Modeling of vulnerability level and zone of forest and land fires using GIS in Kapuas Tengah Sub Basin, Kalimantan Barat Province

PEMODELAN TINGKAT DAN ZONA KERAWANAN
KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN MENGGUNAKAN
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI SUB DAS KAPUAS
TENGAH, PROPINSI KALIMANTAN BARAT

IIN ARIANTI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemodelan Tingkat dan Zona
Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan Menggunakan Sistem Informasi
Geografis di Sub DAS Kapuas Tengah, Propinsi Kalimantan Barat karya saya

sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana
pun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2006
Iin Arianti
A252034011

ABSTRACT

IIN ARIANTI. Modeling of vulnerability Level and Zone of forest and land fires using
GIS in Kapuas Tengah Sub Basin, Kalimantan Barat Province. Under the direction of
NAIK SINUKABAN and I NENGAH SURATI JAYA.
In the last two decades, forest and land fire in Indonesia has become a serious
problem at national, regional and even international levels. The smoke of the fires gave
a negative impact on human activities and health and in turn caused economical and
social loss. In addition, the haze pollution has become a serious problem internationally.
This study was conducted to establish a vulnerability model of forest and land fire
in Kapuas Tengah watershed, Kalimantan Barat Province. The model was based on

scoring and weighting of bio-physical and human activity factors. Ranking method and
Composite Mapping Analysis (CMA) were used to establish the model.
The result showed that the accuracy of model by ranking method to determine the
vulnerability level and zone of forest and land fire was only 62.4% in Kapuas Tengah
watershed. Therefore the model was not good enough to represent actual condition in
the field. The accuracy of model using CMA method to determine the vulnerability
level and zone of forest and land fires was 84%. Therefore, CMA method could be used
to determine vulnerability level and zone of forest and land fire. Using the CMA
method showed that the Kapuas Tengah watershed consisted of 1,051,029.4 ha highly
vulnerable, 379,307.0 ha of moderate and 195,010.7 ha of low vulnerable. The
vulnerability map can be used for early warning system to prevent forest and land fires.
.

ABSTRAK

IIN ARIANTI. Pemodelan Tingkat dan Zona Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan
Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Sub DAS Kapuas Tengah, Propinsi
Kalimantan Barat. Dibimbing oleh NAIK SINUKABAN dan I NENGAH SURATI
JAYA.
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada dua dekade terakhir ini sudah

menjadi masalah yang serius baik di tingkat nasional, regional, bahkan tingkat
internasional. Hal ini diakibatkan oleh dampak negatif berupa asap kebakaran yang
mengganggu kesehatan masyarakat sehingga menyebabkan kerugian secara ekonomi
dan sosial. Selain itu kabut asap yang disebabkan oleh kebakaran juga telah melintasi
batas Negara sehingga menjadi masalah internasional yang sangat serius.
Studi ini dilakukan untuk membuat model kerawanan kebakaran hutan di DAS
Kapuas Tengah, Kalimantan Barat. Model dibentuk berdasarkan skor dan bobot dari
peubah faktor biofisik dan aktifitas manusia menggunakan metode ranking (TKB-MR)
dan analisis pemetaan komposit (Composite Mapping Analysis/CMA atau TKB-CMA).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa akurasi model yang menggunakan metode
ranking untuk menentukan tingkat dan zone kerawanan kebakaran hutan dan lahan di
sub DAS Kapuas Tengah hanya sebesar 62.4 %. Hal ini berarti model tersebut tidak
cukup sesuai untuk merepresentasikan kondisi aktual di lapangan. Adapun akurasi dari
Model kerawanan kebakaran hutan menggunakan metode CMA (TKB-CMA) memiliki
nilai sebesar 84%. Hal ini menunjukkan bahwa metoda CMA lebih baik dan dapat
digunakan untuk penentuan tingkat dan zona kerawanan kebakaran hutan dan lahan di
sub DAS Kapuas Tengah. Model menggunakan metode CMA dapat memetakan zona
kerawanan kebakaran hutan terbesar adalah area sangat rawan yaitu sebesar
1,051,029.44 ha atau 64% dari total wilayah studi, pada daerah rawan dapat dipetakan
sebesar 379,307.0 ha atau 23.3% dan pada daerah yang tidak rawan sebesar 19,5010.7

ha atau 12%. Peta kerawanan kebakaran hutan dapat digunakan sebagai sistem
peringatan dini untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan.

Judul Tesis

Nama

Pemodelan Tingkat dan Zona Kerawanan Kebakaran Hutan dan
Lahan menggunakan SIG di sub DAS Kapuas Tengah,
Propinsi Kalimantan Barat.
lin Arianti

NIM

A 252034011

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban. M.Sc

Ketua

Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya. M.Agr
Anggota

Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan DAS

Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban. M.Sc

Tanggal Lulus: 10 Agustus 2006

Dekan Sekolah Pascasarjana

UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada:
1 . Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban,M.Sc selaku pembimbing yang telah memberikan ilmu,
pengarahan serta wawasan dalam membimbing penulis.
2.


Dr. lr. I Nengah Surati Jaya, M.Agr selaku pembimbing yang telah sabar
meluangkan waktu untuk memberi ilmu, membimbing dan mengarahkan serta
memberi dukungan dan doa kepada penulis.

3.

Dr. lr. Kukuh Murtilaksono, MSi selaku dosen penguji luar komisi yang telah
memberikan masukan dan arahan dalam penyempurnaan tesis.

4.

Kedua orang tua H. A. Usman M. Noor dan Hj Djumiati , mertuaku Hj Siti Asiati,
guru Aribani, ustadz K. H. Mochjar Dahri dan saudara-saudaraku H. udy dan Donny
Usman yang tak pernah lelah memberi dukungan, semangat, dan doa.

5.

Suamiku tercinta Muhammad Rafani Ginting dan ke-tiga anakku: Nun, Lula dan
Zadu yang dengan setia dan sabar menungguku menyelesaikan studi dan selalu
memberikan dukungan serta doa.


6.

Bapak Uus Saeful M. atas ilmu dan kesabarannya dalam membantu penulis
mempelajari hal-hal teknis penginderaan jarak jauh dan Sistem lnformasi Geografis

7.

lbu Belinda, lbu Mela, lbu Leli (Badan Planologi Kehutanan) dan Bapak Israr serta
Ibu Mira (Gd. Manggala Wanabakti Departemen Kehutanan) atas bantuan dalam
penyediaan data dijital dan data titik panas.

8.

Staf Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Barat atas bantuan dalam penyediaan
data dan dokumentasi.

9.

lr. Endang A. Husaeni, MS dan Dr. lr. Lailan Syaufina, M.Sc yang telah meluangkan

waktu untuk wawancara sebagai ahli bidang kebakaran hutan dan lahan Fakultas
Kehutanan IPB

10. Mami Anita Zainali sekeluarga atas tempat tinggal, dukungan dan doa selama penulis
menyelesaikan studi di IPB Bogor.
11. Bapak Samsuri dan Anita sekeluarga, Bapak Hildanus , Ibu Nining Puspaningsih,
Bapak Rahmanta Ginting, Edwin Setia Purnama, Tanty Erningtyas, dan Mba Etta
yang telah membantu dan meluangkan waktu untuk berdiskusi.
12. Sahabat-sahabatku di program studi DAS Aidamel Takalapeta, Halim Akbar, Halus,
Yotje, Sunarti, Pak Irwan, Pak Trihono, Masyuri, Winta dan yang nama-namanya tak

dapat kusebutkan satu per satu yang telah bersama-sama dalam suka dan duka dalam
kebersamaan di fordas.
13. Rekan-rekan dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan,
dukungan, dan semangat yang diberikan kepada penulis

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Mempawah, Kabupaten Pontianak, Propinsi
Kalimantan Barat, pada tanggal 5 Januari 1970, sebagai anak kedua dari tiga
bersaudara, dari keluarga H. A. Usman M. Noor, SE (ayah) dan Hj. Djumiati

(ibu). Pada tanggal 4 September 1998, Penulis menikah dengan Muhammad
Rafani Ginting, MT. Penulis dikaruniai tiga orang anak yang terdiri dari dua anak
laki-laki yaitu Dzannun Fansyiari Austi Ginting (anak pertama) dan Zadu Taqwa
Austi Ginting (anak ketiga) dan seorang anak perempuan yaitu Zhilaluha Qur’ani
Austi (anak kedua).
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar, menengah dan atas di Pontianak
yaitu Madrasah Ibtidaiyah Negeri tahun 1982, SMPN 1 tahun 1985 dan SMAN 1
tahun 1988. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan sekolah pada Politeknik
Universitas Tanjungpura Pontianak dan lulus pada tahun 1991 dan melanjutkan
lagi pada Institut Teknologi Nasional Malang dan diploma Brawijaya Malang,
lulus pada tahun 1995. Pada tahun 1995 hingga awal 1996 penulis bekerja pada
perusahaan kontraktor di Jakarta. Pada November 1996 penulis diterima sebagai
pegawai negeri sipil pada Politeknik Negeri Pontianak hingga sekarang.

Prakata
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya semata maka penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan
judul "Pemodelan Tingkat dan Zona Kerawanan Kebakaran Hutan dan
Lahan Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Sub DAS Kapuas
Tengah, Propinsi Kalimantan Barat” dengan tujuan agar penulis dapat

menambah pengetahuan, wawasan, dan karya dalam bidang kebakaran hutan dan
lahan. Karya ini juga sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar magister
pada Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak
Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, Msc dan Bapak Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M. Agr
selaku Dosen Pembimbing, yang telah mencurahkan tenaga dan pikirannya dalam
memberikan arahan serta bimbingan baik sewaktu penyusunan tesis maupun
selama pelaksanaan proses belajar mengajar.
Dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa
penulisan penelitian ini masih terdapat kekurangan, oleh karena itu kritik dan
saran sangat penulis harapkan dari pembaca yang budiman demi kesempurnaan
dan perbaikan di masa yang akan datang, dan semoga karya ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.

Bogor, Agustus 2006

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR TABEL..........................................................................................................................

ii

DAFTAR GAMBAR....................................................................................................................

iv

DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................................................

v

PENDAHULUAN........................................................................................................................
Latar Belakang Permasalahan...........................................................................................
Kerangka Pemikiran...........................................................................................................
Tujuan Penelitian.................................................................................................................
Manfaat Penelitian..............................................................................................................

1
1
2
4
4

TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................................................
Kebakaran Hutan dan Lahan.............................................................................................
Faktor-faktor Pendukung Kebakaran...............................................................................
Peran Teknologi Penginderaan Jauh................................................................................
Sistem Informasi Geografis...............................................................................................

5
5
6
10
16

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN....................................................................
Letak dan Luas.....................................................................................................................
Komponen Fisik..................................................................................................................
Administrasi Pemerintahan................................................................................................
Kependudukan.....................................................................................................................
Pendidikan............................................................................................................................
Teknik Pembukaan Lahan.................................................................................................

21
21
21
26
30
30
30

METODE PENELITIAN.............................................................................................................
Lokasi dan waktu Penelitian..........................................................................................
Data dan Alat Penelitian...................................................................................................
Metode Penelitian............................................................................................................

31
31
31
32

HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................................................
Faktor Utama Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan..............................................
Model Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan.....................................................
Pemetaan Zona Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan........................................

46
46
48
62

KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................................................

66

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................

67

LAMPIRAN....................................................................................................................................

69

i

DAFTAR TABEL
Halaman

1. Karakteristik band Landsat TM.....................................................................................

11

2. Perkiraan luas dan jumlah curah hujan bulan Agustus 2002 di sub
DAS Kapuas Tengah berdasarkan interpolasi data curah hujan
tahun 2002 .....................................................................................

23

3. Luas areal tutupan lahan di sub DAS Kapuas Tengah...............................................

25

4. Luas areal daerah penggunaan lahan di sub DAS Kapuas Tengah........................

25

5. Nama dan luas Kabupaten di sub DAS Kapuas Tengah.........................................

25

6. Nama dan luas Kecamatan di sub DAS Kapuas Tengah..........................................

29

7. Jumlah dan kepadatan penduduk di sub DAS Kapuas Tengah................................

30

8. Kisaran nilai NDVI berdasarkan kerapatan vegetasi...................................................

33

9. Kisaran nilai NDVMI berdasarkan kelas kadar air vegetasi......................................

33

10. Indeks Pentingnya setiap peubah dalam mempengaruhi kebakaran hutan dan
lahan...................................................................................................................................

46

11. Skor pengaruh setiap peubah terhadap kebakaran hutan dan lahan ..........

49

12. Bobot pengaruh dari setiap peubah terhadap kebakaran hutan dan
lahan di sub DAS Kapuas Tengah berdasarkan penilaian ahli
(expert judgement) .........................................................................

50

13. Sebaran Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan Menggunakan Model TKB-MR

52

14. Skor Pengaruh pada Sebaran Nilai NDVI di Sub DAS Kapuas Tengah……........

53

15. Skor Pengaruh pada Sebaran Nilai NDVMI di Sub DAS Kapuas Tengah……....

53

16. Skor Pengaruh pada Sebaran Nilai Curah Hujan bulan Agustus di Sub DAS
Kapuas Tengah…….......................................................................................................

54

17. Skor Pengaruh pada Jenis Tutupan Lahan di Sub DAS Kapuas Tengah…..…....

55

18. Skor Pengaruh pada Jarak dari Sempadan Pemukiman Penduduk
di Sub DAS Kapuas Tengah...........................................................

56

19. Skor Pengaruh pada Jarak dari Sempadan Jalan di Sub DAS
Kapuas Tengah..................................................................................

56

20. Skor Pengaruh pada Jarak dari Sempadan Sungai di Sub DAS
Kapuas Tengah...................................................................................

56

21. Skor Pengaruh pada Tipe Penggunaan Lahan di Sub DAS Kapuas Tengah……..

57

22. Bobot pengaruh setiap peubah terhadap kebakaran hutan dan lahan
secara mikro dan makro pada model 1............................................

58

23. Sebaran Tingkat Kerawanan Kebakaran Menggunakan Model TKB I-CMA.....

59

ii

24. Bobot pengaruh setiap peubah terhadap kebakaran hutan dan lahan
secara mikro dan makro pada model 2............................................

60

25 Sebaran Tingkat Kerawanan Kebakaran Menggunakan Model TKB II-CMA....

61

26. Tingkat dan Luas Kerawanan berdasarkan Model TKB II-CMA..........................

62

27. Luas Tingkat Kerawanan berdasarkan batas Kecamatan...........................................

63

iii

DAFTAR GAMBAR
Halaman

1. Segitiga Api...........................................................................................................................

6

2. Kurva Spektral Ideal Pantulan dari Vegetasi yang Sehat................................................

12

3. Spektra pantulan dari sampel permukaan dari tanah mineral..............

13

4. Pengaruh klorofil dan sedimen pada pantulan air...............................

14

5. Peta Lokasi Penelitian (Sub DAS Kapuas Tengah) ............................

22

6. Pola curah hujan ...............................................................................

24

7. Peta Tutupan Lahan.............................................................................................................

27

8. Peta Penggunaan Lahan......................................................................................................

28

9. Peta NDVI............................................................................................................................

34

10. Peta NDVMI........................................................................................................................

35

11. Peta Sebaran Hotspot tahun 2002 .....................................................................................

37

12. Diagram Alir Tahapan Penentuan tingkat dan zone kabakaran hutan dan lahan........

45

13. Peta Zona Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan menggunakan CMA...............

65

iv

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

1.

Nilai Penting Setiap Peubah Dalam Mempengaruhi Kebakaran
Hutan Lahan Berdasarkan Penilaian Ahli......................................

69

Data Jumlah Curah Hujan Bulanan Tahun 2002 di Kab. Sanggau,
Ketapang dan Sintang...................................................................

70

Grafik Jumlah Curah Hujan Bulanan di Kab. Sanggau, Sintang
dan Ketapang................................................................................

71

Matriks korelasi antar peubah yang mempengaruhi kebakaran
hutan dan lahan.............................................................................

72

Nilai Skor Berdasarkan Formulasi Logis dari Sub Peubah Dalam
Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan di Sub DAS Kapuas
Tengah .........................................................................................

73

Bobot Pengaruh Setiap Peubah Terhadap Kebakaran Hutan dan
Lahan di Sub DAS Kapuas Tengah Berdasarkan Penilaian Ahli
(expert judgement)........................................................................

74

Konfusi Matrik
Model Kerawanan Menggunakan Metode
Ranking dengan Kepadatan Titik Panas (hotspot) .........................

74

Skor NDVI Berdasarkan Luas Wilayah dan Rasio Jumlah Titik
Panas Aktual dengan Jumlah Titik Panas Yang Diharapkan Ada ..

75

Skor NDVMI Berdasarkan Luas Wilayah dan Rasio Jumlah Titik
Panas Aktual Dengan Titik Panas yang Diharapkan Ada. .............

75

10. Grafik Hubungan Antara Curah Hujan dengan Jumlah Hotspot 11.
Peta Sebaran Hotspot tahun 2002 ..............................................................................

76

11. Skor Tutupan Lahan Berdasarkan Luas Wilayah dan Rasio Jumlah
Titik Panas Aktual dengan Titik Panas yang Diharapkan Ada.......

77

12. Skor Curah Hujan Berdasarkan Luas Wilayah dan Rasio antara
Jumlah Titik Panas Aktual dengan Jumlah Titik Panas yang
Diharapkan Ada. .............................................................................................

78

13. Skor Jarak dari Sempadan Pemukiman Penduduk Berdasarkan
Luas Wilayah dan Rasio Jumlah Titik Panas Aktual dengan
Jumlah Titik Panas yang Diharapkan Ada.....................................

79

14. Skor jarak dari sempadan jalan berdasarkan luas wilayah dan rasio
jumlah titik panas aktual dengan jumlah titik panas yang
diharapkan ada .............................................................................

79

15. Skor Jarak dari Sempadan Sungai Berdasarkan Luas Wilayah dan
Rasio Jumlah Titik Panas Aktual dengan Jumlah Titik Panas
yang Diharapkan Ada. ..................................................................

80

2.
3.
4.
5.

6.

7.
8.
9.

16. Skor Tipe Penggunaan Lahan berdasarkan luas berdasarkan luas

v

wilayah dan rasio jumlah titik panas aktual dengan jumlah titik
panas yang diharapkan ada ...........................................................

80

17. Bobot mikro pengaruh aktifitas manusia dan alam model 1
kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan. .....................................

81

18. Bobot makro pengaruh aktifitas manusia dan biofisik model 1
berdasarkan rerata rasio perbandingan Jumlah titik panas aktual
dengan jumlah titik panas yang diharapkan ada. ...........................

81

19. Bobot Mikro Pengaruh Aktifitas Manusia dan Biofisik model 2. ..

82

20. Bobot Mikro Pengaruh Aktifitas Manusia dan Biofisik model 2. ..

82

21. Konfusi Matrik Model Kerawanan Menggunakan Metode CMA
(TKB I-CMA) dengan Kepadatan Titik Panas (hotspot)................

83

22. Konfusi Matrik Model Kerawanan Menggunakan Metode CMA
(TKB II-CMA) dengan Kepadatan Titik Panas (hotspot). .............

83

vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang Permasalahan
Kalimantan adalah pulau yang memiliki hutan terbesar di Indonesia yaitu
92.4 juta ha atau 85% dari luas hutan di Indonesia. Luas ini telah mengalami
kerusakan sebesar 18.7 juta ha dalam kurun waktu 15 tahun yaitu tahun 1 983 ∼ 1
998 (Dephut, 1998). Salah satu penyebab kerusakan hutan ini adalah kebakaran.
Kebakaran tersebut telah menimbulkan kerusakan ekologis, ekonomi dan sosial
pada tingkat regional dan asap tebal yang ditimbulkan dari peristiwa kebakaran
juga dirasakan oleh negara tetangga seperti Malaysia, Brunai dan Singapura.
Selain Kalimantan Timur yang telah mengalami kerusakan hebat sebesar 3.6
juta hektar akibat kebakaran yang terjadi pada tahun 1983 di Bukit Soeharto,
kebakaran hebat juga terjadi di Kalimantan Barat pada bulan Agustus tahun 1 997
yang merusak sekitar 18 ribu hektar hutan. Bila dikaitkan dengan pengamatan titik
panas (hotspot) dalam 5 tahun terakhir (2 000 ∼ 2 004), Kalimantan Barat adalah
wilayah yang memiliki kepadatan titik panas yang tinggi dan cenderung
meningkat intensitasnya setiap tahun. Tahun 2 000 terdeteksi titik panas sebanyak
2 589 titik meningkat menjadi 4 989 titik pada tahun 2 001 dan 7 061 titik pada
tahun 2 002, 6 322 titik di tahun 2 003 dan 7 000 titik di tahun 2 004. Sebaran
jumlah titik panas tersebut umumnya terjadi pada bulan Agustus. Kondisi yang
hampir sama juga terjadi pada daerah sub DAS Kapuas Tengah yang mengalami
peningkatan jumlah titik panas setiap tahun yaitu dari 495 titik pada tahun 2000
hingga 1 760 titik pada tahun 2 002 dengan kejadian tertinggi pada bulan Agustus.
Hal ini menunjukkan bahwa kebakaran tersebut terjadi pada bulan-bulan kering
setiap tahunnya. Pada waktu tersebut, aktivitas manusia cenderung tinggi sehingga
dapat menyebabkan kebakaran hutan dan lahan.
Penyebab kebakaran hutan dan lahan dipengaruhi oleh faktor biofisik dan
faktor aktifitas manusia. Meskipun hingga saat ini informasi tentang seberapa
besar pengaruh faktor biofisik dan faktor aktifitas manusia yang dapat
menyebabkan kebakaran hutan dan lahan di sub DAS Kapuas Tengah belum
diketahui namun menurut Suratmo (2003) penyebab utama kebakaran hutan dan
lahan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatra dipengaruhi oleh faktor manusia

1

baik dikarenakan kelalaian maupun kesengajaan (pembukaan lahan/slash and
burning) dan kecil kemungkinannya oleh faktor alamiah seperti penomena iklim,
areal gambut, areal batubara, petir, gesekan kayu dan benturan batu. Berdasarkan
hal itu, diperlukan solusi yang tepat dan upaya yang serius dalam penanganan
masalah kebakaran ini perlu dicari. Solusi yang telah diambil selama ini lebih
difokuskan pada teknis memadamkan kebakaran hutan, sehingga tidak efektif
untuk usaha pencegahan.
Upaya pencegahan dapat dilakukan melalui pemantauan wilayah rawan
secara kontinyu. Salah satu upaya untuk memudahkan pemantauan resiko
kebakaran hutan dan lahan pada suatu daerah adalah melalui penyediaan
informasi tingkat bahaya kebakaran.
Informasi tingkat dan zona kebakaran hutan dan lahan dapat diwujudkan
dalam bentuk peta berwarna. Setiap warna melambangkan penilaian secara
kualitatif yang ditentukan berdasarkan tingkat resiko rendah, tinggi dan sangat
tinggi. Tersedianya informasi tentang tingkat dan zona kerawanan kebakaran
hutan dan lahan akan memberikan informasi penting sebagai sistem peringatan
dini (early warning system), melalui informasi ini maka zona yang memiliki
tingkat kerawanan tinggi (sangat tinggi) harus diprioritaskan untuk diberi tindakan
pencegahan.
Pemetaan tingkat dan zona kerawanan kebakaran hutan dan lahan ini dapat
dibangun menggunakan teknologi SIG (Sistem Informasi Geografis) dan
penginderaan Jauh (remote sensing). Teknik SIG ini mampu menyelesaikan
pekerjaan-pekerjaan spasial secara cepat dan konsisten, sedangkan penginderaan
jauh mampu memberikan data yang up-to-date, handal dan akurat.
Kerangka Pemikiran
Kebakaran hutan dan lahan dapat terjadi bila terdapat bahan bakar, oksigen
dan sumber api. Bahan bakar berkaitan dengan kondisi biofisik yang terdapat di
suatu wilayah sedangkan sumber api berkaitan dengan aktifitas masyarakat dalam
penggunaan api untuk penyiapan lahan.

2

Peubah yang merupakan faktor biofisik yang mempengaruhi kebakaran
hutan dan lahan, antara lain adalah curah hujan, indeks kerapatan vegetasi
(NDVI), indeks kadar air vegetasi (wetness index), tutupan lahan (landcover) dan
peubah yang merupakan faktor aktifitas manusia menekankan pada perilaku
masyarakat disekitar hutan yang menggunakan api untuk penyiapan lahan
meliputi: jarak akses sungai, jalan menuju lokasi hutan dan jarak dari dari
pemukiman penduduk tersebut dari lokasi hutan serta daerah yang di gunakan
sebagai hutan tanaman industri, transmigrasi, perkebunan, HPH dan penggunaan
areal lainnya.
Peubah curah hujan mempengaruhi kerawanan kebakaran disuatu wilayah
karena semakin banyak jumlah curah hujan maka semakin tidak rawan dan
sebaliknya semakin sedikit jumlah curah hujan disuatu wilayah maka semakin
rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan.
Peubah indeks kerapatan vegetasi (NDVI) menunjukkan kerapatan dari
suatu vegetasi yang diketahui berdasarkan tingkat kehijauan vegetasi, semakin
hijau menunjukkan semakin rapat suatu vegetasi. Semakin rapat vegetasi maka
semakin cepat pemasokan oksigen untuk reaksi pembakaran maka pemindahan
panas berlangsung cepat sehingga mempengaruhi laju penjalaran api. Oleh sebab
itu maka semakin rapat vegetasi maka semakin rawan terhadap kebakaran hutan
dan lahan.
Peubah indeks kadar air vegetasi (NDVMI) menunjukkan kadar air dari
vegetasi. Semakin kecil kadar air vegetasi maka semakin mudah penyalaan api
sehingga menjadi rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan karena dan semakin
banyak kadar air vegetasi maka semakin tidak rawan.
Kerawanan kebakaran hutan dan lahan sangat di pengaruhi oleh jenis
tutupan lahan di suatu wilayah. Tutupan lahan yang bervegetasi dan terdapat
kontak ekologis yang besar antara manusia dan lingkungannya akan memiliki
kerawanan yang tinggi terhadap kebakaran hutan dan lahan. Semakin bervegetasi
suatu tutupan lahan dan semakin banyak aktifitas manusia dalam pemanfaatan
hutan dan lahan maka semakin rawan terhadap kebakaran.
Peubah tipe penggunaan lahan mempengaruhi kerawanan kebakaran hutan
dan lahan karena kebakaran hutan dan lahan biasanya terjadi akibat penggunaan

3

api dalam penyiapan lahan, maka semakin tinggi aktifitas masyarakat dalam
penyiapan lahan maka semakin rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan.
Jarak dari jaringan jalan, pemukiman penduduk mempengaruhi kerawanan
kebakaran hutan dan lahan karena berkaitan dengan aktifitas manusia di sekitar
hutan. Semakin jauh lokasi hutan terhadap pemukiman penduduk, jalan dan
sungai maka hutan semakin terhindar dari kebakaran.
Kombinasi secara keseluruhan peubah-peubah tersebut maka penentuan
tingkat dan zona kerawanan kebakaran di suatu wilayah dapat di prediksi.
Pembuatan model kerawanan tingkat dan zona kerawanan kebakaran hutan
dan lahan sebagai usaha pencegahan agar tidak terjadi lagi kabut asap yang dapat
merugikan kesehatan dan kerusakan hutan akibat kebakaran dapat teratasi.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah dan kerangka berfikir tersebut maka penelitian ini
bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi tingkat pengaruh dari setiap penyebab
kebakaran hutan dan lahan, (2) membangun model kerawanan kebakaran hutan
dan lahan, (3) memetakan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan di
wilayah studi.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tingkat dan
zona kerawanan kebakaran hutan kepada pemerintah daerah dan masyarakat
umum. Tersedianya informasi ini diharapkan kegiatan yang akan dilakukan pada
kawasan tersebut menjadi lebih terencana dan terkendali, terutama dalam upaya
pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

4

TINJAUAN PUSTAKA
Kebakaran Hutan dan Lahan
Kebakaran hutan didefinisikan sebagai suatu keadaan hutan yang dilanda
api sehingga mengakibatkan hutan menjadi rusak. Kebakaran hutan dan lahan
dapat menimbulkan berbagai kerugian baik ekonomis, ekologis maupun sosial
(Sartiani, 2001). Secara ekonomis, kebakaran hutan dapat menyebabkan
musnahnya aset-aset (sumberdaya alam) yang bernilai tinggi seperti musnahnya
kayu, matinya satwa dan terbukanya sumber-sumber hasil hutan lainnya seperti
rotan, biji-bijian, buah-buahan maupun getah. Secara ekologis, kebakaran hutan
membawa dampak kerusakan lingkungan seperti hilangnya fungsi hutan sebagai
penghasil oksigen dan penyerap karbon, lepasnya karbon ke udara, pencemaran
udara dan hilangnya fungsi hutan sebagai pengatur tata air. Dari sudut pandang
sosial, asap dari kebakaran hutan dapat mengganggu aktifitas masyarakat
contohnya terganggunya transportasi udara dan laut dan darat, liburnya aktifitas
sekolah dan kantor serta terganggunya kesehatan masyarakat.
Brown dan Davis (1973) kebakaran hutan adalah pembakaran yang tidak
tertahan dan terjadi dengan tidak sengaja atau tidak direncanakan pada areal
tertentu yang menyebar secara bebas serta mengkonsumsi bahan bakar yang
tersedia di hutan seperti serasah, rumput, cabang kayu yang sudah mati, patahan
kayu, tunggul, daun-daunan dan pohon-pohon yang masih hidup. Selanjutnya
Brown dan Davis (1973) melukiskan suatu konsep kebakaran hutan sebagai
segitiga api yang dikenal sebagai The fire Triangle. Sisi-sisi segitiga api tersebut
adalah bahan bakar, oksigen dan sumber panas atau api (Gambar 1). Kebakaran
akan terjadi jika terdapat ketiga komponen tersebut. Jika salah satu atau lebih dari
ketiga komponen pada sisi-sisi segitiga api tersebut tidak ada maka kebakaran
tidak akan pernah terjadi. Ketiga komponen yang mempengaruhi kebakaran hutan
sangat tidak mungkin untuk mengatur jumlah oksigen karena oksigen selalu
tersedia di alam namun bahan bakar dan sumber api dapat dikontrol, sehingga
upaya pencegahan dapat dilakukan.

5

Gambar 1. Segitiga api
Segitiga api menggambarkan proses hubungan reaksi berantai dari
pembakaran. Ketersediaan dari tiga komponen tersebut akan menyebabkan
terjadinya kebakaran. Berdasarkan dari pemahaman ini maka usaha pencegahan
dapat dilakukan dengan cara membatasi ketersediaan dari komponen segitiga api
yaitu komponen bahan bakar dan sumber api.
Adapun proses pembakaran yang terjadi pada kebakaran hutan merupakan
kebalikan dari proses fotosintesis. Fotosintesis merupakan proses kimia yang
terdiri dari karbondioksida, air dan energi panas matahari sehingga menghasilkan
oksigen dan senyawa lainnya. Pada proses fotosintesis, pembakaran energi akan
menghasilkan panas.
Perbandingan kedua proses dituliskan dalam formula umum, yaitu:
Fotosintesis:
CO2 + H2O

Energi matahari

(C6H10O6)n + O2

Pembakaran:
(C6H10O6)n + O2 + temperatur

CO2 + H2O + panas.

Faktor-Faktor Pendukung Kebakaran
Para ahli yang telah meneliti faktor-faktor pendukung kebakaran antara lain
Clar dan Chattan (1954), Brown dan Davis (1973), Suratmo (1985), Sahardjo
(2003), namun kesemuanya mengacu kepada komponen–komponen pada segitiga

6

api. Adapun komponen-komponan yang mempengaruhi kebakaran adalah sebagai
berikut:
Bahan Bakar
Suratmo (1985), Brown dan Davis (1973) memaparkan karakteristik bahan
bakar sebagai berikut:
Ukuran Bahan Bakar. Ukuran bahan bakar dibedakan kedalam tiga macam,
yaitu bahan bakar halus, bahan bakar sedang dan bahan bakar kasar. Bahan bakar
halus mudah mengering tetapi mudah pula menyerap air. Apabila terbakar akan
cepat meluas, namun cepat pula padamnya. Bahan bakar halus ini terdiri dari
daun, serasah, rumput dan ranting. Bahan bakar sedang meliputi tumbuhan bawah,
savana dan padang alang-alang. Sedangkan bahan bakar kasar memiliki kadar air
yang lebih stabil, tidak cepat mengering sehingga sulit terbakar. Apabila terbakar
akan memberikan penyalaan yang lebih lama. Bahan bakar kasar ini meliputi
pohon, batang kayu dan pohon-pohon mati yang belum tumbang.
Susunan Bahan Bakar. Susunan bahan bakar terbagi kedalam susunan vertikal
dan susunan horisontal. Susunan vertikal merupakan bahan bakar yang bertingkat
dan berkesinambungan ke arah atas. Susunan ini memungkinkan api mencapai
tajuk dalam waktu singkat. Sedangkan susunan horisontal merupakan bahan bakar
yang menyebar dan berkesinambungan secara mendatar di lantai hutan yang
mempengaruhi penjalaran kebakaran.
Jumlah Bahan Bakar. Jumlah bahan bakar menunjukkan banyaknya bahan bakar
yang tersedia dalam hutan. Yaitu dapat berupa luasan hamparan bahan bakar,
volume bahan bakar dan berat bahan bakar. Bahan bakar dalam jumlah besar
menjadikan api lebih besar dan temperatur tinggi, hal ini menyebabkan kebakaran
sulit dipadamkan.
Jenis Bahan Bakar. Jenis bahan bakar digolongkan kedalam pohon, semak dan
anakan, tumbuhan penutup tanah (tumbuhan setahun dan tahunan), serasah dan
lapisan humus yang belum hancur, cabang-cabang pohon yang mati dan pohon
yang masih berdiri di hutan dan sisa penebangan.

7

Kondisi Bahan Bakar. Kondisi bahan bakar dapat dilihat dari kadar air bahan
bakar dan jumlah bahan bakar di hutan. Meskipun bahan bakar tertumpuk banyak,
api tidak mudah menyala jika kadar airnya tinggi. Kelembaban < 30% mendukung
terjadinya kebakaran.
Kerapatan Bahan Bakar. Kerapatan bahan bakar berhubungan dengan jarak
antar partikel dalam bahan bakar. Kerapatan berpengaruh pada persediaan udara
dan pemindahan panas. Kerapatan partikel tinggi menjadikan tumpukan log kayu
terbakar dengan baik dalam waktu lama. Kebakaran akan berhenti jika kerapatan
partikelnya rendah.
Lokasi Bahan Bakar. Menurut Brown dan Davis (1973), bahan bakar dapat
diklasifikasikan menurut lokasinya, yaitu: (1) Bahan bakar bawah (ground fuels),
yaitu terdiri dari serasah yang berada di bawah permukaan tanah, akar pohon,
bahan organik yang membusuk, gambut dan batu bara; (2) Bahan bakar
permukaan (surface fuels), yaitu bahan bakar yang berada di lantai hutan, antara
lain serasah, log sisa tebangan, tunggak pohon dan tumbuhan bawah lainnya; (3)
Bahan bakar atas (aerial fuels), yaitu bahan bakar yang berada diantara tajuk
tumbuhan tingkat bawah dan tajuk tumbuhan tingkat tinggi, seperti cabang pohon,
daun dan semak serta pohon mati yang masih berdiri.
Iklim Mikro dalam Hutan
Iklim akan mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan karena temperatur
udara, kelembaban relatif, kecepatan angin dan curah hujan serta kelembaban
vegetasi (wetness) dapat mempengaruhi kondisi bahan bakar, bahan bakar yang
kering akan mudah terbakar (Suratmo, 2003).
Topografi
Kemiringan lereng dan ketinggian lokasi di atas permukaan laut
menentukan cepat lambatnya api bereaksi, yaitu berpengaruh pada penjalaran dan
kecepatan pembakaran. Pada lereng yang

curam, api membakar dan

menghabiskan dengan cepat tumbuhan yang dilaluinya dan api akan menjalar
lebih cepat ke arah menaiki lereng. Sebaliknya api yang menjalar ke bawah lereng

8

akan padam jika melalui daerah lembab yang memiliki kadar air tinggi (Clar dan
Chatten, 1954). Brown dan Davis (1973) juga mengatakan bahwa kemiringan
berperan dalam penyebaran api.
Waktu Harian.
Syaufina (1988) menyatakan bahwa hampir setiap kasus kebakaran nasional
terjadi pada musim kemarau. Berdasarkan waktu dalam selang bulanan adalah
pada bulan Agustus dan September. Sedangkan berdasarkan selang waktu dalam
sehari, saat yang paling peka terhadap kebakaran hutan adalah antara jam 12.00 ∼
15.00 dan antara jam 09.00 ∼ 12.00. Umumnya, kebakaran hutan terjadi pada
bulan kering dengan curah hujan < 60 mm, temperatur udara berkisar 26 ∼ 300C
dengan frekuensi terbesar pada suhu 280C dan kelembaban relatif berkisar antara
60 ∼ 70%.
Ada 3 (tiga) macam bentuk kebakaran hutan berdasarkan model
penyebaran dan karakteristik dari masing-masing kebakaran (Sahardjo, 2003),
yaitu:
Kebakaran Tajuk (crown fire)
Api membakar tajuk dan pohon belukar. Api berawal dari serasah
(kebakaran permukaan) yang kemudian merambat ke tajuk pohon. Pohon akan
mati terbakar.
Kebakaran Permukaan (surface fire)
Kebakaran terjadi pada permukaan tanah dan hanya membakar serasah,
semak-semak dan anakan pohon. Kebakaran ini dapat menjalar pada vegetasi
yang lebih tinggi hingga mencapai tajuk pohon.
Kebakaran Bawah (ground fire)
Api membakar serasah, kemudian api membakar bahan organik pada lapisan
di bawahnya. Biasanya terjadi pada hutan bertanah gambut dan yang mengandung
batu bara. Kebakaran ini sangat sulit dideteksi. Bara menjalar perlahan beberapa
kaki di bawah permukaan tanah, tanpa ada nyala, hanya sedikit asap. Kebakaran

9

ini akan diikuti oleh kebakaran permukaan jika kelembaban bahan bakar
permukaan memungkinkan.
Peran Teknologi Penginderaan Jauh
NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration)
Saat ini satelit NOAA AVHRR telah dijadikan sebagai alat untuk
mendeteksi kejadian kebakaran hutan. Pendugaan bahaya kebakaran yang terjadi
di hutan dan lahan dapat dilakukan dengan memanfaatkan band-band thermal dari
citra NOAA untuk mendeteksi jumlah titik panas.
Data satelit NOAA AVHRR merupakan sarana potensial untuk mendeteksi
dan memantau terjadinya kebakaran hutan dan lahan karena selain memiliki
sensor yang peka terhadap panas obyek, juga dapat meliput daerah yang sangat
luas (2 600 x 1 500 km2), dengan frekwensi perekaman mencapai dua kali dalam
sehari (Dephut, 1989).
Satelit NOAA dibuat dan diluncurkan oleh NASA (National Aeronautics
And Space Administration – USA) yang bertujuan untuk pemantauan iklim dan
cuaca serta untuk pendeteksian kebakaran yang terjadi. Satelit yang beroperasi
(NOAA 12, 16 dan 17) mengunjungi tempat yang sama sebanyak dua kali dalam
sehari yaitu siang dan malam. Dengan demikian data yang dihasilkan cukup
aktual (near real time) dan sangat bermanfaat bagi tim pemadam kebakaran untuk
mengetahui informasi lokasi kebakaran sehingga tindakan pemadaman dapat
dilakukan dengan tepat dan segera (Solichin, 2004).
Dalam kenyataannya tidak semua hotspot diindikasikan sebagai titik api
kebakaran. Istilah hotspot lebih tepat disebut sebagai titik panas (Anderson,
Imanda dan Muhnandar, 1999). Meskipun secara teoritis resolusi spasial citra
NOAA adalah 1 km x 1 km atau luas 1 pixel NOAA setara dengan 100 ha, yang
berarti bahwa 1 titik panas (hotspot) akan mewakili luasan 100 ha. Akan tetapi
mengingat yang di tangkap sensor adalah suhu rata-rata titik dan daerah sekitarnya
maka meskipun luasan yang terbakar relatif kecil dari resolusi spasial namun bila
suhunya telah melewati ambang batas piksel kebakaran (310oK ∼ 320oK) akan
terdeteksi sebagai satu titik panas.

10

Jadi pendeteksian satu titik panas oleh NOAA tergantung pada suhu yang
tinggi dari suhu sekitarnya. Contohnya pada fase bara pembakaran (suhu sekitar
400oK ∼ 500oK) luasan yang hanya 1/1 000 dari ukuran piksel atau setara dengan
luasan 400 m2 dapat terdeteksi sebagai titik panas. Sedangkan pada fase api
pembakaran (suhu sekitar 800 ∼ 1 200oK), kebakaran yang luasnya hanya 1/10
000 dari ukuran piksel yaitu sekitar 11 m x 11 m dapat terdeteksi sebagai satu
hotspot.
Hotspot juga merupakan indikasi awal terjadinya kebakaran hutan dan lahan
dapat diketahui melalui titik panas yang terdeteksi di suatu lokasi tertentu pada
saat tertentu dengan memanfaatkan satelit NOAA yang memiliki teknologi
AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer).
Secara sederhana satelit NOAA akan mendeteksi suatu lokasi yang memiliki
suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu sekitarnya. Suhu yang
terdeteksi berkisar antara 37°C untuk siang hari dan 42°C untuk malam hari. Titik
panas tersebut akan diproyeksikan menjadi suatu pixel pada sebuah peta yang juga
menunjukkan koordinat yang sama. Titik panas baru dikatakan sebagai lokasi
kebakaran bila dideteksi pada koordinat yang sama selama 3 hari.
Jumlah titik panas bervariasi dari setiap pengukuran tergantung pada waktu
pengukuran pada hari itu (aktifitas api berkurang pada malam hari dan tertinggi
pada sore hari), cuaca (sensor tidak dapat menembus awan dan asap) dan
organisasi apa yang memberikan data tersebut (tidak terdapat standar ambang
batas temperatur/suhu untuk mendefinisikan titik panas menjelaskan bahwa data
hotspot dapat dikelola dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (Jaya,
2002).
Landsat ETM+
Dalam beberapa hal, Landsat-7 ETM+ memiliki karakteristik yang lebih
baik dibandingkan citra NOAA AVHRR. Selain memiliki resolusi spasial yang
lebih bagus (30 m x 30 m), TM juga memiliki resolusi spektral yang lebih baik
yang mencakup semua gelombang pendek (visible light) dan infra merah (NIR,
MIR, dan TIR), selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.

11

Tabel 1. Karakteristik band Landsat 7ETM+
Band

Panjang Gelombang
(µm)

1

0.45 ~ 0.52

2

0.52 ~ 0.60

3

0.63 ~ 0.69

4

0.76 ~ 0.90

5

1.55 ~ 1.75

6

10.4 ~ 12.5

7

2.08 ~ 2.35

Karakteristik
Penetrasi tubuh air, pemetaan pantai, pembeda
vegetasi-tanah dan analisis penggunaan lahan.
Mengukur puncak pantulan hijau vegetasi untuk
membedakan vegetasi dan penilaian kesuburan
Untuk penyerapan klorofil, memperkuat kontras antara
kenampakan vegetasi dan bukan vegetasi dan
membantu dalam penentuan spesies tumbuhan
Berguna untuk menentukan tipe vegetasi, dan biomassa
vegetasi, dan memperkuat kontras anara tanaman tanah
dan tubuh air dan pembeda kelembaban tanah
Untuk penentuan jenis tanaman, kandungan air vegetasi
dan kondisi kelembaban tanah.
Sensitif terhadap gangguan vegetasi, pemisahan
kelembaban tanah dan untuk klasifikasi vegetasi serta
untuk gejala lain yang berhubungan dengan panas.
Sangat berguna sebagai pembeda tipe mineral dan
batuan.

Sumber: Lillesand-Kiefer, 1990

Aplikasi citra satelit banyak digunakan di bidang kehutanan khususnya
yang berhubungan dengan sifat-sifat vegetasi. Karakteristik pantulan dari vegetasi
sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat daun, termasuk orientasi dan struktur dari
kanopi daun. Proporsi dari radiasi yang dipantulkan pada bagian spektrum yang
berbeda tergantung pada pigmentasi daun, ketebalan daun dan kompisisi (struktur
sel) dan kandungan air pada jaringan daun (Parkinson, 1997) (Gambar 2).

Gambar 2. Kurva Spektral Ideal Pantulan dari Vegetasi yang Sehat

12

Pada bagian spektrum tampak, pantulan dari sinar biru dan merah relatif
rendah karena bagian tersebut diserap oleh tanaman (terutama oleh klorofil) untuk
fotosintesis dan vegetasi lebih banyak memantulkan sinar hijau (Gambar 2).
Pantulan paling tinggi pada inframerah dekat tetapi jumlahnya tergantung pada
perkembangan daun dan struktur sel daun. Pada infra merah tengah, pantulan
terutama ditentukan oleh air bebas pada jaringan daun, semakin banyak air bebas
maka akan memberikan lebih sedikit pantulan. Daun yang mengering
menghasilkan pantulan lebih tinggi pada inframerah tengah, sedangkan pantulan
inframerah dekat menurun.
Nilai pantulan permukaan dari tanah kosong (bare soil) tergantung pada
banyak faktor, sehingga sulit memberikan satu kurva umum pantulan tanah.
Namun, faktor utama yang mempengaruhi pantulan tanah adalah warna tanah,
kadar kelembaban, adanya kandungan karbonat dan oksida besi (Gambar 3).

Keterangan: (a) di dominasi bahan organik,
(b) sedikit berubah,
(c) berubah kadar besinya,
(d) dipengaruhi bahan organik,
(e) didominasi besi.
Gambar 3 Spektra pantulan dari sampel permukaan dari tanah mineral
Jika dibandingkan vegetasi dan tanah, maka air memiliki pantulan rendah.
Vegetasi dapat memantulkan hingga 50%, tanah hingga 20 ~ 30% sedangkan air
memantulkan maksimal 10% dari radiasi yang datang (Gambar 3). Air
memantulkan energi elektromagnetik pada cahaya tampak sampai infra merah
dekat, sedangkan di atas 1 200 nm semua energi diserap. Pantulan tertinggi

13

diberikan oleh air turbid (berlumpur) dan air yang mengandung tanaman dengan
puncak pantulan klorofil pada panjang gelombang hijau. (Gambar 4).

Keterangan: (a) air lautan
(b) air turbid
(c) air dengan klorofil
Sumber: ITTO, 1999
Gambar 4. Reflektansi permukaan air pada berbagai kondisi
Prinsip yang harus diperhatikan dalam interpretasi citra secara manual
(ITTO, 1999) adalah spektral reflektan vegetasi. Jenis dan jumlah energi radiasi
yang dipantulkan atau diteruskan oleh vegetasi tergantung pada 4 faktor utama
yaitu: (1) Kualitas dan kuantitas radiasi yang dipengaruhi waktu dan kandungan
(polusi) atmosfir, (2) Keadaan vegetasi yang dipengaruhi perbedaan jenis pohon,
tempat tumbuh, musim, hama dan penyakit tanaman, (3) Fisiologi tanaman, (4)
Posisi daun-daun pada tajuknya.
Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Teknik yang digunakan untuk
menganalisis perkembangan vegetasi didasarkan pada formula indeks vegetasi
(vegetation index) yang merasiokan spektrum NIR (near infra red) dengan R (red)
dengan pembagian yang sederhana hingga melibatkan rumus yang kompleks
(Kristijono, 1999). Selanjutnya dikatakan bahwa teknik yang paling populer
dengan formula yang relatif sederhana adalah NDVI. Formula aritmatis NDVI
adalah:
NDVI = (NIR – Red)/(NIR + Red)

14

Angka yang didapat berkisar antara -1 (non vegetasi) hingga +1 (vegetasi
dengan tingkat kehijauan tertinggi). Karena spektrum NIR merupakan wilayah
berkarakteristik high reflectance dan spectrum Red adalah wilayah maksimum
absorbsi (minimum reflectance) dedaunan, maka nilai NVDI vegetasi akan selalu
positif dan berbanding langsung dengan biomasa daun per satuan luas. Oleh
Karena itu, NDVI lazim digunakan sebagai indikator yang akurat bagi tingkat
penutupan vegetasi (Soewarso 2003).
Areal bervegetasi menghasilkan nilai yang tinggi karena pantulan nearinfrared yang tinggi dan pantulan visible yang rendah. Sebaliknya, air, awan dan
salju memiliki pantulan visible yang lebih lebar dibandingkan dengan pantulan
near-infrared. Sehingga, feature tersebut menghasilkan nilai indeks negatif. Areal
batuan dan bare soil (lahan kosong) memiliki pantulan yang mirip pada kedua
band sehingga menghasilkan indeks vegetasi yang mendekati nol.
Biasanya nilai indeks vegetasi kurang dari -0.5 sampai -0.3 merupakan non
vegetasi (air), nilai indeks lebih dari -0.3 hingga + 0.1 merupakan tanah gersang
dan nilai > 0.2 hingga + 1 menunjukkan tingkat kehijauan vegetasi yang lebih
besar, yang terbagi atas kelas kerapatan vegetasi rendah hingga tinggi. Nilai
indeks di luar jangkauan ini lebih tidak sensitif terhadap perubahan faktor-faktor
dalam lingkungan (Uni Eropa,1999)
Vegetasi hijau yang sehat merefleksikan sebagian besar near infrared dan
nilai sinar merah (red) cenderung menurun seiring dengan bertambahnya vegetasi
(Parkinson, 1997). Semakin tinggi nilai NDVI berarti vegetasi semakin banyak
atau rapat.
Normalized Difference Vegetation Moisture Index (NDVMI). Banyak istilah
yang dipakai untuk mendefinisikan indeks kadar air vegetasi. Namun semuanya
menunjukkan bahwa formulasi yang dibentuk oleh proses pengurangan dan
pertambahan serta pembagian saluran (band) yang memiliki panjang gelombang
yang berbeda akan menghasilkan warna yang berbeda pula. Adapun formulasi
untuk indeks kadar air vegetasi adalah sebagai berikut:

NDMSI = NDVMI =

NIR − MIR
NIR + MIR

15

Nilai indeks kadar air vegetasi ini berkisar -1 hingga 1 dengan asumsi
semakin tinggi nilainya atau semakin mengarah pada nilai plus maka semakin
tinggi kadar air vegetasi (Jaya, 2005).
Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah kumpulan terorganisir yang terdiri
dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personil yang
didesain

untuk

memperoleh,

menyimpan

memperbaiki,

memanipulasi,

menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi
(ESRI, 1990). Lebih lanjut Aronoff (1989) juga mengatakan SIG sebagai sebuah
sistem komputerisasi yang memfasilitasi fase entri data, analisis data dan
presentasi data yang terutama berkenaan dengan data yang memiliki georeferensi.
Burrough (1986) mengatakan bahwa SIG mempunyai tiga komponen penting,
yaitu perangkat keras komputer, sekumpulan modul aplikasi perangkat lunak, dan
konteks organisasi yang baik. Perangkat lunak untuk sistem informasi geografis
terdiri dari lima modul teknis dasar yang disebut subsistem,yaitu: (1) input dan
verifika