Analisis Pengaruh Reformasi Birokrasi Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah Studi Kasus Pemerintah Provinsi Jawa Barat

ANALISIS PENGARUH REFORMASI BIROKRASI
TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH
Studi Kasus Pemerintah Provinsi Jawa Barat

MAI DAMAI RIA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Pengaruh
Reformasi Birokrasi Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah Studi Kasus
Pemerintah Provinsi Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016
Mai Damai Ria
H152130181

RINGKASAN
MAI DAMAI RIA. Analisis Pengaruh Reformasi Birokrasi Terhadap Kinerja
Pemerintah Daerah Studi Kasus Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh
HERMANTO SIREGAR dan DEDDY S. BRATAKUSUMAH.
Reformasi Birokrasi dimaknai sebagai sebuah perubahan besar dalam
paradigma dan tata kelola pemerintahan. Reformasi birokrasi meliputi perubahan
struktur dan reposisi birokrasi, perubahan sistem politik dan hukum secara
menyeluruh, perubahan sikap mental dan budaya birokrat dan masyarakat, serta
perubahan mindset dan komitmen pemerintah serta partai politik. Pada tahun
2010, reformasi birokrasi ditetapkan sebagai program yang harus dilaksanakan
oleh kementerian/lembaga/pemerintah daerah, ditandai dengan penetapan
Peraturan Presiden Nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi
Birokrasi 2010-2025. Sampai tahun 2013, instansi yang telah melaksanakan
reformasi birokrasi sebanyak 56 kementerian/lembaga. Sedangkan untuk level

pemerintah daerah sebanyak 98 pemda menjadi pilot project. Namun di sisi lain,
masih banyak ditemukan permasalahan pada birokrasi pemerintah. Ditandai
dengan terus meningkatnya pengaduan masyarakat mengenai buruknya kualitas
pelayanan publik dan tingginya kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara
negara atau aparat birokrasi.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengevaluasi pelaksanaan reformasi
birokrasi pada pemerintah daerah, (2) mengetahui pengaruh pelaksanaan
reformasi birokrasi terhadap kinerja pemerintah daerah, dan (3) merumuskan
strategi peningkatan tingkat keberhasilan reformasi birokrasi. Evaluasi
pelaksanaan RB menggunakan instrumen kuesioner dengan skala likert
berdasarkan pedoman evaluasi pada Permenpanrb No.14 tahun 2014. Pengaruh
RB terhadap kinerja pemerintah daerah dianalisis menggunakan Uji t. Sedangkan
strategi peningkatan keberhasilan RB dirumuskan dengan metoda AHP
(Analytical Hierarchy Process). Hasil analisis menunjukkan bahwa pelaksanaan
reformasi birokrasi di Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada komponen proses
mencapai tingkat keberhasilan 74 persen. Namun pada komponen hasil hanya
mencapai skor 53,93 pada skala 1-100. Selain itu reformasi birokrasi berpengaruh
terhadap kinerja pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, namun tidak
berpengaruh terhadap kinerja ekonomi. Strategi yang menjadi prioritas utama
dalam peningkatan keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi adalah

meningkatkan kompetensi SDM aparatur.
Kata Kunci : kinerja, pemerintah daerah, reformasi birokrasi

SUMMARY
MAI DAMAI RIA. Analysis Of Bureaucratic Reform Influence On Local
Government Performance Case Study Government of West Java Province.
Supervised by : HERMANTO SIREGAR and DEDDY S. BRATAKUSUMAH
Bureaucratic Reform is a major change in paradigm and governance,
including changes in the structure and repositioning of bureaucratic, political and
legal system, mental attitudes and bureaucratic culture and society, and changes in
mindset and commitment of the government and political parties. In 2010,
bureaucratic reform program had to be implemented by ministries / agencies /
local government, marked by the establishment of Presidential Regulation No. 81
of 2010 on the Grand Design of Bureaucratic Reforms 2010-2025. Until 2013,
bureaucratic reform program has been implemented by 56 central government
agencies and 98 local governments as pilot project. Nevertheless, there are still
many problems in the government bureaucracy. Marked with the increasing of
public complaints about the poor quality of public services and the high level of
corruption involving state officials or bureaucratic apparatus.
The aims of this study are (1) to analyze the implementation of

bureaucratic reform in local government and (2) its influence on local government
performance, (3) to formulate strategies for improving the success of bureaucratic
reform implementation. The evaluation of bureaucratic reform implementation is
conducted using the questionnaire with Likert scale based on the evaluation
guidelines Permenpanrb RB 14/2014. The influence of bureaucratic reform on
local government performance were analyzed using t-test, while the strategy for
improving bureaucratic reform implementation formulated by AHP (Analytical
Hierarchy Process). The results show that on the bureaucratic reform component
of process in West Java Province Government achieve 74 percent success rate.
However, the bureaucratic reform component of result reached only score 53.93
on a 1-100 scale. The bureaucratic reform program affect on the public service
and welfare society performance, but does not affect on economic performance of
West Java Province Government. The top priority strategy for improving the
success of bureaucratic reform implementation is through the strengthening of
human resource competence.
Keywords : bureaucratic reform, local government, performance

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS PENGARUH REFORMASI BIROKRASI
TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH
Studi Kasus Pemerintah Provinsi Jawa Barat

MAI DAMAI RIA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah
dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S

Judul Penelitian : Analisis Pengaruh Reformasi Birokrasi Terhadap Kinerja
Pemerintah Daerah Studi Kasus Pemerintah Provinsi Jawa
Barat
Nama
NRP

: Mai Damai Ria
: H152130181

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Ir. Ir. Deddy S. Bratakusumah, BE, MURP, M.Sc., Ph.D
Ketua

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah
dan Perdesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian:
20 Juni 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat
dan ridho-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan tesis ini. Tesis ini berjudul
“Analisis Pengaruh Reformasi Birokrasi Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah
Studi Kasus Pemerintah Provinsi Jawa Barat“, disusun sebagai salah satu syarat
untuk menyelesaikan jenjang pendidikan Strata-2 dan memperoleh gelar Magister
Sains dari Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
di Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M. Ec. dan Bapak Ir. Deddy S.
Bratakusumah, BE, MURP, M.Sc, Ph.D sebagai pembimbing.
2. Segenap dosen Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan
Perdesaan (PWD) IPB.
3. Pimpinan dan staf Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Pusat
Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian (P2SMTP) LIPI atas
beasiswa dan pemberian kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi.
4. Ibu, Bapak (Alm), Suami, Anak-anak, dan seluruh keluarga untuk cinta, doa,
dan pengorbanannya.
5. Teman-teman PWD angkatan 2013 dan seluruh civitas PWD.
Tesis ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan
menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca, khususnya dalam program

reformasi birokrasi. Semoga Tesis ini bermanfaat.
Bogor,

Agustus 2016

Mai Damai Ria

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

ix

DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi


DAFTAR LAMPIRAN

xii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Birokrasi
Reformasi Birokrasi
Kinerja Pemerintah Daerah
Evaluasi Pelaksanaan Program
Metode Analisis yang Digunakan
Tinjauan Penelitian Sebelumnya
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian


1
1
3
9
9
9
10
10
13
23
26
27
27
30
31

3 METODE PENELITIAN
32
Lokasi dan Waktu Penelitian
32
Jenis dan Sumber Data
32
Metode Pengumpulan Data
32
Metode Analisis Data
33
Evaluasi Pelaksanaan Reformasi Birokrasi
33
Analisis Kinerja Pemerintah Daerah
35
Analisis Pengaruh Reformasi Birokrasi Terhadap Kinerja Pemerintah
Daerah
38
Metode Perumusan Strategi Peningkatan Keberhasilan Reformasi
Birokrasi
39
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
42
Gambaran Umum Provinsi Jawa Barat
42
Perjalanan Reformasi Birokrasi di Jawa Barat
49
Analisis Hasil Evaluasi Pelaksanaan Reformasi Birokrasi
51
Komponen Proses (Pengungkit)
51
Analisis Perubahan Pola Pikir dan Budaya Kerja (Manajemen Perubahan)
52
Analisis Penataan Peraturan Perundang-undangan
52
Analisis Penataan dan Penguatan Organisasi
53
Analisis Penataan Tata Laksana
53
Analisis Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur
54

Analisis Penguatan Pengawasan
55
Analisis Penguatan Akuntabilitas Kinerja
56
Analisis Penguatan Kualitas Pelayanan Publik
56
Analisis Proses Reformasi Birokrasi Secara Keseluruhan
57
Komponen Hasil
58
Analisis Komponen Hasil Pemerintahan Bersih dan Bebas KKN
59
Analisis Komponen Hasil Kualitas Pelayanan Publik
59
Analisis Komponen Hasil Kapasitas dan Akuntabilitas Kinerja Birokrasi60
Analisis Hasil Evaluasi Kinerja Pemerintah Provinsi Jawa Barat
61
Kinerja Ekonomi
62
Kinerja Pelayanan Publik
63
Kinerja Kesejahteraan Masyarakat
64
Analisis Pengaruh Reformasi Birokrasi Terhadap Kinerja dengan Uji t 65
Strategi Peningkatan Keberhasilan Reformasi Birokrasi
68
Analisis Faktor dalam Strategi Peningkatan Tingkat Keberhasilan
Reformasi Birokrasi
70
Analisis Aktor dalam Strategi Peningkatan Keberhasilan Reformasi
Birokrasi
71
Analisis Tujuan dalam Strategi Peningkatan Keberhasilan Reformasi
Birokrasi
71
Analisis Strategi terhadap Peningkatan Keberhasilan Reformasi Birokrasi
71
Resume Hasil dan Pembahasan
73
5 SIMPULAN DAN SARAN
73
Simpulan
73
Saran
74
Implikasi Kebijakan
74
DAFTAR PUSTAKA
76
LAMPIRAN
80
RIWAYAT HIDUP
97

DAFTAR TABEL
1 Instansi yang telah menerapkan reformasi birokrasi
2 Pengaduan masyarakat berdasarkan provinsi terlapor
3 Tersangka/terdakwa menurut tingkat jabatan tahun 2004 s.d 2014
4 Perkara tindak pidana korupsi berdasarkan instansi tahun 2004 s.d 2014
5 Perkara korupsi berdasarkan wilayah tahun 2004 s.d 2014
6 Area perubahan reformasi birokrasi dan hasil yang diharapkan
7 Paradigma pelayanan publik
8 Indikator penilaian evaluasi reformasi birokrasi
9 Indikator kinerja pemerintah daerah
10 Pengambilan sampel penelitian
11 Matriks analisis penelitian

4
6
7
8
8
16
19
22
26
33
33

12 Kelompok sampel Uji t
39
13 Skala penilaian pada AHP
40
14 Perkembangan PDRB dan PDRB per kapita Provinsi Jawa Barat menurut
harga berlaku
43
15 Perkembangan PDRB dan PDRB per kapita Provinsi Jawa Barat menurut
harga konstan 2000
44
16 Distribusi PDRB menurut Lapangan Usaha (%)
45
17 Perangkat organisasi pemerintah Provinsi Jawa Barat
48
18 Nilai akuntabilitas kinerja instansi pemerintah provinsi tahun 2015
61
19 Hasil evaluasi komponen hasil
61
20 Indeks Kinerja Ekonomi (IKE) Jawa Barat tahun 2005 s.d 2014
62
21 Indeks Kinerja Pelayanan Publik (IPP) Jawa Barat tahun 2005 s.d 2014
63
22 Indeks kinerja Kesejahteraan Masyarakat (IKM) Jawa Barat tahun 2005 s.d
2014
65
23 Hasil Uji Normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov
66
24 Hasil Uji Homogenitas Ragam dengan Tes Levene
67
25 Hasil Uji t terhadap indeks kinerja
67
26 Nilai Consistency Ratio (CR) pada AHP
69
27 Bobot dan prioritas faktor
70
28 Bobot dan prioritas aktor
71
29 Bobot dan prioritas tujuan
71
30 Bobot dan prioritas strategi
72

DAFTAR GAMBAR
1 Pengaduan masyakarat periode 2010 s.d 2014
5
2 Pengaduan masyarakat berdasarkan instansi terlapor
6
3 Tangga tahapan reformasi birokrasi
14
4 Keterkaitan Komponen Pengungkit (Proses) dan Komponen Hasil
23
5 Elemen pengukuran kinerja
24
6 Kerangka pemikiran
31
7 Sistematika hierarki analisis AHP
41
8 Perkembangan PDRB per kapita Jawa Barat 2005 s.d 2014 menurut Harga
Berlaku
43
9 Perkembangan PDRB Jawa Barat 2005 s.d 2014 menurut Harga Konstan 2000
44
10 Perkembangan PDRB per kapita Jawa Barat 2005 s.d 2014 menurut Harga
Konstan 2000
45
11 Komposisi PNS Provinsi Jawa Barat menurut tingkat pendidikan
47
12 Komposisi PNS Provinsi Jawa Barat menurut jenis kelamin
47
13 Persentase skor jawaban KP1
52
14 Persentase skor jawaban KP2
53
15 Persentase skor jawaban KP3
53
16 Persentase skor jawaban KP4
54
17 Persentase skor jawaban KP5
55
18 Persentase skor jawaban KP6
55

19
20
21
22
23
24
25

Persentase skor jawaban KP7
Persentase skor jawaban KP8
Persentase skor jawaban secara keseluruhan
Perbandingan jawaban tentang pelaksanaan reformasi birokrasi
Tingkat pelaksanaan reformasi birokrasi
Indeks Persepsi Korupsi 2015
Penilaian kepatuhan pemerintah daerah terhadap standar pelayanan publik

56
57
57
58
58
59

60
26 Perbandingan Indeks Kinerja Ekonomi (IKE) sebelum dan setelah reformasi
birokrasi
63
27 Perbandingan Indeks Kinerja Pelayanan Publik (IPP) sebelum dan setelah
reformasi birokrasi
64
28 Perbandingan Indeks kinerja Kesejahteraan Masyarakat sebelum dan setelah
reformasi birokrasi
65
29 Bobot hierarki berdasarkan analisis AHP
70

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuesioner penelitian evaluasi pelaksanaan reformasi birokrasi
2 Kuesioner penelitian strategi peningkatan keberhasilan reformasi birokrasi

81
90

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Reformasi birokrasi mulai didengungkan kembali sejak tahun 1998, yang
merupakan tonggak dimulainya era reformasi di Indonesia. Reformasi itu dipicu
oleh terjadinya krisis multidimensi yang memengaruhi seluruh segi kehidupan
masyarakat. Kondisi itu mendorong masyarakat menuntut diwujudkannya
pemerintahan yang adil dan demokratis dengan melakukan reformasi di bidang
politik, hukum, ekonomi, dan birokrasi.
Menurut Anwaruddin dalam Riyadini (2013), masalah birokrasi di
Indonesia ada tiga hal yaitu: (1) korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), (2)
masalah struktural, dan (3) kualitas SDM. Masalah KKN ditunjukkan dengan
tingginya tingkat korupsi, kolusi, dan nepotisme. Masalah struktural meliputi
saling tumpang tindihnya fungsi antar instansi pemerintah yang membuat
kebijakan pemerintah tidak efektif dan penggunaan anggaran tidak efisien.
Sedangkan kualitas SDM mencakup rendahnya kemampuan dan kompetensi PNS
di bidang kerjanya. Kompetensi yang rendah tersebut juga disebabkan oleh
perekrutan yang diwarnai nepotisme dan sistem remunerasi yang tidak berbasis
kinerja sehingga aparatur yang bekerja tidak memiliki semangat untuk
menunjukkan kinerja yang memuaskan. Selain itu, menurut Utomo (2011),
birokrasi juga menghadapi masalah kultural yang sudah mengakar. Pada tingkat
sistem, terjadi ketidakpercayaan antara pemerintah dan masyarakat yang meluas,
bahkan antara badan pemerintah dan di dalam badan pemerintah itu sendiri. Pada
tingkat institusional, efisiensi seringkali hanya dinilai dari kemampuan
penyerapan anggaran sehingga bila penyerapan anggaran rendah maka dianggap
berkinerja buruk. Budaya akuntabilitas dikembangkan setengah hati dan hanya
menjadi budaya melaporkan. Output (keluaran) tidak jelas dan terlihat berlimpah
namun sebenarnya tumpang tindih dengan outcome (hasil). Sedangkan pada
tingkat individu seringkali ditemukan tindakan indisipliner, ketidakpatuhan pada
aturan dan tindakan melawan atasan.
Di sisi lain, birokrasi mempunyai peranan penting dalam pembangunan.
Birokrasi sebagai pelaksana administrasi negara merupakan sektor pembangunan
(administrative development) dan sekaligus sebagai instrumen dalam
pembangunan (development administrative). Birokrasi merupakan institusi yang
menggerakkan pembangunan dan sekaligus sebagai obyek pembangunan (Prasojo
& Kurniawan, 2008). Peran ganda tersebut membuat mutu birokasi harus
diperhatikan karena sangat menentukan keberhasilan pembangunan. Semakin baik
kualitas birokrasi maka semakin baik pula hasil pembangunan.
Pada pelaksanaannya, reformasi di bidang birokrasi mengalami
ketertinggalan dibanding reformasi bidang lain. Meski pada tahun 1998, MPR,
sebagai wujud dari kedaulatan rakyat, telah mengeluarkan ketetapan tentang
reformasi birokrasi dengan penekanan pada kultur birokrasi yang transparan,
akuntabel, bersih dan bertanggungjawab, dan dapat menjadi pelayan masyarakat
dan abdi negara. Namun sampai periode pemerintahan berganti belum ada
terobosan yang berarti dalam birokrasi. Pada tahun 2004 pemerintah menegaskan
kembali pentingnya prinsip clean government dan good governance dan mulai

2

menerapkan reformasi birokrasi secara instansional. Masa ini sering disebut
sebagai reformasi birokrasi gelombang pertama.
Sampai akhirnya pada tahun 2010 disusun Grand Design Reformasi
Birokrasi 2010-20251 yang merupakan rancangan induk berisi arah kebijakan
pelaksanaan reformasi birokrasi nasional dalam kurun waktu 2010 sampai 2025.
Penyusunan Grand Design Reformasi Birokrasi ini merupakan langkah nyata
untuk melakukan perubahan fundamental dalam birokrasi secara nasional. Pada
rancangan induk ini telah ditetapkan tahapan-tahapan dalam melakukan perubahan
birokrasi berikut dengan target yang jelas dan terukur tiap tahunnya. Masa ini
disebut reformasi birokrasi gelombang kedua dimana reformasi birokrasi
diterapkan secara instansional dan nasional.
Menurut Prasojo & Kurniawan (2008) reformasi birokrasi merupakan
langkah yang menentukan dalam pencapaian kemajuan suatu negara. Melalui
reformasi birokrasi dilakukan penataan terhadap sistem penyelenggaraan
pemerintahan yang efektif dan efisien serta mampu menjadi tulang punggung
kehidupan berbangsa. Keberhasilan reformasi birokrasi sangat mendukung
terciptanya clean government dan good governance yang merupakan salah satu
ciri pemerintahan di negara maju. Inti dari upaya penciptaan good governance
terletak pada reformasi birokrasi. Menurut Krina (2003), secara umum prinsip
utama good governance adalah akuntabilitas, transparansi dan partisipasi
masyarakat. Lancaster (2007) dalam Utomo (2011) telah mengevaluasi tujuh
indikator good governance di Indonesia. Dimensi yang dievaluasi oleh Lancaster2
didasarkan pada indikator yang dikembangkan oleh Institut Bank Dunia (The
Worldwide Governance Indicators/WGI) yaitu: keterwakilan suara (partisipasi)
dan akuntabilitas, stabilitas politik, efektivitas pemerintahan, supremasi
hukum/kualitas regulasi, dan pemberantasan korupsi. Apabila indikator good
governance telah terwujud maka dapat dikatakan bahwa reformasi birokrasi telah
mencapai tujuannya.
Selain itu keberhasilan reformasi birokrasi juga dapat dilihat dari praktek
administrasi publik yang dijalankan. Uni Eropa, dalam SIGMA Paper No 27,
menetapkan prinsip administrasi publik yang baik meliputi adanya kepercayaan
dan proses birokrasi yang dapat diprediksi dimana kepastian hukum/aturan
memegang peranan penting; keterbukaan dan transparansi yang merupakan
instrumen penegakan hukum, persamaan di muka hukum; akuntabilitas yang
berarti bahwa tidak ada otoritas yang bebas dari pengawasan/review pihak lain;
dan efisiensi yang mencerminkan upaya mempertahankan rasio yang sesuai antara
sumberdaya yang dialokasikan dengan hasil yang dicapai, dan efektivitas yang
berarti badan pemerintah berhasil mencapai tujuan yang ditetapkan (Cierco,
2013).
Menurut Utomo (2011), reformasi birokrasi dapat digambarkan seperti
tangga menuju puncak keberhasilan yaitu meraih kepercayaan publik. Langkah
pertama adalah perbaikan yang bersifat kelembagaan seperti efisiensi dan
simplifikasi prosedur kerja, peningkatan SDM, penanganan regulasi yang
tumpang tindih, dan peningkatan taransparansi dan akuntabilitas. Langkah
selanjutnya adalah pembentukan budaya hasil, pelayanan publik yang
1

Peraturan Presiden Republik Indonesia No 81 Tahun 2010
Lancaster, Sir Tim. 2007. Reform of Indonesia’s Governance : Myth or Reality? Oxford: Corpus
Christi College, Institute of Policy Studies.

2

3

memuaskan, dan pada akhirnya meraih kepercayaan publik. Keberhasilan
reformasi birokrasi dapat diukur dari 3 indikator, yaitu terwujudnya pemerintah
yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), terwujudnya peningkatan
kualitas pelayanan publik pada masyarakat, dan meningkatnya kapasitas dan
akuntabilitas kinerja birokrasi. Pemerintah yang bebas KKN dapat diukur dari
opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap laporan keuangan instansi
pemerintah. Sedangkan untuk mengukur kualitas pelayanan publik dapat dilihat
dari integritas pelayan publik dan peringkat kemudahan berusaha, yang
menjelaskan sejauh mana kemudahan yang diperoleh masyarakat dalam mengurus
usaha sehingga iklim investasi berkembang pesat. Peningkatan kapasitas dan
akuntabilitas birokrasi dapat dilihat dari indeks efektivitas pemerintah (Deputi
Reformasi Birokrasi Kemenpanrb, www.antaranews.com, 2014).
Sampai tahun 2013, instansi yang telah melaksanakan reformasi birokrasi
sebanyak 56 kementerian/lembaga. Sedangkan untuk level pemerintah daerah
sebanyak 98 pemda menjadi pilot project di tahun 2013 (Kepmenpanrb No 96
Tahun 2013). Secara lengkap ditampilkan pada Tabel 1. Meskipun secara formal
belum ada daerah yang dinyatakan telah melaksanakan reformasi birokrasi, namun
secara nyata dan faktual daerah-daerah tersebut telah melakukan perubahan tata
pemerintahannya terutama dalam pelayanan publik. Bahkan banyak daerah yang
secara nasional telah diakui memiliki mutu pelayanan publik yang memuaskan.
Pemerintah menargetkan seluruh instansi pemerintah baik pusat atau daerah dapat
melaksanakan reformasi birokrasi.
Banyaknya instansi yang telah menjalankan reformasi birokrasi
seharusnya berbanding lurus dengan kualitas pelayanan publik dan kinerja instansi
pemerintah tersebut. Namun fakta di lapangan masih banyak ditemukan birokrasi
yang lambat, biaya tambahan di luar ketentuan, dan pelayanan publik yang buruk.
Masih sering ditemuinya penyelenggara negara yang menjalani proses hukum
karena kasus korupsi juga menunjukkan bahwa reformasi birokrasi masih
dipertanyakan hasil dan efektivitasnya. Perlu dilakukan evaluasi terhadap
pelaksanaan reformasi birokrasi untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kinerja
instansi pemerintah.
Perumusan Masalah
Komitmen reformasi birokrasi telah berjalan selama enambelas tahun sejak
tahun 1998. Meskipun secara konkrit, baru dirasakan langkah nyatanya pada tahun
2010 melalui penetapan Peraturan Presiden 81/2010 tentang Grand Design
Reformasi Birokrasi 2010-2015. Pada tahun-tahun awal pelaksanaan reformasi
belum ada model pasti yang secara sahih diakui sebagai cara terbaik dalam untuk
mengubah birokrasi. Sehingga reformasi birokrasi dilaksanakan secara parsial dan
tanpa arah yang jelas. Keluarnya Undang-undang 22/1999 tentang otonomi
daerah/desentralisasi semakin membuka ruang improvisasi perubahan birokrasi
ini. Menurut Utomo (2011), desentralisasi dan reformasi birokrasi adalah ibarat
dua sisi dari mata uang. Desentralisasi mengubah wajah birokrasi dari rezim
otoriter menjadi rezim yang demokratis. Sedangkan reformasi birokrasi
dibutuhkan dalam pendelegasian fungsi-fungsi baru pemerintah hasil
desentralisasi dan untuk mengatasi masalah kapasitas. Desentralisasi tidak akan
berarti tanpa reformasi birokrasi. Namun ternyata terdapat kecenderungan bahwa

4

desentralisasi tidak berjalan seiring dengan reformasi birokrasi. Terlihat dari
implementasi reformasi birokrasi yang tertinggal dari desentralisasi. Selama masa
awal implementasi desentralisasi (sejak tahun 2001), pemerintah pusat dan daerah
tidak memiliki sasaran dan tujuan yang jelas dan terukur yang harus dicapai.
Bahkan standar pelayanan minimum yang dimandatkan oleh UU 32/2004 belum
terdefinisi dengan jelas.
Tabel 1 Instansi yang telah menerapkan reformasi birokrasi
Tahun
2008
2009
2010
2011
2013

Pemerintah
Provinsi

Kota

Pemerintah
Kabupaten

Instansi yang Menerapkan RB
Kementerian Keuangan, MA, BPK
Kemensetneg, Setkab
Kemenko Perekonomian, Kemenko Polhukam, Kemenko Kesra, Kemen
PPN/Bappenas, Kemen PAN dan RB, Kemen Pertahanan, TNI/POLRI
Kemenhum dan HAM, Kejaksaan Agung
Kemenperin, Kemenristek, Kementan, Kemen PPPA, Kemenpera,
BKPM, BPPT, BPOM, BKN, BPS, BATAN, LAN, Lemhanas, ANRI,
BKKBN, Lemsaneg, LKPP, BNN, BNPT, LIPI
Kemenlu, Kemendag, Kemenkes, Kemendikbud, Kemenparek,
Kemenhut, Kemendagri, BMKG, BIN, Setjen DPR, WANTANNAS,
LAPAN, Kemen KP, Kemenkominfo, Kemen LH, Kemenhub,
Kemenakertrans, BAPETEN, Kemen PU, BNP2TKI, Kemen PDT,
Perpusnas, Kemenpora, Kemen UKMK
Pemerintah Daerah yang Menjadi Pilot Project
Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan,
Bengkulu, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulaian Riau,
DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Sulawesi
Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku,
Maluku Utara, Papua, Papua Barat
Medan, Padang, Pekanbaru, Jambi, Palembang, Bengkulu, Bandar
Lampung, Pangkal Pinang, Tanjung Pinang, Serang, Bandung,
Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Pontianak, Palangka Raya,
Banjarmasin, Samarinda, Manado, Palu, Kendari, Makassar, Gorontalo,
Mamuju, Denpasar, Mataram, Kupang, Ambon, Tidore Kepulauan,
Jayapura, Manokwari
Aceh Besar, Aceh Tengah, Pakpak Bharat, Tanah datar, Siak,
Sarolangun, Muara Enim, Kaur, Lampung Selatan, Bangka, Bintan,
Serang, Bogor, Kudus, Sleman, Malang, Sambas, Gunung Mas, Hulu
Sungai Selatan, Penajam Paser Utara, Siau-Taguladang-Biaro,
Donggala, Konawe Utara, Luwu Utara, Pohuwato, Polewali Mandar,
Badung, Sumbawa, Timor Tengah Selatan, Maluku Tenggara,
Halmahera Utara, Biak Numfor, Sorong

Jumlah/
Total
3/3
2/5
9/14
2/16
20/36

23/59

Jumlah
33/33

32/65

33/98

Sumber : http://menpan.go.id/berita-terkini/985-sudah-56-k-l-mendapat-tunjangan-kinerja
Permenrpanrb No 96 Tahun 2013

Akhirnya masing-masing daerah melaksanakan praktek-praktek birokrasi
sesuai dengan pemahamannya masing-masing tentang birokrasi yang baik. Hal ini
memunculkan beragam tipe kepala daerah. Beberapa kepala daerah
memperlihatkan kinerja yang baik dalam melayani masyarakat, bahkan diakui
secara nasional telah dapat melakukan perubahan penyelenggaraan pemerintahan

5

dari birokrasi yang lamban dan berbiaya tinggi menjadi birokrasi yang efektif,
efisien, dan memuaskan publik. Pada tahun 2011, dengan berbasis data tahun
2009, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri melakukan penilaian
kinerja pemerintah daerah berdasarkan PP 6/2008. Hasil penilaian menunjukkan
bahwa 29 provinsi dianggap berkinerja tinggi dan hanya 4 provinsi yang memiliki
kinerja rata-rata. Sedangkan pada level kota/kabupaten sebanyak 269 kabupaten
dan 82 kota mencapai kinerja tinggi, 70 kabupaten dan 4 kota berkinerja rata-rata,
dan 5 kabupaten dianggap berkinerja buruk (Utomo, 2011).
Namun tidak sedikit pula kepala daerah/instansi yang memanfaatkan era
otonomi daerah tersebut untuk membangun kekuasaan dan memenangkan
kepentingan kelompoknya bahkan keluarganya. Zulkieflimansyah (2009)
menyatakan bahwa sistem politik yang sedang berjalan di Indonesia dicirikan oleh
politik dinasti, terlebih setelah era desentralisasi. Fenomena yang meluas ditandai
dengan mengajukan figur individu dari keluarga incumbent dan elit politik senior
sebagai anggota parlemen atau kandidat kepada daerah. Pada sistem dinasti,
partisipasi publik tidak dibangkitkan bahkan ditolak, sehingga dapat dikatakan
bahwa sistem tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip good governance.
Kondisi itu disebut sebagai fenomena neo-patrimonial, yaitu regenerasi politik
berdasarkan ikatan genetis (Utomo, 2011). Pada kondisi demikian demokrasi lokal
yang ditegakkan melalui desentralisasi tidak lagi dapat dipercaya sebagai bagian
dari revitalisasi integritas nasional. Hal itu tidak saja memunculkan raja-raja kecil
di daerah tapi juga memunculkan kelas oligarki kekuasaan yang baru. Akibatnya
birokrasi yang dimunculkan pun adalah birokrasi yang lamban, tidak adil, dan
mengabaikan kepentingan rakyat, tidak berbeda dengan birokrasi di era sebelum
desentralisasi.
Sementara dari sisi pelayanan publik, terjadi peningkatan jumlah
pengaduan dari masyarakat mengenai buruknya kualitas pelayanan publik.
Gambar 1 menunjukkan pada tahun 2014 jumlah pengaduan masyarakat yang
diterima mencapai 6677 pengaduan, meningkat dibanding tahun 2013 dimana
pengaduan yang diterima 5173 pengaduan (Laporan Tahunan Ombudsman RI
Tahun 2014).

Sumber: Laporan Tahunan Ombudsman Republik Indonesia Tahun 2014

Gambar 1 Pengaduan masyarakat periode 2010 s.d 2014

6

Mayoritas pengaduan tersebut tentang dugaan maladministrasi pelayanan publik
pemerintah daerah. Gambar 2 menunjukkan pengaduan pada pelayanan
pemerintah daerah sebanyak 2887 laporan (43,24%), sedangkan kementerian
sebanyak 637 laporan (9,54%).

Sumber: Laporan Tahunan 2014 Ombudsman Republik Indonesia

Gambar 2 Pengaduan masyarakat berdasarkan instansi terlapor
Kondisi ini menunjukkan tingginya kepedulian masyarakat terhadap
permasalahan yang dialami ketika mendapat pelayanan yang tidak semestinya dan
kesadaran untuk mendapatkan pelayanan yang baik dan berkualitas. Sebagaimana
diketahui bahwa pelayanan sebagian besar berada pada penyelenggara pelayanan
di lingkungan pemerintah daerah.
Tabel 2 Pengaduan masyarakat berdasarkan provinsi pelapor
Provinsi
DKI Jakarta
Jawa Timur
Jawa Barat
Sulawesi Utara
Sulawesi Selatan
Jawa Tengah
Nusa
Tenggara
Timur
Sumatera Utara
Riau
Sumatera Barat
Kalimantan Barat
Lampung
Sulawesi Barat
Aceh
Sulawesi Tenggara
Bali
Kepulauan Riau

Jumlah
461
456
362
333
296
294
259

%
6,90
6,83
5,42
4,99
4,43
4,40
3,88

Provinsi
Sumatera Selatan
Nusa Tenggara Barat
Maluku
D.I. Yogyakarta
Kep. Bangka Belitung
Kalimantan Selatan
Papua

Jumlah
184
179
160
158
145
135
134

%
2,76
2,68
2,40
2,37
2,17
2,02
2,01

259
258
257
219
212
210
200
190
189
187

3,88
3,86
3,85
3,28
3,18
3,15
3,00
2,85
2,83
2,80

Banten
Bengkulu
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Jambi
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Maluku Utara
Papua Barat

132
125
125
123
117
102
97
69
50

1,98
1,87
1,87
1,84
1,75
1,53
1,45
1,03
0,75

6677

100%

Jumlah
Sumber: Laporan Tahunan Ombudsman Republik Indonesia Tahun 2014

7

Sementara Tabel 2 menunjukkan laporan pada instansi di Provinsi Jawa
Barat tercatat sebanyak 345 laporan (6,67%), menempati posisi keempat sebagai
daerah instansi terlapor. Hal ini menunjukkan tingginya kepedulian masyarakat
Jawa Barat akan kualitas pelayanan atau kualitas pelayanan instansi di Jawa Barat
yang memang masih belum memuaskan masyarakat. Pelayanan publik merupakan
salah satu indikator yang menunjukkan tingkat keberhasilan reformasi birokrasi.
Kualitas pelayanan publik yang harus diterima masyarakat diatur dalam Undangundang 25/2009 tentang Pelayanan Publik.
Buruknya birokasi juga terlihat dari tingginya kasus korupsi. Banyaknya
kasus korupsi yang ditangani penegak hukum yang melibatkan pejabat
penyelenggara negara menunjukkan bahwa praktek-praktek KKN masih terus
dilakukan meskipun reformasi telah digulirkan dan dilaksanakan di instansi
pejabat tersebut. Pada tahun 2014, KPK mencatat dari 54 terdakwa/tersangka
kasus korupsi, sebanyak 46% adalah aparat pemerintah atau birokrat (kepala
kementerian/lembaga, kepala daerah, eselon I/II/III). Sedangkan dari kurun waktu
2004-2012, Tabel 3 menunjukkan aparat pemerintah yang melakukan tindak
korupsi sebanyak 195 orang (43%) dari 450 tersangka/terdakwa yang ditangani.
Tabel 3 Tersangka/terdakwa menurut tingkat jabatan tahun 2004 s.d 2014
Jabatan
Anggota
DPR/DPRD
Kepala K/L
Duta Besar
Komisioner
Gubernur
Walikota/Bup
ati & Wakil
Eselon I,II,III
Hakim/Peneg
ak Hukum
Swasta
Lain-lain
Σ

Σ

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

-

-

-

2

7

8

27

5

16

8

4

77

1
-

1
3
-

1
2
2
3

2
1
7

1
1
1
2
5

1
2
5

2
1
1
4

4

1
4

4
2
3

9
2
12

20
4
7
12
47

2
-

9
-

15
-

10
-

22
-

14
-

12
1

15
2

8
2

7
4

2
2

116
11

1
4

4
6
23

5
1
29

3
2
27

12
4
55

11
4
45

8
9
65

10
3
39

16
3
50

24
7
59

15
8
54

109
47
450

Sumber: Laporan Tahunan 2012 s.d 2014 KPK, diolah

Modus korupsi yang dilakukan berupa: penggelembungan anggaran,
mendistribusikan anggaran untuk lembaga yang sebenarnya tidak ada, manipulasi
anggaran perjalanan, pelanggaran prosedur pembayaran tunai, dan manipulasi
proses pengadaan (Utomo, 2011). Menurut KPK, pada tahun 2014 dari 58 perkara
yang ditangani KPK, sebanyak 30 perkara terjadi pada pemerintah daerah dan 26
perkara terjadi pada kementerian/lembaga (Laporan Tahunan 2014 KPK).
Sedangkan pada kurun waktu 2004-2014 tindak pidana korupsi yang terjadi di
lingkungan kementerian/lembaga adalah 183 kasus (45%), dan pada lingkungan
pemerintah daerah sebanyak 150 kasus (36%), dari total 411 kasus yang ditangani,
terlihat pada Tabel 4.

8

Tabel 4 Perkara tindak pidana korupsi berdasarkan instansi tahun 2004 s.d 2014
Tahun

Instansi
DPR RI
K/L
BUMN/D
Komisi
2004
1
2005
5
4
9
2006
10
4
2007
12
2
2008
7
13
2
2
2009
10
13
5
2010
7
16
7
2
2011
2
23
3
1
2012
6
18
1
2013
2
46
2014
2
26
Jumlah
36
183
22
20
Sumber: Laporan Tahunan 2012 s.d 2014 KPK, diolah

Jumlah
Pemprov
1
1
9
2
5
4
3
13
4
11
53

Pemkab/kot
4
8
18
5
8
7
10
18
19
97

2
19
27
24
47
37
40
39
48
70
58
411

Pada kurun waktu 2004-2014, kasus korupsi banyak terjadi pada
pemerintah pusat. Sebanyak 189 kasus dari 411 kasus yang ditangani KPK ada
pada pemerintah pusat. Sedangkan kasus korupsi yang ditangani KPK di Provinsi
Jawa Barat pada kurun waktu tersebut sebanyak 44 kasus menempati urutan kedua
untuk kasus terbanyak, terlihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Perkara korupsi berdasarkan wilayah tahun 2004 s.d 2014
Instansi
Pemerintah Pusat
Jawa Barat
Riau dan Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Tengah
Lain-lain
Jumlah

Jumlah kasus (2004 s.d 2014)
189
44
29
28
17
114
411

Sumber : Laporan Tahunan 2012 s.d 2014 KPK, diolah

Inkonsistensi antara penilaian kinerja lembaga dengan tingginya keluhan
pelayanan publik dan kasus korupsi yang terjadi menunjukkan bahwa reformasi
birokasi belum sepenuhnya berhasil. Beberapa kritik tentang reformasi birokrasi
menyebutkan bahwa reformasi birokrasi direduksi menjadi hanya soal
mendapatkan tambahan pendapatan, sedangkan transformasi tata kelola yang
sesungguhnya tidak menjadi pokok permasalahan utama. Seringkali reformasi
diidentikkan sebagai remunerasi. Remunerasi merupakan konsekuensi logis dari
reformasi sehingga beban anggaran meningkat pesat untuk mendanai reformasi.
Kelemahan lain adalah ketika reformasi birokrasi hanya dipandang dari sisi
penguatan proses bisnis semata daripada sebagai pembangunan kultur hasil atau
kultur kepercayaan publik (Utomo, 2011). Lebih-lebih ketika dokumen proposal
reformasi yang diajukan dibuat oleh lembaga konsultan sehingga para pegawai
justru tidak mengalami proses belajar, perubahan pola pikir, dan perbaikan yang
nyata. Akibatnya birokrasi yang dijalankan hanya menampilkan reformasi yang
semu (lebih bersifat nominal) bukan substansial.

9

Untuk itu perlu dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan reformasi
birokrasi supaya reformasi birokrasi yang dijalankan tidak tergelincir ke dalam
proses perbaikan semu yang tidak sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan.
Apalagi mengingat pentingnya peran birokrasi dalam proses pembangunan.
Kualitas birokrasi dapat menentukan tingkat keberhasilan pembangunan. Apabila
kelembagaan birokrasi terus ditingkatkan kualitasnya maka pembanguan dapat
berjalan efektif dan kinerja pemerintah meningkat. Selama ini evaluasi yang
dilakukan bersifat self assessment oleh internal instansi yang kemudian dinilai
secara menyeluruh oleh Kementerian PAN dan RB. Evaluasi dilakukan untuk
melihat pengaruh antara pelaksanaan reformasi birokrasi dengan kinerja
organisasi atau lembaga, khususnya pemerintah daerah. Semestinya lembaga yang
telah melaksanakan reformasi birokrasi memiliki kinerja yang lebih baik daripada
lembaga yang belum karena reformasi bekerja pada bagian utama suatu
organisasi. Selain itu, evaluasi berguna sebagai masukan untuk perbaikan
berkelanjutan. Pada akhirnya diharapkan dapat dirumuskan suatu strategi untuk
mendorong peningkatan keberhasilan reformasi birokrasi menuju level yang lebih
baik.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang ingin dijawab dalam
penelitian ini adalah :
1. Sejauhmana pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia, khususnya pada
pemerintah daerah?
2. Bagaimana pengaruh pelaksanaan reformasi birokrasi terhadap kinerja
organisasi/instansi tersebut?
3. Bagaimana strategi untuk mendorong tingkat keberhasilan reformasi
birokrasi?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Melakukan analisis pelaksanaan reformasi birokrasi pada pemerintah
daerah
2. Mengetahui pengaruh pelaksanaan reformasi birokrasi terhadap kinerja
pemerintah daerah.
3. Merumuskan strategi peningkatan tingkat keberhasilan reformasi birokrasi.

Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi lembaga atau
instansi terkait dalam mengevaluasi pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia.
Selain itu diharapkan hasil evaluasi dapat bermanfaat bagi perencanaan
selanjutnya dalam upaya peningkatan keberhasilan pelaksanaan reformasi
birokrasi.
Ruang Lingkup Penelitian
Fokus penelitian ini adalah menganalisis pengaruh penerapan reformasi
birokrasi terhadap kinerja dari pemerintah daerah. Selain itu juga mengevaluasi

10

program reformasi birokrasi yang dijalankan oleh pemerintah daerah. Evaluasi
dilakukan untuk mengetahui sejauhmana keberhasilan pemerintah daerah dalam
melaksanakan reformasi birokrasi. Evaluasi dilakukan dengan mengacu pada
Pedoman Evaluasi Reformasi Birokrasi Instansi Pemerintah dalam Permenpanrb
14/2014. Contoh kasus yang diambil sebagai obyek penelitian adalah birokrasi
pada pemerintah daerah yaitu Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dengan fokus pada
instansi yang erat hubungannya dengan pelayanan pada masyarakat. Pemilihan
lokasi ini didasari pada pertimbangan bahwa birokrasi pemerintah provinsi Jawa
Barat tidak menunjukkan sifat khusus yang ekstrim sehingga dianggap dapat
menggambarkan kondisi birokrasi pemerintah daerah di Indonesia secara umum.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Birokrasi
Menurut Riyadini (2013), birokrasi adalah hirarki pakar teknis dalam
bidang administrasi. Birokrasi merupakan alat untuk menjalankan otoritas negara
lewat kekuasaan dalam memberikan perintah. Semakin tinggi hirarkinya maka
otoritas yang dimiliki juga semakin tinggi. Birokrasi juga merupakan sebuah
organisasi, yang memiliki aturan yang jelas, kekuasaan yang tegas, dan fungsi
yang pasti. Roskin et all (2005) menyebut pengertian birokrasi sebagai setiap
organisasi yang berskala besar yang terdiri dari para pejabat yang diangkat,
dimana fungsi utamanya adalah untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang
telah diambil oleh para pengambil keputusan. Sementara menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai sistem pemerintahan yang
dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan
jenjang jabatan. Dapat disimpulkan bahwa birokrasi adalah organisasi yang
memiliki hirarki, aturan, kekuasaan, dan fungsi yang pasti serta terdiri dari pejabat
yang diangkat untuk menjalankan kebijakan dan administrasi di bidang
pemerintahan. Birokrasi merupakan institusi yang menggerakkan pembangunan.
Tanpa peran birokrasi, pembangunan dapat mengalami stagnasi dan kehilangan
arah (Irawati, 2007).
Teori utama birokrasi berasal dari Max Weber (1864-1920). Ciri birokrasi
menurut Weber adalah: pertama, berbagai aktivitas regular yang diperlukan untuk
mencapai tujuan-tujuan organisasi yang didistribusikan dengan suatu cara baku
sebagai kewajiban-kewajiban resmi. Kedua, organisasi kantor-kantor mengikuti
prinsip hirarki, yaitu setiap kantor yang lebih rendah berada di bawah kontrol dan
pengawasan kantor yang lebih tinggi. Ketiga, operasi-operasi birokratis
diselenggarakan melalui suatu sistem kaidah-kaidah abstrak yang konsisten dan
terdiri atas penerapan kaidah ini terhadap kasus-kasus spesifik. Keempat, pejabat
yang ideal menjalankan kantornya secara formal tanpa kebencian atau kegairahan
dan karenanya tanpa antusiasme dan afeksi. Birokrasi pemerintahan seringkali
diartikan sebagai kerajaan pejabat (official dom) yaitu kerajaan yang raja-rajanya
adalah pejabat dimana setiap pejabat memiliki official duties dan bekerja pada
tatanan hirarki dengan kompetensi masing-masing (Irawati, 2007).
Namun dalam perkembangannya, paradigma birokrasi ala Weber yang
hirarkis mendapat koreksi sehingga berubah menjadi birokrasi yang
memperhatikan partisipasi, kerja tim dan kontrol rekan kerja (peer group), bukan

11

lagi didominasi oleh kontrol atasan. Menurut Carino dalam Irawati (2007),
paradigma birokrasi modern antara lain: 1) Catalytic government: steering rather
than rowing. Pemerintah sebagai katalis: lebih berperan sebagai penyetir daripada
pendayung. Bidang-bidang atau pekerjaan yang sekiranya sudah dapat dikerjakan
oleh masyarakat sendiri tidak lagi dikerjakan oleh pemerintah dan birokrasi; 2)
Community-owned government: empowering rather than serving. Pemerintah
adalah milik masyarakat: lebih baik memberdayakan daripada melayani.
Pemerintah dipilih oleh wakil masyarakat sehingga seharusnya menjadi milik
masyarakat. Akan lebih baik memberikan pemberdayaan kepada masyarakat
untuk mengurus masalah secara mandiri daripada menjadikan masyarakat
tergantung terhadap pemerintah; 3) Competitive government: injecting
competition into service delivery. Pemerintah yang kompetitif adalah
pemerintahan yang memasukkan semangat kompetisi di dalam birokrasinya.
Pemerintah perlu menjadikan birokrasinya saling bersaing antar bagian (dalam arti
positif) dalam memberikan pendampingan dan penyediaan regulasi dan barangbarang kebutuhan publik.
Konsep birokrasi modern terus mengalami pembaruan seiring dengan
perkembangan jaman. Salah satunya adalah konsep yang dikemukakan oleh
Osborne yaitu Reinventing Government (Osborne, 1993). Konsep ini menjelaskan
perubahan perspektif baru birokasi pemerintahan, yaitu pemerintahan katalis,
pemerintahan milik masyarakat, pemerintahan yang kompetitif, pemerintahan
yang digerakkan oleh misi, pemerintahan yang berorientasi pada hasil,
pemerintahan yang berorientasi pada pelanggan, pemerintahan wirausaha,
pemerintahan antisipatif, pemerintahan desentralisasi, dan pemerintahan yang
berorientasi pada pasar. Sementara Denhardt & Denhardt (2000) memperkenalkan
konsep Pelayanan Publik Baru (The New Public Service) dalam birokrasi
pemerintah. Konsep Pelayanan Publik Baru mengusung tujuh prinsip dalam
menjalankan birokrasi yaitu: 1) Lebih berperan untuk melayani minat dan
kepentingan masyarakat daripada mengarahkan (serve, rather than steer); 2)
Kepentingan publik adalah tujuan, bukan produk. Tujuan pelayanan bukanlah
menemukan solusi cepat yang didorong pilihan individu, tapi membagi
tanggungjawab dan kepentingan; 3) Berpikir strategis namun bertindak
demokratis. Kebijakan dan program untuk memenuhi kebutuhan publik dapat
dijalankan dengan efektif melalui usaha kolektif dan proses kolaboratif; 4)
Melayani warganegara, bukan memenuhi keinginan pelanggan. Kepentingan
publik dihasilkan dari proses dialog tentang nilai-nilai bukan dari kumpulan dari
kepentingan individu. Sehingga birokrat tidak terfokus untuk memenuhi keinginan
pelanggan namun fokus membangun hubungan berdasarkan kepercayaan dan
kolaborasi dengan masyarakat; 5) Akuntabilitas bukan hal sederhana, tapi
mencakup kepatuhan terhadap hukum dan peraturan, nilai-nilai masyarakat,
norma politik, standar professional, dan kepentingan masyarakat; 6) Menghargai
pribadi (people) bukan hanya mengenai produktivitas. Organisasi publik dan
jaringan yang dibangun akan bertahan lama bila dijalankan dengan proses
kolaboratif dan membagi kepemimpinan dengan menghargai pada semua pihak;
7) Menghargai kewarganegaraan dan pelayanan publik melebihi kewirausahaan.
Kepentingan publik akan terpenuhi dengan baik bila birokrat berkomitmen untuk
memberikan kontribusi yang berarti untuk masyarakat daripada menonjolkan sisi
kewirausahaan yang mementingkan keuntungan.

12

Menurut Roskin (2005) ada empat fungsi birokrasi dalam pemerintahan
modern, yaitu : 1) administrasi yang berarti pelaksanaan kebijakan umum untuk
mengimplementasikan undang-undang meliputi administrasi, pelayanan,
pengaturan, perizinan, dan pengumpul informasi; 2) pelayanan yaitu untuk
melayani masyarakat; 3) pengaturan (regulation) dimana fungsi pengaturan yang
dijalankan suatu pemerintahan bisanya dirancang untuk mengamankan
kesejahteraan masyarakat. Birokrasi negara seringkali menghadapi dua pilihan
yaitu kepentingan individu versus kepentingan masyarakat; 4) pengumpul
informasi, yaitu sebagai ujung tombak dalam menyediakan data-data informasi
yang dibutuhkan pemerintah membuat kebijakan supaya sedapat mungkin disusun
berdasarkan situasi faktual atau untuk mengetahui apakah suatu kebijakan
mengalami sejumlah pelanggaran.
Birokrasi di Indonesia di masa orde baru sering mendapat sorotan dan
kritik tajam karena tidak sesuai dengan tugas yang diembannya sebagai pelayan
masyarakat. Menurut Romli (2009) birokrasi di Indonesia telah berkembang
menjadi birokrasi yang lamban, berbelit-belit, menghalangi kemajuan, cenderung
memperhatikan prosedur daripada substansi, dan tidak efisien. Jackson dalam
Romli (2009) menilai bahwa birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic
capitalism dimana terjadi akumulasi kekuasaan pada negara dan menyingkirkan
peran masyarakat dari ruang politik dan pemerintahan.
Selain itu, melalui pendekatan budaya birokrasi Indonesia masuk dalam
kategori birokrasi patrimonial. Birokrasi patrimonial dicirikan dengan 1) pejabat
disaring atas dasar kriteria pribadi, 2) jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan
dan keuntungan, 3) para pejabat mengontrol fungsi politik dan fungsi administrasi,
4) setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik (Romli, 2009).
Budaya paternalisme yang masih kuat mengakar dalam birokrasi menempatkan
pimpinan sebagai pihak yang paling dominan. Corak hubungan antara birokrat
dengan masyarakat, pimpinan dan bawahan bersifat hirarkis seperti ayah dan anak
sehingga lebih bersifat informal, pribadi, dan diwarnai kebiasaan tidak resmi yang
berkembang dalam struktur birokrasi (Kurniawan, 2013). Di dalam budaya
paternalisme terdapat nilai pentingnya peranan atasan dalam memberikan
perlindungan terhadap bawahan, yaitu berwujud status dan pangkat yang melekat
yang menentukan status sosial bawahan di masyarakat. Pengaruh paternalisme
membawa konsekuensi pada pola pendelegasian wewenang yang terjadi dalam
birokrasi. Seringkali didasarkan pada kedekatan hubungan antara pimpinan dan
bawahan dan dibangun berdasarkan perasaan suka dan tidak suka.
Birokrasi semacam itu muncul sebagai pengaruh dan warisan dari sistem
nilai tradisional masa kerajaan di masa lampau dan bercampur dengan birokrasi
gaya kolonial. Struktur, norma dan nilai regulasi yang ada masih berorientasi pada
pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara.
Tidak mengherankan jika struktur dan proses yang dibangun merupakan
instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat dan bukan
sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugas memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Misi utama birokrasi patrimonial adalah untuk
mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perilaku individu (Prasojo &
Kurniawan, 2008). Faktor kultural warisan kolonial tersebut dapat mendorong
timbulnya korupsi, sebagai contoh adanya tradisi pemberian hadiah kepada
pejabat. Tindakan itu menurut masyarakat Eropa dan Amerika dianggap korupsi,

13

namun tidak oleh masyarakat Asia, termasuk Indonesia. Bahkan sebagian
kalangan memandangnya sebagai bentuk pemenuhan kewajiban oleh bawahan
terhadap atasan (Kurniawan, 2013).
Menurut Kurniawan (2013), birokrasi di Indonesia dikatakan mengalami
kegagalan karena hingga kini masih menghadapi berbagai masalah terutama
dalam pelayanan publik. Hal itu terlihat dari adanya 1) krisis kepercayaan
terhadap birokrasi publik, birokrasi masih menjadi instrumen penguasa, dimana
kepentingan penguasa cenderung sentral dan mengalahkan kepentingan publik
tercermin dalam kebijakan publik; 2) masyarakat tidak memiliki kesempatan dan
ruang yang cukup dalam proses pembuatan kebijakan publik; 3) pengabaian
aspirasi dan kepentingan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik; 4)
meluasnya praktek KKN sebagai sumber bureaucratic cost; 5) rendahnya
kemampuan birokrasi merespon krisis dan tidak adanya inisiatif dan kreativitas
dalam mengendalikan krisis; 6) orientasi pada kekuasaan sehingga pelayanan
publik mengalami distorsi. Selain itu kegagalan birokrasi juga tercermin dari tidak
terdeteksinya kinerja birokrasi. Kinerja birokrasi belum dianggap sebagai sesuatu
yang penting untuk diukur dan dipantau. Terdapat ketidakjelasan informasi
mengenai indikator kinerja birokrasi publik yang disebabkan kompleksitas
indikator kinerja yang digunakan dalam mengukur kinerja birokrasi. Kompleksitas
itu sebagai akibat banyaknya stakeholder birokrasi: masyarakat, anggota DPR,
partai politik, kelompok kepentingan yang berbeda. Kinerja yang tidak jelas
membuat sistem reward dan punishment tidak berjalan, proses
pertanggungjawaban dari dalam atau atas inisia