Spatial Hotspots Clustering of Forest and Land Fires using DBSCAN and ST-DBSCAN.

(1)

PENGGEROMBOLAN SPASIAL HOTSPOT KEBAKARAN

HUTAN DAN LAHAN MENGGUNAKAN

DBSCAN DAN ST-DBSCAN

UTSRI YUSTINA PURWANTO

SEKOLAH PASCARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Penggerombolan Spasial Hotspot Kebakaran Hutan dan Lahan Menggunakan DBSCAN dan ST-DBSCAN adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2012

Utsri Yustina Purwanto NIM G651100101


(3)

UTSRI YUSTINA PURWANTO. Spatial Hotspots Clustering of Forest and Land Fires using DBSCAN and ST-DBSCAN. Under direction of BABA BARUS, and HARI AGUNG ADRIANTO.

Forest and land fire has become international important environmental and economic issue for the last several years. For Indonesia and some neighboring countries, it also produces huge amount of smog and air pollution causing economic, environmental and health problems. The objective of this research is to find hotspot clustering pattern using DBSCAN dan ST-DBSCAN. There is a possibility that the hotspot is not spread randomly but naturally gather in some area to form clusters based on proximity of distance and time. DBSCAN and ST-DBSCAN are density based clustering in spatial data mining. The advantage of these methods is the clusters form can be more flexible, especially when applied on a large data size. However, DBSCAN cannot differentiate two adjacent clusters with different density while ST-DBSCAN can. As the results, DBSCAN clustering detected 38 hotspot clusters with 6 noises while ST-DBSCAN detected more. Since ST-DBSCAN is an extension of DBSCAN algorithm, ST-DBSCAN can process both of spatial and non-spatial data by using Eps 1 for spatials attributes and Eps 2 for non-spatial attributes, such as time. With this algoritm, there are 147 hotspot clusters and 149 noises. The biggest cluster are located in Musi Rawas, Muara Enim, Musi Banyuasin, dan Ogan Komering Ilir. Furthermore, this research is expected to identify hotspot clustering patterns and behaviors and to produce useful information to evaluate and mitigate forest and land fires hazards and also generate it’s prototype.

Keywords : Spatial Data mining, Forest and Land Fires, Clustering, DBSCAN, ST-DBSCAN


(4)

(5)

UTSRI YUSTINA PURWANTO. Penggerombolan Spasial Hotspot Kebakaran Hutan Dan Lahan Menggunakan DBSCAN dan ST-DBSCAN. Dibimbing oleh BABA BARUS, and HARI AGUNG ADRIANTO.

Saat ini kebakaran hutan dan lahan menjadi isu lingkungan dan ekonomi yang menjadi perhatian internasional. Kebakaran hutan dan lahan memiliki dampak yang besar bagi kelangsungan ekosistem lingkungan. Setiap tahunnya berjuta hektar hutan dan lahan terbakar di seluruh penjuru dunia, tidak terkecuali Indonesia. Kondisi alam di Indonesia yang beriklim tropis, pengaruh pemanasan global serta tindakan manusia yang tidak menghargai alam merupakan penyebab kebakaran. Untuk itu diperlukan suatu cara mendeteksi terjadinya kebakaran untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan serta arahan kebijakan dalam mengatasinya.

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah hotspot dari satelit penginderaan jauh yang mendeteksi adanya variasi panas dengan area studi di wilayah Sumatera Selatan tahun 2002 sampai dengan 2003. Hotspot merupakan titik-titik panas di permukaan bumi yang dapat digunakan sebagai indikasi adanya kebakaran hutan. Terdapat kemungkinan bahwa hotspot tidak tersebar secara acak tetapi menggerombol dalam ruang secara alami mengikuti hukum Geografi 1 Tobbler yaitu semuanya terkait dengan segala sesuatu yang lain, tetapi hal-hal yang dekat lebih terkait daripada hal-hal yang jauh (Tobbler 1970, diacu dalam Miller 2004) sehingga hotspot akan mengelompok karena kedekatan secara lokasi dan waktu.

Data persebaran hotspot berukuran besar dapat dianalisis menggunakan teknik spatial data mining (SDM). Salah satu pendekatan untuk menganalisis data spatiotemporal pada data mining adalah clustering (penggerombolan). Penggerombolan adalah proses pengelompokan data besar sehingga membentuk kelompok-kelompok sehingga pada setiap kelompoknya memiliki persamaan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang lain. DBSCAN dan ST-DBSCAN merupakan penggerombolan berbasis kepadatan dalam data mining. Penggerombolan berbasis kepadatan memiliki kelebihan yaitu bentuk penggerombolan yang lebih fleksibel, dan ukuran data yang besar.

DBSCAN dan ST-DBSCAN memiliki kelebihan tahan terhadap noise dan dapat mengatasi penggerombolan yang memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda. Akan tetapi, DBSCAN tidak mampu mendeteksi penggerombolan dengan kepadatan yang bervariasi, sedangkan ST-DBSCAN mampu mengatasi kelemahan tersebut. ST-DBSCAN merupakan perluasan algoritma DBSCAN, jika DBSCAN hanya dapat mengolah data spatial saja, ST-DBSCAN dapat mengolah data non spatial seperti waktu, dengan menggunakan Eps 1 yaitu parameter jarak dalam mengukur kedekatan antar titik dan Eps 2 yaitu parameter waktu yang digunakan dalam mengukur kedekatan antar titik.

Hasil yang diperoleh melalui penggerombolan berbasis jarak dan waktu dengan menggunakan ST-DBSCAN adalah pola spatiotemporal penggerombolan hotspot kebakaran hutan dan lahan yang mengadopsi penggolongan tipe dari Poelitz dan Andrienko (2006). Tipe yang ditemukan dalam penelitian ini yaitu


(6)

yang tertinggi pada daerah Ogan Komering Ilir.

Diharapkan pada penelitian selanjutnya menggunakan data penelitian yang lebih panjang dan menambah data yang berkaitan dengan kebakaran hutan seperti iklim, tata guna lahan, dan sebagainya sehingga dapat diambil informasi yang lebih dalam mengenai kebakaran hutan tersebut.

Kata kunci : Spasial Data Mining, Kebakaran Hutan dan Lahan, Penggerombolan, DBSCAN, ST-DBSCAN


(7)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

HUTAN DAN LAHAN MENGGUNAKAN

DBSCAN DAN ST-DBSCAN

UTSRI YUSTINA PURWANTO

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Komputer

Pada Program Studi Ilmu Komputer

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(9)

(10)

(11)

Judul Tesis : Penggerombolan Spasial Hotspot Kebakaran Hutan dan Lahan Menggunakan DBSCAN dan ST-DBSCAN

Nama Mahasiswa : Utsri Yustina Purwanto Nomor pokok : G651100101

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Baba Barus Hari Agung Adrianto, S.Kom, M.Si Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pascasarjana

Ilmu Komputer

Dr.Yani Nurhadryani S.Si, M.T. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.


(12)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul Penggerombolan Spasial Hotspot Kebakaran Hutan dan Lahan Menggunakan DBSCAN Dan ST-DBSCAN dengan baik. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Baba Barus dan Bapak Hari Agung Adrianto, S.Kom,M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyelesaian tesis ini dan Bapak Dr. Erianto Indra yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penulis ucapkan terima kasih kepada Badan Informasi Geospasial (BIG) beserta staf, serta Kementrian Riset dan Teknologi atas kesempatan studi lanjut yang diberikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami, ibunda, ayah, Asyraf, rekan-rekan S2 Ilkom angkatan 12, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam pembuatan tesis ini, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan guna memperbaiki tesis ini. Atas perhatian penulis ucapkan terima kasih.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat

Bogor, Juli 2012


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kediri, Jawa Timur pada tanggal 7 Juni 1984, dari pasangan Bapak Purwanto dan Ibu Dra. Sri Utami sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara.

Tahun 2003 penulis meneruskan pendidikan tinggi di Jurusan Ilmu Komputer, Institut Pertanian Bogor, Bogor dan lulus pada September 2007. Pada tahun 2010, penulis mendapat beasiswa dari Kementrian Riset dan Teknologi untuk meneruskan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB program studi Ilmu Komputer. Pada Desember 2008, penulis mulai bekerja di Badan Informasi Geospasial yang dahulu bernama Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) hingga sekarang.


(14)

(15)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 2

1.3. Ruang Lingkup ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Kebakaran Hutan ... 5

2.2. Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan ... 5

2.3. Iklim ... 6

2.4. Hotspot ... 8

2.5. Panjang Derajat Lintang Bujur ... 10

2.6. Spatial Data mining (SDM) ... 11

2.7. Spatiotemporal Data ... 11

2.8. Penggerombolan Spasial ... 12

2.9. Penggerombolan Spatiotemporal ... 13

2.10. DBSCAN (Density-Based Spatial Clustering of Applications with Noise).. ... 13

2.11. ST-DBSCAN ... 15

2.12. Metode Prototipe ... 16

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 19

3.1. Kerangka Berpikir ... 19

3.2. Tahapan Penelitian ... 21


(16)

3.2.2. Perhitungan Jarak ... 22

3.2.3. Penentuan Eps dan MinPts ... 23

3.2.4. Penggerombolan DBSCAN ... 24

3.2.5. Penggerombolan ST-DBSCAN ... 24

3.3. Pengembangan Prototipe Visualisasi ... 25

3.4. Waktu Penelitian ... 25

4 PEMBAHASAN ... 27

4.1. Sumber Data dan Karakteristik Data ... 27

4.2. Praproses Data ... 27

4.2.1. Pemilihan Data ... 27

4.2.2. Tranformasi Data Tanggal ... 28

4.2.3. Pembersihan Data ... 28

4.3. Penentuan Nilai Eps ... 28

4.4. Penggerombolan DBSCAN ... 30

4.5. Penggerombolan ST-DBSCAN ... 33

4.6. Pembahasan Umum ... 40

4.6.1. DBSCAN ... 40

4.6.2. ST-DBSCAN ... 41

4.6.3. DBSCAN dan ST-DBSCAN ... 41

4.6.4. Pemetaan Daerah Rawan Kebakaran yang Telah Ada ... 42

4.7. Pengembangan Prototipe Visualisasi ... 44

4.7.1. Komunikasi ... 44

4.7.2. Perencanaan dan Perancangan ... 47

4.7.3. Pembangunan Prototipe ... 47


(17)

xi

5 SIMPULAN DAN SARAN ... 51

5.1. Simpulan ... 51

5.2. Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53


(18)

(19)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jarak derajat lintang ... 10

2 Data penggolongan tipe penggerombolan ... 34

3 Data 11 penggerombolan terbesar ... 35

4 Data penggerombolan terbagi dalam bulan... 39


(20)

(21)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Kejadian El Nino (merah) dan La Nina (biru) selama periode 1982-2009

sebaliknya (Anggraini & Trisakti 2011) ... 7

2 Perbandingan bulan basah, lembab, dan kering untuk tiga periode Lokasi Palembang laut (Slamet & Berliana 2007) ... 8

3 Ilustrasi perubahan data spatiotemporal (Rahim 2006) ... 11

4 Tahapan proses penggerombolan (Fayyad et al. 1996). ... 12

5 Directly density reachable ... 14

6 Density connected ... 15

7 Metode Prototipe (Pressman) ... 16

8 Kerangka berfikir ... 21

9 Diagram alir tahap-tahap penelitian ... 21

10 Grafik nilai Eps ... 23

11 Lokasi Sumatera Selatan ... 27

12 Pergeseran nilai ambang pada k-dist ... 28

13 Grafik pergeseran penggerombolan ... 29

14 Hubungan titik noise dengan Eps1 ... 30

15 Hubungan banyak titik noise, penggerombolan dan Eps2 ... 30

16 Penggerombolan terbesar menggunakan DBSCAN ... 31

17 Lokasi titik noise pada kabupatenBanyuasin, kabupaten Lahat dan kabupaten Muara Enim ... 32

18 Grafik jumlah penggerombolan tahun 2002-2003 ... 32

19 Grafik jumlah hotspot tahun 2002-2003 ... 33

20 Ilustrasi penggunaan parameter ST-DBSCAN ... 34

21 Penggerombolan terbesar ... 35

22 Penggerombolan Ogan Komering Ilir ... 36


(22)

24 Penggerombolan Banyuasin ... 37 25 Penggerombolan Musi Rawas ... 37 26 Penggerombolan OKU, OKU Selatan, dan OKU Timur... 38 27 Penggerombolan jarang terjadi ... 38 28 Penggerombolan DBSCAN dan ST-DBSCAN ... 42 29 Ilustrasi metode densitas ... 42 30 Ilustrasi metode expert ... 43 31 Diagram konteks aplikasi Penggerombolan. ... 45 32 DFD level 1 aplikasi Penggerombolan. ... 45 33 DFD level 2 proses 3 aplikasi Penggerombolan. ... 46 34 DFD level 2 proses 4 aplikasi Penggerombolan. ... 46 35 Perancangan antarmuka aplikasi. ... 47 36 Antarmuka aplikasi. ... 49


(23)

1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Saat ini, kebakaran hutan menjadi isu lingkungan dan ekonomi yang menjadi perhatian internasional dimana setiap tahunnya berjuta hektar hutan terbakar di seluruh penjuru dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Kebakaran hutan memiliki dampak yang besar bagi kelangsungan ekosistem lingkungan, diantaranya dapat menyebabkan pencemaran kabut asap, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, peningkatan emisi karbon dan dampaknya bagi keanekaragaman hayati di Indonesia. Perhatian masyarakat dunia terfokus ketika dunia dilanda bencana El Nino (ENSO) 1997/1998 yang menghanguskan lahan hutan seluas 25 juta hektar di seluruh dunia (Rowell & Moore 2001). Di tahun tersebut, Indonesia mengalami bencana kebakaran hutan terburuk dalam sejarah, dimana melalui pengkajian nasional diketahui bahwa total 9,75 juta hektar lahan yang terbakar selama periode tersebut (Bappenas-ADB 1999).

Hotspot merupakan titik-titik panas di permukaan bumi yang dapat digunakan sebagai indikasi adanya kebakaran hutan. Data hotspot diperoleh melalui satelit penginderaan jarak jauh. Terdapat kemungkinan bahwa hotspot tidak tersebar secara acak tetapi hotspot menggerombol dalam ruang secara alami mengikuti hukum Geografi 1 Tobbler yaitu semuanya terkait dengan segala sesuatu yang lain, tetapi hal-hal yang dekat lebih terkait daripada hal-hal yang jauh (Tobbler 1970, diacu dalam Miller HJ 2004) sehingga hotspot akan mengelompok karena kedekatan secara lokasi dan waktu. Apabila penggerombolan lokasi hotspot diketahui maka dapat digunakan dalam analisis terjadinya kebakaran hutan, sehingga dapat diambil langkah dini dalam menanggulangi kebakaran hutan yang sangat penting dalam hal keperluan perencanaan.

Data persebaran hotspot berukuran besar dapat dianalisis menggunakan teknik spatial data mining (SDM). Salah satu pendekatan untuk menganalisis data

spatiotemporal pada data mining adalah clustering (penggerombolan). Mengekstrak pola data spasial dan temporal pada umumnya lebih komplek


(24)

daripada data numerik dan data kategori sehubungan dengan kompleksitas tipe data spasial, ukuran yang lebih besar, dan waktu. Penggerombolan adalah proses pengelompokan data besar sehingga membentuk kelompok-kelompok sehingga pada setiap kelompoknya memiliki persamaan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang lain. DBSCAN dan ST-DBSCAN merupakan penggerombolan berbasis kepadatan dalam data mining. Penggerombolan berbasis kepadatan memiliki kelebihan yaitu bentuk penggerombolan yang lebih fleksibel, dan ukuran data yang besar.

DBSCAN dan ST-DBSCAN memiliki kelebihan tahan terhadap titik

noise dan dapat mengatasi penggerombolan yang memiliki perbedaaan bentuk dan ukuran tetapi DBSCAN gagal dalam mendeteksi penggerombolan dengan kepadatan yang beragam sedangkan ST-DBSCAN mampu mengatasi kelemahan DBSCAN tersebut. DBSCAN menggunakan data spasial sedangkan ST-DBSCAN menggunakan data spatiotemporal (Xu X at al. 1998; Han & Kamber 2001; Liu

et al. 2007). ST-DBSCAN merupakan perluasan algoritma DBSCAN, jika DBSCAN hanya mengolah data spatial saja ST-DBSCAN mampu mengolah data

non spatial seperti waktu dengan menggunakan Eps1 pada atribut spatial dan Eps2 pada atribut nonspatial (Birant & Kut 2007).

Pada penelitian ini proses data mining akan diterapkan pada data hotspot kebakaran hutan di Sumatra Selatan tahun 2002-2003. Dengan diterapkannya proses data mining diharapkan dapat menghasilkan informasi atau pengetahuan yang penting dan berguna dari data spasial dan spatiotemporal dengan menggunakan DBSCAN dan ST-DBSCAN.

1.2.Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menemukan pola penggerombolan data spasial berbasis jarak dengan menggunakan penggerombolan DBSCAN.

2. Menemukan pola penggerombolan data spasial berbasis jarak dan waktu dengan menggunakan penggerombolan ST-DBSCAN


(25)

1.3.Ruang Lingkup

Teknik yang digunakan dalam mendeterminasi penggerombolan titik-titik rawan kebakaran hutan dengan menggunakan DBSCAN dan ST-DBSCAN. Data spasial yang digunakan adalah hotspot kebakaran hutan di Sumatra Selatan tahun 2002-2003.

1.4.Manfaat Penelitian

Dengan dilakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pola penggerombolan data kebakaran hutan di wilayah Sumatra Selatan.


(26)

(27)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan adalah suatu proses reaksi yang menyebar secara bebas dari perpaduan antar unsur oksigen, bahan bakar hutan dan panas yang mengkonsumsi bahan bakar alam yang terdapat di hutan seperti serasah, rumput, humus, ranting – ranting, kayu mati, tiang, gulma, semak, dedaunan, dan pohon segar lainnya untuk tingkat terbatas yang ditandai dengan adanya panas, cahaya dan asap (Brown & Davis 1973).

2.2.Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan

Sejak manusia mengenal dan menguasai teknologi api, maka api dianggap sebagai modal dasar bagi perkembangan manusia karena dapat digunakan untuk membuka hutan, meningkatkan kualitas lahan penggembalaan, memburu satwa liar, mengusir satwa liar, berkomunikasi sosial disekitar api unggun dan sebagainya (Soeriaatmadja, 1997).

Kebakaran hutan disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu faktor alam dan faktor manusia. Secara alami kebakaran dipengaruhi oleh beberapa faktor alam yang berkaitan, yaitu iklim (kemarau panjang, petir dan daya alam lainnya), jenis tanaman (misalnya pinus, mengandung resin), tipe vegetasi (alang-alang, hutan terbakar, hutan-hutan monokultur tertentu), bahan-bahan sisa vegetasi (serasah, ranting kering), humus dan lain-lain (Direktorat Perlindungan Hutan, 1983 dalam Franky, 1999). Suratmo (1985) menyatakan bahwa penyebab kebakaran hutan pada umumnya adalah :

1. Dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. 2. Api berasal dari ladang yang berdekatan dengan hutan. 3. Bara dari kereta api.

4. Api dari pekerja hutan dan penebang pohon. 5. Api dari perkemahan (api unggun).

6. Petir.


(28)

8. Sebab lain-lain,misalnya api dari gunung berapi. 9. Tidak diketahui penyebabnya.

Penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari kegiatan atau permasalahan seperti sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-pindah, pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk insdustri kayu maupun perkebunan kelapa sawit, penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan pembangunan dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik antar hukum adat dan hukum positif negara.

Perladangan berpindah merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan hutan dimana pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran karena cepat, murah dan praktis. Namun pembukaan lahan untuk perladangan tersebut umumnya sangat terbatas dan terkendali karena telah mengikuti aturan turun temurun (Dove, 1988).

2.3.Iklim

Cuaca dan iklim merupakan faktor yang menentukan kadar air bahan bakar, terutama karena hujan (Brown & Davis 1973). Dengan cara yang saling berhubungan cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran hutan seperti iklim menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia, iklim menentukan jangka waktu dan kekerasan musim kebakaran, cuaca mengatur kadar air dan kemudahan bahan bakar untuk terbakar, cuaca mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran kebakaran (Chandler et al. 1983).

Menurut Sulistyowati (2004) terdapat beberapa unsur iklim yang berpengaruh terhadap kebakaran diantaranya adalah suhu udara, kelembapan udara, curah hujan dan kecepatan angin. Ketiga unsur tersebut memiliki nilai korelasi dan tingkat pengaruh yang berbeda-beda dengan titik panas. Suhu, kelembapan relatif, dan angin tidak berhubungan erat dan tidak berpengaruh nyata. Curah hujan memiliki korelasi/hubungan cukup erat dan berpengaruh nyata.

Banyaknya curah hujan juga dipengaruhi oleh fenomena El Nino dan La Nina. Fenomena El Nino disebabkan suhu dipermukaan laut di wilayah Pasifik


(29)

lebih tinggi dibandingkan suhu permukaan laut di perairan Indonesia. Sedangkan fenomena La Nina adalah kebalikan dari El Nino. Tinggi rendahnya intensitas curah hujan berpengaruh pada jumlah kejadian kebakaran yang diidentifikasi dengan adanya hotspot. Semakin rendahnya intensitas curah hujan semakin meningkatnya jumlah hotspot yang terjadi demikian sebaliknya (Anggraini & Trisakti 2011). Kejadian El Nino dan La Nina tahun 1982-2009 terdapat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kejadian El Nino (merah) dan La Nina (biru) selama periode 1982-2009 sebaliknya (Anggraini & Trisakti 2011)

Indonesia memiliki tiga tipe curah hujan yaitu monsunal, equatorial, dan lokal. Iklim dan musim berbeda-beda pada setiap daerah di Indonesia. Perbedaan iklim dipengaruhhi oleh faktor pengendali iklim yang mencangkup radiasi surya, letak geografis, ketinggian, posisi lokasi terhadap laut, pusat tekanan tinggi dan rendah, aliran massa udara, halangan oleh pengunungan, dan arus laut (Slamet & Berliana 2007).

Dalam Slamet dan Berliana (2007) pembagian periode curah hujan yang digunakan berdasarkan penelitian The How Liong et al (2006) bahwa terjadi pembalikan fasa terhadap siklus bilangan sunspot dari periode 1950-1975 (periode I) ke periode 1976 -2000 (periode II). Pembalikan fasa mengakibatkan terjadinya perubahan iklim ekstrim di Indonesia. Wilayah Sumatra Selatan (Palembang) memiliki musim basah periode I dari Oktober ke Mei dengan bulan kering


(30)

sebanyak satu bulan yang terpisah oleh bulan lembab. Sementara periode II memiliki dua kali musim basah. Musim basah panjang dari Oktober sampai Pebruari dan musim basah pendek dari April ke Juni. Musim kering hanya selama dua bulan (Juli-Agustus) dengan dua bulan lembab (September dan Maret). Periode III mirip dengan periode II sehingga yang terjadi pergeseran bulan basah antara periode I dan II. Perbandingan kriteria bulan terdapat pada Gambar 2 Kriteria bulan kering, lembab, dan basah adalah dari Schmidth-Fergusson dengan kategori sebagai berikut :

- Bulan kering (BK) : bulan dengan curah hujan <60 mm

- Bulan lembab (BL) : bulan dengan curah hujan antara 60-100 mm - Bulan basah (BB) : bulan dengan curah hujan >100 mm.

Gambar 2 Perbandingan bulan basah, lembab, dan kering untuk tiga periode Lokasi Palembang laut (Slamet & Berliana 2007)

2.4.Hotspot

Titik panas (hotspot) adalah indikator kebakaran hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di sekitarnya (Menhut 2009).

Hotspot dapat digunakan untuk mendeteksi terjadinya kebakaran suatu lahan/hutan tetapi pembakaran biomasa dalam jumlah besar, gunung berapi, cerobong api pengeboran minyak, dan hotspot palsu juga dapat dideteksi sebagai hotspot. Hotspot palsu disebabkan oleh gelombang radio dan efek sun glint. Gelombang radio dapat mengganggu penerimaan hotspot dan muncul sebagai hotspot palsu sedangkan efek sun glint terjadi ketika satelit melalui dan tegak lurus dengan sebuah permukaan yang sangat luas dan dapat memantulkan cahaya


(31)

matahari. Kebakaran hutan yang dideteksi sebagai hotspot adalah kebakaran dengan luas dan intensitas tertentu.

Menurut Albar (2002) secara terminologi hotspot adalah satu piksel daerah yang memiliki suhu lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah/lokasi sekitar yang tertangkap oleh oleh sensor satelit data dijital.

Salah satu sensor satelit yang digunakan untuk memonitoring permukaan bumi adalah Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS). MODIS merupakan sensor yang terdapat pada satelit Terra (EOS AM-1), yang diluncurkan pada 18 Desember 1999 dan Aqua (EOS PM-1) yang diluncurkan pada 4 Mei 2002). MODIS merekam permukaan bumi setiap hari dengan cakupan wilayah 2330 Km dan menggunakan 36 spektral band. Pemanfaatan data MODIS untuk memantau perubahan lahan dan kebakaran hutan telah banyak dilakukan (Suwarsono et al. 2009; Cassanova et al. 2004, diacu dalam Anggraini & Trisakti 2011)

MODIS (Terra/Aqua) dapat mendeteksi kebakaran hutan/lahan seluas 1000 m2. Dalam kondisi pengamatan yang optimal (dekat nadir, asap sedikit/tidak ada, permukaan bumi yang relatif homogen) kebakaran hutan/lahan dengan ukuran 100 m2 dapat dideteksi. Namun dalam kondisi bebas awan/asap/polusi (sangat jarang sekali) kebakaran seluas 50 m2 dapat dideteksi (FIRMS 2012).

Hotspot dapat diartikan bahwa terjadi kebakaran terjadi di dalam lingkup pixel berukuran 1 Km2. Pixel merupakan unit terkecil dari citra satelit/foto. Satu pixel pada citra satelit NOAA, TERRA dan AQUA setara dengan + 1 Km2. Namun 1 pixel tidak selalu setara dengan 1 Km2 ketika berada di pinggiran lintasan. Ketika terjadi kebakaran pada koordinat tertentu maka koordinat tersebut akan ditampilkan di tengah pixel meskipun kebakaran berada di pinggir pixel, sehingga untuk mengetahui lokasi terjadinya kebakaran harus menelusuri kurang lebih 1 Km2 dari lokasi koordinat hotspot tersebut.

Data hotspot disajikan dalam bentuk koordinat hotspot dari titik panas. Koordinat hotspot berada di tengah piksel sebuah citra satelit. Titik panas dari lokasi kebakaran hutan di lapangan dapat bergeser hingga radius 1 km di sekeliling koordinat hotspot.


(32)

Dalam menentukan hotspot nilai ambang suhu sehingga suatu titik diidentifikasi sebagai hotspot yaitu 315K (420C) pada siang hari dan 310K (370C) pada malam hari (Dephut-JICA 2002).

2.5.Panjang Derajat Lintang Bujur

Koordinat geografis pada permukaan bumi dinyatakan dalam satuan sudut (derajat), dimana satu lingkaran memiliki 360 derajat, 60 menit per derajat, dan 60 detik per menitnya. Pengukuran lintang dan bujur pada permukaan bumi mengacu pada besaran sudut di suatu model elipsoida bumi, sehingga panjang 1 derajat lintang akan berbeda-beda sesuai dengan posisinya di permukaan bumi.

Panjang 1 derajat lintang di ekuator adalah sebesar 110,57 km (68,7 mil), sedangkan di kutub sebesar 111.69 km (69,4 mil). Panjang derajat lintang dijelaskan pada Tabel 1 (Kirvan 1997), sehingga panjang satu derajat lintang di sekitar khatulistiwa adalah sekitar 110,574 km.

Tabel 1 Jarak derajat lintang (Kirvan 1997) derajat

0° 110.574 km 111.320 km 15° 110.649 km 107.551 km 30° 110.852 km 96.486 km 45° 111.132 km 78.847 km 60° 111.412 km 55.800 km 75° 111.618 km 28.902 km 90° 111.694 km 0.000 km

Panjang derajat bujur bergantung pada radius lingkaran lintang. Untuk bidang lengkung (bulatan) radius  nilai radius pada lintang  adalah  dan panjang arc untuk satu derajat (/180 radian) bertambah dengan

Jika bumi dimodelkan seperti elips maka persamaan dimodifikasi menjadi

Dimana e merupakan penyimpangan elipsoid yang berhubungan dengan x mayor dan minor (equator dan polar ) sehingga


(33)

2.6.Spatial Data mining (SDM)

Spatial data mining merupakan salah satu proses yang digunakan dalam melakukan analisis terhadap data spasial. Spatial Data Mining (SDM) merupakan proses menemukan sesuatu yang menarik yang sebelumnya tidak diketahui, tetapi memiliki potensi yang besar dan bermanfaat dari data spasial yang besar (Roddick & Spiliopoulou 1999; Shekhar & Chawla 2003). Tujuan dari SDM adalah menemukan pola atau informasi yang tersembunyi dan berguna dari basis data spasial(Leung 2010).

2.7.Spatiotemporal Data

Data spatiotemporal diindek dan diambil sesuai dengan dimensi ruang dan waktu. Periode waktu yang melekat pada data spasial yang berlaku dan disimpan dalam basis data yang valid (Birant & Kut 2007).

A AB B

Ruang

t1 t2 tn

Waktu

Perubahan

Gambar 3 Ilustrasi perubahan data spatiotemporal (Rahim 2006)

Menurut Rahim (2006) data spatiotemporal dalam kenyataannya merupakan data spasial yang berubah seiring waktu. Gambar 3 merupakan ilustrasi perubahan objek A menjadi AB dan B dalam waktu t1 ke tn. Data

spatiotemporal merupakan rangkaian perubahan data spasial yang akan terjadi hingga waktu ke n dan pergerakan lokasi geografis (geographic movement). Informasi geografis terdiri dari informasi ruang, atribut, dan waktu. Ruang mendeskripsikan lokasi dan bentuk. Atribut mendeskripsikan tipe fitur, nama dan informasi lain yang berhubungan. Waktu mendeskripsikan perilaku perubahan dan


(34)

selalu berhubungan dengan perubahan geografis. Sehingga ruang dan atribut memiliki hubungan dengan waktu.

2.8.Penggerombolan Spasial

Penggerombolan merupakan proses penggolongan data ke dalam kelas atau clustering, sehingga objek di dalam suatu penggerombolan memiliki tingkat persamaan lebih tinggi dari pada objek yang terdapat pada penggerombolan yang lain (Han & Kamber 2006). Metode ini akan membentuk data menjadi k grup partisi dengan persyaratan minimal memiliki satu anggota pada setiap grup dan setiap objek pada basis data harus berada dalam satu grup partisi.

Penggerombolan spasial dapat diterapkan pada sekelompok objek spasial yang serupa secara bersama-sama, dengan asumsi implisit bahwa pola cenderung dikelompokkan dalam ruang dibandingkan dengan pola acak. Sebagai fungsi dari

data mining, penggerombolan spasial dapat digunakan sebagai alat yang berdiri sendiri untuk mendapatkan wawasan tentang distribusi data, mengamati karakteristik setiap penggerombolan, dan fokus pada kelompok penggerombolan tertentu untuk analisis lebih lanjut (Han et al. 2001).

Segmentasi atau penggerombolan melibatkan partisi satu kumpulan data yang dipilih ke dalam kelompok yang bermakna atau kelas. Proses pengelompokan dapat mengakibatkan partisi yang berbeda pada suatu data, tergantung pada kriteria khusus yang digunakan untuk penggerombolan. Jadi sebelum melakukan penggerombolan dibutuhkan praproses dalam satu kumpulan data. Langkah-langkah dasar untuk proses penggerombolan disajikan Gambar 4 (Fayyad et al. 1996).


(35)

2.9.Penggerombolan Spatiotemporal

Penggerombolan spatiotemporal adalah proses dalam mengelompokkan objek berdasarkan persamaan spatial dan temporal (Kisilevich et al. 2010). Dimensi temporal mendeskripsikan perubahan objek dari data dan dimensi spasial mendeskripsikan lokasi dari suatu objek tersebut.

Dapat ditemukan berbagai bentuk penggerombolan secara spatiotemporal. Dari beberapa kemungkinan bentuk penggerombolan spatiotemporal diantaranya

stasionary, muncul kembali, jarang dan trak (Poelitz & Andrienko, 2010) .

1. Stasionary yaitu penggerombolan terbatas dalam ruang dan diperpanjang dalam waktu selama rentang waktu pada data atau dari saat beberapa waktu tertentu sampai akhir periode waktu yang diteliti.

2. Reappearing yaitu beberapa penggerombolan temporal terjadi pada tempat yang sama dan dipisahkan oleh interval waktu dimana tidak ada atau sangat sedikit peristiwa terjadi di tempat ini. Terdapat dua jenis penggerombolan muncul kembali yaitu penggerombolan regular (periodic) dan irregular. Penggerombolan regular yaitu penggerombolan temporal yang dipisahkan oleh interval waktu dengan panjang interval kira-kira sama. Penggerombolan

irregular yaitu penggerombolan temporal yang dipisahkan oleh interval waktu dengan panjang interval yang tidak sama.

3. Occasional yaitu penggerombolan yang terbatas waktu sehingga tidak ada penggerombolan lainnya yang terjadi pada tempat yang sama.

4. Track yaitu penggerombolan temporal padat dalam peristiwa yang kemudian dialihkan dalam ruang sehubungan dengan peristiwa sebelumnya.

2.10. DBSCAN (Density-Based Spatial Clustering of Applications with Noise)

Density-based clustering algoritma (algoritma penggerombolan berbasis kepadatan) mengelompokkan titik berdasarkan kepadatan data di suatu wilayah. Algoritma DBSCAN diperkenalkan pertama kali oleh Ester tahun 1996. Algoritma DBSCAN mengidentifikasi anggota suatu penggerombolan dari kepadatan suatu titik. Ide dasar DBSCAN yaitu untuk setiap titik dari penggerombolan sekitar radius tertentu harus memiliki setidaknya minimum jumlah titik sehingga wilayah dengan kepadatan yang tinggi menandakan terdapat


(36)

suatu penggerombolan sedangkan wilayah dengan kepadatan rendah diidentifikasi sebagai titik noise.

Jika neighboorhood dengan radius dari suatu objek disebut sebagai

Eps-neighborhood dari suatu objek dan MinPts merupakan jumlah minimum tetangga dari pusat objek (core) suatu penggerombolan. Konsep DBSCAN adalah sebagai berikut (Ester et al. 1996) :

1. Eps-neighborhood dari suatu titik p, dinotasikan dengan yang didefinisikan oleh . Titik p merupakan

directly density-reachable dari titik q wrt Eps, MinPts jika

dan

| (kondisi titik pusat).

2. Core objek merupakan titik yang memiliki jumlah minimum (MinPts) pada

radiusEps neighborhood.

3. Suatu objek p merupakan directly density reachable dari objek q jika p berada pada radius epsilon dari q dan q merupakan core objek.

4. Titik p merupakan density reachable dari titik q wrt. Eps dan MinPts jika terdapat rantai titik sehingga directly density reachable

dari sehubungan dengan Eps dan MinPts, untuk . Gambar 5 merupakan hubungan q sebagai core point dan p sebagai border point. Titik p

directly density reachable dari q sedangkan q tidak directly density reachable

dari p. Directly density-reachable simetrik untuk pasangan titik pusat tetapi tidak simetrik jika salah satunya merupakan titik border.

p q

Gambar 5 Directly density reachable

5. Suatu objek merupakan density-connected pada objek q sehubungan dengan Eps dan MinPts dalam himpunan objek D jika terdapat suatu objek

sehingga kedua p dan q merupakan density reachable dari 0 sehubungan dengan Eps dan MinPts (Gambar 6).


(37)

o p

q

Gambar 6 Density connected

DBSCAN mencari sebuah cluster dengan memeriksa Eps-neighborhood

pada setiap titik dalam suatu basis data. Jika Eps-neighborhood dari suatu titik x memiliki lebih dari MinPts, suatu penggerombolan baru dengan titik x sebagai pusat penggerombolan terbentuk, kemudian secara iteratif menggabungkan penggerombolan density-reachable sampai tidak terdapat lagi titik yang dapat ditambahkan dalam penggerombolan.

2.11. ST-DBSCAN

Algoritma ST-DBSCAN memerlukan empat parameter input yaitu Eps1, Eps2, MinPts dan . Eps1 digunakan untuk mengukur parameter jarak pada atribut spasial (lintang dan bujur). Eps2 digunakan untuk mengukur parameter jarak untuk atribut non spasial. MinPts merupakan jumlah minimum anggota titik didalam Eps1 dan Eps2. Parameter terakhir digunakan untuk mencegah penemuan penggerombolan gabungan karena perbedaan kecil nilai non spasial dari lokasi tetangga.

Algoritma ST-DBSCAN dibangun dengan memodifikasi algoritma DBSCAN. Berbeda dengan algoritma penggerombolan berbasis kepadatan lainnya, Algoritma ST-DBSCAN memiliki kemampuan untuk menemukan penggerombolan yang berkaitan dengan nilai-nilai non spasial, spasial dan temporal dari objek. Ketiga modifikasi yang dilakukan dalam algoritma DBSCAN adalah sebagai berikut, (i) algoritma ST-DBSCAN dapat mengelompokkan data

spatiotemporal sesuai dengan atribut non spasial, spasial dan temporal. (ii) DBSCAN tidak mendeteksi titik noise ketika kepadatan bervariasi tetapi algoritma ini mengatasi masalah ini dengan menetapkan faktor kepadatan untuk setiap penggerombolan. (iii) Untuk mengatasi konflik pada perbatasan objek dilakukan


(38)

dengan membandingkan nilai rata-rata penggerombolan yang akan datang dengan nilai baru (Birant & Kut 2007).

Algoritma dimulai dengan titik pertama p dalam basis data D dan mengambil semua titik density reachable dari p sehubungan dengan Eps1 dan Eps2. Jika p adalah objek inti, penggerombolan terbentuk. Jika p adalah border

objek, tidak ada poin yang density reachable dari p dan algoritma akan mengunjungi titik berikutnya dari basis data.

2.12. Metode Prototipe

Prototipe merupakan salah satu pengembangan model yang berkembang (evolutionary process model). Model ini merupakan model iterasi yang dikelompokan dalam berbagai cara yang memungkinkan software engineer

mengembangkan perangkat lunak lebih lengkap Gambar 7 ( Pressman 2005).

Gambar 7 Metode Prototipe (Pressman)

Metode prototipe biasanya digunakan jika pengguna hanya mampu mendefinisikan tujuan umum perangkat lunak tetapi tidak mampu mengidentifikasi detail input, pemrosesan, atau kebutuhan output. Dalam kasus lain pengembang tidak yakin pada keefisienan algoritma, penyesuaian sistem operasi atau bentuk interaksi pengguna dan mesin yang seharusnya sehingga pengembangan prototipe menjadi pilihan yang terbaik. Iterasi model prototipe adalah sebagai berikut :


(39)

1. Komunikasi.

Proses ini merupakan suatu proses dimana terdapat pertemuan antara pengembang aplikasi dan pengguna dan mendefinisikan keseluruhan kebutuhan perangkat lunak, mengidentifikasi kebutuhan yang diketahui dan skema yang diperintahkan.

2. Perencanaan dan Perancangan

Melalui perencanaan dan pemodelan yang merupakan keseluruhan perancangan desain cepat terfokus kepada representasi aspek perangkat lunak yang terlihat oleh pengguna (seperti disain antar muka/format tampilan output). Desain cepat akan memandu dalam proses pembuatan prototipe.

3. Pembangunan Prototipe

Prototipe menyajikan mekanisme untuk mengidentifikasi kebutuhan perangkat lunak.

4. Evaluasi user dan feedback

Feedback digunakan untuk menyaring kebutuhan perangkat lunak, iterasi sebagai prototipe beralih untuk melengkapi kebutuhan pengguna dalam waktu yang sama memungkinkan pengguna lebih mengerti apa yang dibutuhkan.


(40)

(41)

3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1.Kerangka Berpikir

Kebakaran hutan yang sering terjadi di Indonesia berkaitan erat dengan dua faktor utama yaitu faktor alam dan faktor manusia. Kemungkinan terdapat karakteristik yang dapat ditemukan baik pola waktu maupun pola lokasi terjadinya kebakaran yang disebakan kedua faktor utama tersebut.

Karakter waktu dapat ditemukan pada beberapa faktor alami penyebab kebakaran hutan seperti iklim (kemarau panjang, petir dan daya alam lainnya). Adanya kemungkinan bahwa kebakaran hutan terjadi pada musim musim tertentu dan periode bulan tertentu memberi asumsi terdapatnya pola secara temporal terjadinya kebakaran hutan.

Faktor manusia sebagai penyebab kebakaran hutan dipicu oleh kegiatan perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-pindah, pola perilaku manusia setempat, dan pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk industri kayu maupun perkebunan kelapa sawit. Terdapat kemungkinan bahwa pembukaan hutan yang dilakukan oleh para pemegang HPH dan petani tradisional dengan perladangan berpindah pindah dilakukan pada periode waktu tertentu. Misalnya periode waktu dimana kondisi alam mendukung dilakukannya pembakaran seperti kondisi musim kering, tidak lembab dan sebagainya. Hal ini juga memberikan asumsi bahwa kebakaran hutan memiliki pola temporal dalam periode waktu tertentu dan spasial pada lokasi lahan para pemegang HPH dan petani tradisional. Meskipun perilaku masyarakat seperti kebiasaan dalam membakar tanah gambut, semak belukar dan sebagainya muncul sebagai kondisi bebas kapanpun dan dimanapun dapat terjadi kebakaran hutan. Dari asumsi – asumsi tersebut maka terdapat kemungkinan bahwa kebakarn hutan memiliki karakter-karakter pola persebaran tertentu secara spatiotemporal.

Sangat diperlukan pengenalan pola karakter kebakaran hutan baik itu secara spasial maupun temporal dalam mengatasi kebakaran hutan. Dimana secara logis berdasarkan Hukum Geografi 1 Tobler hotspot akan mengelompok karena kedekatan lokasi dan waktu sehingga terdapat kemungkinan bahwa hotspot tidak


(42)

tersebar secara acak tetapi terdapat pola penggerombolan secara alami. Jika lokasi dan pola persebaran kebakaran hutan diketahui maka pihak terkait mampu melakukan perencanaan dalam melakukan manajemen pengelolaan kebakaran hutan. Misalnya untuk daerah yang dinilai rawan dalam waktu tertentu dan lokasinya pada batas administrasi maka diperlukan pengelolaan yang terpadu pada wilayah yang bersangkutan yang pada saat ini pengelolaannya dipisahkan.

Saat ini tingkat kerawanan kebakaran hutan dilakukan dengan melakukan metode expert dan densitas, dimana kedua metode ini menggerombolkan hotspot kebakaran hutan tidak secara alami yaitu dengan membagi kelompok berdasarkan kedekatan sifat pada setiap hotspot melainkan dengan mengukur densitas kelompok kebakaran hutan yang berada di suatu lokasi tertentu. Sehingga kelompok kebakaran hutan tidak selalu memiliki karakter yang sama baik secara lokasi maupun waktu. Metode yang telah digunakan tidak sesuai dengan Hukum Geografi 1 Tobler yang seharusnya mengelompok karena kedekatan karakter baik lokasi maupun waktu.

Alternatifnya adalah melakukan penggerombolan hotspot kebakaran hutan dengan menggunkan suatu metode, dimana metode tersebut akan mengelompokkan hotspot berdasarkan kedekatan karakter dari hotspot tersebut baik lokasi maupun waktu secara alami. Tehnik yang sesuai dengan metode ini diantaranya adalah DBSCAN dan ST-DBSCAN. DBSCAN melakukan penggerombolan dengan mengukur kedekatan anggota dalam setiap gerombolnya dengan jarak tertentu. ST-DBSCAN melakukan penggerombolan dengan mengukur kedekatan anggota dalam setiap gerombolnya dengan jarak dan waktu tertentu. Sehingga dengan melakukan penggerombolan menggunakan DBSCAN dan ST-DBSCAN dapat diperoleh gambaran penggerombolan yang anggota penggerombolannya memiliki sifat yang mirip satu dengan lainnya. Terdapat kemungkinan ditemukannya karakter dan pola spasiotemporal dari penggerombolan yang dihasilkan dimana karakter dan pola tersebut sangat diperlukan menyangkut isu-isu manajemen pengelolaan kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia. Kerangka berpikir pada penelitian ini terdapat pada Gambar 8.


(43)

Rujukan Teori Teori Hukum Geografi 1 Tobbler

Penelitian Asumsi

Hotspot tidak tersebar secara acak tetapi memiliki pola penggerombolan diantaranya disebabkan faktor manusia dan faktor alami

Masukan Analisis

Solusi

- Penggerombolan DBSCAN (jarak)

- Penggerombolan ST-DBSCAN (jarak dan waktu) digunakan untuk mengetahui pola persebaran hotspot kebakaran hutan

- Hotspot biasanya muncul, bisa teratur atau tidak teratur

- Untuk mengendalikan hotspot diperlukan pengenalan karakter

Masalah

Gambar 8 Kerangka berfikir

3.2.Tahapan Penelitian

Pada penelitian ini untuk mendeterminasi penggerombolan titik-titik rawan kebakaran hutan dengan menggunakan metode DBSCAN dan ST-DBSCAN tahap–tahap yang akan dilakukan terdapat pada Gambar 9.

Mulai Penggerombolan ST-DBSCAN Output Penggerombolan Analisis Visualisasi Penggerombolan Selesai Pengumpulan Data dan Praproses Data Hasil Praproses Penggerombolan DBSCAN Output Penggerombolan

Gambar 9 Diagram alir tahap-tahap penelitian

3.2.1. Sumber Data dan Praproses

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pusat telah mengidentifikasi daerah rawan kebakaran hutan Sumatera Selatan merupakan salah satu diantaranya. Selain Sumatera Selatan terdapat juga provinsi Riau, Sumatera Utara, Jambi, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat.


(44)

Data spasial yang digunakan adalah hotspot kebakaran hutan di Sumatra Selatan tahun 2002-2003. Data hotspot yang digunakan diperoleh dari Fire Information For Resource Management System (FIRMS) yang merupakan data hotspot MODIS yang disediakan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA).

Data Sumatera Selatan dan data tahun 2003 sudah cukup mewakili pengembangan metode dalam melakukan salah satu usaha pemecahan masalah kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia. Hal ini dikarenakan Sumatera Selatan merupakan salah satu daerah rawan bencana kebakaran. Analisis time series

dalam melakukan prediksi bencana kebakaran masih memerlukan cakupan data dengan periode tahun yang lebih panjang.

Tahapan praproses dilakukan terhadap semua data yang digunakan. Tahapan praproses data yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Pemilihan Data

Pada proses ini dilakukan pemilihan data hotspot yang terjadi di provinsi Sumatra Selatan pada tahun 2002-2003. Pada data tersebut akan dilakukan pemilihan field data yang diperlukan untuk mempercepat perhitungan data.

Field data yang diperlukan yaitu lintang, bujur, dan tanggal.

Untuk penggerombolan menggunakan DBSCAN, data dikelompokkan per bulan sedangkan penggerombolan ST-DBSCAN seluruh data akan diproses tanpa melakukan pengelompokan data.

2. Tranformasi Data Tanggal

Data tanggal akan disamakan dalam format dd-mm-yyy, setelah itu sebelum diolah dalam Matlab akan diubah lagi dalam format number.

3. Pembersihan Data

Pada semua data dilakukan pembersihan data untuk mengganti nilai atribut yang hilang atau kosong.

3.2.2. Perhitungan Jarak

Dalam perhitungan radius epsilon (Eps) dan untuk mengukur kesamaan suatu titik apakah dimasukan dalam satu penggerombolan atau tidak digunakan suatu parameter dist (jarak). Pengukuran jarak menggunakan Euclidean distance


(45)

Dimana dan j merupakan objek data dua dimensi.

Pada data DBSCAN digunakan satu parameter jarak yaitu Eps untuk mengukur persamaan data spasial sedangkan pada data ST-DBSCAN digunakan dua parameter jarak yaitu Eps1 untuk mengukur persamaan jarak data spasial yaitu jarak titik geografis dan Eps2 untuk mengukur persamaan data non spasial dalam penelitian ini menggunakan atribut waktu (tanggal terjadi kebakaran).

3.2.3. Penentuan Eps dan MinPts

Menentukan parameter Eps dan MinPts dari penggerombolan terkecil pada basis data dapat dilakukan melalui observasi k-dist (Gambar 10). Berikut langkah-langkah penentuan nilai Eps dan MinPts dari k-dist.

k-dist

Ambang batas

point

penggerombolan

noise

Gambar 10 Grafik nilai Eps

1. Komputasikan k-dist untuk seluruh titik pada beberapa k. Urutkan dalam urutan menurun dan plot nilai yang telah diurutkan.

2. Perubahan tajam pada nilai k-dist yang berhubungan dengan nilai Eps dan nilai k gunakan sebagai MinPts yang sesuai.

3. Poin yang k-dist lebih kecil dari Eps akan disebut sebagai core point (titik inti), sementara titik lain akan dilabeli sebagai titik noise atau titik border. 4. Jika k terlalu besar maka penggerombolan kecil (ukuran kurang dari k)

cenderung diberi label sebagai titik noise. Jika k terlalu kecil maka titik noise

atau outlier akan salah diberi label sebagai penggerombolan.


(46)

3.2.4. Penggerombolan DBSCAN

Data hasil praproses yang telah dikelompokkan per bulan akan dilakukan penggerombolan menggunakan DBSCAN. Setelah ditemukan nilai Eps dan MinPts yang sesuai dengan algoritma sebagai berikut (Tan et al. 2006 ):

Menghilangkan titik noise dengan

1. Melakukan pengelompokan pada titik yang tersisa dengan cara menghubungkan semua titik inti (core) dengan jarak yang kurang dari Eps satu sama lain

2. membuat setiap kelompok dari titik inti yang terhubung menjadi penggerombolan yang terpisah

3. menetapkan setiap titik perbatasan ke salah satu penggerombolan rekanannya

3.2.5. Penggerombolan ST-DBSCAN

Setelah diperoleh nilai Eps1 dan Eps2 data hasil praproses akan dilakukan penggerombolan dengan menggunakan algoritma ST-DBSCAN dengan dimulai dengan titik pertama p dalam basis data D dan mengambil semua titik density reachable dari p sehubungan dengan Eps1 dan Eps2.

1. Titik p diproses sesuai dengan algoritma DBSCAN dan titik berikutnya diambil.

2. Fungsi Retrieve_Neighbors (objek, Eps1, Eps2) mengambil semua titik

density reachable dari objek yang dipilih sehubungan dengan Eps1, Eps2 dan

MinPts. Jika titik yang kembali berada dalam Eps neigborhood lebih kecil dari nilai MinPts, objek dinilai sebagai titik noise.

3. Titik noise dapat diubah kemudian jika titik bukan directly density reachable

tetapi merupakan density reachable.

4. Jika titik dipilih adalah titik core, maka sebuah penggerombolan baru dibangun. Kemudian seluruh titik directly density reachable neighborhood

dari titik core akan dimasukkan dalam penggerombolan.

5. Kemudian algoritma secara iteratif mengumpulkan objek density reachable

dari core objek.

6. Jika objek tidak ditandai sebagai titik noise atau tidak dalam penggerombolan dan perbedaan antara nilai rata-rata dari penggerombolan dan nilai baru lebih


(47)

7. Jika dua kelompok C1 dan C2 dekat satu sama lain, sebuah titik p mungkin milik kedua C1 dan C2. Kemudian titik p dimasukkan dalam penggerombolan pertama yang menemukan titik tersebut.

3.3.Pengembangan Prototipe Visualisasi

Metode yang digunakan dalam pengembangan aplikasi penggerombolan ST-DBSCAN dan DBSCAN adalah prototipe. Metode prototipe merupakan jenis metode yang memiliki siklus pengembangan. Metode ini digunakan karena dalam pembangunan atau pengembangan suatu aplikasi, proses yang dilakukan akan selalu bersifat dinamis atau selalu mengalami perubahan (update) sesuai dengan perkembangan jaman.

Metode prototipe dimulai dari komunikasi untuk mendiskusikan tujuan keseluruhan dari perangkat lunak tersebut, mengidentifikasikan kebutuhan, dan menguraikan permintaan klien. Pada prototipe tahap perencanaan dan perancangan dilakukan secara cepat. Perancangan tersebut difokuskan pada tampilan akhir dari perangkat lunak yang dibangun.

Perancangan ini mengarah kepada pembuatan prototipe dari perangkat lunak. Kemudian prototipe tersebut diserahkan dan dievaluasi untuk menghasilkan

feedback yang akan digunakan untuk menyempurnakan permintaan kebutuhan dari perangkat lunak tersebut.

3.4.Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Perangkat Lunak dan Ilmu Informasi (Software Engineering and Information Science /SEIS) dimulai bulan Januari 2012 sampai dengan bulan September 2012.


(48)

(49)

4

PEMBAHASAN

4.1.Sumber Data dan Karakteristik Data

Data diperoleh dari Fire Information For Resource Management System

(FIRMS) yang merupakan data hotspot yang disediakan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA). Hotspot tersebut diperoleh menggunakan data satelit Terra dan Aqua yang memiliki sensor bernama

Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) dalam mendeteksi suhu permukaan bumi.

Gambar 11 Lokasi Sumatera Selatan

Data yang diteliti adalah data titik panas (hotspot) kebakaran di Sumatera Selatan yang terletak antara 5o10’ sampai 1o20’ lintang selatan dan 101o40’ sampai 106o30’ bujur timur. Sehingga 1o akan mewakili jarak sekitar 110 km (Gambar 11).

4.2.Praproses Data

Tahapan praproses yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pemilihan data, transformasi data tanggal, dan pembersihan data.

4.2.1. Pemilihan Data

Terdapat 4822 record pada data hotspot Tahun 2002-2003 yang akan dipilih field lintang, bujur, dan tanggal. Kemudian pada data yang telah terpilih dilakukan pengelompokkan data berdasarkan bulan dan tahun yang sama sehingga terdapat 24 pengelompokan data dari bulan Januari 2002 sampai Desember 2003 untuk dilakukan penggerombolan menggunakan DBSCAN. Penggerombolan


(50)

menggunakan ST-DBSCAN menggunakan field lintang, bujur dan tanggal tanpa melakukan pengelompokan berdasarkan bulan dan tahun.

4.2.2. Tranformasi Data Tanggal

File diproses dalam ST-DBSCAN menggunakan format dd-mm-yyy, kemudian diubah dalam format number sebelum diolah dalam Matlab.

4.2.3. Pembersihan Data

Field yang tidak diperlukan dan atribut yang kosong akan dihilangkan pada data hotspot.

4.3.Penentuan Nilai Eps

Dalam pembentukan penggerombolan DBSCAN memerlukan parameter MinPts dan Eps. Parameter MinPts digunakan sebagai jumlah minimum titik dalam suatu penggerombolan. Penentuan nilai Eps pada DBSCAN juga digunakan dalam mentukan nilai Eps1 pada ST-DBSCAN.

Ide dalam penentuan nilai Eps dan MinPts adalah untuk titik dalam sebuah penggerombolan, maka k tetangga terdekat secara kasar memiliki jarak yang sama, titik noise memiliki jarak terjauh dari k-tetangga terdekat sehingga dilakukan plot jarak secara terurut pada setiap titik pada k-tetangga terdekat. Jika jarak dari titik ke k tetangga terdekat = k-dist, maka pada titik yang berada pada beberapa penggerombolan, nilai dari k-dist akan kecil jika k lebih kecil dari ukuran penggerombolan dan pada titik yang tidak berada dalam penggerombolan (titik noise) nilai k-dist relatif besar. Grafik k-dist dari data 2002-2003 terdapat pada Gambar 12.


(51)

Pada DBSCAN untuk mengoptimasi nilai Eps dan MinPts, didasarkan pada asumsi bahwa pada data tahun 2002-2003 yang telah ada, penggerombolan dapat diidentifikasi terbaik jika k tetangga terdekat memiliki jarak yang sama dengan titik yang lain atau dapat dikatakan bahwa titik dalam suatu penggerombolan secara kasar memiliki jarak yang sama. Untuk mengetahuinya dapat digambarkan dengan melakukan plot seluruh jarak ke k tetangga terdekat dari seluruh titik dengan nilai k yang bervariasi.

Untuk mengoptimalkan nilai Eps dan MinPts, dipilih garis yang mendekati garis menaik kemudian dipotong secara vertikal pada plot k tetangga terdekat dimana seluruh titik di sebelah kiri garis vertikal merupakan core point (Gambar 13). Sehingga semakin jauh digeser ke kiri, core point lebih sedikit dan penggerombolan yang terbentuk semakin sedikit. Sebaliknya jika garis potong vertikal berada di dekat sisi kanan grafik core point lebih banyak dan penggerombolan yang terbentuk semakin banyak. Pergeseran nilai ambang dilakukan untuk mendapatkan nilai ambang dengaan nilai k-dist yang maksimum yaitu penggerombolan dan jumlah titik noise yang kecil yang disesuaikan dengan kebutuhan penelitian dan data.

Gambar 13 Grafik pergeseran penggerombolan

Pergeseran nilai ambang pada penelitian ini dilakukan pada nilai k=4, k=7, k=11, k=15, dan k=18 dengan pergeseran nilai Eps 0.125 sampai 0.2. Dari pergeseran nilai ambang didapatkan nilai Eps=0.2 dengan penggerombolan yang paling sedikit yaitu berkisar antara 38-40 penggerombolan (Gambar 13). Nilai titik noise paling sedikit didapatkan pada k=4, k=7, dan k=11 dengan Eps=0.2 dan k=4 dengan Eps =0.175 dengan jumlah titik noise sebanyak 6. Sehingga penggerombolan DBSCAN menggunakan nilai Eps =0.2 dan k =4 sebagai MinPts (Gambar 14).

0 50 100

0.125 0.175 0.2

B a n y a k Pen g g er o m b o la n Nilai Eps1 Penggerombolan K=4 Penggerombolan K=7 Penggerombolan K=11 Penggerombolan K=15 Penggerombolan K=18


(52)

Gambar 14 Hubungan titik noise dengan Eps1

Pada ST-DBSCAN selain parameter Eps1 dan MinPts juga menggunakan parameter Eps2 (pada penelitian ini untuk mengukur waktu terjadinya kebakaran). Dalam menentukan nilai Eps2 dilakukan beberapa percobaan untuk mencari hasil penggerombolan optimal dengan jumlah penggerombolan kecil dan titik noise

yang kecil. Untuk itu dilakukan pengeplotan hasil menggunakan nilai Eps1=0.2 dan nilai Eps2 yang bervariasi yaitu 7, 15, 30 dan 35 sehingga didapatkan nilai penggerombolan dan titik noise yang paling kecil pada nilai Eps2=30 dan 35 (Gambar 15).

Gambar 15 Hubungan banyak titik noise, penggerombolan dan Eps2

Setelah melalui beberapa percobaan akan digunakan k = 4, dengan nilai Eps=0.2 yang mewakili jarak sekitar 22,2 km. Radius 0.2 juga dipilih dengan pertimbangan sifat hotspot pada MODIS dengan lingkup 1 Km sehingga terdapat kemungkinan kebakaran hutan yang menggerombol. Parameter Eps ini akan menghasilkan penggerombolan yang relatif sedikit, tetapi mereka akan menjadi kelompok yang berkorelasi.

4.4.Penggerombolan DBSCAN

Pada data hotspot kebakaran hutan tahun 2002-2003 terdapat 4822 data titik kebakaran hutan yang terdapat di Sumatra Selatan. Dari data tersebut dengan

0 50 100 150

0.125 0.175 0.2

B a ny a k No is e Nilai Eps1 Noise K=4 Noise K=7 Noise K=11 Noise K=15 Noise K=18 0 200 400 600

7 15 30 35

J um la h Peng g ero m b o la n / No is e Nilai Eps2 Penggerombola n Noise


(53)

dilakukan penggerombolan menggunakan DBSCAN pada lokasi lintang dan bujur hotspot. Hasil DBSCAN pada hotspot tahun 2002-2003 dengan radius jarak maksimum antara satu titik dengan titik tetangga terdekat adalah 0.2 derajat (Eps) dan jumlah minimal anggota suatu penggerombolan 4 (MinPts) diperoleh 38 penggerombolan dan 6 titik noise.

Penggerombolan terbentuk berdasarkan kedekatan jarak antara hotspot satu dengan yang lain. Setiap anggota penggerombolan memiliki persamaan yaitu berkumpul dan memiliki jarak radius 0.2 derajat antar hotspot. Yang membedakan antar hotspot satu dengan yang lain adalah jarak pada titik paling luar (border) antar kelompok yang memiliki jarak lebih besar dari 0.2 derajat sehingga membentuk penggerombolan yang terpisah. Waktu terjadinya hotspot diabaikan dalam penentuan penggerombolan dan setiap penggerombolan yang terbentuk memiliki anggota hotspot yang terjadi pada tahun 2002-2003 dan dalam waktu yang berbeda-beda.

Gambar 16 merupakan 13 penggerombolan dengan jumlah anggota terbesar dengan jumlah hotspot antar penggerombolan antara 110-557 hotspot. Dari 15 kabupaten di Sumatera Selatan daerah yang memiliki penggerombolan dengan jumlah anggota tertinggi terdapat pada kabupaten Ogan Komering Ilir (tiga penggerombolan dengan jumlah 1464 hotspot). Selain itu terdapat penggerombolan lainnya dengan jumlah anggota yang lebih kecil berkisar antara 5-96 hotspot.


(54)

Pada Tahun 2002-2003 diperoleh 6 titik noise yang berada pada kabupaten Banyuasin, kabupaten Kota Pagar dan kabupaten Muara Enim titik-titik tersebut tidak menggerombol/ kemunculannya tidak disertai dengan minimal 3 hotspot yang berada di sekitarnya (Gambar 17) sehingga terdapat kemungkinan daerah ini merupakan daerah yang sangat jarang terjadi kebakaran hutan atau hotspotpalsu.

Gambar 17 Lokasi titik noise pada kabupatenBanyuasin, kabupaten Lahat dan kabupaten Muara Enim

Penggerombolan hotspot pada seluruh data tahun 2002-2003 dengan menggunakan DBSCAN tanpa memperhatikan aspek waktu tidak dapat dianalisis kemunculannya pada periode waktu tertentu sehingga menggunakan data hotspot yang telah dikelompokan per bulan dari Januari 2002 – Desember 2003. Secara visual pada penggerombolan hotspot tanpa pemisahan data per bulan terdapat karakteristik lokasi yang terlihat jelas perbedaanya antar penggerombolan meskipun tidak diketahui periode waktu penggerombolannya (Lampiran 1).

Gambar 18 Grafik jumlah penggerombolan tahun 2002-2003

0 10 20 30 40 Jan Fe b Ma re t Ap ri l Me i Ju n i Ju li Agt Se p Ok t N o v De s Ju m lah Pen g g e ro m b o lan Bulan 2002 2003


(55)

Dari hasil penggerombolan DBSCAN tahun 2002-2003 dengan input data yang telah dikelompokan per bulan dihasilkan 187 penggerombolan dan 325 titik

noise dengan jumlah penggerombolan besar pada bulan Juli - Oktober yang berarti bergerombol sampai 187 lokasi penggerombolan pada musim kering dan lembab (Gambar 18 dan 19). Pada bulan Desember-Juni hampir tidak terdapat penggerombolan yaitu pada musim basah. Menurut Sulistiyowati (2004) tingginya jumlah hotspot pada musim kering menunjukkan adanya hubungan bahwa pada bulan-bulan kering memiliki potensi sebagai penghasil hotspot. Pada bulan-bulan itu juga biasanya kebakaran hutan dan lahan sering terjadi.

Gambar 19 Grafik jumlah hotspot tahun 2002-2003

Secara visual penggerombolan hotspot dengan melakukan pemisahan data per bulan hampir menyebar pada seluruh lokasi sehingga sulit menemukan pola dengan persebaran pada lokasi yang hampir sama tetapi waktu penggerombolan yang berbeda ataupun penggerombolan pada lokasi yang sama tetapi periode waktu yang berbeda (Lampiran 2).

4.5.Penggerombolan ST-DBSCAN

ST-DBSCAN merupakan salah satu teknik penggerombolan spatiotemporal

yang menggunakan parameter Eps1 sebagai parameter pengukur kedekatan antara dua titik geografis (garis bujur dan garis lintang), Eps2 sebagai parameter non

spasial dalam penelitian ini sebagai waktu, MinPts sebagai parameter minimal jumlah titik dalam suatu penggerombolan dan untuk menjaga penemuan penggerombolan yang bervariasi dengan sedikit perbedaan dalam nilai non spasial dnegan nilai tetangga terdekat. Jika perbedaan Cluster_Avg (nilai rata-rata atribut

non spasial dalam penggerombolan) dan Object_Value (nilai non spasial objek

0 500 1000 1500 Jan Fe b Ma re t Ap ri l Me i Ju n i Ju li Agt Se p Ok t N o v De s Ju m lah H o tsp o t Bulan 2002 2003


(56)

yang akan diseleksi dalam penggerombolan) lebih besar dari nilai batas maka objek tidak dimasukan dalam penggerombolan. Gambar 20 merupakan ilustrasi parameter yang digunakan dalam ST-DBSCAN yaitu x, y sebagai lokasi titik yang diukur menggunakan Eps1 dan T sebagai parameter waktu yang diukur menggunakan Eps2.

Gambar 20 Ilustrasi penggunaan parameter ST-DBSCAN

Aplikasi penggerombolan ST-DBSCAN yang diaplikasikan pada kebakaran hutan di Sumatra Sekatan dilakukan untuk menemukan pola kebakaran hutan yang memiliki kesamaan karakteristik ruang dan waktu. Konsentrasi hotspot akan mengindikasikasikan fenomena yang menarik baik merupakan pola kemunculan yang sering terjadi ataupun yang jarang terjadi.

Pola spatiotemporal penggerombolan hotspot kebakaran hutan akan mengadopsi penggolongan tipe dari Poelitz dan Andrienko (2006) yaitu

stasionary, reappearing (periodic/regular, irregular), occasional, dan tracks. Tipe yang ditemukan dalam penelitian ini yaitu regular, irregular, occasional. Tabel 2 merupakan data penggolongan tipe yang akan dijadikan lambang anggota penggerombolan untuk memudahkan ilustrasi hasil penggerombolan.

Tabel 2 Data penggolongan tipe penggerombolan Tipe Penggerombolan Lambang

Stasionary Periodic/ regular

X

irregular Occasional Track

Dari hasil ST-DBSCAN menggunakan radius jarak terdekat antara satu titik dengan titik lainnya sejauh 0.2 derajat (22 km), beda waktu maksimal antara satu


(57)

titik dengan titik lainnya 30 hari dan jumlah minimal anggota dalam satu penggerombolan adalah 4 anggota maka didapatkan 147 penggerombolan dan 149 titik noise. Pada penggerombolan tersebut terdapat 11 penggerombolan terbesar dengan jumlah hotspot antara 81-219 dan 6 diantaranya merupakan penggerombolan yang dimiliki Ogan Komering Ilir dengan total jumlah 1091 hotspot (Gambar 21). Lokasi penggerombolan tersebut menyebar di daerah Musi Rawas, Muara Enim, Musi Banyuasin, dan Ogan Komering Ilir. Informasi 11 penggerombolan terdapat pada Tabel 3.

Gambar 21 Penggerombolan terbesar Tabel 3 Data 11 penggerombolan terbesar No Daerah Jumlah

hotspot

Waktu

39 Ogan Komering Ilir 219 September – November 2002 27 Ogan Komering Ilir 197 Agustus – Oktober 2002 29 Ogan Komering Ilir 184 September –November 2002 30 Ogan Komering Ilir 170 September –November 2002 49 Ogan Komering Ilir 119 Oktober –November 2002 8 Ogan Komering Ilir 98 Agustus – September 2003 7 Musi Rawas 98 Juli – September 2002 111 Musi Rawas 98 Juli – Agustus 2003

48 Banyuasin 104 Oktober – November 2002 107 Musi Banyuasin 81 Juli – Agustus 2003

102 Muara Enim 118 Juli –Agustus 2003

Daerah Ogan Komering Ilir merupakan daerah dengan kepadatan hotspot paling tinggi di wilayah Sumatera Selatan dan memiliki 3 tipe penggerombolan


(58)

waktu yang berbeda. Penggerombolan tipe ini pada daerah 1 muncul pada bulan Oktober – November 2002, Juli – Agustus 2003, dan September – Oktober 2003. Pada daerah 2 muncul pada bulan September – November 2002, dan Juli – Oktober 2003. Dan pada daerah 3 muncul pada bulan Agustus – November 2002, dan Juli – Agustus 2003. Lokasi penggerombolan terdapat pada Gambar 22.

Keterangan

Daerah 2 Daerah 3 Daerah 1

Gambar 22 Penggerombolan Ogan Komering Ilir

Daerah Musi Banyuasin merupakan salah satu daerah yang memiliki kepadatan hotspot yang tinggi. Secara spatiotemporal ditemukan tipe penggerombolan irregular (Gambar 23).

Keterangan Daerah 2 Daerah 3 Daerah 1

Daerah 4

Gambar 23 Penggerombolan Musi Banyuasin

Tipe penggerombolan irregular pada Musi Banyuasin terdapat pada 4 lokasi daerah penggerombolan. Daerah 1 muncul pada bulan Juni – Juli 2002 dan


(59)

Agustus 2003. Daerah 2 muncul pada bulan Agustus – November 2002, Februari

– Maret 2003, dan Mei – Juni 2003. Daerah 3 muncul pada bulan Maret – April 2002, Juli – September 2002, dan Mei – Juni 2003. Daerah 4 muncul pada bulan September – Oktober 2002, September – Oktober 2003, Juli – Agustus 2003, dan bulan Agustus – Oktober 2002.

Secara spatiotemporal di Banyuasin ditemukan tipe penggerombolan

irregular. Tipe penggerombolan irregular muncul pada bulan Agustus -November 2002, dan Juni – Oktober 2003 (Gambar 24).

Gambar 24 Penggerombolan Banyuasin

Pada Musi Rawas terdapat tipe penggerombolan irregular. Penggerombolan

irregular muncul pada bulan September – Oktober 2002, Juli – September 2002, Mei – Juni 2003, Juli – Agustus 2003, dan September – Oktober 2002 (Gambar 25).


(60)

Pada kabupaten OKU penggerombolan regular muncul pada bulan Agustus

– September. Kabupaten OKU Selatan memiliki juga penggerombolan regular

yang muncul pada bulan September – Oktober. Pada OKU Timur penggerombolan iregular terjadi pada bulan Agustus – November 2002 dan Juli – Agustus 2003 (Gambar 26).

Keterangan Regular OKU Regular OKU Selatan

Irregular OKU Timur

Gambar 26 Penggerombolan OKU, OKU Selatan, dan OKU Timur

Tipe Penggerombolan occasional ditemukan pada wilayah perbatasan kabupaten Musi Banyuasin dan Banyuasin yang terjadi pada bulan Oktober 2003, penggerombolan kabupaten Empat Lawang pada bulan September-November 2002, dan penggerombolan kabupaten Banyuasin pada bulan September-Oktober 2002 (Gambar 27).


(61)

Secara umum penggerombolan hotspot kebakaran hutan tahun 2002-2003 banyak terjadi pada bulan Juli – November dan sebaliknya sedikit terjadi pada bulan Desember – Juni (Tabel 4).

Tabel 4 Data penggerombolan terbagi dalam bulan

Bulan 2002 2003

Penggerombolan Jumlah titik

Penggerombolan Jumlah titik

1 70 5

3-4 72 6

2-4 73 7

4-6 74 11

5-7 75,76,77,78 118

5-6 1 5

6-7 2,3 10 79,81,82,83,85,86,87, 124 6-8 4 18 80,84,88,89,91 165

7-8 92,93.94,95,97 109

7-9 5,6,7 148 96,98,99,100,101,102, 103,104,105,106,107, 108,109,110,111,112, 113,114,115

815

8-9 8,9,11,12,20 234 116,117,118,119,120, 121,122,123,125,127, 132,

307

8-10 10,13,14,15,16,17 ,18,19

21,22,23,24,25,26 ,27

697 124,126,128,129,130,1 31,

133,136

269

9-10 28,31,33,34,35,36 ,37,38

40,41,42

197 66,68,90,134,135,137,1 38,

139,140,141,144,145,1 46

284

9 142,143 9

9-11 29,30,32,39,43,44 ,45,46

665 69,71 18

10-11 47,48,49,50,52,53 ,54

59,60,61,62,65

366

10 51,56,57,58,63,64 72 55 4

11 67 8

Penggerombolan kebakaran hutan memiliki perbedaan bentuk dalam ruang dan waktu. Penggerombolan dalam ruang yang luas tetapi dalam waktu yang pendek dapat diartikan banyak terjadi kebakaran hutan dalam waktu yang pendek. Penggerombolan yang kompak dalam ruang dan terjadi berulang pada ruang yang


(62)

sama dapat diartikan daerah penggerombolan memiliki kerawanan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah lain.

4.6.Pembahasan Umum

Dalam penelitian ini digunakan parameter jarak dan waktu dalam mengukur kedekatan hubungan antar objek dalam suatu penggerombolan. Teknik penggerombolan yang digunakan adalah DBSCAN dan ST-DBSCAN. Kedua metode ini memiliki kelebihan dalam mengenali penggerombolan yang terjadi lintas wilayah administrasi terkait dalam isu administrasi dalam pemetaan yang pada umumnya berdasarkan daerah/lokasi tertentu. Akibatnya memiliki implikasi implikasi manajemen pengelolaan kebakaran hutan jika terdapat daerah penggerombolan yang rawan kebakaran hutan dan terletak diantara batas administrasi daerah. Secara khusus berikut kekurangan dan kelebihan metode-metode:

4.6.1. DBSCAN

Penggunaan metode DBSCAN memiliki kelebihan pada kecepatan pemrosesan data besar dalam waktu singkat dan penggerombolan yang dihasilkan merupakan agregasi titik yang memiliki jarak radius tertentu dalam waktu yang beragam. Dalam penelitian ini dengan menggunakan data 4822 hotspot waktu pemrosesan yang dibutuhkan hanya 15 detik. Metode ini baik jika digunakan dalam mencari lokasi penggerombolan tanpa memperhatikan waktu dan memiliki jumlah data yang besar

Metode DBSCAN memiliki kekurangan jika rata-rata jarak antar titik sama maka penggerombolan yang terjadi akan memusat dalam satu penggerombolan besar sehingga terbentuk satu tipe penggerombolan yang sejenis. DBSCAN juga tidak bisa diaplikasikan dalam mengenali penggerombolan dengan kerapatan yang beragam.

Dalam penelitian ini DBSCAN yang diaplikasikan pada seluruh data dapat mengenali beberapa penggerombolan. Penggerombolan yang dihasilkan mampu mengenali beberapa pola spasial wilayah dengan kerapatan hotspot yang tinggi. Tetapi tidak bisa mengenali pola-pola temporal yang menyangkut waktu kejadian suatu hotspot.


(63)

DBSCAN yang diaplikasikan pada data hotspot per bulan menghasilkan penggerombolan yang menyebar rata keseluruh wilayah, dominasi penggerombolan tidak begitu terlihat jelas, meskipun periode terjadinya penggerombolan diketahui tetapi secara spasial (menyangkut lokasi) kurang memberikan perbedaan lokasi penggerombolan yang terjadi.

4.6.2. ST-DBSCAN

Penggunaan metode ST_DBSCAN memiliki kelebihan dalam menggerombolkan data spatiotemporal sehingga dapat dicari pola keterkaitan hasil penggerombolan dengan waktu terjadi kebakaran hutan diantaranya tipe penggerombolan stasionary, muncul kembali, jarang dan trek. Jika metode ST-DBSCAN dibuat dalam periode waktu yang lama bisa dihasilkan data keteraturan. Data keteraturan memuat dalam suatu periode waktu terjadinya penggerombolan dalam lokasi yang sama, penggerombolan dalam lokasi yang berbeda, rata-rata jarak waktu dalam suatu penggerombolan, dan jumlah anggota dalam penggerombolan.

Tetapi metode ST-DBSCAN memiliki kelemahan dalam kecepatan pemrosesan data. Dalam penelitian ini dengan menggunakan data 4822 hotspot waktu pemrosesan yang dibutuhkan 6 jam. Kelemahan itu dapat diatasi dengan menggunakan pemrosesan paralel yang telah dilakukan Derya Birant penemu metode ST-DBSCAN.

4.6.3. DBSCAN dan ST-DBSCAN

Meskipun ST-DBSCAN merupakan lanjutan dari DBSCAN tetapi penggerombolan yang terjadi tidak selalu sama. Suatu penggerombolan bisa saja muncul pada DBSCAN tetapi tidak muncul dalam ST-DBSCAN. Sebuah penggerombolan besar pada DBSCAN bisa menjadi beberapa penggerombolan kecil pada ST-DBSCAN.

Pada DBSCAN antara satu penggerombolan dengan penggerombolan yang lain dipisahkan oleh anggota penggerombolan yang merupakan titik terluar dan memiliki jarak kurang dari Eps1 yang diberikan sedangkan pada ST-DBSCAN selain titik terluar yang memiliki jarak kurang dari Eps pada titik lain juga dipisahkan variabel waktu (Gambar 28).


(64)

DBSCAN ST-DBSCAN

Gambar 28 Penggerombolan DBSCAN dan ST-DBSCAN

4.6.4. Pemetaan Daerah Rawan Kebakaran yang Telah Ada

Saat ini diantara beberapa metode yang digunakan di Indonesia dalam melakukan pemetaan daerah rawan kebakaran hutan yaitu dengan menggunakan metode densitas dan metode expert.

hotspot Batas administrasi

daerah Hasil tumpang tindih dikaitkan dengan

faktor penyebab kebakaran

1/c 2/d 1/b 1/a

Hasil perhitungan densitas

a b

c d

Gambar 29 Ilustrasi metode densitas

Metode densitas biasanya digunakan oleh pemerintah. Cara ini bersifat reaktif dalam artian pada kasus kebakaran hutan setelah muncul beberapa hotspot kebakaran hutan maka baru dikaitkan dengan faktor penyebab kebakaran. Contoh penggunaan metode densitas dalam peta kerawanan kebakaran hutan yaitu dengan melakukan operasi tumpang tindih antara hotspot dengan batas administrasi daerah kemudian dilakukan perhitungan densitas (Gambar 29). Penggunaan metode ini memiliki kekurangan ketika terjadi penggerombolan pada suatu lokasi yang terletak diantara batas administrasi daerah maka akan menganggap densitas objek berbeda yang seharusnya objek memiliki sifat yang sama atau mirip.


(65)

Tata guna lahan yang telah diberi bobot

hotspot Hasil operasi

tumpang tindih kemudian dihitung densitasnya 2 1 3 4 1 3 4 2 Batas administrasi daerah 1/a Densitas 3/b 1/c = 3/a =12/b = 2/c c d a b Daerah a,b,c,d Meskipun memiliki sifat yang sama x dan y akan terpisah oleh batas administrasi

x y

Densitas x bobot variabel faktor

Gambar 30 Ilustrasi metode expert

Metode expert menggabungkan metode densitas dan pembobotan variabel faktor. Contoh penggunaan metode expert dalam peta kerawanan kebakaran hutan yaitu dengan melakukan operasi tumpang tindih antara hotspot dengan variabel faktor penyebab kebakaran hutan (Gambar 30). Variabel faktor merupakan faktor-faktor pemicu terjadinya kebakaran hutan misalnya bahan pembakar, curah hujan, tata guna lahan dan tanah. Sebelum dilakukan operasi tumpang tindih dilakukan pembobotan (scoring) terhadap variabel faktor. Kekurangan dalam penggunaan metode ini adalah lamanya proses pengolahan data dan kedekatan titik masih tergantung pada batas administrasi daerah.

Penggerombolan yang terjadi dalam lintas wilayah administrasi merupakan kelemahan metode expert dan metode densitas. Kedua metode ini tidak mengatasi kelemahannya terhadap hukum Geografi 1 Tobbler yang logikanya nilai titik yang berdekatan akan memiliki nilai yang mendekati dibandingkan dengan nilai di titik yang lebih jauh ketika berada dalam batas batas wilayah tertentu.

Penggunaan metode DBSCAN dan ST-DBSCAN dalam memisahan tipe penggerombolan satu dengan yang lain tidak terpengaruh dengan batas wilayah/administrasi, dan lebih pasti dalam menggerombolkan beberapa titik kebakaran dimana anggota penggerombolan akan memiliki sifat yang sama atau mirip karena melewati fase perhitungan karakter objek. Dari hasil penggerombolan yang memiliki anggota berkarakter sejenis/mirip lebih baik


(66)

untuk digabungkan dengan variabel-variabel lainnya. Hal itu disebabkan karakter yang sejenis/mirip akan lebih mudah dikaitkan dengan variabel-variabel dalam mencari penyebab kebakaran hutan.

4.7.Pengembangan Prototipe Visualisasi

Metode prototipe dimulai dengan melakukan pengumpulan kebutuhan yang diperlukan perangkat lunak, mendefinisikan objek yang diperlukan perangkat lunak. Dari kebutuhan perangkat lunak akan dibuat sebuah desain cepat yang berfokus pada representasi dari aspek-aspek perangkat lunak yang akan terlihat oleh pelanggan/pengguna (misalnya, masukan pendekatan dan format output). Desain cepat mengarah dalam pembangunan prototipe. Hasil prototipe akan dievaluasi pengguna (feedback) yang akan digunakan untuk memperbaiki persyaratan perangkat lunak yang akan dikembangkan. Iterasi diperlukan dalam memahami dan mengidentifikasi kebutuhan perangkat lunak.

Siklus Pertama

Siklus pertama adalah siklus awal dari pembangunan aplikasi penggerombolan.

4.7.1. Komunikasi

Pada tahap ini dilakukan komunikasi (diskusi) dengan pakar kebakaran hutan dan lahan tentang perangkat lunak yang akan dikembangkan untuk memperoleh definisi kebutuhan perangkat lunak, deskripsi umum dari sistem dan karakteristik dari pengguna sistem. Studi literatur mengenali hotspot kebakaran hutan, algoritma DBSCAN dan ST-DBSCAN dilakukan untuk mengadaptasi algoritma dalam studi kasus kebakaran hutan.

a. Analisis Kebutuhan Pengguna

Dalam pembangunan aplikasi penggerombolan DBSCAN dan ST-DBSCAN, target user yang mengakses adalah jenis user yang tidak begitu mengerti akan pengaksesan perangkat lunak. Metode penempatan atau tata letak dari menu navigasi, tombol fungsi maupun pemilihan warna dan font untuk isi dari aplikasi ini diatur sedemikian rupa agar dapat memudahkan user. Pengguna adalah praktisi yang ingin melakukan penggerombolan data menggunakan metode DBSCAN dan ST-DBSCAN.


(1)

54

Coulston JW dan Riitters KH. 2003. Geographic Analysis Of Forest Health Indicator Using Spatial Scan Statistic. Environ Manage 31:764-73. Dephut-JICA. 2002. Hotspot Distribution Image in Sumatera and Kalimantan

July 2002-December 2002. Forest Fire Prevention Management Project phase2.

Dove, M.R. 1988. Sistem Perladangan di Indonesia Suatu studi-kasus dari Kalimantan Barat. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.

Ester M, Kriegel H, Sander J, Xu X .1996. A Density-Based Algorithm for Discovering Cluster in Large Spatial Database with Noise. Proceeding 2 nd Int Conf. on Knowledge Discovery and Data Mining.

Fayyad M.U., Piatesky-Shapiro G, Smuth P, Uthurusamy R. 1996. Advance in Knowledge Discovery and Data Mining. AAAI Press.

Fire Information For Resource Management System (FIRMS). 2012. MODIS Active Fire Data. (http://firefly.geog.umd.edu/firms/faq.htm, diakses tanggal 3 Oktober 2012).

Franky, P. 1999. Dampak Kebakara HutanTerhadap Perubahan Sifat-Sifat Tanah Histosol di Hutan Rawa Gambut. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Han J dan Kamber M. 2006. Data Mining: Concepts and Techniques. San Francisco,USA: Morgan – Kauffman.

Han J, Kamber M, Anthony K.H.Tung. 2001. Spatial Clustering Methods in Data Mining: A Survey. Data Mining and Knowledge Discovery-DATAMINE The How Liong, PM Siregar. 2006. Sistem Peringatan Dini Di Indonesia

Berdasarkan Aktivitas Matahari dalam proseding Seminar Sains Antariksa III. Lapan. Bandung

Kirvan AP. 1997. Latitude and Longitude. NCGIA Core Curriculum in Geographic Information Science. USA.

Kisilevich S, Mansmann F, Rinzivillo S, dan Nanni M. 2010. Spatiotemporal clustering The Data Mining and Knowledge Discovery Handbook. Springer.


(2)

55

Pressman R. 2005. Software Engineering: A Practitioner’s Approach. Ed 6. New York: McGraw-Hill.

Poelitz C dan Andrienko N. 2010. Finding Arbitrary Shaped Cluster with Related Extents in Space and Time. IEEE-VGTC Simposium on Visualization. Miller HJ. 2004. Tobbler’s First Law and Spatial Analysis. Annals of the

Association of American Geographer. UK : Blackwell publishing. Rahim MS. 2006. The Development of Spatiotemporal Data Model for Dynamic

Visualization of Virtual Geographical Information System [tesis]. Johor: Fakultas Sains Komputer dan Sistem Maklumat, Universitas Teknologi Malaysia.

Roddick dan Spiliopoulou. 1999. A Bibliography of Temporal, Spatial and Spatio-Temporal Data Mining Research. SIGKDD Explorations 1: 34-38. Rowell A dan Moore PF. 2001. Global Review of Forest Fires. WWF. IUCN,

Gland.

Shekhar dan Chawla. 2003. Spatial Databases A Tour. Prentice Hall

Shekar S, Zhang P, Vatsavai R.R , Research Accomplishments and Issues on Spatial Data Mining

Slamet L dan Berliana S. 2007.Indikasi Perubahan Iklim dari Pergeseran Bulan Basah, Kering , dan Lembab. Prosiding Seminar Nasional Pemanasan Global, Fakta, Mitigasi, dan Adaptasinya.

Soemarsono.1997. Kebakaran Lahan, Semak Belukar dan Hutan di Indonesia (Penyebab, Upaya, dan Perspektif Upaya di Masa Depan). Prosiding Simposium : Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sumberdaya Alam dan Ligkungan. Yogyakarta.

Soeriaatmadja, R.E. 1997. Dampak Kebakaran Hutan Serta Daya Tanggap Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam Terhadapnya. Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sumberdaya Alam dan Lingkungan Yogyakarta.

Sulistyowati, S. 2004. Hubungan Unsur Iklim dan Titik Panas (Hotspot) di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Propinsi Sumatera Selatan Periode Tahun 2001-2002. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.


(3)

56

Tan P, Steinbach M, Kumar V .2006. Introduction to Data Mining. Addison-Wesley.

Liu P, Zhou D, Wu N. 2007. Varied Density Based Spatial Clustering of Application with Noise. Proceedings of IEEE Conference ICSSSM.


(4)

(5)

Lampiran 1 Gambar Keseluruhan penggerombolan DBSCAN warna mengilustrasikan perbedaan penggerombolan


(6)

Lampiran 2 Gambar Keseluruhan penggerombolan DBSCAN dengan data perbulan warna mengilustrasikan perbedaan penggerombolan