Analisis Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Langkat

(1)

ANALISIS ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH

DI KABUPATEN LANGKAT

SKRIPSI

Oleh :

SABRINA IRSALINA

060304009

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

ANALISIS ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH

DI KABUPATEN LANGKAT

SKRIPSI

Oleh :

SABRINA IRSALINA

060304009/AGRIBISNIS

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk dapat meraih gelar sarjana di fakultas pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

Disetujui Oleh :

Komisi Pembimbing

Ketua

Anggota

(DR. Ir. Tavi Supriana, MS) (DR. Ir. Salmiah, MS)

NIP.196411021989032001 NIP.195702171986032001

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

SABRINA IRSALINA: Analisis Alih Fungsi Lahan Sawah di

Kabupaten Langkat, dibimbing oleh DR. Ir. Tavi Supriana, MS dan

DR. Ir. Salmiah, MS

Penguasaan dan penggunaan lahan khususnya lahan sawah mulai terusik seiring pertumbuhan populasi dan perkembangan peradaban manusia yang diikuti pula dengan pertambahan jumlah penduduk sehingga menimbulkan permasalahan yang kompleks. Lahan sawah yang semula berfungsi sebagai media bercocok tanam, berangsur-angsur beralih fungsi menjadi penggunaan non komoditi padi maupun ke penggunaan non pertanian. Untuk itu penelitian ini telah dilakukan di Kabupaten Langkat pada tahun 2009 yang bertujuan menganalisis laju alih fungsi lahan sawah dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir (1998-2007), mengetahui motivasi petani tetap mempertahankan lahannya maupun mengalihfungsikan lahan serta memproyeksikan kondisi lahan sawah sepuluh tahun kedepan (2017) apabila alih fungsi lahan sawah tidak diatasi.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa: (1). 1. Laju alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Langkat periode 1998 – 2007 adalah sebesar 11.44 % atau sebesar 10.284 Ha yang beralih fungsi menjadi perkebunan (seperti kelapa sawit, karet, rambunan dll) dan untuk perumahan serta sarana publik (seperti SPN). Sejak tahun 1998 - 2007 laju alih fungsi tertinggi terjadi pada periode tahun 1999 – 2000 yakni sebesar 11,63%. (2). Motivasi petani mempertahankan lahannya 75% dikarenakan tidak ada pilihan lain, motivasi petani mengganti komoditi usaha taninya 90,91% dikarenakan harga komoditi pengganti lebih mahal dan motivasi petani menjual lahannya 90% dikarenakan kebutuhan mendesak. (3). Proyeksi luas lahan sawah dan produksi padi sepuluh tahun ke depan (2017) adalah 42.969,09 Ha dan 124.435,52 Ton. Diproyeksikan sebesar 36.603,91 Ha atau 46 % luas lahan sawah yang dialihfungsikan dan diproyeksikan produksi beras akan berkurang sebesar 106.002,41 Ton sejak tahun 2007. (4) Dampak alih fungsi lahan sawah terhadap kecukupan pangan diproyeksikan menyebabkan defisit produksi beras sebesar 23.110,05 Ton pada tahun 2017.


(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 16 Juni 19988 dari ayah Almarhum dr. H. Syahrun Siregar dan ibu Almarhumah Sarita Rosalina Tambunan. Penulis merupakan putri keempat dari empat bersaudara.

Tahun 2006 penulis lulus SMU Sutomo 1, Medan dan pada tahun yang sama masuk Fakultas Pertanian USU melalui jalur ujian tertulis Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis memilih program studi Agribisnis

Departemen Sosial Ekonomi Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Ikatan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian (IMASEP), sebagai Sie Dokumentasi FSMM SEP.

Penulis melaksanakan penelitian Skripsi di Kabupaten Langkat Kecamatan Stabat, Hinai, Padang Tualang dan Babalan pada bulan Desember sampai dengan Januari tahun 2010.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala rahmat dan karuania-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Alih Fungsi Lahan di Kabupaten Langkat”

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada DR. Ir. Tavi Supriana, MS dan DR. Ir. Salmiah, MS selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan meberikan masukan berharga kepada penulis dari mulai menetapkan judul, melakukan penelitian sampai pada ujian akhir. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Tunjang, Abdul Shaliq, Redid dan Baharuddin selaku kordinator penyuluh di daerah penelitian yang telah membantu selama penuli mengumpulkan data, serta penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ir. Luhut Sihombing MP, selaku Ketua Departemen Sosial Ekonomi Pertanian beserta semua staff dan pegawai yang telah membantu hingga penulisan skripsi ini selesai.

Disamping itu penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada : 1. Teristimewa kepada keluarga penulis yakni ayahanda Alm. dr. H. Syahrun

Siregar dan ibunda Almarhumah Sarita Rosalina Tambunan, para saudara Doly Maradona, SH, Fitria Silvia Mustika, Amd dan Fakhrul Arif, SH, nenek Ratna Sari Siregar serta tante dan om, Jamila Hanum Tambunan, SH,


(6)

Tambunan dan Syarifuddin Zuhri Tambunan, SE yang telah memberi dukungan, semangat dan do’a dalam penulisan skripsi ini.

2. Terimakasih banyak khususnya kepada kakak asisten dosen pembimbing ketua Riantri Barus, Sp atas bimbingan dan segala bantuan yang diberikan kepada penulis dan para sahabat Meilinda Adizty, Citranty Akriana, Meina Safitri, Indra Pratama, Abdul Khaliq, Feby Oktarina, Rusdiana Septia, Yuri Fauzy Rangkuti, Rini Triwandani, Dian Permana, Iqbal Johan, Ayudia Melasari dan seluruh teman-teman Departemen SEP 2006 atas segala bantuan, dukungan, dan semangat yang diberikan selama proses penulisan skripsi sampai dengan selesai.

Penulis menyadari masih banyak kelemahan dan kekurangan dalam penyususun skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya, membangun demi kesempurnaan skripsi ini kedepan. Akhirnya kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terimakasih.

Medan, September 2010


(7)

DAFTAR ISI

Hal.

ABSTRAK ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Identifikasi Masalah ... 5

Tujuan ... 5

Kegunaan ... 6

TINJAUAN PUSTAKA Manfaat Lahan Sawah ... 7

Defenisi Alih Fungsi... 7

Fakta Alih Fungsi ... 8

Faktor-Faktor Terjadinya Alih Fungsi... 10

Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah ... 12

Aspek Kebijakan Dalam Alih Fungsi Lahan ... 14

Teori Lokasi ... 16

Proyeksi Alih Fungsi Lahan dengan Analisis Tren ... 19

Kerangka Pemikiran ... 21

Hipotesa Penelitian ... 23

METODOLOGI PENELITIAN Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 24

Metode Pengambilan Sampel Penelitian ... 25

Metode Pengumpulan Data ... 25

Metode Analisis Data ... 26

Defenisi dan Batasan Operasional Defenisi ... 30


(8)

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

Deskripsi Wilayah ... 32

Kondisi Lahan Sawah di Kabupaten Langkat ... 32

Keadaaan Penduduk ... 34

Karakteristik Responden Penelitian a. Umur ... 36

b. Pendidikan ... 36

c. Luas Lahan ... 37

HASIL DAN PEMBAHASAN Laju Alih Fungsi Lahan di Kabupaten Langkat ... 38

Motivasi Petani Mempertahankan Maupun Mengalihfungsikan lahannya ... 41

a. Petani Mempertahankan Lahan Sawah ... 44

b. Petani Mengganti Komoditi Padi Sawah dengan Komo- diti Lain ... 46

c. Petani Menjual Lahannya ... 48

d. Pengetahuan Petani Mengenai Manfaat Langsung, Tidak Langsung, Bawaan maupun Fungsi Negatif Lahan Sawah ... 50

e. Proyeksi Luas Lahan Sawah dan Produksi Padi di Kab- Upaten Langkat dalam Sepuluh Tahun Kedepan ... 55

c. Proyeksi Luas lahan Sawah di kabupaten Langkat tahun 2017 ... 57

d. Proyeksi Produksi Beras Kabupaten Langkat tahun 2017 ... 59

Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah Terhadap Kecukupan Pangan di Kabupaten Langkat Sepuluh Tahun Mendatang. ... 60

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 66

Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68


(9)

DAFTAR TABEL

No. ... Hal

1. Jenis – jenis data yang diperlukan dan sumber data diperoleh ... 26

2. Luas lahan sawah di kabupaten Langkat tahun 1998 – 2007 ... 33

3. Luas lahan sawah versi BPS dan Peta Citra ... 33

4. Luas lahan sawah kondisi actual dan versi BPS berdasarkan Kecama- tan Stabat, Padang Tualang, Hnai dan Babalan di kabupaten Langkat tahun 2008 ... 34

5. Distribusi penduduk berdasarkan jenis kelamin tahun 2007 ... 35

6. Distribusi penduduk pencari kerja berdasarkan tingkat pendidikan ... 35

7. Distribusi responden berdasarkan kelompok umur... 36

8. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan ... 36

9. Distribusi responden berdasarkan luas lahan sawah, luas lahan yang berganti komoditidan luas lahan yang dijual ... 37

10.Laju alih fungsi lahan lahan sawah di Kabupaten Langkat tahun 1998 – 2007 ... 38

11.Luas lahan dan produksi padi sawah Kabupaten Langkat tahun 1998-2007 ... 55

12. Luas lahan sawah dan produksi padi Kabupaten Langkat tahun 1998-2006 ... 57

13. Jumlah penduduk, kebutuhan dan perimbangan beras Kabupaten Langkat tahun 1998 – 2007 ... 61

14.Jumlah penduduk Kabupaten Langkat tahun 1998-2006 ... 62

15.Proyeksi jumlah penduduk dan kebutuhan beras Kabupaten Langkat sepuluh tahun mendatang ... 63

16. Proyek produksi, kebutuhan dan perimbangan beras Kabupaten Langkat sepuluh tahun mendatang ... 64


(10)

DAFTAR GAMBAR

No. ... Hal

1. Luas lahan sawah Kabupaten Langkat tahun 1998-2007 ... 4

2. Diagram cincin dan perbedaan kurva sewa tanah dari Von Thunen ... 17

3. Skema kerangka pemikiran ... 23

4. Luas lahan sawah di Kabupaten Langkat per kecamatan tahun 1998-2007 24 5. Scatter diagram jumlah peduduk Kabupaten Langkat tahun 1998-2007 ... 29

6. Petani yang mempertahankan dan mengalihfungsikan lahan sawah di Kabupaten Langkat ... 42

7. Faktor – faktor yang menyebabkan petani mempertahankan lahan sawahnya ... 44

8. Faktor-faktor yang menyebabkan petani mengganti komoditi ... 46

9. Faktor-faktor yang menyebabkan petani menjual lahannya ... 48

10. Pengetahuan petani mengenai manfaat langsung lahan sawah ... 51

11. Pengetahuan petani mengenai manfaat tidak langsung lahan sawah ... 52

12. Pengetahuan petani mengenai manfaat bawaan lahan sawah ... 53

13. Pengetahuan petani mengenai fungsi negative lahan sawah ... 54

14. Proyeksi luas lahan sawah sepuluh tahun mendatang ... 58

15. Proyeksi produksi beras sepuluh tahun mendatang ... 60

16. Proyeksi dampak alih fungsi lahan sawah yang menimbulkan defisit produksi beras ... 65


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. ... Hal

1. Data luas lahan sawah per kecamatan di Kabupaten Langkat tahun 1998-2007 ... 71 2. Data luas lahan sawah Kabupaten Langkat tahun 1998 – 2007 dan

perubahannya ... 73 3. Karakteristik responden ... 74 4. Kondisi kepemilikan lahan dan faktor - faktor petani mempertahankan

maupun mengalihfungsikan lahannya ... 76 5. Tabulasi data faktor – faktor petani mempertahankan lahan maupun

mengalihfungsikannya ... 78 6. Manfaat Langsung, Tidak Langsung, Bawaan Maupun Fungsi Negatif

Lahan Sawah ... 81 7. Tabulasi data pengetahuan petani mengenai manfaat langsung, bawaan,

tidak langsung dan manfaat negatif sawah ... 83 8. Data produksi padi Kabupaten Langkat tahun 1998 – 2007 ... 89 9. Formulasi proyeksi luas lahan sawah di Kabupaten Langkat sepuluh tahun

mendatang ... 90 10. Proyeksi luas lahan sawah dan produksi padi sawah Kabupaten Langkat

sepuluh tahun mendatang ... 93 11. Jumlah penduduk, kebutuhan dan perimbangan beras Kabupaten Langkat

tahun 1998 – 2007 ... 94 12. Formulasi proyeksi jumlah penduduk Kaupaten Langkat sepuluh tahun

mendatang ... 95 13. Proyeksi jumlah penduduk dan kebutuhan beras Kabupaten Langkat

sepuluh tahun mendatang ... 98 14. Gambar lahan sawah yang belum beralih fungsi ke penggunaan lain ... 99 15. Gambar lahan sawah yang beralih fungsi ke komoditi lain seperti

kelapa sawit, karet dan rambutan ... 100 16. Gambar lahan sawah yang beralih fungsi ke penggunaan lain


(12)

ABSTRAK

SABRINA IRSALINA: Analisis Alih Fungsi Lahan Sawah di

Kabupaten Langkat, dibimbing oleh DR. Ir. Tavi Supriana, MS dan

DR. Ir. Salmiah, MS

Penguasaan dan penggunaan lahan khususnya lahan sawah mulai terusik seiring pertumbuhan populasi dan perkembangan peradaban manusia yang diikuti pula dengan pertambahan jumlah penduduk sehingga menimbulkan permasalahan yang kompleks. Lahan sawah yang semula berfungsi sebagai media bercocok tanam, berangsur-angsur beralih fungsi menjadi penggunaan non komoditi padi maupun ke penggunaan non pertanian. Untuk itu penelitian ini telah dilakukan di Kabupaten Langkat pada tahun 2009 yang bertujuan menganalisis laju alih fungsi lahan sawah dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir (1998-2007), mengetahui motivasi petani tetap mempertahankan lahannya maupun mengalihfungsikan lahan serta memproyeksikan kondisi lahan sawah sepuluh tahun kedepan (2017) apabila alih fungsi lahan sawah tidak diatasi.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa: (1). 1. Laju alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Langkat periode 1998 – 2007 adalah sebesar 11.44 % atau sebesar 10.284 Ha yang beralih fungsi menjadi perkebunan (seperti kelapa sawit, karet, rambunan dll) dan untuk perumahan serta sarana publik (seperti SPN). Sejak tahun 1998 - 2007 laju alih fungsi tertinggi terjadi pada periode tahun 1999 – 2000 yakni sebesar 11,63%. (2). Motivasi petani mempertahankan lahannya 75% dikarenakan tidak ada pilihan lain, motivasi petani mengganti komoditi usaha taninya 90,91% dikarenakan harga komoditi pengganti lebih mahal dan motivasi petani menjual lahannya 90% dikarenakan kebutuhan mendesak. (3). Proyeksi luas lahan sawah dan produksi padi sepuluh tahun ke depan (2017) adalah 42.969,09 Ha dan 124.435,52 Ton. Diproyeksikan sebesar 36.603,91 Ha atau 46 % luas lahan sawah yang dialihfungsikan dan diproyeksikan produksi beras akan berkurang sebesar 106.002,41 Ton sejak tahun 2007. (4) Dampak alih fungsi lahan sawah terhadap kecukupan pangan diproyeksikan menyebabkan defisit produksi beras sebesar 23.110,05 Ton pada tahun 2017.


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. Lahan berfungsi sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensi. Aktivitas yang pertama kali dilakukan adalah pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam.

Penguasaan dan penggunaan lahan mulai beralihfungsi seiring pertumbuhan populasi dan perkembangan peradaban manusia. Hal ini akhirnya menimbulkan permasalahan kompleks akibat pertambahan jumlah penduduk, penemuan dan pemanfaatan teknologi, serta dinamika pembangunan. Lahan yang semula berfungsi sebagai media bercocok tanam, berangsur-angsur berubah menjadi multifungsi pemanfaatan. Perubahan spesifik dari penggunaan untuk pertanian ke pemanfaatan bagi nonpertanian yang kemudian dikenal dengan istilah alih fungsi lahan. Fenomena ini tentunya dapat mendatangkan permasalahan yang serius. Implikasi alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian sosial (Iqbal dan Sumaryanto, 2007). Dampak alih fungsi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian menyangkut dimensi yang sangat luas. Hal itu terkait dengan aspek-aspek perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik masyarakat. Arah perubahan ini secara langsung atau tidak langsung akan berdampak terhadap pergeseran kondisi


(14)

ekonomi, tata ruang pertanian, serta prioritas-prioritas pembangunan pertanian wilayah dan nasional (Winoto, 1995; Nasoetion dan Winoto, 1996).

Perubahan penggunaan lahan dapat dapat terjadi karena adanya perubahan rencana tata ruang wilayah, adanya kebijaksanaan arah pembangunan dan karena mekanisme pasar. Dua hal terakhir terjadi lebih sering pada masa lampau karena kurangnya pengertian masyarakat maupun aparat pemerintah mengenai tata ruang wilayah. Alih fungsi dari pertanian ke nonpertanian terjadi secara meluas sejalan dengan kebijaksanaan pembangunan yang menekankan kepada aspek pertumbuhan melalui kemudahan fasilitas investasi, baik kepada investor lokal maupun luar negeri dalam penyediaan tanah (Widjanarko, dkk, 2006).

Pertumbuhan penduduk yang cepat diikuti dengan kebutuhan perumahan menjadikan lahan-lahan pertanian berkurang di berbagai daerah. Lahan yang semakin sempit semakin terfragmentasi akibat kebutuhan perumahan dan lahan industri. Petani lebih memilih bekerja di sektor informal dari pada bertahan di sektor pertanian. Daya tarik sektor pertanian yang terus menurun juga menjadikan petani cenderung melepas kepemilikan lahannya. Pelepasan kepemilikan lahan cenderung diikuti dengan alih fungsi lahan (Gunanto, 2007).

Pertumbuhan perekonomian menuntut pembangunan infrastruktur baik berupa jalan, bangunan industri dan pemukiman. Kondisi demikian

mencerminkan adanya peningkatan permintaan terhadap lahan untuk penggunaan nonpertanian yang mengakibatkan banyak lahan sawah, terutama di sekitar perkotaan, mengalami alih fungsi. Alih fungsi lahan juga dapat terjadi oleh karena kurangnya insentif pada usahatani lahan sawah yang diduga akan menyebabkan terjadi alih fungsi lahan ke tanaman pertanian lainnya.


(15)

Permasalahan tersebut diperkirakan akan mengancam kesinambungan produksi beras nasional. Isu alih fungsi lahan sawah perlu mendapat perhatian karena beras merupakan bahan pangan utama. Ketergantungan pada impor beras akan semakin meningkat apabila isu alih fungsi lahan sawah diabaikan. Pasar beras internasional bersifat thin market, artinya ketergantungan terhadap impor sifatnya tidak stabil dan akan menimbulkan kerawanan pangan yang pada gilirannya akan mengancam kestabilan nasional (Ilham, dkk, 2003).

Pemilik lahan mengalihfungsikan lahan pertaniannya untuk kepentingan nonpertanian oleh karena mengharapkan keuntungan lebih. Secara ekonomis, lahan pertanian, terutama sawah, harga jualnya tinggi karena biasanya berada dilokasi yang berkembang. Namun, bagi petani penggarap dan buruh tani, alih fungsi lahan menjadi bencana karena mereka tidak bisa beralih pekerjaan. Para petani semakin terjebak dengan semakin sempitnya kesempatan kerja sehingga akan menimbulkan masalah sosial yang pelik.

Masalah alih fungsi lahan dapat diatasi bila pemerintah daerah sangat ketat dalam hal penataan ruang. Pemerintah harus tegas dalam melarang pembangunan perumahan dan industri yang hendak menggunakan lahan di kawasan pertanian. Alih fungsi lahan dapat dicegah dengan menjadikan sektor pertanian sebagai lapangan usaha yang menarik dan bergengsi secara alami. Alih fungsi lahan yang terjadi tanpa kendali dapat menimbulkan persoalan ketahanan pangan, lingkungan dan ketenagakerjaan (Syahyuti, 2007).

Kabupaten Langkat adalah salah satu Kabupaten yang dalam sepuluh tahun terakhir terus mengalami alih fungsi lahan, khususnya lahan pertanian. Alih fungsi ini mengakibatkan luas lahan pertanian di Kabupaten Langkat khususnya


(16)

padi sawah cenderung mengalami penurunan. Lahan yang paling banyak mengalami alih fungsi adalah jenis lahan sawah menjadi lahan kering dan lahan non pertanian, seperti digunakan untuk bangunan, dan hal-hal lain sebagainya.

Menururt data BPS, pada tahun 2006 terjadi penurunan jumlah luas lahan sawah di Kabupaten Langkat dari 80.167 Ha menjadi 79.573 Ha tahun 2007. Terlihat bahwa ada penurunan dalam kurun waktu satu tahun sebesar 594 Ha yang mengindikasikan adanya gejala alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Langkat. Luas lahan pertanian yang semakin berkurang khususnya lahan sawah di Kabupaten Langkat, sudah tentu akan ikut mempengaruhi produksi padi di kabupaten tersebut. Melihat pada tingkat pertumbuhan penduduk yang pada umumnya semakin bertambah dari tahun ke tahun maka dikhawatirkan akan timbul masalah-masalah yang mengancam ketahanan pangan di daerah tersebut. Selengkapnya penurunan luas lahan sawah di Kabupaten Langkat dalam kurun waktu sepuluh tahun ditunjukkan Gambar 1.

Sumber : Langkat dalam angka berbagai tahun terbit

Gambar 1. Luas lahan sawah Kabupaten Langkat tahun 1998 - 2007 65000

70000 75000 80000 85000 90000 95000

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Tahun

L

u

a

s

(

H

a


(17)

Oleh karena itu, selain untuk melihat laju alih fungsi lahan penelitian ini juga bertujuan untuk melihat proyeksi luas lahan sawah sepuluh tahun mendatang dan dampaknya terhadap kecukupan pangan serta apa saja yang menjadi motivasi atau faktor yang mendorong masyarakat mengalihfungsikan lahan.

Identifikasi Masalah

Permasalahan yang dapat dirumuskan untuk diidentifikasi berdasarkan uraian latar belakang diatas, yaitu:

1. Bagaimana laju alih fungsi lahan sawah dalam sepuluh tahun terakhir di daerah penelitian ?

2. Bagaimana motivasi petani dalam mempertahankan maupun mengalihfungsikan lahannya di daerah penelitian ?

3. Bagaimana proyeksi luas lahan sawah dan produksi padi sepuluh tahun mendatangdi daerah penelitian ?

4. Bagaimana dampak alih fungsi lahan sawah terhadap kecukupan pangan sepuluh tahun mendatang di daerah penelitan?

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk menganalisis laju alih fungsi lahan sawah dalam sepuluh tahun terakhir di daerah penelitian.

2. Untuk mengetahui motivasi petani dalam mempertahankan lahannya ataupun mengalihfungsikan lahannya di daerah penelitian.


(18)

3. Untuk menganalisis proyeksi luas lahan sawah dan produksi padi di daerah penelitian sepuluh tahun kedepan.

4. Untuk menganalisis dampak alih fungsi lahan sawah terhadap kecukupan pangan sepuluh tahun mendatang di daerah penelitan.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna untuk mendapatkan data penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pertanian di Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan dan diharapkan pula dapat berguna untuk pihak-pihak yang berkepentingan dalam alih fungsi lahan.


(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Manfaat Lahan Sawah

Lahan sawah dapat dianggap sebagai barang publik, karena selain memberikan manfaat yang bersifat individual bagi pemiliknya, juga memberikan

manfaat yang bersifat sosial. Lahan sawah memiliki fungsi yang sangat luas yang terkait dengan manfaat langsung, manfaat tidak langsung, dan manfaat

bawaan. Manfaat langsung berhubungan dengan perihal penyediaan pangan, penyediaan kesempatan kerja, penyediaan sumber pendapatan bagi masyarakat dan daerah, sarana penumbuhan rasa kebersamaan (gotong royong), sarana pelestarian kebudayaan tradisional, sarana pencegahan urbanisasi, serta sarana pariwisata. Manfaat tidak langsung terkait dengan fungsinya sebagai salah satu wahana pelestari lingkungan. Manfaat bawaan terkait dengan fungsinya sebagai sarana pendidikan, dan sarana untuk mempertahankan keragaman hayati (Rahmanto, dkk, 2002).

Defenisi Alih Fungsi

Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan juga dapat diartikan sebagai perubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi


(20)

keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.

Fakta Alih Fungsi Lahan

Kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian cenderung terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian. Alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari akibat kecenderungan tersebut. Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga beralih fungsi secara progresif. Menurut Irawan (2005), hal tersebut disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan. Wibowo (1996) menambahkan bahwa pelaku pembelian tanah biasanya bukan penduduk setempat, sehingga mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan guntai yang secara umum rentan terhadap proses alih fungsi lahan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widjanarko, dkk (2006) secara nasional, luas lahan sawah kurang lebih 7,8 juta Ha, dimana 4,2 juta Ha berupa sawah irigasi dan sisanya 3,6 juta Ha berupa sawah nonirigasi. Selama Pelita VI tidak kurang dari 61.000 Ha lahan sawah telah berubah menjadi penggunaan lahan


(21)

nonpertanian. Luas lahan sawah tersebut telah beralih fungsi menjadi perumahan (30%), industri (65%), dan sisanya (5%) beralih fungsi penggunaan tanah lain.

Penelitian yang dilakukan Irawan (2005) menunjukkan bahwa laju alih fungsi lahan di luar Jawa (132 ribu Ha per tahun) ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Pulau Jawa (56 ribu ha per tahun). Sebesar 58,68 persen alih fungsi lahan sawah tersebut ditujukan untuk kegiatan nonpertanian dan sisanya untuk kegiatan bukan sawah. Alih fungsi lahan sebagian besar untuk kegiatan pembangunan perumahan dan sarana publik.

Winoto (2005) mengemukakan bahwa lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh :

1. Kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih inggi.

2. Daerah persawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan.

3. Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya. Infrastruktur wilayah persawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering

4. Pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan topografi seperti itu (terutama di Pulau Jawa) ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan.

Fenomena alih fungsi lahan pertanian sudah menjadi perhatian semua pihak. Penelitian yang dilakukan Winoto (2005) menunjukkan bahwa sekitar 187.720 Ha sawah beralih fungsi ke penggunaan lain setiap tahunnya, terutama di


(22)

Pulau Jawa. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan total lahan sawah beririgasi seluas 7,3 juta Ha dan hanya sekitar 4,2 juta Ha (57,6%) yang dapat dipertahankan fungsinya sedang sisanya sekitar 3,01 juta HA (42,4%) terancam beralih fungsi ke penggunaan lain.

Faktor-Faktor Terjadinya Alih Fungsi Lahan

Menurut Lestari (2009) proses alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu:

1. Faktor Eksternal.

Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi.

2. Faktor Internal.

Faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.

3. Faktor Kebijakan.

Yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian.

Kelemahan pada aspekregulasi atau peraturan itu sendiri terutama terkait dengan masalah kekuatan hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi objek lahan yang dilarang dikonversi.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ilham, dkk (2003) diketahui faktor penyebab alih fungsi dari sisi eksternal dan internal petani, yakni tekanan ekonomi pada saat krisis ekonomi. Hal tersebut menyebabkan banyak petani


(23)

menjual asetnya berupa sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang berdampak meningkatkan alih fungsi lahan sawah dan makin meningkatkan penguasaan lahan pada pihak-pihak pemilik modal. Sawah tadah hujan paling banyak mengalami alih fungsi (319 ribu Ha) secara nasional. Lahan sawah di Jawa dengan berbagai jenis irigasi mengalami alih fungsi, masing-masing sawah tadah hujan 310 ribu Ha, sawah irigasi teknis 234 ribu Ha, sawah irigasi semi teknis 194 ribu Ha dan sawah irigasi sederhana 167 ribu Ha. Sementara itu di Luar Jawa alih fungsi hanya terjadi pada sawah beririgasi sederhana dan tadah hujan. Tingginya alih fungsi lahan sawah beririgasi di Jawa makin menguatkan indikasi bahwa kebijakan pengendalian alih fungsi lahan sawah yang ada tidak efektif.

Menurut Wicaksono (2007), faktor lain penyebab alih fungsi lahan pertanian terutama ditentukan oleh :

1. Rendahnya nilai sewa tanah (land rent); lahan sawah yang berada disekitar pusat pembangunan dibandingkan dengan nilai sewa tanah untuk pemukiman dan industri.

2. Lemahnya fungsi kontrol dan pemberlakuan peraturan oleh lembaga terkait. 3. Semakin menonjolnya tujuan jangka pendek yaitu memperbesar pendapatan

asli daerah (PAD) tanpa mempertimbangkan kelestarian (sustainability) sumberdaya alam di era otonomi.

Produksi padi secara nasional terus meningkat setiap tahun, tetapi dengan laju pertumbuhan yang cenderung semakin menurun. Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian karena pesatnya pembangunan dianggap sebagai salah satu penyebab utama melandainya pertumbuhan produksi padi (Bapeda, 2006).


(24)

Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah

Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian dapat berdampak terhadap turunnya produksi pertanian, serta akan berdampak pada dimensi yang lebih luas dimana berkaitan dengan aspek-aspek perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik masyarakat.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rahmanto, dkk (2002), ditinjau dari aspek produksi, kerugian akibat alih fungsi lahan sawah di Jawa selama kurun waktu 18 tahun (1981-1998) diperkirakan telah menyebabkan hilangnya produksi beras sekitar 1,7 juta ton/tahun atau sebanding dengan jumlah impor beras tahun 1984-1997 yang berkisar antara 1,5- 2,5 juta ton/tahun.

Alih fungsi lahan sawah juga menyebabkan hilangnya kesempatan petani memperoleh pendapatan dari usahataninya. Dalam penelitian Rahmanto, dkk (2002) juga menyebutkan, hilangnya pendapatan dari usahatani

sawah di Jawa Barat dan Jawa Timur mencapai Rp 1,5 - Rp 2 juta/Ha/tahun dan kehilangan kesempatan kerja mencapai kisaran 300 - 480 HOK/Ha/tahun.

Perolehan pendapatan pengusaha traktor dan penggilingan padi juga ikut berkurang, masing-masing sebesar Rp 46 - Rp 91 ribu dan Rp 45 - Rp 114

ribu/Ha/tahun akibat terjadinya alih fungsi lahan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widjanarko, dkk (2006) terkonsentrasinya pembangunan perumahan dan industri di Pulau Jawa, di satu sisi menambah terbukanya lapangan kerja di sektor nonpertanian seperti jasa konstruksi, dan industri, akan tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang kurang menguntungkan. Dampak negatif tersebut antara lain :


(25)

1. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan turunnya produksi padi, yang mengganggu tercapainya swasembada pangan dan timbulnya kerawanan pangan serta mengakibatkan bergesernya lapangan kerja dari sektor pertanian ke nonpertanian. Apabila tenaga kerja tidak terserap seluruhnya akan meningkatkan angka pengangguran.

2. Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan menjadi tidak optimal pemanfaatannya.

3. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan maupun industri, sebagai dampak krisis ekonomi, atau karena kesalahan perhitungan mengakibatkan tidak termanfaatkannya tanah yang telah diperoleh, sehingga meningkatkan luas tanah tidur yang pada gilirannya juga menimbulkan konflik sosial seperti penjarahan tanah.

4. Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai utara Pulau Jawa sedangkan pencetakan sawah baru yang sangat besar biayanya di luar Pulau Jawa seperti di Kalimantan Tengah, tidak menunjukkan dampak positif.

Menurut Sudirja (2008) alih fungsi lahan pertanian bukan hanya sekedar memberi dampak negatif seperti mengurangi produksi beras, akan tetapi dapat pula membawa dampak positif terhadap ketersediaan lapangan kerja baru bagi sejumlah petani terutama buruh tani yang terkena oleh alih fungsi tersebut serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Menurut Irawan dan Friyatno (2005) proses alih fungsi lahan pertanian pada tingkat mikro dapat dilakukan oleh petani sendiri atau dilakukan pihak lain. Alih fungsi lahan yang dilakukan oleh pihak lain secara umum memiliki dampak yang lebih besar terhadap penurunan kapasitas produksi pangan karena proses alih


(26)

fungsi lahan tersebut biasanya mencakup hamparan lahan yang cukup luas, terutama ditujukan untuk pembangunan kawasan perumahan. Alih fungsi lahan yang dilakukan oleh pihak lain tersebut biasanya berlangsung melalui pelepasan hak pemilikan lahan petani kepada pihak lain yang kemudian diikuti dengan, pemanfaatan lahan tersebut untuk kegiatan non pertanian. Dampak alih fungsi lahan pertanian terhadap masalah pengadaan pangan pada dasarnya terjadi pada tahap kedua. Namun tahap kedua tersebut secara umum tidak akan terjadi tanpa melalui tahap pertama karena sebagian besar lahan pertanian dimiliki oleh petani. Oleh karena itu pengendalian pemanfaatan lahan untuk kepentingan pengadaan pangan pada dasarnya dapat ditempuh melalui dua pendekatan yaitu:

1. Mengendalikan pelepasan hak pemilikan lahan petani kepada pihak lain, dan 2. Mengendalikan dampak alih fungsi lahan tanaman pangan tersebut terhadap

keseimbangan pengadaan pangan.

Aspek Kebijakan Dalam Alih Fungsi Lahan

Berbagai kebijakan yang berkaitan dengan masalah pengendalian alih fungsi lahan sawah sudah banyak dibuat. Akan tetapi, hingga kini implementasinya belum berhasil diwujudkan secara optimal. Menurut Iqbal dan Sumaryanto (2007) hal ini antara lain karena kurangnya dukungan data dan minimnya sikap proaktif yang memadai ke arah pengendalian alih fungsi lahan sawah tersebut. Terdapat tiga kendala mendasar yang menjadi alasan mengapa peraturan pengendalian alih fungsi lahan sulit terlaksana, yaitu :

1. Kendala Koordinasi Kebijakan. Di satu sisi pemerintah berupaya melarang terjadinya alih fungsi lahan, tetapi di sisi lain justru mendorong terjadinya alih


(27)

fungsi lahan tersebut melalui kebijakan pertumbuhan industri/manufaktur dan sektor nonpertanian lainnya yang dalam kenyataannya menggunakan tanah pertanian.

2. Kendala Pelaksanaan Kebijakan. Peraturan-peraturan pengendaliah alih fungsi lahan baru menyebutkan ketentuan yang dikenakan terhadap perusahaan-perusahaan atau badan hukum yang akan menggunakan lahan dan atau akan merubah lahan pertanian ke nonpertanian. Oleh karena itu, perubahan penggunaan lahan sawah ke nonpertanian yang dilakukan secara individual/perorangan belum tersentuh oleh peraturan-peraturan tersebut, dimana perubahan lahan yang dilakukan secara individual diperkirakan sangat luas.

3. Kendala Konsistensi Perencanaan. RTRW yang kemudian dilanjutkan dengan mekanisme pemberian izin lokasi, merupakan instrumen utama dalam pengendalian untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis. Namun dalam kenyataannya, banyak RTRW yang justru merencanakan untuk mengalih fungsikan lahan sawah beririgasi teknis menjadi nonpertanian.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widjanarko, dkk (2006) dalam konteks pembangunan di Pulau Jawa, jumlah keluarga atau rumah tangga yang hidup dari sektor nonpertanian mencapai 100%. Beberapa faktor penting yang berpengaruh pada perubahan pola pemanfaatan lahan pertanian di Pulau Jawa yaitu faktor privatisasi pembangunan kawasan industri, pembangunan pemukiman skala besar dan kota baru, serta deregulasi investasi dan kemudahan perizinan. Tiga kebijakan nasional yang berpengaruh langsung terhadap alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian ialah:


(28)

1. Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar. Dampak kebijakan ini sangat berpengaruh pada peningkatan kebutuhan lahan sejak tahun 1989, yang telah berorientasi pada lokasi subur dan menguntungkan dari ketersediaan infrastruktur ekonomi.

2. Kebijakan pemerintah lainnya yang sangat berpengaruh terhadap perubahan fungsi lahan pertanian ialah kebijakan pembangunan permukiman skala besar dan kota baru. Akibat ikutan dari penerapan kebijakan ini ialah munculnya spekulan yang mendorong minat para petani menjual lahannya.

Sehingga terlihat bahwa sering sekali terjadi ketidakserasian antar kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi alih fungsi yang justru sering sekali justru meningkatkan laju alih fungsi lahan terutama lahan sawah.

Teori Lokasi

Mekanisme perubahan penggunaan lahan melibatkan kekuatan-kekuatan pasar, sistem administratif yang dikembangkan pemerintah, dan kepentingan politik. Pemerintah di sebagian besar negara di dunia pada kenyataannya memegang peran kunci dalam alokasi lahan seperti pajak, zonasi (zoning), maupun kebijakan langsung seperti kepemilikan lahan misalnya hutan, daerah lahan tambang, dan sebagainya (Prayudho, 2009).

Model klasik dari alokasi lahan adalah model Ricardo (Ricardian Rent). Menurut model ini, alokasi lahan akan mengarah pada penggunaan yang


(29)

menghasilkan surplus ekonomi (land rent) yang lebih tinggi, yang tergantung pada derajat kualitas lahan yang ditentukan oleh kesuburannya serta kelangkaan lahan. Menurut pendekatan von Thunen nilai land rent bukan hanya ditentukan oleh kesuburannya tetapi merupakan fungsi dari lokasinya. Pendekatan ini mengibaratkan pusat perekonomian adalah suatu kota yang dikelilingi oleh lahan yang kualitasnya homogen. Tataguna lahan yang dihasilkan dapat dipresentasikan sebagi cincin-cincin lingkaran yang bentuknya konsentris yang mengelilingi kota tersebut. Pendekatan von Thunen mencoba untuk menerangkan berbagai jenis pertanian dalam arti luas yang berkembang disekeliling daerah perkotaan yang merupakan pasar komoditi pertanian tersebut (Prayudho, 2009).

Cincin A merepresentasikan aktivitas penggunaan lahan untuk jasa komersial (pusat kota). Land rent pada wilayah ini mencapai nilai tertinggi. Cincin-cincin B, C, dan D masing-masing merepresentasikan penggunaan lahan

A B C D

Land rent

Jarak dari pasar Keterangan :

A : Pusat Pasar B : Industri C : Perumahan

Kurva A

Kurva B Kurva C

Kurva D

Sumber : Tarigan, 2006


(30)

untuk industri, perumahan, dan pertanian. Meningkatnya land rent secara relatif akan meningkatkan nilai tukar (term of trade) jasa-jasa komersial sehingga menggeser kurva land rent A ke kanan dan sebagian dari area cincin B (kawasan industri) terkonversi menjadi A. Demikian seterusnya, sehingga konversi lahan pertanian (cincin D) ke peruntukan pemukiman (cincin C) juga terjadi. Dalam sistem pasar, alih fungsi lahan berlangsung dari aktivitas yang menghasilkan land

rent lebih rendah ke aktivitas yang menghasilkan land rent lebih tinggi (Tarigan, 2006).

Alih fungsi lahan sawah tidak terlepas dari situasi ekonomi secara keseluruhan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyebabkan beberapa sektor ekonomi tumbuh dengan cepat sehingga sektor tersebut membutuhkan lahan yang lebih luas. Lahan sawah yang terletak dekat dengan sumber ekonomi akan mengalami pergeseran penggunaan kebentuk lain seperti pemukiman, industri manufaktur dan fasilitas infrastruktur. Hal ini terjadi karena land rent persatuan luas yang diperoleh dari aktivitas baru lebih tinggi daripada yang dihasilkan sawah (Prayudho, 2009).

Hubungan antara nilai land rent dan alokasi sumber daya lahan diantara berbagai kompetisi penggunaan sektor komersial dan strategis, mempunyai hubungan yang erat. Sektor tersebut berada pada kawasan strategis dengan land rent yang tinggi, sebaliknya sektor yang kurang mempunyai nilai komersial nilai rentnya semakin kecil. Economic rent sama dengan surplus ekonomi yang merupakan kelebihan nilai produksi total diatas biaya total. Suatu lahan sekurang-kurangnya memiliki empat jenis rent, yaitu:


(31)

1. Ricardian rent, menyangkut fungsi kualitas dan kelangkaan lahan. 2. Locational rent, menyangkut fungsi eksesibilitas lahan.

3. Ecological rent, menyangkut fungsi ekologi lahan. 4. Sosiological rent, menyangkut fungsi sosial dari lahan.

Umumnya land rent yang mencerminkan mekanisme pasar hanya mencakup ricardian rent dan locational rent. Ecological rent dan sosiological rent tidak sepenuhnya terjangkau mekanisme pasar (Prayudho, 2009).

Alih fungsi lahan sawah yang terjadi ditentukan juga oleh pertumbuhan sektor tanaman pangan, dalam hal ini mengenai nilai hasil sawah. Nilai inilah yang menjadi dasar individu mengalihfungsikan lahannya. Menurut teori oportunitas yang menjadi dasar asumsi Wiliamson bahwa oportunisme merupakan tindakan mengutamakan kepentingan diri dengan menggunakan akal untuk berusaha mengeksploitasi situasi demi keuntungan (Priyadi, 2009). Hal tersebut sesuai dengan

teori lokasi neo klasik yang menyatakan bahwa substitusi diantara berbagai

penggunaan faktor produksi dimungkinkan agar dicapai keuntungan maksimum. Artinya alih fungsi lahan sawah terjadi akibat penggantian faktor produksi sedemikian rupa semata-mata untuk memperoleh keuntungan maksimum (Prayudho, 2009).

Proyeksi Alih Fungsi Lahan dengan Analisis Tren

Pembangunan ekonomi di Indonesia yang terus berkembang telah mengakibatkan tingginya permintaan akan lahan. Lahan merupakan sumberdaya yang terbatas sehingga alih fungsi lahan, terutama dari pertanian ke non pertanian tidak dapat dihindari. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sudirja (2008),


(32)

lahan sawah dalam periode 1999 – 2001, mengalami penurunan sebesar 63.686 Ha untuk padi sawah, sebesar 231.973 Ha untuk padi ladang, sementara hutan rakyat berkurang sebanyak 24.033 Ha yang menunjukkan betapa lahan menjadi suatu sumberdaya yang semakin langka.

Hasil penelitian Sudirja (2008) menunjukkan pula bahwa sampai tahun 2020 diperkirakan akan terjadi alih fungsi lahan sawah seluas 807.500 Ha yakni 680.000 Ha di Jawa, 30.000 Ha di Bali, 62.500 Ha di Sumatera dan 35.000 Ha di Sulawesi. Proyeksi tersebut di teliti melalui suatu metode proyeksi dengan analisis tren.

Tren adalah salah satu peralatan statistik yang dapat digunakan untuk

memperkiraan keadaan dimasa yang akan datang berdasarkan pada data masa lalu. Tren juga merupakan gerakan dan data deret berkala selama beberapa tahun dan cenderung menuju pada suatu arah, dimana arah tersebut bisa

naik, turun maupun mendatar (Ibrahim, 2009).

Perhitungan tren linear menggunakan analisis regresi linier sederhana dengan metode kuadrat terkecil (least square method), yang dapat dinyatakan dalam bentuk : Y = a + b (x). Proyeksi ini menjelaskan hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya. Tren linear dilihat melalui garis lurus pada grafik tren yang dibentuk berdasarkan data proyeksi. Penyimpangan tren menunjukkan besarnya kesalahan nilai proyeksi dengan data yang aktual (Pasaribu, 1981).

Analisis tren memperlihatkan kecendrungan ketersediaan lahan dalam hal ini yaitu usahatani padi dan kecenderungan alih fungsi lahan sawah serta kemungkinan pencetakan sawah baru di masa yang akan datang. Hasil proyeksi


(33)

ini dapat memperkirakan kebutuhan pangan masyarakat serta kebutuhan lain yang berbasis pada penggunaan lahan. Melalui proyeksi ini dapat diperkirakan apa yang akan terjadi di masa akan datang apabila tidak ada intervensi terhadap kecenderungan yang ada saat ini (Ibrahim, 2009).

Kerangka Pemikiran

Tanah merupakan sumberdaya strategis yang memiliki nilai ekonomis. Luasan tanah pertanian tiap tahunnya terus mengalami penurunan. Berkurangnya jumlah lahan pertanian ini merupakan akibat dari adanya peningkatan jumlah dan aktivitas penduduk serta aktivitas pembangunan. Hal tersebut mengakibatkan permintaan akan lahan pun meningkat sehingga timbul alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian seperti perumahan, industri, infrastruktur dan lain sebagainya untuk memenuhi permintaan yang ada. Alih fungsi lahan yang terjadi tidak lepas dari kepentingan berbagai pihak seperti pemerintah, swasta dan komunitas (masyarakat). Alih fungsi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri.

Masalah alih fungsi lahan pertanian terus meningkat dan sulit dikendalikan, terutama di wilayah-wilayah dengan tingkat intensitas kegiatan ekonomi tinggi. Laju alih fungsi lahan yang tinggi pada daerah pusat perekonomian ataupun yang berada disekitar pusat perekonomian menyebabkan tekanan terhadap lahan pertanian pada penggunaan nonpertanian. Tekanan terhadap lahan pertanian tersebut berwujud terhadap penyempitan rata-rata


(34)

penguasaan lahan oleh petani. Keadaan tersebut jelas tidak kondusif bagi keberlangsungan pertanian dan perwujudan kebijakan pangan nasional dalam jangka panjang. Pembukaan areal baru yang sangat terbatas dan tidak sebanding dengan peningkatan jumlah penduduk yang terus meningkat juga menjadi faktor pendorong semakin meningkatnya laju alih fungsi lahan selain petani sendiri kurang memiliki motivasi atau keinginan yang cukup kuat untuk mempertahankan lahan sawahnya. Kondisi atau dorongan ekonomi bisa menjadi motivasi atau faktor pendorong petani untuk mengalihfungsikan lahnnya.

Kabupaten Langkat adalah salah satu Kabupaten yang dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir terus mengalami alih fungsi lahan yang mengakibatkan luas lahan pertanian di Kabupaten Langkat cenderung mengalami penurunan. Lahan yang paling banyak beralih fungsi adalah jenis lahan sawah, yang beralih fungsi menjadi lahan kering serta lahan non pertanian. Laju alih fungsi dilihat berdasarkan data luas lahan sawah di Kabupaten Langkat yang diperoleh dari BPS serta berdasarkan motivasi petani dalam mempertahankan maupun mengalih fungsikan lahannya. Proyeksi luas lahan sawah dan produksi padi akan dianilis trennya melalui kecenderungan laju alih fungsi secara regresi linier sederhana. Hasil proyeksi ini nantinya akan menjadi alat analisis untuk melihat dampak alihfungsi terhadap kecukupan pangan di Kabupaten Langkat sepuluh tahun yang akan datang dengan kondisi alih fungsi lahan sawah sekarang.

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar skema kerangka pemikiran berikut :


(35)

Hipotesa Penelitian

Proyeksi tren linier dengan metode analisis regresi membuat asumsi bahwa kondisi yang terjadi dimasa lampau akan terus berlanjut ke masa yang akan datang (Tarigan, 2006). Oleh karena itu dapat ditarik hipotesa 1, diproyeksi luas lahan sawah dan produksi beras sepuluh tahun mendatang di Kabupaten Langkat cenderung menurun dan hipotesa 2, diproyeksikan pula bahwa dampak alih fungsi lahan sawah terhadap kecukupan pangan sepuluh tahun mendatang akan menyebabkan defisit kebutuhan beras di Kabupaten Langkat.

Keterangan :

: menunjukkan pengaruh

Gambar 3. Skema kerangka pemikiran Proyeksi Luas Lahan dan

Produksi Padi Luas Lahan Sawah

Kab. Langkat

Laju Alih Fungsi Lahan Motivasi Petani

Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah


(36)

METODOLOGI PENELITIAN

Metode Penentuan Daerah Penelitan

Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive, yaitu secara sengaja, dengan memilih Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Langkat dipilih dengan alasan bahwa kabupaten ini adalah salah satu kabupaten yang banyak mengalami alih fungsi lahan khususnya lahan pertanian produktif.

Lokasi yang menjadi daerah sampel penelitian adalah Kecamatan Stabat, Hinai, Padang Tualang dan Babalan di Kabupaten Langkat. Daerah sampel penelitian dipilih dengan alasan bahwa daerah ini mengalami penurunan luas lahan sawah yang cukup tajam di Kabupaten Langkat serta mempertimbangkan faktor waktu, biaya dan jangkauan peneliti (Notohadiprawiro, 2006).

Sumber : Kabupaten Langkat berbagai tahun terbit, data diolah dari lampiran 1

Gambar 4. Luas lahan sawah di Kabupaten Langkat per Kecamatan tahun 1998 - 2007

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Binjai Stabat Wampu *) Batang Serangan *) Sawit Sebrang*) 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Bahorok Salapian Sei. Bingei Kuala Selesai 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Padang Tualang Hinai Secanggang Tanjung Pura Gebang 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Babalan Sei. Lepan Brandan Barat Besitang Pangkalan Susu


(37)

Metode Pengambilan Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah petani padi di Kecamatan Stabat, Hinai, Padang Tualang dan Babalan Kabupaten Langkat.

Sampel yang akan diteliti sebanyak 30 orang petani padi, diambil secara acak dengan metode penelusuran (Accidental Sampling). Accidental sampling yaitu metode pengambilan sampel dari siapa saja yang kebetulan ada, misalnya menanyakan siapa saja yang dijumpai di tengah jalan untuk meminta pendapat mereka tentang sesuatu (Mustafa, 2000). Hal tersebut dikarenakan semua populasi mempunyai kemungkinan yang sama untuk menjadi sampel penelitian, disamping menghemat waktu, biaya dan tenaga (Notohadiprawiro, 2006). Menurut Gay untuk penelitian yang menggunakan analisis deskriptif, ukuran sampel paling minimum dan efektif adalah 30 (Umar, 1996).

Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data sekunder dan data primer. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung kepada petani dengan menggunakan kuisioner. Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait seperti BPS-SUMUT, BPS Kabupaten Langkat, dan Kantor Camat Kecamatan Stabat, Hinai, Padang Tualang dan Babalan. Tabel 1 menunjukkan beberapa jenis data yang diperlukan dan sumber data diperoleh.


(38)

Tabel 1. Jenis-jenis data yang diperlukan dan sumber data diperoleh

Jenis Data Sumber Data

1. Data Primer :

Kuesioner

Petani padi di Kecamatan Stabat, Hinai, Padang Tualang dan Babalan

Kabupaten Langkat 2. Data Sekunder :

Data duas lahan, produksi dan produktivitas padi di Kabupaten Langkat tahun 1998-2007

BPS

Metode Analisis Data

Identifikasi masalah 1 dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif dengan melihat persentase perubahan luas lahan sawah di Kabupaten Langkat dalam kurun waktu sepuluh tahun.

Identifikasi masalah 2 dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif untuk melihat motivasi/dorongan petani dalam mempertahankan lahannya, berganti komoditi maupun mengalih fungsikan lahannya dengan mentabulasi setiap alasan-alasan yang diungkapkan.

Identifikasi masalah 3 dianalisis dengan metode proyeksi (trend) dengan menggunakan analisa regresi linear sederhana dengan metode kuadrat terkecil (least square method). Dalam Pasaribu (1981) persamaan garis tren linier dapat dibentuk sebagai berikut :

bx

a

y

=

+

Keterangan : y : Luas lahan sawah (Ha) dan Produksi padi (Kg) x : Tahun (dinotasikan dengan angka)


(39)

a : Koefisien intercept b : Koefisien regresi dari x

dimana nilai a dan b dapat dihitung dengan menggunakan rumus - rumus sebagai berikut :

∑ ∑

− −

= 2 2

) ( x x n y) x)( ( xy n

b dan

∑ ∑ ∑ ∑

− −

= 2 2 2

) ( x x n xy x y x a

Dimana

(

x=−4,−3,−2,−1,0,1,2,3,4⇒

x=0

)

, maka :

= 2

x xy

b dan a y

x n

y x

a= ⇒ =

2 2

Menurut Pasribu (1981) setelah persamaan garis tren yang linier tersusun, kemudian dapat diramalkan garis tren linier untuk masa mendatang dengan persamaan berikut :

* *

bx

a

y

=

+

Keterangan : y* = Luas lahan dan produksi untuk tahun yang diramalkan a = Koefisien intercept

b = Koefien regresi dari x

x* = Tahun yang diramalkan, yang dinotasikan dengan angka Menurut Ibrahim (2009) melalui proyeksi dengan analisis tren dapat diperkirakan apa yang akan terjadi di masa akan datang apabila tidak ada intervensi terhadap kecenderungan yang ada saat ini.

Proyeksi produksi beras diperoleh dengan mengalikan luas lahan sawah terhadap produktivitas rata-ratanya di Kabupaten Langkat sejak tahun 1998 hingga 2007 dengan asumsi bahwa sepuluh tahun mendatang produktivitasnya adalah tetap. Berdasarkan Buku Pedoman Pengumpulan Data dan Pengolahan


(40)

Data Tanaman Pangan oleh BPS dan Deptan Kabupaten Langkat (2007) perhitungan konversi berat padi ke beras adalah sebagai berikut :

• Produksi Gabah Kering Panen: Luas lahan (Ha) x Produktivitas (Ton/Ha)

• Produksi Gabah Kering Giling : 86,59% x GKP (Ton)

• Produksi beras : 63,20% x GKG (Ton)

Identifikasi masalah 4 akan dianalisis dengan melihat kecukupan pangan dari selisisih antara proyeksi produksi beras (supply) sepuluh tahun mendatang dengan proyeksi kebutuhan beras (demand) sepuluh tahun mendatang di daerah penelitian.

Proyeksi produksi beras sepuluh tahun mendatang diperoleh dari hasil identifikasi masalah 3.

Proyeksi kebutuhan beras sepuluh tahun mendatang diperoleh dengan mengalikan tingkat konsumsi perkapita beras rata-rata dengan proyeksi jumlah penduduk sepuluh tahun mendatang. Jumlah penduduk akan diproyeksikan dengan menggunakan metode regresi linier sederhana. Menurut Tarigan (2006) metode peramalan pertumbuhan penduduk dengan menggunakan analisis regresi linier sederhana dapat digunakan dengan asumsi bahwa pertumbuhan penduduk di masa lalu akan terus berkelanjutan ke masa yang akan datang. Tarigan (2006) juga mengemukakan bahwa pemilihan metode analisis regresi linier sederhana dapat dilakukan dengan pendekatan melalui pembuatan scatter diagram, yaitu dengan menggambarkan titik-titik berupa jumlah penduduk pada masa lalu pada bidang kordinat. Dari tebaran titik tersebut dapat diduga bentuk kurva mana yang paling mendekati dari keseluruhan titik tersebut. Gambar 5 memperlihatkan scatter diagram jumlah penduduk Kabupaten Langkat tahun 1998 – 2007.


(41)

Sehingga melalui pendekatan tersebut maka digunakan analisis regresi linier sederhana untuk memproyeksikan jumlah penduduk Kabupaten Langkat sepuluh tahun mendatang dengan persamaan berikut :

bx

a

y

=

+

Keterangan : y : Jumlah penduduk (jiwa)

x : Tahun (dinotasikan dengan angka) a : Koefisien intercept

b : Koefisien regresi dari x

dimana nilai a dan b dapat dihitung dengan menggunakan rumus - rumus sebagai berikut :

∑ ∑

− −

= 2 2

) ( x x n y) x)( ( xy n

b dan

∑ ∑ ∑ ∑

− −

= 2 2

2 ) ( x x n xy x y x a

Dimana

(

x=−4,−3,−2,−1,0,1,2,3,4⇒

x=0

)

, maka :

= 2

x xy

b dan a y

x n

y x

a= ⇒ =

2 2

Menurut Pasribu (1981) setelah persamaan garis tren yang linier tersusun, kemudian dapat diramalkan garis tren linier untuk masa mendatang dengan

Sumber : Data diolah dari lampiran 11

Gambar 5. Scatter diagram jumlah penduduk Kabupaten Langkat tahun 1998-2007 850000 870000 890000 910000 930000 950000 970000 990000 1010000 1030000 1050000

1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 Jumlah Penduduk (Jiw a)

Linear (Jumlah Penduduk (Jiw a))


(42)

* *

bx

a

y

=

+

Keterangan : y* = Jumlah penduduk untuk tahun yang diramalkan a = Koefisien intercept

b = Koefien regresi dari x

x* = Tahun yang diramalkan, yang dinotasikan dengan angka Menurut Ibrahim (2009) melalui proyeksi dengan analisis tren dapat diperkirakan apa yang akan terjadi di masa akan datang apabila tidak ada intervensi terhadap kecenderungan yang ada saat ini.

Maka dapat diproyeksikan dampak alihfungsi lahan terhadap kecukupan pangan melalui selisih produksi beras (supply) terhadap kebutuhan beras (demand) Kabupaten Langkat.

Defenisi dan Batasan Operasional Defenisi

1. Alih fungsi lahan sawah adalah peralihan fungsi lahan produktif dari sektor pertanian menjadi non pertanian.

2. Produksi padi adalah total produksi padi di daerah penelitian yang dihitung dalam Ton.

3. Luas lahan sawah adalah luas lahan yang digunakan untuk komoditi padi dimana yang dihitung dalam satuan Ha.

4. Petani adalah orang yang mempertahankan usaha taninya, orang yang mengganti usaha taninya dengan komoditi lain dan orang yang mengalih fungsikan lahannya.


(43)

6. Motivasi Petani adalah dorongan petani untuk mempertahankan lahannya, mengganti komoditi maupun mengalih fungsikan lahannya.

7. Kecukupan pangan dilihat dari selisih supply (proyeksi produksi beras) terhadap demand (proyeksi kebutuhan beras) di Kabupaten Langkat.

Batasan Operasional

1. Daerah penelitian adalah Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. 2. Waktu penelitian adalah tahun 2009.

3. Pemanfaatan lahan, luas lahan pertanian dan produksi padi menggunakan data sekunder selama 10 tahun mulai dari tahun 1998 sampai 2007.


(44)

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

Deskripsi wilayah

Daerah penelitian yaitu Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Secara geografis Kabupaten Langkat terletak pada 3° 14΄ - 4° 13΄ Lintang Utara,

97° 52΄ - 98° 45΄ Bujur Timur dan 4 – 105 mdpl. Kabupaten Langkat memiliki batas – batas wilayah sebagai berikut:

Sebelah Utara berbatasan dengan : Kabupaten Aceh Tamiang dan Selat Malaka.

Sebelah Timus berbatasan dengan : Kabupaten Deli Derdang. Sebelah Selatan berbatasana dengan : Kabupaten karo.

Sebelah Barat berbatasan dengan : Kabupaten Aceh Tenggara / Tanah Atas. Kabupaten Langkat menempati areal seluas ± 6.263, 29 Km2 (626.329 Ha) yang terdiri dari 20 kecamatan, 240 desa dan 37 kelurahan. Kabupaten Langkat merupakan daerah beriklim tropis sehingga memiliki dua musim yakni musim kemarau dan musim hujan.

Kondisi Lahan Sawah di Kabupaten Langkat

Kabupaten Langkat terdiri dari 20 kecamatan yang menempati area seluas ± 6.263, 29 Km2 dengan luas areal sawah seluas 79.573 Ha pada tahun 2007. Pada tahun 2000 luas areal persawahan mengalami penurunan dibandingkan tahun 1999. Penurunan luas lahan sawah ini terus terjadi hingga tahun 2002. Tahun 2003 terjadi peningkatan areal persawahan namun kembali turun hingga tahun 2005 hingga luas lahan sawah menjadi 69.177 Ha. Kondisi penurunan luas lahan sawah ini menunjukkan adanya gejala alih fungsi lahan pertanian khususnya padi


(45)

sawah ke sektor pertanian lain maupun non pertanian. Penggunaan lahan sawah di Kabupaten Langkat dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Luas lahan sawah di Kabupaten Langkat tahun 1998 - 2007

Tahun Luas Lahan Sawah (Ha)

1998 89.857

1999 92.884

2000 82.086

2001 80.840

2002 67.186

2003 74.964

2004 68.982

2005 69.177

2006 80.167

2007 79.573

Sumber : BPS – SUMUT berbagai tahun terbit

Dapat dilihat bahwa luas lahan sawah di Kabupaten Langkat pada tahun

2007 tercatat seluas 79.573 Ha versi data yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik. Peta Citra Satelit yang diterbitkan oleh Dinas Kehutanan

mencatat luas lahan sawah seluas 12.843,72 Ha pada tahun 2007. Dapat dilihat bahwa ada ketidaksesuaian data versi BPS dan Peta Citra Satelit. Tabel 11 menunjukkan luas lahan sawah versi BPS dan Peta Citra.

Tabel 3. Luas lahan sawah versi BPS dan Peta Citra

No. Versi Terbitan Tahun Luas (Ha)

1 Badan Pusat Statistik 2007 79.573 2 Peta Citra Satelit 2007 12.843,72

Selisish 66.729,28

Sumber : Peta Citra dan BPS – Kabupaten Langkat dalam angka tahun 2008

Tabel 3 memperlihatkan adanyat selisih luas lahan sawah sebesar 66.729,28 Ha pada tahun yang sama di Kabupaten Langkat. Dapat dilihat bahwa ada ketidak sesuaian data luas lahan sawah Kabupaten Langkat versi BPS dan Peta Citra.


(46)

Secara aktual diperoleh data luas lahan sawah dari BPP Kecamatan Stabat,

Hinai, Padang Tualang dan Babalan yang merupakan daerah sampel penelitian untuk disesuaikan terhadap data BPS. Tabel 12 akan

menunjukkan luas lahan sawah aktual dan versi BPS berdasarkan kecamatan di Kabupaten Langkat tahun 2008.

Tabel 4. Luas lahan sawah kondisi aktual dan versi BPS berdasarkan Kecamatan Stabat, Padang Tualang, Hinai dan Babalan di Kabupaten Langkat tahun 2008

No Kecamatan Luas Lahan (Ha)

Aktual BPS

1 Stabat 1.662 3.309

2 Padang Tualang 2.885.35 2.979

3 Hinai 3.185 1.410

4 Babalan 4.225 8.257

Total 11.957.35 15.955

Sumber : BPS – Langkat dalam angka 2009 dan BPP (Balai Pusat Penyuluh)

Dapat dilihat bahwa ada ketidaksesuaian data antara BPS dan kondisi aktual yang diperoleh dari Balai Pusat Penyuluh Kabupaten Langkat.

Berdasarkan kondisi tersebut maka diputuskan menggunakan data yang diperoleh dari BPS dengan mempertimbangkan BPS sebagai lembaga penghimpun data yang lebih dapat dipercaya.

Keadaan Penduduk

Penduduk Kabupaten Langkat berjumlah 902.986 jiwa dengan kepadatan penduduk dengan kepadatan penduduk sebesar 144,17 jiwa per Km2. Jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan Stabat yaitu sebanyak 83.223 jiwa dengan kepadatan penduduk 976,25 jiwa per Km2 sedangkan penduduk paling sedikit terdapat di Kecamatan Pematang Jaya sebesar 14.779 jiwa. Kecamatan Stabat merupakan Kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk paling tinggi


(47)

yaitu 976,25 jiwa per Km2 dan Kecamatan Batang Serangan merupakan Kecamatan dengan kepadatan penduduk paling rendah yaitu 39,11 jiwa per Km2.

Jumlah penduduk perjenis kelamin lebih besar penduduk laki-laki dibandingkan penduduk perempuan. Pada tahun 2008 jumlah penduduk laki-laki sebesar 521.484 jiwa, sedangkan penduduk perempuan sebanyak 521.039 jiwa. Tabel 5 menunjukkan distribusi penduduk berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 5. Distribusi penduduk berdasarkan jenis kelamin tahun 2007

No Jenis kelamin Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 Laki-laki 521.484 50,02

2 Perempuan 521.039 49,97

Jumlah 1.042.523 100

Sumber : BPS – Langkat dalam angka 2008

Jumlah pencari kerja yang terdaftar di Kabupaten Langkat pada tahun 2007 sebanyak 3.899 orang, yang terdiri dari 1.533 tenaga kerja laki-laki dan 2.366 perempuan. Pencari kerja yang terdaftar tersebut paling banyak mempunyai tingkat pendidikan tamat SLTA umum/kejuruan/lainnya yaitu 775 atau 19,87 %, SLTP umum/sederajat 322 Orang atau 8,25 % dan sisanya tamat DII/DIII 652 orang atau 16,72 % dan tamat SD 145 orang atau 3,72 %.

Tabel 6 menunjukkan distribusi penduduk pencari kerja berdasarkan tingkat pendidikan.

Tabel 6. Distribusi penduduk pencari kerja berdasarkan tingkat pendidikan No Tingkat pendidikan (tamat) Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 2 3 4

DII / DIII

SLTA kejuruan/umum/lainnya SLTP

SD

652 775 322 145

16,72 19,87 8,25 3,72

Total 1.894 48,56


(48)

Dapat dilihat bahwa hanya sekitar 48,56 % penduduk pencari kerja yang berpendidikan dari 3.899 jiwa penduduk.

Karakteristik Responden Penelitian

Responden dalam penelitian ini adalah petani padi sawah. Karakteristik petani dalam penelitian ini terdiri dari umur, pendidikan dan luas lahan (Ha). a. Umur

Keadaan umur responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7. Distribusi responden berdasarkan kelompok umur

No Kelompok Umur (tahun) Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 0 – 9 0 0

2 10 – 39 3 10

3 40 – 60 24 80

4 > 60 3 10

Jumlah 30 100

Sumber : Data diolah dari lampiran3

Tabel 7 menunjukkan bahwa range umur petani responden terbesar berada pada kelompok umur 40 – 60 tahun dengan persentase 80 % sebanyak 24 jiwa. Sedangkan yang terkecil pada kelompok umur 10 - 39 dan > 60 dengan persentase 10 % sebanyak masing-masing 3 jiwa.

b. Pendidikan

Keadaan pendidikan responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan

No Tingkat Pendidikan (tahun) Jumlah (jiwa) Persentase (%) 1 Tidak bersekolah/buta huruf 2 6,67

2 SD / SR 17 56,7

3 SMP 2 6,67

4 SMA/SPMA/STM 7 23,3

5 Sarjana/sederajat 2 6,67

Jumlah 30 100


(49)

Tabel 8 memperlihatlan bahwa pendidikan petani pada umumnya adalah SD/SR yaitu sebanyak 17 jiwa atau 56,7 %. Sedangkan petani dengan tingkat pendidikan sarjana dan buta huruf menempati angka terendah yakni sebanyak masing-masing 2 orang atau 6,67 % dari keseluruhan responden.

c. Luas Lahan

Keadaan Luas lahan sawah responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 9.

Tabel 9. Distribusi responden berdasarkan luas lahan sawah, luas lahan yang berganti komoditi dan luas lahan yang dijual

No. Luas Lahan (Ha) Lahan sawah Lahan ganti komoditi Lahan yang dijual Jumlah (org) Jumlah (org) Jumlah (org)

1 < 0,1 1 0 3

2 0,10 - 0,24 2 0 2

3 0,25 - 0,49 3 1 3

4 0,50 - 0.99 5 3 1

5 1,00 - 1,99 1 4 1

6 2,00 - 2,99 0 2 0

7 ≥ 3,00 0 2 0

Jumlah 12 11 10

Sumber : Data diolah dari lampiran 3

Pada tabel 9 dapat dilihat bahwa sebagian besar petani responden yang mempertahankan lahan sawahnya memiliki luas lahan antara 0,50 – 0,99 Ha yakni sebanyak 5 orang. Petani responden yang mengganti komoditi padi dengan komoditi lainnya sebagian besar memiliki luas lahan komoditi lainnya antara 1,00 – 1,99 Ha sebanyak 4 orang. Petani responden yang menjual lahannya sebagian besar menjual lahan dengan luas lahan antara 0,25 - 0,49 Ha dan kurang dari 0,1 Ha masing-masing sebanyak 3 orang.


(50)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Laju Alih Fungsi Lahan di Kabupaten Langkat

Laju alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Langkat dalam kurun waktu sepuluh tahun dilihat dari persentase perubahan luas lahan sawah per tahun. Tabel 10 menunjukkan luas lahan sawah dalam kurun waktu sepuluh tahun.

Tabel 10. Laju alih fungsi lahan sawah per tahun di Kabupaten Langkat tahun 1998 – 2007

Tahun Luas Lahan Sawah (Ha) Perubahan (Ha) Persentase Perubahan (%)

1998 89.857 0 0

1999 92.884 3.027 3,30

2000 82.086 -10.798 -11,63

2001 80.840 -1.246 -1,52

2002 67.186 -13.654 -16,89

2003 74.964 7.778 11,58

2004 68.982 -5.982 -7,98

2005 69.177 195 0,28

2006 80.167 10.990 15,87

2007 79.573 -594 -0,74

Sumber : BPS – Kabupaten Langkat berbagai tahun terbit

Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa sejak tahun 1998 terjadi penurunan luas lahan sawah. Tahun 1999 terjadi sedikit kenaikan luas lahan sawah namun kembali menurun drastis hingga tahun 2002. Peningkatan luas lahan sawah sedikit terjadi di tahun 2003 dan kemudian kembali menurun. Peningkatan lahan sawah terjadi pada tahun 2003, 2005 dan 2006 namun peningkatan ini belum mampu mengimbangi penurunan luas lahan yang terjadi sejak tahun 1999.

Pada Tabel 10 dapat dilihat pula bahwa laju alih fungsi lahan sawah tertinggi terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 16,89 % atau terjadi penunurunan luas lahan sawah sebesar 13.654 Ha. Peningkatan luas lahan sawah terbesar yakni sebesar 10.990 Ha atau 15,87 % yang terjadi pada tahun 2006. Secara


(51)

keseluruhan, dari tahun 1998 sampai 2007 telah terjadi alih fungsi lahan sawah sebesar 10.284 Ha atau sekitar 11.44 %.

Laju alih fungsi lahan sawah ke sektor non pertanian maupun komoditi selain padi sawah tentu akan dapat mengancam ketahanan pangan yang berdampak terhadap turunnya produksi pertanian. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rahmanto, dkk (2002), ditinjau dari aspek produksi, kerugian akibat alih fungsi lahan sawah di Jawa selama kurun waktu 18 tahun (1981-1998) diperkirakan telah menyebabkan hilangnya produksi beras sekitar 1,7 juta ton/tahun atau sebanding dengan jumlah impor beras tahun 1984-1997 yang berkisar antara 1,5 - 2,5 juta ton/tahun. Hal tersebut mempertegas kenyataan bahwa laju alih fungsi lahan yang terus terjadi ke sektor non pertanian maupun komoditi selain padi sawah akan mengancam ketahanan pangan dimasa mendatang. Berdasarkan tabel 8 dapat dilihat bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun terjadi laju alih fungsi lahan sebesar 10.284 Ha atau sekitar 11.44 %. Meskipun jika dibandingkan dengan laju alih fungsi di pulau jawa seperti penelitian Irawan (2005) yakni sebesar 58,68% laju alih fungsi lahan di Kabupaten Langkat masih terbilang rendah namun indikasi alih fungsi lahan tersebut apabila tidak diatasi maka tentu akan mengancam kecukupan pangan di masa mendatang. Oleh karena itu, perlu ada aspek regulasi pemerintah yang berperan dalam menghambat laju alih fungsi lahan pertanian pangan ke bentuk non pertanian.

Laju alih fungsi lahan yang terjadi merupakan dampak dari pergeseran pusat perekonomian yang semakin meluas. Pusat perekonomian yang dalam hal ini pusat kota yang semakin besar, mulai menggeser sektor pertanian yang


(52)

umumnya berada dipinggir pusat perekonomian. Hal ini sesuai dengan teori lokasi model Ricardian Rent, yakni alokasi penggunaan lahan kepada penggunaan yang dapat memberikan surplus ekonomi (land rent) lebih tinggi berdasarkan kualitas lahannya. Berdasarkan model ini, adanya alokasi penggunaan atau alih fungsi lahan ke bentuk lain disebabkan oleh adanya keinginan untuk memperoleh keuntungan lebih dari lahannya atau dapat dikatakan pula mengalokasikan lahan pada nilai land rent yang lebih tinggi. Alih fungsi yang terjadi di daerah penelitian adalah bentuk pengalokasian usaha tani padi sawah menjadi perkebunan, perumahan maupun infrastruktur. Selain mengharapkan keuntungan lebih atau surplus ekonomi dengan mengalih fungsikan lahan, aspek kebijakan, misalnya pembangunan infrastruktur, juga menjadi salah satu alasan yang membuat petani mengalih fungsikan lahannya.

Model Ricardo melalui pendekatan Von Thunen cukup menjelaskan bahwa terjadinya laju alih fungsi oleh karena meningkatnya land rent secara relatif. Meningkatnya land rent akan meningkatkan nilai tukar (term of trade) jasa-jasa komersial yang menyebabkan semakin bergesernya pusat perekonomian. Pergeseran pusat perekonomian menyebabkan dorongan pada areal pertanian yang berada di sekeliling pusat perekonomian. Dorongan dalam hal ini yakni berupa nilai tukar atas lahan yang diberikan lebih besar dibandingkan mempertahankan usaha taninya, sehingga petani lebih memilih mengalih fungsikan lahannya ke bentuk lain. Dorongan lain yang menyebabkan meningkatnya laju alih fungsi yakni pertimbangan petani terhadap opprtunity cost, dengan mengganti komoditi padi sawah dengan komoditi perkebunan yang dianggap lebih menguntungkan. Oleh karena itu laju alih fungsi lahan yang terus terjadi di Kabupaten Langkat


(53)

dalam kurun waktu sepuluh tahun sejak 1998 – 2007 adalah 11,44 % untuk penggunaan pertanian selain padi dan non pertanian seperti perumahan dan infrastruktur.

Motivasi Petani Dalam Mempertahankan Maupun Mengalihfungsikan Lahannya

Motivasi petani dilihat dari faktor-faktor apa yang menyebabkan petani tetap mempertahankan sawahnya maupun menglihfungsikan. Selain itu dilihat pula dari sejauh mana petani mengetahui fungsi langsung, bawaan, tidak langsung maupun fungsi negatif sawah.

Motivasi petani dalam mengelolah dan mempertahankan usahataninya sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik internal maupun eksternal. Faktor internal biasanya menyangkut kepada kondisi sosial-ekonomi rumah tangga petani pengguna lahan, sedangkan faktor eksternal seperti dinamika pertumbuhan perkotaan yang menyebabkan lant rent semakin meningkat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ilham, dkk (2003) diketahui faktor penyebab alih fungsi dari sisi eksternal dan internal petani, yakni tekanan ekonomi pada saat krisis ekonomi. Hal tersebut menyebabkan banyak petani menjual asetnya berupa sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang berdampak meningkatkan alih fungsi lahan sawah dan makin meningkatkan penguasaan lahan pada pihak-pihak pemilik modal.

Sawah tadah hujan umumnya rentan terhadap alih fungsi dikarenakan sulitnya mengandalkan pengairan melalui hujan. Disamping itu, kondisi cuaca yang tidak menentu dapat menyebabkan kerusakan panen atau bahkan kegagalan panen. Kondisi ini pulalah yang menjadi salah satu alasan petani mengalihfungsikan lahannya. Penelitian yang dilakukan Ilham, dkk (2003) juga


(54)

menjelaskan bahwa sawah tadah hujan paling banyak mengalami alih fungsi secara nasional yakni 319 ribu hektar sejak tahun 1979 hingga tahun 2000 atau sekitar 15 ribu hektar pertahun.

Tingginya alih fungsi lahan sawah ini makin menguatkan indikasi bahwa kebijakan pengendalian alih fungsi lahan sawah yang ada belum efektif. Disamping itu faktor regulasi pemerintah atau kebijakan juga dapat mempengaruhi petani atau pelaku pertanian untuk tetap mempertahankan lahannya atau justru mengalih fungsikannya baik dalam bentuk komoditi non padi atau justru menjual lahan yang kemudian beralih fungsi menjadi multifungsi penggunaan seperti sarana publik maupun perumahan.

Gambar 6 menunjukkan petani yang mempertahankan maupun mengalih fungsikan lahannya ke komoditi pertanian non padi maupun ke sektor non pertanian.

Gambar 6. Petani yang mempertahankan dan mengalihfungsikan lahan sawah di Kabupaten Langkat

Gambar 6 memperlihatkan bahwa 12 orang petani padi sawah masih mempertahankan lahan sawahnya. Sebanyak 21 orang petani padi telah mengalih fungsikan lahannya ke komoditi lain non padi maupun perumahan dan sarana publik. Lampiran 3 memperlihatkan bahwa sebanyak 11 orang mengganti

0 5 10 15 20 25

Jum lah (orang)

kondisi status lahan

Jumlah (orang) 12 21

1 2

Keterangan : 1. Mempertahankan lahan sawah 2. Mengalihfungsikan lahan


(55)

komoditi dan 10 orang menjual lahannya yang pada umumnya beralih fungsi ke penggunaan perumahan dan sebagian kecil sarana publik atau infrastruktur.

Pada Lampiran 3 dapat dilihat bahwa ada 3 orang petani dengan kondisi ganda yakni 2 orang tetap mempertahankan lahannya namun telah menjual sebagian lahannya dan 1 orang petani mengganti komoditi padi dengan komoditi kelapa sawit. Hal ini memperlihatkan bahwa motivasi petani yang masih mempertahankan lahannya dalam bentuk fungsi pertanian memiliki potensi untuk menjual lahannya hingga beralih fungsi menjadi pertanian non padi sawah maupun sektor non pertanian yang menyebabkan peningkatan laju alih fungsi.

Motivasi petani yang telah mengalihfungsikan lahannya dalam bentuk alih fungsi komoditi padi sawah menjadi komoditi lain seperti komoditi perkebunan tidak terlepas dari perbedaan land rent. Model Ricardo (Ricardian Rent) menjelaskan bahwa terjadinya alokasi penggunaan lahan ke penggunaan lain adalah agar dapat memberikan surplus ekonomi (land rent) lebih tinggi. Oleh karena itu adanya keinginan petani untuk memperoleh keuntungan lebih (alokasi lahan pada land rent lebih tinggi) dari lahannya menjadi motivasi petani

cenderung mengganti komoditi. Sejalan dengan hal tersebut pendekatan Von Thunen pada model Ricardian Rent yang menjelaskan bahwa terjadinya

peningkatan land rent akan diikuti oleh peningkatan nilai tukar (term of trade) jasa komersil yang menyebabkan bergesernya pusat perekonomian. Pergeseran ini mendorong areal pertanian yang menurut Von Thunen berada disekeliling pusat perekonomian. Peningkatan nilai tukar yang dibarengi kondisi perekonomian rumah tangga petani itu sendiri menjadi motivasi petani menjual lahannya.


(56)

a. Petani Mempertahankan Lahan Sawah

Faktor yang menyebabkan petani mempertahankan lahan akan mendeskripsikan motivasi petani dalam mempertahankan lahannya.

Gambar 7 akan memperlihatkan faktor-faktor yang menyebabkan petani mempertahankan lahan sawahnya.

Gambar 7. Faktor-faktor yang menyebabkan petani mempertahankan lahan sawahnya

Gambar 7 menunjukkan bahwa alasan utama petani tetap mempertahankan lahan sawahnya 75 % atau 9 dari 12 orang petani dengan alasan tidak ada pilihan lain, 66,67 % atau 8 orang oleh karena dengan menanam padi pasokan pangan terjamin dan 58,33 % atau 7 orang dikarenakan warisan (tidak boleh dijual). Oleh karena itu, motivasi utama petani mempertahankan lahannya adalah dikarenakan tidak ada pilihan lain atau alternatif lain, selain melakukan usaha tani padi sawah.

Keterangan : 1. Warisan (tidak boleh dijual) 2. Tidak ada pilihan lain

3. Untuk dijadikan warisan anak cucu

4. Menanam padi maka pasokan pangan terjamin

5. Areal sempit sehingga dijual tidak akan lebih menguntungkan 6. Lokasi bagus dan masih menguntungkan.

Sumber : Data diolah dari lampiran 4b

0 10 20 30 40 50 60 70 80

faktor-faktor mempertahankan lahan

Jumlah (orang) 7 9 1 8 1 1

Persentase (%) 58.33 75.00 8.33 66.67 8.33 8.33


(57)

Petani bersikap pasrah mengusahakan lahannya dengan menanam padi sawah tanpa memandang lahan sebagai sebuah potensi usaha yang menguntungkan bagi dirinya dan secara makro dapat mendukung katahanan pangan. Menanam padi bagi petani merupakan satu-satunya mata pencaharian keluarga yang bagi petani itu sendiri masih belum mampu mencukupi kebutuhannya. Petani merasa dengan keterampilan dan tingkat pendidikannya hanya mampu menanam padi di sawah sebagai satu-satunya media mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Akhirnya petani merasa tidak ada pilihan lain yang dapat dilakukan selain mempertahankan lahannya. Namun fakta bahwa mempertahankan lahan sebagai satu-satunya mata pencaharian ternyata belum mampu mencukupi kebutuhan keluarga sehingga desakan ekonomi inilah yang membuat kecendrungan petani untuk mengalihfungsikan lahannya.

Motivasi utama petani mempertahankan lahan dikarenakan tidak ada pilihan lain mengindikasikan adanya potensi petani akan mengalihfungsikan lahan

apabila terdapat perbedaan land rent serta dorongan ekonomi. Perbedaaan land rent dalam hal ini apabila mengalihfungsikan lahan akan lebih menguntungkan atau memberi surplus bagi petani tersebut jika dibandingkan tetap mempertahankan lahannya (model ricardiant rent). Disamping itu, dorongan ekonomi (seperti kebutuhan mendesak) juga turut berperan dalam melemahkan keinginan petani untuk mempertahankan lahannya seperti penelitian yang dilakukan oleh Ilham, dkk (2003) yakni faktor penyebab alih fungsi dari sisi petani adalah tekanan ekonomi.


(58)

b. Petani Mengganti Komdoditi Padi Sawah dengan Komoditi lain

Dalam model Ricardiant Rent dijelaskan bahwa adanya alokasi penggunaan ke penggunaan lain dikarenakan perbedaan land rent yang

memberikan surplus ekonomi (penggunaan yang lebih menguntungkan). Oleh karena itu adanya alih fungsi komoditi disebabkan oleh perbedaan land rent

komoditi pengganti yang secara ekonomis dianggap lebih menguntungkan.

Gambar 8 akan menunjukkan faktor-faktor yang menyebabkan petani mengganti komoditi padi sawah dengan komoditi lain.

Gambar 8. Faktor-faktor yang menyebabkan petani mengganti komoditi

Gambar 8 menunjukkan bahwa alasan utama petani mengganti komoditi adalah 90,91% atau 10 dari 11 orang dengan alasan harga komoditi pengganti lebih tinggi, 81,82% atau 9 orang dikarenakan cuaca yang tidak menentu dan 63,64% atau 7 orang dikarenakan waktu yang lebih senggang atau santai

Keterangan : 1. Cuaca kurang baik/tidak menentu 2. Harga komoditi pengganti lebih tinggi 3. Waktu lebih luang/senggang/santai 4. Harga input produksi mahal

6. Banyak menggunakan TK dibandingkan komoditi pengganti 7. Teknik budidaya lebih mudah komoditi pengganti

8. Input produksi sulit diperoleh

9. Padi lebih rentan terserang hama penyakit

10.Terpengaruh petani lainnya yang mengganti komoditi/ikut-ikutan

Sumber : Data diolah dari lampiran 4c

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

faktor-faktor mengganti komoditi

Jumlah (orang) 9 10 7 2 4 4 3 2 1 Persentase (%) 81.82 90.91 63.64 18.18 36.36 36.36 27.27 18.18 9.09


(59)

menanam komoditi pengganti dibandingkan padi sawah. Sedangkan 9,09% saja petani yang mengganti komoditi dengan alasan terpengaruh petani lainnya yang mengganti komoditi/ikut-ikutan. Oleh karena itu motivasi utama petani mengganti komoditi padi dengan komoditi lain adalah karena komoditi pengganti memiliki nilai tukar yang lebih besar dibandingkan komoditi padi, sehingga dinilai bahwa komoditi pengganti lebih menguntungkan.

Pada umumnya sawah di Kabupaten Langkat adalah sawah tadah hujan yang mengandalkan cuaca dalam keberhasilan produksinya. Cuaca yang sering tidak menentu membuat kualitas produk dan produksi menurun. Hal inilah yang juga merupakan salah satu motivasi petani mengganti komoditi disamping menanam padi memerlukan luangan waktu dan tenaga kerja yang lebih besar jika dibandingkan komoditi pengganti seperti karet, kelapa sawit atau rambutan.

Alih fungsi lahan sawah berkaitan pula dengan nilai hasil yang dalam hal ini nilai hasil sawah. Adanya perbedaan nilai hasil komoditi padi dengan komoditi lain menimbulkan keinginan petani untuk memperoleh surplus atau keuntungan lebih dengan mengalihfungsikan lahannya, meskipun demikian petani harus mengeluarkan biaya imbangan (opportunity cost). Biaya imbangan dikeluarkan petani untuk mengalokasikan lahan sawah menjadi lahan kering untuk ditanami tanaman keras yang memiliki nilai atau harga produk yang lebih tinggi dibandingkan padi. Dalam Prayudho (2009), teori lokasi neo klasik menjelaskan bahwa substitusi faktor produksi dimungkinkan untuk memperoleh keuntungan semaksimum mungkin. Oleh sebab itu motivasi utama petani mengalihfungsikan lahannya pada komoditi selain padi dikarenakan perbedaan nilai hasil (harga komoditi lain lebih tinggi) yang berorientasi pada keuntungan lebih atau surplus.


(1)

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R Square

Std, Error of the Estimate

Change Statistics

R Square Change F Change df1 df2 Sig, F Change

1 ,976a ,953 ,946 10430,94859 ,953 140,660 1 7 ,000

a, Predictors: (Constant), Notasi tahun

b, Dependent Variable: Jumlah Penduduk (Jiwa)

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig,

1 Regression 1,530E10 1 1,530E10 140,660 ,000a

Residual 7,616E8 7 1,088E8

Total 1,607E10 8

a, Predictors: (Constant), Notasi tahun


(2)

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig,

Correlations Collinearity Statistics

B Std, Error Beta Zero-order Partial Part Tolerance VIF

1 (Constant) 931059,222 3476,983 267,778 ,000

Notasi tahun 15971,050 1346,630 ,976 11,860 ,000 ,976 ,976 ,976 1,000 1,000 a, Dependent Variable: Jumlah Penduduk (Jiwa)


(3)

Lampiran 13. Proyeksi jumlah penduduk dan kebutuhan beras Kabupaten Langkat sepuluh mendatang Dari formulula :

y

*

=

931

.

059

,

222

+

15

.

971

,

050

x

*, maka diperoleh hasil proyeksi berikut :

Tahun proyeksi Notasi Tahun Jumlah Penduduk (Jiwa) Kebutuhan Beras (Ton) Produksi Beras (Ton) Perimbangan Beras (Ton)

2008 6 1.026.885,52 129.428,65 186.103,64 56.674,99 2009 7 1.042.856,57 131.441,64 179.251,63 47.809,99 2010 8 1.058.827,62 133.454,63 172.399,62 38.944,98 2011 9 1.074.798,67 135.467,62 165.547,60 30.079,98 2012 10 1.090.769,72 137.480,62 158.695,59 21.214,97 2013 11 1.106.740,77 139.493,61 151.843,58 12.349,97 2014 12 1.122.711,82 141.506,60 144.991,56 34.84,97 2015 13 1.138.682,87 143.519,59 138.139,55 -5.380,04 2016 14 1.154.653,92 145.532,58 131.287,54 -14.245,04 2017 15 1.170.624,97 147.545,57 124.435,52 -23.110,05

Tingkat konsumsi rata-rata perkapita kabupaten Langkat : 126,04 kg/tahun atau 0,13 ton/tahun

a. Peningkatan jumlah penduduk periode 2007 – 2017  1.170.624,97 - 1.027.414 = 143.210,97 Jiwa atau

{(1.170.624,97 - 1.027.414)/ 1.027.414} x 100 % = 13,94 % b. Peningkatan kebutuhan beras periode 2007 – 2017  147.545,57 - 129.491,24 = 18.054.34 Ton


(4)

Lampiran 14


(5)

Lampiran 15


(6)

Lampiran 16