PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH TERHADAP PRODUKSI PANGAN UTAMA DI PROVINSI JAWA TIMUR: SUATU ANALISIS KEBIJAKAN.

(1)

D

D

I

I

P

P

R

R

O

O

V

V

I

I

N

N

S

S

I

I

J

J

A

A

W

W

A

A

T

T

I

I

M

M

U

U

R

R

:

:

S

S

U

U

A

A

T

T

U

U

A

A

N

N

A

A

L

L

I

I

S

S

I

I

S

S

K

K

E

E

B

B

I

I

J

J

A

A

K

K

A

A

N

N

T E S I S

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Magister

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS

Diajukan oleh:

AGUS PUJI RAHARDJO

NPM. 0764020008

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR

S U R A B A Y A

2008


(2)

TESIS

P

PEENNGGAARRUUHHAALLIIHHFFUUNNGGSSIILLAAHHAANNSSAAWWAAHH

T

TEERRHHAADDAAPPPPRROODDUUKKSSIIPPAANNGGAANNUUTTAAMMAA D

DIIPPRROOVVIINNSSIIJJAAWWAATTIIMMUURR:: S

SUUAATTUUAANNAALLIISSIISSKKEEBBIIJJAAKKAANN

Yang dipersiapkan dan disusun oleh: AGUS PUJI RAHARDJO

NPM. 0764020008

Telah dipertahankan di depan Dosen Penguji pada tanggal 8 Januari 2009

dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima

SUSUNAN DEWAN PENGUJI

Pembimbing Utama Anggota Dewan Penguji Lain

(Dr. Ir.H. Zainal Abidin, MS.) 1. (DR. Ir. Setyo Parsudi, M.S.)

Pembimbing Pendamping 2. (DR.Ir. Eko Nurhadi, M.S.)

(Dr. Ir.H.Syarif Imam Hidayat,MM.) 3. (Ir. Sri Tjondro Winarno, M.M.)

Surabaya, Januari 2009 UPN ”Veteran” Jawa Timur

Program Pancasarjana Direktur,


(3)

ABSTRAK

Alih fungsi lahan sawah yang tidak terkendali dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian sosial. Di sisi lainnya, efektifitas implementasi instrumen pengendalian alih fungsi selama ini belum berjalan optimal sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, perlu dikaji dampak alih fungsi lahan sawah di Jawa Timur.

Tulisan ini bertujuan untuk mengamati variabel yang berpengaruh dan yang dipengaruhi dengan terjadinya Alih Fungsi Lahan Sawah, dan Untuk menyusun alternatif strategi pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah dalam rangka Ketahanan Pangan di Jawa Timur.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan alih fungsi lahan sawah semakin sering terjadi. Semakin meluasnya alih fungsi lahan akan memiliki dampak buruk terhadap ketersediaan pangan di Jawa Timur khususnya padi, karena 90 persen padi ditanam di lahan sawah, sedangkan lahan sawah sering mengalami alih fungsi menjadi penggunaan lahan non pertanian.

Untuk mengendalikan alih fungsi lahan diperlukan strategi berupa strategi peraturan kebijakan, dan strategi partisipasi mayarakat. Dengan ini maka instrumen untuk mengendalikan alih fungsi lahan semakin kuat.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan ridhoNYA yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH TERHADAP PRODUKSI PANGAN UTAMA DI PROVINSI JAWA TIMUR: SUATU ANALISIS KEBIJAKAN.

Tujuan penulisan tesis ini untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat S-2 pada Program Pascasarjana UPN ”Veteran” Jawa Timur. Setelah penulis mengalami berbagai macam tantangan dan cobaan dalam proses penulisan tesis ini, penulis mendapatkan banyak nasehat dan dorongan semangat dari berbagai pihak yang mampu memotivasi penulis untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi–tingginya kepada Dr. Ir. Zainal Abidin, MS. selaku Pembimbing Utama dan Dr. Ir. Syarif Imam Hidayat, MM. selaku Pembimbing Pendamping, Beliau sangat tegas dan penuh dengan kesabaran serta perhatian dalam membimbing penulis.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Rektor dan Direktur Pascasarjana beserta seluruh dosen dan staf yang telah memberikan kesempatan mengikuti kuliah di Program Pascasarjana UPN ” Veteran ” Surabaya.


(5)

2. Rekan-rekan mahasiswa angkatan XV pada Program Pascasarjana Studi Magister Manajemen Agribisnis UPN ” Veteran” Jawa Timur yang selalu memberikan dukungan dan semangat serta masukan– masukan yang bermanfaat.

”Tak ada gading yang tak retak”, penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini tidak luput dari kesalahan dan kekurangan karena terbatasnya pengetahuan dan kemampuan penulis, kesempurnaan itu mutlak milik Allah SWT. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi perbaikan tesis ini sangat penulis harapkan.

Surabaya, Januari 2009


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... iii 

KATA PENGANTAR ...iv 

DAFTAR ISI ...vi 

DAFTAR ISI ...vi 

DAFTAR TABEL ... viii 

DAFTAR GAMBAR ...ix 

DAFTAR LAMPIRAN ...x 

1.  PENDAHULUAN ... 1 

1.1.  Latar Belakang Masalah ... 1 

1.2.  Perumusan Masalah ... 5 

1.3.  Tujuan Penelitian ... 5 

1.4.  Kegunaan Penelitian ... 6 

1.5.  Ruang Lingkup Penelitian ... 7 

2.  TINJAUAN PUSTAKA ... 8 

2.1.  Penelitian Terdahulu ... 8 

2.2.  Kajian Teori ... 18 

2.2.1.  Konsep Agribisnis... 18 

2.2.2. Manfaat Lahan Pertanian ... 26

2.2.3. Lahan Pertanian sebagai Faktor Produksi... 27

2.2.4. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan... 30

2.2.5. Lahan Pertanian dan Permasalahannya ... 32

2.2.6. Alih Fungsi Lahan dan Ketahanan Pangan ... 34

2.2.7. Pertumbuhan Produksi dan Konsumsi ... 38

3.  KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ... 41 


(7)

4.  METODE PENELITIAN ... 45 

4.1.  Tempat dan Waktu Penelitian ... 45 

4.2.  Sumber dan Teknik Pengumpulan Data ... 45 

4.3.  Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel... 46 

4.4.  Analisis Data ... 48 

5.  HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 54 

5.1.  Alih Fungsi Lahan Sawah di Jawa Timur ... 54 

5.2.  Perkembangan Produksi Pangan utama di Jawa Timur ... 68 

5.3.  Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah di Jawa Timur ... 77 

5.4.  Pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap Perkembangan Produksi Pangan utama... 87 

5.4.1.  Pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah Terhadap Perkembangan Produksi Padi ... 87 

5.4.2.  Pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah Terhadap Perkembangan Produksi Jagung... 89 

5.5.  Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah di Jawa Timur ... 92 

5.5.1. Strategi Peraturan Kebijakan... 97

5.5.2. Strategi Partisipasi Mayarakat ... 100

6.  KESIMPULAN DAN SARAN... 104 

6.1.  Kesimpulan ... 104 

6.2.  Saran ... 106 

DAFTAR PUSTAKA... 108 


(8)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Fokus Penelitian Yang Telah Dilakukan Oleh Peneliti

Terdahulu ... 16 2. Luas Lahan Sawah menurut Jenis Pengairan di Jawa

Timur, Tahun 2001-2006 ... 62 3. Lahan Sawah dan Lahan Pekarangan/Bangunan dan

Halaman di Jawa Timur, Tahun 2001-2006... 63 4. Perkembangan Produksi Padi dan Jagung di Jawa Timur,

Tahun 1998-2006 ... 70 5. Produksi, Ketersediaan dan Konsumsi Beras di Jawa

Timur, Tahun 1998-2006 ... 71 6. Produksi, Ketersediaan dan Konsumsi Jagung di Jawa

Timur, Tahun 1998-2006 ... 74 7. Hasil Analisis Regresi Linier Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah. ... 79 8. Jumlah Penduduk dan Persentase Pertumbuhannya di

Jawa Timur, Tahun 1998-2006... 82 9. Jumlah Penduduk Yang Bekerja Usia 10 Tahun Keatas di

Jawa Timur, Tahun 2001-2006... 83 10. Hasil Analisis Regresi, Pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah


(9)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Hirarki Manfaat Lahan Pertanian ... 26 2. Kerangka Pemikiran ... 43 3. Luasan Alih Fungsi Lahan Sawah Periode 1997-2001 dan

Periode 2002-2006, di Jawa Timur... 55 4. Ranking Alih Fungsi Lahan di Jawa Timur, 1997-2006 ... 56 5. Trend Alih Fungsi Lahan Sawah di Jawa Timur,

1997-2006 ... 57 6. Persentase Lahan Sawah Menurut Tipe Irigasi, Yang

Mengalami Alih Fungsi menjadi Lahan Non Pertanian ... 60 7. Trend Lahan Sawah dan Lahan Pekarangan/Bangunan dan

Halaman di Jawa Timur, Tahun 2001-2006... 64 8. Produksi dan Konsumsi Beras di Jawa Timur, Tahun

1998-2006 ... 72 9. Produksi dan Konsumsi Jagung di Jawa Timur, Tahun

1998-2006 ... 75 10. Jumlah Penduduk Yang Bekerja Usia 10 Tahun Keatas di Jawa

Timur, Tahun 2001-2006 ... 84 11. Fungsi Regresi Pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap

Produksi Padi, 1997-2006 ... 87 12. Fungsi Regresi Pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap

Produksi Jagung, 1997-2006... 91 13. Ketatalaksanaan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Bertumpu


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Perundang-undangan dan Peraturan tentang Alih Fungsi

Lahan Sawah ... 112 2. Out Put Regresi Alih Fungsi Lahan dengan Independen

Variabel Jumlah Rumah Tangga, Pertumbuhan Ekonomi,

dan Jumlah Petani... 115 3. Out Put Regresi Produksi Padi dengan Independen

Variabel Alih Fungsi Lahan ... 117 4. Out Put Regresi Produksi Jagung dengan Independen


(11)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sejak manusia pertama kali menempati bumi, lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kelangsungan kehidupan. Konkritnya, lahan difungsikan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensinya. Aktivitas yang pertama kali dilakukan adalah pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam (pertanian).

Seiring pertumbuhan populasi dan perkembangan peradaban manusia, penguasaan dan penggunaan lahan mulai terusik yang menimbulkan kompleksitas permasalahan akibat pertambahan jumlah penduduk, penemuan dan pemanfaatan teknologi, serta dinamika pembangunan. Lahan yang semula berfungsi sebagai media bercocok tanam (pertanian), berangsur-angsur berubah menjadi multifungsi pemanfaatan.

Perubahan spesifik dari penggunaan untuk pertanian ke pemanfaatan bagi nonpertanian yang kemudian dikenal dengan istilah alih fungsi (konversi) lahan, kian waktu kian meningkat. Khusus untuk Indonesia, fenomena ini tentunya dapat mendatangkan permasalahan yang komplek dikemudian hari, jika tidak diantisipasi secara serius dari sekarang. Implikasinya, alih fungsi lahan sawah yang tidak terkendali


(12)

dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian sosial.

Lahan pertanian memiliki manfaat sosial dan manfaat ekonomi maupun manfaat lingkungan. Secara sosial, eksistensi lahan pertanian terkait dengan tatanan kelembagaan masyarakat petani dan aspek budaya lainnya. Secara ekonomi, lahan pertanian adalah masukan paling esensial dalam keberlangsungan proses produksi. Sementara itu, secara lingkungan, aktivitas pertanian pada umumnya relatif lebih selaras dengan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan. (Bappenas, 2006).

Salah satu fenomena yang cukup sering terjadi dalam pemanfaatan lahan adalah alih fungsi lahan. Fenomena tersebut muncul seiring makin tinggi dan bertambahnya tekanan kebutuhan dan permintaan terhadap lahan, baik dari sektor pertanian maupun dari sektor nonpertanian sebagai akibat dari bertambahnya penduduk dan kegiatan pembangunan. Sumaryanto et al. (1994) menggarisbawahi bahwa sisi dampak negatif (kerugian) utama akibat konversi lahan pertanian (sawah) adalah hilangnya peluang atau kesempatan dalam memproduksi hasil pertanian yang terkonversi. Lebih lanjut, kerugian tersebut juga berdampak pada hilangnya peluang pendapatan dan kesempatan kerja, baik secara langsung maupun tidak langsung ke depan (forward linkage) dan ke belakang (backward linkage) dari kegiatan ekonomi usahatani.


(13)

Kebijakaan pembangunan pertanian yang ditujukan untuk meningkatkan ketahanan pangan, mengembangkan agribisnis dan meningkatkan kesejahteraan petani mengharuskan produk pertanian yang dihasilkan memenuhi syarat kualitas dan syarat kuantitas maupun kontinuitasnya, sehingga produk tersebut memiliki daya saing dan mudah diperoleh dengan harga yang terjangkau.

Ketahanan Pangan sangat erat keterkaitannya dengan persediaan pangan. Produksi pangan selama ini didominasi oleh hasil dari tanaman padi yang ditanam dilahan sawah dibandingkan dengan tanaman padi yang ditanam di ladang. Data BPS menunjukkan bahwa 90 persen komoditas padi ditanam di lahan sawah. Dengan demikian bila konversi lahan banyak terjadi di lahan subur (sawah irigasi dan tadah hujan) yang terus berlangsung, maka akan mengganggu pertumbuhan produksi pangan. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan sektor industri dan bertambahnya perumahan menyebabkan peningkatan kebutuhan lahan untuk keperluan tersebut.

Sejalan dengan uraian diatas, upaya meningkatkan produksi pertanian tanaman pangan di Jawa Timur menjadi tidak mungkin karena disamping bertambahnya permintaan produk pertanian akibat dari pertambahan penduduk, tuntutan konsumen akan kualitas yang semakin tinggi, juga semakin terbatasnya lahan subur untuk budidaya tanaman pangan akibat terjadinya alih fungsi lahan sawah menjadi lahan untuk


(14)

bangunan industri maupun kawasan perumahan. Sedangkan sektor pertanian memiliki peranan penting dalam perekonomian nasional sebagai sumber pendapatan, pembuka kesempatan kerja, pengentas kemiskinan dan peningkatan ketahanan pangan nasional (Irawan et al., 2003).

Kondisi peralihan fungsi lahan sawah per Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur berdasarkan Hasil Podes 2006, bahwa telah terjadii alih fungsi lahan sawah selama 3 tahun (2003-2006) menjadi lahan pertanian bukan sawah sebesar 5.665 Ha (31,86%), lahan untuk perumahan sebesar 8.567,7 Ha (48,16%), lahan untuk bangunan industri sebesar 1.204,2 Ha (6,77%), lahan untuk bangunan perusahaan/perkantoran sebesar 693,1 Ha (3,90%), dan untuk keperluan lain-lain sebesar 1.651,3 Ha (9,29%). Kondisi tersebut menjunjukkan bahwa luasan lahan sawah telah terjadi penurunan, terjadinya alih fungsi lahan sawah sebagai salah satu unsur produksi akan memberikan pengaruh terjadinya penurunan produksi pangan.

Untuk selanjutnya, harus ada upaya untuk tetap meningkatkan produksi pangan, meskipun alih fungsi lahan sawah di Jawa Timur sulit dicegah, sehingga memerlukan upaya keras untuk pengendalian alih fungsi lahan sawah di Jawa Timur. Pada situasi dimana produksi padi mulai sulit ditingkatkan akibat meningkatnya kendala peluasan lahan sawah dan stagnasi teknologi usahatani, alih fungsi lahan sawah akan semakin memperbesar masalah pangan. Berdasarkan hal tersebut maka


(15)

upaya pengendalian alih fungsi lahan terutama lahan sawah memiliki peranan yang semakin penting dalam rangka mendukung ketahanan pangan di Jawa Timur. Upaya pengendalian alih fungsi lahan sawah juga diperlukan untuk menghindari berbagai masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan yang dapat timbul karena adanya kejadian tersebut.

1.2. Perumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan produksi pangan utama, jumlah penduduk, tingkat konsumsi pangan utama, pergeseran struktur tenaga kerja pertanian dan penggunaan lahan di Jawa Timur, sebagai Faktor-faktor yang berhubungan dengan Alih Fungsi Lahan Sawah, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yaitu tahun 1997-2006? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah? 3. Bagaimana pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap

perkembangan produksi pangan utama (padi dan jagung) di Jawa Timur?

4. Strategi yang perlu dilakukan dalam pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah di Jawa Timur?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengidentifikasi pekembangan produksi pangan utama (padi dan jagung), jumlah penduduk, tingkat konsumsi pangan utama (padi


(16)

dan jagung), peralihan tenaga kerja pertanian dan penggunaan lahan (sawah irigasi dan non irigasi serta pekarangan/bangunan dan halaman). Faktor-faktor tersebut memiliki hubungan dengan Alih Fungsi Lahan Sawah, dan akan dicermati perkembangannya selama 10 tahun yaitu periode 1997-2006.

2. Untuk mengetahui pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap perkembangan produksi pangan utama di Jawa Timur.

3. Untuk menganalisis pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap produksi pangan utama.

4. Untuk menyusun strategi pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah dalam rangka Ketahanan Pangan di Jawa Timur.

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat:

1. Sebagai kontribusi bagi pemerintah pusat atau daerah dalam pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah untuk menghindari terjadinya penurunan produksi pangan utama yang dapat mengancam ketahanan pangan di Jawa Timur.

2. Bagi penulis sebagai sarana mengembangkan pola pikir dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh derajat kesarjanaan Magister Manajemen Agribisnis (MMA) pada Program Pascasarjana Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur.


(17)

3. Sebagai bahan informasi dasar bagi penelitian lanjutan yang berkaitan dengan fungsi lahan pertanian.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

1. Wilayah penelitian: Provinsi Jawa Timur

2. Data yang digunakan dalam penelitian kurun waktu tahun 1997-2006 3. Fokus penelitian:

a. Mengidentifikasi kondisi Alih Fungsi Lahan Sawah di Jawa Timur.

b. Pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap perkembangan produksi pangan utama di Jawa Timur

c. Pekembangan produksi pangan utama (padi dan jagung), jumlah penduduk, tingkat konsumsi pangan utama (padi dan jagung), peralihan tenaga kerja pertanian dan penggunaan lahan (sawah irigasi dan non irigasi serta pekarangan/bangunan dan halaman). Faktor-faktor tersebut memiliki hubungan dengan Alih Fungsi Lahan Sawah. Kemudian diamati perkembangannya selama 10 tahun yaitu selama periode 1997-2006.

d. Analisis kebijakan untuk menyusun Strategi pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah menuju Ketahanan Pangan di Jawa Timur.


(18)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Priyono. A. (2000) dalam penelitian Studi Perubahan Penggunaan Lahan di Sub DAS Citarik, Jawa Barat dan DAS Kaligarang, Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu parameter utama untuk mendukung usaha peningkatan fungsi lahan adalah informasi perubahan penggunaan lahan dan kondisinya (existing landuse). Lahan sawah telah dikonversi ke penggunaan nonpertanian seperti perkotaan dan kawasan industri. Selain itu, dalam kurun waktu 1969-2000 minimal 2% atau lebih wilayah hutan juga telah mengalami alih fungsi menjadi tegalan dan sebagian kecil perkebunan. Untuk menekan laju konversi lahan perlu dipertimbangkan beberapa parameter seperti: kondisi/ekosistem lahan, ketersediaan jaringan irigasi permanen, aspek sosial ekonomi petani, hukum, dan kemungkinan perluasan/pencetakan sawah di luar Jawa. Selain itu harus disinkronkan dengan skenario perencanaan pertanian jangka panjang di Pulau Jawa. Pendekatan secara holistic dan terintegrasi dalam usaha menekan dan mengamankan alih fungsi lahan sawah produktif di Jawa perlu dilakukan.

Kurnia. U. (2006) dengan judul penelitian Pengaruh Penggunaan Lahan terhadap Debit dan Banjir di Bagian Hilir DAS Kaligarang. Penelitian tentang perubahan penggunaan lahan, khususnya lahan sawah


(19)

yang berada di sekitar perkotaan untuk penggunaan lain seperti perumahan dan industri yang mengancam hilangnya produktivitas tanah dan kelestarian lingkungan. Lahan sawah diyakini dapat mencegah atau mempertahankan lingkungan dari kerusakan karena mampu menahan air, berfungsi sebagai dam dan mengurangi erosi. Penelitian dilakukan di bagian hilir DAS Kaligarang, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. banjir di bagian hilir DAS Kaligarang, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan sawah menjadi lahan pemukiman, perumahan dan industri meningkatkan debit, sedimentasi dan banjir. Banjir semakin sering terjadi dan debit sungai meningkat dengan meningkatnya luas sawah yang berubah menjadi areal industri dan pemukiman.

Iqbal (2007) dalam penelitiannya tentang Fenomena dan Strategi Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pengendalian Konversi Lahan Sawah Di Provinsi Bali Dan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu fenomena yang cukup marak terjadi dalam pemanfaatan lahan adalah konversi lahan. Fenomena ini muncul seiring makin tinggi dan bertambahnya tekanan kebutuhan dan permintaan terhadap lahan, baik dari sektor pertanian maupun dari sektor nonpertanian akibat pertambahan penduduk dan kegiatan pembangunan. Penelitian ini memaparkan fenomena dan strategi kebijakan pemerintah daerah dalam pengendalian konversi lahan pertanian dengan fokus lahan


(20)

sawah di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat. Meskipun pemerintah daerah telah membuat RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) tentang aturan pemanfaatan ruang wilayah, termasuk di dalamnya antisipasi terhadap konversi lahan sawah, namun implementasinya boleh dikatakan masih lemah. Oleh karena itu, pendataan lahan yang terkoordinir dan terpadu diiringi dengan kebijakan pengendalian konversi lahan yang holistik dan komprehensif perlu segera diwujudkan.

Iqbal dan Sumaryanto (2007) dengan judul penelitian Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Alih Fungsi Lahan Sawah yang tidak terkendali dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian sosial. Di sisi lainnya, efektifitas implementasi instrumen pengendalian alih fungsi selama ini belum berjalan optimal sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, perlu diwujudkan suatu strategi pengendalian alternatif yang bertumpu pada partisipasi masyarakat.

Widjanarko (2007) dalam Aspek Pertanahan dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan, menujukkan bahwa arah kebijakan nasional dalam hal pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah sering bertabrakan dengan kebijakan pemerintah daerah yang lebih memprioritaskan kepentingan lokal. Walaupun penerapan kebijakan pengendalian alih fungsi lahan


(21)

masih dipandang cukup efektif dalam membatasi penggunaan lahan sawah bagi kegiatan nonpertanian (seperti mekanisme perijinan lokasi dan penerapan Rencana Tata Ruang Wilayah/RTRW), namun ternyata masih banyak prilaku “spekulan tanah” yang tidak terjangkau oleh penerapan kebijakan tersebut. Banyak dijumpai kasus-kasus dimana para pemilik lahan pertanian secara sengaja mengubah fungsi lahan agar lebih mudah untuk diperjualbelikan tanpa melalui mekanisme perijinan atau pelanggaran RTRW yang ada. Misalnya kasus yang terjadi di Kabupaten Bekasi dimana Bupati telah menetapkan ijin lokasi bagi pengalihan fungsi lahan persawahan teknis seluas 11 ha di desa Karang Sambung, Kedung Waringin menjadi pabrik penggilingan padi modern. Alih fungsi lahan sawah irigasi teknis ini sempat ditentang oleh Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi. Selain tidak dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kebijakan alih fungsi ini bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Larangan Alih Fungsi Lahan Sawah menjadi Industri atau Perumahan. Hal ini juga bertentangan dengan Surat Keputusan Menteri Negara/Bappenas Nomor 5417/MK/10/1994.

Pranadji (2005) dalam penelitian yang berjudul Pemberdayaan Kelembagaan dan Pengelolaan Sumberdaya Lahan Dan Air Mencari Strategi dan Kebijakan yang Sesuai untuk Pemantapan Ketahanan Pangan 2006-2009. Hasil penelitian antara lain: (a) pemantapan ketahanan pangan sangat tergantung pada perbaikan pengelolaan


(22)

sumberdaya lahan dan air. Melalui pemberdayaan kelembagaan masyarakat madani pada berbagai tingkat sosial, masalah pengelolaan sumberdaya lahan dan air untuk pemantapan ketahanan pangan masih terbuka untuk diatasi dengan baik, (b) dalam rangka meningkatkan pengelolaan sumberdaya lahan kering paling tidak tersedia lima pilihan strategi pemberdayaan kelembagaan yang bisa dilakukan. Strategi yang dimaksud adalah: strategi caritas, strategi produksi, strategi ekonomi, strategi perbaikan ekosistem, dan strategi sosio-budaya, (c) lemahnya pengelolaan sumberdaya lahan dan air menjadi salah satu penyebab terjadinya krisis multi dimensi seperti yang kita alami hingga kini, (d) perspektif jangka panjang perbaikan pengelolaan sumberdaya lahan dan air harus dilandaskan pada reformasi agraria. Tujuan akhir perbaikan pengelolaan sumberdaya lahan kering dan air adalah memperbaiki tingkat kehidupan masyarakat banyak di pedesaan khususnya, dan keseluruhan masyarakat bangsa Indonesia pada umumnya. Pemantapan ketahanan pangan merupakan hal esensial, sebelum tujuan kesejahteraan masyarakat lain dipenuhi. Oleh sebab itu, strategi pemberdayaan dalam perbaikan pengelolaan sumberdaya lahan dan air untuk pemantapan ketahanan pangan baru bisa ditentukan pada arah yang tepat jika lebih dahulu dilakukan perbaikan struktur keagrariaan yang bersifat menyeluruh.

Swastika (2007) pada Penelitian Analisis Kebijakan Peningkatan Produksi Padi Melalui Efisiensi Pemanfaatan Lahan Sawah Di Indonesia.


(23)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa beras merupakan bahan pangan pokok bagi 95 persen dari penduduk Indonesia. Sejak awal kemerdekaan Indonesia telah berusaha keras untuk meningkatkan produksi padi. Namun demikian, selama lebih dari tiga dekade Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan beras dalam negeri, sehingga masih tergantung pada impor. Kondisi ini diperburuk oleh adanya konversi lahan subur di Jawa, sehingga pertumbuhan produksi padi berjalan stagnan. Untuk periode selanjutnya, harus ada terobosan dalam meningkatkan produksi padi, meskipun konversi lahan terus berlangsung. Studi ini mencoba mengkaji kinerja pemanfaatan lahan sawah, kontribusi dan prospeknya dalam peningkatan produksi padi nasional. Hasil studi menunjukkan bahwa lahan sawah merupakan sumber utama produksi padi. Pada tahun 2005, luas sawah irigasi dan tadah hujan yang ditanami padi adalah 6,84 juta ha, dengan rataan indeks pertanaman 1,61. Angka ini menunjukkan masih adanya potensi untuk meningkatkan produksi padi melalui peningkatan indeks pertanaman. Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa peningkatan indeks pertanaman merupakan kebijakan strategis sebagai kompensasi dari konversi lahan. Potensi lainnya ialah peningkatan mutu intensifikasi melalui penggunaan varietas unggul disertai dengan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT). Penerapan kebijakan ini harus didukung oleh pembangunan dan renovasi infrastruktur disertai penyediaan sumber modal agar memungkinkan petani mengadopsi teknologi maju.


(24)

Pranadji (2006) dalam penelitian yang berjudul Penguatan Modal Sosial Untuk Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan Dalam Pengelolaan Agroekosistem Lahan Kering (ALK). Hasil penelitian penelitian antara lain :

pertama, pada desa yang kerusakan ALK parah, sebagian besar

penduduknya mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar.

Kedua, dalam memperbaiki pengelolaan ALK, kedua proyek belum

memperhatikan tentang pentingnya penguatan modal sosial setempat. Setelah proyek berakhir, hampir semua kegiatan perbaikan pengelolaan ALK ikut berakhir. Desa yang memiliki modal sosial relatif baik cenderung memiliki kemampuan lebih baik dalam mengatasi kerusakan ALK. Ketiga, ketimpangan kekuatan modal sosial antardukuh bisa dijadikan petunjuk kemungkinan terjadinya gejala ketidakberdayaan masyarakat dalam pengelolaan ALK, dan sekaligus menjadi petunjuk tentang lemahnya kelembagaan masyarakat madani dan penyelenggaraan pemerintahan pedesaan setempat. Keempat, kerusakan tata nilai masyarakat pedesaan merupakan faktor penting penyebab terjadinya ketidak-berdayaan masyarakat dan kemerosotan pengelolaan ALK setempat. Upaya perbaikan pengelolaan ALK tidak saja perlu disejajarkan dengan pemberdayaan masyarakat, namun juga perlu diintegrasikan dengan transformasi sosio-budaya dan perekonomian pedesaan. Model pemberdayaan masyarakat pedesaan dalam pengelolaan ALK yang dinilai efektif adalah yang dilandaskan pada penguatan modal sosial setempat. Penguatan tata nilai kemajuan merupakan inti dari penguatan modal


(25)

sosial, dan akan efektif jika dimulai dari penguatan kepemimpinan masyarakat setempat, manajemen sosial, dan keorganisaian masyarakat tingkat dukuh.

Maulana (2004) pada penelitian Peranan Luas Lahan, Intensitas Pertanaman dan Produktivitas Sebagai Sumber Pertumbuhan Padi Sawah Di Indonesia 1980–2001. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagai sumber pertumbuhan pada tingkat nasional, indeks pertanaman memiliki peranan penting dengan peningkatan laju pertumbuhan dari 0,05 persen per tahun selama 1990-1994 menjadi 3,17 persen selama 1995-1998. Sementara itu luas lahan dan produktivitas mengalami laju pertumbuhan yang cenderung menurun, bahkan pada periode 1995-2001 telah mengalami pertumbuhan negatif. Indeks TFP menunjukkan bahwa fluktuasi penggunaan total faktor produksi tidak berpengaruh signifikan terhadap laju pertumbuhan produksi. Hal ini mengindikasikan terjadinya

levelling off produktivitas. Oleh karena itu diperlukan strategi kebijakan

peningkatan produksi melalui pengembangan riset teknologi pertanian, pengendalian konversi lahan ke nonpertanian dan pengembangan infrastruktur.

Untuk menetapkan posisi penulisan pada hasil-hasil penelitian terdahulu, maka secara ringkas dipetakan tentang nama penulis dan fokus penelitian sebelumnya. Adapun hasil pemetaan oleh peneliti-peneliti terdahulu dapat dipetakan sebagaimana dalam Tabel 1.


(26)

Tabel 1. Fokus Penelitian Yang Telah Dilakukan Oleh Peneliti Terdahulu NO NAMA PENELITI (TAHUN) FOKUS PENELITIAN HUBUNGAN DENGAN PENELITIAN YANG AKAN

DILAKUKAN

1 Adi Priyono,

Wahyunto, Sunaryo, dan Zainal Abidin (2000)

Untuk menekan laju konversi lahan perlu dipertimbangkan beberapa parameter seperti: kondisi/ekosistem lahan, ketersediaan jaringan irigasi

permanen, aspek sosial ekonomi petani, hukum, dan kemungkinan perluasan/pencetakan sawah di luar Jawa

Hasil Penelitian sebelumnya akan menjadi dasar

penyusunan strategi Alih Fungsi Lahan Sawah

2 Undang Kurnia, Sudirman, Ishak Juarsah, dan Yoyo Soelaeman (2006) Perubahan penggunaan lahan sawah menjadi lahan pemukiman, perumahan dan industri meningkatkan debit, sedimentasi dan banjir. Banjir semakin sering terjadi dan debit sungai meningkat dengan meningkatnya luas sawah yang berubah menjadi areal industri dan pemukiman

Faktor penyebab alih fungsi lahan sawah menjadi lahan pekarangan/bangunan dan halaman akan diukur berdasarkan perubahan penggunaan lahan yang terjadi dan dalam penelitian ini juga mengidentifikasi dampaknya terhadap produksi dan konsumsi pangan utama, dan peralihan tenaga kerja.


(27)

Tabel 1. Lanjutan NO NAMA PENELITI (TAHUN) FOKUS PENELITIAN HUBUNGAN DENGAN PENELITIAN YANG AKAN

DILAKUKAN

3 Iqbal (2007) Pendataan lahan yang

terkoordinir dan terpadu diiringi dengan

kebijakan pengendalian konversi lahan yang holistik dan

komprehensif perlu segera diwujudkan

Kondisi kenyataan tentang pendataan lahan akan menjadi pertimbangan dalam penyusunan strategi

pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah

4 Iqbal dan

Sumaryanto (2007)

Strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian bertumpu pada partisipasi masyarakat dengan melibatkan peran serta aktif segenap pemangku kepentingan (stakeholders) sebagai entry point perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian.

Hasil penelitian sebelumnya akan menjadi dasar

pertimbangan pada penyusunan strategi pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah

5 Bambang .W.

M. Pakpahan, Bambang Rahardjono, dan Putu Suweken (2007)

Nilai tanah sebagai barang investasi lebih diminati daripada sebagai faktor produksi.

Nilai tanah sebagai barang investasi dalam penelitian ini merupakan faktor penyebab terjadinya Alih Fungsi Lahan Sawah


(28)

Tabel 1. Lanjutan NO NAMA PENELITI (TAHUN) FOKUS PENELITIAN HUBUNGAN DENGAN PENELITIAN YANG AKAN

DILAKUKAN 6 Swastika, Wargiono, Soejitno, dan Hasanuddin (2007) Peningkatan indeks pertanaman merupakan kebijakan strategis sebagai kompensasi dari konversi lahan. Potensi lainnya ialah peningkatan mutu intensifikasi.

Hasil penelitian sebelumnya menjadi bahan pertimbangan dalam peningkatan produksi yang dalam penelitian ini tidak dibahas

Sebagian besar tulisan telah mencermati faktor penyebab terjadinya alih fungsi lahan sawah dan strategi pengendalian, sedangkan dalam tulisan ini selain mencermati faktor yang berpengaruh dan strategi pengendalian juga akan dilihat dari sisi pengaruhnya terhadap ketahanan pangan utama di Provinsi Jawa Timur.

2.2. Kajian Teori

2.2.1. Konsep Agribisnis

Agribisnis terbentuk dari dua unsur kata yaitu ”agri” yang berasal dari

agriculture (pertanian) dan ”bisnis” dari kata business (usaha). Jadi

agribisnis adalah suatu kesatuan usaha yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran yang berhubungan dengan pertanian dalam arti luas, yaitu usaha yang ditunjang oleh kegiatan petani (Soekartawi, 1991).


(29)

Konsep agribisnis adalah konsep yang utuh mulai dari proses suplai input, produksi usahatani, pengolahan dan pemasaran hasil. Sedangkan dalam agribisnis itu sendiri dikenal konsep agribisnis sebagai sistem dan agribisnis sebagai suatu usaha. Disamping itu dikenal azas-azas dalam pengembangan agribisnis suatu komoditas tertentu. Beberapa azas yang perlu diterapkan dalam pengembangan agribisnis, antara lain adalah : terpusat (centralized), efisien (efficient), menyeluruh dan terpadu (holistic

and integrated), dan kelestarian lingkungan (sustainable ecosystem) (Hadi et al. 1994).

Agribisnis pada dasarnya menekankan pada cara pandang yang melepaskan diri dari sebuah “tradisi” konvensional yang selama ini dianut, ketika berbicara tentang pertanian. Pertanian tidak semata-mata hanya dipandang sebagai suatu kegiatan on farm saja, akan tetapi mencakup berbagai subsistem dalam keseluruhan sistem, yang disebut agribisnis. Agribisnis bukan sekedar untuk membuat kegiatan pertanian menjadi berdaya saing saja, akan tetapi lebih penting dari itu adalah dapat menciptakan petani untuk lebih produktif dan sejahtera. Dalam sistem agribisnis ada salah satu subsistem yang bersama-sama subsistem yang lainnya membentuk sistem agribisnis. Sistem agribisnis terdiri dari subsistem input (agroindustri hulu), usahatani (pertanian), out put (agroindustri hilir), pemasaran dan penunjang. Dengan demikian Agribisnis merupakan rangkaian kegiatan yang didalamnya terlibat aliran sistem komoditas dari masukan usahatani, usahatani dan pemrosesan,


(30)

penyebaran, penyimpanan, penjualan komoditi tersebut kepada konsumen akhir. Secara garis besar agribisnis dapat dibagi menjadi sektor masukan pertanian, sektor produksi pertanian dan sektor keluaran pertanian (Masyhuri,1992).

Pengembangan agribisnis telah banyak diulas oleh para pakar ekonomi dan pakar agribisnis pertanian, serta telah banyak kebijaksanaan pemerintah yang ditujukan untuk mempercepat laju perkembangan agribisnis. Namun pada realisasinya usaha-usaha tersebut belum mampu memenuhi sasaran yang diharapkan oleh masyarakat agribisnis Indonesia. Agribisnis sebagai mega sektor terdiri atas 4 (empat) sub-sektor, yaitu (1) sub sektor agribisnis hulu (up-stream agribisness), merupakan kegiatan yang menghasilkan sarana produksi pertanian primer, termasuk didalamnya agroindustri hulu seperti: industri pembenihan/pembibitan, industri obat-obatan pertanian, industri pupuk, industri alat-alat mesin pertanian; (2) sub-sektor (on farm agribusness) atau usahatani, yang merupakan kegiatan dengan menggunakan sarana produksi untuk menghasilkan komoditi pertanian primer; (3) sub-sektor agribisnis hilir (down stream agribusness), merupakan kegiatan yang mengolah komoditas pertanian primer produk akhir (finish product), dan (4) sub-sektor jasa penunjang agrbisnis, merupakan kegiatan yang menyediakan jasa-jasa penunjang dan dibutuhkan agribisnis, seperti: asuransi, transportasi, infrastruktur, penelitian pengembangan, perguruan


(31)

tinggi, komunikasi dan kebijakan pemerintah, baik ditingkat makro, regional maupun mikro (Saragih dan Murthi, 1989).

Agribisnis merupakan kesatuan sistem usaha di bidang pertanian yang tersusun atas beberapa komponen yang merupakan jaringan terpadu. Sistem agribisnis terdiri dari empat subsistem yang langsung terkait dengan penanganan proses tehnik, fisik dan jasa yaitu Soedirman (1994):

1. Subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, teknologi dan pengembangan sumber daya pertanian, mencakup didalamnya aspek-aspek perencanaan, mekanisme, tataniaga dan kebijakan harga sejak dari memproduksi masukan (input) sampai pada petani, aspek dari rangkaian tersebut bermuara pada tempat kualitas dan tempat kuantitas.

2. Subsistem produksi pertanian atau usahatani merupakan suatu kegiatan pemanfaatan beberapa sumber daya untuk memperoleh keuntungan yang berkenaan dengan perencanaan lokasi, pola usaha komoditas, teknologi, budidaya dan keluaran yang terkait dalam permintaan.

3. Subsistem pengolahan hasil-hasil pertanian atau agroindustri merupakan salah cabang dari industri yang mempunyai kaitan erat dan langsung dengan pertanian yang mencakup aspek-aspek


(32)

perencanaan di dalam proses peningkatan kualitas dalam pengertian lebih luas.

4. Subsistem pemasaran hasil-hasil pertanian merupakan subsistem tentang perencanaan pengembangan pasar, baik produksi pertanian maupun agroindustri dalam lingkup domestik maupun luar negeri. Dengan demikian masuk di dalamnya pemantauan terhadap persoalan perubahan perilaku dan segala pasar yang semakin cepat sehingga sangat sulit diantisipasi, pengembangannya. Strategi perdagangan dengan peningkatan peranan market intellgence dalam aspek-aspek pemasaran atau perdagangan internasional, terutama berkaitan dengan sigmentasi pasar, perubahan selera konsumen maupun kondisi produksi negara-negara lain.

Agribisnis menurut Downey dan Ericson (1989), dapat dibagi menjadi tiga subsektor yang saling tergantung secara ekonomi, yaitu sektor masukan (input), produksi (farm) dan sektor keluaran (out put). Sektor masukan menyediakan perbekalan kepada para petani untuk dapat memproduksi hasil tanaman termasuk di dalamnya adalah bibit, pupuk, mesin atau teknologi pertanian, bahan pakan ternak, bahan kimia dan banyak pembekalan yang lainnya.

Program pemerintah yang dituangkan dalam GBHN, ditunjang dengan penerapan konsep agribisnis diharapkan dapat memberikan dampak yang positif bagi pembangunan di sektor pertanian sehingga


(33)

mengimbangi pertumbuhan di sektor industri. Pembangunan agribisnis perlu ditempatkan bukan hanya sebagai pendekatan baru pembangunan pertanian, tetapi lebih dari itu pembangunan agribisnis perlu dijadikan sebagai penggerak utama (grand strategy) pembangunan ekonomi Indonesia secara keseluruhan (agribusiness-led development). (Adi Wijaya, 1996).

Dalam rangka membangunan perekonomian Indonesia melalui pembangunan agribisnis ke depan dihadapkan pada dua tantangan besar yang perlu terakomodasikan dalam pembangunan sistem agribisnis. Pertama, liberalisasi perdagangan internasional yang membuka persaingan yang makin ketat, memerlukan peningkatan kemampuan bersaing. Kedua, pelaksanaan otonomi daerah yang di dalamnya menyangkut pengurangan peranan langsung pemerintah pusat dan desentralisasi pembangunan, dan lain-lain menjadi hal yang sangat penting diakomodasikan dalam pembangunan sistem agribisnis. Dalam pembangunan nasional mendatang, pengembangan agribisnis dirasakan penting karena (Sutawi 2002):

1. Prospek pasar dalam negeri cukup besar (kenaikan pendapatan dan perkembangan penduduk).

2. Meningkatkan nilai tambah sektor pertanian agar produktivitas sektor pertanian meningkat sehingga sektor pertanian tidak tertinggal dengan sektor lainnya.


(34)

3. Sebagai “leading sector” memenuhi empat kriteria dalam memecahkan masalah pembangunan ekonomi Indonesia secara keseluruhan yaitu memanfaatkan bahan produksi setempat (resourcebase), penciptaan kesempatan kerja, peningkatan nilai tambah, dan penerimaan devisa.

4. Pengembangan agribisnis di Indonesia didukung oleh agroklimat dan kondisi lahan yang cukup subur, prasarana yang mendukung, dan kemauan pemerintah untuk mendukung pengembangan sektor pertanian.

Berbagai alternatif kebijakan pemerintah untuk menempuh agar sektor agribisnis dapat dikembangkan dengan baik menurut PERHEPI (1989) dalam Soekartawi (1994), yaitu antara lain :

1. Meningkatkan ketrampilan dan kemampuan petani untuk berusaha tani secara efisien.

2. Menyebarluaskan informasi pasar dan peluang pasar.

3. Menetapkan standarisasi untuk produksi pertanian secara tegas dan dimengerti oleh semua pihak.

4. Mengembangkan kelembagaan berdasarkan keinginan petani dan bukan berdasarkan keinginan yang dirasakan oleh birokrasi, dan 5. Konsolidasi kelembagaan pemasaran dan pengembangan

market-intellegent.


(35)

1. Perlunya pemahaman tentang hukum dan peraturan yang merupakan suatu kesepakatan dalam mengatur perdagangan internasional.

2. Perlunya pengembangan produksi yang efisien dengan bertumpu pada keunggulan komparatif yang dimiliki masing-masing daerah. 3. Perlunya menentukan kebijakan pengembangan sumber daya

manusia yang tepat dan sesuai dengan tuntutan untuk meningkatkan keunggulan kompetitif yang diinginkan.

4. Pengembangan agribisnis juga tidak terlepas dari pengembangan di bidang kelembagaan yang akan menentukan pola pembinaan dan pemanfaatan secara maksimal.

Dalam kontek pengembangan agribisnis Simatupang (1995) mengemukakan bahwa struktur agribisnis yang bersifat dualistik menyebabkan munculnya masalah tranmisi (pass trough problem), yang mencakup empat aspek strategis:

1. Terjadinya transmisi harga yang tidak simetris, penurunan harga ditransmisikan dengan cepat dan sempurna ke petani, sedangkan kenaikan harga ditransmisikan dengan lambat dan tidak sempurna; 2. Informasi pasar, termasuk preferensi konsumen, ditahan dan bahkan

dijadikan alat untuk memperkuat posisi monopsonistik (oligopsonistik) atau monopolistik (oligopolistik) oleh agribisnis hilir; 3. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh agribisnis hilir


(36)

4. Modal investasi yang relatif lebih banyak dimiliki oleh agribisnis hilir tidak disalurkan dengan baik dan bahkan cenderung digunakan untuk mengeksploitasi agribisnis hulu.

Kondisi di atas merupakan argumen, tentang sulitnya mengikutsertakan pelaku agribisnis yang telah mapan dalam kelembagaan petani.

2.2.2. Manfaat Lahan Pertanian

Lahan pertanian memberikan manfaat untuk ketahanan pangan, sosial ekonomi, dan kelestarian lingkungan. Hilangnya lahan pertanian yang mengalami alih fungsi ke manfaat lahan non pertanian akan memberikan dampak yang kurang baik bagi ketiga aspek tersebut. Manfaat lahan pertanian telah diilustrasikan oleh Sogo Kenkyu (1998) dan Yoshida (1994) sebagaimana pada Gambar 1.

Gambar 1. Hirarki Manfaat Lahan Pertanian

Total Manfaat Lahan Pertanian

Use Values Non-Use Values

Direct Use Values Indirect Use Values

Unpriced Benefit Marketed Output

Menyediakan: Bahan Pangan Lapangan Kerja Sarana Rekreasi Cegah Urbanisasi.

Mencegah: Pencemaran Banjir

Sarana Rekreasi Sanitasi yg buruk

Mempertahankan Biodiversity

Pendidikan Lingkungan

Padi, Palawija, Sayuran, Ternak, Ikan

Kayu, Daun, Jerami.

Manfaat Komunal Semakin Besar Manfaat Individual


(37)

Manfaat lahan pertainan secara langsung memberikan pengaruh ekonomis bagi petani melalui produk pertanian yang dihasilkannya, dan pengaruh langsung pada masalah sosial (Ketahanan Pangan, Lapangan Kerja, Sarana Rekreasi, dan Urbanisasi). Pengaruh alih fungsi lahan sawah terhadap ketahanan pangan, merupakan salah satu bentuk kajian dari manfaat lahan pertanian secara langsung.

2.2.3. Lahan Pertanian sebagai Faktor Produksi

Lahan memiliki arti lebih luas dari pada makna tanah, mengingat tanah hanya merupakan salah satu aspek dari lahan. Pengertian lahan lebih kepada wujud paduan dari banyak unsur lingkungan fisik yang mempengaruhi potensi penggunaannya. Oleh karena itu, secara teknis lahan tidak hanya berkaitan dengan tanah semata tetapi juga mengacu pada sifat lainnya seperti geologi bentuk lahan, iklim dan hidrologi, tutupan tanaman dan fauna, termasuk serangga dan mikroorganisme (Driessen,1989).

Pengembangan unsur dasar tanah sebagai media pertanaman tergolong lambat, hal tersebut terkait dengan masalah degradasi tanah sawah akibat pemupukan berlebih, sebagai contoh, sampai sekarang masih tetap menjadi masalah yang belum terpecahkan. Potensi tanah non-sawah, terutama lahan kering, untuk pertanian padi sejauh ini juga belum berkembang. Padahal, dalam pidato peletakan batu pertama Fakultas Pertanian UI (sekarang IPB) di Bogor tahun 1963, Soekarno


(38)

(waktu itu Presiden RI) sudah menegaskan visi pertanian kita yaitu pertanian lahan kering skala besar, terutama di luar Jawa, untuk menjamin ketahanan pangan nasional. Sampai sekarang, lebih dari empat dekade setelah visi itu dicanangkan, Indonesia belum juga memiliki pertanian padi lahan kering yang kuat. Sementara sumberdaya penelitian dihabiskan untuk peningkatan mutu tanah sawah, pada saat bersamaan proses konversi telah menghilangkan sawah-sawah terbaik dari tahun ke tahun. Tanah sawah dalam luasan besar telah dialih-fungsikan menjadi kawasan non-pertanian terutama kawasan industri, pemukiman, jalan raya, dan perkantoran, dan juga menjadi kawasan pertanian non-sawah antara lain tambak, perkebunan, dan palawija. Pertambahan areal sawah baru, sementara itu, tidak dapat mensubstitusi sepenuhnya fungsi-fungsi areal sawah yang sudah hilang terkonversi (Pranadji Tri, 2005).

Dalam prespektif ekologi budaya, manusia melalui keunggulan budayanya dilihat sebagai unsur yang merubah tampakan alami tanah. Petani sawah Jawa, jika dipindahkan ke luar Jawa, selalu berusaha mengembangkan sawah, walaupun di lokasi itu semula tidak ada sawah. Hal seperti itu terjadi karena proses sosialisasi masyarakat petani sawah Jawa sudah membekali setiap orang dengan sikap hidup, pengetahuan dan keahlian bersawah. Seandainya sosialisasinya membekali mereka dengan sikap hidup, pengetahuan, dan keahlian berladang padi, niscaya mereka akan membuka ladang padi juga di daerah baru. Tetapi budaya petani, dalam kaitan dengan pengolahan tanah, tidak mungkin


(39)

berkembang maju jika hanya mendasarkan pada proses-proses kreatif yang bersifat internal, khususnya perkembangan pengetahuan asli. Budaya petani akan lebih berkembang jika berorientasi pada pengembangan pengetahuan lokal, yaitu interaksi antara pengetahuan asli (indigenous knowledge) dan pengetahuan ilmiah (scientific

knowledge). Karena itu penelitian tanah harus dilakukan dalam kerangka

komunikasi dengan pengetahuan asli petani, sehingga pada gilirannya akan memperkaya pengetahuan lokal (Pranadji Tri, 2005).

Survai sifat dan ciri tanah mutlak diperlukan untuk memetakan potensi tanah pertanian secara nasional. Tetapi, hasil survei seperti itu tidak harus ditutup dengan suatu rekomendasi pengubahan sifat dan ciri tanah melalui perlakuan tertentu (misalnya rekomendasi komposisi dan dosis pemupukan) supaya cocok untuk tanaman tertentu (yang hendak dikembangkan pemerintah). Lebih penting dari itu adalah memahami budaya petani yang membentuk ekologi budaya setempat, sekaligus mempelajari benih-benih tanaman pangan khususnya padi yang dibudidayakan petani setempat. Pada titik ini penelitian tanah memang harus berkomunikasi dengan penelitian budaya petani dan penelitian benih tanaman pangan. Dengan kata lain, penelitian/pengembangan tanah pertanian tidak bisa berjalan sendiri lagi seperti terjadi selama ini (Pranadji Tri, 2005).


(40)

Seperti halnya penelitian/pengembangan benih tanaman pangan, penelitian tanah juga harus lebih diarahkan pada lahan kering, dalam rangka mendukung pengembangan pertanian tanaman pangan (khususnya padi) lahan kering yang maju. Sementara penelitian lahan basah khususnya sawah tetap dilakukan secara intensif untuk, pertama, mendukung pemulihan kualitas tanah yang telah merosot akibat tindakan pemupukan berlebih sejak tahun 1970-an, dan; kedua, meningkatkan mutu tanah pertanian tanaman pangan khususnya sawah utama secara alami (ekologis) untuk mengimbangi kehilangan lahan sawah utama akibat konversi.

2.2.4. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan

Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan pangan adalah dengan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lahan, berupa pengembangan areal tanam melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dapat diterapkan diantaranya dengan meningkatkan indeks pertanaman dan produktivitas lahan di lahan sawah maupun di lahan kering. Sedangkan ekstensifikasi dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan lahan-lahan potensial yang saat ini belum dimanfaatkan untuk usaha tani apapun (lahan tidur). Kedua usaha tersebut masih memungkinkan di Indonesia dan produktivitas dapat ditingkatkan dengan penerapan teknologi yang tersedia.


(41)

Peningkatan indeks pertanaman (IP) dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pemanfaatan ketersediaan air baik yang bersumber dari air irigasi maupun air hujan/air tanah. Salah satu upaya terobosan yang diharapkan mampu meningkatkan produksi padi secara cepat yaitu meningkatkan intensitas pertanaman menjadi 2-3 kali setahun atau IP 200-300, terutama pada sawah irigasi. Penerapan teknologi pemanfaatan air pada lahan kering dapat mendukung usaha peningkatan IP tersebut.

Selain peningkatan produktivitas dan IP, perluasan areal tanam (ekstensifikasi) merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan produksi pangan. Ekstensifikasi tersebut lebih diarahkan pada lahan-lahan yang belum dimanfaatkan. Lahan yang belum dimanfaatkan atau lahan tidur tersebar cukup luas di Indonesia, terdapat sekitar 9 juta hektar lahan tidur, berupa semak belukar dan alang-alang. Potensi lahan untuk perluasan areal tanaman pangan masih cukup luas. Lahan kering yang belum dimanfaatkan sekitar 8,65 juta ha terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Di antara lahan yang diterlantarkan tersebut pasti terdapat lahan yang sesuai untuk pertanaman tanaman pangan. Soekartawi et al (1993).

Teknologi budidaya untuk lahan marginal dan kurang subur baik di lahan kering maupun pada agroekosistem lainnya seperti lahan pasang surut sudah banyak ditemukan oleh Balit/Puslit lingkup Badan Litbang Pertanian maupun oleh Perguruan Tinggi. Dengan demikian perluasan


(42)

areal tanam khususnya di luar pulau Jawa memiliki peluang cukup tinggi. Namun, pendekatan komoditas harus diimbangi dengan pendekatan sumberdaya melalui diversifikasi usaha guna memperluas dan memperkuat sumber pendapatan petani produsen.

2.2.5. Lahan Pertanian dan Permasalahannya

Lahan sawah merupakan andalan bagi Indonesia dalam memproduksi tanaman pangan khususnya padi. Konversi lahan subur untuk keperluan nonpertanian terutama di Jawa terus berlangsung, maka luas areal untuk tanaman pangan akan terus berkurang. Oleh karena itu perlu ada upaya lain untuk meningkatkan produksi sebagai kompensasi dari berkurangnya lahan subur. Departemen Pertanian dapat memanfaatkan beberapa peluang dalam meningkatkan produksi, antara lain:

1. Peningkatan permintaan beras sejalan dengan pertumbuhan penduduk;

2. Dukungan pemerintah dalam perluasan dan peningkatan produksi padi; dan

3. Program rehabilitasi infrastruktur, terutama jaringan irigasi.

Kedua peluang terakhir tersebut merupakan bagian dari program revitalisasi pertanian yang mulai dicanangkan pada tahun 2005. Di Jawa Timur sendiri program pembangunan yang berlandaskan pada visi


(43)

pertanian dimulai pada tahun 2008, yaitu ”Menjadikan Jawa Timur sebagai Pusat Pengembangan Agribisnis”.

Selain terdapat potensi dan peluang dalam peningkatan produksi pangan, juga terdapat hambatan baik dari dalam sistem maupun dari luar sistem. Secara internal, kelemahan biofisik yang ada dalam peningkatan produksi pangan antara lain adalah:

1. Konversi lahan masih berlangsung,

2. Produktivitas pangan cenderung stagnan, dan 3. Sarana produksi yang makin terbatas.

Selain penurunan luas tanam karena alih fungsi lahan, upaya peningkatan produksi pangan juga dihadapkan pada ancaman eksternal berupa :

1. Cekaman lingkungan biotik dan abiotik,

2. Nilai jual sawah yang tinggi untuk nonpertanian, dan

3. Terjadi pergeseran dari usahatani pertanian tanaman pangan ke usaha lain.

Serangan hama dan penyakit tanaman merupakan cekaman biotik yang jika tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan kegagalan panen. Demikian juga dengan ancaman banjir atau kekeringan, bisa menyebabkan gagal panen. Nilai jual lahan yang tinggi untuk nonpertanian merupakan godaan bagi petani untuk menjual lahannya, sehingga tidak lagi digunakan untuk produksi pertanian. Usaha lain yang


(44)

dinilai lebih menjanjikan, seperti usaha pembuatan batu bata atau genteng di lahan sawah, atau usaha bisnis dan industri lainnya, menyebabkan penggunaan lahan untuk tanaman pertanian makin sempit.

2.2.6. Alih Fungsi Lahan dan Ketahanan Pangan

FAO (1997) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, sedemikian sehingga rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Hal ini berarti konsep ketahanan pangan mencakup ketersediaan yang memadai, stabilitas dan akses terhadap pangan. Determinan dari ketahanan pangan dengan demikian adalah daya beli atau pendapatan yang memadai untuk memenuhi biaya hidup (FAO, 1996).

Pengertian dan konsep tersebut di atas maka beberapa ahli sepakat bahwa ketahanan pangan minimal mengandung tiga unsur pokok yaitu ”ketersediaan, distribusi, dan konsumsi pangan“, dimana unsur distribusi dan konsumsi merupakan penjabaran dari aksessibilitas masyarakat terhadap pangan”. Salah satu unsur tersebut tidak dipenuhi maka suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan tersedia cukup di tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan rapuh. Akses terhadap pangan,


(45)

ketersediaan pangan dan resiko terhadap akses dan ketersediaan pangan tersebut merupakan determinan yang esensial dalam ketahanan pangan.

Masalah ketahanan pangan pada kenyataannya adalah sangat komplek mulai dari aspek penyediaan jumlah pangan yang cukup untuk memenuhi permintaan pangan yang meningkat karena pertumbuhan penduduk, perubahan komposisi penduduk maupun akibat peningkatan penduduk, aspek pemenuhan tuntutan kualitas dan keanekaragaman bahan pangan untuk mengantisipasi perubahan preferensi konsumen yang semakin peduli pada masalah kesehatan dan kebugaran, aspek tentang pendistribusian bahan-bahan pangan pada ruang dan waktu dan juga aspek keterjangkauan pangan (food accessibility) yaitu ketersediaan bahan pangan (jumlah, kualitas, ruang dan waktu) harus dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat.

Dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan disertai dengan tuntutan lingkungan strategis baik domestik maupun internasional mendorong adanya perubahan paradigma pembangunan nasional termasuk pembangunan pertanian. Perubahan paradigma pembangunan tersebut antara lain tercermin dari dirumuskannya paradigma baru dalam pemantapan ketahanan pangan.

Sistem ketahanan pangan dan gizi secara komprehensif meliputi empat sub-sistem, yaitu:


(46)

1. Ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh penduduk,

2. Distribusi pangan yang lancar dan merata,

3. Konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi seimbang, yang berdampak pada

4. Status gizi masyarakat.

Dengan demikian, sistem ketahanan pangan dan gizi tidak hanya menyangkut soal produksi, distribusi, dan penyediaan pangan ditingkat makro (nasional dan regional), tetapi juga menyangkut aspek mikro, yaitu akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu serta status gizi anggota rumah tangga, terutama anak dan ibu hamil dari rumah tangga miskin. Meskipun secara konseptual pengertian ketahanan pangan meliputi aspek mikro, namun dalam pelaksanaan sehari-hari masih sering ditekankan pada aspek makro yaitu ketersediaan pangan. Agar aspek mikro tidak terabaikan, maka dalam dokumen ini digunakan istilah ketahanan pangan dan gizi.

Konsep ketahanan pangan, salah satunya dapat dicermati melalui aspek masukan yaitu produksi dan penyediaan pangan. Kebanyakan produk pangan merupakan hasil budi daya pertanian yang menggunakan lahan (Tanaman Pangan). Sehingga untuk menjamin ketahanan pangan yang prima dibutuhkan lahan yang subur yang cocok untuk pertanian, khususnya pertanian tanaman pangan. Determinasi dari produksi pangan


(47)

penggunaan teknologi tepat guna pada budi daya pertanian, sedangkan luas panen berkaitan dengan ketersediaan lahan subur untuk budi daya pertanian.

Masalah yang terjadi pada produksi dan penyediaan pangan adalah masalah konsumsi yang terus semakin meningkat dan kapasitas produksi pangan yang mencapai tititk deminishing of return, yang disebabkan oleh tingkat produktivitas yang mengalami kemandegan dan ancaman terhadap degradasi lahan pertanian. Selain itu, banyaknya alih fungsi lahan sawah juga menjadi ancaman serius terhadap ketahanan pangan.

Alih fungsi lahan sawah dewasa ini terus terjadi dan luasannya juga semakin bertambah. Minimnya insentif bagi petani menyebabkan laju konversi lahan cukup tinggi. Setiap tahun lahan pertanian subur yang berganti fungsi mencapai 145.000 ha (Deptan, 2007). Tingginya konversi lahan pertanian ke non pertanian kini menjadi persoalan serius yang dihadapi bangsa ini. Jika dibiarkan maka konversi lahan bukan hanya mengganjal rencana pemerintah menaikan produksi padi, tapi juga bisa menyebabkan bangsa ini masuk ke jurang krisis pangan. Petani memang selama ini menjadi salah satu bagian dari perilaku konversi lahan sawah. Baik dengan menjual lahannya kepada orang lain atau mewariskan kepada anak-anaknya yang kemudian mengubah fungsi ke usaha non pertanian. Namun demikian petani tidak sepenuhnya dapat disalahkan sebagai penyebab konversi lahan. Tuntutan kebutuhan hidup merapakan


(48)

faktor utama yang menyebabkan petani menjual lahannya. Untuk mencegah Alih Fungsi Lahan Sawah, pemerintah baik Pusat, Provinsi maupun Kabupaten wajib memberikan insentif kepada petani. Misalnya dengan kemudahan fiskal dan pajak bumi dan bangunan. Sarana produksi untuk pengusahaan tanah yang bersangkutan, pembangunan sarana dan prasarana pertanian yang dapat menambah prodoktivltas tanah dan nilai tukar produksi. Selain itu, kemudahan dan fasititas dalam penerbitan sertiftkat bidang tanah yang bersangkutan, akses teknotogi dan pasar, serta pemberian penghargaan kepada masyarakat dan swsasta. "Bila dipandang memungkinkan pemberian fasilitas pendidikan, kesehatan dan asuransi pertanian kepada keluarga tani patut untuk dipertimbangkan“. (Apriyantono, 2007).

Selain pemberian intensive pada petani, regulasi tentang lahan pertanian juga harus segera dibuat dan ditegakkan. RUU Lahan Pertanian Abadi, sebagaimana tertuang dalam Bab Pengendalian, sudah memasukan insentif unluk petani. "Setidaknya ada 16 insentif dalam pasal-pasal pengendalian dan pemberdayaan,” (Pasaribu, 2007).

2.2.7. Pertumbuhan Produksi dan Konsumsi

Pertumbuhan produksi pertanian jangka panjang, yang perlu diperhatikan yaitu masalah penemuan sumber pertumbuhan baru dan kelestarian (sustainability) dari pertumbuhan tersebut. Dalam mengidentifikasi sumber pertumbuhan baru ini tentunya bisa dilakukan


(49)

secara horisontal yaitu dengan mengembangkan komoditas pertanian melalui diversifikasi. Di samping itu, pertumbuhan di sektor pertanian dapat dicapai secara vertikal yaitu melalui peningkatan produktivitas usahatani yang dikaitkan dengan agroindustri.

Produktivitas pertanian merupakan sumber bagi pertumbuhan di sektor pertanian. Adapun peningkatan produksi pertanian dapat dicapai dengan peningkatan teknologi pertanian. Dengan peningkatan teknologi pertanian memungkinkan tercapainya peningkatan produksi dari faktor produksi yang tetap. Dengan demikian pengembangan teknologi pertanian merupakan suatu langkah yang strategis bagi peningkatan produktivitas pertanian (Thirtle and Ruttan dalam Hermanto et al., 1992).

Kebijakan pengembangan produksi pangan sampai saat ini masih berfokus pada intensifikasi. Program ekstensifikasi yang diimplementasikan melalui pencetakan sawah baru kontribusinya terhadap pengembangan produksi sangat kecil karena mahalnya biaya investasi untuk pencetakan sawah baru.

Faktor lain yang mempengaruhi peningkatan produktivitas adalah inovasi teknologi. Saat ini banyak pendapat yang mengemukakan bahwa inovasi teknologi pertanian di Indonesia berlangsung lamban, bahkan tersumbat, sehingga aliran inovasi teknologi yang diciptakan oleh lembaga penelitian ke petani relatif mandeg. Hal ini terlihat dari melambatnya peran


(50)

teknologi dalam meningkatkan produksi pertanian tanaman pangan yang mengalami penurunan (Wahyuni et al., 2003).


(51)

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Pemikiran

Dalam perspektif makro, fenomena konversi lahan terjadi akibat transformasi struktural perekonomian dan demografis, khususnya di negara-negara berkembang. Transformasi struktural perekonomian berlangsung dari semula bertumpu pada pertanian bergeser ke arah industri. Sementara itu, transformasi demografis terjadi akibat pesatnya pertumbuhan penduduk perkotaan yang berakibat pada konversi penggunaan lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian (Kustiawan, 1997).

Nasution dan Winoto (1996) mengemukakan bahwa proses konversi lahan ditentukan oleh dua faktor. Kedua faktor tersebut masing-masing: (1) sistem kelembagaan yang berkembang pada masyarakat; dan (2) sistem nonkelembagaan yang berkembang secara alamiah dalam masyarakat, dimana sistem ini lebih kepada dampak pembangunan, atau sebagai proses internal pada masyarakat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya lahan.

Khusus untuk sawah, konversi lahan dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Konversi secara langsung terjadi akibat keputusan para pemilik lahan yang mengkonversikan lahan sawah mereka ke penggunaan lain, misalnya untuk industri, perumahan, prasarana dan


(52)

sarana atau pertanian lahan kering. Konversi kategori ini didorong oleh motif ekonomi, dimana penggunaan lahan setelah dikonversikan memiliki nilai jual/sewa (land rent) yang lebih tinggi dibandingkan pemanfaatan lahan untuk sawah. Sementara itu, konversi tidak langsung terkait dengan makin menurunnya kualitas lahan sawah atau makin rendahnya peluang dalam memperoleh pendapatan (income opportunity) dari lahan tersebut akibat kegiatan tertentu, seperti terisolirnya petak-petak sawah di pingiran perkotaan karena konversi lahan di sekitarnya. Dalam jangka waktu tertentu, lahan sawah yang dimaksud akan berubah ke penggunaan nonpertanian atau digunakan untuk pertanian lahan kering. Secara agregat, pengendalian konversi lahan harus diterapkan melalui upaya minimalisasi peluang, pengendalian situasi, dan menyiapkan perangkat pendukungnya. Pengendalian mengandung makna melakukan suatu tindakan tertentu dengan tujuan agar proses, keluaran (output), dan hasil (outcome) yang terjadi sesuai dengan yang diharapkan (Pakpahan et.

al.,1993)

Sejak diterapkannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 mengenai pembagian wewenang antara sistem dan organisasi pemerintah pusat dan daerah, maka peran pemerintah daerah semakin besar dalam mengurus ketatalaksanaan administrasi pemerintahan wilayahnya. Peran tersebut antara lain berhubungan dengan penyusunan dan penerapan


(53)

beberapa kebijakan, termasuk di dalamnya kebijakan dalam pengendalian konversi lahan pertanian.

Sehingga dengan dasar pemikiran tersebut maka upaya upaya pengendalian pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah menjadi non pertanian dapat terwujudnya sehinga upaya peningkatan produksi tanaman pangan dapat berjalan selaras dan berkelanjutan. Dari kondisi tersebut maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Kerangka Pemikiran

PEMANGKU KEPENTINGAN

(Stakeholders)

PARTISIPASI MASYARAKAT

STRATEGI PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH

PENINGKATAN PRODUKSI TANAMAN PANGAN PERKEMBANGAN

INDUSTRI

PERTUMBUHAN PENDUDUK

PEMENUHAN KONSUMSI PANGAN

PERALIHAN KETENAGAKERJAAN PRODUKSI

PERTANIAN

ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH

INSTRUMEN HUKUM

KEBIJAKAN PEMERINTAH

DEGRADASI LINGKUNGAN


(54)

3.2. Hipotesis

1. Perkembangan produksi pangan utama dipengaruhi oleh Alih Fungsi Lahan Sawah di Jawa Timur.

2. Perkembangan produksi pangan utama (padi dan jagung), di Jawa Timur dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yaitu tahun 1997-2006 cenderung menurun.

3. Perkembangan konsumsi pangan utama (padi dan jagung), di Jawa Timur dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yaitu tahun 1997-2006 cenderung meningkat.

4. Perkembangan jumlah penduduk di Jawa Timur dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yaitu tahun 1997-2006 cenderung meningkat.

5. Terjadi peralihan tenaga kerja pertanian di Jawa Timur dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yaitu tahun 1997-2006 menjadi tenaga non pertanian (industri, perdagangan dan lainnya)

6. Perkembangan luas penggunaan lahan untuk sawah di Jawa Timur mempunyai kecenderungan menurun sedangkan perkembangan luas penggunaan lahan untuk pekarangan/bangunan dan halaman di Jawa Timur dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yaitu tahun 1997-2006 mempunyai kecenderungan meningkat

7. Faktor yang menyebabkan alih fungsi lahan antara lain : kelangkaan lahan, dinamika pembangunan, dan pertumbuhan penduduk


(55)

4. METODE PENELITIAN

4.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian dipilih secara purposive sampling yaitu di Provinsi Jawa Timur dengan pertimbangan bahwa wilayah Provinsi Jawa Timur mempunyai lahan pertanian yang berpotensi untuk menurun akibat perkembangan industri dan bertambahnya perumahan seiring dengan pertumbuhan penduduk yang cukup pesat. Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Agustus – Desember 2008.

4.2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai instansi yang terkait dengan penelitian dan studi literatur, misalnya laporan-laporan atau dokumen yang berasal dari Instansi Pemerintah, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas Pemukiman dan Prasanana Wilayah (Kimpraswil), BPS (Badan Pusat Statistik), Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kanwil BPN) dan Badan Ketahan Pangan.

Jenis data yang dikumpulkan antara lain data produksi tanaman pangan utama (padi dan jagung), jumlah penduduk, tingkat konsumsi masyarakat terhadap pangan utama (padi dan jagung), tenaga kerja


(56)

pertanian dan non-pertanian, lahan berdasarkan penggunaannya. Jenis data merupakan data time series yaitu dalam 10 tahun terakhir 1997-2006.

4.3. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

1. Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang (galengan), saluran untuk menahan/menyalurkan air, yang biasanya ditanami padi sawah tanpa memandang darimana diperolehnya atau status lahan tersebut. Termasuk disini lahan yang terdaftar di Pajak Bumi Bangunan (PBB), lahan bengkok, lahan serobotan, rawa yang ditanami padi dan lahan bekas tanaman tahunan yang telah dijadikan sawah, baik rawa yang ditanami padi atau palawija. Lahan sawah meliputi : sawah teknis, sawah setengah teknis, sawah sederhana, sawah desa/non PU, sawah tadah hujan dan sawah pasang surut. Skala pengukuran dalam satuan hektar.

2. Lahan pertanian bukan sawah adalah semua lahan selain lahan sawah yang biasanya ditanami tanaman musiman atau tanaman tahunan, lahan untuk kolam atau untuk kegiatan usaha pertanian lainnya. Lahan pertanian bukan sawah meliputi huma, ladang, tegal, kebun, kolam/tebat/empang dan lahan perkebunan. Skala pengukuran dalam satuan hektar.


(57)

3. Alih fungsi lahan sawah adalah perubahan penggunaan lahan dari lahan sawah menjadi penggunaan lahan selain sawah. Alih fungsi lahan sawah menjadi penggunaan lahan selain sawah seperti lahan untuk pertanian selain sawah, lahan untuk pekarangan/bangunan, lahan untuk industri, dihitung secara komulatif untuk lahan yang telah mengalami alih fungsi lahan sawah dari tahun 1997–2006. Sedangkan pencetakan sawah baru tidak dikategorikan sebagai alih fungsi lahan sawah (sehingga pertambahan luasannya tidak dihitung sebagai luasan alih fungsi lahan sawah). Lahan sawah yang telah mengalami alih fungsinya biasanya bersifat permanen, dan tidak difungsikan kembali sebagai lahan sawah.

4. Penduduk adalah Individu atau kelompok individu yang menetap atau bertujuan menetap di Jawa Timur selama 6 (enam) bulan atau lebih. Skala pengukuran dalam satuan ribuan jiwa.

5. Produksi pangan utama adalah tingkat produksi pangan utama (padi dan jagung) yang dihasilkan di wilayah Provinsi Jawa Timur. Skala pengukuran dalam satuan ton per tahun.

6. Tingkat konsumsi pangan utama adalah tingkat konsumsi pangan utama (padi dan Jagung) yang dibutuhkan setiap individu per tahun dalam satuan kg/tahun.


(58)

4.4. Analisis Data

Untuk mengidentifikasi pekembangan produksi pangan utama (padi dan jagung), jumlah penduduk, tingkat konsumsi pangan utama (padi dan jagung), peralihan tenaga kerja pertanian dan penggunaan lahan (sawah irigasi dan non irigasi serta pekarangan/bangunan dan halaman) di Jawa Timur dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yaitu tahun 1997-2006.

Penelitian ini menggunakan analisis trend linear dengan metode kuadrat terkecil (Least Square Method), untuk mengamati perkembangan variabel selama periode 1997-2006. Menurut Sugiyono (2004) trend linear dengan metode kuadrat terkecil (Least Square Method) yaitu untuk meramalkan nilai suatu variabel diwaktu yang akan datang dengan memperhatikan dan mempelajari terlebih dahulu sifat dan perkembagan variabel di waktu yang lalu. Persamaan analisis trend linier yang digunakan adalah sebagai berikut:

Y = a + b X

Di mana :

Y : Variabel tak bebas, yang terdiri dari variabel produksi pangan utama (padi dan jagung), jumlah penduduk, konsumsi masyarakat terhadap pangan utama (padi dan jagung), jumlah tenaga kerja pertanian, jumlah tenaga kerja industri, luas lahan sawah dan non sawah (pekarangan/bangunan dan


(59)

a : Intersep (konstanta) dari fungsi variabel produksi pangan utama (padi dan jagung), variabel jumlah penduduk, variabel konsumsi masyarakat terhadap pangan utama (padi dan jagung), jumlah tenaga kerja pertanian, jumlah tenaga kerja industri, luas lahan sawah dan non sawah (pekarangan-/bangunan dan halaman)

b : Koefisien trend produksi pangan utama (padi dan jagung), jumlah penduduk, tingkat konsumsi masyarakat terhadap pangan utama (padi dan jagung), jumlah tenaga kerja pertanian, jumlah tenaga kerja industri, luas lahan sawah dan non sawah (pekarangan/bangunan dan halaman)

X : Waktu (1997-2006) Pengambilan Keputusan :

Ho : b = 0, artinya tidak ada perkembangan Produksi pangan utama (padi dan jagung), jumlah penduduk, tingkat konsumsi masyarakat terhadap pangan utama (padi dan jagung), jumlah tenaga kerja pertanian, jumlah tenaga kerja industri, luas lahan sawah dan non sawah (pekarangan/bangunan dan halaman)

Hi : b # 0, artinya terjadi perkembangan Produksi pangan utama (padi dan jagung), jumlah penduduk, tingkat konsumsi masyarakat terhadap pangan utama (padi dan jagung), jumlah tenaga kerja pertanian, jumlah tenaga kerja industri, luas


(60)

lahan sawah dan non sawah (pekarangan/bangunan dan halaman).

Untuk mengalisis tujuan kedua yaitu untuk mengetahui pengaruh dari alih fungsi lahan sawah terhadap produksi tanaman pangan utama, menggunakan analisis regresi linear sederhana yang dibantu perhitungannya dengan menggunakan komputer melalui program (soft

ware) SPSS (Statistical Program For Social Science), dengan ini maka

besarnya pengaruh variabel alih fungsi lahan sawah terhadap produksi tanaman pangan utama (Padi dan Jagung) akan dapat diketahui.

Persamaan regresi linear sederhananya adalah : Y1 = bo.1 + b1.1 AFL

Y2 = bo.2 + b1.2 AFL Keterangan :

Y1 = Produksi Padi (ton)

Y2 = Produksi Jagung (ton)

AFL = Alih Fungsi Lahan Sawah (Ha)

bo.1 = Intersep untuk fungsi regresi Produksi Padi bo.2 = Intersep untuk fungsi regresi Produksi Jagung b1.1 = Koefisien Regresi untuk fungsi Produksi Padi b1.2 = Koefisien Regresi untuk fungsi Produksi Jagung

Pengujian Hipotesis ini dilakukan dengan menggunakan uji-statistik yang didukung oleh uji-ekonometrika sebagai berikut:


(61)

Dengan Menggunakan Uji regresi secara Simultan atau Uji F

Uji F dimaksudkan untuk menguji secara simultan, yaitu untuk melihat signifikasi pengaruh variabel-variabel independen terhadap variabel dependen. Rumusan hipotesisnya sebagai berikut :

Ho : b1.1, b1.2 = 0

Berarti secara simultan variabel independen tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.

H1: b1.1, b1.2 ≠ 0

Berarti secara simultan variabel independen berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen

Dengan tingkat signifikasi  = 5% dengan degree of freedom (k) dan (n-k-1) dimana n adalah jumlah observasi dan k variabel independen. Nilai F hitung dirumuskan sebagai berikut :

Yi ( k-1 ) R2 / ( k-1 ) F hit = =

ei2 ( n-k ) ( 1 - R2 ) ( n-k )

Penerimaan atau penolakan hipotesisi nol didasarkan pada ketentuan sebagai berikut :

F hit < F Tabel berarti menerima Ho dan menolak H1 F hit > F Tabel berarti menerima H1 dan menolak Ho

Menghitung Koefisien Determinasi Berganda (R2)

Perhitungan koefisien determinasi berganda digunakan untuk mengukur ketepatan dari model analisis yang dibuat. Nilai koefisien


(62)

determinasi berganda digunakan untuk mengukur besarnya sumbangan dari variabel bebas yang diteliti terhadap variasi variabel tergantung.

Bila R2 = 0 maka dapat dikatakan bahwa sumbangan semua independen terhadap variasi nilai variabel dependen tidak ada. Secara umum dapat dikatakan 0  R2 < 1.

Menggunakan Uji Parsial (Uji t)

Adapun rumusan hipotesis statistik tersebut adalah :

Ho : b = 0, Berarti variabel independen tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap variabel dependen.

H1 : b ≠ 0, Berarti variabel independen memiliki pengaruh signifikan terhadap variabel dependen.

Uji t dirumuskan sebagai berikut :

t =

SE

Dengan tingkat signifikasi 5 % dan derajat bebas n – k –1, dimana n merupakan jumlah observasi dan k merupakan jumlah variabel . Jawaban atas hipotesis dapat disimpulkan (kaidah pengujian) sebagai berikut :

Bila :

t – hitung < t – Tabel, berarti menerima Ho, variabel independen tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.


(63)

t – hitung > t – Tabel, berarti menolak Ho, variabel independen signifikan terhadap variabel dependen.

Untuk menganalisis dan untuk mengidentifikasi kondisi Alih Fungsi Lahan Sawah di Jawa Timur, untuk mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah dan untuk menyusun strategi pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah di Jawa Timur dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif. Metode deskripsi menurut Nazir (1993) adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi atau sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskripsi ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai faktor-faktor, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.


(64)

5. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Alih Fungsi Lahan Sawah di Jawa Timur

Tanah merupakan salah satu faktor produksi penting dalam kegiatan pertanian. Permasalahan kebutuhan lahan pertanian cenderung menjadi sangat kompleks karena: (1) pola pemilikannya yang relatif sempit; (2) terdapatnya fenomena dengan semakin terdesaknya kegiatan pertanian oleh kegiatan non pertanian dengan munculnya fenomena konversi lahan yang semakin gencar; (3) terjadinya perpecahan dan perpencaran (fragmentasi) lahan baik pada lahan sawah maupun lahan kering; (4) terjadinya akumulasi lahan oleh sebagian kecil rumah tangga di pedesaan; dan (5) seringkali terjadinya konflik pertanahan yang diakibatkan oleh konflik penguasaan dan pemanfaatan lahan. Kondisi permasalahan tersebut juga tidak terlepas dari peningkatan pertumbuhan penduduk yang juga diikuti oleh pemenuhan kebutuhan pangan utama.

Dengan permasalahan tersebut maka Alih Fungsi Lahan Sawah terkait erat dengan masalah pangan utama, khususnya beras dan jagung. Hal ini berpijak dari fakta bahwa suatu komunitas mengubah ekosistem hutan atau lahan kering menjadi sawah adalah dalam rangka menciptakan lingkungan biosifik yang paling optimal bagi bertumbuhkembangnya tanaman pangan utama.


(65)

1997-2001

2002-2006

21.000 21.500 22.000 22.500 23.000 23.500 24.000

L

u

a

s

A

L

F

(H

e

k

ta

r)

Fakta tersebut sangat mengkhawatirkan karena dalam jangka pendek tampaknya sangat sulit untuk melakukan ekspansi areal tanam. Dampak krisis ekonomi telah memaksa menomorduakan kemungkinan perluasan areal tanam pangan utama melalui pembukaan lahan sawah baru dalam luasan yang memenuhi kebutuhan. Sementara itu, pemberlakuan undang-undang otonomi daerah telah diinterpretasikan secara kurang tepat sehingga muncul gejala saling lempar tanggung jawab tentang kewajiban domestik untuk memperkokoh ketahanan pangan utama.

Gambar 3. Luasan Alih Fungsi Lahan Sawah Periode 1997-2001 dan Periode 2002-2006, di Jawa Timur


(66)

Gambar 3. memberikan ilustrasi, bagaimana setelah masa diberlakukannya undang-undang otonomi daerah (2002-2006) telah terjadi alih fungsi lahan sawah yang cukup besar bila dibandingkan dengan periode sebelumnya (1997-2001) di Jawa Timur.

Gambar 4. Ranking Alih Fungsi Lahan di Jawa Timur selama Periode 1997-2006 Kt. Mojokerto Kt. Madiun Kt. Pasuruan Kt. Batu Sampang Kt. Probolinggo Kt. Blitar Trenggalek Kt. Malang Sumenep Kt. Kediri Tulungagung Pacitan Magetan Pamekasan Sidoarjo Probolinggo Bangkalan Madiun Nganjuk Blitar Tuban Kt. Surabaya Situbondo Mojokerto Ngawi Malang Ponorogo Kediri Bondowoso Lumajang Banyuwangi Bojonegoro Jombang Pasuruan Lamongan Gresik Jember

0 250 500 750 1.000 1.250 1.500 1.750 2.000 2.250 2.500 2.750 3.000 3.250 3.500 3.750 4.000 4.250 Luas Alih Fungsi Lahan Sawah (Hektar)


(67)

Gambar 4 menunjukkan bahwa wilayah Kabupaten/Kota di Jawa Timur juga telah mengalami alih fungsi lahan dari lahan sawah ke pengunaan untuk selain sawah. Pembanggunan wilayah yang berdalih pertumbuhan ekonomi yang didasari oleh pertumbuhan sektor industri dan jasa-jasa, telah menyebabkan lahan sawah mengalami alih fungsinya. Dari gambar tersebut terlihat bahwa wilayah Jember, Gresik, Lamongan, Pasuruan, dan Jombang merupakan wilayah yang paling dominan mengalami alih fungsi lahan sawah. Wilayah tersebut merupakan daerah sentra lumbung padi di Jawa Timur, ironisnya termasuk wilayah yang paling banyak terjadi alih fungsi lahan sawahnya.

Gambar 5. Trend Alih Fungsi Lahan Sawah di Jawa Timur, 1997-2006

y = -194,25x + 393980 R2 = 0,0518

0 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 7.000 8.000 9.000

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

A lih Fu n g si La ha n Sa w ah (H ek ta r)


(1)

Jumlah Petani.

Regression Notes

Variables Entered/Removed(b)

| --- | --- | --- | --- | | Model | Variables Entered | Variables Removed | Method | | --- | --- | --- | --- | | 1 | PETANI, RUTA, EKONOMI(a) | , | Enter | | --- | --- | --- | --- | ¢

a All requested variables entered. b Dependent Variable: AFL

Model Summary

| --- | --- | --- | --- | --- | | Model | R | R Square | Adjusted R Square | Std. Error of the Estimate | | --- | --- | --- | --- | --- | | 1 | ,932(a) | ,869 | ,853 | 299,59 | | --- | --- | --- | --- | --- | a Predictors: (Constant), PETANI, RUTA, EKONOMI


(2)

ANOVA(b)

| --- | --- | -- | --- | --- | --- | | Model | Sum of Squares | df | Mean Square | F | Sig. | | -- | --- | --- | -- | --- | --- | --- | | 1 | Regression | 14883843,868 | 3 | 4961281,289 | 55,277 | ,000(a) | | | --- | --- | -- | --- | --- | --- | | | Residual | 2243846,339 | 25 | 89753,854 | | | | | --- | --- | -- | --- | --- | --- | | | Total | 17127690,207 | 28 | | | | | -- | --- | --- | -- | --- | --- | --- | a Predictors: (Constant), PETANI, RUTA, EKONOMI

b Dependent Variable: AFL Coefficients(a)

| --- | --- | --- | --- | ---- | | | Unstandardized Coefficients | Standardized Coefficients | t | Sig. | | --- | --- | --- | --- | | | | Model | B | Std. Error | Beta | | | | -- | --- | --- | --- | --- | --- | ---- | | 1 | (Constant) | 3267,434 | 525,918 | | 6,213 | ,000 | | | --- | --- | --- | --- | --- | ---- | | | RUTA | 6,494E-04 | ,001 | -,090 | -1,060 | ,299 | | | --- | --- | --- | --- | --- | ---- | | | EKONOMI | 540,679 | 93,075 | -,620 | -5,809 | ,000 | | | --- | --- | --- | --- | --- | ---- | | | PETANI | -1,334E-03 | ,000 | -,326 | -3,083 | ,005 | | -- | --- | --- | --- | --- | --- | ---- | a Dependent Variable: AFL

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(3)

Regression

Variables Entered/Removed(b)

| --- | --- | --- | --- | | Model | Variables Entered | Variables Removed | Method | | --- | --- | --- | --- | | 1 | AFL(a) | , | Enter | | --- | --- | --- | --- | ¢

a All requested variables entered. b Dependent Variable: PADI

Model Summary

| --- | --- | --- | --- | --- | | Model | R | R Square | Adjusted R Square | Std. Error of the Estimate | | --- | --- | --- | --- | --- | | 1 | ,867(a) | ,752 | ,743 | 72.722,345 | | --- | --- | --- | --- | --- | ¢


(4)

ANOVA(b)

| --- | --- | -- | --- | --- | --- | | Model | Sum of Squares | df | Mean Square | F | Sig. | | -- | --- | --- | -- | --- | --- | --- | | 1 | Regression | 433798517512,068 | 1 | 433798517512,068 | 82,026 | ,000(a) | | | --- | --- | -- | --- | --- | --- | | | Residual | 142790567278,022 | 27 | 5288539528,816 | | | | | --- | --- | -- | --- | --- | --- | | | Total | 576589084790,090 | 28 | | | | | -- | --- | --- | -- | --- | --- | --- | ¢

a Predictors: (Constant), AFL b Dependent Variable: PADI Coefficients(a)

| --- | --- | --- | --- | ---- | | | Unstandardized Coefficients | Standardized Coefficients | t | Sig. | | --- | --- | --- | --- | | | | Model | B | Std. Error | Beta | | | | -- | --- | --- | --- | --- | --- | ---- | | 1 | (Constant) | 18080,567 | 28785,314 | | ,628 | ,535 | | | --- | --- | --- | --- | --- | ---- | | | AFL | -159,146 | 17,572 | -,867 | -9,057 | ,000 | | -- | --- | --- | --- | --- | --- | ---- | ¢

a Dependent Variable: PADI

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(5)

Regression

Variables Entered/Removed(b)

| --- | --- | --- | --- | | Model | Variables Entered | Variables Removed | Method | | --- | --- | --- | --- | | 1 | AFL(a) | , | Enter | | --- | --- | --- | --- | ¢

a All requested variables entered. b Dependent Variable: JAGUNG

Model Summary

| --- | --- | --- | --- | --- | | Model | R | R Square | Adjusted R Square | Std. Error of the Estimate | | --- | --- | --- | --- | --- | | 1 | ,634(a) | ,402 | ,380 | 34.905,39 | | --- | --- | --- | --- | --- | ¢


(6)

ANOVA(b)

| --- | --- | -- | --- | --- | --- | | Model | Sum of Squares | df | Mean Square | F | Sig. | | -- | --- | --- | -- | --- | --- | --- | | 1 | Regression | 22143173473,167 | 1 | 22143173473,167 | 18,174 | ,000(a) | | | --- | --- | -- | --- | --- | --- | | | Residual | 32896436977,723 | 27 | 1218386554,730 | | | | | --- | --- | -- | --- | --- | --- | | | Total | 55039610450,890 | 28 | | | | | -- | --- | --- | -- | --- | --- | --- | ¢

a Predictors: (Constant), AFL b Dependent Variable: JAGUNG Coefficients(a)

| --- | --- | --- | --- | ---- | | | Unstandardized Coefficients | Standardized Coefficients | t | Sig. | | --- | --- | --- | --- | | | | Model | B | Std. Error | Beta | | | | -- | --- | --- | --- | --- | --- | ---- | | 1 | (Constant) | 47408,177 | 13816,424 | | 3,431 | ,002 | | | --- | --- | --- | --- | --- | ---- | | | AFL | -35,956 | 8,434 | -,634 | -4,263 | ,000 | | -- | --- | --- | --- | --- | --- | ---- | ¢

a Dependent Variable: JAGUNG

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :