur pada daun bendera yang sudah
muncul dan telah membuka sempurna (Gambar 1C).
5. Jumlah anakan per rumpun, dihitung setiap minggu setelah munculnya anakan
pertama sampai dengan panen (Gambar 1D).
Gambar 1 Peubah pertumbuhan vegetatif hotong, yaitu jumlah daun, diameter
batang, panjang dan lebar daun bendera, dan jumlah anakan. Anak
panah menunjukkan bagian yang diamati.
B. Peubah generatif, komponen hasil, dan hasil
1. Umur berbunga, dicatat pada setiap aksesi yang telah muncul sebagian
bunga (Gambar 2A).
2. Jumlah malai per tanaman, dihitung seluruh malai yang ada pada setiap
aksesi tanaman (Gambar 2B).
3. Panjang malai utama, diukur dari pangkal malai hingga ujung malai
(Gambar 2C).
8
4.
5.
6.
7.
Bobot malai utama, ditimbang malai utama seluruh tanaman
Bobot malai per tanaman, ditimbang seluruh malai setiap tanaman.
Bobot biji malai utama, ditimbang bobot biji malai utama seluruh tanaman.
Bobot 100 butir biji, dihitung 100 butir biji seluruh malai setiap tanaman
kemudian ditimbang.
8. Bobot basah brangkasan, tajuk tanaman dan akar yang sudah dipanen
langsung ditimbang.
9. Bobot kering brangkasan, tajuk tanaman dan akar yang sudah dipanen
dikeringkan menggunakan oven selama tiga hari dengan suhu 80 ºC
kemudian ditimbang.
10. Ukuran biji, diamati panjang dan diameter biji dengan menggunakan
mikroskop digital 800X (Gambar 2D dan Gambar 2E).
Gambar 2 Peubah generatif, komponen hasil, dan hasil hotong, yaitu umur
berbunga, jumlah malai per tanaman, panjang malai utama, panjang biji,
dan diameter biji. Anak panah menunjukkan bagian yang diamati.
C. Faktor lingkungan
1. Suhu rata-rata harian
Berdasarkan Handoko (1994) suhu rata-rata harian ditentukan dengan cara
mengamati suhu pada pukul 07.30, 13.30, dan 17.30 menggunakan
termometer. Suhu rata-rata harian ditentukan menggunakan persamaan
T 7. + T . + T 7.
T=
2. Kelembapan relatif udara
Kelembapan relatif udara di tentukan dengan cara mengamati kelembapan
pada pukul 07.30, 13.30, dan 17.30 menggunakan termometer. Kelembapan
rata-rata harian ditentukan dengan menggunakan persamaan
9
�ℎ 7.
+�ℎ
.
+�ℎ 7.
Rh =
3. pH dan EC (electrical conductivity) media; pH dan EC diukur berturut-turut
menggunakan pH-meter (HI 96107) dan TDS meter (Ezdo 5031) dengan
metode pour thru pada seluruh unit percobaan setiap satu bulan sekali.
Karakter kualitatif meliputi:
1. Bentuk ujung daun pertama, diamati saat daun pertama muncul mengacu
pada deskriptor Foxtail millet UPOV (2010). Bentuk daun pertama terdiri
atas tiga kategori, yaitu bulat, runcing ke bulat, dan tumpul (Gambar 3).
2.
3.
4.
5.
Gambar 3 Bentuk ujung daun pertama hotong (UPOV 2010)
Tepi daun, diamati pada seluruh daun saat tanaman berumur 5 minggu
setelah tanam.
Warna daun, diamati saat tanaman berumur 5 minggu setelah tanam.
Rambut daun, diamati pada seluruh daun saat tanaman berumur 5 minggu
setelah tanam.
Pewarnaan antosianin pada pangkal daun, diamati saat tanaman sudah
mempunyai tujuh daun yang terbuka sempurna mengacu pada deskriptor
Foxtail millet UPOV (2010). Pewarnaan antosianin pada pangkal daun
terdiri atas tiga kategori, yaitu tidak ada atau lemah, sedang, dan kuat
(Gambar 4).
Gambar 4 Pewarnaan antosianin pada pangkal daun hotong (UPOV 2010)
10
6. Pewarnaan antosianin pada pangkal batang, diamati saat tanaman sudah
mempunyai tujuh daun yang terbuka sempurna mengacu pada deskriptor
Foxtail millet UPOV (2010). Pewarnaan antosianin pada pangkal batang
terdiri atas tiga kategori, yaitu tidak ada atau lemah, sedang, dan kuat
(Gambar 5).
Gambar 5 Pewarnaan antosianin pada pangkal batang hotong (UPOV 2010)
7. Tipe pertumbuhan anakan, diamati saat tanaman sudah mempunyai anakan
hingga panen mengacu pada deskriptor Foxtail millet UPOV (2010). Tipe
pertumbuhan anakan terdiri atas tiga kategori, yaitu hampir tegak, semi
tegak, dan menyebar (Gambar 6).
Gambar 6 Tipe pertumbuhan anakan hotong (UPOV 2010)
8. Arah daun, diamati pada saat tanaman memiliki tujuh daun yang telah
membuka sempurna mengacu pada deskriptor Foxtail millet UPOV (2010).
Arah daun terdiri atas lima kategori, yaitu tegak, sangat tegak, semi tegak,
horizontal, dan terkulai (Gambar 7).
11
Gambar 7 Arah daun hotong (UPOV 2010)
9. Panjang rambut malai, diamati saat malai sudah dipanen mengacu pada
deskriptor Foxtail millet UPOV (2010). Panjang rambut malai terdiri atas
tiga kategori, yaitu sangat pendek, sedang, dan sangat panjang (Gambar 8).
Gambar 8 Panjang rambut malai hotong (UPOV 2010)
10. Arah malai, diamati saat malai 90% terisi dan berwarna cokelat mengacu
pada deskriptor Foxtail millet UPOV (2010). Arah malai terdiri atas empat
kategori, yaitu tegak, semi tegak, horizontal, dan cukup terkulai (Gambar 9).
Gambar 9 Arah malai hotong (UPOV 2010)
12
11. Bentuk malai utama, diamati saat malai sudah dipanen mengacu pada
deskriptor Foxtail millet UPOV (2010). Bentuk malai utama terdiri atas
tujuh kategori, yaitu kerucut, poros, silinder, stik, mulut bebek, kaki kucing,
dan bercabang (Gambar 10).
Gambar 10 Bentuk malai utama hotong (UPOV 2010)
12. Bentuk biji, diamati saat biji hotong sudah dirontokkan dari malai mengacu
pada deskriptor Foxtail millet UPOV (2010). Bentuk biji terdiri atas tiga
kategori, yaitu bulat, bulat telur sedang, dan bulat telur panjang (Gambar
11).
Gambar 11 Bentuk biji hotong (UPOV 2010)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca Cikabayan pada luasan ±50 m2
yang berada pada ketinggian ±240 m dpl. Media tanam yang digunakan adalah
tanah dan pasir dengan perbandingan 1 : 1 sehingga tekstur medianya liat berpasir
dengan pH antara 6.3 – 7.1 dan EC (electrical conductivity) antara 2 – 3.3 mmhos
cm-1 yang tergolong normal untuk pertumbuhan tanaman. Suhu rata-rata harian di
13
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
35
30
Suhu (ºc)
25
20
15
10
5
0
Kelembapan (%)
dalam rumah kaca adalah 29.460 C. Menurut Krishna (2013), hotong dapat tumbuh
pada suhu antara 220 – 360 C. Peningkatan suhu terjadi mulai dari minggu ke-1
bulan Februari hingga minggu ke-3 bulan Juni. Suhu tertinggi pada rumah kaca
terjadi pada minggu ke-3 bulan Juni yaitu sebesar 33 ºC (Gambar 12). Suhu di
rumah kaca menunjukkan suhu yang sudah optimal untuk pertumbuhan hotong.
Kelembapan rata-rata harian didalam rumah kaca adalah 66.73%. Kelembapan ratarata harian pada rumah kaca mengalami penurunan dari minggu ke-1 bulan Februari
hingga minggu ke-3 bulan Juni. Kelembapan rata-rata tertinggi terjadi pada minggu
ke-2 bulan Februari, yaitu sebesar 74%.
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3
Juni
April
Mei
Maret
Februari
suhu
kelembapan
Gambar 12 Suhu dan Kelembapan di Rumah kaca pada 1 – 19 MST
Waktu tanam hotong pada tanggal 27 Januari 2015
Rumah kaca banyak ditumbuhi gulma dan banyak terdapat jangkrik serta
lipan pada awal percobaan dikarenakan atap rumah kaca yang kotor sehingga
kelembapan di dalam rumah kaca cukup tinggi (70%). Gulma-gulma yang tumbuh
dibersihkan secara manual. Serangan hama belalang yang memakan daun dan
batang terjadi saat tanaman berumur 9 MST dan saat tanaman sudah bermalai
terdapat serangan hama tungau (Tetranycus sp.) dan malai terkena sarang laba-laba.
Hama-hama tersebut dikendalikan dengan menggunakan Deltamethrin 25 g L-1 dan
larutan surfaktan. Larutan surfaktan tidak mampu mengendalikan hama tungau
(Tetranycus sp.) dan sarang laba-laba yang ada pada malai sehingga hama tersebut
dikendalikan secara manual. Gulma juga banyak tumbuh di dalam pot sehingga
harus dilakukan pengendalian secara manual setiap minggunya. Gulma yang
tumbuh di dalam pot adalah gulma golongan daun lebar, paku-pakuan, rumput, dan
lumut. Nama gulma yang tumbuh antara lain Euphorbia hirta, Marsilea crenata,
dan lumut.
14
Pertumbuhan dan Produksi Sepuluh Aksesi Hotong di Rumah Kaca
Tinggi tanaman (cm)
Laju pertumbuhan vegetatif aksesi hotong bervariasi. Berdasarkan laju
pertambahan tinggi tanaman ICERI 2 dan ICERI 10 tumbuh cepat hingga 10 MST,
sedangkan ICERI 1, ICERI 5 dan ICERI 7 mengalami pertumbuhan cepat mulai 3
MST hingga 9 MST. Grafik pertumbuhan aksesi ICERI 4, ICERI 6, dan ICERI 9
mengalami penurunan pertumbuhan dikarenakan batang tanaman patah diduga
terkena serangan hama belalang. Aksesi ICERI 8 mengalami pertumbuhan cepat
hingga 11 MST, sedangkan ICERI 3 pertumbuhan tanamannya cenderung stabil
hingga 15 MST (Gambar 13).
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
3
ICERI 1
ICERI 6
4
5
6
7
8
9 10 11 12
Minggu Setelah Tanam (MST)
ICERI 2
ICERI 7
ICERI 3
ICERI 8
ICERI 4
ICERI 9
13
14
15
ICERI 5
ICERI 10
Gambar 13 Laju pertumbuhan sepuluh aksesi hotong berdasarkan tinggi tanaman
Sejumlah aksesi memiliki tinggi tanaman > 170 cm pada saat muncul malai,
yaitu aksesi ICERI 2, ICERI 3, ICERI 8, dan ICERI 10, sedangkan tinggi tanaman
aksesi lainnya hanya mencapai < 125 cm (Tabel 1). Selain memiliki habitus
tanaman yang tinggi, aksesi ICERI 3 juga memiliki diameter batang terbesar dan
jumlah daun terbanyak. Aksesi ICERI 2, ICERI 8 dan ICERI 10 memiliki diameter
batang yang lebih kecil dibandingkan aksesi ICERI 3 sehingga ketiga aksesi
tersebut memiliki habitus batang yang kecil. Berdasarkan tinggi tanaman, diameter
batang, jumlah daun dan jumlah anakan, aksesi ICERI 3 merupakan aksesi dengan
habitus tanaman terbesar, sedangkan ICERI 7 merupakan aksesi dengan habitus
tanaman terkecil.
Rasio tinggi tanaman dan diameter batang dapat menentukan tingkat
kerebahan tanaman. Nilai rasio tinggi tanaman dan diameter batang yang tinggi
mengindikasikan bahwa tanaman akan semakin mudah rebah, sebaliknya nilai rasio
tinggi tanaman dan diameter batang yang rendah mengindikasikan bahwa tanaman
tidak mudah rebah. Aksesi ICERI 2 memiliki nilai rasio tinggi tanaman dan
diameter batang tertinggi (397.33) mengindikasikan bahwa aksesi ICERI 2
tanamannya mudah rebah. Aksesi ICERI 3 memiliki rasio tinggi tanaman dan
15
diameter batang terendah (213.96) mengindikasikan bahwa tanaman ICERI 3 tidak
mudah rebah. Hasil dari rasio tinggi tanaman dan diameter batang belum dapat
dijadikan sebagai acuan dikarenakan pengukuran diameter batang dilakukan pada
buku ke-3. Pengukuran diameter batang untuk menduga kerebahan tanaman
sebaiknya dilakukan pada ruas batang ketiga. Penggunaan ajir sepanjang 150 cm
dilakukan pada semua tanaman untuk menghindari tanaman rebah.
Panjang dan lebar daun bendera sepuluh aksesi hotong sangat beragam.
Aksesi ICERI 10 adalah aksesi yang memiliki panjang daun bendera tertinggi
sedangkan aksesi ICERI 4 memiliki panjang daun bendera terendah. Lebar daun
bendera tertinggi dimiliki oleh ICERI 8, sedangkan lebar daun bendera terendah
dimiliki oleh ICERI 1. Panjang dan lebar daun menentukan bentuk daun tanaman
hotong yang ditunjukkan dengan rasionya. Aksesi ICERI 10 memiliki bentuk daun
panjang dengan rasio panjang/lebar daun bendera tertinggi, sedangkan aksesi
ICERI 4 memiliki bentuk daun cenderung pendek dengan rasio panjang/ lebar daun
bendera terkecil.
Tabel 1 Tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, jumlah anakan, panjang
daun bendera, lebar daun bendera, dan rasio panjang/lebar daun bendera
sepuluh aksesi hotong.
Aksesi
Tinggi
tanaman
(cm)
Diameter
batang
(mm)
ICERI 1
ICERI 2
ICERI 3
ICERI 4
ICERI 5
ICERI 6
ICERI 7
ICERI 8
ICERI 9
ICERI 10
100.55b
177.08a
172.80a
108.16b
113.48b
124.12b
107.00b
184.82a
106.52b
194.20a
4.02cd
4.47cd
8.13a
4.09cd
4.17cd
4.43cd
3.03d
6.61b
3.75cd
5.25bc
Rasio
tinggi
tanaman/
diameter
batang
254.74d
397.33a
213.96d
269.45cd
275.86cd
282.31bcd
359.34abc
300.49bcd
287.36bcd
372.95ab
Jumlah
daun1
Jumlah
anakan1
Panjang
daun
bendera
(cm)
Lebar
daun
bendera
(cm)
14.0abc
13.3abc
20.9a
9.7abc
10.5abc
7.9bc
6.4c
12.1abc
9.5abc
19.4ab
3.8a
2.4abc
0.9abc
1.5abc
1.5abc
0.6bc
0.3c
0.7bc
0.9abc
3.2ab
34.05cd
40.10bc
38.54bc
24.06e
37.46bc
37.76bc
27.00de
43.20b
24.66e
51.44a
1.67c
2.70b
2.28bc
2.12bc
2.42b
2.54b
2.26bc
3.30a
2.08bc
2.34b
Rasio
panjang
/lebar
daun
bendera
20.34a
14.87bc
16.99b
11.19d
15.46b
14.85bc
11.92d
13.27cd
11.93d
22.08a
Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata berdasarkan DMRT pada α < 5%; 1data ditransformasi dengan rumus
(x + 0.5)1/2; tinggi tanaman, diameter batang, dan jumlah daun diamati saat muncul
malai utama; jumlah anakan diamati pada saat akan panen; panjang dan lebar daun
bendera diamati saat daun bendera sudah terbuka sempurna.
Umur berbunga kesepuluh aksesi hotong bervariasi (Tabel 2). Aksesi
dengan umur berbunga tercepat (43.25 hari) adalah ICERI 1. Aksesi dengan umur
berbunga terlama adalah ICERI 3, yaitu pada saat tanaman berumur 95.40 hari.
Umur berbunga kesepuluh aksesi berkisar antara 43 – 96 hari. Periode pengisian
biji kesepuluh aksesi hotong bervariasi. Aksesi dengan periode pengisian biji
terlama (71.20 hari) adalah ICERI 2. Aksesi dengan periode pengisian biji tercepat
adalah ICERI 7, yaitu selama 41.20 hari. Periode pengisian biji kesepuluh aksesi
hotong berkisar antara 41 – 72 hari. Periode pengisian biji sepuluh aksesi hotong
pada penelitian ini diduga lebih singkat dari yang tertera pada Tabel 2. Periode
pengisian biji merupakan selisih antara waktu panen dengan umur berbunga. Akan
tetapi, kriteria waktu berbunga pada penelitian ini adalah munculnya sebagian
bunga, sehingga bunga masih memerlukan waktu untuk memunculkan bunga
16
dengan sempurna sebelum proses pengisian biji dapat dimulai. Umur panen
kesepuluh aksesi hotong bervariasi. Aksesi yang memiliki umur panen tercepat
adalah aksesi ICERI 7 (96.60 hari), sedangkan aksesi yang memiliki umur panen
terlama adalah aksesi ICERI 3 (162.20 hari). Umur panen kesepuluh aksesi hotong
berkisar antara 96 – 163 hari.
Tabel 2 Waktu muncul malai, periode pengisian biji, dan waktu panen sepuluh
aksesi hotong.
Aksesi
ICERI 1
ICERI 2
ICERI 3
ICERI 4
ICERI 5
ICERI 6
ICERI 7
ICERI 8
ICERI 9
ICERI 10
Umur berbunga
(hari setelah tanam)
43.25e
67.80bc
95.40a
61.20cd
54.00de
56.00cd
55.40cd
74.80b
57.80cd
64.20bcd
Periode pengisian biji
(hari)
61.50abc
71.20a
66.80ab
46.00bc
55.00abc
48.20abc
41.20c
46.80abc
42.40bc
51.00abc
Umur panen
(hari setelah tanam)
104.50c
139.00ab
162.20a
107.20bc
109.00bc
104.20c
96.60c
121.60bc
100.20c
115.20bc
Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata berdasarkan DMRT pada α < 5%; Periode pengisian biji merupakan
selisih antara umur panen dengan umur berbunga.
Sejumlah aksesi memiliki panjang malai utama > 18 cm, yaitu aksesi ICERI
2, ICERI 3, dan ICERI 8, sedangkan aksesi lainnya memiliki panjang malai utama
< 11 cm (Tabel 3). Aksesi yang memiliki jumlah malai per tanaman > 5 adalah
aksesi ICERI 10, sedangkan kesembilan aksesi yang lainnya memiliki jumlah malai
per tanaman < 5. Aksesi yang memiliki bobot malai utama > 5 g adalah aksesi
ICERI 2, ICERI 3, dan ICERI 8, sedangkan aksesi lainnya memiliki bobot malai
utama < 3 g. ICERI 3 memiliki bobot malai per tanaman, bobot basah brangkasan,
dan bobot kering brangkasan tertinggi, sedangkan ICERI 7 memiliki bobot malai
per tanaman dan bobot kering brangkasan terendah. Aksesi yang memiliki bobot
biji malai utama tertinggi adalah ICERI 2 (4.29 g), sedangkan aksesi yang memiliki
bobot biji malai utama terendah adalah ICERI 10 (1.44 g) (Tabel 3).
Berdasarkan laju pertumbuhan pada gambar 13, ICERI 3 merupakan aksesi
yang memiliki masa vegetatif paling lama menyebabkan habitus tanaman tersebut
besar dan memiliki produktivitas yang cukup tinggi. Hasil penelitian Ulaganathan
dan Nirmalakumari (2015) menyatakan bahwa fase vegetatif adalah fase penting
dan krusial untuk proses fisiologi yang menentukan hasil dan atribut fisiologi
lainnya dalam memberikan kontribusi untuk perkembangan tanaman. Tingginya
produktivitas ICERI 3 disebabkan karena ukuran malai utama besar dan
menghasilkan biji yang banyak, akan tetapi ukuran bijinya kecil yang ditunjukkan
oleh bobot 100 biji yang rendah (Tabel 4). Aksesi ICERI 4, ICERI 5, ICERI 6,
ICERI 7 dan ICERI 9 memiliki masa vegetatif yang singkat sehingga diduga
menyebabkan habitus tanaman kecil dan produktivitasnya rendah. Rendahnya
produktivitas aksesi ICERI 4, ICERI 5, ICERI 6, ICERI 7 dan ICERI 9 dikarenakan
ukuran malai utama yang kecil dan biji malainya mudah rontok namun ukuran
bijinya tergolong besar yang ditunjukkan oleh bobot 100 biji yang tinggi (> 0.2 g)
(Tabel 4). Hasil penelitian Nurshanti (2008) melaporkan bahwa bobot 100 biji
17
tertinggi yang diperoleh pada penelitian menggunakan aksesi hotong dari Pulau
Buru adalah 0.10 g. Bobot 100 biji pada penelitian ini mencapai 0.28 g yang
dimiliki oleh ICERI 5, sedangkan aksesi yang mempunyai bobot 100 biji terendah
mencapai 0.09 g dimiliki oleh ICERI 9.
Produktivitas hotong juga dapat dilihat dari tingginya bobot malai per
tanaman. Hasil penelitian Fitria (2007) melaporkan bahwa bobot malai per rumpun
hotong tertinggi pada penelitian menggunakan aksesi hotong dari Pulau Buru
adalah 8.54 g. Bobot malai per tanaman aksesi ICERI 3 pada penelitian ini
mencapai 9.04 g.
Tabel 3 Karakter kuantitatif fase generatif sepuluh aksesi hotong
Aksesi
Panjang
malai
utama
(cm) 1
Jumlah
malai per
tanaman1
Bobot
malai
utama
(g) 1
ICERI 1
ICERI 2
ICERI 3
ICERI 4
ICERI 5
ICERI 6
ICERI 7
ICERI 8
ICERI 9
ICERI 10
10.19bcd
20.68a
21.23a
5.36d
12.17abcd
13.48ab
5.94cd
18.29ab
5.46d
12.74abc
4.00ab
4.00ab
2.00b
1.80b
3.80ab
2.40ab
1.20b
2.80ab
1.60b
6.80a
1.73c
5.27ab
5.37ab
2.62bc
2.73abc
2.84abc
2.55bc
5.57a
2.65bc
2.82abc
Keterangan
Bobot
malai
per
tanaman
(g) 1
4.22bc
7.49ab
9.04a
3.43c
4.37bc
3.51c
2.78c
7.34ab
3.32c
6.24abc
Bobot
biji
malai
utama
(g) 1
1.44c
4.62a
3.44abc
1.89c
2.19bc
2.01c
2.07c
4.30ab
2.03bc
2.27c
Bobot
basah
brangkasan
(g)
Bobot
kering
brangkasan
(g)
8.23bcd
11.83bcd
37.10a
5.26d
9.82bcd
10.04bcd
7.56cd
18.14bc
8.18bcd
19.42b
3.58cde
6.15bcd
16.97a
2.79de
3.94bcde
3.54cde
2.02e
8.02b
2.70de
6.99bc
: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada α < 5%; 1data ditransformasi dengan
rumus (x+0.5)1/2.
Variabilitas antar aksesi juga terdapat pada karakter biji, yaitu panjang,
diameter, rasio panjang / diameter biji, dan warna biji (Tabel 4). Aksesi ICERI 5
memiliki panjang biji tertinggi, sedangkan aksesi ICERI 10 memiliki panjang biji
terendah. Aksesi ICERI 6 memiliki diameter biji tertinggi, sedangkan aksesi ICERI
3 memiliki diameter biji terendah. Rasio panjang / diameter biji yang tinggi
menunjukkan bentuk biji yang lonjong, sedangkan rasio panjang / diameter biji
yang rendah menunjukkan bentuk biji yang bulat. Aksesi yang memiliki rasio
panjang / diameter biji > 1.50 mm, yaitu aksesi ICERI 1, ICERI 5, dan ICERI 6,
sedangkan aksesi lainnya memiliki rasio panjang / diameter biji < 1.50 mm. Aksesiaksesi yang memiliki rasio panjang / diameter biji > 1.50 mm merupakan aksesi
yang mempunyai bentuk biji yang lonjong. Aksesi yang memiliki rasio panjang /
diameter biji < 1.5 mm merupakan aksesi yang memiliki bentuk biji pendek atau
bulat. Aksesi ICERI 2 merupakan satu-satunya aksesi dengan warna biji hitam,
sedangkan kesembilan aksesi lainnya memiliki warna biji kuning.
18
Tabel 4 Bobot 100 butir, panjang biji, diameter biji, rasio panjang/lebar biji dan
warna biji sepuluh aksesi hotong
Aksesi
Bobot 100
butir (g) 1
Panjang biji
(mm)
Diameter biji
(mm)
ICERI 1
ICERI 2
ICERI 3
ICERI 4
ICERI 5
ICERI 6
ICERI 7
ICERI 8
ICERI 9
ICERI 10
0.19cde
0.15ef
0.13fg
0.23abc
0.28a
0.27ab
0.22abcd
0.17def
0.21bcd
0.09g
0.74ab
0.68abc
0.59cd
0.71ab
0.76a
0.70ab
0.69ab
0.64bcd
0.73ab
0.58d
1.15b
0.92d
0.73f
0.99c
1.18ab
1.22a
1.04c
0.85e
1.02c
0.75f
Rasio
Panjang /
lebar biji
1.69a
1.35b
1.25b
1.39b
1.54ab
1.75a
1.50ab
1.34b
1.40b
1.29b
Warna biji
Kuning
Hitam
Kuning
Kuning
Kuning
Kuning
Kuning
Kuning
Kuning
Kuning
Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata berdasarkan DMRT pada α < 5%; 1data ditransformasi dengan rumus
(x+0.5)1/2.
Karakterisasi Morfologi Sepuluh Aksesi Hotong di Rumah Kaca
Hasil pengamatan karakter kualitatif tajuk dan malai hotong menunjukkan
perbedaan keragaan tanaman dan malai. Berdasarkan data pada tabel 5, karakter
daun hotong adalah ujung daun berbentuk runcing, tepi daun rata, rambut daun
pendek, dan berwarna hijau. Aksesi hotong yang memiliki pewarnaan antosianin
pada pangkal daun sedang adalah ICERI 3, sedangkan aksesi ICERI 1, ICERI 2,
ICERI 4, ICERI 5, ICERI 6, ICERI 7, ICERI 8, ICERI 9, dan ICERI 10 tidak
memiliki pewarnaan antosianin pada pangkal daun (Gambar 14). Pengamatan
pewarnaan antosianin pada pangkal batang terdapat 3 tipe yaitu tidak ada atau
lemah (ICERI 1, ICERI 2, ICERI 5, ICERI 6, ICERI 8, dan ICERI 10), sedang
(ICERI 3, ICERI 4, dan ICERI 9), dan kuat (ICERI 7) (Gambar 15). Tipe
pertumbuhan anakan terdiri atas 3 kategori, yaitu hampir tegak (ICERI 1, ICERI 5,
ICERI 6, ICERI 7, ICERI 9, dan ICERI 10), semi tegak (ICERI 2, ICERI 4, dan
ICERI 8), dan menyebar (ICERI 3) (Gambar 16). Arah malai semua aksesi hotong
adalah cukup terkulai (Gambar 17). Arah daun semua aksesi hotong adalah
horizontal (Gambar 18). Panjang rambut malai hotong terdiri atas 3 kategori utama,
yaitu sangat panjang (ICERI 1), sedang (ICERI 5, ICERI 6, ICERI 8, dan ICERI
10), sangat pendek (ICERI 2, ICERI 3, ICERI 4, ICERI 7, dan ICERI 9) (Gambar
19). Bentuk malai sepuluh aksesi hotong terdiri atas 3 kategori utama, yaitu silinder
(ICERI 1), kerucut (ICERI 2, ICERI 4, ICERI 5, ICERI 6, ICERI 7, ICERI 8, ICERI
9, dan ICERI 10), dan kaki kucing (ICERI 3) (Gambar 20). Bentuk biji hotong
terdiri atas 3 kategori utama, yaitu bulat telur panjang (ICERI 1, ICERI 5, dan
ICERI 6), bulat telur sedang (ICERI 4, ICERI 7, ICERI 9, dan ICERI 10), dan bulat
(ICERI 2, ICERI 3, dan ICERI 8) (Gambar 21).
19
Tabel 5 Karakter kualitatif sepuluh aksesi hotong (Setaria italica (L) Beauv)
Aksesi
ICERI 1
BUDP
Runcing
TD
Rata
RD
Sedikit
WAPD
Tidak ada
atau lemah
Tidak ada
atau lemah
Sedang
WAPB
Tidak ada
atau lemah
Tidak ada
atau lemah
Sedang
TPA
Hampir
tegak
Semi tegak
AD
Horizontal
WD
Hijau
PRM
Sangat
panjang
Sangat
pendek
Sangat
pendek
Sangat
pendek
Sedang
AM
BM
BB
Cukup
Silinder
Bulat telur
terkulai
panjang
ICERI 2
Runcing Rata Sedikit
Horizontal Hijau
Cukup
Kerucut
Bulat
terkulai
ICERI 3
Runcing Rata Sedikit
Menyebar
Horizontal Hijau
Cukup
Kaki
Bulat
terkulai
kucing
ICERI 4
Runcing Rata Sedikit Tidak ada
Sedang
Semi tegak Horizontal Hijau
Cukup
Kerucut
Bulat telur
atau lemah
terkulai
sedang
ICERI 5
Runcing Rata Sedikit Tidak ada
Tidak ad
KARAKTERISASI SEPULUH AKSESI HOTONG
(Setaria italica (L) Beauv) DI RUMAH KACA
ETIK SULISTIYOWATI
AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakterisasi Sepuluh
Aksesi Hotong (Setaria italica (L) Beauv) di Rumah Kaca adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2015
Etik Sulistiyowati
NIM A24110025
0
ABSTRAK
ETIK SULISTIYOWATI. Karakterisasi Sepuluh Aksesi Hotong (Setaria italica
(L) Beauv) di Rumah Kaca. Dibimbing oleh SINTHO WAHYUNING ARDIE dan
NURUL KHUMAIDA.
Foxtail millet (Setaria italica (L) Beauv) atau yang lebih dikenal dengan
hotong adalah tanaman serealia yang berasal dari Cina. Hotong memiliki
kandungan karbohidrat yang setara dengan beras, dengan indeks glikemik rendah
dan kandungan protein tinggi. Meskipun hotong bernilai gizi tinggi, tanaman ini
kurang dipelajari dan dikembangkan di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengkarakterisasi morfologi sepuluh aksesi hotong di rumah kaca. Penelitian
ini dilakukan di rumah kaca Kebun Percobaan di Cikabayan (240 m dpl) pada
Januari–Juli 2015. Sepuluh aksesi hotong yang digunakan dalam penelitian ini
berasal dari Balai Penelitian Serealia (Balitsereal). Percobaan disusun berdasarkan
rancangan kelompok lengkap teracak dengan lima ulangan. Dendogram dibangun
berdasarkan metode kluster UPGMA yang menempatkan seluruh aksesi ke dalam
empat kelompok kekerabatan didasarkan pada karakter kualitatif. Kelompok
pertama hanya terdiri atas satu aksesi, yaitu ICERI 3. Kelompok kedua terdiri atas
ICERI 4, ICERI 7, dan ICERI 9. Kelompok ketiga terdiri atas ICERI 2 dan ICERI
8, sedangkan kelompok keempat terdiri atas ICERI 1, ICERI 5, ICERI 6, dan ICERI
10. Analisis korelasi menunjukkan bahwa bobot biji malai utama berkorelasi positif
dengan waktu panen sehingga mengindikasikan bahwa semakin lama waktu panen
maka bobot biji malai utama semakin tinggi. Diagram pencar menunjukkan bahwa
aksesi ICERI 3 berada pada kuadran I, yang berarti aksesi tersebut memiliki bobot
biji malai utama yang tinggi dan waktu panen yang lama. Aksesi ICERI 1, ICERI
5 dan ICERI 6 berada pada perbatasan kuadran I dan II, yang berarti aksesi-aksesi
tersebut memiliki bobot biji malai utama sedang dan waktu panen yang tidak terlalu
lama. Aksesi ICERI 4, ICERI 7, ICERI 9 dan ICERI 10 berada pada kuadran III,
yang berarti aksesi-aksesi tersebut memiliki bobot biji malai utama yang rendah
dengan waktu panen yang cepat. Aksesi ICERI 2 dan ICERI 8 berada pada kuadran
IV, yang berarti aksesi-aksesi tersebut memiliki bobot biji malai utama tinggi dan
waktu panen yang cepat. Beragam aksesi yang diidentifikasi dalam penelitian ini
dapat digunakan sebagai tetua potensial dalam program efisiensi peningkatan hasil
tanaman. Aksesi potensial yang dapat dikembangkan untuk pemuliaan tanaman
adalah ICERI 2, ICERI 3 dan ICERI 8 karena memiliki bobot biji malai utama
tinggi dan di dalam kelompok yang berbeda.
Kata kunci : karakter morfologi, keragaman genetik, sereal, sumber karbohidrat,
tanaman yang kurang dimanfaatkan
1
ABSTRACT
ETIK SULISTIYOWATI. Characterization of Ten Foxtail Millet Accessions
(Setaria italica (L) Beauv) in the Greenhouse. Supervised by SINTHO
WAHYUNING ARDIE and NURUL KHUMAIDA.
Foxtail millet (Setaria italica (L) Beauv), known as hotong in Indonesian, is
a plant originated from China. Foxtail millet contains carbohydrate which is
equivalent to rice, low glycemic index, and high protein. Despite the high
nutritional value of foxtail millet, this plant is less studied and developed in
Indonesia. The objective of this study was to characterize the morphological
characters of ten foxtail millet accessions in the greenhouse. The experiment was
conducted in a greenhouse experimental station in Cikabayan (240 m asl) on
January-July 2015. Ten foxtail millet accessions from Indonesian Cereal Research
Institute (ICERI) were used in this study. The experiment was arranged in a
randomized complete block design with five replications. A dendrogram
constructed based on the UPGMA clustering method put all accessions in four
groups genetic relationship based on qualitative characters. The first group
consisted only one accession, ICERI 3. The second group consisted of ICERI4,
ICERI 7, and ICERI 9. The third group consisted of ICERI 2 and ICERI 8, while
the fourth group consisted of ICERI 1, ICERI 5, ICERI 6, and ICERI 10. The
correlation analysis showed that the main panicle grain weight positively
correlated with the time of harvest. Scatter plot showed that ICERI 3 accession
was located in quadrant I, which means this accession has high panicle grain
weight and long time to harvest. ICERI 1, ICERI 5 and ICERI 6 accession were
located in the border of quadrant I and II, which means these accessions have
medium main panicle grain weight and medium time to harvest. ICERI 4, ICERI 7,
ICERI 9 and ICERI 10 accessions were located in quadrant III, which means these
accessions have low main panicle grain weight with a shorter time to harvest.
ICERI 2 and ICERI 8 accessions were located in the quadrant IV, which means
these accessions have high main panicle grain weight and shorter time to harvest.
Diverse accessions identified in this study can be used as potential parents in an
efficient crop improvement program. The potential accessions that can be
developed for high yielding foxtail millet are ICERI 2, ICERI 3, and ICERI 8
because they have high main panicle grain weight and they were located in different
groups.
Keywords : morphological character, carbohydrate source, cereals, genetic
variability, underuitilized crop
2
KARAKTERISASI SEPULUH AKSESI HOTONG
(Setaria italica (L) Beauv) DI RUMAH KACA
ETIK SULISTIYOWATI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura
AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
3
Judul Skripsi : Karakterisasi Sepuluh Aksesi Hotong (Setaria italica (L) Beauv)
di Rumah Kaca
Nama
: Etik Sulistiyowati
NIM
: A24110025
Disetujui oleh
Dr Sintho Wahyuning Ardie, SP MSi
Dosen Pembimbing I
Dr Ir Nurul Khumaida, MSi
Dosen Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Sugiyanta, MSi
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
4
PRAKATA
Alhamdulillahi rabbil ‘alamiin. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi
yang berjudul Karakterisasi Sepuluh Aksesi Hotong (Setaria italica (L) Beauv) di
Rumah Kaca dapat diselesaikan dengan baik.
Terima kasih penulis sampaikan kepada
1. Ibu Dr Sintho Wahyuning Ardie, SP MSi dan Ibu Dr Ir Nurul Khumaida,
MSi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan
dan pengarahan selama kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi ini.
2. Bapak Prof Dr Ir Bambang Sapta Purwoko, MSc selaku dosen pembimbing
akademik yang telah memberikan bimbingan dalam hal akademis selama
perkuliahan dan sebagai dosen penguji yang telah memberikan banyak saran
dan masukan untuk perbaikan skripsi ini.
3. Beasiswa Bidik Misi Institut Pertanian Bogor, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan bantuan berupa dana
kuliah, uang saku, dan dana penelitian.
4. Mama, Bapak, dan keluarga atas doa, dukungan dan kasih sayangnya.
5. Kakak Nurul Fauziah yang selalu membantu dalam penelitian dan
pengolahan data.
6. Aulia Adillah rekan satu bimbingan yang selalu membantu dalam proses
penelitian.
7. Nuri Kiptantiyawati, Adelina Ratnasari, Lubering artha, Fadhila Rifka
Widati, Renaya Azima Sari yang selalu memberikan doa dan semangatnya
kepada penulis.
8. Teman-teman AGH 48 (Dandelion) yang telah membantu dalam penelitian
ataupun penulisan skripsi.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2015
Etik Sulistiyowati
5
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
2
Hipotesis
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Tanaman Hotong
2
Ekologi dan Syarat Tumbuh Hotong
3
Teknik Budidaya dan Pasca Panen Hotong
4
Karakterisasi Tanaman
5
METODE
5
Waktu dan Tempat
5
Bahan dan Alat
5
Rancangan Percobaan
5
Pelaksanaan Percobaan
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
12
Kondisi Umum Penelitian
12
Pertumbuhan dan Produksi Sepuluh Aksesi Hotong di Rumah Kaca
14
Karakterisasi Morfologi Sepuluh Aksesi Hotong di Rumah Kaca
18
SIMPULAN DAN SARAN
28
Simpulan
28
Saran
28
DAFTAR PUSTAKA
28
RIWAYAT HIDUP
31
6
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
Tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, jumlah anakan, panjang
daun bendera, lebar daun bendera, dan rasio panjang/lebar daun bendera
sepuluh aksesi hotong.
Waktu muncul malai, periode pengisian biji, dan waktu panen sepuluh
aksesi hotong.
Karakter kuantitatif fase generatif sepuluh aksesi hotong
Bobot 100 butir, panjang biji, diameter biji, rasio panjang/lebar biji dan
warna biji sepuluh aksesi hotong
Karakter kualitatif sepuluh aksesi hotong (Setaria italica (L) Beauv)
Korelasi antar variabel pada sepuluh aksesi hotong
Analisis komponen utama menunjukkan Eigen values, proporsi
keragaman, dan total kumulatif keragaman.
Analisis komponen utama pada karakter kuantitatif
15
16
17
18
19
25
26
27
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Peubah pertumbuhan vegetatif hotong, yaitu jumlah daun, diameter
batang, panjang dan lebar daun bendera, dan jumlah anakan. Anak
panah menunjukkan bagian yang diamati.
Peubah generatif, komponen hasil, dan hasil hotong, yaitu umur
berbunga, jumlah malai per tanaman, panjang malai utama, panjang
biji, dan diameter biji. Anak panah menunjukkan bagian yang diamati.
Bentuk ujung daun pertama hotong (UPOV 2010)
Pewarnaan antosianin pada pangkal daun hotong (UPOV 2010)
Pewarnaan antosianin pada pangkal batang hotong (UPOV 2010)
Tipe pertumbuhan anakan hotong (UPOV 2010)
Arah daun hotong (UPOV 2010)
Panjang rambut malai hotong (UPOV 2010)
Arah malai hotong (UPOV 2010)
Bentuk malai utama hotong (UPOV 2010)
Bentuk biji hotong (UPOV 2010)
Suhu dan Kelembapan di Rumah kaca
Laju pertumbuhan sepuluh aksesi hotong berdasarkan tinggi tanaman
Pewarnaan antosianin pada pangkal daun sepuluh aksesi hotong
Pewarnaan antosianin pada pangkal batang sepuluh aksesi hotong
Tipe pertumbuhan anakan sepuluh aksesi hotong
Arah malai sepuluh aksesi hotong
Arah daun sepuluh aksesi hotong
Panjang rambut malai utama sepuluh aksesi hotong
Bentuk malai utama sepuluh aksesi hotong.
Bentuk biji sepuluh aksesi hotong.
Dendogram sepuluh aksesi hotong berdasarkan karakter kualitatif.
Diagram pencar sepuluh aksesi hotong dengan bobot biji malai utama
dan waktu panen.
7
8
9
9
10
10
11
11
11
12
12
13
14
20
20
21
21
22
22
23
23
24
27
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan pangan masyarakat Indonesia semakin meningkat seiring
dengan meningkatnya jumlah penduduk. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(2014a), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2014 mencapai 252 165 000 jiwa.
Jumlah tersebut meningkat 1.40% jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pada
tahun 2010 (BPS 2015). Meningkatnya jumlah penduduk tidak diikuti oleh
meningkatnya luas lahan pertanian. Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non
pertanian semakin meningkat setiap tahunnya. Berkurangnya lahan pertanian
menyebabkan Indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan pokoknya, yaitu
beras. Produksi beras nasional pada tahun 2013 mencapai 71 juta ton (BPS 2014b),
akan tetapi Indonesia masih perlu mengimpor beras sebesar 0.47 juta ton pada tahun
yang sama (BPS 2014c).
Total luas lahan Indonesia mencapai 188.2 juta ha, akan tetapi 148 juta ha
diantaranya merupakan lahan kering bertanah masam (ultisols) (Hairiah et al. 2000),
dan 13.2 juta ha merupakan lahan salin (Direktorat Bina Teknik Jenderal Pengairan
1997). Besarnya luasan lahan marjinal di Indonesia menyebabkan bergesernya
pertanian ke lahan marjinal. Oleh karena itu, diversifikasi pangan menggunakan
tanaman yang dapat berproduksi pada lahan marjinal diperlukan dalam rangka
memenuhi kebutuhan pangan nasional.
Foxtail millet (Setaria italica (L) Beauv) atau yang lebih dikenal dengan
nama hotong merupakan tanaman yang berasal dari Cina (Ensminger dan
Ensminger 1993). Hotong adalah salah satu tanaman yang dapat dikembangkan
sebagai sumber karbohidrat alternatif. Hotong potensial untuk dikembangkan
sebagai pangan alternatif karena memiliki kandungan karbohidrat sebesar 72.8%
(Cheng dan Dong 2010), nilai tersebut setara dengan nilai kandungan karbohidrat
pada beras (80.4%) (Vaclavik dan Christian 2003). Hotong juga dilaporkan
memiliki indeks glikemik yang rendah (Jali et al. 2012), dan kandungan protein
yang tinggi sebesar 11.50 (Amadou et al. 2013). Hotong dapat dikonsumsi dalam
bentuk tepung ataupun sereal. Hotong dalam bentuk tepung dapat dijadikan sebagai
bubur, mie, atau dibuat aneka kue kering. Selain itu, hotong tidak memerlukan
pemeliharaan yang intensif seperti padi dan dapat dibudidayakan pada lahan
marjinal (Herodian et al. 2008). Salah satu lahan marjinal yang dapat ditumbuhi
hotong adalah tanah berpasir yang umumnya kurang subur untuk tanaman pangan
lainnya. Kemampuan hotong untuk tumbuh di lahan marjinal merupakan
keunggulan tersendiri yang jarang dimiliki oleh tanaman lain.
Hotong belum banyak diteliti dan dikembangkan di Indonesia. Hotong hanya
dibudidayakan secara konvensional oleh petani di Pulau Buru, Maluku. Data-data
tentang produktivitas hotong belum didapatkan secara valid sehingga dibutuhkan
data-data hasil penelitian untuk memperoleh informasi kekerabatan dan potensi
hasil sepuluh aksesi hotong (Setaria italica (L) Beauv) koleksi dari Balitsereal.
Aksesi yang memiliki hasil terbaik akan dikembangkan menjadi tanaman pangan
alternatif di Indonesia.
2
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi karakter morfologi,
pertumbuhan, produksi, dan kekerabatan sepuluh aksesi hotong (Setaria italica (L)
Beauv) koleksi dari Balitsereal.
Hipotesis
Terdapat minimal satu aksesi hotong (Setaria italica (L) Beauv) yang
memiliki pertumbuhan dan produksi yang lebih baik, serta karakter morfologi yang
menunjukkan kekerabatan antar aksesi.
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Hotong
Foxtail millet atau yang lebih dikenal dengan sebutan hotong merupakan
tanaman semusim seperti rumput, yang dapat tumbuh mencapai ketinggian 150 –
175 cm. Batangnya tegak, kadang-kadang bercabang. Daun tunggal, berseling,
bentuk garis atau pita, meruncing di ujung, tulang daun tengahnya menonjol;
dengan pelepah sepanjang 10 – 15 cm, gundul atau sedikit berambut, lidah (ligula)
pendek, berjumbai. Malainya rapat, berambut, dan dapat mencapai panjang 30 cm.
Bulirnya kecil, hanya sekitar 3 mm diameternya, bahkan ada yang lebih kecil.
Warna bulir beraneka ragam, mulai dari hitam, ungu, merah, sampai jingga
kecokelatan (Brink dan Belay 2006). Biji berukuran 2 – 3 mm, dan agak sempit.
Warna biji ada yang putih, kuning, cokelat, merah atau hitam. Malai tidak mudah
pecah (Bewley et al. 2006). Benih hotong tidak dapat langsung ditanam karena
mempunyai masa dorman selama 12 minggu setelah penen (MSP) (Simanjuntak
2012).
Tanaman hotong termasuk dalam famili poaceae (Gramineae) (NODC
Taxonomy code 1996). Taksonomi tanaman hotong selengkapnya adalah sebagai
berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida
Famili
: Poaceae
Genus
: Setaria
Spesies
: Setaria italica (L.) Beauv
Hotong memiliki kandungan karbohidrat sebesar 72.8% (Cheng dan Dong
2010), nilai tersebut setara dengan nilai kandungan karbohidrat pada beras (80.4%)
(Vaclavik dan Christian 2003), berpotensi sebagai anti kanker usus (Shan et al.
3
2014), kandungan protein yang tinggi sebesar 11.50% (Amadou et al. 2013), dan
indeks glikemik yang rendah (Jali et al. 2012). Hotong yang dijadikan makanan
seperti kukis, mi instan, dan snack kandungan indeks glikemiknya rendah sehingga
baik untuk diet (Prasetyo 2008), dan merupakan makanan ideal untuk penderita
diabetes. Hotong memiliki kandungan vitamin A dan B1, mineral yang lebih tinggi
dari beras, kandungan kalsium yang mirip dengan beras, dan kaya akan selenium
(Cheng dan Dong 2010). Biji hotong termasuk dalam kategori biji beramilosa
sedang. Hotong juga mengandung komponen bioaktif yang mempunyai sifat
antioksidan (Herodian et al. 2008). Berdasarkan hasil penelitian Suma dan Urooj
(2012) hotong mengandung antioksidan pada lapisan kulit biji.
Produksi hotong di dunia sekitar 5 juta ton per tahun. Angka tersebut setara
dengan 18% dari total produksi gabah yang dihasilkan oleh semua millet.
Produktivitas hotong di dunia berkisar antara 0.8 – 1.8 ton ha-1 tergantung pada
ketersediaan air (Krishna 2013). Produktivitas hotong berkisar antara 205 kg ha-1
(Nurshanti 2008) hingga 755 kg ha-1 (Fitria 2007) saat dibudidayakan di Kebun
Percobaan Leuwikopo dan Sawah Baru, Dramaga, Kabupaten Bogor.
Ekologi dan Syarat Tumbuh Hotong
Drainase yang baik penting diperhatikan untuk pertumbuhan hotong.
Hotong mampu beradaptasi dengan berbagai jenis tanah mulai dari yang subur
hingga tanah yang kurang subur (Winch 2007). Tanah yang kurang subur antara
lain adalah alfisols, xerasols, calcixerals, inceptisols dan alluvial. Hotong dapat
mentoleransi kekeringan, kesuburan tanah rendah dan bahan organik rendah.
Hotong biasa tumbuh di daerah di mana sereal utama lainnya mungkin gagal untuk
ditanam (Krishna 2013). Lahan kering bertanah masam merupakan tanah yang
kurang subur terluas yang ada di Indonesia (Hairiah et al. 2000). Hotong dapat
tumbuh pada area yang memiliki curah hujan rendah dengan ketinggian hingga
mencapai 2 000 m dpl (Winch 2007).
Hotong dilaporkan cukup toleran terhadap cekaman kekeringan dan
salinitas, akan tetapi toleransinya bervariasi antar genotipenya. Tuasamu (2009)
yang menggunakan 3 aksesi hotong, yaitu A1 dan A2 dari pulau Buru serta A3 hasil
dari pemuliaan melaporkan bahwa aksesi A3 lebih toleran kekeringan selama 14
hari setelah perlakuan kekeringan dibandingkan dua aksesi lainnya. Perlakuan
kekeringan diberikan pada saat tanaman berumur 6 minggu setelah tanam.
Berdasarkan hasil penelitian Ardie et al. (2015), aksesi ICERI 5 dan ICERI 6 adalah
aksesi toleran salin, ICERI 1 dan ICERI 7 adalah aksesi agak toleran salin, dan
aksesi ICERI 2, ICERI 3, ICERI 4, ICERI 8, ICERI 9, dan ICERI 10 adalah aksesi
peka terhadap salinitas.
Penyakit penting pada hotong terdiri atas embun jelaga, karat, penyakit
bulai, dan blast (Rangaswami dan Mahadevan 1998). Hama yang menyerang
hotong lebih dari 30 spesies termasuk ke dalam 20 famili namun hanya dua hama
yang penting untuk dihindari, yaitu lepidopteran (ngengat) dan dipteran (stalk fly)
(Cheng dan Dong 2010).
4
Teknik Budidaya dan Pasca Panen Hotong
Tahapan teknik budidaya hotong adalah pengolahan tanah dan persiapan
lahan, penanaman, pemeliharaan serta pemanenan. Pengolahan tanah yang
dilakukan adalah pengolahan tanah sempurna. Pengolahan tanah dilakukan dengan
tiga tahap, yaitu pembajakan pertama dengan menggunakan implemen bajak piring,
penggaruan dengan garu piring, dan pencacahan tanah dengan bajak rotari.
Pengolahan tanah bertujuan untuk menyamakan kondisi tanah di Pulau Buru. Cara
tanam yang dilakukan ada dua jenis, yaitu sistem larik dan tugal. Pemupukan dan
pengendalian gulma dilakukan pada saat 2 bulan setelah tanam. Hasilnya metode
tanam larik lebih baik dalam segi keuntungan (Prakoso 2006).
Berdasarkan hasil penelitian Nurshanti (2008) hotong baik ditanam pada
jarak 15 x 10 cm, 20 x 10 cm, dan 25 x 10 cm. Umur bibit yang baik digunakan
adalah bibit dengan umur 5 minggu setelah semai dan 4 minggu setelah semai.
Umur tersebut disarankan karena saat dipindah tanamkan ke lapang persentasi
hidupnya tinggi. Fitria (2007) melaporkan bahwa dosis pupuk yang digunakan
untuk pemeliharaan hotong adalah 300 kg ha-1 Urea, 150 kg ha-1 SP-36, dan 75 kg
ha-1 KCl. Pemupukan dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada 2 minggu setelah
tanam dengan memberikan setengah dosis pupuk Urea dan seluruh dosis untuk
pupuk SP-36 dan KCl. Sisa Urea diberikan saat tanaman berumur 6 minggu setelah
tanam. Metode penanaman yang dilakukan adalah dengan menebar benih pada
larikan.
Teknik budidaya hotong oleh masyarakat di Pulau Numfor masih tradisional
dengan ladang berpindah. Penanaman hotong dilakukan dengan menebar benih ke
lahan dan dibiarkan selama satu minggu apabila tanaman tumbuh kemudian
tanaman dibiarkan tidak dipelihara secara intensif. Penanganan pasca panen hotong
oleh masyarakat pulau Numfor juga masih sangat tradisional dengan menumbuk
hotong menggunakan lesung dengan penumbuk alu. Hasil panen hotong biasanya
di konsumsi sendiri atau dijual (Suharno et al. 2015).
Alat perontok biji hotong sudah dirancang dan diuji, namun belum efektif
untuk merontokkan biji hotong dikarenakan ukuran biji hotong yang bervariasi
(Kharisun 2003). Alat penyosoh dan penepung biji hotong sudah dirancang dan
diuji. Hasil pengujian dari alat penyosoh adalah kadar air biji yang baik untuk
melakukan penyosohan sebesar 6.2%, namun pada kadar air biji tersebut persentase
biji yang tidak tersosoh tinggi sebesar 3.03%. Penepungan biji hotong yang baik
menggunakan kadar air biji sebesar 11.1% menghasilkan rendemen penepungan
sebesar 88.52%, sedangkan pada kadar air biji 6.2% rendemen penepungan yang
dihasilkan sebesar 84.64% (Sutanto 2006). Alat penyosoh biji hotong dimodifikasi
untuk meningkatkan persentase biji hotong yang tersosoh dan menurunkan
persentase biji hotong yang tidak tersosoh. Hasil pengujian alat penyosoh adalah
persentase biji hotong tersosoh meningkat 0.69% dari hasil sebelumnya menjadi
93.69% (Kalabadi 2007). Modifikasi alat penyosoh hotong dibuat menggunakan
batu abrasive. Hasil pengujian performansi mesin penyosoh tipe abrasive roll,
didapat kapasitas penyosohan mesin penyosoh biji buru hotong sebesar 15.4 kg/jam
dengan dua kali lintasan, rendemen penyosohan sebesar 62.2%, derajat sosoh
sebesar 96.36% dan efektifitas pembersihan sebesar 94.66% (Darajat 2008).
5
Karakterisasi Tanaman
Karakterisasi merupakan tahap kedua setelah koleksi plasma nutfah dalam
proses pemuliaan tanaman (Syukur et al. 2012). Karakterisasi tanaman adalah proses
mempelajari karakter-karakter unggul yang dimiliki tanaman. Tujuan karakterisasi
adalah melihat sifat-sifat unggul yang dimiliki tanaman yang dapat digunakan sebagai
bahan pemuliaan selanjutnya, atau merupakan evaluasi dari tanaman hasil kegiatan
pemuliaan. Karakter yang dipelajari dapat berupa karakter agronomi, karakter
morfologi, kualitas biji, kerusakan tanaman akibat hama dan penyakit, dan kerusakan
akibat cekaman lingkungan (Deptan 2003).
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari–Juli 2015. Lokasi penelitian
adalah di Rumah Kaca Kebun Percobaan Cikabayan Institut Pertanian Bogor,
Dramaga, Bogor yang berada pada ketinggian ±240 m dpl.
Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan adalah sepuluh aksesi hotong (Setaria italica
(L) Beauv) koleksi dari Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal)-Maros.
Aksesi-aksesi hotong tersebut adalah ICERI 1, ICERI 2, ICERI 3, ICERI 4, ICERI
5, ICERI 6, ICERI 7, ICERI 8, ICERI 9, dan ICERI 10. Pot yang digunakan adalah
pot yang berdiameter ±30 cm. Pupuk yang digunakan adalah pupuk urea dengan
dosis 1 g pot-1, pupuk KCl dengan dosis 1 g pot-1, dan pupuk SP-36 dengan dosis
0.75 g pot-1, serta Carbofuran 3%. Media tanam yang digunakan adalah tanah dan
pasir dengan perbandingan 1:1 (v/v). Alat yang digunakan adalah ajir sepanjang
150 cm, penggaris, jangka sorong, net, meteran, timbangan, TDS meter (Ezdo
5031), pH meter (HI 96107), termometer, dan mikroskop digital 800X.
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok
Lengkap Teracak (RKLT) faktor tunggal dengan lima ulangan. Faktor perlakuan
adalah aksesi hotong terdiri atas sepuluh aksesi. Setiap satuan percobaan terdiri atas
satu pot dengan satu perlakuan (aksesi) dengan lima ulangan sehingga terdapat 50
satuan percobaan.
6
Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut :
Yij = µ + αi + βj + εij
Keterangan :
Yij
= Nilai pengamatan pada aksesi ke-i dan ulangan ke-j
µ
= Rataan umum
αi
= Pengaruh aksesi ke-i
βj
= Pengaruh ulangan ke-j
εij
= Galat percobaan
Pengaruh dari seluruh perlakuan diamati dengan menggunakan uji F pada
taraf 5% dan 1%. Apabila terdapat pengaruh yang nyata maka dilakukan uji lanjut
Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kepercayaan 95% dengan
menggunakan perangkat lunak SAS 9.1. Uji korelasi dilakukan pada data karakter
kualitatif menggunakan perangkat lunak STAR. Hasil analisis korelasi digunakan
untuk membangun diagram pencar dan dendogram.
Pelaksanaan Percobaan
Setiap pot disusun dengan jarak antar pot 20 cm x 20 cm, sehingga luas rumah
kaca yang digunakan adalah ±50 m2. Net dipasang menutupi petak percobaan
dengan tinggi 200 cm dari dasar rumah kaca dengan tujuan untuk menghindari
burung atau serangga yang masuk ke dalam petak percobaan. Gulma yang tumbuh
di petak percobaan dibersihkan secara manual. Media tanam yang digunakan adalah
campuran tanah dan pasir dengan perbandingan 1 : 1 (v/v). Tanah dan pasir sebelum
dicampur dikering anginkan selama satu hari. Tanah dan pasir di ayak untuk
mendapatkan tanah dan pasir dengan butiran halus kemudian dicampur. Media
tanam tersebut dimasukkan ke dalam pot sebanyak 5 kg per pot. Setiap pot disiram
dengan air hingga kapasitas lapang. Pot yang telah disiram didiamkan selama satu
hari. Tiga lubang tanam dibuat pada setiap pot dan tiap lubang tanam ditanami satu
benih hotong kemudian diberikan Carbofuran 3%. Tanaman dijarangkan menjadi
satu tanaman tiap pot pada 2 minggu setelah tanam (MST), dengan memilih
tanaman yang pertumbuhannya seragam. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan
menyiram tanaman setiap hari hingga kapasitas lapang, sedangkan penyiangan
gulma pada setiap pot dilakukan setiap satu minggu sekali. Aplikasi pupuk
dilakukan sebanyak dua kali, yaitu setelah tanaman berumur 2 MST dengan
setengah dosis pupuk Urea (0.5 g pot-1), seluruh dosis SP-36 (0.75 g pot-1), dan KCl
(1 g pot-1). Pemupukan kedua adalah setengah dosis pemupukan urea, yaitu 0.5 g
pot-1 pada umur 6 MST. Pemanenan dilakukan pada saat malai sudah berisi dan
masak yang biasanya ditunjukkan oleh malai yang berwarna cokelat dan kering.
Pemanenan malai hotong dilakukan dengan menggunting tangkai malai sepanjang
± 5 cm. Pemanenan tanaman dilakukan dengan mencabut seluruh tanaman.
Pengamatan dilakukan terhadap peubah karakter kuantitatif dan kualitatif.
Pelaksanaan pengamatan mengacu pada deskriptor Foxtail millet (UPOV 2010).
Pengamatan peubah karakter kuantitatif meliputi pertumbuhan vegetatif, generatif,
komponen hasil, dan hasil, serta terhadap faktor lingkungan.
7
Karakter kuantitatif meliputi:
A. Peubah pertumbuhan vegetatif
1. Tinggi tanaman (cm), diukur mulai dari permukaan tanah sampai dengan
ujung daun terpanjang setiap minggu.
2. Jumlah daun, dihitung keseluruhan jumlah daun per tanaman yang sudah
membuka sempurna setiap minggu (Gambar 1A).
3. Diameter batang (mm), diamati pada buku (node) ke-3 dari pangkal batang
(Gambar 1B).
4. Panjang dan lebar daun bendera, diukur pada daun bendera yang sudah
muncul dan telah membuka sempurna (Gambar 1C).
5. Jumlah anakan per rumpun, dihitung setiap minggu setelah munculnya anakan
pertama sampai dengan panen (Gambar 1D).
Gambar 1 Peubah pertumbuhan vegetatif hotong, yaitu jumlah daun, diameter
batang, panjang dan lebar daun bendera, dan jumlah anakan. Anak
panah menunjukkan bagian yang diamati.
B. Peubah generatif, komponen hasil, dan hasil
1. Umur berbunga, dicatat pada setiap aksesi yang telah muncul sebagian
bunga (Gambar 2A).
2. Jumlah malai per tanaman, dihitung seluruh malai yang ada pada setiap
aksesi tanaman (Gambar 2B).
3. Panjang malai utama, diukur dari pangkal malai hingga ujung malai
(Gambar 2C).
8
4.
5.
6.
7.
Bobot malai utama, ditimbang malai utama seluruh tanaman
Bobot malai per tanaman, ditimbang seluruh malai setiap tanaman.
Bobot biji malai utama, ditimbang bobot biji malai utama seluruh tanaman.
Bobot 100 butir biji, dihitung 100 butir biji seluruh malai setiap tanaman
kemudian ditimbang.
8. Bobot basah brangkasan, tajuk tanaman dan akar yang sudah dipanen
langsung ditimbang.
9. Bobot kering brangkasan, tajuk tanaman dan akar yang sudah dipanen
dikeringkan menggunakan oven selama tiga hari dengan suhu 80 ºC
kemudian ditimbang.
10. Ukuran biji, diamati panjang dan diameter biji dengan menggunakan
mikroskop digital 800X (Gambar 2D dan Gambar 2E).
Gambar 2 Peubah generatif, komponen hasil, dan hasil hotong, yaitu umur
berbunga, jumlah malai per tanaman, panjang malai utama, panjang biji,
dan diameter biji. Anak panah menunjukkan bagian yang diamati.
C. Faktor lingkungan
1. Suhu rata-rata harian
Berdasarkan Handoko (1994) suhu rata-rata harian ditentukan dengan cara
mengamati suhu pada pukul 07.30, 13.30, dan 17.30 menggunakan
termometer. Suhu rata-rata harian ditentukan menggunakan persamaan
T 7. + T . + T 7.
T=
2. Kelembapan relatif udara
Kelembapan relatif udara di tentukan dengan cara mengamati kelembapan
pada pukul 07.30, 13.30, dan 17.30 menggunakan termometer. Kelembapan
rata-rata harian ditentukan dengan menggunakan persamaan
9
�ℎ 7.
+�ℎ
.
+�ℎ 7.
Rh =
3. pH dan EC (electrical conductivity) media; pH dan EC diukur berturut-turut
menggunakan pH-meter (HI 96107) dan TDS meter (Ezdo 5031) dengan
metode pour thru pada seluruh unit percobaan setiap satu bulan sekali.
Karakter kualitatif meliputi:
1. Bentuk ujung daun pertama, diamati saat daun pertama muncul mengacu
pada deskriptor Foxtail millet UPOV (2010). Bentuk daun pertama terdiri
atas tiga kategori, yaitu bulat, runcing ke bulat, dan tumpul (Gambar 3).
2.
3.
4.
5.
Gambar 3 Bentuk ujung daun pertama hotong (UPOV 2010)
Tepi daun, diamati pada seluruh daun saat tanaman berumur 5 minggu
setelah tanam.
Warna daun, diamati saat tanaman berumur 5 minggu setelah tanam.
Rambut daun, diamati pada seluruh daun saat tanaman berumur 5 minggu
setelah tanam.
Pewarnaan antosianin pada pangkal daun, diamati saat tanaman sudah
mempunyai tujuh daun yang terbuka sempurna mengacu pada deskriptor
Foxtail millet UPOV (2010). Pewarnaan antosianin pada pangkal daun
terdiri atas tiga kategori, yaitu tidak ada atau lemah, sedang, dan kuat
(Gambar 4).
Gambar 4 Pewarnaan antosianin pada pangkal daun hotong (UPOV 2010)
10
6. Pewarnaan antosianin pada pangkal batang, diamati saat tanaman sudah
mempunyai tujuh daun yang terbuka sempurna mengacu pada deskriptor
Foxtail millet UPOV (2010). Pewarnaan antosianin pada pangkal batang
terdiri atas tiga kategori, yaitu tidak ada atau lemah, sedang, dan kuat
(Gambar 5).
Gambar 5 Pewarnaan antosianin pada pangkal batang hotong (UPOV 2010)
7. Tipe pertumbuhan anakan, diamati saat tanaman sudah mempunyai anakan
hingga panen mengacu pada deskriptor Foxtail millet UPOV (2010). Tipe
pertumbuhan anakan terdiri atas tiga kategori, yaitu hampir tegak, semi
tegak, dan menyebar (Gambar 6).
Gambar 6 Tipe pertumbuhan anakan hotong (UPOV 2010)
8. Arah daun, diamati pada saat tanaman memiliki tujuh daun yang telah
membuka sempurna mengacu pada deskriptor Foxtail millet UPOV (2010).
Arah daun terdiri atas lima kategori, yaitu tegak, sangat tegak, semi tegak,
horizontal, dan terkulai (Gambar 7).
11
Gambar 7 Arah daun hotong (UPOV 2010)
9. Panjang rambut malai, diamati saat malai sudah dipanen mengacu pada
deskriptor Foxtail millet UPOV (2010). Panjang rambut malai terdiri atas
tiga kategori, yaitu sangat pendek, sedang, dan sangat panjang (Gambar 8).
Gambar 8 Panjang rambut malai hotong (UPOV 2010)
10. Arah malai, diamati saat malai 90% terisi dan berwarna cokelat mengacu
pada deskriptor Foxtail millet UPOV (2010). Arah malai terdiri atas empat
kategori, yaitu tegak, semi tegak, horizontal, dan cukup terkulai (Gambar 9).
Gambar 9 Arah malai hotong (UPOV 2010)
12
11. Bentuk malai utama, diamati saat malai sudah dipanen mengacu pada
deskriptor Foxtail millet UPOV (2010). Bentuk malai utama terdiri atas
tujuh kategori, yaitu kerucut, poros, silinder, stik, mulut bebek, kaki kucing,
dan bercabang (Gambar 10).
Gambar 10 Bentuk malai utama hotong (UPOV 2010)
12. Bentuk biji, diamati saat biji hotong sudah dirontokkan dari malai mengacu
pada deskriptor Foxtail millet UPOV (2010). Bentuk biji terdiri atas tiga
kategori, yaitu bulat, bulat telur sedang, dan bulat telur panjang (Gambar
11).
Gambar 11 Bentuk biji hotong (UPOV 2010)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca Cikabayan pada luasan ±50 m2
yang berada pada ketinggian ±240 m dpl. Media tanam yang digunakan adalah
tanah dan pasir dengan perbandingan 1 : 1 sehingga tekstur medianya liat berpasir
dengan pH antara 6.3 – 7.1 dan EC (electrical conductivity) antara 2 – 3.3 mmhos
cm-1 yang tergolong normal untuk pertumbuhan tanaman. Suhu rata-rata harian di
13
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
35
30
Suhu (ºc)
25
20
15
10
5
0
Kelembapan (%)
dalam rumah kaca adalah 29.460 C. Menurut Krishna (2013), hotong dapat tumbuh
pada suhu antara 220 – 360 C. Peningkatan suhu terjadi mulai dari minggu ke-1
bulan Februari hingga minggu ke-3 bulan Juni. Suhu tertinggi pada rumah kaca
terjadi pada minggu ke-3 bulan Juni yaitu sebesar 33 ºC (Gambar 12). Suhu di
rumah kaca menunjukkan suhu yang sudah optimal untuk pertumbuhan hotong.
Kelembapan rata-rata harian didalam rumah kaca adalah 66.73%. Kelembapan ratarata harian pada rumah kaca mengalami penurunan dari minggu ke-1 bulan Februari
hingga minggu ke-3 bulan Juni. Kelembapan rata-rata tertinggi terjadi pada minggu
ke-2 bulan Februari, yaitu sebesar 74%.
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3
Juni
April
Mei
Maret
Februari
suhu
kelembapan
Gambar 12 Suhu dan Kelembapan di Rumah kaca pada 1 – 19 MST
Waktu tanam hotong pada tanggal 27 Januari 2015
Rumah kaca banyak ditumbuhi gulma dan banyak terdapat jangkrik serta
lipan pada awal percobaan dikarenakan atap rumah kaca yang kotor sehingga
kelembapan di dalam rumah kaca cukup tinggi (70%). Gulma-gulma yang tumbuh
dibersihkan secara manual. Serangan hama belalang yang memakan daun dan
batang terjadi saat tanaman berumur 9 MST dan saat tanaman sudah bermalai
terdapat serangan hama tungau (Tetranycus sp.) dan malai terkena sarang laba-laba.
Hama-hama tersebut dikendalikan dengan menggunakan Deltamethrin 25 g L-1 dan
larutan surfaktan. Larutan surfaktan tidak mampu mengendalikan hama tungau
(Tetranycus sp.) dan sarang laba-laba yang ada pada malai sehingga hama tersebut
dikendalikan secara manual. Gulma juga banyak tumbuh di dalam pot sehingga
harus dilakukan pengendalian secara manual setiap minggunya. Gulma yang
tumbuh di dalam pot adalah gulma golongan daun lebar, paku-pakuan, rumput, dan
lumut. Nama gulma yang tumbuh antara lain Euphorbia hirta, Marsilea crenata,
dan lumut.
14
Pertumbuhan dan Produksi Sepuluh Aksesi Hotong di Rumah Kaca
Tinggi tanaman (cm)
Laju pertumbuhan vegetatif aksesi hotong bervariasi. Berdasarkan laju
pertambahan tinggi tanaman ICERI 2 dan ICERI 10 tumbuh cepat hingga 10 MST,
sedangkan ICERI 1, ICERI 5 dan ICERI 7 mengalami pertumbuhan cepat mulai 3
MST hingga 9 MST. Grafik pertumbuhan aksesi ICERI 4, ICERI 6, dan ICERI 9
mengalami penurunan pertumbuhan dikarenakan batang tanaman patah diduga
terkena serangan hama belalang. Aksesi ICERI 8 mengalami pertumbuhan cepat
hingga 11 MST, sedangkan ICERI 3 pertumbuhan tanamannya cenderung stabil
hingga 15 MST (Gambar 13).
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
3
ICERI 1
ICERI 6
4
5
6
7
8
9 10 11 12
Minggu Setelah Tanam (MST)
ICERI 2
ICERI 7
ICERI 3
ICERI 8
ICERI 4
ICERI 9
13
14
15
ICERI 5
ICERI 10
Gambar 13 Laju pertumbuhan sepuluh aksesi hotong berdasarkan tinggi tanaman
Sejumlah aksesi memiliki tinggi tanaman > 170 cm pada saat muncul malai,
yaitu aksesi ICERI 2, ICERI 3, ICERI 8, dan ICERI 10, sedangkan tinggi tanaman
aksesi lainnya hanya mencapai < 125 cm (Tabel 1). Selain memiliki habitus
tanaman yang tinggi, aksesi ICERI 3 juga memiliki diameter batang terbesar dan
jumlah daun terbanyak. Aksesi ICERI 2, ICERI 8 dan ICERI 10 memiliki diameter
batang yang lebih kecil dibandingkan aksesi ICERI 3 sehingga ketiga aksesi
tersebut memiliki habitus batang yang kecil. Berdasarkan tinggi tanaman, diameter
batang, jumlah daun dan jumlah anakan, aksesi ICERI 3 merupakan aksesi dengan
habitus tanaman terbesar, sedangkan ICERI 7 merupakan aksesi dengan habitus
tanaman terkecil.
Rasio tinggi tanaman dan diameter batang dapat menentukan tingkat
kerebahan tanaman. Nilai rasio tinggi tanaman dan diameter batang yang tinggi
mengindikasikan bahwa tanaman akan semakin mudah rebah, sebaliknya nilai rasio
tinggi tanaman dan diameter batang yang rendah mengindikasikan bahwa tanaman
tidak mudah rebah. Aksesi ICERI 2 memiliki nilai rasio tinggi tanaman dan
diameter batang tertinggi (397.33) mengindikasikan bahwa aksesi ICERI 2
tanamannya mudah rebah. Aksesi ICERI 3 memiliki rasio tinggi tanaman dan
15
diameter batang terendah (213.96) mengindikasikan bahwa tanaman ICERI 3 tidak
mudah rebah. Hasil dari rasio tinggi tanaman dan diameter batang belum dapat
dijadikan sebagai acuan dikarenakan pengukuran diameter batang dilakukan pada
buku ke-3. Pengukuran diameter batang untuk menduga kerebahan tanaman
sebaiknya dilakukan pada ruas batang ketiga. Penggunaan ajir sepanjang 150 cm
dilakukan pada semua tanaman untuk menghindari tanaman rebah.
Panjang dan lebar daun bendera sepuluh aksesi hotong sangat beragam.
Aksesi ICERI 10 adalah aksesi yang memiliki panjang daun bendera tertinggi
sedangkan aksesi ICERI 4 memiliki panjang daun bendera terendah. Lebar daun
bendera tertinggi dimiliki oleh ICERI 8, sedangkan lebar daun bendera terendah
dimiliki oleh ICERI 1. Panjang dan lebar daun menentukan bentuk daun tanaman
hotong yang ditunjukkan dengan rasionya. Aksesi ICERI 10 memiliki bentuk daun
panjang dengan rasio panjang/lebar daun bendera tertinggi, sedangkan aksesi
ICERI 4 memiliki bentuk daun cenderung pendek dengan rasio panjang/ lebar daun
bendera terkecil.
Tabel 1 Tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, jumlah anakan, panjang
daun bendera, lebar daun bendera, dan rasio panjang/lebar daun bendera
sepuluh aksesi hotong.
Aksesi
Tinggi
tanaman
(cm)
Diameter
batang
(mm)
ICERI 1
ICERI 2
ICERI 3
ICERI 4
ICERI 5
ICERI 6
ICERI 7
ICERI 8
ICERI 9
ICERI 10
100.55b
177.08a
172.80a
108.16b
113.48b
124.12b
107.00b
184.82a
106.52b
194.20a
4.02cd
4.47cd
8.13a
4.09cd
4.17cd
4.43cd
3.03d
6.61b
3.75cd
5.25bc
Rasio
tinggi
tanaman/
diameter
batang
254.74d
397.33a
213.96d
269.45cd
275.86cd
282.31bcd
359.34abc
300.49bcd
287.36bcd
372.95ab
Jumlah
daun1
Jumlah
anakan1
Panjang
daun
bendera
(cm)
Lebar
daun
bendera
(cm)
14.0abc
13.3abc
20.9a
9.7abc
10.5abc
7.9bc
6.4c
12.1abc
9.5abc
19.4ab
3.8a
2.4abc
0.9abc
1.5abc
1.5abc
0.6bc
0.3c
0.7bc
0.9abc
3.2ab
34.05cd
40.10bc
38.54bc
24.06e
37.46bc
37.76bc
27.00de
43.20b
24.66e
51.44a
1.67c
2.70b
2.28bc
2.12bc
2.42b
2.54b
2.26bc
3.30a
2.08bc
2.34b
Rasio
panjang
/lebar
daun
bendera
20.34a
14.87bc
16.99b
11.19d
15.46b
14.85bc
11.92d
13.27cd
11.93d
22.08a
Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata berdasarkan DMRT pada α < 5%; 1data ditransformasi dengan rumus
(x + 0.5)1/2; tinggi tanaman, diameter batang, dan jumlah daun diamati saat muncul
malai utama; jumlah anakan diamati pada saat akan panen; panjang dan lebar daun
bendera diamati saat daun bendera sudah terbuka sempurna.
Umur berbunga kesepuluh aksesi hotong bervariasi (Tabel 2). Aksesi
dengan umur berbunga tercepat (43.25 hari) adalah ICERI 1. Aksesi dengan umur
berbunga terlama adalah ICERI 3, yaitu pada saat tanaman berumur 95.40 hari.
Umur berbunga kesepuluh aksesi berkisar antara 43 – 96 hari. Periode pengisian
biji kesepuluh aksesi hotong bervariasi. Aksesi dengan periode pengisian biji
terlama (71.20 hari) adalah ICERI 2. Aksesi dengan periode pengisian biji tercepat
adalah ICERI 7, yaitu selama 41.20 hari. Periode pengisian biji kesepuluh aksesi
hotong berkisar antara 41 – 72 hari. Periode pengisian biji sepuluh aksesi hotong
pada penelitian ini diduga lebih singkat dari yang tertera pada Tabel 2. Periode
pengisian biji merupakan selisih antara waktu panen dengan umur berbunga. Akan
tetapi, kriteria waktu berbunga pada penelitian ini adalah munculnya sebagian
bunga, sehingga bunga masih memerlukan waktu untuk memunculkan bunga
16
dengan sempurna sebelum proses pengisian biji dapat dimulai. Umur panen
kesepuluh aksesi hotong bervariasi. Aksesi yang memiliki umur panen tercepat
adalah aksesi ICERI 7 (96.60 hari), sedangkan aksesi yang memiliki umur panen
terlama adalah aksesi ICERI 3 (162.20 hari). Umur panen kesepuluh aksesi hotong
berkisar antara 96 – 163 hari.
Tabel 2 Waktu muncul malai, periode pengisian biji, dan waktu panen sepuluh
aksesi hotong.
Aksesi
ICERI 1
ICERI 2
ICERI 3
ICERI 4
ICERI 5
ICERI 6
ICERI 7
ICERI 8
ICERI 9
ICERI 10
Umur berbunga
(hari setelah tanam)
43.25e
67.80bc
95.40a
61.20cd
54.00de
56.00cd
55.40cd
74.80b
57.80cd
64.20bcd
Periode pengisian biji
(hari)
61.50abc
71.20a
66.80ab
46.00bc
55.00abc
48.20abc
41.20c
46.80abc
42.40bc
51.00abc
Umur panen
(hari setelah tanam)
104.50c
139.00ab
162.20a
107.20bc
109.00bc
104.20c
96.60c
121.60bc
100.20c
115.20bc
Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata berdasarkan DMRT pada α < 5%; Periode pengisian biji merupakan
selisih antara umur panen dengan umur berbunga.
Sejumlah aksesi memiliki panjang malai utama > 18 cm, yaitu aksesi ICERI
2, ICERI 3, dan ICERI 8, sedangkan aksesi lainnya memiliki panjang malai utama
< 11 cm (Tabel 3). Aksesi yang memiliki jumlah malai per tanaman > 5 adalah
aksesi ICERI 10, sedangkan kesembilan aksesi yang lainnya memiliki jumlah malai
per tanaman < 5. Aksesi yang memiliki bobot malai utama > 5 g adalah aksesi
ICERI 2, ICERI 3, dan ICERI 8, sedangkan aksesi lainnya memiliki bobot malai
utama < 3 g. ICERI 3 memiliki bobot malai per tanaman, bobot basah brangkasan,
dan bobot kering brangkasan tertinggi, sedangkan ICERI 7 memiliki bobot malai
per tanaman dan bobot kering brangkasan terendah. Aksesi yang memiliki bobot
biji malai utama tertinggi adalah ICERI 2 (4.29 g), sedangkan aksesi yang memiliki
bobot biji malai utama terendah adalah ICERI 10 (1.44 g) (Tabel 3).
Berdasarkan laju pertumbuhan pada gambar 13, ICERI 3 merupakan aksesi
yang memiliki masa vegetatif paling lama menyebabkan habitus tanaman tersebut
besar dan memiliki produktivitas yang cukup tinggi. Hasil penelitian Ulaganathan
dan Nirmalakumari (2015) menyatakan bahwa fase vegetatif adalah fase penting
dan krusial untuk proses fisiologi yang menentukan hasil dan atribut fisiologi
lainnya dalam memberikan kontribusi untuk perkembangan tanaman. Tingginya
produktivitas ICERI 3 disebabkan karena ukuran malai utama besar dan
menghasilkan biji yang banyak, akan tetapi ukuran bijinya kecil yang ditunjukkan
oleh bobot 100 biji yang rendah (Tabel 4). Aksesi ICERI 4, ICERI 5, ICERI 6,
ICERI 7 dan ICERI 9 memiliki masa vegetatif yang singkat sehingga diduga
menyebabkan habitus tanaman kecil dan produktivitasnya rendah. Rendahnya
produktivitas aksesi ICERI 4, ICERI 5, ICERI 6, ICERI 7 dan ICERI 9 dikarenakan
ukuran malai utama yang kecil dan biji malainya mudah rontok namun ukuran
bijinya tergolong besar yang ditunjukkan oleh bobot 100 biji yang tinggi (> 0.2 g)
(Tabel 4). Hasil penelitian Nurshanti (2008) melaporkan bahwa bobot 100 biji
17
tertinggi yang diperoleh pada penelitian menggunakan aksesi hotong dari Pulau
Buru adalah 0.10 g. Bobot 100 biji pada penelitian ini mencapai 0.28 g yang
dimiliki oleh ICERI 5, sedangkan aksesi yang mempunyai bobot 100 biji terendah
mencapai 0.09 g dimiliki oleh ICERI 9.
Produktivitas hotong juga dapat dilihat dari tingginya bobot malai per
tanaman. Hasil penelitian Fitria (2007) melaporkan bahwa bobot malai per rumpun
hotong tertinggi pada penelitian menggunakan aksesi hotong dari Pulau Buru
adalah 8.54 g. Bobot malai per tanaman aksesi ICERI 3 pada penelitian ini
mencapai 9.04 g.
Tabel 3 Karakter kuantitatif fase generatif sepuluh aksesi hotong
Aksesi
Panjang
malai
utama
(cm) 1
Jumlah
malai per
tanaman1
Bobot
malai
utama
(g) 1
ICERI 1
ICERI 2
ICERI 3
ICERI 4
ICERI 5
ICERI 6
ICERI 7
ICERI 8
ICERI 9
ICERI 10
10.19bcd
20.68a
21.23a
5.36d
12.17abcd
13.48ab
5.94cd
18.29ab
5.46d
12.74abc
4.00ab
4.00ab
2.00b
1.80b
3.80ab
2.40ab
1.20b
2.80ab
1.60b
6.80a
1.73c
5.27ab
5.37ab
2.62bc
2.73abc
2.84abc
2.55bc
5.57a
2.65bc
2.82abc
Keterangan
Bobot
malai
per
tanaman
(g) 1
4.22bc
7.49ab
9.04a
3.43c
4.37bc
3.51c
2.78c
7.34ab
3.32c
6.24abc
Bobot
biji
malai
utama
(g) 1
1.44c
4.62a
3.44abc
1.89c
2.19bc
2.01c
2.07c
4.30ab
2.03bc
2.27c
Bobot
basah
brangkasan
(g)
Bobot
kering
brangkasan
(g)
8.23bcd
11.83bcd
37.10a
5.26d
9.82bcd
10.04bcd
7.56cd
18.14bc
8.18bcd
19.42b
3.58cde
6.15bcd
16.97a
2.79de
3.94bcde
3.54cde
2.02e
8.02b
2.70de
6.99bc
: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada α < 5%; 1data ditransformasi dengan
rumus (x+0.5)1/2.
Variabilitas antar aksesi juga terdapat pada karakter biji, yaitu panjang,
diameter, rasio panjang / diameter biji, dan warna biji (Tabel 4). Aksesi ICERI 5
memiliki panjang biji tertinggi, sedangkan aksesi ICERI 10 memiliki panjang biji
terendah. Aksesi ICERI 6 memiliki diameter biji tertinggi, sedangkan aksesi ICERI
3 memiliki diameter biji terendah. Rasio panjang / diameter biji yang tinggi
menunjukkan bentuk biji yang lonjong, sedangkan rasio panjang / diameter biji
yang rendah menunjukkan bentuk biji yang bulat. Aksesi yang memiliki rasio
panjang / diameter biji > 1.50 mm, yaitu aksesi ICERI 1, ICERI 5, dan ICERI 6,
sedangkan aksesi lainnya memiliki rasio panjang / diameter biji < 1.50 mm. Aksesiaksesi yang memiliki rasio panjang / diameter biji > 1.50 mm merupakan aksesi
yang mempunyai bentuk biji yang lonjong. Aksesi yang memiliki rasio panjang /
diameter biji < 1.5 mm merupakan aksesi yang memiliki bentuk biji pendek atau
bulat. Aksesi ICERI 2 merupakan satu-satunya aksesi dengan warna biji hitam,
sedangkan kesembilan aksesi lainnya memiliki warna biji kuning.
18
Tabel 4 Bobot 100 butir, panjang biji, diameter biji, rasio panjang/lebar biji dan
warna biji sepuluh aksesi hotong
Aksesi
Bobot 100
butir (g) 1
Panjang biji
(mm)
Diameter biji
(mm)
ICERI 1
ICERI 2
ICERI 3
ICERI 4
ICERI 5
ICERI 6
ICERI 7
ICERI 8
ICERI 9
ICERI 10
0.19cde
0.15ef
0.13fg
0.23abc
0.28a
0.27ab
0.22abcd
0.17def
0.21bcd
0.09g
0.74ab
0.68abc
0.59cd
0.71ab
0.76a
0.70ab
0.69ab
0.64bcd
0.73ab
0.58d
1.15b
0.92d
0.73f
0.99c
1.18ab
1.22a
1.04c
0.85e
1.02c
0.75f
Rasio
Panjang /
lebar biji
1.69a
1.35b
1.25b
1.39b
1.54ab
1.75a
1.50ab
1.34b
1.40b
1.29b
Warna biji
Kuning
Hitam
Kuning
Kuning
Kuning
Kuning
Kuning
Kuning
Kuning
Kuning
Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata berdasarkan DMRT pada α < 5%; 1data ditransformasi dengan rumus
(x+0.5)1/2.
Karakterisasi Morfologi Sepuluh Aksesi Hotong di Rumah Kaca
Hasil pengamatan karakter kualitatif tajuk dan malai hotong menunjukkan
perbedaan keragaan tanaman dan malai. Berdasarkan data pada tabel 5, karakter
daun hotong adalah ujung daun berbentuk runcing, tepi daun rata, rambut daun
pendek, dan berwarna hijau. Aksesi hotong yang memiliki pewarnaan antosianin
pada pangkal daun sedang adalah ICERI 3, sedangkan aksesi ICERI 1, ICERI 2,
ICERI 4, ICERI 5, ICERI 6, ICERI 7, ICERI 8, ICERI 9, dan ICERI 10 tidak
memiliki pewarnaan antosianin pada pangkal daun (Gambar 14). Pengamatan
pewarnaan antosianin pada pangkal batang terdapat 3 tipe yaitu tidak ada atau
lemah (ICERI 1, ICERI 2, ICERI 5, ICERI 6, ICERI 8, dan ICERI 10), sedang
(ICERI 3, ICERI 4, dan ICERI 9), dan kuat (ICERI 7) (Gambar 15). Tipe
pertumbuhan anakan terdiri atas 3 kategori, yaitu hampir tegak (ICERI 1, ICERI 5,
ICERI 6, ICERI 7, ICERI 9, dan ICERI 10), semi tegak (ICERI 2, ICERI 4, dan
ICERI 8), dan menyebar (ICERI 3) (Gambar 16). Arah malai semua aksesi hotong
adalah cukup terkulai (Gambar 17). Arah daun semua aksesi hotong adalah
horizontal (Gambar 18). Panjang rambut malai hotong terdiri atas 3 kategori utama,
yaitu sangat panjang (ICERI 1), sedang (ICERI 5, ICERI 6, ICERI 8, dan ICERI
10), sangat pendek (ICERI 2, ICERI 3, ICERI 4, ICERI 7, dan ICERI 9) (Gambar
19). Bentuk malai sepuluh aksesi hotong terdiri atas 3 kategori utama, yaitu silinder
(ICERI 1), kerucut (ICERI 2, ICERI 4, ICERI 5, ICERI 6, ICERI 7, ICERI 8, ICERI
9, dan ICERI 10), dan kaki kucing (ICERI 3) (Gambar 20). Bentuk biji hotong
terdiri atas 3 kategori utama, yaitu bulat telur panjang (ICERI 1, ICERI 5, dan
ICERI 6), bulat telur sedang (ICERI 4, ICERI 7, ICERI 9, dan ICERI 10), dan bulat
(ICERI 2, ICERI 3, dan ICERI 8) (Gambar 21).
19
Tabel 5 Karakter kualitatif sepuluh aksesi hotong (Setaria italica (L) Beauv)
Aksesi
ICERI 1
BUDP
Runcing
TD
Rata
RD
Sedikit
WAPD
Tidak ada
atau lemah
Tidak ada
atau lemah
Sedang
WAPB
Tidak ada
atau lemah
Tidak ada
atau lemah
Sedang
TPA
Hampir
tegak
Semi tegak
AD
Horizontal
WD
Hijau
PRM
Sangat
panjang
Sangat
pendek
Sangat
pendek
Sangat
pendek
Sedang
AM
BM
BB
Cukup
Silinder
Bulat telur
terkulai
panjang
ICERI 2
Runcing Rata Sedikit
Horizontal Hijau
Cukup
Kerucut
Bulat
terkulai
ICERI 3
Runcing Rata Sedikit
Menyebar
Horizontal Hijau
Cukup
Kaki
Bulat
terkulai
kucing
ICERI 4
Runcing Rata Sedikit Tidak ada
Sedang
Semi tegak Horizontal Hijau
Cukup
Kerucut
Bulat telur
atau lemah
terkulai
sedang
ICERI 5
Runcing Rata Sedikit Tidak ada
Tidak ad