Aplikasi Pepton Berbahan Baku Ikan Hasil Tangkap Sampingan (HTS) Busuk Sebagai Komponen Media Pertumbuhan Bakteri dan Khamir

APLIKASI PEPTON BERBAHAN BAKU IKAN HASIL TANGKAP
SAMPINGAN (HTS) BUSUK SEBAGAI KOMPONEN MEDIA
PERTUMBUHAN BAKTERI DAN KHAMIR

ESKA RIZKY WIJI ASTUTI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Aplikasi Pepton
Berbahan Baku Ikan Hasil Tangkap Sampingan (HTS) Busuk Sebagai Komponen
Media Pertumbuhan Bakteri dan Khamir” adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya

yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014
Eska Rizky Wiji Astuti
NIM C34090070

iv

v

ABSTRAK
ESKA RIZKY WIJI ASTUTI. Aplikasi Pepton Berbahan Baku Ikan Hasil
Tangkap Sampingan (HTS) Busuk Sebagai Komponen Media Pertumbuhan
Bakteri dan Khamir. Dibimbing oleh TATI NURHAYATI dan ELLA
SALAMAH.
Ikan Hasil Tangkap Sampingan (HTS) dalam kondisi busuk memiliki
kandungan protein yang cukup tinggi sehingga potensial untuk dimanfaatkan

sebagai bahan baku pepton. Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi pepton
ikan HTS dalam kondisi busuk dan mengaplikasikannya sebagai komponen media
pertumbuhan bakteri dan khamir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kandungan protein pepton dari ikan HTS busuk sebesar 77,93%. Kurva
pertumbuhan masing-masing bakteri Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan
khamir Saccharomyces cerevisiae memiliki kurva yang sama berdasarkan analisis
OD maupun TPC. Nilai µ maks E.coli pada media dengan pepton dari ikan HTS
busuk 0,062 per jam, sedangkan kontrol 0,071 per jam dan pepton komersial
0,072 per jam. Nilai µ maks S.aureus pada media dengan pepton dari ikan HTS
busuk 0,047 per jam, sedangkan kontrol 0,042 per jam dan pepton komersial
0,039 per jam. Khamir S. cerevisiae memiliki nilai µ maks 0,167 per jam pada
media dengan pepton dari ikan HTS busuk, sedangkan kontrol 0,160 per jam dan
pepton komersial 0,166 per jam.
Kata kunci: ikan hasil tangkap sampingan (HTS), media pertumbuhan, pepton

ABSTRACT
ESKA RIZKY WIJI ASTUTI. Application of Peptone Made from Spoiled ByCatch Fish as Component of Bacteria and Yeast Medium Growth. Supervised by
TATI NURHAYATI and ELLA SALAMAH.
Fish of by-catch has a high protein content, which is potential to be used as
peptone. This research aimed to produce peptone from spoiled by-catch fish and

applicate it as component of bacteria and yeast growth media. Peptone from bycatch fish has protein content of 77,93%. Growth of bacteria Escherichia coli,
Staphylococcus aureus and yeast Saccharomyces cereviciae analyzes by OD and
TPC. Growth rate of E.coli in media with peptone from by-catch fish is 0.062 per
hour, meanwhile control is 0.071 per hour and commercial peptone is 0.072 per
hour. Growth rate of S.aureus in media with peptone from by-catch fish is 0.047
per hour, meanwhile control is 0.042 per hour and commercial peptone is 0.039
per hour. Growth rate of yeast S. cerevisiae in media with peptone from by-catch
fish is 0.167 per hour, meanwhile control is 0.160 per hour and commercial
peptone is 0.166 per hour.
Key words: fish peptone, fishery by-product, growth media

vi

vii

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

viii

ix

APLIKASI PEPTON BERBAHAN BAKU IKAN HASIL TANGKAP
SAMPINGAN (HTS) BUSUK SEBAGAI KOMPONEN MEDIA
PERTUMBUHAN BAKTERI DAN KHAMIR

ESKA RIZKY WIJI ASTUTI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada
Departemen Teknologi Hasil Perairan


DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

x

xi

Judul Skripsi : Aplikasi Pepton Berbahan Baku Ikan Hasil Tangkap Sampingan
(HTS) Busuk Sebagai Komponen Media Pertumbuhan Bakteri
dan Khamir
Nama
: Eska Rizky Wiji Astuti
NIM
: C34090070
Program Studi : Teknologi Hasil Perairan

Disetujui oleh


Dr Tati Nurhayati, SPi MSi
Pembimbing I

Dra Ella Salamah, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Joko Santoso, MSi
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Tanggal Lulus:

xii

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala,
atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan.
Skripsi ini berdasarkan penelitian yang berlangsung pada bulan April hingga

September 2013 dengan judul ”Analisis Pertumbuhan Bakteri dan Khamir dengan
Penambahan Pepton Berbahan Baku Ikan Hasil Tangkap Sampingan (HTS)
Busuk”. Penyusunan skripsi dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat
untuk menyelesaikan studi di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu
dalam penyusunan skripsi ini :
1. Dr Tati Nurhayati, SPi MSi dan Dra Ella Salamah, MSi selaku komisi
pembimbing yang telah memberi bimbingan dan pengarahan kepada
penulis.
2. Dr Desniar, SPi MSi selaku dosen penguji yang telah membantu penulis
dalam penyelesaian skripsi.
3. Dr Ir Joko Santoso, MSi selaku ketua Departemen Teknologi Hasil
Perairan.
4. Keluarga terutama Ibu Rosini dan Bapak Mujiono, serta Kabul Wibowo
dan Bekti Margi Utami atas doa, dukungan dan kasih sayang kepada
penulis.
5. Muhammad Fachrirozi, Kak Made Suhandana, Mbak Ari, Mas Edi, dan
Annisa Saskia atas motivasi, waktu dan bantuan yang memudahkan
penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi.

6. Teman-teman TPB A03-A04 dan THP 46 atas kebersamaannya.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya.

Bogor, Februari 2014
Eska Rizky Wiji Astuti

xiii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiv
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang .................................................................................................... 1
Perumusan Masalah ............................................................................................. 1
Tujuan Penelitian ................................................................................................. 1
Manfaat Penelitian ............................................................................................... 2
Ruang Lingkup Penelitian ................................................................................... 2
METODE PENELITIAN ........................................................................................ 2

Bahan ................................................................................................................... 2
Alat ...................................................................................................................... 2
Prosedur Penelitian .............................................................................................. 3
Preparasi sampel .................................................................................................. 3
Proses hidrolisis protein (Fitra 2013) .................................................................. 4
Analisis proksimat pepton (AOAC 2005) ........................................................... 4
Analisis mikrobiologi .......................................................................................... 4
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 5
Karakteristik Bahan Baku dan Pepton Ikan HTS ................................................ 5
Kadar air .................................................................................................................. 7
Kadar abu ................................................................................................................ 7
Kadar protein .......................................................................................................... 7
Kadar lemak ............................................................................................................ 8
Nilai total volatile base (TVB)............................................................................. 8
Aplikasi Pepton Ikan ........................................................................................... 8
Aplikasi Pepton Sebagai Komponen Media Pertumbuhan Bakteri
E. coli ........................................................................................................... 10
Aplikasi Pepton Sebagai Komponen Media Pertumbuhan Bakteri
S. aureus ...................................................................................................... 12
Aplikasi Pepton Sebagai Komponen Media Pertumbuhan Khamir

S.cerevisiae .................................................................................................. 14
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 16
Kesimpulan ........................................................................................................ 16
Saran .................................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 17
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... 20

xiv

DAFTAR TABEL
1
2
3

Komposisi kimia bahan baku dan pepton ikan HTS ........................................ 6
Karakteristik pepton ikan HTS dengan pepton komersial ................................ 9
Kandungan asam amino pada pepton ikan HTS dan pepton komersial ........... 9

DAFTAR GAMBAR
1

2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Diagram alir prosedur penelitian ...................................................................... 3
Bahan baku (a) dan produk (b) pepton HTS busuk .......................................... 6
Pertumbuhan bakteri Escherichia coli berdasarkan uji OD ........................... 11
Pertumbuhan bakteri Escherichia coli berdasarkan uji TPC.......................... 11
µmaks bakteri Escherichia coli. ..................................................................... 11
Pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus berdasarkan uji OD ................ 12
Pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus berdasarkan uji TPC ............... 13
µmaks bakteri Staphylococcus aureus ........................................................... 13
Pertumbuhan khamir Saccharomyces cerevisiae berdasarkan uji OD ........... 15
Pertumbuhan khamir Saccharomyces cerevisiae berdasarkan uji TPC ......... 15
µmaks khamir Saccharomyces cerevisiae ...................................................... 15

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kekayaan sumberdaya laut Indonesia sangat melimpah. Namun,
pemanfaatan hasil tangkapan laut belum optimal dan banyak yang dibiarkan
membusuk, terutama ikan hasil tangkap sampingan. Purbayanto et al. (2004)
mengemukakan bahwa potensi ikan tangkap sampingan di perairan Arafura
mencapai 332.186 ton per tahun. Pemanfaatan ikan hasil tangkap sampingan
umumnya memiliki nilai jual yang rendah. Contoh produk berbahan baku ikan
hasil tangkap sampingan yang sudah ada diantaranya tepung ikan, minyak ikan,
dan sebagainya. Martone et al. (2005) menyatakan lebih dari 50% hasil tangkapan
ikan belum dimanfaatkan dengan baik, bahkan dibuang.
Pembuatan hidrolisat protein dilakukan dengan pemanfaatan bahan baku
yang kaya protein, salah satunya ikan. Mohamad (2012) menyatakan ikan hasil
tangkapan sampingan multispesies memiliki kadar protein yang tinggi sebesar
17,52%. Hasil hidrolisat protein yang kini tengah dikembangkan adalah pepton.
Dufossé et al. (2001) menyatakan pepton adalah produk turunan atau derivat dari
hidrolisat protein yang larut dalam air dan tidak mengalami proses koagulasi pada
air panas. Kebutuhan pepton dalam bidang bioteknologi sangat tinggi. Impor
pepton di Indonesia pada periode Januari-Oktober 2013 mencapai 4.322.206 kg
dengan nilai 17.888.159 US $ (BPS 2013).
Pemanfaatan ikan hasil tangkap sampingan dalam kondisi busuk sebagai
bahan baku pepton ikan diharapkan dapat meningkatkan nilai jual sekaligus
mengurangi impor pepton di Indonesia. Hasil penelitian Fitra(2013) menunjukkan
adanya kandungan asam amino yang dapat menunjang pertumbuhan
mikroorganisme pada pepton dari ikan hasil tangkap sampingan busuk. Informasi
mengenai aplikasi pepton dari ikan hasil tangkap sampingan busuk sebagai
komponen media pertumbuhan bakteri dan khamir belum diketahui sehingga
perlu dilakukan penelitian terkait hal tersebut.

Perumusan Masalah
Ikan hasil tangkap sampingan umumnya tidak dimanfaatkan secara
optimal dan banyak dibuang. Pembuatan pepton ikan dapat dilakukan dengan
pemanfaatan protein ikan hasil tangkap sampingan pada kondisi busuk.
Pemanfaatan tersebut diharapkan selain dapat meningkatkan nilai jual juga dapat
mengurangi ketergantungan impor pepton di Indonesia. Kebutuhan pepton dalam
bidang bioteknologi sangat tinggi. Informasi mengenai aplikasi pepton ikan hasil
tangkap sampingan pada kondisi busuk terhadap pertumbuhan bakteri dan khamir
diperlukan agar pemanfaatan di bidang tersebut lebih optimal.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan memproduksi pepton ikan hasil tangkap sampingan
pada kondisi busuk dan mengaplikasikan sebagai komponen media pertumbuhan
bakteri dan khamir dengan pepton komersial sebagai pembanding.

2

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memberi informasi kurva pertumbuhan
bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus serta khamir Saccharomyces
cerevisiae dengan pemanfaatan pepton ikan hasil tangkap sampingan busuk
sebagai komponen medianya.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah ikan hasil tangkap sampingan meliputi
ikan tongkol, kembung, layang, tembang, cucut, selar, pari dan layur, serta kurva
pertumbuhan bakteri E. coli, S. aureus, dan khamir S. cerevisiae.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan April hingga September 2013.
Preparasi bahan baku dan analisis proksimat dilakukan di Laboratorium
Pengetahuan Bahan Baku Industri Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Proses
hidrolisis dilakukan di Laboratorium Biokimia Umum, Departemen Biokimia,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Analisis mikrobiologi dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan,
Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dan
Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan hasil tangkap
sampingan multispesies dari pukat udang (ikan tongkol, kembung, layang,
tembang, cucut, selar, pari dan layur) diperoleh di Muara Baru, Jakarta. Bahan
yang digunakan untuk pembuatan hidrolisat protein ialah enzim papain produksi
Merck dan akuades. Bahan analisis mikrobiologi mencakup bakteri E. coli,
bakteri S. aureus, khamir S. cerevisiae, akuades, Nutrient Agar (NA), NaCl, yeast
extract, Buffer Phosphate Water (BPW), Plate Count Agar (PCA), Yeast Peptone
Dextrose (YPD), Potato Dextrose Agar (PDA), asam tartarat, dan pepton
komersial produksi Oxoid sebagai pembanding.

Alat
Alat yang digunakan untuk preparasi bahan baku adalah timbangan, pisau,
dan wadah. Pembuatan pepton dilakukan dengan menggunakan gelas Erlenmeyer,
waterbath shaker (Certomat WR), oven (Memmert), alumunium foil dan freeze
drier. Analisis mikrobiologi dilakukan dengan menggunakan gelas Erlenmeyer,

3

cawan petri, autoklaf, Spektrofotometer UV 1800 (Shimadzu), rotary shaker
(Innova) dan inkubator (Yamato).

Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian diawali dengan preparasi bahan baku yaitu ikan hasil
tangkap sampingan dalam kondisi busuk sebelum dihidrolisis menggunakan
enzim papain. Cairan hidrolisat diambil lalu dikeringkan dengan freeze dryer
menjadi bubuk pepton. Pepton ikan selanjutnyadianalisis sebagai komponen
dalam media tumbuh bakteri dan kapang. Prosedur kerja penelitian ini disajikan
pada Gambar 1.
Ikan HTS busuk

Preparasi
Proses hidrolisis menggunakan enzim papain 0,3% pada suhu 60ºC selama 5 jam

Inaktivasi enzim pada suhu 85°C selama 15 menit

Pengambilan cairan

Pengeringan dengan freeze dryer

Bubuk pepton

Analisis proksimat

Analisis Mikrobiologi

Bakteri E. coli
Bakteri S. aureus
Khamir S. cerevisiae

Pengukuran OD

Perhitungan TPC

Gambar 1 Diagram alir prosedur penelitian
Preparasi Sampel
Sampel ikan hasil tangkap sampingan multispesies yang diperoleh diukur
bobotnya lalu dimasukkan dalam wadah dan didiamkan pada suhu ruang hingga
membusuk. Penentuan kebusukan dilakukan dengan uji total volatile base (TVB)

4

berdasarkan AOAC (2005). Ikan multispesies yang sudah busuk lalu dicacah dan
dicampur hingga homogen.
Proses Hidrolisis Protein (Fitra 2013)
Hidrolisat protein dibuat dengan campuran ikan multispesies yang sudah
dicacah lalu dihomogenisasi menggunakan akuades dengan perbandingan 2:1
(2 bagian akuades dengan 1 bagian campuran ikan). Nilai pH pada awal hidrolisis
harus netral, yaitu 6-8. Campuran ikan dan air dimasukkan dalam wadah
kemudian ditambah enzim papain dengan konsentrasi 0,3% dan dihidrolisis pada
suhu 60ºC menggunakan waterbath shaker selama 5 jam.
Proses hidrolisis dilanjutkan dengan inaktivasi enzim pada suhu 85ºC
selama 15 menit. Larutan sampel disaring dengan kertas saring dan diendapkan
selama 12 jam pada suhu 2-4ºC. Penyaringan tersebut dilakukan untuk
memisahkan padatan, cairan dan lemak. Cairan diambil untuk dilakukan uji
nitrogen terlarut agar diketahui kondisi optimumnya. Pembuatan pepton dilakukan
dengan pengambilan cairan dari proses hidrolisis berdasarkan kondisi optimum
tersebut. Cairan tersebut kemudian dikeringkan dengan freeze dryer menjadi
bubuk pepton.
Analisis Proksimat Pepton (AOAC 2005)
Analisis proksimat pepton berbahan baku ikan HTS dalam kondisi busuk
dilakukan sebelum diaplikasikan sebagai komponen media pertumbuhan bakteri
dan khamir. Analisis yang dilakukan meliputi rendemen, kadar air (AOAC 2005),
kadar abu (AOAC 2005), kadar protein (AOAC 2005), kadar lemak (AOAC
2005) dan kadar karbohidrat by difference.
Analisis Mikrobiologi
Analisis mikrobiologi dilakukan dengan membandingkan kemampuan
tumbuh mikroba di media menggunakan sumber nitrogen pepton ikan hasil
tangkap sampingan busuk dan pepton komersial sebagai pembanding. Analisis
dilakukan dengan uji optical density (OD) dan uji total plate count (TPC).
Mikroba yang digunakan yaitu bakteri E. coli, S. aureus, dan khamir S. cerevisiae.
Pertumbuhan bakteri E. coli dan S. aureus
Kultur bakteri pada NA miring diambil sebanyak 2 ose lalu dipindahkan ke
media cair LB. Inokulum dalam media LB diinkubasi selama 18-24 jam pada
suhu 37ºC atau setelah pertumbuhan bakteri mencapai 0,8 dengan pengukuran
OD. Inokulum dari media LB dipindahkan sebanyak 1% ke masing-masing media
pertumbuhan. Komposisi media pertumbuhan yang digunakan berdasarkan
Martone et al. (2005) dan Sezonov et al. (2007) terdiri dari 1% (b/v) NaCl, 0,5%
(b/v) yeast extract dan 1% (b/v) pepton yang dilarutkan hingga 1 L dengan
akuades. Media pertumbuhan bakteri mencakup larutan dengan perlakuan
penambahan pepton ikan HTS dalam kondisi busuk, sedangkan media dengan
penambahan pepton komersial digunakan sebagai pembanding.
Kultur yang telah ditumbuhkan pada media pertumbuhan kemudian
diinkubasi pada suhu 37ºC dalam inkubator selama 24 jam. Pengamatan dilakukan
setiap 2 jam sekali untuk analisis OD dan TPC. Analisis OD dilakukan dengan
pengambilan 3-4 mL kultur lalu diamati menggunakan spektrofotometer pada
a)

5

panjang gelombang 650 nm. Analisis TPC dilakukan dengan pengambilan 1 mL
kultur bakteri untuk diencerkan dalam BPW hingga batas tertentu. Sebanyak 1 mL
kultur dari BPW dipindahkan dalam cawan petri lalu ditambahkan 15-20 mL
PCA. Cawan petri diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37ºC. Penghitungan
jumlah sel bakteri dilakukan dengan metode TPC.
Pertumbuhan khamir S. cerevisiae
Kultur bakteri pada NA miring diambil sebanyak 2 ose lalu dipindahkan ke
media cair YPD. Inokulum dalam media YPD diinkubasi selama 24 jam pada
suhu ruang atau setelah pertumbuhan khamir mencapai 0,5 dengan pengukuran
OD. Selanjutnya, inokulum dipindahkan sebanyak 1% ke masing-masing media
pertumbuhan. Komposisi media pertumbuhan yang digunakan terdiri dari 2%
(b/v) dextrose, 1% (b/v) yeast extract dan 2% (b/v) pepton yang dilarutkan hingga
1 L dengan akuades (Hjortmo et al. 2008). Media pertumbuhan bakteri mencakup
larutan dengan perlakuan penambahan pepton ikan HTS dalam kondisi busuk,
sedangkan media dengan penambahan pepton komersial digunakan sebagai
pembanding.
Kultur yang telah ditumbuhkan pada media pertumbuhan kemudian
diinkubasi pada suhu ruang dalam rotary shaker 800 rpm selama 48 jam.
Pengamatan dilakukan setiap 2 jam sekali untuk analisis OD dan TPC. Analisis
OD dilakukan dengan pengambilan 3-4 mL kultur lalu diamati menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 650 nm. Analisis TPC dilakukan
dengan pengambilan 1 mL kultur khamir untuk diencerkan dalam BPW hingga
batas tertentu. Sebanyak 1 mL kultur dari BPW dipindahkan dalam cawan petri
lalu ditambahkan 15-20 mL PDA yang sebelumnya telah ditambahkan asam
tartarat 85%. Cawan petri diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 30ºC.
Penghitungan jumlah sel khamir dilakukan dengan metode TPC.
b)

Analisis Data
Analisis data dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan mikroorganisme
berdasarkan perhitungan TPC. Data hasil perhitungan TPC diolah ke dalam
bentuk logaritma menggunakan Microsoft Excel 2007. Bentuk logaritma
selanjutnya diubah menjadi kurva pertumbuhan dan grafik laju pertumbuhan
spesifik (µ maks) tiap mikroorganisme.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Bahan Baku dan Pepton
Pepton adalah suatu produk turunan atau derivat dari hidrolisat protein yang
larut dalam air dan tidak mengalami proses koagulasi pada air panas (Dufossé
et al. 2001). Proses hidrolisis protein menjadi pepton dilakukan dengan
penambahan enzim papain. Presentase jumlah produk hidrolisat yang dihasilkan
terhadap berat bahan baku sebelum dihidrolisis disebut rendemen (Shahidi dan
Botta 1994). Nilai rendemen pepton ikan HTS busuk yang diperoleh sebesar

6

6,67%. Pepton yang telah dilakukan penyaringan setelah proses hidrolisis
kemudian dikeringkan menggunakan freeze dryer. Bentuk akhir pepton ikan HTS
dalam kondisi busuk berupa serbuk dan memiliki warna kuning kecokelatan.
Bahan baku dan produk pepton ikan HTS busuk disajikan pada Gambar 2.

(a)
(b)
Gambar 2 Bahan baku (a) dan produk (b) pepton HTS busuk
Tabel 1 Komposisi kimia bahan baku dan pepton ikan HTS

Parameter
Kadar air
Kadar abu
Kadar protein
Kadar lemak

Bahan
baku*)
(%)

Pepton HTS
segar*)
(%)

Bahan baku Pepton HTS
busuk
busuk
(%)
(%)

BB

BK

BB

BK

BB

74,26
3,12
17,52
0,58

0,12
0,68
0,02

8,95
5,26
74,36
0,08

0,06
0,82
0,00

70,00
2,86
18,34
4,89

BK

BB

- 4,84
0,10 5,19
0,61 77,93
0,16 0,54

BK
0,05
0,82
0,01

Sumber : *) Mohamad (2012); Keterangan : BB = Basis Basah, BK = Basis Kering

Bahan baku pepton meliputi ikan hasil tangkap sampingan (HTS)
multispesies, yaitu ikan tongkol, kembung, layang, tembang, cucut, selar, pari dan
layur. Penelitian Mohamad (2012) menunjukkan kandungan protein masingmasing jenis ikan HTS multispesies termasuk tinggi yaitu rata-rata sebesar 19,9%.
Menurut Stansby (1982), kandungan protein ikan dapat digolongkan tinggi
apabila memiliki kadar protein berkisar 15-20% dan kadar lemak kurang dari 5%.
Komposisi kimia pepton ikan HTS dalam kondisi busuk memiliki kadar air
4,84%; abu 5,19%; protein 77,93% dan lemak 0,54%. Perbandingan komposisi
kimia basis kering pada bahan baku dan pepton ikan HTS busuk mendekati
komposisi kimia pada bahan baku dan pepton ikan HTS segar. Hasil tersebut
menunjukan bahwa ikan HTS busuk dapat dijadikan alternatif bahan baku pepton
dibandingkan ikan segar yang membutuhkan biaya lebih besar dan teknik
penanganan lebih panjang dalam pemanfaatannya. Komposisi kimia bahan baku
dan pepton ikan HTS dalam kondisi busuk disajikan pada Tabel 1.

7

Kadar Air
Air merupakan komponen dasar dengan jumlah hampir 80% pada tubuh
ikan (Yunizal et al. 1998). Kandungan air dalam bahan ikut menentukan daya
terima, kesegaran dan saya simpan bahan tersebut (Winarno 2008). Kadar air pada
bahan baku ikan HTS multispesies busuk sebesar 70,00%; sedangkan pepton dari
ikan HTS busuk memiliki kadar air sebesar 4,84%. Kadar air berkurang diduga
akibat penguapan yang terjadi selama proses pengeringan menggunakan freeze
dryer. Penguapan menyebabkan terlepasnya komponen air bebas pada bahan yang
dikeringkan. Penurunan juga terjadi pada produksi pepton ikan HTS segar
berdasarkan Mohamad (2012) dengan kadar air pada bahan baku 74,26%;
sedangkan kadar air pada produk pepton 8,95%.
Kadar Abu
Bahan makanan sebagian besar terdiri dari bahan organik dan air. Zat
anorganik yang tidak terbakar pada suhu 600°C disebut abu, diantaranya Ca, Mg,
Na, P, K, Fe, Mn,dan Cu. Abu yang terbentuk berwarna putih abu-abu, berpartikel
halus dan mudah dilarutkan (Winarno 2008). Kadar abu bahan baku dan pepton
ikan HTS busuk dalam basis basah masing-masing 3,12% dan 5,26%, sedangkan
kadar abu basis kering masing-masing 0,10% dan 0,05%. Kadar abu pada bahan
baku dan pepton ikan HTS segar berdasarkan Mohamad (2012) dalam basis
kering masing-masing 0,12% dan 0,06%. Penurunan kadar abu diduga akibat
adanya proses penyaringan sehingga tulang dan daging sebagai sumber mineral
bahan berkurang pada produk pepton.
Kadar Protein
Protein tersusun atas rantai asam amino yang dihubungkan dengan ikatan
peptida membentuk struktur yang kompleks. Peranan protein sebagai molekul
esensial dalam penyusunan struktur maupun proses fungsional makhluk hidup
(Vaclavik dan Christian 2008). Kandungan protein pada produk perikanan
tergolong tinggi. Bahan baku dan pepton dari ikan HTS busuk memiliki kadar
protein dalam basis basah masing-masing 18,34% dan 77,93%; sedangkan kadar
protein dalam basis kering masing-masing 0,61% dan 0,82%. Kandungan protein
pada bahan baku dan pepton dari ikan HTS segar berdasarkan penelitian
Mohamad (2012) dalam basis kering masing-masing yaitu 0,68% dan 0,82%.
Kadar protein yang tinggi pada pepton diduga berasal dari hasil
pemecahan ikatan protein pada proses hidrolisis menjadi unsur-unsur yang lebih
sederhana, yaitu asam amino, peptida dan derivat protein lainnya. Semakin
banyak asam amino dan peptida yang terbentuk akan menghasilkan zat terlarut
yang semakin tinggi sehingga total nitrogen juga semakin meningkat.
Penambahan enzim dapat mempengaruhi peningkatan kadar protein karena enzim
termasuk protein dan dapat mempercepat proses hidrolisis (Ovissipour et al.
2010). Pemisahan komponen lainnya seperti air, abu dan lemak dalam pembuatan
pepton juga dapat mempengaruhi kandungan protein. Pengurangan air dalam
jumlah besar terjadi akibat penguapan selama proses pengeringan dengan freeze
dryer. Kadar abu dan lemak juga mengalami penurunan karenaadanya proses
penyaringan yang menyebabkan abu dan lemak tidak larut air terpisah.

8

Kadar Lemak
Lemak termasuk dalam kelompok lipida dan bersifat tidak larut dalam air.
Kadar lemak bahan baku ikan HTS busuk dalam basis basah yaitu 4,89%;
sedangkan kadar lemak pepton dari ikan HTS busuk yaitu 0,54%. Kandungan
lemak juga mengalami penurunan pada bahan baku maupun pepton dari ikan HTS
busuk berdasarkan basis kering masing-masing 0,16% dan 0,01%. Penurunan
jumlah lemak diduga karena proses penyaringan yang menyebabkan kandungan
lemak tidak larut air terpisah dari cairan hidrolisat. Kandungan lemak terlarut juga
menurun diduga akibat adanya proses pengeringan dengan freeze dryer yang
menyebabkan pengurangan jumlah air pada pepton. Nilsang et al. (2005)
menyatakan bahwa produk hidrolisat protein dengan kandungan lemak rendah
umumnya lebih stabil terhadap reaksi oksidasi sehingga lebih awet selama
penyimpanan.
Nilai total volatile base (TVB)
Kondisi bahan baku dalam keadaan busuk atau sudah tidak layak
konsumsi. Ciri-ciri ikan busuk adalah daging sudah lunak, bola mata cekung,
insang berwarna cokelat tua, mengeluarkan banyak lendir dan menimbulkan bau
busuk (Hadiwiyoto 1993). Tingkat kesegaran ikan HTS multispesies dapat
diketahui melalui uji TVB berdasarkan AOAC (2005). Prinsip analisis TVB
adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatil yang kemudian diikat oleh
asam borat dan dititrasi dengan larutan HCl. Nilai TVB dapat dijadikan indeks
kesegaran ikan. Nilai TVB ikan HTS multispesies yaitu sebesar 69,49 mg N/100
g. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kondisi ikan HTS adalah busuk. Ikan yang
sudah busuk dan tidak dapat dikonsumsi memiliki nilai lebih besar dari 30 mg
N/100 g (Farber 1965).

Aplikasi Pepton Berbahan Baku Ikan HTS Busuk
Kualitas pepton ikan HTS dalam kondisi busuk diaplikasikan sebagai
komponen media pertumbuhan mikroorganisme. Penelitian sebelumnya oleh
Fitra (2013) menunjukkan adanya potensi pepton ikan HTS dalam kondisi busuk
sebagai alternatif pepton komersial. Hal tersebut karena pepton ikan HTS dalam
kondisi busuk memiliki karakteristik tertentu yang dapat menunjang pertumbuhan
mikroorganisme. Dufossé et al. (2001) menyatakan bahwa karakteristik hidrolisat
protein mencakup jumlah nitrogen dan komposisi asam amino. Ciri yang paling
penting dari pepton adalah fungsinya sebagai sumber nutrisi bagi mikroorganisme
sehingga diperlukan jumlah nitrogen yang tinggi dan asam amino yang dapat
menunjang pertumbuhan mikroorganisme. Karakteristik pepton ikan HTS dalam
kondisi busuk dan pepton komersial dapat dilihat pada Tabel 2.
Pepton ikan HTS dalam kondisi busuk memiliki karakteristik kelarutan
99,96%; total nitrogen 11,42%; kadar garam 7,82% dan pH 7,10. Nilai kelarutan
dan pH pepton ikan HTS dalam kondisi busuk mendekati karakteristik pepton
komersial. Total nitrogen pada pepton komersial lebih besar dari pepton ikan HTS
dalam kondisi busuk yaitu sebesar 13,9%, sedangkan kadar NaCl pada pepton
komersial lebih rendah yaitu sebesar 3,2%. Perbedaan karakteristik pepton dapat
memberi pengaruh pada pertumbuhan mikroorganisme.

9

Tabel 2 Karakteristik pepton ikan HTS dengan pepton komersial
Karakteristik
Kelarutan (%)
Total Nitrogen (%)
α-Amino Nitrogen (%)
AN/TN (%)
Kadar NaCl (%)
pH

Pepton ikan
HTS busuk1)
(%)

Neutralised
Bacteriological
Peptone 2) (%)

99,96
11,42
1,76
15,41
7,82
7,10

99,00
13,90
2,40
17,00
3,20
7,00

Sumber : 1) Fitra (2013)
2)
Oxoid Manual 8th Edition (1998)

Tabel 3 Kandungan asam amino pada pepton ikan HTS dan pepton komersial
Asam Amino

Alanin
Arginin
Asam aspartat
Asam
glutamat
Glisin
Histidin
Isoleusin
Leusin
Lisin
Metionin
Fenilalanin
Prolin
Serin
Sistein
Tirosin
Treonin
Triptofan
Valin
Sumber :

1)

Pepton Ikan HTS
busuk (%)1)

Pepton Ikan HTS
Segar (%)2)

Neutralised
Bacteriological
Peptone (%)3)

5,57
1,08
5,03

0,67
3,19
6,36

4,28
4,58
5,86

13,08

10,28

10,35

5,21
1,18
3,61
6,06
4,96
2,39
3,56

7,75

0,9
1,82

1,01
4,54
1,26
3,91
2,53
3,49
1,83
1,46
2,91
0,84
1,42
1,18

4,06

3,64

1,75

1,02
3,65
4,04
1,27
2,68
6,25
1,76
0,84
0,33
1,47
0,89
3,85

Fitra (2013)
Mohamad (2012)
3)
Oxoid Manual 8th Edition (1998)

2)

Asam amino merupakan sumber nitrogen utama yang dimanfaatkan oleh
mikroba heterotrof. Sumber asam anino berasal dari semua komponen yang
mengandung nitrogen. Komponen sederhana, misalnya asam amino, dimanfaatkan
mikroba terlebih dahulu sebagai sumber nitrogen sebelum mikroba tersebut
mampu memecah komponen yang lebih kompleks, misalnya protein, sebagai

10

sumber nitrogennya (Rahayu dan Nurwitri 2012). Kandungan asam amino pepton
ikan HTS dalam kondisi busuk cenderung lebih tinggi daripada kandungan asam
amino pada pepton HTS segar dan komersial. Kandungan asam amino tertinggi
pada pepton ikan HTS dalam kondisi busuk adalah asam glutamat sebesar 13,08%
dan kandungan terendah adalah tirosin sebesar 0,9%. Hal ini mendekati
karakteristik pepton komersial yang memiliki kandungan tertinggi adalah asam
glutamat sebesar 10,35% dan terendah adalah tirosin sebesar 0,33%. Asam amino
pada pepton HTS dalam kondisi busuk yang memiliki nilai lebih tinggi daripada
pepton komersial mencakup alanin, asam glutamat, isoleusin, leusin, metionin,
fenilalanin, tirosin, treonin, dan valin (Fitra 2013). Kandungan asam amino pada
pepton ikan HTS dalam kondisi busuk dan pepton komersial sebagai pembanding
disajikan pada Tabel 3.
Pertumbuhan mikroorganisme didefinisikan sebagai pertambahan berat
sel. Berat sel relatif sama pada setiap siklus sel sehingga pertumbuhan dapat
didefinisikan sebagai pertambahan jumlah sel (Purwoko 2009). Hasil analisis
pertumbuhan mikroorganisme berupa kurva yang dapat dibagi menjadi empat
fase, yaitu fase lag, fase log, fase stasioner dan fase kematian. Fase lag atau
adaptasi terjadi ketika suatu massa sel mengalami kekurangan metabolit dan
keadaan tidak menguntungkan dalam pembiakan terdahulu sehingga perlu
menyesuaikan diri pada lingkungan yang baru. Fase log (eksponensial)
merupakan kondisi ketika populasi sel mulai mengalami peningkatan jumlah
secara teratur. Fase stasioner menunjukkan kondisi sel ketika kehabisan makanan
dan terjadi penumpukan hasil-hasil metabolisme yang beracun sehingga dapat
menyebabkan pertambahan jumlah sel terhenti (Rolfe et al. 2012).
Aplikasi pepton ikan HTS dalam kondisi busuk sebagai komponen media
pertumbuhan dilakukan pada bakteri dan khamir. Jenis bakteri yang digunakan
ada dua yaitu E. coli dan S. aureus, serta khamir yaitu S. cerevisiae. Pertumbuhan
bakteri maupun kapang dianalisis berdasarkan analisis OD dan TPC. Purwoko
(2009) menjelaskan bahwa analisis OD merupakan metode perhitungan sel secara
langsung, sedangkan TPC merupakan metode perhitungan sel secara tidak
langsung. Prinsip analisis OD yaitu perhitungan sel bakteri berdasarkan kekeruhan
(turbiditas) kultur. Semakin keruh suatu kultur maka semakin banyak jumlah
selnya. Perhitungan sel dengan metode TPC dilakukan dengan melakukan
pengenceran kultur hingga batas tertentu kemudian ditumbuhkan kembali pada
media. Setiap sel yang tumbuh akan menjadi satu koloni.
Aplikasi Pepton Sebagai Komponen Media Pertumbuhan Bakteri E. coli
Bakteri E. coli merupakan bakteri Gram negatif yang bersifat anaerob
fakultatif dan motil. Jenis bakteri ini berperan sebagai indikator pencemaran air
oleh limbah domestik. Keberadaan E.coli dalam air menunjukkan air tersebut
telah tercemar tinja dan mengandung bibit penyakit yang dapat menimbulkan
gangguan kesehatan jika masuk saluran pencernaan (Wardana 2008).
Analisis pertumbuhan bakteri E. coli menggunakan media Luria-Bertoni
(LB). Media LB merupakan media referensi untuk bakteri (Sezonov et al. 2007).
Kurva pertumbuhan E. coli berdasarkan analisis OD (Gambar 3) memiliki
persamaan dengan analisis TPC (Gambar 4). Fase lag terjadi pada jam ke-0
hingga jam ke-2, sedangkan fase log terjadi pada jam ke-2 hingga jam ke-12.
Lama berlangsungnya kedua fase tersebut berlaku pada masing-masing perlakuan.

11

Gambar 3 Kurva pertumbuhan bakteri E. coli berdasarkan pengukuran OD.
(

) kontrol,

(

) pepton ikan, (

) pepton komersial

Gambar 4 Kurva pertumbuhan bakteri E. coli berdasarkan perhitungan TPC.
(

) kontrol,

(

) pepton ikan, (

) pepton komersial

Gambar 5 Grafik µmaks bakteri E. coli.
Kontrol (y = 0,071x+1,827;
2
R = 0,962),
Pepton Ikan (y = 0,062x+1,832; R2 = 0,937),
Pepton Komersial (y = 0,072x+1,826; R2 = 0,936)
Nilai µ maks bakteri E.coli pada pepton ikan HTS dalam kondisi busuk
yaitu sebesar 0,062 per jam. Nilai tersebut lebih rendah daripada kontrol yaitu

12

sebesar 0,071 per jam dan pepton komersial sebesar 0,072 per jam (Gambar 5).
Rata-rata laju pertumbuhan bakteri E. coli selama fase log yaitu 0,25 per jam.
Nilai tersebut lebih rendah dari pepton komersial yang memiliki rata-rata laju
pertumbuhan pada fase yang sama sebesar 0,30 per jam.
Asam amino merupakan sumber nitrogen yang penting bagi pertumbuhan
mikroorganisme. Dawes (1951) menyebutkan beberapa jenis asam amino dapat
menghambat pertumbuhan E. coli yaitu treonin, metionin, valin dan isoleusin.
Kandungan asam amino pada pepton ikan HTS busuk berdasarkan Fitra (2013)
mencakup treonin (1,82%), metionin (2,39%), valin (4,06%) dan isoleusin
(3,61%) lebih tinggi dibandingkan kandungan asam amino yang sama pada
pepton komersial yaitu treonin (1,47%), metionin (1,27%), valin (3,85%) dan
isoleusin (1,02%). Kadar asam amino yang kurang menunjang pertumbuhan
E. coli menyebabkan kebutuhan bakteri tersebut untuk proses pertumbuhannya
kurang terpenuhi.
Bakteri E. coli termasuk ke dalam golongan nonhalofilik. Pertumbuhan
optimal E. coli terjadi pada penambahan NaCl 5%, sedangkan pertumbuhan
bakteri mulai terhambat dengan penambahan NaCl 7% atau lebih pada waktu
inkubasi 24 jam. Pertumbuhan E. coli benar-benar terhenti pada penambahan
NaCl 20% dengan waktu inkubasi lebih dari 48 jam (Hrenovic dan Ivankovic
2009). Pertumbuhan E. coli diduga juga mendapat pengaruh dari kandungan
garam pada pepton. Penelitian Fitra (2013) menunjukkan kadar NaCl pada pepton
ikan HTS dalam keadaan busuk sebesar 7,82%. Nilai tersebut lebih tinggi dari
kadar NaCl pada pepton komersial sebesar 3,20%.
Aplikasi Pepton Sebagai Komponen Media Pertumbuhan Bakteri S. aureus
Bakteri S. aureus termasuk dalam Gram positif, fakultatif anaerobik, dan
mikroorganisme non motil. Nama organisme diambil dari bahasa Yunani yaitu
staphyle yang berarti kumpulan buah anggur dan coccus yang berarti bulat, karena
bentuk selnya bulat (kokus) menyerupai buah anggur. Koloni S. aureus berupa
lingkaran dengan diameter antara 0,5-1,5 µm dan memiliki warna bervariasi yaitu
abu-abu kekuningan hingga jingga (Medvedova dan Valik 2012).

Gambar 6 Kurva pertumbuhan bakteri S. aureus berdasarkan pengukuran OD.
(

) kontrol,

(

) pepton ikan, (

) pepton komersial

13

Gambar 7 Kurva pertumbuhan bakteri S. aureus berdasarkan perhitungan TPC.
(

) kontrol,

(

) pepton ikan, (

) pepton komersial

Analisis pertumbuhan S. aureus mengacu pada penelitian Fitra (2013)
dilakukan pada media LB dengan komposisi yang sama seperti media LB pada
bakteri E. coli. Media LB merupakan referensi untuk analisis pertumbuhan bakteri
pada media modifikasi dengan tambahan hidrolisat protein ikan sebagai sumber
utama senyawa organik (Martone et al. 2005). Pengamatan dilakukan selama 24
jam setiap 2 jam sekali untuk analisis OD dan TPC.
Kurva pertumbuhan bakteri S. aureus berdasarkan hasil analisis OD
(Gambar 6) dan TPC (Gambar 7) memiliki perbedaan. Kurva pertumbuhan
menunjukkan adanya fase lag pada jam ke-0 hingga jam ke-2. Perbedaan Kurva
antar perlakuan terjadi pada akhir fase log. Pepton ikan HTS busuk memiliki fase
log pada jam ke-2 hingga jam ke-14, sedangkan pepton komersial dan kontrol
memiliki fase log pada jam ke-2 hingga jam ke-16. Hal tersebut menunjukkan
bahwa pertumbuhan bakteri S. aureus dengan penambahan pepton ikan HTS
dalam kondisi busuk memiliki fase log yang lebih singkat dibandingkan kontrol
dan pepton komersial. Akhir fase log menunjukkan kondisi sel ketika kehabisan
makanan dan terjadi penumpukan hasil-hasil metabolisme yang beracun sehingga
terjadi penurunan jumlah sel hidup (Fujikawa et al. 2004).

Gambar 8 Grafik µ maks bakteri S. aureus.
kontrol (y = 0,042x+1,920;
R2 = 0,844),
pepton ikan (y = 0,047x+1,886; R2 = 0,951),
pepton komersial (y = 0,039x+1,894; R2 = 0,802)

14

Laju pertumbuhan spesifik maksimum bakteri S. aureus pada media
dengan penambahan pepton ikan HTS busuk lebih tinggi daripada
pembandingnya (Gambar 8). Nilai µ maks bakteri S.aureus pada pepton
komersial sebesar 0,039 per jam, sedangkan laju pertumbuhan pada pepton ikan
HTS busuk sebesar 0,047 per jam. Rata-rata laju pertumbuhan bakteri S. aureus
dengan penambahan pepton ikan HTS dalam kondisi busuk pada fase log sebesar
0,19 per jam, mendekati laju pertumbuhan pada pepton komersial sebesar 0,18 per
jam.
Pertumbuhan S. aureus pada pepton ikan HTS dalam kondisi busuk lebih
tinggi dengan fase log sedikit lebih singkat daripada pepton komersial. Hal
tersebut diduga karena kandungan nutrisi penunjang pertumbuhan S. aureus pada
pepton ikan HTS dalam kondisi busuk lebih sedikit dibandingkan
pembandingnya. Jenis asam amino yang menunjang pertumbuhan S. aureus
diantaranya arginin dan leusin, sedangkan asam amino yang dapat menghambat
S. aureus meliputi alanin dan metionin (De Buyser et al. 2001; Gladstone 1937).
Hasil penelitian Fitra (2013) menunjukkan pepton ikan HTS busuk memiliki
kandungan arginin (1,08%) dan leusin (6,06%), sedangkan pepton komersial
memiliki kandungan arginin (4,58%) dan leusin (3,65%). Kandungan alanin
(5,57%) dan metionin (2,39%) pada pepton HTS busuk lebih tinggi daripada
pepton komersial dengan kandungan alanin (4,28%) dan metionin (1,27%).
Pertumbuhan S. aureus dapat berlangsung lebih baik pada pepton ikan
HTS dalam kondisi busuk karena didukung oleh sifat bakteri S. aureus yang
termasuk halotoleran. Hasil penelitian Fitra (2013) menyebutkan kadar garam
pada pepton ikan HTS dalam kondisi busuk mencapai 7,82%, sedangkan
Hrenovic dan Ivankovic (2009) mengungkapkan bahwa bakteri S. aureus dapat
tumbuh dengan kadar NaCl hingga 15%.
Aplikasi Pepton Sebagai Komponen Media Pertumbuhan Khamir
S. cerevisiae
Khamir adalah mikroba eukariotik bersel tunggal, non motil dan tidak
berklorofil. Ukuran khamir sangat beragam, lebar khamir berkisar antara 1–5 µm
dan panjang antara 5–30 µm. Salah satu jenis khamir ialah S. cerevisiae yang
telah dikenal sebagai ragi roti dan digunakan untuk pembuatan tape dan bir
(Pelczar dan Chan 2008). Analisis pertumbuhan khamir dilakukan pada media
Yeast Peptone Dextrose (YPD).
Pertumbuhan khamir S. cereviseae memiliki persamaan kurva pada hasil
analisis OD (Gambar 9) dan analisis TPC (Gambar 10). Fase log terjadi pada jam
ke-0 hingga jam ke-18. Hal tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan khamir
tidak melalui fase lag. Fase lag terjadi lebih singkat atau tidak terjadi jika sel
sudah mencapai fase log di media sebelumnya dan dipindah ke media baru dengan
komposisi yang sama dengan media lama (Rolfe et al. 2012).
Laju pertumbuhan spesifik maksimum khamir pada media dengan
perlakuan pepton ikan HTS busuk lebih tinggi dibandingkan pepton komersial
(Gambar 11). Khamir pada media dengan penambahan pepton ikan HTS busuk
memiliki nilai µ maks sebesar 0,167 per jam, sedangkan pembandingnya yaitu
pepton komersial sebesar 0,166 per jam dan kontrol sebesar 0,160 per jam. Ratarata laju pertumbuhan pepton ikan HTS dalam kondisi busuk selama fase log

15

sebesar 0,19 per jam. Nilai tersebut lebih tinggi sedikit dibandingkan pepton
komersial pada fase yang sama sebesar 0,18 per jam.

Gambar 9 Kurva pertumbuhan khamir S. cerevisiae berdasarkan pengukuran OD.
(

) kontrol,

(

) pepton ikan, (

) pepton komersial

Gambar 10 Kurva pertumbuhan khamir S. cerevisiae berdasarkan perhitungan
TPC. (
komersial

)

kontrol, (

) pepton ikan, (

) pepton

Gambar 11 Grafik µ maks S. cerevisiae.
kontrol (y = 0,160x+1,559;
2
R = 0,924),
pepton ikan (y = 0,167x+1,560; R2 = 0,926),
pepton komersial (y = 0,166x+1,544;R2 = 0,938)

16

Pertumbuhan khamir umumnya menggunakan karbohidrat sebagai sumber
karbon dan sumber energi. Sumber nitrogen S. cerevisiae dapat dipenuhi dengan
memanfaatkan amonia, glutamat dan glutamin. Glutamat merupakan asam amino
yang lebih dulu dimanfaatkan khamir dalam pertumbuhannya. Glutamat juga
dapat dikonversi dari amonia dan glutamin (Guillamon et al. 2001). Asam
glutamat merupakan kandungan paling tinggi dalam pepton HTS busuk yaitu
13,08%, nilai tersebut lebih besar dari asam glutamat pada pepton komersial yaitu
10,35% (Fitra 2013). Asam amino lainnya yang dapat menunjang pertumbuhan
khamir S. cerevisiae menurut Hanscho et al. (2012) meliputi fenilalanin, serin dan
treonin. Penelitian sebelumnya oleh Fitra (2013) diketahui bahwa pepton ikan
HTS busuk memiliki kandungan fenilalanin (3,56%), serin (1,75%), dan treonin
(1,82%), sedangkan pepton komersial memiliki kandungan fenilalanin (2,68%),
serin (1,76%), dan treonin (1,47%).

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kandungan protein pada pepton ikan HTS busuk sebesar 77,93%. Kurva
pertumbuhan masing-masing bakteri E. coli, S. aureus dan khamir S. cerevisiae
dengan penambahan pepton ikan HTS busuk memiliki pola yang sama
berdasarkan analisis OD maupun TPC. Pepton ikan HTS busuk baik diaplikasikan
pada bakteri S. aureus dan khamir S. cerevisiae ditunjukkan dengan rata-rata laju
pertumbuhan yang lebih tinggi daripada pepton komersial, sedangkan aplikasi
pada bakteri E. coli kurang baik karena laju pertumbuhannya lebih rendah
daripada pepton komersial. Perbedaan hasil yang ditunjukan oleh bakteri dan
khamir disebabkan faktor perbedaan jenis mikroorganisme dan kandungan nutrisi
pada pepton ikan HTS busuk.

Saran
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memperbaiki proses aplikasi
pepton ikan HTS dalam kondisi busuk sebagai komponen media tumbuh
mikroorganisme. Analisis yang dapat dilakukan misalnya penentuan konsentrasi
pepton terbaik dalam pembuatan media pertumbuhan mikroorganisme, penentuan
jumlah nitrogen yang dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme serta aplikasi
pepton terhadap jenis mikroorganisme yang berbeda sehingga diperoleh informasi
yang lebih lengkap mengenai pemanfaatan pepton berbahan baku ikan HTS
busuk.

17

DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of
Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington,
Virginia (US): The Association of Official Analytical Chemist, Inc.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Data Ekspor Impor [Internet]. [diunduh 2014
Jan 29]. Tersedia pada: www.bps.go.id/exim-frame.php?kat=2.
Dawes EA. 1951. Observations on the growth of Escherichia coli in media
containing amino acids as the sole source of nitrogen. J. Bacteriol
63:647-660.
De Buyser ML, Dufour B, Maire M, Lafarge V. 2001. Implication of milk and
milk products in food-borne diseases in france and in different
industrialised countries. Int. J. Food Microbiol. 67:1-17.
Dufossé L, Broise DDL , Guerard F. 2001. Evaluation of nitrogenous substrates
such as peptones from fish: a new methode on gompertz modeling of
microbial growth. Current Microbiol. 42:32-38.
Farber L. 1965. Freshness test. Di dalam: Borgstonn G, editor. Fish as Food.
Vol. IV. New York (US): Academic Press.
Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.
Fitra RN. 2013. Produksi dan karakterisasi pepton ikan hasil tangkap sampingan
(HTS) multispesies busuk dengan pembanding pepton komersial
[skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Fujikawa H, Kai A, Morozumi S. 2004. A new logistic model for Escherichia coli
growth at constant and dynamic temperatures. Food Microbiol. 21:501509
Gladstone GP. 1937. The nutrition of Staphylococcus aureus; nitrogen
requirements. Brit. J. Exp. Path. 18:322-333.
Guillamon JM, Van Riel NAW, Giuseppin MLF, Verrips CT. 2001. The
glutamate synthase (GOGAT) of Saccharomyces cerevisiae plays an
important role in central nitrogen metabolism. FEMS Yeast Res. 1:169175
Hanscho M, Ruckerbauer DE, Chauhan N, Hofbauer HF, Krahulec S, Nidetzky B,
Kohlwein SD, Zanghellini J, Natter K. 2012. Nutritional requirements of
the BY series of Saccharomyces cerevisiae strains for optimum growth.
FEMS Yeast Res. 12(7):796-808.
Hjortmo S, Patring J, Andlid T. 2008. Growth rate and medium composition
strongly affect folate content in Saccharomyces cerevisiae. Int. J. of Food
Microbiol. 123:93-100.
Hrenovic J, Ivankovic T. 2009. Survival of Escherichia coli and Acinetobacter
junii at various concentrations of sodium chloride. EurAsia. J. BioSci.
3:144-151.

18

Martone CB, Borla OP, Sánchez JJ. 2005. Fishery by-product as a nutrient source
for bacteria and archaea growth media. Biores. Tech. 96:383-387.
Medvedova A, Valik L. 2012. Structure and Function of Food Engineering.
InTech [Internet]. [diunduh 2013 Okt 23]. Tersedia pada:
www.intechopen.com/download/pdf/38356.
Mohamad. 2012. Model pemanfaatan perikanan ekonomis rendah dalam
perencanaan dan pengembangan industri pepton (kasus: di PPS Nizam
Zachman – Jakarta) [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor (in press).
Nilsang S, Lertsiri S, Suphantharika M, Assavanig A. 2005. Optimization of
enzymatic hydrolysis of fish soluble concentrate by commercial
proteases. J. Food Eng. 70:571-578
Ovissipour M, Benjakul S, Safari R, Motamedzadegan A. 2010. Fish protein
hydrolysates production from yellowfin tuna Thunnus albacares head
using alcalase and protamex. Int. Aquat. Res. 2:87-95
Pelczar MJ, Chan ECS. 2008. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta (ID): UI Press.
Purbayanto A, Wisudo SH, Santoso J, Wahyu RI, Dinarwan, Zulkarnain,
Sarmintohadi, Nugraha AD, Souboer DA, Pramono B, Marpaung A,
Riyanto M. 2004. Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan dan
Pemanfaatan Hasil Tangkap Sampingan Pukat Udang di Laut Arafuru.
Jakarta (ID): Sucofindo dan DKP Provinsi Papua.
Purwoko T. 2009. Fisiologi Mikroba. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
Rahayu WP, Nurwitri CC. 2012. Mikrobiologi Pangan. Bogor (ID