Formulasi Sagon dari Tepung Komposit Berbasis Sukun (Arthocarpus altilis) sebagai Alternatif Pangan Darurat untuk Anak

FORMULASI SAGON DARI TEPUNG KOMPOSIT BERBASIS
SUKUN (Arthocarpus altilis) SEBAGAI ALTERNATIF PANGAN
DARURAT UNTUK ANAK

WIWI FEBRIANI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Formulasi Sagon dari
Tepung Komposit Berbasis Sukun (Arthocarpus altilis) sebagai Alternatif Pangan
Darurat untuk Anak adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2013
Wiwi Febriani
NIM I14090125

ABSTRAK
WIWI FEBRIANI. Formulasi Sagon dari Tepung Komposit Berbasis Sukun
(Arthocarpus altilis) sebagai Alternatif Pangan Darurat untuk Anak. Dibimbing
oleh AHMAD SULAEMAN.
Anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan kekurangan gizi pasca
bencana alam. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan produk sagon dari
tepung komposit berbasis sukun (Arthocarpus altilis) sebagai alternatif pangan
darurat untuk anak. Produk pangan darurat dikembangkan dari makanan
tradisional Indonesia dengan peningkatan kandungan protein dan mineral.
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak
lengkap dengan faktor berupa jenis formula. Hasil menunjukkan bahwa jenis
formula tidak berpengaruh nyata pada sifat organoleptik maupun sifat kimia
produk (p>0.05). Kandungan air dan lemak produk cukup rendah sehingga dapat
memperpanjang masa simpan produk. Sagon dapat dikatakan sebagai makanan

tinggi energi, Ca, Fe, Zn, serat pangan, serta sebagai sumber protein. Kebutuhan
gizi anak pada selingan dapat terpenuhi dengan mengonsumsi 2.5—5 sachet per
hari. Produk sagon dapat diterima dengan persen penerimaan sebesar 86%.
Kata kunci: pangan darurat, pangan lokal, sagon, sukun, tepung komposit

ABSTRACT
WIWI FEBRIANI. Sagon formulation of composite flour based on breadfruit
(Arthocarpus Altilis) as an alternative of emergency food for children. Supervised
by AHMAD SULAEMAN.
Children are the most vulnerable to malnutrition after natural disasters .
The purpose of this research was to develop sagon product based on composite
flour of breadfruit (Arthocarpus altilis) as an alternative to emergency food for
children. Emergency food product was developed from Indonesia traditional food
with increased protein and minerals content. The design used in this study was a
complete randomized design with factors such as the types of formula. The results
showed that the types of formula were not significantly affect in the organoleptic
properties and chemical properties of the product (p>0.05). Water and fat content
of the product is low enough so that it can extend the shelf life of the product.
Sagon can be considered as a high-energy food, Ca, Fe, Zn, dietary fiber as well
as a source of protein. Nutritional need of child at snack time can be met by

consuming 2.5—5 sachets per day. Sagon product is acceptable with acceptance
rate of 86%.
Key words: breadfruit, composite flour, emergency food, local food, sagon

FORMULASI SAGON DARI TEPUNG KOMPOSIT
BERBASIS SUKUN (Arthocarpus altilis) SEBAGAI
ALTERNATIF PANGAN DARURAT UNTUK ANAK

WIWI FEBRIANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2013

Judul Skripsi: Formulasi Sagon dari Tepung Komposit Berbasis Sukun
(Arthocarpus altiUs) sebagai AltematifPangan Darurat untuk Anak
: Wiwi Febriani
Nama
: 114090125
NIM

Disetujui oleh

Prof Ir Ahmad Sulaeman, MS PhD
Pembimbing

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

1 2 DEC 20n


Judul Skripsi : Formulasi Sagon dari Tepung Komposit Berbasis Sukun
(Arthocarpus altilis) sebagai Alternatif Pangan Darurat untuk Anak
Nama
: Wiwi Febriani
NIM
: I14090125

Disetujui oleh

Prof Ir Ahmad Sulaeman, MS PhD
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Rimbawan
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat
dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei—Oktober 2013 ini
ialah pangan darurat, dengan judul Formulasi Sagon dari Tepung Komposit
Berbasis Sukun (Arthocarpus altilis) sebagai Alternatif Pangan Darurat untuk
Anak.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Ir Ahmad Sulaeman,
MS PhD selaku dosen pembimbing, serta Ibu Dr Ir ikeu Ekayanti, MS PhD yang
telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada Pak Mashudi, Ibu Lilik Kustiyah, Ibu Titi Riani, Agustino, Sona Putra
Rahadian, Dewi Pratiwi Ambari, Fauzah Atsaniyah, dan teman-teman lainnya
yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah banyak memberikan masukan
bermanfaat bagi penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
ayah, ibu, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2013
Wiwi Febriani

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

9

Latar Belakang

9


Tujuan Penelitian

3

Manfaat Penelitian

3

METODE

3

Waktu dan Tempat

3

Bahan

4


Alat

4

Prosedur Penelitian

4

Rancangan Percobaan

8

Pengolahan dan Analisis Data

9

HASIL DAN PEMBAHASAN
Formulasi Sagon

9

9

Sifat Organoleptik Sagon

12

Sifat Fisik Sagon

18

Sifat Kimia Sagon

20

Formula Terpilih

27

Kontribusi Zat Gizi Sagon


27

SIMPULAN DAN SARAN

29

Simpulan

29

Saran

30

DAFTAR PUSTAKA

30

LAMPIRAN

13

RIWAYAT HIDUP

15

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Formula sagon per 100 g
Formula dasar sagon bubuk
Karakterisitik fisik sagon
Hasil analisis kandungan gizi produk sagon
Kandungan zat gizi sagon per sajian dan klaim zat gizi
Batas maksimal konsumsi sagon berdasarkan jenis mineral

7
9
18
20
28
28

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir pembuatan tepung sukun, tepung kacang hijau, dan
tepung beras
2 Diagram alir tahapan penelitian
3 Persentase penerimaan produk sagon
4 Penerimaan panelis terhadap atribut keseluruhan produk sagon

5
6
13
17

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Perhitungan formulasi sagon
Formulir uji hedonik
Formulir uji mutu hedonik
Interpretasi skala pada atribut mutu hedonik
Interpretasi skala pada atribut hedoniK
Uji hedonik sagon sukun
Uji mutu hedonik sagon sukun multigizi
Tingkat penerimaan panelis terhadap atribut uji hedonik sagon sukun
multigizi
Prosedur analisis sifat fisik produk
Prosedur analisis sifat kimia produk
Hasil analisis statistik uji organoleptik hedonik
Hasil analisis statistik uji organoleptik mutu hedonik
Hasil analisis statistik karakteristik fisik sagon
Hasil analisis statistik karakteristik kimia sagon
Kandungan gizi taburia per kemasan
Dokumentasi

35
37
39
41
42
42
43
43
44
44
48
49
50
50
52
52

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang rawan bencana (Arimastuti 2011).
Selama Januari 2013, BNPB mencatat 120 kejadian bencana terjadi di Indonesia.
Kejadian bencana tersebut menyebabkan 123 orang meninggal, 179 659 orang
menderita dan mengungsi. Sekitar 96% kejadian bencana masih didominasi oleh
bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, puting beliung,
gelombang pasang, banjir, dan tanah longsor. Selama Januari 2013 terdapat 36
kejadian banjir yang menyebabkan 58 orang meninggal dan 176 041 orang
menderita dan mengungsi (BNPB 2013).
Diantara korban bencana alam, anak-anak merupakan kelompok yang
paling rentan dibandingkan dengan orang dewasa. Keterbatasan kebutuhan dasar
pada kondisi pasca bencana alam seperti pangan, pelayanan kesehatan, dan
sanitasi mengakibatkan anak-anak mengalami kekurangan gizi dan penyakit
infeksi (KLA 2012). Sebanyak 60% anak-anak di dunia merupakan korban
bencana alam. Hal ini menjadi persoalan serius karena pada 10—20 tahun
mendatang dampak bencana akan memengaruhi fisik serta psikologi mereka (NGI
2012).
Bencana alam menyebabkan banyak orang mengungsi atau tinggal di
tempat-tempat darurat. Kejadian bencana alam menyebabkan rusaknya sarana dan
prasarana sosial di lokasi-lokasi bencana yang memutus akses korban terhadap
ketersediaan air bersih dan bahan bakar (api dan sumber energi) sehingga korban
mengalami kesulitan untuk memperoleh kebutuhan pangannya. Dalam kondisi ini
para korban bencana membutuhkan makanan yang bersifat siap makan atau lebih
dikenal sebagai pangan darurat (Syamsir 2010).
Pada umumnya pengembangan produk pangan darurat masih terfokus
pada kandungan gizi makro, yakni tinggi energi dan protein dengan kandungan
zat gizi mikro yang relatif lebih rendah (Sukmaningrum 2003; Setyaningtyas
2008; Sitanggang 2008; Ferawati 2009; Valentina 2009). Hal ini dimaksudkan
untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi makro lainnya pada para korban
bencana. Akan tetapi, kondisi darurat pasca bencana dapat bersifat jangka panjang
sehingga kekurangan zat gizi mikro (vitamin dan mineral) dapat berbahaya bagi
korban khususnya anak serta wanita hamil dan menyusui. Di samping itu,
pengembangan pangan darurat tinggi zat gizi mikro dapat dijadikan sebagai
makanan selingan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi mikro yang masih kurang
dari pangan darurat tinggi energi yang dikonsumsi sebagai makanan utama.
Defisiensi zat gizi mikro merupakan masalah gizi yang masih dihadapi
oleh negara-negara berkembang, salah satunya Indonesia. Menurut data WHO
(2006), Indonesia masih dihadapi dengan masalah prevalensi defisiensi zat besi
dan vitamin A yang tinggi. Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan masalah
gizi mikro dengan prevalensi tertinggi di dunia yang memengaruhi hampir semua
kelompok usia, jenis kelamin, dan fisiologis. Kelompok paling rentan terjadinya

2
ADB adalah anak usia pra sekolah, gadis remaja, ibu hamil dan menyusui (Akhtar
et al. 2013).
Selain itu, defisiensi seng merupakan masalah kesehatan umum yang
memengaruhi hampir setengah populasi di seluruh dunia yang diperkirakan 1—
13% populasi di Eropa dan 68—95% di Amerika Utara rendah asupan seng
(Akhtar et al. 2013). Anak-anak di Negara berkembang sangat rentan kekurangan
seng (Haider & Bhutta 2009). Masalah kekurangan asupan seng tidak hanya
terjadi pada anak, studi oleh Chandyo et al. (2009) menunjukkan bahwa hampir
satu per tiga populasi wanita sehat dalam penelitiannya mengalami defisiensi
seng.
Masalah zat mineral lainnya adalah kurangnya asupan kalsium terutama
pada anak. Penelitian yang dilakukan oleh Fikawati et al. (2005) menunjukkan
bahwa asupan kalsium remaja di Kota Bandung kurang dari angka kecukupan gizi
(AKG) yaitu hanya 55.9% AKG atau sebesar 559.05 mg/hr. Kekurangan asupan
kalsium merupakan faktor resiko terjadinya osteoporosis (Prihatini et al. 2010).
Hasil penelitian Harinarayan et al. (2007) menunjukkan bahwa asupan kalsium
harian baik di pedesaan maupun di perkotaan di Negara India masih rendah. Jika
dalam kondisi normal masalah defisiensi zat gizi mikro masih rentan, maka risiko
masalah ini tentunya akan semakin tinggi pada saat kondisi darurat (pasca
bencana).
Menurut Syamsir (2010), pembuatan produk pangan darurat dapat
dilakukan dengan menggunakan bahan baku lokal. Produk ini dapat dibuat dengan
melakukan reformulasi produk pangan yang ada dan disukai oleh masyarakat
sehingga komposisi gizinya mampu memenuhi kebutuhan energi harian.
Pembuatan produk pangan darurat siap santap dapat dilakukan dengan
menggunakan teknologi sederhana, sehingga mampu diproduksi oleh industri
lokal.
Sagon merupakan makanan tradisional Indonesia yang dapat dijadikan
sebagai pangan darurat dengan melakukan reformulasi (Syamsir 2010).
Pembuatan sagon yang aslinya berbahan baku tepung beras dapat disubstitusi
dengan sumber daya hayati lokal seperti sukun (Arthocarpus altilis). Sukun
memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi sehingga dapat menggantikan bahan
tepung beras. Berdasarkan penelitian Purba (2002), tepung sukun mengandung
karbohidrat yang cukup tinggi yaitu sebesar 77.8%, namun rendah akan protein
yaitu sebesar 4.6%. Selain karbohidrat, buah sukun juga kaya akan serat. Bila
dibandingkan dengan beras, buah sukun mengandung mineral dan vitamin yang
lebih lengkap seperti kalsium, zat besi, magnesium, kalium, natrium dan seng
serta vitamin B1, B2, B3,vitamin C dan beta karoten (Tindal 1965; Dignan et al.
2004; Koswara 2006).
Nilai protein dapat ditingkatkan dengan menambahkan sumber protein dari
kacang-kacangan, seperti kacang hijau (Phaseolus radiates Linn). Kacang hijau
memiliki kandungan protein yang cukup tinggi. Beberapa asam amino esensial
terdapat dalam jumlah yang tinggi. Kacang hijau tinggi akan kandungan asam
amino glutamat dan asam amino leusin. Di samping itu, kacang hijau umumnya
digunakan sebagai salah satu bahan pembuatan tepung komposit (Marzuki &
Suprapto 2005). Zat gizi mikro dapat ditambahkan menggunakan multivitamin
dan mineral (taburia) dengan harga yang relatif murah.

3
Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang pengembangan sagon dari tepung komposit berbasis tepung
sukun (Arthocarpus altilis) sebagai pangan darurat berbasis pangan lokal untuk
anak. Selain itu sagon merupakan makanan camilan yang praktis dan digemari
oleh anak-anak dan bernilai energi yang tinggi sehingga bisa digunakan untuk
bahan intervensi gizi.
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengembangkan formulasi
sagon dari tepung komposit berbasis sukun (Arthocarpus altilis) sebagai alternatif
pangan darurat untuk anak.
Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Menentukan formulasi sagon berbasis tepung sukun, kacang hijau, dan
beras dengan penambahan multivitamin mineral.
2. Mengetahui tingkat kesukaan terhadap sifat organoleptik sagon.
3. Menganalisis pengaruh jenis formula terhadap sifat fisik dan sifat kimia
pada tujuh formula sagon.
4. Menentukan formula terpilih dan takaran saji sagon sukun.
5. Menghitung kontribusi zat gizi produk sagon terhadap kebutuhan
selingan.
Manfaat Penelitian
Penelitian pengembangan formulasi sagon dari tepung komposit berbasis
sukun (Arthocarpus altilis) untuk pangan darurat anak ini diharapkan dapat
meningkatkan penggunaan bahan pangan lokal sebagai upaya diversifikasi
pangan. Selain itu produk ini juga dapat digunakan sebagai salah satu alternatif
pangan darurat pada kasus bencana alam khususnya pada anak-anak yang rentan
kekurangan gizi pasca bencana.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, yakni dari bulan Mei sampai
bulan Oktober 2013. Penelitian dilakukan di Laboratorium Percobaan Makanan,
Laboratorium Kimia dan Analisis Pangan, dan Laboratorium Uji Organoleptik,
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
(IPB).
Proses pembuatan tepung sukun, tepung kacang hijau, dan tepung beras
dilaksanakan di Pilot Plan, Seafast, Institut Pertanian Bogor. Uji organoleptik
dilakukan di Laboratorium Uji Organoleptik, Departemen Gizi Masyarakat,

4
Fakultas Ekologi Manusia, IPB. Analisis fisik dilakukan di Laboratorium Biokima
Gizi dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB. Analisis kimia
dilakukan di Laboratorium Kimia dan Analisis Pangan, Departemen Gizi
Masyarakat serta Laboratorium Terpadu, IPB. Penelitian ini merupakan penelitan
bagian dari penelitian utama yang berjudul ―Sagon Multigizi dari Tepung
Komposit Berbasis Sukun, Kacang Hijau, dan Beras, sebagai Alternatif Pangan
Darurat untuk Anak‖.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan sagon antara lain sukun
(Arthocarpus altilis), kacang hijau, beras, tepung susu skim, kelapa setengah tua,
multivitamin mineral, gula pasir halus, garam, dan gula. Buah sukun diperoleh
dari Kecamatan Dramaga, kacang hijau diperoleh dari toko Citra Usaha Dramaga,
tepung susu skim dan tepung beras diperoleh dari toko Grand Pasar Bogor, dan
multivitamin mineral diperoleh dari PT. Tiga Pilar Sejahtera yang dikeluarkan
oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) dengan komposisi
antara lain maltodextrin, vitamin C, zat besi (Fe), vitamin E, vitamin B3, Seng
(Zn), asam pantotenat, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B6, vitamin A, asam
folat, iodine vitamin D, selenium (Se), vitamin D3, dan vitamin B12. Bahanbahan yang digunakan dalam analisis kimia antara lain H2SO4, NaOH, air suling,
air bebas ion, HCl, HNO3, hexan, etanol, aseton, H3BO3, thermamyl, pepsin,
pankreatin, tripsin, kemotripsin, peptidase, NaH2PO4, Na2HPO4, asam oksalat,
ekstrak bile, dan NaHCO3.
Alat
Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan tepung adalah pisau, slicer,
loyang, cabinet dryer, boiler, disk mill. Alat yang digunakan dalam pembuatan
sagon terdiri dari wajan, sodet, kompor, pemarut kelapa, pisau, piring, plastik.
sealer, dan timbangan. Alat-alat yang digunakan untuk analisis antara lain
peralatan gelas (labu Kjeldahl, labu Soxhlet, kertas saring, pipet tetes, pipet
volumetrik, gelas ukur, tabung reaksi, gelas piala, labu takar, gelas shaker, labu
Erlenmeyer), oven, desikator, tanur, timbangan analitik, penjepit cawan, pinset,
cawan porselen, cawan alumunium, pemanas listrik (hot plate), alat whiteness test,
dan viskometer.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini secara umum dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu penelitian
pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan yang dilakukan
meliputi pembuatan tepung sukun, tepung kacang hijau, dan tepung beras sebagai
bahan baku pembuatan sagon. Penelitian utama dilakukan untuk mengetahui
formula yang tepat penggunaan tepung komposit (sukun, kacang hijau, dan beras)
sebagai bahan dasar pembuatan sagon. Setelah itu, dilakukan uji organoleptik
sagon untuk menentukan formula terpilih menurut tingkat kesukaan panelis, serta

5
analisis fisik dan kimia pada ketujuh formula sagon. Selanjutnya ditentukan
formula terpilih berdasarkan tingkat kesukaan panelis dengan pertimbangan
kandungan gizi. Bagian akhir dari penelitian ini adalah menghitung kontribusi
energi dan zat gizi sagon terhadap kebutuhan selingan pada anak usia 7—9 tahun.
Penelitian Pendahuluan
Pembuatan tepung sukun, tepung kacang hijau dan tepung beras dilakukan
dengan menggunakan metode pengeringan buatan (cabinet dryer). Diagram alir
pembuatan tepung sukun disajikan pada Gambar 1.
sukun tua

pengupasan pemisahan
antara daging buah dan
jantung buah

slicing

kacang hijau

direndam dengan air panas
(100oC) selama ±12 jam

disosoh hingga kulit terlepas

beras

dicuci dengan
air bersih

ditiriskan

pengeringan dengan cabinet dryer selama ± 5 jam, suhu 60 oC

digiling dengan disk meal dengan ayakan ukuran ayakan 60 mesh

tepung sukun, tepung kacang hijau, dan tepung beras
Gambar 1 Diagram alir pembuatan tepung sukun, tepung kacang hijau, dan tepung
beras
Penelitian Utama
Dasar formulasi produk ditentukan berdasarkan pemenuhan energi untuk
selingan pada anak usia sekolah usia 7—9 tahun. Penelitian di Indonesia pada
tahun 2009 menunjukkan bahwa asupan energi jajanan memberikan kontribusi
dalam pemenuhan kecukupan energi sebesar 10—20% dari total kebutuhan sehari
(Febriani & Margawati 2013). Sagon sebagai snack pangan darurat diharapkan
dapat memenuhi 10—20% total kebutuhan energi sehari anak usia 7—9 tahun
(1900 Kal) yaitu sebesar 190—380 Kal. Selain itu, produk juga diharapkan dapat
memenuhi klaim pangan tinggi energi. Menurut Tee et al. (2002), klaim pangan
tinggi energi (high energy) boleh digunakan apabila pangan tersebut dapat
memberikan ≥ 300 Kal per 100 g.
Protein dalam produk pangan darurat menyumbang 10—15% dari total
energi sehari atau sekitar 7.9 g per 50 g (Zoumas et al. 2002). Sedangkan untuk
dapat dikatakan sebagai sumber protein maka suatu produk harus mengandung
protein sebesar ≥20 % ALG per 100 g (dalam bentuk padat) (BPOM 2007, 2011).
Oleh karena itu, dalam formulasi digunakan pembatas protein 20% ALG untuk
kelompok umum (12 g protein per 100 g).
Suatu produk dapat diklaim tinggi mineral apabila kandungan mineral
>30% ALG per 100 g (BPOM 2007, 2011). Dengan demikian formula sagon
minimal harus mengandung 240 mg kalsium, 7.8 mg besi, dan 3.6 g seng. Mineral

6
produk diharapkan dapat memenuhi klaim dan Angka Kecukupan Gizi (AKG)
anak usia sekolah (7—9 tahun) yaitu 500 mg kalsium, 8 mg besi, dan 10 mg seng
per hari.
Menurut Widowati (2003), penggunaan tepung sukun sebagai bahan
pensubstitusi dalam pembuatan kue kering dan kue basah dapat mencapai 100%.
Dengan demikian, dalam pembuatan sagon bubuk, tingkat subtitusi dapat
mencapai 100%. Namun, dengan pertimbangan pemenuhan kebutuhan energi dan
protein produk maka dilakukan pembuatan tepung komposit (sukun, beras, dan
kacang hijau). Tepung sukun yang digunakan dalam formula sebesar 50% dari
total komposit. Hal ini dimaksudkan agar produk dapat dikatakan sebagai produk
pangan berbasis sukun.
Tepung sukun dipilih karena sukun dapat dijadikan sebagai pangan
alternatif yang dapat menutupi kekosongan produksi pangan konvensional (beras)
(Koswara 2006). Tepung kacang hijau dipilih karena kacang hijau merupakan
sumber protein nabati yang diharapkan dapat meningkatkan kandungan protein
sagon karena kandungan protein kacang hijau mentah yang cukup tinggi yaitu
27.5 g per 100 g (Mubarak 2005). Tepung beras dipilih karena pada dasarnya
sagon berbahan dasar tepung beras, sehingga komponen tepung beras digunakan
agar tidak menghilangkan ciri khas sagon. Selain itu kandungan asam amino beras
dapat melengkapi kandungan asam amino tepung kacang hijau yang digunakan
sehingga kualitas asam amino produk dapat ditingkatkan.
tepung sukun, tepung beras,
dan tepung kacang hijau

dikompositkan secara dry mix

disangrai di atas api kecil
selama ± 7 menit

disisihkan dan didinginkan

tepung komposit

kelapa parut

disangrai di atas api kecil hingga
berwarna cokelat muda

didinginkanDitambahkan
susu skim,

gula, garam,
kelapa sangrai
taburia

tepung komposit, kelapa sangrai, susu skim, gula, garam, dan taburia

dicampurkan secara dry mix

Sagon ―Sasagon‖

uji coba konsumsi

pengemasan
Gambar 2 Diagram alir tahapan penelitian

7
Faktor yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis formula (tepung
sukun: tepung kacang hijau: tepung beras) F1 (50:40:10), F2 (50:35:15), F3
(50:30:20), F4 (50:25:25), F5 (50:20:30), F6 (50:15:35), dan F7 (50:10:40).
Formula komposit ditetapkan berdasarkan perkiraan pemenuhan kandungan
energi dan protein produk. Formulasi sagon secara lengkap disajikan pada
Lampiran 1.
Pembuatan sagon bubuk dalam penelitian ini mengacu pada formulasi
sagon bubuk menurut Pusat Penelitian dan Pengambangan Teknologi Pangan
(Puslitbangtepa) tahun 1981. Produk sagon dalam penelitian ini dibuat dengan
melakukan reformulasi dengan menambahkan sumber protein dan multivitamin
mineral. Diagram alir tahapan penelitian disajikan pada Gambar 2.
Berikut merupakan tabel yang menunjukkan formula sagon sukun per 100
g sagon.

Bahan (g)
Tepung sukun
Tepung kacang
hijau
Tepung beras
Tepung susu
skim
Kelapa parut
Multivitamin
mineral
Gula
Garam
Total

Tabel 1 Formula sagon per 100 g
Formulasi
F1
F2
F3
F4
F5
19.53 19.53 19.53 19.53 19.53

F6
19.53

F7
19.53

15.62

13.67

11.72

9.76

7.81

5.86

3.91

3.91

5.86

7.81

9.76

11.72

13.67

15.62

29.29

29.29

29.29

29.29

29.29

29.29

29.29

14.64

14.64

14.64

14.64

14.64

14.64

14.64

0.90

0.90

0.90

0.90

0.90

0.90

0.90

15.36 15.36 15.36 15.36 15.36 15.36 15.36
0.75
0.75
0.75
0.75
0.75
0.75
0.75
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

Analisis sifat organoleptik
Uji organoleptik yang dilakukan pada sagon sukun multigizi terdiri atas
dua, yaitu uji hedonik dan uji mutu hedonik. Uji hedonik merupakan uji untuk
mengetahui tanggapan panelis mengenai kesukaan atau ketidaksukaan terhadap
produk sagon, sedangkan uji mutu hedonik merupakan uji untuk mengetahui
tanggapan panelis berdasarkan kesan baik atau buruk terhadap produk sagon.
Uji hedonik dan mutu hedonik produk sagon dilakukan dengan
menggunakan panelis semi terlatih sebanyak 50 orang yang merupakan
mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat, IPB. Panelis semi terlatih yang
digunakan merupakan panelis yang sering kali terlibat dalam penelitian skripsi
untuk uji organoleptik. Panelis ini sudah mendapatkan penjelasan secukupnya dan
didukung juga oleh mata kuliah mengenai uji organoleptik. Pengujian
organoleptik dilakukan dengan menyajikan tujuh sampel sagon pada piring
bersekat. Setiap piring diberikan kode berupa tiga angka acak yang mewakili jenis
formula.
Uji hedonik yang dilakukan meliputi warna, aroma, rasa, dan tekstur.
Skala hedonik yang digunakan adalah 1—9 yang mewakili tingkat kesukaan
panelis terhadap produk (amat sangat tidak suka—amat sangat suka). Uji hedonik

8
ini selanjutnya digunakan untuk menentukan penerimaan panelis terhadap produk.
Panelis dianggap menerima produk apabila nilai yang diberikan adalah lebih besar
dari 4.5. Menurut Peryam dalam IOM (2002), suatu produk tidak dapat diterima
apabila penilaian terhadap uji hedonik kurang dari 4.5. Formulir uji hedonik
disajikan dalam lampiran 2.
Formula terpilih ditentukan berdasarkan hasil uji hedonik, yaitu dengan
membuat proporsi penilaian untuk aspek keseluruhan. Proporsi untuk aspek
keseluruhan antara lain rasa 60%, tekstur 25%, aroma 10%, dan warna 5%.
Penentuan proporsi ini merupakan pertimbangan dari peneliti. Menurut IOM
(2002), rasa merupakan komponen sensori penting yang harus dipertimbangkan
dalam membuat produk pangan darurat. Hal ini menyebabkan persentase atribut
rasa dominan dalam penentuan aspek keseluruhan. Selain uji hedonik, formula
terpilih juga ditentukan berdasarkan pertimbangan kandungan gizi, khususnya
energi dan protein.
Uji mutu hedonik yang dilakukan pada penelitian ini meliputi warna,
aroma sukun, aroma kacang hijau, aroma obat, rasa sukun, rasa kacang hijau,
rasa manis, rasa asin, tekstur, dan after taste. Skala mutu hedonik yang
digunakan adalah 1–9 yang mewakili tanggapan panelis terhadap mutu produk.
Formulir uji mutu hedonik disajikan pada lampiran 3.
Analisis sifat fisik
Analisis sifat fisik yang dilakukan antara lain derajat putih (Whitenessmeter Kett Electric), viskositas produk (Rapid Visco Analizer), kelarutan (SNI 012891-1992), dan densitas kamba (Wirakartakusumah et al. 1992).
Analisis sifat kimia formula terpilih
Analisis sifat kimia yang dilakukan meliputi analisis kadar air (AOAC
1995), kadar abu metode gravimetri (AOAC 1995), kadar abu metode gravimetric
(AOAC 1995), kadar protein metode mikro Kjeldahl (AOAC 1995), kadar lemak
(AOAC 1995), kadar karbohidrat by difference (AOAC 1995), serat makanan
metode enzimatis, daya cerna protein secara in vitro (Fardiaz et al. 1992), kadar
Ca, Fe, dan Zn metode AAS (Apriyantono et al. 1989), dan daya cerna protein
(Hsu et al. 1977).
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan dari penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan dua kali pengulangan. Faktor yang digunakan adalah jenis
komposit dengan taraf yang terdiri atas formula 1, formula 2, formula 3, formula
4, formula 5, formula 6, dan formula 7. Formula sagon secara lengkap disajikan
dalam Tabel 8. Model matematis yang digunakan dalam rancangan percobaan
adalah sebagai berikut:
Yij = µ + Ti + Ɛij
Keterangan:
Yij = nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
i
= banyaknya taraf jenis formula (i=Formula 1, Formula 2, Formula
3, Formula 4, Formula 5, Formula 6, Formula 7)

9
j
µ
Ti
εij

= banyaknya ulangan (j=2)
= rataan umum
= Pengaruh jenis formula pada taraf ke-i
= pengaruh acak pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j
Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program Ms. Excel 2007
dan SPSS 16.0 for Windows. Data hasil uji organoleptik untuk menentukan
formula terpilih dianalisis secara deskriptif menggunakan nilai rata-rata dan
persentase penerimaan panelis terhadap formula sagon. Data organoleptik juga
dianalisis secara statistik dengan Analysis of Variance (ANOVA) untuk
mengetahui pengaruh jenis formula terhadap mutu hedonik dan hedonik panelis
terhadap produk. Apabila hasil ini menunjukkan perbedaan di antara perlakuan
maka dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Comparison Test (Setyaningsih et al.
2010).
Data uji daya terima produk ke sasaran dianalisis secara deskriptif
menggunakan nilai modus. Pengaruh jenis formula komposit terhadap sifat fisik
dan kimia produk dianalisis secara statistik dengan Analysis of Variance
(ANOVA). Perbedaan antara proporsi kacang hijau lebih besar dibandingkan beras
terhadap sifat fisik dan kimia dianalisis dengan uji beda Independent Samples tTest.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Formulasi Sagon
Produk sagon dalam penelitian ini merupakan makanan tradisional yang
dibuat dari bahan pangan lokal yaitu sukun (Arthocarpus altilis) sebagai alternatif
pangan darurat. Bahan digunakan dalam pembuatan sagon adalah tepung sukun,
tepung kacang hijau, tepung beras, susu skim, kelapa parut yang disangrai, gula
pasir, garam, dan taburia. Kandungan zat gizi bahan yang digunakan untuk
formulasi diperoleh dari Daftar Komposisi Bahan Makanan (2004).
Formula sagon yang digunakan sebagai dasar formulasi mengacu pada
formula sagon menurut Puslitbangtepa (1981). Formula dasar pembuatan sagon
bubuk disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Formula dasar sagon bubuk
Bahan
Berat (g)
Tepung beras
800
Kelapa
900
Gula
300
Garam
30
Sumber : Puslitbangtepa (1981)

10
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa formula sagon bubuk
merupakan makanan tradisional yang tinggi kandungan karbohidrat namun rendah
kandungan zat gizi lain. Hal ini dapat dilihat dari komponen utama penyusun
sagon adalah tepung beras yang merupakan sumber karbohidrat. Menurut Kaushal
et al. (2012), sebagian besar komponen penyusun tepung beras adalah karbohidrat
yaitu sebesar 78.44%. Sagon berbentuk bubuk dipilih karena makanan bubuk
lebih menarik dan digemari oleh anak-anak karena cara makannya yang khas.
Makanan berbasis pangan darurat perlu mempertimbangkan kandungan
energi dan protein produk. Oleh karena itu, dilakukan reformulasi terhadap
formula di atas dengan penggunaan bahan-bahan sumber protein. Reformulasi
produk sagon tidak hanya mempertimbangkan kandungan protein produk, tetapi
juga zat gizi mikro. Hal ini dikarenakan pada kondisi darurat anak sangat rentan
mengalami kekurangan zat gizi mikro. Bencana sering kali terjadi dalam waktu
yang lama, sehingga zat gizi mikro para korban bencana harus dapat terpenuhi
untuk mencegah dampak negatif yang dapat terjadi di masa mendatang.
Reformulasi produk sagon terdiri pembuatan tepung komposit berbasis
tepung sukun, tepung kacang hijau, dan tepung beras. Proporsi beras pada formula
dasar dibuat menjadi tepung komposit dengan tepung sukun sebagai bahan utama,
yaitu 50% dari total komposit. Menurut Widowati & Damardjati (2001),
pemanfaatan tepung sukun menjadi makanan olahan dapat mensubtitusi
penggunaan terigu sampai 50 hingga 100% tergantung jenis produknya. Tepung
sukun dipilih karena merupakan salah satu alternatif pemanfaatan pangan lokal.
Menurut Haydersah et al. (2012), sukun berpotensi dimanfaatkan sebagai produk
pangan prebiotik. Sukun dapat dikembangkan menjadi makanan fermentasi
dengan memanfaatkan kapasitas bakteri asam laktat untuk menghidrolisis pati.
Salah satu komponen tepung komposit merupakan sumber protein yaitu
tepung kacang hijau. Tepung kacang hijau merupakan tepung bebas gluten yang
baik digunakan dalam kombinasi dengan tepung lain. Tepung kacang hijau
memiliki komponen fungsional yang dapat meningkatkan kualitas dan nilai
tambah dari produk (Chandra et al. 2013). Tepung kacang hijau dalam formula
komposit dipilih karena kacang hijau memiliki kandungan protein yang cukup
tinggi yaitu 27.5 g per 100 g (Mubarak 2005). Tepung beras dipilih karena
merupakan tepung yang pada dasarnya digunakan sebagai bahan dasar dalam
formulasi sagon bubuk. Selain itu, kacang hijau dan beras memiliki kandungan
asam amino yang saling melengkapi. Protein kacang hijau kaya akan asam amino
lisin namun sedikit mengandung asam amino belerang (metionin dan sistin)
sebaliknya untuk beras (Khalid et al. 2003; Khalil 2006).
Selain tepung kacang hijau, sumber protein lain dari produk adalah susu
skim. Susu skim dipilih karena susu skim memiliki beberapa keuntungan baik dari
aspek kandungan gizi maupun rasa. Penambahan susu skim pada makanan dapat
meningkatkan kualitas protein dan dapat mengurangi penggunaan protein kacangkacangan maupun serealia sehingga dapat menurunkan faktor antigizinya. Selain
itu, penambahan susu juga memiliki kemungkinan untuk dapat meningkatkan
berat badan, pertumbuhan linier, dan pemulihan kekurangan gizi (Hoppe et al.
2008). Proporsi susu skim pada poduk diambil dari proporsi kelapa parut pada
formula dasar. Kacang hijau dan susu skim sebagai sumber protein diharapkan
dapat meningkatkan kandungan protein sagon.

11
Tiga mineral utama yang dianalisis dalam penelitian ini adalah kalsium,
besi, dan seng. Sumber kalsium dalam produk adalah susu skim selain merupakan
sumber protein. Sedangkan besi dan seng produk bersumber dari multivitamin
mineral. Proporsi taburia awalnya dibuat dari proporsi kelapa parut pada formula
dasar. Namun dikarenakan produk yang dihasilkan agak asin maka proporsi untuk
taburia diambil dari proporsi garam untuk mengurangi komposisi garam.
Penentuan formulasi dilakukan secara trial and error untuk mendapatkan formula
sagon yang baik.
Awal formulasi produk sagon dibuat dari tepung komposit yang berukuran
60 mesh, serta kelapa dan gula yang dihaluskan. Hal ini dimaksudkan untuk
mempermudah homogenisasi produk. Namun produk yang dihasilkan tekstur
yang terlalu halus dan kurang sesuai dengan karakteristik produk sagon pada
umumnya. Sagon bubuk pada umumnya mempunyai tekstur yang agak kasar.
Tekstur kasar berasal dari gula pasir dan kelapa sangrai tidak dihaluskan.
Percobaan selanjutnya dilakukan pembuatan sagon dengan ukuran tepung
40 mesh serta menggunakan gula pasir dan kelapa sangrai (tidak dihaluskan).
Produk sagon yang dihasilkan terlalu kasar karena adanya butiran-butiran kasar
dari tepung yang berukuran 40 mesh. Oleh karena itu, dipilih tepung komposit
dengan ukuran 60 mesh serta gula dan kelapa sangrai yang tidak dihaluskan dalam
pembuatan produk.
Proses pembuatan sagon sukun multigizi terdiri atas tiga tahapan utama,
yaitu pembuatan tepung komposit, penyangraian tepung komposit dan kelapa
parut, serta proses pencampuran kering (dry mixing) antara sangraian tepung
komposit, kelapa, dan komponen lainnya. Tahap pertama pembuatan sagon adalah
pembuatan tepung komposit. Selanjutnya kelapa setengah tua dikupas kulitnya
hingga bersih dan diparut. Tahap berikutnya adalah proses penyangraian tepung
komposit disangrai di atas api kecil selama ± 7 menit hingga berubah warna
menjadi lebih tua dari warna sebelum disangrai. Kelapa disangrai ± 15 menit di
atas api kecil hingga berwarna kecokelatan dan renyah.
Tahap akhir dari proses pembuatan sagon adalah pencampuran komponen
lain seperti susu skim, gula, garam, dan taburia dengan sangraian kelapa dan
tepung komposit. Susu skim dan gula langsung dicampurkan tanpa disangrai
karena pemanasan dapat membuat produk menjadi berwarna kecokelatan karena
reaksi Maillard. Reaksi Maillard merupakan reaksi antara protein dan gula
pereduksi yang dapat menurunkan nilai gizi protein selama pengolahan dan
penyimpanan (Muchtadi 2010).
Taburia ditambahkan pada tahap akhir sebelum proses dry mixing. Taburia
diproses melalui suatu proses enkapsulasi. Hal ini menyebabkan multivitamin
mineral ini tidak boleh dicampurkan pada makanan yang panas karena akan
merusak beberapa zat gizi di dalamnya, seperti lemak yang melapisi zat besi akan
rusak dan berinteraksi dengan makanan sehingga menimbulkan rasa kurang enak
(Kemenkes 2010).
Salah satu keunggulan sagon dalam penelitian ini adalah pemanfaatan
taburia untuk memenuhi kebutuhan gizi mikro anak. Taburia merupakan
multivitamin mineral berbentuk tabur yang tidak sesuai jika dikonsumsi langsung
karena memiliki rasa yang kurang enak. Sagon dalam penelitian ini berbentuk
tabur, sehingga cocok untuk dijadikan sebagai media untuk mengonsumsi taburia.

12
Taburia dalam produk sagon juga ditambahkan setelah proses pengolahan,
sehingga kandungan vitamin mineral dalam produk tetap terjaga.
Sifat Organoleptik Sagon
Pengujian sifat organoleptik dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
respon atau kesan yang diperoleh panca indera manusia terhadap suatu
rangsangan yang ditimbulkan oleh suatu produk. Pengujian ini biasanya
digunakan untuk menjawab pertanyaan mengenai kualitas suatu produk maupun
kesukaan atau penerimaan (afeksi) (Setyaningsih et al. 2010). Pengujian
organoleptik yang dilakukan dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu uji hedonik
(kesukaan) dan uji mutu hedonik. Pengujian ini dilakukan pada 50 orang panelis
semi terlatih untuk menentukan formula terpilih berdasarkan penilaiannya
terhadap tujuh macam formula sagon.
Uji Mutu Hedonik
Uji mutu hedonik menyatakan kesan baik atau buruk suatu produk. Kesan
baik atau buruk ini selanjutnya disebut sebagai kesan mutu hedonik. Uji mutu
hedonik dapat bersifat umum maupun spesifik (Setyaningsih et al. 2010). Pada
penelitian ini, panelis diminta untuk memberikan penilaian mutu hedonik terhadap
atribut warna, aroma sukun, aroma kacang hijau, aroma obat, rasa sukun, rasa
kacang hijau, rasa manis, rasa asin, tekstur, dan after taste.
Uji Hedonik (Kesukaan)
Uji hedonik umumnya digunakan pada pengembangan produk baru
(Setyaningsih et al. 2010). Pada penelitian ini, panelis diminta tanggapan
pribadinya mengenai kesukaan atau ketidaksukaan pada sagon. Semakin tinggi
nilai yang diberikan oleh panelis, maka semakin suka panelis terhadap produk
sagon. Panelis dianggap menerima produk sagon apabila panelis memberikan nilai
yang lebih besar dari 4.5 (Peryam dalam IOM 2002).
Warna
Warna merupakan atribut sensori pertama yang dapat diterima/dilihat
langsung oleh panelis (Winarno 2008). Berdasarkan hasil uji hedonik terhadap
warna sagon, rata-rata nilai yang diberikan panelis berkisar antara 5.49—5.95 atau
berada pada kisaran tingkat kesukaan suka tidak, tidak suka tidak hingga agak
suka. Formula F3 memiliki nilai rata-rata tertinggi (5.95), sedangkan formula F5
memiliki nilai rata-rata terendah (5.49). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam
jenis formula tidak berpengaruh terhadap tingkat kesukaan pada atribut warna
(p>0.05). Hal ini berarti, berapapun perbandingan komposit yang diberikan tidak
memengaruhi kesukaan panelis terhadap atribut warna. Pemilihan produk dapat
dipilih pada formula manapun jika ditinjau dari atribut warna.
Berdasarkan tabel di atas, formula F1 dan F5 memiliki tingkat penerimaan
terendah dan formula F4 memiliki tingkat penerimaan tertinggi. Tingkat
penerimaan panelis terhadap warna sagon berkisar antara 82—90%. Hal ini
menunjukkan bahwa panelis dapat menerima warna produk sagon pada tingkat
formula apapun. Penerimaan panelis terhadap atribut warna disajikan pada
Gambar 3.

13

Gambar 3 Persentase penerimaan produk sagon
Hasil uji mutu hedonik menunjukkan bahwa rata-rata nilai yang diberikan
panelis pada atribut warna berkisar antara 3.72—4.07. Nilai ini berada pada
kisaran warna krem hingga kuning. Formula F3 memiliki nilai rata-rata tertinggi
(4.07) sedangkan formula F5 memiliki nilai rata-rata terendah (3.72). Hasil
analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis formula tidak berpengaruh
terhadap mutu atribut warna (p>0.05). Hasil ini sejalan dengan penelitian Walde
et al. (2005) mengenai pengembangan produk roti dengan substitusi tepung beras
yaitu penambahan tepung beras hingga 25% tidak memengaruhi atribut warna
roti. Hal ini berarti komposisi formula yang berbeda tidak memberikan pergeseran
nilai warna.
Warna dari produk sagon dibentuk dari bahan yang digunakan. Bahan
yang digunakan sebagian besar berasal dari tepung-tepungan, yakni tepung sukun
(krem), tepung kacang hijau (kuning), tepung beras (putih), tepung susu skim
(krem), gula pasir (krem cerah), garam (putih), taburia (putih keabu-abuan), dan
kelapa sangrai (cokelat muda). Komponen sagon yang dominan berasal dari
tepung komposit (sukun, kacang hijau, beras) dan susu skim yang memiliki warna
senada (putih-kuning). Hal ini menyebabkan, ketika semua komponen produk
dicampurkan, maka warna yang terbentuk tidak memberikan efek terhadap mutu
warna.
Aroma
Aroma merupakan atribut organoleptik yang dapat dinilai melalui indra
penciuman (Meilgaard et al. 1999). Manusia dapat mendeteksi dan membedakan
sekitar 16 juta jenis bau karena memiliki 10—20 juta sel olfaktori yang bertugas
mengenali dan menentukan jenis bau yang masuk (Winarno 2008).
Berdasarkan hasil uji hedonik terhadap aroma sagon, rata-rata nilai yang
diberikan panelis berkisar antara 5.94—6.25 atau berada pada kisaran tingkat
kesukaan suka tidak, tidak suka tidak hingga suka. Formula F3 memiliki nilai
rata-rata tertinggi (6.25) sedangkan formula F5 memiliki nilai rata-rata terendah
(5.94). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, jenis formula tidak berpengaruh
nyata (p>0.05) terhadap tingkat kesukaan pada atribut aroma (p>0.05). Hasil ini

14
sejalan dengan penelitian Walde et al. (2005) yaitu penambahan tepung beras
hingga 25% tidak memengaruhi atribut aroma roti. Hal ini berarti, berapapun
perbandingan komposit yang diberikan tidak memengaruhi kesukaan panelis
terhadap atribut aroma. Pemilihan produk dapat dipilih pada formula manapun
jika ditinjau dari atribut aroma.
Berdasarkan tabel di atas, formula F5 memiliki tingkat penerimaan
terendah dan formula F3 memiliki tingkat penerimaan tertinggi. Tingkat
penerimaan panelis terhadap warna sagon berkisar antara 86—94%. Hal ini
menunjukkan bahwa panelis dapat menerima aroma produk sagon pada tingkat
formula apapun. Penerimaan panelis terhadap atribut aroma disajikan pada
Gambar 3.
Uji mutu hedonik terhadap atribut aroma dibedakan menjadi tiga atribut
yang lebih spesifik, yaitu aroma sukun, aroma kacang hijau, dan aroma obat.
Berdasarkan hasil uji mutu hedonik, rata-rata nilai yang diberikan panelis untuk
atribut aroma sukun berkisar antara 4.70—4.99. Nilai ini berada pada kisaran
aroma sukun agak lemah hingga biasa. Formula F1 memiliki rata-rata tertinggi
(4.99) sedangkan F3 memiliki rata-rata terendah (4.70). Hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa jenis formula tidak berpengaruh terhadap mutu atribut aroma
sukun (p>0.05). Olaoye et al. (2007) menyatakan bahwa rata-rata penerimaan
terhadap aroma sukun akan menurun seiring dengan peningkatan substitusi tepung
sukun pada pembuatan biskuit. Pada penelitian ini, proporsi sukun sama
antarformula sehingga jenis formula tidak memberikan pengaruh yang nyata pada
aroma sukun. Hal ini berarti komposisi formula yang berbeda tidak memberikan
pergeseran nilai aroma sukun.
Kacang hijau juga memegang peranan penting dalam membentuk aroma
produk. Rata-rata nilai yang diberikan oleh panelis pada uji mutu hedonik untuk
aroma kacang hijau berkisar antara 4.55—5.71. Nilai ini berada pada kisaran
aroma kacang hijau agak lemah hingga agak kuat. Formula F5 memiliki nilai ratarata tertinggi (5.71), sedangkan formula F1 memiliki rata-rata terendah (4.55).
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis formula tidak berpengaruh
terhadap mutu atribut aroma kacang hijau (p>0.05). Hal ini berarti komposisi
formula yang berbeda tidak memberikan pergeseran nilai aroma kacang hijau.
Multivitamin mineral yang digunakan dalam penelitian ini diklaim tidak
memberikan perubahan rasa dan aroma pada produk yang ditambahkan. Rata-rata
nilai yang diberikan oleh panelis pada uji mutu hedonik untuk aroma obat berkisar
antara 2.88—3.35. Nilai ini berada pada kisaran aroma obat sangat lemah hingga
agak lemah. Hal ini sejalan dengan informasi yang disampaikan oleh Kemenkes
(2010) bahwa keunggulan taburia sebagai multivitamin mineral bagi anak adalah
tidak menyebabkan perubahan rasa dan aroma pada produk. Formula F1 memiliki
nilai rata-rata tertinggi (3.35), sedangkan formula F3 memiliki rata-rata terendah
(2.88). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis formula tidak
berpengaruh terhadap mutu atribut aroma kacang hijau (p>0.05). Hal ini berarti
komposisi formula yang berbeda tidak memberikan pergeseran nilai aroma obat.
Rasa
Rasa merupakan faktor penentu penerimaan konsumen terhadap suatu
produk. Vaclavic & Christian (2003), mengemukakan bahwa rasa dari makanan
merupakan kombinasi dari lima rasa dasar yaitu asin, manis, asam, pahit, dan

15
umami. Kepekaan manusia terhadap rasa pahit jauh lebih tinggi dibandingkan rasa
manis. Rasa makanan dapat dinilai oleh indra pencicip antara lain rongga mulut,
lidah, dan langit-langit (Setyaningsih et al.2010).
Berdasarkan hasil uji hedonik terhadap rasa sagon, rata-rata nilai yang
diberikan panelis berkisar antara 4.67—5.56 atau berada pada kisaran tingkat
kesukaan agak tidak suka hingga agak suka. Formula F2 memiliki nilai rata-rata
tertinggi (5.56) sedangkan formula F1 memiliki nilai rata-rata terendah (4.67).
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, jenis formula tidak berpengaruh nyata
(p>0.05) terhadap tingkat kesukaan pada atribut rasa. Hal ini berarti, berapapun
perbandingan komposit yang diberikan tidak memengaruhi kesukaan panelis
terhadap atribut rasa. Pemilihan produk dapat dipilih pada formula manapun jika
ditinjau dari atribut rasa.
Berdasarkan tabel di atas, formula F1 memiliki tingkat penerimaan
terendah dan formula F2 dan F3 memiliki tingkat penerimaan tertinggi. Tingkat
penerimaan panelis terhadap rasa sagon berkisar antara 60—78%. Hal ini
menunjukkan bahwa panelis kurang dapat menerima rasa produk sagon pada
tingkat formula apapun. Hal ini dapat dilihat dari persentase penerimaan rasa
sagon yang kurang dari 80 %. Persentase penerimaan panelis terhadap atribut rasa
sagon disajikan pada Gambar 3.
Berdasarkan hasil uji kesukaan, sebagian besar panelis menyatakan rasa
asin sedikit mendominasi produk. Rasa asin muncul di akhir setelah sagon
dimakan. Selain itu, panelis juga menyatakan rasa sukun produk juga cukup kuat.
Olaoye et al. (2007) menyatakan bahwa rata-rata penerimaan terhadap rasa sukun
akan menurun seiring dengan peningkatan substitusi tepung sukun pada
pembuatan biskuit. Rasa asin dan rasa sukun yang cukup kuat diduga
memengaruhi kesukaan panelis terhadap atribut rasa. Penerimaan panelis terhadap
atribut rasa sagon disajikan dalam Gambar 3.
Rasa produk sagon, dibentuk dari bahan yang digunakan. Komponen
pembentuk rasa pada produk sagon antara lain tepung sukun, tepung kacang hijau,
gula dan garam. Uji mutu hedonik terhadap atribut rasa dibedakan menjadi empat
atribut yang lebih spesifik, yaitu rasa sukun, rasa kacang hijau, rasa manis, dan
rasa asin. Hasil uji hedonik terhadap atribut rasa sukun yang diberikan panelis
berkisar antara 5.13—6.80. Nilai ini berada pada kisaran mutu rasa biasa hingga
berasa. Formula F4 memiliki rata-rata tertinggi (6.80), sedangkan F2 memiliki
rata-rata terendah (5.13). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis
formula tidak berpengaruh terhadap mutu atribut rasa sukun (p>0.05). Hal ini
berarti komposisi formula yang berbeda tidak memberikan pergeseran nilai rasa
sukun. Hal ini karena proporsi sukun antarformula tetap, yaitu 50% dari total
komposit.
Rasa kacang hijau merupakan salah satu penentu yang membentuk rasa
sagon. Rata-rata nilai yang diberikan oleh panelis pada uji mutu hedonik untuk
rasa kacang hijau berkisar antara 4.70—5.63. Nilai ini berada pada kisaran rasa
agak tidak berasa hingga berasa. Formula F3 memiliki nilai rata-rata tertinggi
(5.63), sedangkan formula F2 memiliki rata-rata terendah (4.70). Hasil analisis
sidik ragam menunjukkan bahwa jenis formula tidak berpengaruh (p>0.05)
terhadap mutu atribut rasa kacang hijau. Hal ini berarti komposisi formula yang
berbeda tidak memberikan pergeseran nilai rasa kacang hijau.

16
Menurut IOM (2002), rasa yang disarankan untuk digunakan dalam
produk pangan darurat adalah rasa manis. Rasa manis merupakan satu-satunya
rasa yang dapat diterima secara luas oleh suatu populasi (Young et al. 1985).
Rata-rata nilai yang diberikan oleh panelis pada uji mutu hedonik untuk rasa
manis berkisar antara 4.18—4.77. Nilai ini berada pada kisaran rasa agak tidak
manis hingga pas. Formula F7 memiliki nilai rata-rata tertinggi (4.77), sedangkan
formula F3 memiliki rata-rata terendah (4.18). Hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa jenis formula tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap
mutu atribut rasa manis. Hal ini berarti komposisi formula yang berbeda tidak
memberikan pergeseran nilai rasa manis.
Selain rasa sukun, rasa kacang hijau, dan rasa manis, rasa asin juga
merupakan salah satu atribut rasa yang dapat membentuk rasa produk sagon.
Rata-rata nilai yang diberikan oleh panelis pada uji mutu hedonik untuk rasa asin
berkisar antara 4.93—5.56. Nilai ini berada pada kisaran rasa agak tidak asin
hingga agak asin. Formula F1 memiliki nilai rata-rata tertinggi (5.56) sedangkan
formula F7 memiliki rata-rata terendah (4.93). Hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa jenis formula tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap
mutu atribut rasa asin. Hal ini berarti komposisi formula yang berbeda tidak
memberikan pergeseran nilai rasa asin.
Tekstur
Tekstur dapat dinilai dengan menggunakan ujung jari tangan. Menurut
Setyaningsih et al. (2010), tekstur bersifat kompleks dan terkait dengan struktur
bahan yang terdiri dari tiga elemen yaitu mekanik (kekerasan, kekenyalan),
geometrik (berpasir, beremah), dan mouthfeel (berminyak, berair). Tekstur yang
dinilai dalam penelitian ini adalah tekstur raba dan termasuk dalam elemen
geometrik yaitu berpasir atau beremah.
Berdasarkan hasil uji hedonik terhadap tekstur sagon, rata-rata nilai yang
diberikan panelis berkisar antara 5.27—6.11 atau berada pada kisaran tingkat
kesukaan biasa hingga suka. Formula 2 mem