Kebijakan Perlindungan Lahan Sawah Dalam Mengatasi Alih Fungsi Lahan Sawah

(1)

KEBIJAKAN PERLINDUNGAN LAHAN SAWAH

DALAM MENGATASI ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH

(Studi Kasus di Kota Sukabumi, Propinsi Jawa Barat)

ARI WIJAYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kebijakan Perlindungan Lahan Sawah dalam Mengatasi Alih Fungsi Lahan Sawah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Nopember 2016 Ari Wijayanti NIM H152130161


(4)

RINGKASAN

ARI WIJAYANTI. Kebijakan Perlindungan Lahan Sawah dalam Mengatasi Alih Fungsi Lahan Sawah. Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI dan KHURSATUL MUNIBAH.

Konversi lahan sawah di Kota Sukabumi berada pada kondisi yang mengkhawatirkan dimana pengurangan lahan tiap tahunnya mencapai 6.06 ha, padahal produktivitasnya tinggi mencapai 6.7 ton/ha. Peraturan mengenai perlindungan lahan pertanian pangan telah dibuat oleh pemerintah, namun implementasinya belum dilaksanakan di semua kabupaten/kota. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis konversi lahan sawah menjadi lahan non sawah di Kota Sukabumi, menganalis faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi petani mengenai kesediaan untuk mengikuti Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B), dan menentukan strategi pengendalian alih fungsi lahan sawah di Kota Sukabumi.

Penelitian ini menggunakan analisis overlay untuk mengetahui konversi lahan sawah pada tahun 2010, 2012 dan 2015. Karakteristik internal dan eksternal yang diduga menjadi faktor yang mempengaruhi persepsi petani pada kesediaan mengikuti PLP2B dianalisis menggunakan regresi logistik. Analisis A‟WOT digunakan untuk merumuskan strategi untuk mengimplementasikan PLP2B.

Hasil analisis menunjukkan bahwa lahan sawah terkonversi dari tahun 2010 hingga 2015 adalah seluas 181.94 ha, dengan kecenderungan pergeseran ke arah Barat Laut atau ke pusat pertumbuhan dari Kota Sukabumi. Faktor yang mempengaruhi petani bersedia untuk mengikuti PLP2B adalah status kepemilikan lahan, pendidikan, pengalaman, proses perijinan pengubahan lahan, dan frekuensi kedatangan penyuluh. Strategi untuk melindungi lahan sawah dari konversi adalah dengan meningkatkan produktivitas, membangun kerjasama dengan pihak swasta dan penguatan kelembagaan kelompok tani.

Kata Kunci: Kebijakan PlP2B, Konversi Sawah, Persepsi Petani, Strategi Perlindungan


(5)

SUMMARY

ARI WIJAYANTI. The Policy of Paddy Land Ptotection to Control Paddy Land Conversion In Sukabumi City. Supervised by EKA INTAN KUMALA PUTRI and KHURSATUL MUNIBAH.

Paddy land conversion in Sukabumi City is worrying whereas its rate is 6,06 ha annually, while its production is very high that reaches 6.7 ton/ha. The rules regarding the protection of agricultural land food has been made by the government, but its implementation has not been implemented in all districts. The aims of this study are to analyze the total paddy land that had been converted into other uses, to analyze the factors that affect perception of farmers about the willingness to follow Sustainable Food Agricultural Land Protection Policy, as well as to formulate strategies to implement this program.

The method used are by using overlay land use map year 2010, 2012 and 2015. Internal and external characteristics that presumed affect farmers perception

about willingness to follow PLP2B analized with logistic regression. A‟WOT

analysis used to find the strategy for PLP2B implementation.

The results show that paddy land that had been converted into other uses as many as 181.94 ha, with the trend shifting to the Northwest or to the center of the growth of the town of Sukabumi. Factors that affect farmers are willing to follow the PLP2B is the status of land tenure, education, experience, the process of permitting land conversion, and the frequency of the arrival of extension officers. The main strategies to implement this program are by increasing productivity, developing cooperation between private sector and farmer group, and strengthening its institution.

Keywords: PLP2B policies, Paddyland Conversion, Farmers Perception, Protection Strategies


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Perencanaan Pembangunan Willayah dan Perdesaan

KEBIJAKAN PERLINDUNGAN LAHAN SAWAH

DALAM MENGATASI ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH

(Studi Kasus di Kota Sukabumi, Propinsi Jawa Barat)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(8)

(9)

Judul Tesis Nama

N1M

: Kebijakan Perlindungan Lahan Sawah dalam Mengatasi Alih Fungsi Lahan Sawah (Studi Kasus di Kota Sukabumi, Jawa Barat) : Ari Wijayanti

: H152130161

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

dイNdイ。セ@ Khursatul ¥unibah, M .Sc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi TImu Perencanaan Pembangunan

Wilayah dan Perdesaan

セN@

Prof OJ. Ir. Bambang Juanda, MS


(10)

Judul Tesis : Kebijakan Perlindungan Lahan Sawah dalam Mengatasi Alih Fungsi Lahan Sawah (Studi Kasus di Kota Sukabumi, Jawa Barat) Nama : Ari Wijayanti

NIM : H152130161

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.Si Ketua

Dr.Dra. Khursatul Munibah, M.Sc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan

Wilayah dan Perdesaan

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat, kasih dan rahmat-Nya tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis ini berjudul

“Kebijakan Perlindungan Lahan Sawah Dalam Mengatasi Alih Fungsi Lahan Sawah, Studi Kasus: Kota Sukabumi, Propinsi Jawa Barat,“ yang disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan di Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.Si dan Dr. Dra. Khursatul Munibah M.Sc selaku pembimbing. Ungkapan cinta dan juga terima kasih teruntuk keluarga, suami, anak-anak terkasih, ibu dan kakak dan teman-teman PWD 2013 atas dukungan dan doanya.

Tesis ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca. Semoga Tesis ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2016


(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 6

Tujuan Penelitian 7

Manfaat Penelitian 7

Ruang Lingkup Penelitian 7

2 TINJAUAN PUSTAKA 8

Konversi Lahan 8

Strategi Implementasi Kebijakan Perlindungan Lahan Sawah 9

Kebijakan Lahan 10

Penelitian Terdahulu 13

Kerangka Pemikiran 14

Hipotesis 16

3 METODE 17

Waktu dan Lokasi Penelitian 17

Jenis dan Sumber Data 17

Metode Pengumpulan Data 18

Metode Pengolahan dan Analisis Data 19

Analisis Konversi Lahan Sawah 20

Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Petani Bersedia Mengikuti

Perlindungan Lahan Sawah 21

Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah 22

4 GAMBARAN UMUM 27

Geografis dan Administrasi 27

Penggunaan Lahan Sawah 29

Kependudukan dan Tenaga Kerja 30

Perekonomian 32

Sektor Pertanian 34

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 38

Konversi Lahan Pertanian (Sawah) ke Lahan Non-Sawah 38


(13)

Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Petani Terhadap PLP2B 55

Kesiapan Pemerintah Daerah 58

Kebijakan Lahan 59

Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan 62

Implikasi Kebijakan 70

6 SIMPULAN DAN SARAN 71

Simpulan 71

Saran 71

DAFTAR PUSTAKA 72

LAMPIRAN 75


(14)

DAFTAR TABEL

1 Luas Lahan Sawah, Luas Panen, Produktivitas Tahun 2012 dan

Jumlah Penduduk di Indonesia 2

2 Luas Lahan Sawah Irigasi, Luas Konversi Lahan Sawah Irigasi, dan Laju Konversi Lahan Sawah Irigasi di Propinsi Jawa Barat Tahun

2009 - 2013 3

3 Matriks Penelitian 20

4 Skala Pengisian Matriks Perbandingan Berpasangan 24

5 Pembobotan Unsur-unsur SWOT Berdasarkan Analisis AHP 25

6 Analisis SWOT pada Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan di

Kota 26

7 Ranking Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan di Kota

Sukabumi 27

8 Kecamatan dan Kelurahan di Kota Sukabumi 28

9 Luas Penggunaan Lahan Kecamatan di Kota Sukabumi Tahun 2014

(Ha) 29

10 Luas Lahan Kering dan Penggunaannya di Kota Sukabumi Tahun

2014(Ha) 29

11 Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk di Kota

Sukabumi Tahun 2014 30

12 Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kota Sukabumi

Tahun 2014 (Orang) 31

13 Struktur Ekonomi Kota Sukabumi Menurut Kelompok Sektor Atas

Dasar Harga Konstan (Persen) 33

14 Panjang Irigasi dan Luas Lahan Sawah di Kota Sukabumi 36

15 Jumlah dan Nama Usaha Penggilingan Padi di Kota Sukabumi 37

16 Perubahan Luas Lahan Sawah Per Kecamatan di Kota Sukabumi

Tahun 2010 hingga 2015 40

17 Analisis Usahatani Padi Sawah MT I 2014/2015 per Ha 48

18 Hubungan Pendapatan Terkait Luas Lahan dan Status Garap 49

19 Skenario Besaran Insentif per Musim Tanam 55

20 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Petani Bersedia

Mengikuti PLP2B 56

21 Pembobotan Komponen dan Faktor-Faktor SWOT 64

22 3 Jumlah Bobot dan Ranking Strategi Pengendalian Alih Fungsi

Lahan di Kota Sukabumi 69

DAFTAR GAMBAR

1 Peta Lahan Sawah di Kota Sukabumi Tahun 2012 4

2 Grafik Luas Lahan Sawah Tahun 2010 dan 2012 5

3 Peta Alternatif 2 Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan


(15)

4 Alur Peraturan Perundang-undangan Penataan Ruang Bidang

Pertanian 12

5 Kerangka Pikir Penelitian 16

6 Lokasi Penelitian 17

7 Diagram Alir Pengambilan Sampel 18

8 Peta Lokasi Lahan Petani dengan Batasan Jalan 19

9 Struktur AHP Penentuan Prioritas Kebijakan Perlindungan Lahan

Sawah Irigasi 24

10 Peta Administratif Kota Sukabumi 27

11 Jumlah Pencari Kerja Menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis

Kelamin di Kota Sukabumi pada Tahun 2014 31

12 Penduduk 10 Tahun ke Atas Menurut Ijazah Tertinggi 32

13 Penyebaran Bendungan/Pintu Air dan Saluran Irigasi 34

14 Hubungan antara Luas Lahan Sawah dengan Panjang Irigasi di

Setiap Kelurahan 35

15 Peta Sawah di Kota Sukabumi Tahun a) 2010, b)2012 dan c)2015 39

16 Peta Pergeseran Konversi Lahan Tahun 2010-2015 di Kota

Sukabumi 41

17 Konversi Lahan Sawah Beririgasi 42

18 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia 43

19 Karakter Responden Berdasarkan Pendidikan 44

20 Karakteristik Responden Berdasarkan: (a) Luas Lahan, (b) Status

Kepemilikan Lahan 45

21 Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman 46

22 Jumlah Anggota Keluarga Petani 46

23 Karakteristik Rumah Tangga Petani Berdasarkan: (a) Jumlah Sumber Pendapatan, (b) Mata Pencaharian Utama 47

24 Frekuensi Kedatangan Penyuluh ke Petani 51

25 Karakteristik Petani Berdasarkan: (a) Jarak Lahan ke Jalan, (b) Jarak

Lahan ke Rumah 52

26 Karakteristik Prasarana Usahatani di Lahan Petani 53

27 Perijinan Konversi Lahan Berdasarkan Responden 53

28 Penentuan Prioritas Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan 63

29 Matriks Penentuan Prioritas S-W-O-T untuk Strategi Implementasi

Kebijakan PLP2B 62


(16)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Padi dapat tumbuh di 114 negara di dunia dan menjadi makanan pokok hampir sebagian penduduk dunia (Katayama N, et.al, 2015). Padi diproduksi disebagian besar Asia, dimana 90 persen tempat padi tumbuh, tetapi padi juga tumbuh di Amerika, Afrika dan Eropa (Elphick, 2010). Di antara komoditas pangan, padi/ beras merupakan bahan pangan pokok bagi penduduk Indonesia. Indonesia sebagai sebuah negara harus dapat memenuhi kebutuhan pangan pokoknya melalui swasembada atau mengimpor dari negara lain.

Pertumbuhan penduduk meningkat tiap tahunnya, pada tahun 1990 penduduk Indonesia mencapai 178,6 ribu juta, tahun 2000 dan 2010 berturut-turut mencapai 205,1 dan 237,6 ribu juta. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat mengakibatkan bertambahnya kebutuhan - kebutuhan pokok penduduk, salah satunya adalah kebutuhan akan pangan. Kebutuhan akan beras semakin hari semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan bergesernya pola konsumsi masyarakat dari non-beras ke beras Kebutuhan pangan terutama beras bertambah, sementara luas lahan pertanian tetap bahkan jumlahnya menurun karena terkonversi menjadi lahan non-pertanian.

Periode 1992-2002, laju konversi lahan pertanian menjadi non pertanian sebesar 110.000 ha/tahun dan meningkat menjadi 145,000 ha/tahun pada tahun 2002-2006, dan pada tahun 2007-2010 menjadi 200,000 ha/tahun (Khudori, 2012). Ini mencakup konversi ke penggunaan non-pertanian maupun ke penggunaan lahan untuk usahatani non-sawah. Di Pulau Jawa (wilayah di mana lahan sawahnya beririgasi teknis dan semi teknis yang sangat produktif) sebagian besar dikonversi ke penggunaan non-pertanian (58.7 % menjadi perumahan, 21.8 % menjadi kawasan industri, perkantoran, dan pertokoan). Di luar Pulau Jawa, proporsi lahan sawah yang beralih fungsi menjadi perumahan adalah sekitar 16.1 persen, sedangkan yang beralih fungsi menjadi lahan pertanian non-sawah sekitar 49 persen (Bappenas, 2008). Jika tetap business as usual dalam pengendalian konversi lahan sawah, sekitar 42 persen lahan sawah akan terkonversi dalam rencana tata ruang. Di Pulau Jawa dan Bali lahan sawah akan terkonversi mencapai 49 persen (Winoto, 2005).

Lahan pertanian di Indonesia dikelompokkan menjadi lahan pekarangan, tegalan/ladang, sawah, perkebunan, tanaman kayu-kayuan, kolam/tambak, padang rumput, dan lahan yang sementara tidak diusahakan (padang alang-alang dan semak belukar), dengan luas total 70.20 juta ha (BPS 2008). Selama tahun 1986− 2004, luas lahan sawah tidak banyak bertambah, bahkan menurun dari 8.50 juta ha pada tahun 1993 menjadi 7.70 juta ha pada tahun 2004. Irawan et al. (2001) telah menghitung neraca lahan sawah tahun 1981−1999. Hasilnya menunjukkan bahwa pada periode tersebut terjadi konversi lahan sawah seluas 1.60 juta ha, tetapi juga terdapat penambahan melalui pencetakan sawah baru seluas 3.20 juta ha sehingga lahan sawah bertambah 1.60 juta ha. Namun, pada tahun 1999−2002 terjadi penciutan luas lahan sawah 0.40 juta ha karena konversi. Winoto (2005) mengemukakan, berdasarkan rencana tata ruang kabupaten/kota di Indonesia,


(17)

2

diperkirakan akan terjadi konversi lahan sawah seluas 3,099,020 ha atau 42.37 persen dari luas total lahan sawah.

Tabel 1 Luas Lahan Sawah, Luas Panen, Produktivitas Tahun 2012 dan Jumlah Penduduk di Indonesia

oNo Pulau

Luas Lahan Luas Panen Produk-tivitas (Ku/Ha)

Penduduk (000

Ha)* %

(000 Ha) % (000

jiwa) % 111 1 Sumatera 2,224.8 27.36 3,487.1 25.94 41.59 56,586 22.31

2 Jawa 3,444.3 42.35 6,185.5 46.00 58.29 139,242 54.91 3 Bali&Nusa Tenggara 462.7 5.69 774.5 5.76 47.56 14,520 5.73 4 Kalimantan 1,032.1 12.69 1,318.2 9.80 35.47 15,420 6.08 5 Sulawesi 920.0 11.31 1,596.9 11.88 47.14 19,899 7.85 6 Maluku&Papua 48.5 0.60 83,2 0.62 38.56 7,933 3.13

Indonesia 8,132.3 13,445.5 268.60 253,602 Sumber: BPS, 2013, diolah

*) : Data hasil kesepakatan Kementerian Pertanian dan BPN (hasil pemetaan lahan sawah)

Pulau Jawa memiliki tanah yang subur dengan produktivitas hingga 58.29 ku/ ha untuk menanam padi dan 42,35 persen lahan sawah berada di Pulau Jawa (Tabel 1). Namun Pulau Jawa juga memiliki permasalahan lain yaitu kepadatan penduduknya paling besar dibandingkan dengan Pulau lainnya (54,91persen), sehingga hal tersebut menjadi salah satu pemicu terjadinya konversi lahan pertanian khususnya sawah ke non sawah. Adanya konversi ini juga dapat merugikan ketahanan pangan karena sekitar 55 persen konsumsi kalori dan 45 persen konsumsi protein rumah tangga berasal dari beras, sedangkan sekitar 90 persen produksi beras nasional dihasilkan dari lahan sawah (Irawan, 2005).

Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi padi di Indonesia yang harus dipertahankan tetapi tidak terlepas dari masalah konversi lahan sawah ke penggunaan non-sawah dan merupakan jalur utama dalam pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa. Daerah-daerah pertanian diantara pusat industri menjadi stimulus terhadap sektor lainnnya untuk berkembang, misalnya sektor transportasi, komunikasi, jasa, dan perdagangan. Dengan berkembangnya industri di Provinsi Jawa Barat menjadi daya tarik bagi penduduk luar wilayah untuk bermigrasi ke wilayah ini. Luas lahan sawah irigasi, luas konversi lahan sawah irigasi, dan laju konversi lahan sawah di Provinsi Jawa Barat dari tahun 2009 sampai tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 2.


(18)

3 Tabel 2 Luas Lahan Sawah Irigasi, Luas Konversi Lahan Sawah Irigasi, dan Laju Konversi Lahan Sawah Irigasi di Propinsi Jawa Barat Tahun 2009 - 2013

Tahun Luas Lahan Sawah Irigasi (Ha)

Konvesi Lahan Sawah Irigasi (Ha)

Laju Konversi Lahan Sawah Irigasi (persen)

2009 759,499 3,095 0.40

2010 755,966 3,543 0.47

2011 755,275 681 0.09

2012 673,991 81,284 10.76

2013 744,090 (70.099) (10.40)

Total 3,688,811 18,504 1.32

Rata-rata 737,782 3,700 0.26

Sumber: Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Barat 2015 (diolah)

Berdasarkan tabel 2 di atas konversi lahan sawah beririgasi di Jawa Barat nyata terjadi dengan rata-rata laju konversinya 0.26 persen per tahunnya. Setiap tahunnya konversi lahan terus terjadi kecuali pada tahun 2013 telah terjadi penambahan luas lahan sawah irigasi dikarenakan adanya pencetakan lahan sawah dan perbaikan dari metode pengukuran luas lahan sawah yang berbeda.

Upaya pemerintah untuk mencegah laju konversi lahan pertanian dalam mendukung pencapaian swasembada pangan yaitu dengan UU No. 41 tahun 2009, tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Lahan pertanian pangan yang potensial dan telah sesuai kriteria untuk dilindungi, perlu ditetapkan dan dimasukkan dalam Peraturan Daerah dan merupakan bagian integral dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang rinci di Kabupaten/Kota. Produk turunan dari UU No.41 tahun 2009 pun dibuat untuk mendukung implementasi pelaksanaan kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Gubernur Jawa Barat dengan tanggap juga telah mengeluarkan Perda Nomor 27 tahun 2010 mengenai Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang menerangkan bahwa Jawa Barat sebagai lumbung pangan nasional akan melindungi lahan pertanian pangannya untuk menjaga kedaulatan pangan. Namun berdasarkan Irawan, 2008, bahwa Laju konversi lahan sawah masih cukup besar bahkan merambah ke lahan sawah irigasi teknis yang sangat potensial untuk produksi padi sawah.

Kota Sukabumi merupakan kota yang memiliki tingkat produktivitas padi sawah di atas rata-rata se-Jawa Barat, produktivitas tahun 2012 di Kota Sukabumi 6.7 ton sedangkan rata-rata di Jawa Barat adalah 5.8 ton. Namun telah terjadi penurunan rata-rata hasil produksi padi sawah pada tahun 2012 mencapai 67.49 ku/ha dari 76.72 ku/ha pada tahun 2008, BPS Propinsi Jawa Barat, 2013. Berkurangnya produktivitas padi tersebut diduga akibat adanya konversi lahan-lahan produktif di wilayah Kota Sukabumi. Berdasarkan data Kota Sukabumi dalam Angka tahun 2007 – 2013, telah terjadi penurunan lahan sawah dengan laju perubahan sebesar 31.39 persen antara 2006 – 2012, Mansur, et.al, 2014. Berikut tergambar pada Gambar 1 mengenai peta lahan sawah di Kota Sukabumi pada tahun 2012.


(19)

4

Sumber: Dinas PPKP, Kota Sukabumi

Gambar 1 Peta Lahan Sawah di Kota Sukabumi Tahun 2012

Luas lahan sawah di Kota Sukabumi pada tahun 2010 sebesar 1,638.1 ha (33.78 %) namun pada tahun 2012 mengalami konversi sehingga menjadi 1.578,5 ha (32.56 %). Pada Gambar 1 nampak bahwa sebaran lahan sawah dominan dijumpai di Kecamatan Cibeureum, Lembursitu, Baros, Warudoyong. Empat kecamatan tersebut berada di pinggiran Kota Sukabumi (Gambar 1). Alasan lain adalah Cibeureum dan Lembursitu merupakan kecamatan hasil pemekaran dari Kabupaten Sukabumi yang penggunaan lahannya masih didominasi oleh sawah. Fenomena yang berbeda dijumpai di Kecamatan Cikole, Gunungpuyuh dan Citamiang dengan luas lahan sawah yang minim. Tiga kecamatan tersebut berada di pusat Kota Sukabumi yang penggunaan lahannya didominasi oleh lahan terbangun dan mempunyai tingkat pertumbuhan sektor jasa yang tinggi.


(20)

5 259. 7 508. 2 102

67.8 81. 4 364. 8 254. 2 256. 3 490. 1

90.4 65.8 76.6 356. 9 242. 5 0 100 200 300 400 500 600 Baros Cibeure um Cikole

CitamiangGnpuyuhLemburs itu Warudoyong Kecamatan L ua s S aw ah 2010 2012

Sumber: Dinas PPKP, Kota Sukabumi

Gambar 2 Grafik Luas Lahan Sawah Tahun 2010 dan 2012

Pengurangan luas lahan sawah periode tahun 2010 – 2012 sebesar 59.6 hektar dengan perincian: 34.7 hektar lahan terbangun, 12 hektar kebun campuran, 14 hektar semak belukar dan 12 hektar kolam ikan (Gambar 2). Pada periode yang sama terjadi penambahan luas lahan sawah yang berasal dari kolam ikan seluas 5.2 hektar. Di Kota Sukabumi dijumpai konversi lahan sawah menjadi kolam ikan dan sebaliknya. Hal ini disebabkan oleh kondisi fisik yang mendukung untuk penggunaan lahan keduanya seperti lereng yang datar dan air irigasi yang masih baik (belum tercemar) sehingga ikan maupun tanaman padi masih dapat hidup/ tumbuh.

Kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan merupakan kebijakan yang sudah disahkan pada tahun 2009 melalui Undang-Undang No. 41 dan telah ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah tingkat I melalui Peraturan Daerah No. 27 tahun 2010 mengenai Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Propinsi Jawa Barat. Namun kebijakan ini belum bisa langsung diimplementasikan di lapangan karena belum ada Perda yang dibuat oleh Walikota dengan isi yang lebih detail. Namun telah tercantum dalam Perda No.11 tahun 2012 tentang RTRW Kota Sukabumi Periode Tahun 2011 – 2031, bahwa kawasan tanaman pangan seluas kurang lebih 321 ha akan ditetapkan menjadi PLP2B. PLP2B yang ditetapkan berada pada Kecamatan Baros, Kecamatan Lembursitu dan Kecamatan Cibeureum.

Kota Sukabumi juga telah membuat kajian Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan bersama Institut Pertanian Bogor yang menghasilkan prioritas lokasi untuk ditetapkan sebagai PLP2B berdasarkan kesesuaian lahannya (alternatif 1) seluas 470 Ha, yang terletak di Kecamatan Baros, Kecamatan Cibeureum, Kecamatan Gunungpuyuh, dan Kecamatan Lembursitu. Prioritas lokasi untuk ditetapkan menjadi PLP2B sebagai alternatif 2 seluas 341 ha (Gambar 3).


(21)

6

Sumber: Dinas PPKP, Kota Sukabumi

Gambar 3 Peta Alternatif 2 Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B)

Alternatif lokasi untuk ditetapkan sebagai LP2B dibuat berdasarkan pada kesesuaian lahan, urutan keberhasilan usahatani dan persepsi masyarakat. Dari hasil kajian terdapat dua alternatif dan terletak pada Kecamatan yang sama, yaitu Kecamatan Baros, Kecamatan Cibeureum, Kecamatan Gunungpuyuh dan Kecamatan Lembursitu namun dengan luasan yang bervariatif. Luasan pada alternatif lokasi kedua lebih mendekati dengan luasan tanaman pangan pada RTRW.

Perumusan Masalah

Pengendalian konversi lahan sawah perlu dilakukan, dan salah satu alat yang mengatur hal tersebut yaitu dengan Perda mengenai kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Beberapa kabupaten yang sudah mengkaji lahan untuk ditetapkan dalam LP2B juga pada kondisi belum menuangkan dalam Perda, seperti di Aceh Tamiang, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah ada penetapan lokasi LP2B dari hasil kajian (Bappeda, 2015). Sebanyak 38 Kota/ Kabupaten di Jawa Timur telah membuat pernyataan bersama di tahun 2012 mengenai data luasan lahan yang akan dilindungi, namun hingga saat ini baru 10% yang telah membuat Perda LP2B (Bappeda Propinsi Jawa Timur, 2013). Merujuk pada kondisi di atas, jelas terlihat pentingnya suatu kajian mendalam terhadap bagaimana strategi agar petani bersedia mengikuti kebijakan PLP2B.


(22)

7 Bagaimana persepsi petani atau masyarakat terhadap kebijakan PLP2B? Kemudian bagaimana strategi pengendalian alih fungsi lahan agar dapat berjalan dengan baik? Dari beberapa pertanyaan tesebut, maka yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu:

1. Apakah konversi lahan sawah terus terjadi dan semakin meningkat di Kota Sukabumi?

2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi petani bersedia mengikuti kebijakan perlindungan lahan sawah?

3. Bagaimana strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian sawah di Kota Sukabumi?

Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah menentukan strategi pengendalian alih fungsi lahan sawah. Berdasarkan perumusan masalah di atas maka tujuan khusus yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah:

1. Menganalisis konversi lahan pertanian (sawah ke lahan non-sawah di Kota Sukabumi

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi petani terhadap kesediaan mengikuti perlindungan lahan sawah di Kota Sukabumi.

3. Menentukan strategi pengendalian alih fungsi lahan sawah di Kota Sukabumi.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat kepada:

1. pemerintah pusat diharapkan dapat menjadi bahan untuk penyusunan kebijakan nasional mengenai alih fungsi lahan sawah, ketersediaan pangan dan lainnya.

2. pemerintah kota diharapkan dapat menjadi bahan penyusunan kebijakan mengenai strategi implementasi perlindungan lahan sawah dan arahan pengembangan wilayah daerah.

3. petani diharapkan dapat memberikan keuntungan maksimal

4. peneliti diharapkan dapat digunakan sebagai referensi atau bahan pembanding penelitian sejenis.

Ruang Lingkup Penelitian

Dalam Penelitian ini lahan pertanian pangan yang dimaksud adalah lahan sawah yang ditanami dengan padi. Lahan sawah merupakan hasil kajian dari Dinas Pertanian, Perikanan dan Ketahanan Pangan Kota Sukabumi bersama Institut Pertanian Bogor. Strategi pengendalian alih fungsi lahan sawah agar dapat diimplementasikan perlu dilihat dari karakteristik dan persepsi petani mengenai perlindungan lahan sawah atau masyarakat yang berhubungan dengan perlindungan lahan sawah yaitu petani pemilik, petani penggarap dan tokoh di masyarakat.


(23)

8

2

TINJAUAN PUSTAKA

Konversi Lahan

Penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai setiap bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Telaahan penggunaan lahan dapat diaplikasikan sangat luas dalam bidang perencanaan serta memungkinkan dianalisis secara kuantitatif. Turner, et. al. (1995) menyatakan bahwa penggunaan lahan berperan dalam menggambarkan fungsi biofisik di bumi serta terkait dengan aktivitas ekonomi manusia dalam pengelolaannya.

Menurut Barlowe (1978) faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi dan faktor institusi (kelembagaan). Faktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian dari sifat fisik seperti keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi dicirikan oleh keuntungan, keadaan pasar dan transportasi. Faktor institusi dicirikan oleh hukum pertanahan, keadaan politik, keadaan sosial dan secara administrasi dapat dilaksanakan.

Sebagai sumberdaya alam, lahan merupakan wadah dan faktor produksi strategis bagi kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Perubahan pola penggunaan lahan pada dasarnya bersifat dinamis mengikuti perkembangan penduduk dan pola pembangunan wilayah (Utomo, 1992). Sumaryanto (1994) memaparkan bahwa jika suatu lokasi terjadi konversi lahan pertanian maka lahan-lahan di sekitarnya akan terkonversi juga dan sifatnya cenderung progresif. Menurut Irawan (2005) konversi lahan lebih besar terjadi pada lahan sawah dibandingkan dengan lahan kering karena dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pertama, pembangunan kegiatan non-pertanian seperti kompleks perumahan, pertokoan, perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah dilakukan pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering. Kedua, akibat pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan produk padi maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah tanah kering. Ketiga, daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah tanah kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan.

Konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan. Konversi lahan juga dapat diartikan sebagai perubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Sebagai konsekuensi logis dari pertambahan penduduk dan pembangunan ekonomi, maka terjadi perubahan alokasi sumberdaya, khususnya sumberdaya lahan yang sulit dihindari. Proses konversi lahan sawah cenderung berlangsung lambat jika motivasi untuk mengubah fungsi terkait dengan degradasi fungsi lahan sawah,


(24)

9 misalnya akibat kerusakan jaringan irigasi sehingga lahan tidak dapat difungsikan lagi sebagai lahan sawah (Gunanto, 2007).

Strategi Implementasi Kebijakan Perlindungan Lahan Sawah

Strategi merupakan aspek penting dalam organisasi, karena dengan strategi dapat menentukan sejauhmana suatu tujuan organisasi mengalami keberhasilan atau kegagalan. Strategi merupakan sejumlah sarana atau tindakan yang perlu ditemukan oleh suatu organisasi secara aktif, guna mewujudkan sasaran organisasi. Stoner dalam Sudrajat, 2007, menyatakan bahwa “Strategi adalah program luas untuk mencapai tujuan organisasi, berarti bagaimana cara

melaksanakan misinya.” Pemahaman umum mengenai implementasi kebijakan dapat diperoleh dari pernyataan Grindle dalam Akib, 2010, bahwa implementasi merupakan proses umum tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. Proses implementasi baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program kegiatan telah disusun dan dana telah siap dan disalurkan untuk mencapai sasaran.

Van Meter dan Horn dalam Fahmi, 2010 mendefinisikan implementasi

kebijakan sebagai berikut: “Policy implementation encompasses those actions by public and private individuals (and groups) that are directed at the achievement of goals and objectives set forth in prior policy decisions.” Dengan mengacu pada pendapat tersebut, dapat diambil pengertian bahwa sumber-sumber untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pembuat kebijakan, di dalamnya mencakup: manusia, dana, dan kemampuan organisasi; yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta (individu ataupun kelompok).

Implementasi kebijakan merupakan cara penerapan kebijakan agar kebijakan tersebut mencapai tujuannya. Implementasi kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya dengan hasil kegiatan pemerintah. Ini sesuai dengan pandangan Van Meter dan Van Horn dalam Akib, 2010 bahwa tugas implementasi adalah membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan.

Dalam studi implementasi kebijakan, terdapat dua perspektif dimana perspektif ini didasarkan pada pernyataan perbedaannya dengan formulasi kebijakan. Top-down, suatu kebijakan yang dibuat oleh pusat dan diimplementasikan oleh daerah yang bersangkutan. Dan apabila melibatkan aspirasi masyarakat dari bawah termasuk yang akan menjadi para pelaksanaannya disebut dengan bottom-up.

Strategi yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah implementasi dalam pengendalian konversi lahan pertanian pada lahan potensial. Strategi tersebut mengacu pada kebijakan LP2B. Perencanaan PLP2B diawali dengan penyusunan usulan perencanaan yang dilakukan berdasarkan inventarisasi, identifikasi dan penelitian. Usulan perencanaan dimaksud harus mendapatkan tanggapan dan saran perbaikan dari masyarakat. Sehingga dari perencanaan penetapan PLP2B akan didapat implementasi kebijakan yang partisipatif dari pemerintah daerah dan masyarakat selaku pemilik lahan.


(25)

10

Kajian penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan telah dilaksanakan dengan mempertimbangkan kemampuan lahan, infrastruktur, prasarana, produktivitas, dan pola ruang. Penyusunan Perda Kota Sukabumi mengenai LP2B diharapkan dapat dilaksanakan oleh masyarakat terutama petani dan pemerintah daerah serta pihak yang terkait dengan memperhatikan aspirasi, kepentingan serta sumberdaya yang ada.

Kebijakan Lahan

Selama ini sudah cukup banyak peraturan pemerintah yang berkaitan dengan konversi lahan pertanian. Adapun peraturan-peraturan tersebut antara lain: 1) Pada tahun 1870, kebijakan ekonomi yang lebih liberal dan kurang proteksionis merancang Sukabumi menjadi titik fokus dan pusat komersial untuk zona perkebunan paling penting di seluruh Jawa (Taggart, 1982)

2) Pengendalian penggunaan lahan dengan stadsgemeenten pada tahun 1920, agar Sukabumi tidak menjadi sasaran para hinderordonnantie untuk industri berbahaya atau kegiatan lainnya. (Taggart, 1982).

3) Kebijakan pemerintah untuk mengatur penggunaan lahan yaitu dengan tarif pajak dalam kota, pada awal 1970. Kantor pajak menggunakan formula dengan mempertimbangkan ukuran bangunan, penggunaan lahan, dan zona lokasi di kota. Namun, zona lokasi tersebut tidak sesuai dengan distrik administratif seperti awal pembuatannya, terbukti bahwa tarif pajak rendah dan tarif pajak untuk pertanian sangat rendah (Taggart, 1982).

4) Peraturan Menteri Dalam Negeri No.5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan

5) Keppres No.53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri, dimana antara lain ditegaskan bahwa untuk kawasan industri tidak menggunakan tanah sawah dan tanah pertanian subur lainnya. Dalam pelaksanaannya, larangan ini telah pula diberlakukan untuk semua penggunaan tanah nonpertanian lainnya seperti untuk perumahan, jasa dan lain sebagainya.

6) Keppres No.33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah Kawasan Industri. 7) Keppres No.55 Tahun 1993 tentang Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan

Bagi Kepentingan Umum.

8) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPPN No.2 Tahun 1993 tentang Tata Cara Memperoleh Ijin Lokasi dan Hak Atas Tanah bagi Perusahaan dalam rangka Penanaman Modal, dengan petunjuk pelaksanaannya untuk ijin lokasi dengan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPPN No.22 tahun 1993.

9) Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas kepada Menteri Negara Agraria/Kepala BPPN No.5334/MK/9/1994 tanggal 29 September 1994 tentang perubahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk Penggunaan Tanah Nonpertanian.

10)Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas kepada Menteri Dalam Negeri No.5335/MK/9/1994 tanggal 29 September 1994 tentang Penyusunan RTRW Dati II.


(26)

11 11)Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.590/11108/SJ tanggal 24 Oktober 1984 yang menyatakan bahwa sedapat mungkin mencegah terjadinya perubahan tanah pertanian ke nonpertanian sehingga tidak mengganggu usaha peningkatan produksi pangan yang telah ada selama ini.

12)Surat Menteri Negara Agraria/Kepala BPPN No.460-3346 tanggal 31 Oktober 1994; Surat Menteri Bappenas/Ketua Bappenas No.5417/MK/10/1994 tanggal 4 Oktober 1994; Surat Menteri Dalam Negeri No.474/4263/SJ tanggal 27 Desember 1994 yang menyatakan bahwa perubahan penggunaan tanah pertanian ke nonpertanian tidak mengorbankan tanah pertanian subur dan berpengairan teknis walaupun lokasi tersebut masuk dalam tata ruang wilayah yang telah ada.

Pada tahun 2009 Pemerintah dalam usaha melindungi lahan sawah dengan mengendalikan konversinya telah membuat kebijakan dalam bentuk Undang – Undang No. 41, tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) yang salah satunya bertujuan untuk melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan dan menciptakan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan. Menurut UU LP2B, Kemandirian pangan berarti kemampuan produksi pangan dalam negeri yang didukung kelembagaan ketahanan pangan yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup di tingkat rumah tangga, baik dalam jumlah, mutu, keamanan maupun harga yang terjangkau, yang didukung oleh sumber-sumber pangan yang beragam sesuai dengan keragaman lokal. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Sedangkan kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri dapat menentukan kebijakan pangannya, yang menjamin hak atas pangan bagi rakyatnya, serta memberikan hak bagi masyarakatnya untuk menentukan sistem pertanian pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.

Ruang lingkup dari UU LP2B meliputi, yaitu: perencanaan dan penetapan, pengembangan, penelitian, pemanfaatan, pembinaan, pengendalian, pengawasan, sistem informasi, perlindungan dan pemberdayaan petani, pembiayaan dan peran serta masyarakat. Turunan dari UU tersebut terdapat :

1. PP No.1 tahun 2011 mengenai Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,

2. PP No. 12 tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,

3. PP No. 25 tahun 2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,

4. PP No.30 tahun 2012 mengenai Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

5. Permentan No. 7 tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Kriteria dan Persyaratan Kawasan, Lahan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dan 6. Peraturan Daerah No.27 tahun 2010 tentang Perlindungan Lahan Pertanian

Pangan Berkelanjutan yang dibuat oleh Gubernur Jawa Barat

Alur peraturan perundang-undangan penataan ruang bidang pertanian tersaji pada Gambar 4.


(27)

12

Gambar 4 Alur Peraturan Perundang-undangan Penataan Ruang Bidang Pertanian Pemberian insentif kepada petani yang mempertahankan dan tidak mengalihfungsikan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan perlu dilakukan. Tujuan pemberian insentif tersebut untuk: (a) mendorong perwujudan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang telah ditetapkan; (b) meningkatkan upaya pengendalian alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; (c) meningkatkan pemberdayaan, pendapatan, dan kesejahteraan bagi petani; (d) memberikan kepastian hak atas tanah bagi petani; dan (e) meningkatkan kemitraan semua stakeholder dalam rangka pemanfaatan, pengembangan dan perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sesuai dengan tata ruang. Sesuai dengan PP no. 12 tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat diberikan berupa: (a) pengembangan infrastruktur pertanian; (b) pembiayaan penelitian dan pengembangan benih dan varietas unggul; (c) kemudahan dalam mengakses informasi dan teknologi; (d) penyediaan sarana dan prasarana produksi pertanian; (e) jaminan penerbitan sertipikat hak atas tanah pada Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan atau (f) penghargaan bagi petani berprestasi tinggi.

Dalam PP no. 30 tahun 2012, pembiayaan PLP2B bisa dilakukan melalui pendanaan yang bersumber dari pemerintah (APBN/APBD), badan usaha dan masyarakat. Pembiayaan PLP2B mencakup proses perencanaan sampai pengawasan dan pengendalian.

Implementasi kebijakan PLP2B sesuai UU 41 dimulai dari pembinaan, pengendalian dan pengawasan. Ketiga fungsi di atas dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Fungsi pembinaan meliputi: a) koordinasi perlindungan, b) sosialisasi peraturan perundang-undangan, c) pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi, d) pendidikan, pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat, e) penyebarluasan informasi kawasan P2B dan PLP2B, dan atau f) peningkatan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat. Fungsi


(28)

13 pengendalian dilakukan melalui: a) insentif, b) disinsentif, c) mekanisme perizinan, d) proteksi, dan e) penyuluhan. Fungsi pengawasan dilakukan terhadap kinerja perencanaan dan penetapan, pengembangan, pemanfaatan, pembinaan dan pengendalian. Fungsi pengawasan meliputi pelaporan, pemantauan dan evaluasi

Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai kebijakan pengendalian konversi lahan sawah dan atau perlindungan lahan pertanian pangan sudah banyak dilakukan, adapun penelitian terkait diantaranya adalah penelitian Harjono (2010), Rantini dan Prabatmodjo (2013), Widiatmaka, et.al (2014), Nugraharani, D (2014), Wiranoto (2014) dan Nurianansyahputra, R (2015).

Harjono (2010) mengevaluasi mengenai implementasi kebijakan pengendalian konversi lahan pertanian di Kabupaten Kendal dengan menggunakan metode evaluasi formatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadinya konversi lahan pertanian dipengaruhi oleh: (1) tidak terdapatnya sanksi yang jelas bagi pelanggarnya di dalam peraturan perubahan lahan pertanian. (2) Kurangnya komitmen panitia pertimbangan izin perubahan tanah dalam menindak pelanggar karena alasan kemanusiaan. (3) Perilaku masyarakat dalam mengkonversi lahan pertanian tanpa melalui prosedur perijinan yang ditetapkan pemerintah.

Rantini dan Prabatmodjo (2013) mengkaji mengenai tanggapan petani terhadap kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bandung menggunakan metode gabungan kualitatif dan kuantitatif secara sekunsial dan bersifat eksploratis sekuensial. Hasil analisis menunjukkan petani di lokasi studi memandang positif kebijakan perlindungan terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan. Mereka juga memerlukan insentif yang ditawarkan guna pengembangan usahatani, dan disinsentif yang ditetapkan mampu membuat sebagian besar petani menjaga fungsi lindung dari sawah mereka. Faktor yang paling mempengaruhi tanggapan petani adalah adanya pandangan bahwa bertani menguntungkan dan komunikasi dengan PPL.

Widiatmaka, et.al (2014), menganalisis perubahan penggunaan lahan dan kesesuaian lahan untuk sawah di sepanjang jalur jalan tol Jakarta-Cikampek dan jalan nasional Pantura, Kab. Karawang, dengan menggunakan analisis citra IKONOS tahun 2000 dan 2011. Hasil dari analisis tersebut yaitu sampai jarak 3 km dari jalan, bertambahnya lahan permukiman terbesar adalah pada jarak terdekat, perubahan semakin kecil dengan menjauhnya jarak dari jalan. Pengurangan lahan sawah yang besar terjadi pada jarak sampai 1 km, dan berkurang konversinya pada jarak lebih dari 1 km, namun justru lebih kecil dibanding dengan fenomena yang sama di seluruh wilayah Kab. Karawang. Pengaruh adanya infrastruktur jalan relatif tidak signifikan terhadap persentase penambahan permukiman maupun pengurangan lahan sawah.

Nugraharani D. (2014) mengkaji mengenai implementasi kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam mengatasi alih fungsi lahan. Lokasi penelitian di dua desa di Kabupaten Bandung yang Kepala Desanya telah menetapkan kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.


(29)

14

Metode yang digunakan yaitu dengan GAP Analysis dengan hasil melakukan sosialisasi bertahap ke desa, insentif, peraturan pendukung mengenai insentif dan disinsentifnya.

Wiranoto (2014), meneliti mengenai respon keluarga pemilik sawah terhadap perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kab. Pemalang dengan analisis deskriptif persentase dan spasial. Dari hasil penelitian tersebut respon keluarga pemilik sawah terhadap PLP2B tergolong negatif (63.64 persen). dan faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah diantaranya lokasi lahan, kebutuhan ekonomi, kebutuhan bangunan, pengetahuan keluarga pemilik sawah, dan adanya pembangunan pabrik.

Nurianansyahputra R, mengkaji mengenai implementasi kebijakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian di Kota Batu sebagai kawasan agropolitan dengan menggali motif pengkonversian lahan yang disebabkan oleh: faktor ekonomi, faktor demografi, faktor pendidikan dan IPTEK, faktor sosial dan politik, perubahan perilaku, hubungan pemilik lahan dengan penggarap, faktor kelembagaan dan faktor instrumen hukum dan penegakannya. Dalam implementasi kebijakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang di pakai pada penelitian ini terdapat dua pembagian yaitu: pada segi pelaksana kebijakan dan implementasi kebijakan. Pengimplementasian suatu kebijakan memerlukan kerjasama pelaksana kebijakan yaitu antar Satuan Kerja Perangkat Daerah yang berwenang dan masyarakat untuk mengendalikan alihfungsi lahan pertanian.

Penelitian ini bertujuan untuk mencari seberapa besar konversi lahan sawah menjadi non sawah di Kota Sukabumi dengan menggunakan peta dasar 2010, 2012 dan mendigitasi peta 2015 untuk dioverlaykan agar diketahui perbedaan luas dan laju konversinya. Jika secara signifikan konversi lahan terjadi bagaimana persepsi petani yang terkait dengan lahan tersebut, sebagai penggarap atau pemilik lahan, terhadap Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang bertujuan untuk mengatasi alih fungsi lahan sawah. Persepsi petani dipengaruhi oleh faktor dari dalam dirinya (internal) dan dari luar dirinya (eksternal), penggalian faktor ini menggunakan kuesioner kepada petani sebagai responden. Hasil dari kuesioner tersebut dicari faktor yang berpengaruh terhadap persepsi kesediaan mengikuti LP2B menggunakan analisis regresi logistik. UU 41 mengenai PLP2B telah ada sejak 2009, namun belum diimplementasikan dengan Perda di Indonesia karena permasalahan terkait dengan kepentingan masyarakat sebagai pemilik lahan dan pemerintah daerah sebagai daerah yang ingin membangun daerahnya. Maka diperlukan perumusan strategi untuk mengimplementasikan PLP2B ini sesuai dengan petani, pemerintah daerah dan masyarakat di Kota Sukabumi.

Kerangka Pemikiran

Pertumbuhan penduduk yang bergerak seperti deret hitung, berimplikasi pada kebutuhannya akan pangan dan juga lahan untuk keperluan ekonomi dan sosial. Lahan pertanian pangan khususnya sawah saat ini kondisinya semakin mengkhawatirkan. Lahan tempat berproduksi bahan pangan utama mayoritas penduduk dikonversikan menjadi non-pertanian khususnya lahan terbangun,


(30)

15 karena paling mudah untuk dikonversikan dibanding lahan yang sudah terbangun. Konversi lahan pertanian menyebabkan penurunan produksi pangan, yang berdampak langsung pada ketersediaan pangan, yang dapat melemahkan penduduk jika terjadi kerawanan pangan.

Pengendalian konversi lahan pertanian perlu dilakukan terutama untuk menjaga dan menjamin produksi pertanian sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Berbagai perundangan dan peraturan telah diterbitkan dalam rangka mengendalikan konversi lahan pertanian, seperti Undang-Undang No. 41 tahun 2009 mengenai upaya penyelamatan lahan pertanian pangan untuk keperluan kemandirian, keamanan dan ketahanan pangan. Pelaksanaan UU No. 41 tahun 2009 didukung PP No 1 tahun 2011 tentang Penetapan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP No 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP No. 25 tahun 2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan PP No.30 Tahun 2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Secara eksplisit pemerintah telah melakukan perlindungan lahan pertanian sejak tahun 1960 melalui UUPA No 50 tahun 1960, kemudian dengan UU No 12 tahun 1992 tentang sistem budidaya tanaman dan UU No 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, serta peraturan presiden dan peraturan pemerintah lainnya.

Implementasi UU no. 41 tahun 2009 tentang PLP2B di tingkat Kabupaten/Kota sebagian besar berada pada tahap inventarisasi dan identifikasi lahan yang akan ditetapkan menjadi PLP2B. Di Kota Sukabumi telah dilakukan kajian PLP2B yang merekomendasikan wilayah PLP2B dan LCP2B sesuai dengan kriteria penetapan lahan pada UU 41 tahun 2009, yaitu: kesesusaian lahan, ketersediaan infrastruktur, penggunaan lahan, potensi teknis lahan dan luasan kesatuan hamparannya, untuk dijadikan dasar penetapan lahan PLP2B dan LCP2B. Sementara Peraturan Daerah terkait sedang dalam penyusunan. Agar kebijakan PLP2B dapat diimplementasikan maka diperlukan strategi penyusunan yang berdasar pada aktor yang terkait dengan kebijakan tersebut, yaitu petani sebagai masyarakat desa, pemerintah, dan regulasi itu sendiri.

Faktor yang mempengaruhi persepsi petani terhadap kesediaan mengikuti LP2B dapat dilihat pada karakteristik internal dan eksternalnya. Sedangkan pemerintah daerah, sebagai pelaksana PLP2B dilihat dari seberapa besar kepentingan, anggaran yang disiapkan, sejauh mana koordinasi dengan instansi lain terkait PLP2B. Regulasi sebelumnya juga dilihat untuk dukungan PLP2B. Persepsi, harapan dan aktual serta tujuan dari masing-masing aktor terhadap PLP2B dihrapkan dapat terlihat, sehingga dari kebijakan tersebut akan ada insentif dan disinsentif yang sesuai untuk mendorong petani tetap berproduksi dan mempertahankan lahannya agar ketersediaan pangan terjaga dan pemerintah siap dengan sumberdayanya. Kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat digambarkan sepeti pada Gambar 5.


(31)

16

Ketahanan Pangan Penyusunan kebijakan

perlindungan lahan sawah

Kebijakan perlindungan lahan sawah dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan

Kesediaan ikut PLP2B

Penetapan sawah yang dilindungi di Kabupaten / Kota Jumlah penduduk 

kebutuhan pangan dan lahan yang meningkat

Laju konversi lahan

Internal:

Usia, Pendidikan, Luas Lahan, Pengalaman, Rumah tangga petani, penguasaan lahan

Eksternal:

Penyuluh, Akses pasar, regulasi, infrastruktur

Pemerintah Daerah

Petani Regulasi

- Anggaran yang disiapkan - Koordinasi

antar instansi - Program/

kegiatan

Karakteristik wilayah

Karakteristik

: batasan penelitian Hipotesis

Hipotesis penelitian ini sesuai dengan permasalahan di atas yaitu:

1. Konversi lahan sawah diduga terjadi dari perbandingan tahun 2010 ke tahun 2012 dan tahun 2015.

2. Persepsi petani terhadap kesediaan mengikuti PLP2B diduga dipengaruhi oleh status kepemilikan lahan, pendidikan, pekerjaan lain, pengalaman, keuntungan usahatani, keberlanjutan usahatani, pengeluaran petani, perijinan konversi lahan, frekuensi penyuluhan, dan kondisi infrastruktur.


(32)

17 3. Strategi pengendalian alih fungsi lahan yang sesuai untuk petani dan pemerintah di Kota Sukabumi adalah diberikannya insentif berupa kemudahan prasarana dan sarana pertanian.

3

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengumpulan data penelitian mengenai strategi pengendalian alih fungsi lahan sawah dilakukan pada Agustus 2015 – April 2016. Lokasi penelitian di Kota Sukabumi, tergambar pada Gambar 6. Kota Sukabumi mempunyai produktivitas tanaman padi yaitu 6.7 ton/ha, sementara rata-rata produktivitas di Propinsi Jawa Barat pada tahun 2012 sebesar 5.8 ton/ha, di lain pihak Kota Sukabumi juga mempunyai laju konversi lahan di atas 30 persen pada tahun yang sama. Kecamatan yang dipilih menjadi lokasi penelitian berdasarkan pada hasil kajian Dinas Pertanian, Perikanan dan Ketahanan Pangan Kota Sukabumi bersama dengan Institut Pertanian Bogor, adalah di Kecamatan Baros, Cibeureum, Gunungpuyuh, dan Lembursitu.

Gambar 6 Lokasi Penelitian

Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer berupa data cross section terhadap petani sampel di petak lahan yang terpilih dalam kajian penetapan PLP2B, Pemerintah Daerah Kota Sukabumi yang


(33)

18

berkaitan dengan PLP2B dan peta sawah Kota Sukabumi tahun 2015. Sedangkan data sekunder yaitu berupa peta lahan sawah Kota Sukabumi tahun 2010, 2012 dan peta lokasi kajian penetapan PLP2B bersumber dari Dinas Pertanian, Perikanan dan Ketahanan Pangan beserta Institut Pertanian Bogor dan juga data tentang regulasi yang sudah ada terkait dengan PLP2B dari data-data, laporan dan dokumen serta publikasi yang diterbitkan oleh instansi terkait seperti Bapeda, Dinas PSDA, Dinas Pertanian, Kementerian Pertanian, serta berbagai jurnal, materi seminar dan penelitian terdahulu yang berkaitan dengan topik penelitian.

Metode Pengumpulan Data

Pengambilan sampel dilakukan secara bertahap. Pertama menentukan wilayah yang akan dipilih respondennya menggunakan kajian calon lokasi PLP2B Kota Sukabumi pada 4 (empat) kecamatan yaitu Kecamatan Baros, Cibeureum, Gunungpuyuh dan Lembursitu. Pemilihan responden menggunakan metode purposive sampling, berdasarkan jarak lahan dengan jalan dan kepemilikan lahan. Masing-masing responden akan diwawancarai dengan pertanyaan terstruktur dalam bentuk kuesioner. Petani sampel dari hamparan terpilih guna menentukan karakteristik petani di Kota Sukabumi. Pemilihan responden (gambar 7), terdiri dari petani pemilik, pemilik dan penggarap dan penggarap di tiap desa, sehingga total responden berjumlah 88 orang.

Teknik pengambilan sampel terhadap responden stake holder (key person)

untuk analisis A‟WOT menggunakan metode purposive sampling dengan responden dari Dinas Pertanian, Perikanan dan Ketahanan Pangan 1 orang, Dinas Tata Ruang, Perumahan dan Pemukiman 1 orang, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah 1 orang, Kantor Pertanahan 1 orang, Sekretaris Daerah 2 orang, Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu 1 orang dan tokoh masyarakat 1 orang sehingga terdapat responden sejumlah 8 orang.

Dari penelitian ini akan menganalisis pengaruh persepsi petani terhadap perlindungan lahan sawah dengan jarak lahan ke jalan, maka pengambilan sample dibagi menjadi tiga kelas jarak, yaitu dekat (50 m), sedang (100 m) dan jauh (150 m) jarak dari lahan sawah ke jalan. Penentuan jarak buffer diasumsikan dengan

Gambar 7 Diagram Alir Pengambilan Sampel

Kt.

Sukabumi

Kec. Baros Kec. Cibeureum

Kec. Gunungpuyuh

Kec. Lembusitu

3 desa, @ 9 petani, (6 petani

lahan dekat, 9 sedang, 12 jauh) 27 14 7 40

∑ = 88

2 desa, @ 7 petani, (4 petani lahan dekat, 6 sedang, 4 jauh) 1 desa, @ 7 petani, (1 petani lahan dekat, 3 sedang, 8 jauh) 4 desa, @ 10 petani, (9 petani lahan dekat, 11 sedang, 15 jauh)


(34)

19 jarak ruang milik jalan dan jarak ruang pengawasan jalan tol berdasarkan PP Nomor 36 tahun 2006 tentang Jalan paling sedikit mempunyai lebar 31.5 m, maka diambil jarak maksimal setiap 50 m. Responden dengan jarak dekat didapatkan sebanyak 20 orang, sedang 29 orang, dan jauh 39 orang, dengan jumlah yang acak setiap kecamatannya.

Berikut contoh gambaran lokasi lahan petani responden dengan jalan, pada Gambar 8.

Gambar 8 Peta Lokasi Lahan Petani dengan Batasan Jalan

Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah diperoleh atau dikumpulkan kemudian akan diolah dan

dianalisis menggunakan analisis data kualitatif, regresi logistik, dan A‟WOT.


(35)

20

Tabel 3 Matriks Penelitian

Analisis Konversi Lahan Sawah

Luas konversi lahan sawah dapat dianalisis secara spasial. Data spasial adalah data yang memiliki referensi ruang kebumian (georeference) dimana berbagai data atribut terletak dalam berbagai unit spasial. Evaluasi pemanfaatan ruang aktual (existing) yang meliputi penggunaan lahan (land use) dan penutupan lahan (land cover) diperlukan untuk menggambarkan kondisi fisik wilayah secara aktual. (Rustiadi, 2011). Analisis keruangan yang digunakan pada penelitian ini

adalah “overlay.” Analisis ini digunakan untuk mengetahui hasil interaksi atau gabungan dari beberapa peta. Peta penggunaan lahan yang dipilih ialah peta lahan sawah tahun 2010 dan 2012 yang bersumber dari PSP3 dan Dinas Pertanian, Perikanan dan Ketahanan Pangan Kota Sukabumi dan pada tahun 2015 peta sawah hasil digitasi dengan google earth. Peta tersebut akan dioverlaykan secara berurut sehingga terlihat perubahan penggunaan lahannya.

Penggunaan analisis centroid digunakan untuk melihat arah kecenderungan pergeseran perubahan konversi lahan sawah dari area terluar ke arah pusat. Titik centroid merupakan titik tengah dari polygon sawah di tahun 2010 dibandingkan dengan titik tengah sawah yang terkonversi di tahun 2015. Perubahan dan pergeserannya dianalisis secara kualitatif.

Tujuan

Jenis Data Sumber Alat

Analisis

Keluaran Analisis

konversi lahan pertanian (sawah)

Data sekunder dan primer

Peta 2010, 2012 (sekunder) dan 2015 (primer)

Overlayde ngan ArcGIS

Peta lahan sawah terkonversi Identifikasi

faktor yang mempengaruhi kesediaan petani terhadap perlindungan lahan sawah Data primer (hasil dari kuesioner karakteristik petani)

Petani pemilik lahan dan Petani Penggarap

Regresi Logistik

Karakteristik Petani dan faktor yang mempengaruhi kesediaan mengikuti perlindungan lahan sawah Merumuskan strategi pengendalian alih fungsi lahan sawah Data primer (hasil dari kuesioner AWOT)

Pelaksana UU PLP2B tingkat kota, kecamatan,

dan tokoh

masyarakat

A‟WOT Strategi

pengendalian alih fungsi lahan sawah


(36)

21

Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Petani Bersedia Mengikuti Perlindungan Lahan Sawah

Persepsi petani dilihat dari beberapa variabel yang terkait dengan faktor internal dan eksternal dalam berusahatani dan diduga mempengaruhi persepsinya terhadap kesediaan mengikuti kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Item yang ditanyakan mencakup kemungkinan pengkonversian lahan ke non sawah dan pendapat mengenai kebijakan perlindungan lahan sawah. Setiap item di dalam kuesioner diberi pilihan yang bersifat tertutup (closed quetionare). Jawaban responden kemudian diolah lebih lanjut menggunakan regresi logistik. Regresi logistik digunakan untuk menduga peluang petani untuk kesediaan mengikuti kebijakan perlindungan lahan sawah dengan beberapa variabel independen.

Dalam penelitian ini, yang dicari adalah seberapa besar peluang petani bersedia mengikuti PLP2B (dinotasikan dengan P=1), dan berapa besar peluang petani yang tidak mau mengimplementasikan PLP2B (dinotasikan dengan P=0). Peluang kesediaan ikut PLP2B dinotasikan dengan P(xi), karena total peluang

semua kejadian jumlahnya 1 (satu), maka peluang kejadian lainnya dinotasikan dengan 1 - P(xi).

Model didefinisikan sebagai berikut:

ln = β0 + β1X1i + ... + β4X4i + β5D1i... + β10D6i+ εi

Dimana:

Y = Peluang petani bersedia ikut perlindungan lahan sawah 1 : bersedia

0 : tidak bersedia

Β β1-10 D1 = = = Intersep Parameter Penduga

Status Kepemilikan Lahan 1 : pemilik

0 : bukan pemilik

D4

X3

=

=

Usahatani diteruskan pada anak

1 : diteruskan 0 : lainnya

Pengeluaran petani (juta) X1 D2 X2 = = =

Lama Pendidikan (tahun) Pekerjaan lain/sampingan 1 : berdagang

0 : lainnya

Pengalaman (tahun)

D5

X4

=

=

Perijinan Konversi Lahan 1 : sulit

0 : lainnya

Frekuensi penyuluhan (kali/bulan)

D3 = Keuntungan UT

1 : untung 0 : lainnya

D6 εi

= =

Kondisi infrastruktur 1 : baik

0 : lainnya Error


(37)

22

Penentuan angka satu pada nilai Dummy menggunakan asumsi bahwa yang berangka satu merupakan kondisi yang berpotensi lebih bersedia mengikuti perlindungan lahan sawah. penentuan angka nol pada nilai Dummy menggunakan asumsi sebaliknya, yaitu kondisi yang berpotensi kurang bersedia mengikuti perlindungan lahan sawah.

Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah

Arahan strategi pengendalian alih fungsi lahan dilakukan melalui pendekatan analisis A'WOT yang merupakan kombinasi dari metode AHP (Analytical Hierarchy Process) dan SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) yang lazim digunakan dalam menyusun strategi kebijakan. AHP berfungsi untuk memberikan bobot atau skor terhadap komponen-komponen SWOT. Metode A'WOT yang diterapkan dalam penelitian ini untuk menentukan pembobotan dalam analisis SWOT. Tujuannya adalah untuk mengurangi subjektifitas penilaian terhadap faktor-faktor internal dan eksternal, baik menyangkut kekuatan, kelemahan, peluang maupun ancaman.

Tahapan-tahapan dalam analisis A‟WOT meliputi: 1) Penentuan dan pengelompokkan setiap faktor-faktor SWOT, 2) Mengaplikasikan AHP untuk menentukan bobot setiap kelompok dan 3) Mengaplikasikan kembali AHP untuk untuk menentukan prioritas semua faktor dalam semua kelompok SWOT (Osuna and Aranda, 2007). Untuk dapat merumuskan strategi pengendalian alih fungsi lahan di Kota Sukabumi diawali dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh baik faktor internal (kekuatan, kelemahan) maupun eksternal (peluang, ancaman). Faktor-faktor internal dan eksternal yang teridentifikasi merupakan faktor yang mempengaruhi pengendalian alih fungsi lahan di Kota Sukabumi, yang diperoleh dari hasil studi literatur (desk study), hasil analisis sebelumnya dan diskusi dengan Subag Perencanaan, Dinas Pertanian, Perkanan dan Ketahanan Pangan Kota Sukabumi.

Faktor-faktor yang menjadi kekuatan dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah antara lain: 1) produktivitas tanaman padi tinggi, 2) tenaga kerja adalah anggota keluarga, 3) pengalaman berusahatani lama, 4) aksesibilitas mendukung, dan 5) infrastruktur pertanian mendukung. Dari data BPS Jawa Barat, 2013, pada tahun 2008 menyebutkan bahwa produktivitas tanaman padi di Kota Sukabumi terbesar se-Jawa Barat, yaitu mencapai sekitar 76 ku/ha dibandingkan dengan Kabupaten/ Kota lainnya. Mata pencaharian petani merupakan mata pencaharian turun temurun dan mayoritas dalam mengerjakan usahanya petani dibantu oleh anggota keluarga. Anggota keluarga, yaitu istri, anak dan keluarga yang lain dapat menjadi modal sebagai tenaga kerja dari keluarga dalam melakukan usahataninya pada saat-saat tertentu, sehingga dapat mengurangi biaya tenaga kerja riil. Lokasi Kota Sukabumi yang berada di antara megaurban Jabodetabek dan Bandung Raya merupakan posisi strategis bagi Kota Sukabumi untuk mengembangkan potensi wilayahnya. Hal tersebut ditunjang dengan pembangunan prasarana jalan yang dibuat merata hingga ke tingkat Kelurahan. Dalam hal transportasi untuk ke dan dari lahan sawah juga terdukung. Aksesibilitas di lapang, seperti jarak dari rumah ke lahan, ke pasar input dan output dan ke sumber informasi (Dinas Pertanian, Perikanan dan Ketahanan Pangan Kota Sukabumi) cukup dekat sehingga


(38)

23 mendukung kegiatan usahataninya untuk efektifitas biaya dan waktu. Infrastruktur untuk sawah di Kota Sukabumi didukung dengan terbangunnya jaringan irigasi seluas 94,87 (1.461 Ha) persen dibandingkan dengan non irigasi 5,13 persen (79 Ha), data Pusdalibang Propinsi Jawa Barat, 2015.

Faktor-faktor yang menjadi kelemahan dalam strategi pengendalian alih fungsi lahan antara lain: 1) petani didominasi oleh generasi tua, 2) pendidikan petani sebagian besar rendah, 3) luas lahan garapan relatif sempit, 4) kepemilikan lahan dominan sebagai penggarap, 5) banyaknya jumlah anggota keluarga yang ditanggung. Dari hasil survei terhadap Bagian Perencanaan dan Koordinator Penyuluh, Dinas Pertanian Kota Sukabumi menerangkan bahwa petani di Kota Sukabumi mayoritas berusia tua, berusia di atas 70 tahun, dan memiliki tanggungan keluarga lebih dari 6 orang. berdasarkan komposisi penduduk di Kota Sukabumi bahwa petani mayoritas menamatkan jenjang pendidikannya hingga sekolah dasar. Mayoritas petani di Kota Sukabumi memiliki lahan dan menggarap lahan sawah di bawah 0,3 ha dan berstatus sebagai penggarap lebih dari 50 persen. Faktor-faktor yang menjadi peluang dalam strategi pengendalian alih fungsi lahan antara lain: 1) demand terhadap beras tinggi, 2) penyusunan Raperda LP2B, 3) frekuensi penyuluhan yang tinggi, 4) letak Kota Sukabumi diantara megaurban Jabodetabek dan Bandung Raya, 5) koordinasi antar instansi terkait LP2B baik. Penyediaan beras dari lahan sawah di Kota Sukabumi sendiri mengalami defisit sebesar 7,860 ton di tahun 2012, berdasarkan hasil kajian Munibah, et.al, 2015. terlebih lagi wilayah Kota Sukabumi dekat dengan ibu kota negara Indonesia dan ibukota propinsi Jawa Barat, maka akan meningkatkan peluang untuk dapat memenuhi permintaan pasar lokal dan sekitar jika lahan sawah tidak dialihfungsikan. Pemerintah Daerah Kota Sukabumi sedang menyusun Rancangan Peraturan Daerah mengenai PLP2B, yang telah dilakukan kajian LP2B Kota Sukabumi tahun 2013 oleh DPPKP dan PSP3-IPB. Jumlah Penyuluh pertanian di Kota Sukabumi berjumlah 18 orang, masing-masing penyuluh memiliki tanggung jawab menyuiuh dua hingga tiga desa. Tiap minggu mereka selalu mengadakan pertemuan di masing-masing desa tersebut. Tim penyusun Raperda PLP2B jugamerupakan bagian dari Pokja yang membantu walikota untuk mengendalikan alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan RTRW. Tim ini mengadakan rapat bila ada pemilik lahan yang mengurus ijin untuk mengalihkan fungsi lahan yang tidak sesuai dengan RTRW.

Faktor-faktor yang menjadi ancaman dalam strategi pengendalian alih fungsi lahan antara lain: 1)konversi lahan, 2) transformasi tenaga kerja pertanian ke non-pertanian, 3) harga input tinggi, 4) sektor jasa lebih tingg dibanding pertanian, 5) terkait dengan banyak kepentingan. Di Kota Sukabumi, laju alih fungsi lahan (konversi) dari lahan pertanian (sawah) ke non sawah cukup tinggi terutama di wilayah-wilayah (kecamatan) yang terletak di bagian pusat kota seperti Kecamatan Cikole dan Citamiang. Rata-rata konversi lahan pertanian (sawah) ke non sawah 30 ha/tahun, data konversi lahan sawah tahun 2010 - 2012. Lahan-lahan tersebut digunakan untuk lahan terbangun (60 persen), dan sisanya untuk penggunaan lain. Sektor pertanian kurang menarik bagi generasi muda, mereka cenderung lebih senang bekerja di sektor non pertanian. Dan sektor yang banyak diminati oleh generasi muda di Kota Sukabumi adalah sektor jasa, terlihat dari PDRB bahwa sektor jasa / perdagangan, hotel dan restoran menyumbang 45.65 persen dari nilai total. Sektor non pertanian mampu menyediakan lapangan


(39)

24

pekerjaan dan menyerap tenaga kerja terutama generasi muda, karena pendapatannya lebih pasti dan kontinyu. Harga sarana produksi (benih, pupuk, pestisida) dan upah tenaga kerja juga semakin meningkat, yang tidak diikuti oleh peningkatan harga jual terutama pada saat panen sehingga usahatani semakin kurang menguntungkan.

Struktur dalam menentukan prioritas strategi pengendalian alih fungsi lahan yang optimal di Kota Sukabumi disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 Struktur AHP Penentuan Prioritas Kebijakan Perlindungan Lahan Sawah Irigasi

Faktor-faktor SWOT pada Gambar 9 kemudian dilakukan pembobotan dengan menggunakan analisis AHP, yaitu dengan melakukan perbandingan berpasangan menggunakan skala perbandingan Saaty. Definisi dan penjelasan dari skala pengisian matriks perbandingan berpasangan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Skala Pengisian Matriks Perbandingan Berpasangan

Sumber: Saaty (1991)

Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian

Pangan

S W O T

Faktor SWOT

- Pengalaman - Luasan - Penyuluhan - Input

Fokus

- Produktivitas - Usia - Demand - Konversi

- Sektor jasa

- Pekerjaan utama - Anggota Kel. - Koordinasi - Kepentingan

- TK keluarga - Pendidikan - Perda - Tranformasi

Komponen SWOT

Strategi S-O

Strategi S-T

Strategi W-O

Strategi

W-T Strategi

Pembobotan dengan analisis SWOT


(40)

25 Setelah pemberian skala pada setiap pernyataan sesuai dengan persepsi masing-masing responden dengan definisi dan penjelasan yang telah dibuat maka hasilnya dimasukkan dalam analisis AHP sehingga diketahui bobot hasil keseluruhan, seperti pada Tabel 5.

Tabel 5 Pembobotan Unsur-unsur SWOT Berdasarkan Analisis AHP

Dari hasil analisis AHP, kemudian dihitung bobot dari masing-masing unsur-unsur SWOT yang digunakan untuk menyusun alternatif strategi. Pembobotan unsur-unsur SWOT disajikan pada Tabel 6. Unsur-unsur SWOT tersebut kemudian dihubungkan keterkaitannya untuk mendapatkan beberapa alternatif strategi, yaitu strategi SO (Strengths-Opportunities), WO (Weakness-Opportunities), ST (Strengths-Threats) dan WT (Weakness-Tthreats). Matrik alternatif strategi disajikan pada Tabel 6.


(41)

26

Tabel 6 Analisis SWOT pada Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan di Kota Sukabumi

INTERNAL

EKSTERNAL

Kekuatan (S):

- Produktivitas tanaman padi tinggi

- TK berasal dari anggota keluarga - Pengalaman

berusahatani lama

- Lokasi dekat

jabodetabek dan Bandung

- Petani merupakan pekerjaan utama

Kelemahan (W) : - Petani berusia tua - Pendidikan petani

rendah

- Luas lahan garapan sempit

- Kepemilikan lahan banyak penggarap - Banyak anggota

keluarga yang ditanggung

Peluang (O):

- Demand beras tinggi - Perda PLP2B sedang

disusun

- Frekuensi penyuluhan tinggi

- Aksesibilitas mendukung

- Koordinasi antar instansi terkait baik

S – O Strategi

W – O Strategi

Ancaman (T) :

- Konversi lahan tinggi - Transformasi TK

pertanian ke sektor non-pertanian - Harga input tinggi - Sektor jasa lebih maju

dibanding pertanian - Terkait dengan banyak

kepentingan

S – T Strategi W – T Strategi

Penentuan ranking/urutan prioritas strategi pengendalian alih fungsi lahan

yang optimal berdasarkan jumlah bobot. Strategi yang memiliki jumlah bobot terbesar menjadi prioritas utama dalam strategi implementasi kebijakan PLP2B di Kota Sukabumi. Ranking strategi pengendalian alih fungsi lahan di Kota Sukabumi disajikan pada Tabel 7.


(42)

27 Tabel 7 Ranking Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan di Kota Sukabumi

Unsur SWOT Keterkaitan Jumlah Bobot Ranking

Strategi SO SO1

SO2

S1,..,S5,O1,..,O5

S1,..,S5,O1,..,O5

Strategi ST ST1

ST2

S1,..,S5,T1,..,T5

S1,..,S5,T1,..,T5

Strategi WO WO1

WO2

W1,..,W5,O1,..,O5

W1,..,W5,O1,..,O5

Strategi WT WT1

WT2

W1,..,W5,T1,..,T5

W1,..,W5,T1,..,T5

4

GAMBARAN UMUM

Geografis dan Administrasi

Kota Sukabumi secara Geografis terletak di bagian selatan Jawa Barat pada koordinat 106045‟10” Bujur Timur, 6050‟44” Lintang Selatan dengan ketinggian 584 meter di atas permukaan laut. Wilayah Kota Sukabumi dibatasi oleh Kabupaten Sukabumi (Gambar 10), sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Sukabumi, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Nyalindung, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamataan Cisaat, dan sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja.


(43)

28

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1995, Kota Sukabumi memiliki luas wilayah 4,800.23 Ha yang terbagi dalam 5 kecamatan dan 33 kelurahan. Selanjutnya berdasarkan Perda Nomor 15 Tahun 2000, wilayah administratif Kota Sukabumi mengalami pemekaran wilayah menjadi 7 kecamatan, yaitu Kecamatan Cikole, Citamiang, Gunung Puyuh, Warudoyong, Baros, Cibeureum, dan Lembursitu. Kecamatan terluas yaitu Kecamatan Lembursitu dengan luas wilayah 890 ha dan kecamatan dengan luas wilayah terkecil yaitu Kecamatan Citamiang yaitu 404 ha. Data luas Kecamatan dan Kelurahan tersaji pada Tabel 8.

Tabel 8 Kecamatan dan Kelurahan di Kota Sukabumi

No Kecamatan Luas (ha) Kelurahan

1 Cikole 708 Selabatu, Gunungparang, Kebonjati, Cikole, Cisarua, Subangjaya

2 Citamiang 404 Cikondang, Gedongpanjang,

Nanggeleng, Citamiang, Tipar

3 Gunungpuyuh 550 Gunungpuyuh, Karamat, Sriwedari, Karangtengah

4 Warudoyong 760 Warudoyong, Nyomplong, Benteng, Dayeuhluhur, Sukakarya

5 Baros 611 Sudajaya Hilir, Jaya Mekar, Jayaraksa, Baros

6 Cibeureum 877 Sindangpalay, Limusnunggal,

Babakan, Cibeureum Hilir

7 Lembursitu 890 Lembursitu, Situmekar, Cipanengah, Cikundul, Sindangsari

Luas Kota Sukabumi 4,800 Sumber: BPS, 2015

Posisi Kota Sukabumi dalam Konstelasi Regional Jawa Barat berada pada posisi strategis karena berada di antara pusat pertumbuhan megaurban Jabodetabek dan Bandung Raya sehingga menjadi salah satu kawasan andalan dari 8 kawasan andalan di Jawa Barat yang berpotensi untuk pengembangan agribisnis, pariwisata dan bisnis kelautan yang berwawasan lingkungan dengan memanfaatkan modal investasi untuk menghasilkan daya saing global, serta menjadi motivator untuk memacu perkembangan wilayahnya juga mendorong pertumbuhan wilayah-wilayah disekitarnya (hinterland) (Bappeda, 2008). Jarak Kota Sukabumi yang cukup dekat ke Ibukota Negara (Jakarta) dan Ibukota Propinsi Jawa Barat (Bandung) secara berurutan yaitu 120 km dan 96 km mengakibatkan pergerakan orang dan barang dari kota-kota tersebut ke Kota Sukabumi cukup tinggi. Kedekatan jarak dengan dua kota besar tersebut juga membuka kesempatan untuk mengembangkan diri sebagai pusat pelayanan berkualitas di bidang perdagangan, pendidikan dan kesehatan yang merupakan visi Kota Sukabumi.


(44)

29

Kecamatan Pekarangan + Rumah

Tegal/ Kebun

Lain- Lain

Kolam/ Empang

Jumlah Lahan Kering

Cikole 512 6 106 7 631

Citamiang 208 2 102 12 324

Gunungpuyuh 366 19 67 6 458

Warudoyong 280 12 87 16 395

Baros 179 33 91 10 313

Cibeureum 210 41 85 19 355

Lembursitu 353 44 155 21 573

Jumlah 2,108 157 693 91 3,049

Penggunaan Lahan Sawah

Penggunaan lahan di Kota Sukabumi dibedakan menjadi dua yaitu lahan sawah dan lahan bukan sawah (lahan kering). Dengan luas wilayah sebesar 4,800 Ha, berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa menurut penggunaannya, sebesar 1,751 Ha (36.48 %) digunakan untuk tanah sawah dan sisanya seluas 3,049 Ha (63.52 %) merupakan tanah kering dan lain-lain.

Tabel 9 Luas Penggunaan Lahan Kecamatan di Kota Sukabumi Tahun 2014 (Ha) Kecamatan Lahan Sawah Lahan Kering Lain-lain Jumlah

Cikole 77 52 579 708

Citamiang 80 33 291 404

Gunungpuyuh 92 34 424 550

Warudoyong 365 54 341 760

Baros 299 73 240 612

Cibeureum 522 77 278 877

Lembursitu 316 89 484 889

Jumlah 1,751 412 2,637 4,800

Sumber: DPPKP Kt.Sukabumi, 2015

Kecamatan Cibeureum memiliki lahan sawah terluas dibandingkan dengan total lahan sawah di kecamatan lainnya yaitu 29,81 persen, dan secara berurutan kecamatan dengan luas lahan sawah dibandingkan dengan kecamatan lainnya yaitu Warudoyong (20.85 %), Lembursitu (18.05 %), Baros (17.08 %), Gunungpuyuh (5.25 %), Citamiang (4.57 %) dan Cikole (4.40 %). Kecamatan yang memiliki komposisi penggunaan lahan sawah terluas dibandingkan dengan luas wilayahnya masing-masing secara berurutan yaitu Kecamatan Cibeureum (59,52 %), Baros (48.86 %), Warudoyong (48,03 %), Lembursitu (35.55 %), Citamiang (19.80 %), Gunungpuyuh (16,73 %), dan Cikole (10,88 %).

Fenomena yang terjadi di perkotaan menunjukkan bahwa luas lahan sawah akan semakin berkurang sejalan dengan banyaknya pembangunan di bidang permukiman, perdagangan dan jasa sehingga fungsi lahan pertanian berubah fungsi menjadi lahan bukan pertanian atau lahan kering. Gambaran penggunaan lahan kering dan luasannya di Kota Sukabumi pada Tabel 10.

Tabel 10 Luas Lahan Kering dan Penggunaannya di Kota Sukabumi Tahun 2014(Ha)


(45)

30

Kecamatan

Penduduk Luas Kepadatan

L

(Jiwa) P (Jiwa) Jml (Jiwa) (%)

(Km2) (%) (Jiwa/ Km2)

Cikole 34,079 34,093 68,172 19.14 7.08 14.75 9,629

Citamiang 28,273 27,700 55,973 15.72 4.04 8.42 13,855

Gunungpuyuh 25,642 24,797 50,439 14.16 5.50 11.46 9,171

Warudoyong 32,771 30,783 63,554 17.85 7.60 15.83 8,362

Baros 18,530 17,771 36,301 10.19 6.11 12.73 5,941

Cibeureum 21,622 20,759 42,381 11.90 8.77 18.27 4,832

Lembursitu 19,779 19,486 39,265 11.03 8.90 18.54 4,412

Jumlah 180,696 175,389 356,085 100 48.00 100 7,418

Penggunaan lahan kering di Kota Sukabumi terbesar dimanfaatkan untuk pekarangan dan rumah yaitu 69.13 persen (2,108 ha) dari luas lahan kering. Kecamatan Cikole adalah wilayah yang paling besar memanfaatkan lahan keringnya sebagai pekarangan dan rumah yaitu sebesar 81.14 persen (512 ha) dari luas lahan keringnya. Dilihat dari proporsi lahan sawah terhadap total lahan dan lahan kering yang digunakan sebagai pekarangan/ rumah maka Kota Sukabumi memang merupakan daerah perkotaan.

Kependudukan dan Tenaga Kerja

Jumlah penduduk di Kota Sukabumi pada tahun 2011 yaitu 356,085 jiwa dengan sebaran yang dapat dilihat pada tabel 11. Penyebaran penduduk tertinggi berada di Kecamatan Cikole, yaitu 68,172 jiwa atau 19.14 persen penduduk Kota Sukabumi berada di Cikole. Jumlah penduduk terendah, sebesar 10.19 persen penduduk Kota Sukabumi berada di Kecamatan Baros.

Tabel 11 Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk di Kota Sukabumi Tahun 2014

Sumber: BPS, 2015, diolah

Ada 4 kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk di atas rata-rata kepadatan penduduk Kota Sukabumi (7,418 jiwa/km2), sehingga kecamatan ini dalam kategori kecamatan padat penduduk, yaitu Kecamatan Citamiang, Kecamatan Cikole, Kecamatan Gunungpuyuh, dan Kecamatan Warudoyong. 4 Kecamatan di atas merupakan kecamatan lama dari Kota Sukabumi dan sedikit luas lahan sawahnya dengan mayoritas lahan terbangun berupa pemukiman dan pusat jasa.

Wilayah yang baik mempunyai sumber daya yang dapat dikelola secara efektif dan efisien. Salahsatunya sumber daya manusia atau ketenagakerjaan yang dapat mencakup dimensi ekonomi dan sosial. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Penanggulangan Bencana Kota Sukabumi, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 11 tercatat bahwa pada tahun 2013 jumlah pencari kerja yang terdaftar mencapai 4,845 orang, yang terdiri dari 2,370 pencari kerja laki-laki dan 2,475 perempuan. Dari Gambar 11 dapat diketahui bahwa jumlah pencari kerja menurut tingkat pendidikan yang berlatar belakang pendidikan SMA memiliki jumlah terbanyak yaitu 2,741 orang (56.57 %), sementara jumlah paling sedikit adalah lulusan sarjana yang hanya berjumlah 294 orang (6 %).


(1)

74

Saaty TL. 1991. Decision Making for Leader: The Analytical Hierarchy Process for Decision in Complex World. Pittsburgh (US): Prentice Hall Coy. Ltd.

Salusu. 1996. Pengambilan Keputusan Strategik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Non Profit. PT. Gramedia. Jakarta.

Sudrajat A. 2007. Strategi Pemerintah Kabupaten Karawang untuk Mensinergikan Program Raksa Desa. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Sumaryanto, Supena F., dan Irawan B. 1994. Analisis Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Turner II BL., Skole D., Sanderson S., Fischer G., Fresco L. and Leemans, R. 1995. Land Use and Land Cover Change: Science/ Research Plan. IGBP Report No. 35/HDP Report No.7. Stockholm and Geneva.

Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Pemerintah Republik Indonesia.

Utomo, M, Eddy Rifai dan Abdulmutalib Thahir. 1992. Pembangunan dan Alih Fugsi Lahan. Universitas Lampung, Lampung.

Wahab, SA. 2008. Analisis Kebijakan: Dari Reformasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara. Jakarta.

Widiatmaka, Ambarwulan Wiwin, Munibah Khursatul, Santoso BK. Paulus. 2014. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Kesesuaian Lahan untuk Sawah di Sepanjang Jalan Tol Jakarta-Cikampek dan Jalan Nasional Pantura, Kab. Karawang. Seminar Nasional dan Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia. Yogyakarta.

Winoto J. 2005. Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Tanah Pertanian dan Implementasinya. Seminar Sehari Pengendalian Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi. Jakarta, 13 Desember 2005.

Wiranoto. 2014. Respon Keluarga Pemilik Sawah Terhadap Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Pemalang. Jurnal UNNES.


(2)

75

LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Analisis Faktor yang mempengaruhi pesepsi petani untuk mengimplementasikan PLP2B menggunakan SPSS

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square Df Sig. Step

6a

Step -2.169 1 .141 Block 44.694 10 .000 Model 44.694 10 .000

Model Summary Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square 6 29.006a .398 .702

Hosmer and Lemeshow Test

Step

Chi-square df Sig. 6 1.904 8 .984

Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test Y = 0 Y = 1

Total

Observed Expected Observed Expected

Step 6

1 7 7.504 2 1.496 9 2 4 3.534 5 5.466 9 3 1 1.619 8 7.381 9 4 1 .343 8 8.657 9 5 0 .001 9 8.999 9 6 0 .000 9 9.000 9 7 0 .000 9 9.000 9 8 0 .000 9 9.000 9 9 0 .000 9 9.000 9 10 0 .000 7 7.000 7

Classification Tablea

Observed

Predicted Y

Percentage Correct 0 1

Step 6

Y 0 8 5 61.5

1 2 73 97.3 Overall Percentage 92.0


(3)

76

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 6a

status(1) 7.347 3.261 5.077 1 .024 1552.229 2.602 926024.188 Pddkn .750 .331 5.113 1 .024 2.116 1.105 4.052 krja_ln(1) -4.281E+00 2.428 3.110 1 .078 .014 .000 1.611 pgalam .358 .152 5.584 1 .018 1.431 1.063 1.925 untung(1) -2.424E+01 7431.613 .000 1 .997 2.965E-11 .000 . bsedia(1) -2.422E+00 1.663 2.121 1 .145 .089 .003 2.310 pgluarn -1.965E+00 1.289 2.325 1 .127 .140 .011 1.753 ijin(1) 8.795 4.174 4.440 1 .035 6602.300 1.848 2.358E+07 nyuluh -2.793E+00 1.203 5.392 1 .020 .061 .006 .647 infras(1) -3.922E+00 2.651 2.188 1 .139 .020 .000 3.579 Constant 21.402 7431.614 .000 1 .998 1.97E+09


(4)

77

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 1 Januari 1982, merupakan putri kedua dari dua bersaudara dari Almarhum Bapak Sugianto dan Ibu Sumarni. Penulis merupakan lulusan dari SMAN 7 Bandung tahun 1999 dan meneruskan ke jenjang sarjana di Universitas Padjadjaran Bandung, jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Pada tahun 2013 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang S2 di Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) di Sekolah Pascasarjana, IPB melalui program beasiswa dari Kementerian Pertanian tempat penulis bekerja dari tahun 2005.

Penulis menikah dengan Daniel Gatot Raharjo tahun 2009 dan telah dikaruniai 2 (dua) orang putra dan putri bernama Manuel Sonny Pratama dan Manuella Putri Alexa.


(5)

78


(6)

79

Nopember

Nopember

Nopember

Nopember

Nopember