Forest and Land Fires Management Strategy in Rawa Aopa Watumohai National Park Using Spatial Model

(1)

STRATEGI PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN

LAHAN DI TAMAN NASIONAL RAWA AOPA WATUMOHAI

DENGAN PEMANFAATAN PEMODELAN SPASIAL

DWI PUTRO SUGIARTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(2)

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Strategi Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai dengan Pemanfaatan Pemodelan Spasial adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum disajikan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2013 Dwi Putro Sugiarto A156110344


(4)

Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai dengan Pemanfaatan Pemodelan Spasial. Dibimbing oleh KOMARSA GANDASASMITA dan LAILAN SYAUFINA.

Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) merupakan salah satu kawasan konservasi penting sebagai tempat hidup spesies Wallacea dan telah memiliki status internasional sebagai situs Ramsar. Saat ini kawasan TNRAW mengalami gangguan kebakaran yang berpotensi menurunkan peran dan fungsi kawasan.

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kerawanan kebakaran hutan dan lahan di TNRAW dan sekitarnya; (2) mengoptimalkan penanganan kebakaran hutan dan lahan di TNRAWmelalui peringatan dini/ pemodelan spasial; (3) menyusun arahan strategi pengendalian kebakaran hutan dan lahan di TNRAW.

Pengolahan dan analisis pemodelan spasial dalam penelitian ini menggunakan metoda CMA (Composite Mapping Analysis). Sesuai hasil analisis terhadap 13 variabel terkait bahan bakar dan sumber penyalaan, terpilih 9 variabel penyusun model kepadatan hotspot terbaik di wilayah studi, yaitu jarak dari mangrove, tingkat PDRB per kapita, jarak dari sungai, tipe penutupan lahan, suhu bulanan rata-rata, elevasi, slope, jarak dari kota kecamatan dan kepadatan penduduk. Secara spasial, faktor yang paling berpengaruh terhadap kerawanan kebakaran hutan dan lahan di wilayah studi adalah faktor sosial ekonomi dan penutupan lahan, sedangkan secara temporal frekuensi kejadian kebakaran di wilayah studi erat kaitannya dengan intensitas curah hujan (musim).

Model komposit terbaik memiliki nilai koefisien determinasi 25.8 % dan berbentuk polinomial. Pengkelasan tingkat kerawanan kebakaran menggunakan batas kelas nilai rata-rata ditambah Standar Deviasi pada Arc GIS 9.3. Di TNRAW, kelas kerawanan kebakaran rendah memiliki luas 815.32 km² (77.51 %), sedang 92.74 km² (8.8 %) dan tinggi 137.14 km² (13.04 %). Kelas kerawanan kebakaran tinggi terluas pada zona rimba 104.86 km² (9.97 %), sementara untuk zona inti proporsi luasannya hanya 2.1 km² (0.2%).

Berdasarkan model spasial ini maka upaya pengendalian kebakaran yang efektif perlu memperhatikan penanganan faktor sosial ekonomi masyarakat serta pengelolaan penutupan lahan (vegetasi). Prioritas area pengendalian umumnya terdapat ada zona inti dan zona rimba dengan tingkat kerawanan kebakaran tinggi yang membentang mulai kaki Gunung Watumohai sampai dengan kawasan savana di dekat hutan mangrove. Berdasarkan teknik Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM), prioritas strategi pengendalian kebakaran hutan dan lahan di TNRAW adalah analisis gangguan dan diversifikasi metoda pengendalian kebakaran baik bersifat preventif maupun represif seperti sosialisasi, promosi dan pengembangan sarana prasarana DALKARHUT, penegakan hukum dan pemadaman kebakaran dengan nilai Total Sum of Attractiveness Score 5.87. Kata Kunci : Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, savana, CMA, model


(5)

SUMMARY

DWI PUTRO SUGIARTO. Forest and Land Fires Management Strategy in Rawa Aopa Watumohai National Park Using Spatial Model. Under direction KOMARSA GANDASASMITA and LAILAN SYAUFINA.

Rawa Aopa Watumohai National Park (TNRAW) is one of the most important conservation areas in Indonesia which has unique species in Wallacea region, and an international status as a RAMSAR Site. Unfortunately, TNRAW has been disturbed by wildfire that could potentially degrade functions.

The objectives of this study were (1) to analyze the appropriate factors that influenced the vulnerability of forest fires in TNRAW and the surrounding areas, (2) to optimize forest fires management in TNRAW through early warning and spatial modeling, (3) to formulate strategic direction to control forest fires in TNRAW.

This research used the CMA (Composite Mapping Analysis) method. Based on the analysis of the 13 variables associated fuels and ignitions, it was formed 9 variables that built the hotspots density model in the study area, they were the average monthly temperature, elevation, slope, level of income, population density, land cover, the buffers of rivers, the buffers of mangrove / marine and the buffers of district centers. The factors influenced spatially vulnerability of the forest fires in the study area were socio-economic (regional income) and land cover. On the other hand, the rainfall intensity influenced temporally frequency of wildfires.

Best composite model had a determination coefficient of 25.8 % and formed a polynomial model. Three classes of fires vulnerability grouped by Arc GIS 9.3 based on summary mean and standard deviation, ie low vulnerability 815.32 km² (77.51 %), middle class 92.74 km² (8.8 %) and high vulnerability 137.14 km² (13.04 %). The widest class of high vulnerability was the buffer zone of 104.86 km² (9.97 %), and the core zone just only 2.1 km² (0.2 %).

According to the spatial model, the effective forest fires management needed to consider socio-economic and land cover. The priority of the forest fires management needed to be focused at the core zone and the buffer zone from the foot of Watumohai Mountains to savanna near mangrove which high vulnerability for wildfires. The chosen strategy based on Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) method by score of 5.87 was the threats analysis and diversification of forest fire control method, devided into preventif and repressive methods, such as socialization, promotion, infrastructure development, law enforcement and fire suppression.

Keywords: Rawa Aopa Watumohai National Park, savanna, CMA, spatial model, forest and land fire


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

STRATEGI PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN

LAHAN DI TAMAN NASIONAL RAWA AOPA WATUMOHAI

DENGAN PEMANFAATAN PEMODELAN SPASIAL

DWI PUTRO SUGIARTO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(8)

(9)

(10)

PRAKATA

Alhamdulillahi robbil ‘alamin, segala puji dan syukur kehadirat Alloh Subhanahu wa Ta’ala, karena dengan izin dan pertolongan dari-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini dengan baik dan lancar.

Dalam kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dan membimbing penulis semenjak masa perkuliahan hingga pada penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc dan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina,M.Sc selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan, inspirasi dan motivasi dalam penyusunan tesis ini, serta Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc selaku Penguji Luar Komisi. Terima kasih atas waktu, tenaga dan pikiran yang telah dicurahkan untuk penulis;

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus dan Ibu Dr. Ir. Khursatul Munibah,M.Sc beserta segenap Staf Pengajar Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) IPB;

3. Pimpinan dan Staf Pusbindiklatren BAPPENAS yang telah mensponsori perkuliahan ini dengan beasiswa yang diberikan kepada penulis;

4. Bapak Ir. Francisco Moga, MP selaku Kepala Balai Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai dan teman-teman sekantor Risyad N, Satri, Darman, M. Basir, M. Tayeb, Moersidi, Poci dll terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya selama ini;

5. Bapak Ir. Kholid Indarto selaku Kepala Balai Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai periode 2009-2012 yang telah memberikan motivasi dan mengusulkan penulis untuk mengikuti seleksi beasiswa BAPPENAS;

6. Istriku tercinta, Rahmah Farida, atas segala dukungan dan pendampingan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Tak lupa teruntuk buah hati tersayang, Faris Ahmad Dzaki yang menjadi penghibur dan penyejuk hati dengan segala polah dan celotehannya;

7. Seluruh rekan-rekan mahasiswa S-2 Ilmu Perencanaan Wilayah kelas khusus BAPPENAS angkatan 2011 atas semangat dan kebersamaan selama menjalani masa perkuliahan selama ini;

8. Semua pihak yang telah memberikan bantuannya dalam penyusunan tesis ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga semua pihak yang telah memberikan dukungan, perhatian dan kebaikan lainnya kepada penulis, diberikan balasan kebaikan yang berlipat dari Alloh SWT. Amin.

Bogor, Mei 2013 Dwi Putro Sugiarto


(11)

DAFTAR ISI

DAFTARTABEL ... X

DAFTARGAMBAR ... XI

DAFTARLAMPIRAN ... XI

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Kerangka Pemikiran ... 4

2 KONDISIUMUMWILAYAH ... 6

2.1 Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai ... 6

2.2 Kondisi Sosial Ekonomi Wilayah Sekitar Kawasan TNRAW ... 12

3 TINJAUANPUSTAKA ... 16

3.1 Memahami Api dan Kebakaran ... 16

3.2 Sistem Informasi Geografis (SIG) Kebakaran Hutan dan Lahan ... 22

3.3 Pemodelan Spasial ... 23

3.4 Analisis SWOT dan QSPM ... 24

4 METODEPENELITIAN ... 26

4.1 Lokasi dan Waktu ... 26

4.2 Data dan Alat Penelitian ... 26

4.3 Metode Penelitian ... 26

5 HASILDANPEMBAHASAN ... 37

5.1 Verifikasi Hotspot ... 37

5.2 Jumlah dan Sebaran Hotspot ... 40

5.3 Uji Beda Nyata Antar Kelas ... 42

5.4 Pembangunan Skor ... 43

5.5 Pendugaan Model Komposit ... 59

5.6 Analisis Kerawanan Kebakaran Menurut Tata Ruang Zonasi ... 66

5.7 Strategi Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan ... 70

6 SIMPULANDANSARAN ... 89

6.1 Simpulan ... 89

6.2 Saran ... 89

DAFTARPUSTAKA ... 90

LAMPIRAN ... 94

RIWAYATHIDUP ... 120 x xi xi


(12)

DAFTAR TABEL

1 Kecamatan-kecamatan di kawasan TNRAW ... 6

2 Potensi debit air musim kemarau pada sungai di kawasan TNRAW ... 7

3 Luasan kelas lereng kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai ... 8

4 Hari hujan dan curah hujan di kawasan TNRAW ... 9

5 Jenis tanah di kawasan TNRAW menurut Peta RePProt ... 10

6 Jenis bahan induk di kawasan TNRAW ... 10

7 Kelas kerapatan tajuk menurut kisaran nilai NDVI ... 11

8 Tipe penutupan lahan di kawasan TNRAW ... 12

9 Kepadatan penduduk kecamatan di sekitar kawasan TNRAW ... 13

10 Jumlah penduduk di kawasan sekitar TNRAW menurut jenis kelamin ... 14

11 Jumlah TK, SD, SMP dan SMA di kawasan sekitar TNRAW ... 15

12 Jenis data sekunder menurut sumber dan manfaat ... 26

13 Pengkelasan variabel yang akan digunakan dalam menyusun model ... 31

14 Interval skor komposit kelas kerawanan kebakaran ... 34

15 Perjumpaan kejadian kebakaran di sebagian kawasan TNRAW ... 38

16 Jumlah dan sebaran hotspot menurut lokasi ... 40

17 Kepadatan hotspot pada kelas kepadatan penduduk ... 44

18 Kepadatan hotspot pada kelas PDRB per kapita ... 44

19 Kepadatan hotspot pada kelas jarak ibu kota kecamatan ... 46

20 Kepadatan hotspot pada kelas jarak dari mangrove dan laut ... 47

21 Kepadatan hotspot pada kelas jarak sungai ... 49

22 Kepadatan hotspot pada kelas ketinggian ... 50

23 Kepadatan hotspot pada kelas lereng ... 52

24 Kepadatan hotspot pada kelas suhu bulanan rata-rata ... 53

25 Kepadatan hotspot pada kelas penutupan lahan ... 54

26 Kepadatan hotspot pada kelas status kawasan ... 56

27 Kepadatan hotspot pada kelas curah hujan ... 57

28 Kepadatan hotspot pada kelas jarak jalan ... 58

29 Kepadatan hotspot pada kelas tingkat pendidikan ... 59

30 Koefisien determinasi skor hasil rescalling terhadap kepadatan hotspot ... 60

31 Pemilihan variabel dan model terbaik ... 60

32 Pengelompokkan variabel-variabel menjadi 3 faktor ... 61

33 Bobot makro faktor fisik, sosek dan penutupan lahan serta faktor terkait air .. 61

34 Bobot mikro variabel penyusun faktor ... 62

35 Pengkelasan kerawanan kebakaran ... 63

36 Perbandingan nilai statistik skor komposit hotspot model dan validasi ... 65

37 Luasan zonasi TNRAW ... 66

38 Persentase luas kelas kerawanan berdasarkan jenis zona ... 67

39 Nilai skor resiko kebakaran ... 68

40 Statistik sebaran jabatan personil BTNRAW tahun 2010 ... 73

41 Nilai IPM pada kabupaten penyangga TNRAW 2010-2011 ... 76

42 Persentase angka kemiskinan kabupaten penyangga TNRAW tahun 2009-2010 ... 77

43 Persentase pertumbuhan PDRB tahun 2009-2010 ... 77

44 Angka pertumbuhan penduduk di wilayah studi selama tahun 2010/2011 ... 80


(13)

46 Matrik faktor strategi eksternal (EFAS) ... 83

DAFTAR GAMBAR

1 Skema kerangka pikir ... 5

2 Matrik analisis SWOT ... 24

3 Bagan alir tahapan penelitian ... 27

4 Peta area kebakaran 2011 ... 37

5 Contoh area terbakar yang tidak teridentifikasi sebagai hotspot ... 39

6 Curah hujan rata-rata bulanan dan hari hujan berdasarkan stasiun pengamatan cuaca ... 41

7 Pola hubungan curah hujan rata-rata dan hotspot bulanan ... 41

8 Peta kepadatan hotspot penyusun model ... 42

9 Pola hubungan kepadatan hotspot tiap kelas kepadatan penduduk ... 43

10 Pola hubungan kepadatan hotspot pada tiap kelas PDRB per kapita ... 45

11 Pola hubungan kepadatan hotspot pada tiap kelas jarak kecamatan ... 46

12 Pola hubungan kepadatan hotspot pada tiap kelas jarak mangrove ... 47

13 Pola hubungan kepadatan hotspot pada tiap kelas jarak sungai... 49

14 Pola hubungan kepadatan hotspot pada tiap kelas ketinggian ... 50

15 Pola hubungan kepadatan hotspot pada tiap kelas lereng ... 51

16 Pola hubungan kepadatan hotspot pada tiap kelas suhu ... 52

17 Pola hubungan kepadatan hotspot pada tiap kelas penutupan lahan ... 54

18 Pola hubungan kepadatan hotspot pada tiap kelas status kawasan ... 55

19 Pola hubungan kepadatan hotspot pada tiap kelas curah hujan ... 57

20 Pola hubungan kepadatan hotspot pada tiap kelas tingkat pendidikan ... 59

21 Visualisasi model regresi linier berganda ... 63

22 Posisi temuan kebakaran pada peta kerawanan kebakaran ... 64

23 Peta kerawanan kebakaran diekstrak dari hotspot validasi ... 65

24 Peta kelas kerawanan kebakaran TNRAW sesuai jenis zonanya ... 67

25 Skor resiko area di dalam dan desa terdekat kawasan TNRAW... 69

26 Analisis SWOT pengendalian kebakaran hutan dan lahan di TNRAW ... 86

27 Peta arahan pengembangan sarana prasarana pengendalian kebakaran ... 88

28 Peta arahan prioritas DALKARHUT di TNRAW dan sekitarnya ... 88

DAFTAR LAMPIRAN

1 Laporan kejadian kebakaran hutan dan lahan di TNRAW tahun 2011 ... 94

2 Laporan kejadian kebakaran hutan dan lahan di TNRAW tahun 2012 ... 97

3 Angka kepadatan penduduk desa di wilayah studi ... 100

4 Skor kelas status kawasan ... 104

5 Skor kelas ketinggian ... 104

6 Skor kelas curah hujan ... 104

7 Skor kelas suhu bulanan rata-rata ... 104

8 Skor kelas kepadatan penduduk ... 104

9 Skor kelas penutupan lahan ... 105


(14)

11 Skor kelas lereng ... 105

12 Skor kelas jarak dari jalan ... 105

13 Skor kelas jarak dari ibu kota kecamatan ... 106

14 Skor kelas jarak dari mangrove dan laut ... 106

15 Skor kelas PDRB per kapita ... 106

16 Skor kelas tingkat pendidikan ... 106

17 Bobot faktor strategi internal ... 107

18 Bobot faktor strategi eksternal ... 108

19 Rating faktor strategi internal ... 109

20 Rating faktor strategi eksternal ... 110

21 Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) ... 111

22 Arahan implementasi strategi pengembangan sarpras DALKARHUT menurut jenis zona dan tingkat kerawanan kebakaran ... 115

23 Data intensitas curah hujan tahun 2007-2011 pada stasiun penakar hujan Bandara Haluoleo ... 117

24 Keluaran analisis regresi logistik biner pada software SPSS 16 ... 117

25 Keluaran uji normalitas data dan analisis regresi linier antara intensitas curah hujan bulanan terhadap kepadatan hotspot... 119


(15)

1.1 Latar Belakang

Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) berada di kawasan Wallacea, dimana di daerah ini kaya spesies flora dan fauna endemik yang tidak dijumpai pada kawasan Oriental (Asia) maupun Australia. Sebagian dari spesies endemik tersebut berstatus sebagai spesies langka dan dilindungi sesuai lampiran Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, seperti anoa, babirusa, maleo, kus-kus, dan elang sulawesi. TNRAW memiliki nilai penting dalam perlindungan rawa gambut Sulawesi dengan luasan cukup besar yang masih tersisa (Whitten et al. 1987) dan sejak tahun 2011 kawasan ini telah menyandang status perlindungan lahan basah internasional dengan ditetapkannya sebagai Situs RAMSAR.

Dalam bidang keanekaragaman hayati, TNRAW juga berperan penting sebagai lokasi pengawetan berbagai spesies dengan tingkat endemisitas yang tinggi. Dalam kawasan ini setidaknya terdapat 533 jenis tumbuhan dari 110 famili, 73 jenis tumbuhan diantaranya terdaftar dalam Appendix II CITES. Jenis satwa liar yang tercatat sebanyak 321 jenis, meliputi mamalia sebanyak 28 jenis (15 jenis endemik Sulawesi), aves sebanyak 218 jenis (1 jenis endemik Sulawesi Tenggara, 51 jenis endemik Sulawesi, dan 33 jenis migran), reptilia sebanyak 11 jenis, pisces sebanyak 28 jenis, amphibia sebanyak 3 jenis dan lain-lain. Jenis satwa tersebut sebagian diantaranya tercatat dalam IUCN Red Data List dan Appendix II CITES serta dilindungi berdasarkan peraturan perundangan Indonesia (BTNRAW 2009).

Di sisi lain, terdapat beberapa gangguan terhadap kelestarian spesies-spesies tersebut, salah satunya disebabkan oleh kebakaran. Kebakaran di TNRAW telah mengganggu fungsi kawasan sebagai tempat hidup beranekaragam jenis flora/fauna langka yang bernilai tinggi. Beberapa spesies langka terganggu akibat terbakarnya sarang tempat bertelur, hilangnya sumber pakan, rusaknya tempat berlindung, bahkan sebagian mati terbakar secara langsung. Beberapa spesies yang terganggu diantaranya adalah maleo, anoa, kakatua kecil jambul kuning, kus-kus dan elang.

Kebakaran terjadi apabila segitiga api telah bertemu pada satu titik, meliputi bahan bakar, oksigen dan panas. Ketiga unsur ini harus ada untuk dapat terjadi kebakaran. Upaya pengendalian kebakaran akan lebih efektif dengan pemahaman yang baik tentang perilaku ketiga unsur tersebut, khususnya unsur bahan bakar dan panas yang lebih dapat dikendalikan melalui aktivitas pengelolaan.

Syaufina (2008) mendefinisikan kebakaran hutan sebagai kejadian dimana api melahap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali, sedangkan kebakaran lahan terjadi di kawasan non hutan. Kebakaran di Indonesia seringkali membakar areal hutan dan areal non hutan dalam waktu bersamaan akibat penjalaran api dari kawasan non hutan atau sebaliknya. Penelitian tentang kebakaran hutan telah banyak dilakukan di berbagai belahan dunia, seperti di Kanada, Spanyol, Australia, dan Amerika


(16)

Serikat. Di negara-negara subtropis, penelitian tentang kebakaran hutan telah banyak berkembang.

Di Indonesia, penelitian tentang kebakaran hutan dan lahan makin menarik perhatian pasca terjadinya kebakaran hutan tahun 1997/1998 yang menyebabkan kerugian yang cukup tinggi. WWF dan EEPSEA dalam Sumardi dan Widyastuti (2002) menyebutkan bahwa kebakaran hutan Indonesia berdampak negatif terhadap sosial ekonomi dimana diperkirakan kerugian akibat kebakaran 1997/1998 mencapai 1.45 miliar dollar AS atau sama dengan 2.5 % GNP Indonesia sebelum krisis.

Vafeidis et al. (2007) menyatakan bahwa kebakaran hutan memiliki dampak cukup besar terhadap sistem hidrologi, degradasi lahan, banjir dan erosi tanah. Gangguan kebakaran ini secara langsung maupun tidak langsung berpotensi untuk meningkatkan laju kepunahan spesies langka sehingga perlu upaya Pengendalian Kebakaran Hutan (DALKARHUT) baik terhadap kawasan di dalam TNRAW maupun desa-desa penyangganya.

Secara ekologis, peringkat nilai penting kawasan di dalam Taman Nasional dapat didekati dengan melihat posisi kawasan pada tata ruang zonasi. Sesuai Permenhut nomor P. 56 tahun 2006, sistem zonasi taman nasional membagi kawasan menjadi 4 zona, yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Dari keempat zona tersebut, fungsi pokok zona inti dan zona rimba terkait erat dengan upaya pengawetan spesies langka yang berada pada area dengan sensitifitas ekologi yang tinggi. Berdasarkan peranan tersebut maka zona Taman Nasional secara berturut-turut sesuai nilai ekologisnya dapat dibagi menjadi 3 zona yaitu zona inti, zona rimba dan zona lainnya.

Kebakaran di dalam kawasan TNRAW umumnya diduga disebabkan oleh beberapa aktivitas masyarakat yang berpotensi memicu terjadinya api seperti aktivitas wisata, penelitian, berburu, bertani, pengembalaan liar, membuang rokok di kawasan hutan, mengambil hasil hutan kayu dan non kayu (madu, rotan, daun-daunan, umbi, bambu, sadapan), mencari ikan, udang dan kepiting.

Interaksi masyarakat ke dalam kawasan TNRAW juga diduga dipengaruhi oleh tekanan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan, antara lain tingkat ekonomi yang rendah, taraf pendidikan dan pengetahuan masyarakat tentang fungsi dan manfaat hutan masih rendah, adanya pertambahan penduduk masyarakat sekitar hutan serta lapangan pekerjaan yang terbatas. Kondisi ini semakin sulit dikontrol karena minimnya jumlah petugas lapangan dibandingkan dengan wilayah yang menjadi tanggung jawabnya.

Untuk itu diperlukan suatu sistem peringatan dini dalam rangka peningkatan kesiagaan dan penyusunan rencana mitigasi. Pada tingkat propinsi sistem ini diperlukan untuk menyusun rencana pencegahan kebakaran, pendelegasian tindakan ke tingkat lokal, penentuan prioritas wilayah, evaluasi sumber daya yang ada, masukan bagi pihak swasta, dan memberi informasi yang dapat diakses oleh publik. Pada tingkat lokal, informasi peringatan dini dimaksudkan untuk memberi informasi kepada masyarakat tentang keadaan lingkungan pada saat tertentu dan tindakan rasional apa yang dapat dilakukan untuk mencegah kebakaran (KLH 1998)

Keterbatasan sumber daya, baik sarana prasarana maupun sumber daya manusia yang dimiliki memerlukan informasi mengenai area-area prioritas dalam Pengendalian Kebakaran Hutan (DALKARHUT). Informasi tersebut dapat


(17)

berfungsi sebagai peringatan dini sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan dan penanggulangan sesegera mungkin terhadap kebakaran hutan dan lahan. Upaya ini akan meminimalkan kerusakan pada area resiko tinggi kebakaran. Dalam penelitian ini, hasil analisis resiko kebakaran ditampilkan dalam bentuk peta.

Sistem peringatan dini ini bermanfaat untuk mengefisienkan upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Pendataan tingkat potensi kejadian kebakaran perlu dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi faktor-faktor penyebab utama. Faktor-faktor tersebut dapat dijadikan sebagai variabel independen (prediktor) pada pemodelan spasial kerawanan kebakaran hutan dan lahan serta memetakan daerah-daerah yang rawan kebakaran. Aspek yang berpengaruh tersebut dapat berupa faktor biofisik maupun faktor-faktor yang berkaitan dengan aktivitas manusia.

1.2 Perumusan Masalah

Kebakaran hutan dan lahan terjadi disebabkan oleh beberapa faktor (faktor terkait biofisik maupun manusia), namun variabel-variabel penyusun faktor utama yang mempengaruhi terjadinya kebakaran serta seberapa besar pengaruh variabel tersebut masih belum banyak diketahui. Sahardjo (2003) menyatakan bahwa 99 % penyebab kebakaran hutan di Indonesia adalah berasal dari ulah manusia, entah itu disengaja membakar atau karena api lompat yang terjadi akibat kelalaian manusia pada saat penyiapan lahan dengan menggunakan api.

TNRAW merupakan kawasan konservasi penting di Indonesia, namun mengalami permasalahan kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan kerugian secara ekologis dan ekonomi. Di sisi lain, penelitian tentang pencegahan kebakaran hutan dan lahan TNRAW dan sekitarnya dikaitkan dengan faktor yang mempengaruhinya belum pernah dilakukan. Faktor ini sangat penting diketahui agar dapat disusun serangkaian kegiatan pengendalian kebakaran hutan dengan prioritas sasaran berupa faktor penentu utama tersebut, sehingga kegiatan yang dilakukan nantinya dapat menimbulkan dampak yang berarti dalam menekan frekuensi kejadian kebakaran hutan dan lahan di TNRAW dan sekitarnya. Terkait dengan peringatan dini tersebut, ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab seperti :

a. Sejauh mana faktor-faktor terkait biofisik maupun manusia berpengaruh terhadap kerawanan kebakaran ?

b. Bagaimana menentukan model prediksi kebakaran hutan dan lahan yang dibuat berdasarkan analisis faktor gabungan tersebut ?

c. Bagaimana cara untuk mengoptimalkan upaya mitigasi kebakaran hutan dan lahan?

Diharapkan dengan tersusunnya model prediksi, analisis faktor serta rencana mitigasi, maka upaya yang akan dilakukan dalam rangka pengendalian kebakaran akan tepat sasaran (efektif) dan efisien. Secara umum, beberapa permasalahan yang ada di TNRAW dan sekitarnya khususnya terkait kebakaran hutan dan lahan dirumuskan sebagai berikut :

a. Belum teridentifikasi sampai sejauh mana faktor-faktor utama dapat mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Pengetahuan tentang


(18)

tingkat pengaruh faktor utama ini akan memberikan input bagi penyusunan rencana mitigasi. Ini untuk menjawab bagaimana/apa bentuk mitigasi

b. Belum terpetakannya daerah berpotensi kebakaran berdasarkan faktor penyebab utama dan peta daerah-daerah yang beresiko tinggi terhadap kebakaran hutan dan lahan. Ini untuk menjawab dimana perlu diprioritaskan mitigasi

c. Belum adanya strategi mitigasi berdasarkan analisis variabel yang berpengaruh terhadap kebakaran hutan dan lahan serta tingkat resikonya di wilayah studi

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kerawanan kebakaran hutan dan lahan di TNRAW dan sekitarnya

b. Mengoptimalkan penanganan kebakaran hutan dan lahan di TNRAW melalui peringatan dini/ pemodelan spasial

c. Menyusun arahan strategi pengendalian kebakaran hutan dan lahan di TNRAW

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah menyediakan arahan dalam penyusunan rencana pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di TNRAW dan sekitarnya.

1.4 Kerangka Pemikiran

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kerangka pemikiran perlunya dilaksanakan penelitian ini. Kebakaran sebagai salah satu bentuk gangguan terhadap fungsi-fungsi kawasan TNRAW memerlukan upaya pengendalian untuk meminimalkan kerugian bagi masyarakat, baik secara ekologis maupun ekonomi. Penelitian ini mencakup upaya merumuskan arahan strategi khususnya bidang perencanaan wilayah untuk mendukung efektivitas dan efisiensi pengendalian kebakaran sehingga kawasan TNRAW dengan status yang dimiliki dapat menjalankan fungsinya secara optimal.

Penyusunan arahan strategi spasial ini memerlukan pemahaman mengenai daerah-daerah yang rawan kebakaran, tingkat resiko yang terjadi apabila suatu kawasan terbakar, faktor-faktor utama yang berpengaruh dan kondisi lingkungan internal-eksternal dalam pengelolaan kawasan TNRAW. Ketiga pertanyaan tersebut didekati dengan melakukan analisis spasial, SWOT dan QSPM. Kerangka pikir penelitian ini selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.

Penggalian informasi awal mengenai jenis variabel / faktor yang diduga berpengaruh terhadap kejadian kebakaran dilakukan melalui studi literatur. Informasi awal ini perlu diuji lebih lanjut untuk mengetahui relevansinya dalam menjelaskan fenomena kebakaran di wilayah studi.


(19)

Gambar 1 Skema kerangka pikir

Kebakaran hutan dan lahan dapat terjadi dipengaruhi oleh faktor terkait biofisik sebagai sumber bahan bakar potensial yang dipresentasikan oleh iklim (rata-rata suhu bulanan, curah hujan tahunan), vegetasi (kerapatan vegetasi, tipe penutupan lahan), dan topografi (elevasi, slope). Kebakaran tidak akan terjadi apabila bahan bakar potensial tidak bertemu dengan api yang bersumber dari aktivitas manusia. Aktivitas manusia dapat direpresentasikan oleh sistem pengelolaan (status kawasan), aksesibilitas (jarak terhadap jalan, jarak terhadap sungai, jarak dari pusat pemukiman), tekanan aktivitas masyarakat (perburuan, pengambilan ikan) dan kependudukan (kepadatan penduduk, tingkat ekonomi, tingkat pendidikan). Di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, kebakaran dapat disebabkan oleh aktivitas masyarakat dari desa-desa sekitar Taman Nasional atau masyarakat pengguna jalan di dalam atau sekitar kawasan Taman Nasional.


(20)

2.1 Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai 2.1.1 Wilayah Administrasi

Kawasan TNRAW terletak di Pulau Sulawesi bagian Tenggara, dengan posisi geografis terletak antara 4°22’ 4°39’ Lintang Selatan dan 121°44’ -122°44’ Bujur Timur. Secara fisik kawasan ini membentang dari selatan mulai dari Selat Tiworo di daerah Tinanggea-Lantari menuju arah utara pegunungan Makaleleo di daerah Lambuya-Tirawuta. Secara administratif pemerintahan, kawasan ini memiliki luas 105 194 ha dan berada pada Provinsi Sulawesi Tenggara meliputi empat wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Kolaka dan Bombana.

Sampai tahun 2012, terdapat 16 kecamatan yang bersinggungan langsung dengan kawasan TNRAW. Diantara kecamatan-kecamatan tersebut, sebagian besar luasan taman nasional berada pada Kecamatan Mata Usu. Kawasan TNRAW berbatasan dengan lahan budidaya masyarakat, kecuali pada bagian Tenggara dengan Selat Tiworo dan Hutan Produksi (HP) pada sebagian kecil di utara kawasan, serta bagian barat dan barat daya. Batas fisik kawasan TNRAW di lapangan ditandai dengan pal batas sepanjang 366 km. Tata batas kawasan ini dilaksanakan tahun 1984-1987 dan telah temu gelang. Daftar nama kecamatan-kecamatan tersebut tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1 Kecamatan-kecamatan di kawasan TNRAW

Kabupaten Kecamatan Ibu Kota Luas Kecamatan

(Km²)

Bombana 1. Lantari Jaya Lantari 285.01

2. Mata Usu Kolumbi Mata Usu 456.17

Kolaka 3. Ladongi Atula 194.43

4. Lambandia Penanggo Jaya 308.63

5. Loea Loea 107.94

6. Polinggona Polinggona 46.65

7. Tanggetada Anaiwoi 409.91

8. Tirawuta Rate-Rate 206.80

9. Watubangga Watubangga 388.79

Konawe 10.Onembute Onembute 99.13

11.Puriala Watundehoa 236.85

Konawe Selatan

12.Angata Motaha 330.00

13.Basala Basala 106.00

14.Benua Benua 138.31

15.Lalembuu Atari Jaya 204.82

16.Tinanggea Tinanggea 354.74

Sumber : BPS Bombana (2012a); BPS Konsel (2012a); BPS Konawe (2012a); BPS Kolaka (2012a)


(21)

2.1.2 Potensi Hayati 2.1.2.1 Potensi Ekosistem

Kawasan TNRAW terdiri atas 4 tipe ekosistem, meliputi ekosistem mangrove, ekosistem savana, ekosistem hutan tropis dataran rendah sampai pegunungan rendah serta ekosistem rawa. Keberadaan ekosistem kawasan TNRAW dengan bentang alamnya memiliki peranan penting dalam perlindungan proses ekologis sistem penyangga kehidupan serta menjadi habitat alami yang menjamin kelestarian keanekaragaman hayati khususnya keberadaan spesies endemik dan dilindungi yang menjadi ciri khas dari zona Wallacea (BTNRAW 2009).

2.1.2.1 Keanekaragaman Tumbuhan dan Satwa Liar

Dengan posisinya yang terletak dalam zona wallacea, kawasan TNRAW memiliki keanekaragaman hayati dengan tingkat endemisitas yang tinggi. Dalam kawasan ini setidaknya terdapat 533 jenis tumbuhan dari 110 famili. 73 jenis tumbuhan diantaranya terdaftar dalam Appendix II CITES. Jenis satwa liar yang tercatat sebanyak 321 jenis, meliputi mamalia sebanyak 28 jenis (15 jenis endemik Sulawesi), aves sebanyak 218 jenis (1 jenis endemik Sulawesi Tenggara, 51 jenis endemik Sulawesi, dan 33 jenis migran), reptilia sebanyak 11 jenis, pisces sebanyak 28 jenis, amphibia sebanyak 3 jenis dan lain-lain. Jenis satwa tersebut sebagian diantaranya tercatat dalam IUCN Red Data List dan Appendix II CITES serta dilindungi berdasarkan peraturan perundangan Indonesia (BTNRAW 2009).

2.1.3 Potensi Non Hayati

TNRAW merupakan hulu dari tiga sub DAS di daratan Provinsi Sulawesi Tenggara yang meliputi sub DAS Konaweha, Roraya dan Poleang. Ketiga sub DAS tersebut memberikan kontribusi hidrologis dan ekologis bagi masyarakat di sepanjang daerah alirannya, baik sebagai sumber air bersih, sumber pengairan lahan pertanian dan perkebunan, sumber bahan baku PAM, menjaga kestabilan muka air tanah, serta menjadi daerah limpasan banjir dan mempengaruhi pasokan ikan air tawar. Potensi debit air sungai berdasarkan hasil pengukuran di musim kemarau sebagaimana tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2 Potensi debit air musim kemarau pada sungai di kawasan TNRAW

No Nama Sungai Debit (m3/det)

Zonasi Terbesar

Pemanfaatan 1 Sungai

Langkowala

100.63 Zona Rimba Pengairan sawah, keperluan rumah tangga, minuman ternak (2010) 2 Rawa Aopa 1 316 Zona

Tradisional

Pemanfaatan tradisional perikanan darat, rekreasi alam, irigasi (2010)


(22)

Tabel 2 (lanjutan)

No Nama Sungai Debit (m3/det)

Zonasi Terbesar

Pemanfaatan 3 Sungai

Roraya

60.24 Zona

Pemanfaatan

Pengairan sawah, empang, sumur bor/ gali (2010)

4 Sungai Penanggoosi

3.45 Zona

Pemanfaatan

Pengairan sawah, kebutuhan rumah tangga (Pipa PDAM) (2012)

5 Sungai Poleang

437.96 Zona Rimba Pengairan sawah/irigasi, keperluan rumah tangga (mencuci, minum), minuman ternak (2010)

6 Sungai Iwoikondo

3 Zona Rimba Pengairan sawah (2012) Sumber : BTNRAW (2010, 2012)

Kawasan TNRAW memiliki potensi wisata beberapa Obyek Wisata Alam (OWA), meliputi Rawa Aopa, Air Terjun Penanggosi, savana dan mangrove. Keempat OWA dimaksud telah diakomodir dalam zona pemanfaatan, sehingga membuka peluang pemanfaatan melalui Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA). Namun demikian, pemanfaatan wisata di kawasan ini masih sangat terbatas (BTNRAW 2009).

2.1.4 Topografi

Kawasan TNRAW memiliki bentang wilayah mulai dari datar, landai, curam maupun terjal. Terdapat 3 pegunungan di bagian utara dan selatan kawasan, yaitu Gunung Mokaleleo (500 mdpl), Gunung Watumohai (330 mdpl) dan Gunung Mendoke (790 mdpl). Umumnya kawasan TNRAW bertopografi datar dengan kisaran kelerengan 0 – 2 %. Kawasan ini terdiri atas savana, rawa, mangrove dan kawasan di sekitar Desa Bou memanjang sampai Desa Horodopi. Luasannya mencapai 52 147.57 ha atau 49.57 % dari luas seluruh kawasan TNRAW. Kelerengan landai dengan kisaran lereng 2 – 8 % banyak terdapat di kaki Gunung Mendoke dan Gunung Watumohai yang berbatasan dengan lahan budidaya masyarakat.

Tabel 3 Luasan kelas lereng kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai

No Kelas Lereng Luas Kelas Lereng

(Ha)

Persen (%)

1. Kelerengan 0 - 2% 52 147.57 49.57

2. Kelerengan 2 - 8% 13 527.35 12.86

3. Kelerengan 8 - 15% 14 197.84 13.50

4. Kelerengan 15 - 20% 6 949.29 6.61

5. Kelerengan 20 - 25% 9 680.32 9.20

6. Kelerengan 25 - 30% 2 362.61 2.25

7. Kelerengan 30 - 40% 4 849.28 4.61

8. Kelerengan > 40% 1 479.74 1.41


(23)

Kelas lereng curam sampai sangat curam dengan kisaran lereng 20 – 40 % ditumbuhi oleh pepohonan yang membentuk ekosistem hutan dataran rendah di Gunung Mendoke, Makaleleo dan Gunung Watumohai. Daerah puncak Gunung Mendoke dan Makaleleo termasuk wilayah sangat terjal dengan kelerengan di atas 49 %. Luasan dan persentase masing-masing kelas lereng ditunjukkan Tabel 3.

2.1.5 Tipe Iklim

Di sekitar kawasan TNRAW terdapat 4 pos pengamatan cuaca. Curah hujan bulanan pada keempat pos hujan ditampilkan pada Tabel 4. Pergantian musim kemarau ke musim penghujan terjadi pada bulan Nopember. Hujan umumnya mulai terjadi pada bulan Desember dan mencapai puncaknya pada bulan Mei. Sementara musim kemarau dimulai pada bulan Juli dan mencapai puncaknya pada bulan Oktober dengan curah hujan bulanan dibawah 100 mm.

Bagian selatan kawasan Taman Nasional berupa dataran rendah yang didominasi oleh savana seluas 22 000 ha. Kawasan tersebut memiliki karakteristik suhu panas, dapat mencapai kisaran 30-32 ⁰C. Kondisi ini terjadi pula pada bagian tengah taman nasional yang berupa wilayah datar memanjang ke utara sampai kaki gunung Makaleleo.

Tabel 4 Hari hujan dan curah hujan di kawasan TNRAW

Bulan St. Bandara Haluoleo

(2011)

BP3K Kec. Lantari Jaya

(2010)

Dinas Pertanian Kab. Bombana

(2009)

PT. Antam UBM Pomalaa

(2011)

HH CH HH CH HH CH HH CH

Januari 19 208.2 12 123 9 106 13 213.4

Februari 16 206.2 13 110 9 106 12 46.5

Maret 21 154.7 18 183 9 147 18 231.3

April 18 121.2 9 176 14 187 21 115.2

Mei 12 466.4 12 179 13 215 18 191.4

Juni 24 172.5 12 132 5 20 12 68.5

Juli 21 153.8 13 88 2 4 10 93.8

Agustus 8 140.9 8 31 - - 10 16.8

September 17 130.9 20 97 - - 9 131.3

Oktober 15 148.9 24 32.2 - - 18 138.7

Nopember 19 233.1 18 50 - - 20 203.6

Desember 14 190.2 13 82.9 - - 15 130

Jumlah 204 2 327 172 1 284.1 61 785 176 1 580.5

Ket : HH = Hari Hujan (hh); CH = Curah Hujan (mm)

Sumber : BPS Bombana (2012b, 2012c); BPS Konsel (2012a); BPS Kolaka (2012d)

2.1.6 Tanah dan Batuan

Tanah di kawasan TNRAW umumnya berjenis Inceptisol, tersebar di 3 lokasi dengan luasan 61 121.57 ha atau 58.10 % dari luas seluruh kawasan. Jenis


(24)

ini mendominasi ekosistem rawa dan savana yang umumnya berada pada bentang wilayah datar sampai landai. Jenis tanah entisol mencakup 5 % luasan yang tersebar di 2 lokasi, salah satunya kawasan yang berdekatan dengan laut. Kawasan ini berupa ekosistem mangrove yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Komposisi jenis tanah (pengolahan Peta RePProt) tercantum pada Tabel 5.

Tabel 5 Jenis tanah di kawasan TNRAW menurut peta RePProt

No Jenis Tanah Luas Kelas Tanah (Ha) Persen (%)

1. Entisols 5 327 .77 5 .07

2. Inceptisols 61 121 .57 58 .10

3. Oxisols 20 714 .25 19 .69

4. Ultisols 18 030 .42 17 .14

Jumlah 105 194.00 100.00

Dalam sistem klasifikasi Pusat Penelitian Tanah, komposisi jenis tanah di TNRAW terdapat 5 tipe tanah, yaitu alluvial, kambisol, mediteran, organosol, dan podsolik. Jenis dominan adalah podsolik, merupakan jenis tanah yang mendominasi dataran tinggi Gunung Mendoke, Gunung Watumohai dan Gunung Makaleleo, serta bagian barat Rawa Aopa. Ekosistem savana yang didominasi oleh herba tersusun oleh tanah mediteran di bagian barat dan kambisol di bagian timur. Tanah aluvial banyak dijumpai pada wilayah bertopografi datar di sekitar Rawa Lere atau bagian selatan Rawa Aopa yang banyak ditumbuhi oleh pepohonan.

Jenis tanah organosol yang kaya kandungan bahan organik banyak ditemukan di daerah-daerah berlumpur, tergenang air atau berawa. Jenis ini mendominasi ekosistem mangrove dan daerah tergenang Rawa Aopa. Luasan tanah organosol (11.23 %) merupakan terendah dibanding jenis tanah yang lain.

Komposisi bahan induk (pengolahan Peta RePProt) sebagaimana ditampilkan pada Tabel 6 didominasi oleh batuan sedimen yang banyak dijumpai di daerah berbukit atau bergelombang. Bahan ini tersebar di dua lokasi yaitu di daerah sekitar enclave Horodopi dan yang terluas di bagian selatan kawasan, membentang mulai Kecamatan Lalembuu Kabupaten Konawe Selatan sampai dengan Kecamatan Mata Usu Kabupaten Bombana. Luas seluruhnya sekitar 39 125 ha atau 37.19 % dari luasan TNRAW.

Tabel 6 Jenis bahan induk di kawasan TNRAW

No Jenis Bahan Induk Bentang Wilayah Luas Bentang Wilayah (Ha)

Persen (%)

1. Aluvium Datar 18 172.14 17.27

2. Aluvium dan Organik Datar 15 728.58 14.95

3. Metamorf Berbukit/ Bergelombang 11 453.07 10.89

4. Plutonik Berbukit/ Bergelombang 20 714.25 19.69

5. Sedimen Berbukit/ Bergelombang 39 125.96 37.19


(25)

Kawasan dengan kelas lereng datar dan landai yang berdekatan dengan mangrove dan rawa umumnya memiliki batuan induk aluvium dan sebagian bercampur bahan organik. Daerah berbukit di Gunung Mendoke dan Gunung Mokaleleo didominasi oleh batuan induk Plutonik. Batuan ini meliputi kawasan 19.69 % dari luasan TNRAW.

2.1.7 Kondisi Vegetasi

Hasil interpretasi nilai indeks vegetasi (NDVI) citra landsat 2009 menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan TNRAW masih diliputi oleh tajuk yang rapat. Luasan seluruhnya 56 229.48 ha atau 53.45 %. Kawasan tersebut terdiri atas kawasan berhutan di sekitar Gunung Mendoke, hutan di sekitar badan air Rawa Aopa, Gunung Mokaleleo, Gunung Watumohai dan kawasan-kawasan yang difungsikan tidak sesuai dengan peruntukkannya, seperti kebun campuran, tanaman tahunan, dan perladangan. Vegetasi dengan tajuk sangat rapat terutama dijumpai di bagian atas Gunung Mendoke dan Gunung Makaleleo.

Kawasan savana yang didominasi oleh alang-alang (Imperata cylindrica) diklasifikasikan ke dalam vegetasi bertajuk jarang dengan nilai kritis NDVI berkisar antara 0.11 sampai dengan 0.4067. Luasan seluruhnya sekitar 16,033.01 ha atau 15.24%. Kawasan berhutan dengan karakteristik memanjang di kiri kanan sungai membelah ekosistem savana diklasifikasikan sebagai vegetasi bertajuk sedang. Tipe vegetasi ini juga ada di pinggir kawasan berhutan atau perkebunan yang mengalami kerusakan. Komposisi kelas kerapatan tajuk selengkapnya ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 7 Kelas kerapatan tajuk menurut kisaran nilai NDVI

No Kisaran Nilai NDVI

Kelas Kerapatan Tajuk Luas Kelas Kerapatan Tajuk (Ha)

Persen (%)

1. <0.11 Awan 10 554 .69 10 .03

2. <0.11 Badan air 354 .51 0 .34

3. <0.11 Lahan terbuka 118 .77 0 .11

4. 0.11-0.4067 Kerapatan tajuk jarang 16 033 .01 15 .24 5. 0.4067-0.7033 Kerapatan tajuk sedang 21 904 .98 20 .82

6. 0.7033-1 Kerapatan tajuk lebat 56 229 .48 53 .45

Jumlah 105 194.00 100.00

2.1.8 Penutupan Lahan

Kelas penutupan lahan kawasan TNRAW hasil penafsiran citra landsat 2009 dan Bing 2011 terbagi menjadi 13 kelas, meliputi badan air, hutan mangrove (primer), hutan pegunungan dataran rendah primer, hutan pegunungan dataran rendah sekunder, hutan rawa, jalan (membelah savana), lahan terbuka, pemukiman, pertanian lahan kering, rawa, savana, semak, dan sawah.

Berdasarkan hasil analisis penutupan lahan pada Tabel 8, kawasan TNRAW masih didominasi oleh hutan primer dengan proporsi sekitar 41 % dari luas kawasan. Dari sisi luasan, kelas penutupan lahan berupa savana (17.42 %)


(26)

dan pertanian lahan kering (16.05 %) menempati urutan kedua dan ketiga. Pertanian lahan kering ini mencakup kawasan perladangan, kebun campuran, tanaman tahunan, dan palawija. Tipe ini terutama tersebar di wilayah administrasi Kecamatan Ladongi, Lambandia, Benua dan Basala.

Tabel 8 Tipe penutupan lahan di kawasan TNRAW

No Tipe Penutupan Lahan Luas Penutupan

Lahan (Ha)

Persen (%)

1. Badan air 4 507.78 4.38

2. Hutan mangrove 5 618.09 5.34

3. Hutan pegunungan dataran rendah primer 43 227.92 41.09

4. Hutan rawa 8 804.13 8.37

5. Hutan pegunungan dataran rendah sekunder 1 673.58 1.59

6. Jalan 43.63 0.04

7. Lahan terbuka 231.30 0.22

8. Pemukiman 256.94 0.24

9 Pertanian lahan kering 16 887.95 16.05

10. Rawa 2 832.35 2.69

11. Savana 18 322.56 17.42

12. Sawah 1 526.65 1.45

13. Semak 1 161.11 1.10

Jumlah 105 194.00 100.00

2.2 Kondisi Sosial Ekonomi Wilayah Sekitar Kawasan TNRAW 2.2.1 Kependudukan

Data kondisi kependudukan di sekitar Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai disajikan dalam bentuk penduduk tingkat pemerintahan desa, kecamatan dan menurut jenis kelamin.

2.2.1.1 Penduduk Tingkat Pemerintahan Desa

Pada radius 2-3 km, teridentifikasi 96 desa memiliki posisi cukup dekat dengan kawasan TNRAW. Terdapat pula desa-desa berlokasi cukup jauh namun masih masuk dalam kategori desa penyangga bernilai penting karena memiliki interaksi cukup erat dengan kawasan taman nasional, seperti Desa Akuni dan Desa Bungin Permai Kecamatan Tinanggea. Jika digabungkan, maka secara keseluruhan desa terkait erat dengan kawasan taman nasional berjumlah 98 desa, yang terletak pada 16 kecamatan dan 4 kabupaten.

Berdasarkan data kependudukan bersumber dari BPS, BPS Konsel, BPS Kolaka, BPS Konawe dan BPS Bombana tahun 2012, jumlah penduduk pada 98 desa di sekitar TNRAW berjumlah 100 622 jiwa dan terbagi ke dalam 24 226 KK. Desa Ladongi Jaya tercatat sebagai desa dengan penduduk terbanyak, yaitu 3 976 jiwa dari 882 kepala keluarga. Jumlah penduduk terendah dimiliki oleh Desa Ahuawali dengan jumlah penduduk 245 jiwa dari 59 kepala keluarga.

Untuk parameter kepadatan, Desa Morengke menempati posisi terendah dimana dengan luas 89.03 km² hanya dihuni oleh penduduk sejumlah 265 jiwa.


(27)

Kepadatan rata-rata desa Morengke hanya 2 jiwa tiap km². Sedikit lebih padat dari Desa Morengke adalah Desa Lamuru dengan kepadatan 2 jiwa per km². Kedua desa tersebut terletak pada Kecamatan Mata Usu Kabupaten Bombana.

2.2.1.2 Penduduk Tingkat Pemerintahan Kecamatan

Kawasan TNRAW secara administratif terbagi menjadi 16 kecamatan. Jumlah penduduk kecamatan-kecamatan tersebut adalah 199 942 jiwa yang menempati wilayah seluas 3 874.18 km², sehingga kepadatan rata-rata kecamatan tersebut 51.61 jiwa/km². Untuk tingkat kecamatan ini, kepadatan penduduk terendah dimiliki oleh Kecamatan Mata Usu dan Lantari Jaya Kabupaten Bombana dengan nilai kepadatan masing-masing 2 jiwa/km² dan 26 jiwa/km². Kecamatan Polinggona merupakan kecamatan paling padat dengan nilai kepadatan 142 jiwa/km². Urutan kepadatan tertinggi kedua adalah Kecamatan Ladongi dengan kepadatan 125 jiwa/km². Proporsi penduduk tiap kecamatan di sekitar taman nasional disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Kepadatan penduduk kecamatan di sekitar kawasan TNRAW

Kabupaten No Kecamatan Luas Kecamatan (Km²)

Jumlah Penduduk (Jiwa)

Jumlah KK

Kepadatan (Jiwa/Km) Bombana 1. Lantari Jaya 285.01 7 670.00 1 726.00 26.00

2. Mata Usu 456.17 1 289.00 336.00 2.00

Sub Jumlah 741.18 8 959.00 2 062.00 12.09 Kolaka 3. Ladongi 194.43 24 270.00 6 191.00 125.00 4. Lambandia 308.63 28 474.00 7 436.00 92.00

5. Loea 107.94 6 293.00 1 635.00 58.00

6. Polinggona 46.65 6 626.00 1 625.00 142.00 7. Tanggetada 409.91 13 574.00 3 026.00 33.00 8. Tirawuta 206.80 12 686.00 3 240.00 61.00 9. Watubangga 388.79 14 428.00 3 828.00 37.00 Sub Jumlah 1 663.15 106 351.00 26 981.00 63.95

Konawe 10. Onembute 99.13 6 059.00 1 500.00 61.12

11. Puriala 236.85 7 553.00 1 669.00 31.90

Sub Jumlah 335.98 13 612.00 3 169.00 40.51 Konawe

Selatan

12. Angata 330.00 15 229.00 3 312.00 46.00

13. Basala 106.00 8 291.00 2099 78.22

14. Benua 138.31 9 846.00 2 387.00 71.00

15. Lalembuu 204.82 15 882.00 4 174.00 77.54 16. Tinanggea 354.74 21 772.00 4 890.00 61.38 Sub Jumlah 1 133.87 71 020.00 16 862.00 62.64

Jumlah 3 874.18 199 942.00 49 074.00 51.61

Sumber : BPS Bombana (2012a); BPS Konsel (2012a); BPS Konawe (2012a); BPS Kolaka (2012a); BPS (2012)

Untuk parameter jumlah penduduk, Kecamatan Lambandia memiliki penduduk terbanyak dengan jumlah 28 474 jiwa. Urutan kedua dan ketiga adalah


(28)

Kecamatan Ladongi dan Kecamatan Tinanggea masing-masing dengan jumlah penduduk 24 270 dan 21 772 jiwa. Penduduk paling sedikit terdapat pada Kecamatan Mata Usu dengan Jumlah penduduk 1 289 jiwa. Sebagian besar penduduk Kecamatan sekitar TNRAW terkonsentrasi pada wilayah administratif Kabupaten Kolaka.

2.2.1.3 Penduduk Menurut Jenis Kelamin

Komposisi penduduk di sekitar kawasan TNRAW didominasi penduduk laki-laki dibanding perempuan. Hal ini dapat terlihat dari angka sex ratio pada Tabel 10, dimana semua kecamatan di sekitar kawasan TNRAW memiliki angka sex ratio di atas 100, artinya tiap 100 penduduk perempuan terdapat laki-laki lebih dari 100. Hal ini menunjukkan penduduk laki-laki lebih besar jumlahnya daripada penduduk perempuan.

Tabel 10 Jumlah penduduk di kawasan sekitar TNRAW menurut jenis kelamin

Kabupaten No Kecamatan Laki-Laki Perempuan L+P Sex ratio

Bombana 1 Lantari Jaya 4 083 3 587 7 670 114

2 Mata Usu 717 572 1 289 125

Sub Jumlah 4 800 4 159 8 959

-Kolaka 3 Ladongi 12 349 11 921 24 270 104

4 Lambandia 15 071 13 403 28 474 112

5 Loea 3 256 3 037 6 293 107

6 Polinggona 3 535 3 091 6 626 114

7 Tanggetada 7 040 6 534 13 574 108

8 Tirawuta 6 482 6 204 12 686 104

9 Watubangga 7 498 6 930 14 428 108

Sub Jumlah 55 231 51 120 106 351

-Konawe 10 Onembute 3 120 2 939 6 059 106

11 Puriala 3 825 3 728 7 553 103

Sub Jumlah 6 945 6 667 13 612

-Konawe Selatan

12 Angata 7 821 7 408 15 229 106

13 Basala 4 306 3 985 8 291 111

14 Benua 5 154 4 692 9 846 110

15 Lalembuu 8 176 7 706 15 882 106

16 Tinanggea 11 192 10 580 21 772 106

Sub Jumlah 36 649 34 371 71 020

Jumlah 103 625 96 317 199 942

-Sumber : BPS Bombana (2012a); BPS Konsel (2012a); BPS Konawe (2012a); BPS Kolaka (2012a)

2.2.2 Pendidikan

Di sekitar TNRAW terdapat fasilitas sekolah TK, SD, SMP, SMA serta sekolah sederajat lainnya seperti Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan lain sebagainya. Jumlah sekolah yang terdapat di 16 kecamatan sekitar TNRAW


(29)

sampai tahun 2011 berjumlah 106 sekolah sederajat TK, 235 sederajat SD, 68 sederajat SMP dan 25 sekolah sederajat SMA.

Untuk tingkat pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD), Kecamatan Lambandia tercatat memiliki sekolah terbanyak dengan Jumlah 21 unit TK dan 33 unit SD. Ini merupakan salah satu indikasi besarnya perhatian Kecamatan Lambandia terhadap pengembangan sarana/prasarana pendidikan dasar tingkat SD ke bawah. Untuk tingkat SMP dan SMA, pembangunan sekolah terbanyak terdapat di Kecamatan Tinanggea. Jumlah sarana pendidikan (sekolah) masing-masing kecamatan tersaji pada Tabel 11.

Tabel 11 Jumlah TK, SD, SMP dan SMA di kawasan sekitar TNRAW

Kabupaten Kecamatan Jumlah TK (Unit)

Jumlah SD (Unit)

Jumlah SMP (Unit)

Jumlah SMA (Unit)

Bombana 1. Lantari Jaya 4 7 2 0

2. Mata Usu 0 4 0 0

Sub Jumlah 4 11 2 0

Kolaka 3. Ladongi 13 24 6 2

4. Lambandia 21 33 8 2

5. Loea 2 8 2 1

6. Polinggona 2 8 2 1

7. Tanggetada 6 21 5 1

8. Tirawuta 12 15 4 1

9. Watubangga 9 22 8 2

Sub Jumlah 65 131 35 10

Konawe 10. Onembute 4 6 2 2

11. Puriala 8 12 2 1

Sub Jumlah 12 18 4 3

Konawe Selatan

12. Angata 1 21 6 3

13. Basala 4 7 2 1

14. Benua 6 10 2 1

15. Lalembuu 14 17 7 3

16. Tinanggea 0 20 10 4

Sub Jumlah 25 75 27 12

Jumlah 106 235 68 25

Sumber : BPS Bombana (2012); BPS Konsel (2012); BPS Konawe (2012); BPS Kolaka (2012)

Secara kuantitas, kecukupan tenaga pengajar untuk tingkat pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) kecamatan sekitar Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai pada umumnya cukup memadai. Hal ini ditandai oleh rata-rata rasio jumlah murid dan guru sebesar 14 murid/guru untuk SMP dan 18 murid/guru untuk SMA.


(30)

3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Memahami Api dan Kebakaran

Jaber et al. (2001) menyatakan bahwa manajemen kebakaran hutan dan lahan mencakup pembahasan terhadap empat komponen utama, yaitu :

a. Deteksi dini kebakaran

b. Penilaian resiko (berhubungan dengan kondisi cuaca)

c. Penilaian terhadap luasan areal terbakar (kebakaran yang terjadi pada area yang tidak luas umunya tidak berbahaya)

d. Simulasi terhadap perilaku penyebaran api

Pengelolaan resiko kebakaran hutan dan lahan dimulai dari penilaian terhadap besar resiko yang disebabkan oleh kejadian kebakaran tersebut. Perilaku api terkadang tidak menentu sehingga sulit untuk dideteksi dan dilakukan pendekatan. Memprediksi kondisi aktual kebakaran dengan suatu permodelan tidak mudah. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kebakaran, baik faktor ekologi maupun sosial ekonomi, tidak bisa dianalisis secara terpisah. Resiko kebakaran hutan dapat didekati dengan menjumlahkan skor pada faktor kemudahan menyala, topomorfologi, dan landuse (Guettouche et al. 2011).

Braun et al. (2010) telah membuat pendekatan penilaian peluang terjadinya kebakaran dengan menggunakan data waktu kejadian kebakaran, lokasi penyalaan dan area terbakar. Batasan pengertian area terbakar mencakup area tempat kejadian penyalaan dan juga area penyebaran dari titik api tersebut. Untuk mengurangi terjadinya bias, maka dibuat buffer dengan radius 5 km di sekitar wilayah kajian. Hal ini didasarkan kemungkinan api merambat keluar dari wilayah studi.

Pembakaran lahan telah menyebabkan terjadinya pemadatan tanah. Pembakaran lahan bertujuan untuk meningkatkan kesuburan tanah secara mudah dan murah, dimana masyarakat untuk mengolah lahannya tidak perlu mengeluarkan dana untuk membeli pupuk. Pembakaran lahan secara nyata telah menurunkan sifat biologi tanah seperti jumlah mikroorganisme yang hidup di tanah (Wasis 2003). Kebakaran hutan juga memiliki dampak cukup besar terhadap sistem hidrologi, degradasi lahan, banjir dan erosi tanah (Vafeidis et al. 2007).

3.1.1 Penggunaan Hotspot MODIS

MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) merupakan produk dari Earth Observing Sistem (EOS) NASA yang memiliki 2 jenis satelit, yaitu Terra (EOS AM) and Aqua (EOS PM). Orbit satelit Terra dari utara ke arah equator pada pagi hari dan satelit Aqua dari selatan ke Equator pada siang hari yang menghasilkan liputan seluruh muka bumi dalam waktu 1-2 hari. Satelit EOS memiliki wilayah pergantian liputan ± 55 derajat, ketinggian orbit 705 km dan lebar 2330 km. Terra (EOS AM) diluncurkan 18 Desember 1999 dan Aqua (EOS PM) pada tanggal 4 Mei 2002. Hasil observasi hotspot dengan kualitas tinggi baru tersedia pada satelit Terra mulai November 2000, sementara satelit Aqua mulai 4 Juli 2002 dan seterusnya (http:/firefly.geog.umd.edu/firms/).


(31)

Satelit Terra (EOS AM) melewati khatulistiwa sekitar pukul 10:30 pagi dan 10:30 malam setiap hari, Aqua (EOS PM) satelit melewati khatulistiwa sekitar pukul 1:30 pagi dan 1:30 siang. Adanya jalur orbit yang sama memungkinkan satelit untuk melewati daerah yang sama pada waktu yang sama dalam setiap periode 24 jam. Diperlukan waktu sekitar 2 - 4 jam setelah proses liputan satelit untuk pemrosesan data, dan pembaharuan data FIRMS pada situs web. Untuk sebagian besar ekuator Bumi, ada 4 liputan dalam jangka waktu 24 jam (2 untuk Aqua dan 2 untuk Terra). Sebagai orbit kedua satelit "tumpang tindih" di kutub, ada cakupan lebih per daerah mengingat lebih jauh ke utara atau selatan daerah dari khatulistiwa (http:/firefly.geog.umd.edu/firms/).

Satelit MODIS memiliki resolusi spasial (250 m) yang lebih tinggi dari pada AVHRR pada Band 1 (0.620–0.670 µm) dan Band 2 (0.841–0.876 µm) (Zhang et al. 2011). Salah satu kelebihan MODIS dibanding dengan satelit lainnya adalah dalam pembacaan algoritmanya tidak ada batas atas untuk api terbesar dan / atau terpanas yang dapat dideteksi dengan MODIS. Ini tidak dimiliki oleh beberapa satelit seperti AVHRR, VIRS, dan ATSR (Giglio 2010).

Dalam kejadian kebakaran, besar minimum api terdeteksi oleh sensor dipengaruhi oleh banyak variabel, seperti sudut scan, bioma, posisi matahari, suhu permukaan tanah, tutupan awan, jumlah asap dan arah angin, dll), sehingga nilai yang tepat sulit diketahui. Dari resolusinya MODIS mendeteksi kebakaran 1000 m², namun apabila pengamatan dilakukan dalam kondisi optimal (misalnya di dekat titik nadir, asap sedikit atau tidak ada, permukaan tanah yang relatif homogen, dll), kebakaran dengan luas 100 m² dapat dideteksi, bahkan dalam kasus yang sangat jarang dapat mendeteksi kebakaran seluas 50 m² (Giglio 2010).

Diantara kelebihan Satelit MODIS (resolusi 250 m) adalah produk yang tidak mahal, resolusi temporal yang tinggi, cakupan areal yang sangat luas dan memberikan informasi dalam rangka monitoring kondisi kesehatan ekosistem hutan. Penggunaan data MODIS dapat mengenali sebaran area terbakar sebagai bahan masukan bagi petugas pengendali kebakaran. Namun hasil identifikasi area terbakar tersebut umumnya memiliki luasan lebih rendah dibanding dengan pengukuran GPS (Quintano et al. 2011).

Validasi hotspot Terra MODIS dan Aqua MODIS telah dilakukan dengan menggunakan pengamatan Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER) dengan hasil yang baik (Klerk 2008 dan Hawbaker et al. 2008 dalam Giglio 2010). Citra Landsat 5 TM juga dapat digunakan sebagai data lapangan untuk validasi MODIS. Validasi terhadap MODIS dengan citra Landsat TM menunjukkan hasil yang akurat sebagai sumber informasi peta kebakaran (Shimabukuro et al. 2009). Demikian juga validasi dengan pengecekan lapangan, penggunaan data hotspot MODIS memiliki akurasi yang cukup tinggi (di atas 90 %) sehingga cukup layak digunakan sebagai data dalam kegiatan pengendalian kebakaran hutan di Thailand (Tanpipat et al. 2009).

Setiap deteksi kebakaran hotspot merupakan pusat dari pixel dengan resolusi ± 1 km², dan dalam satu piksel tersebut terdapat satu atau lebih hotspot / kebakaran. Lokasi sebenarnya titik api tersebut di dalam 1 piksel itu tidak diketahui secara pasti. Seringkali hotspot/titik api yang terdeteksi memiliki luas kurang dari 1 km², sehingga secara pasti luas area terbakar tidak dapat diketahui. Hanya dapat disimpulkan bahwa dalam 1 piksel itu terdapat satu atau beberapa hotspot (http:/firefly.geog.umd.edu/firms/).


(32)

Hotspot diproses oleh MODIS Rapid Response Sistem menggunakan algoritma berstandar MODIS MOD14/MYD14 Fire dan produk Thermal Anomalies. Deteksi kebakaran dilakukan dengan memanfaatkan emisi yang kuat dari radiasi inframerah tengah yang dipantulkan/dipancarkan oleh kebakaran. Algoritma memeriksa setiap pixel dari petak MODIS, dan parameter data meliputi data yang hilang, awan, air, non-api, api, atau tidak diketahui (http:/firefly.geog.umd.edu/firms/).

3.1.2 Faktor –faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan

Penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terdiri dari dua faktor yaitu faktor alam antara lain petir, letusan gunung berapi atau potensi batu bara yang terbakar berupa dan faktor manusia baik yang sengaja maupun tidak sengaja (Syaufina 2008). Menurut Asian Development Bank tahun 1997/1998, kebakaran hutan disebabkan oleh 99% perbuatan manusia dan 1 % faktor alam. Kebakaran yang disebabkan perbuatan manusia dapat dikelompokan menjadi : puntung rokok 35%, kecerobohan 25%, konversi lahan 13%, perladangan 10%, pertanian 7%, kecemburuan sosial 6%, kegiatan transmigrasi 13% (Sumantri 2007).

Di Nevada, kebakaran yang disebabkan oleh alam sering terjadi pada daerah dengan kerapatan petir yang tinggi. Pengaruh faktor alam terlihat pada daerah-daerah yang sulit diakses oleh manusia yang dapat memicu terjadinya penyalaan api. Kebakaran secara alami ini terjadi ketika didukung oleh kesesuaian bahan bakar dan topografi (Dilts et al. 2009). Untuk Indonesia kebakaran disebabkan faktor alam ini jarang terjadi. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan mencakup faktor sosial ekonomi (dalam segitiga api terkait sumber penyalaan) dan biofisik (terkait bahan bakar).

3.1.2.1 Faktor Sosial Ekonomi Pengolahan Lahan

Menurut penelitan hampir 100% kebakaran hutan dan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh faktor kesengajaan manusia akibat adanya kegiatan pembukaan lahan (Syaufina 2008). Sebagian masyarakat sengaja membakar hutan untuk memperluas lahan garapan. Pembakaran lahan dapat meningkatkan kesuburan tanah secara mudah dan murah, dimana masyarakat untuk mengolah lahannya tidak perlu mengeluarkan dana untuk membeli pupuk. Pembakaran lahan secara nyata telah menurunkan sifat biologi tanah seperti jumlah mikroorganisme yang hidup di tanah (Wasis 2003).

Prasad et al. (2008) juga menemukan keterkaitan yang erat antara aktivitas masyarakat dengan kejadian kebakaran hutan di India. Permintaan terhadap kayu bakar di pedesaan terkait erat dengan pembersihan dan pembakaran lahan pertanian, dimana vegetasi (pohon) ditebang dan dibakar dengan tujuan membuka lahan. Ketergantungan masyarakat pada hutan sebagai penyedia kayu bakar dan sumber utama energi menyebabkan deforestasi yang serius di beberapa bagian hutan. Populasi yang terus meningkat menyebabkan konsumsi bahan bakar kayu meningkat dengan cepat. Hal ini seringkali memicu terjadinya kebakaran hutan.


(33)

Demografi (Penduduk)

Kepadatan penduduk pedesaan, angka buta huruf serta ketergantungan penduduk pedesaan pada sumber daya hutan merupakan faktor yang berpeluang menimbulkan kebakaran hutan (Prasad et al. 2008). Pengaruh tingkat kepadatan penduduk ini juga terlihat pada pola sebaran kebakaran yang frekuensinya semakin meningkat di daerah berpenduduk padat dan sedkit di daerah-daerah yang penduduknya jarang (Calcerrada et al. 2010).

Di banyak daerah kebakaran dipengaruhi oleh jumlah penduduk dimana pada daerah-daerah yang penduduknya rendah ada kecenderungan jumlah kebakaran yang terjadi juga rendah. Ini terkait dengan faktor manusia sebagai penyebab terjadinya penyalaan api. Dengan semakin banyaknya jumlah penduduk, intensitas aktivitas manusia untuk mengakstraksi sumberdaya alam dalam rangka pemenuhan kebutuhan ekonomi juga meningkat meningkat (Zhai et al. 2003; Yamashita 2008; Syphard et al. 2009).

Faktor pendorong terjadinya kebakaran hutan di Riau adalah pertambahan jumlah penduduk yang cukup tinggi, lapangan kerja, dan kesempatan kerja yang terbatas, kurangnya pembinaan terhadap masyarakat di sekitar hutan dan tidak adanya sanksi adat yang diberikan kepada masyarakat di sekitar hutan (Mangandar 2000)

Samsuri (2008) mengidentifikasi ada empat faktor utama yang berpengaruh terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu tipe sistem lahan, tipe tutupan lahan, tipe tanah dan fungsi kawasan yang dapat digunakan untuk menduga kepadatan hotspot per km².

Aksesibilitas

Faktor utama penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat adalah aktivitas manusia yang dipengaruhi jarak dari kota, penggunaan lahan, dan faktor biofisik yang dipengaruhi oleh tutupan lahan (Kayoman 2010).

Pengaruh faktor manusia ini juga terlihat dari pola sebaran titik api yang berkorelasi kuat dengan ketersediaan aksesibilitas di wilayah tersebut. Daerah-daerah yang berdekatan dengan jalan lebih rawan terjadi kebakaran daripada daerah yang jauh (Zhai et al. 2003; Calcerrada et al. 2010).

Pemahaman Masyarakat

Lee et al. (2009) mengatakan bahwa ada kaitan kuat antara tingkat pemahaman masyarakat sekitar dengan terjadinya gangguan di beberapa kawasan lindung Sulawesi. Beberapa variabel prediktor yang digunakan adalah informasi rumah tangga, pendapat terhadap kawasan lindung, pemahaman terhadap konservasi, interaksi dengan kawasan lindung dan variabel sosial demografi. Parameter-parameter yang diukur adalah tingkat dukungan terhadap pembangunan kawasan lindung, metoda pemanfaatan yang mendukung keberlanjutan sumber daya, partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan kawasan lindung, konflik dalam pemanfaatan ruang, jumlah penduduk, proporsi suku asli, jarak dari pemukiman, jumlah anggota keluarga, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jenis mata pencaharian penduduk.


(34)

Status Kawasan

Status kawasan yang berbeda menunjukkan frekuensi kebakaran yang berbeda. Berdasarkan status kawasannya, kebakaran lebih sering terjadi di hutan alam dari pada di Hutan Tanaman Industri maupun Hutan Hak di luar keperluan industri. Hutan hak non industri lebih rendah kerawanannya daripada kedua status kawasan lainnya. Terkait jenis tanamannya, kebakaran lebih sering terjadi di hutan pinus dan campuran pinus-daun lebar daripada hutan daun lebar. Ini terkait dengan kemudahan terbakar pada media bahan bakar api (Zhai et al. 2003).

Daerah Terbangun

Tingkat perkembangan wilayah juga mempengaruhi frekuensi kebakaran. Kebakaran umumnya meningkat dengan makin dekatnya jarak terhadap pusat-pusat pemukiman. Daerah yang lebih dekat lebih tinggi kepadatan hotspot-nya dibandingkan daerah yang jauh dan sulit diakses penduduk. Kepadatan hotspot ini menurun untuk daerah-daerah yang sangat dekat dengan pemukiman (Yamashita 2008).

3.1.2.2 Faktor Biofisik

Faktor lingkungan biofisik, mencakup variabel-variabel lingkungan yang mempengaruhi kemudahan untuk terbakar dan kejadian kebakaran, meliputi :

Topografi

Salah satu unsur yang mempengaruhi perilaku api adalah Topografi. Faktor topografi terdiri atas data ketinggian (elevasi), kelerengan (slope), aspect dan tingkat keterisolasian (Chuvieco et al. 1997). Slope mempengaruhi kecepatan penjalaran api dan aspek berhubungan dengat kondisi kelembaban udara. Variabel elevasi mempengaruhi tingkat kelembaban bahan bakar dan udara (Setiawan et al. 2004).

Syaufina (2008) menyatakan bahwa semakin curam lereng maka akan semakin cepat api menjalar disebabkan nyala api lebih dekat dengan bahan bakar. Aliran angin biasanya menuju puncak. Udara yang terpanaskan akan menambah kecepatan angin dan menimbulkan lompatan bara api yang jatuh ke bawah dan menimpa bahan bakar baru. Bentang alam berpengaruh terhadap pola angin setempat yang dapat menjadi penghalang dan merubah aliran udara yang akan menyebabkan turbulensi. Aspek adalah arah menghadapnya lereng terhadap penyinaran matahari. Biasanya lereng yang pertama kali mendapat penyinaran matahari akan mempengaruhi cuaca setempat seperti suhu, kelembaban dan arah angin.

Dalam penelitian yang dilakukan Dilts et al. (2009) mengenai pemodelan kebakaran untuk pemetaan kejadian kebakaran, terdapat hasil yang berbeda. Kerawanan kebakaran daerah bertopografi tinggi justru lebih rendah dibandingakan topografi rendah. Hal ini disebabkan sulitnya aksesibilitas manusia yang dapat menyebabkan kebakaran.


(35)

Miller dan Urban (1999); Platt et al. (2006) menjelaskan bahwa variabel ketinggian dapat digunakan untuk menggambarkan tingkat suhu dan kelembaban udara yang berpengaruh terhadap tingkat kebasahan dari bahan bakar. Pada daerah-daerah yang tinggi, suhu udara lebih rendah dan kelembabannya lebih tinggi sehingga lebih sulit untuk terbakar. Demikian juga sebaliknya, pada daerah-daerah yang berada pada ketinggian yang rendah diukur dari permukaan laut maka kondisi suhunya akan lebih tinggi dan kelembabannya rendah. Kondisi tersebut dapat berdampak pada mudahnya bahan bakar yang ada di wilayah tersebut untuk terbakar. Setiawan et al. (2004) menyatakan bahwa lebih dari 90 % kebakaran terjadi pada elevasi 100 m dpl. Kerusakan yang terjadi akibat kebakaran pada area rendah lebih besar dibandingkan area yang tinggi. Hal ini juga dipengaruhi oleh besarnya curah hujan pada daerah tinggi tersebut.

Bahan Bakar

Pemahaman terhadap karakteristik bahan bakar merupakan komponen sangat penting dalam management kebakaran hutan dan lahan. Data karakteristik bahan bakar dapat digunakan untuk menghitung bahaya, resiko, perilaku dan dampak dari kebakaran hutan dan lahan. Karakteristik bahan bakar tersebut cukup sulit dijelaskan karena sangat komplek dan bervariasi (Manzanera et al. 2008).

Bahan bakar menentukan ketersediaan energi maksimum, susunannya menentukan aerasi dan penjalaran api, distribusi dan ukurannya mempengaruhi kemudahan menyala, serta ada tidaknya kandungan kimia mempengaruhi kecepatan nyala api (Syaufina 2008).

Bahan bakar dipengaruhi oleh kadar air, ukuran, susunan, volume dan kandungan resin. Semakin rendah kelembaban suatu bahan bakar semakin cepat api akan menjalar. Semakin kecil ukuran bahan bakar semakin cepat terbakar. Susunan bahan bakar terkait dengan pola kesinambungan bahan bakar apakah ada penghambat penjalaran api. Bahan bakar yang mengandung resin akan mempercepat proses penyalaan dan keawetan untuk menyala

Volume terkait dengan kuantitas kebakaraan, semakin banyak bahan bakar terbakar maka semakin tinggi intensitasnya. Semakin besar ukuran pohon-pohonnya maka volume bahan bakar juga akan semakin besar. Volume bahan bakar dan kelembabannya secara bersama-sama mempengaruhi proses penyalaan api (Miller dan Urban 1999; Syaufina 2008).

Prasad et al. (2008) mengidentifikasi variabel yang berpengaruh kuat pada kejadian kebakaran adalah luas kawasan berhutan, kepadatan biomassa, kepadatan penduduk pedesaan, curah hujan rata-rata kuartal terpanas, elevasi dan suhu tahunan rata-rata. Di antara variabel-variabel ini, kepadatan biomassa dan curah hujan rata-rata kuartal terpanas memiliki signifikansi tertinggi, diikuti oleh variabel lainnya.

Faktor biofisik yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan di Sub DAS Kapuas Tengah Kalimantan Barat adalah vegetasi halus seperti rumput, Alang- alang, semak yang biasanya memiliki kerapatan vegetasi sedang (Arianti 2006).

Knapp (1996) dalam Dilts et al. (2009) menyatakan bahwa daerah-daerah yang ditumbuhi oleh rerumputan lebih rawan terhadap kebakaran. Daerah-daerah


(36)

tersebut terkadang dijumpai pada daerah bertopografi datar dan berbatu, sehingga rumput lebih mampu tumbuh dibandingkan jenis lainnya.

Iklim

Komponen iklim/cuaca yang berpengaruh terhadap kebakaran mencakup suhu, kelembaban, angin dan curah hujan (Chuvieco et al. 1997). Iklim/Cuaca menentukan jumlah bahan bakar yang tersedia, kerasnya musim kemarau mengatur kadar air dan flamibilitas bahan bakar mati dan mempengaruhi proses penyalaan (Syaufina 2008).

Ketersediaan air mempengaruhi kelembaban dan produktivitas bahan bakar. Simuasi model kebakaran permukaan, iklim dan hutan di California menunjukkan bahwa pada lokasi-lokasi dengan ketinggian di atas 1 500 meter, ketersediaan bahan bakar yang diperlukan dalam proses penyalaan sangat sedikit. Faktor pembatas juga mencakup variabel kelembaban dimana pada ketinggian di atas 1 500 tersebut bahan bakar menjadi terlalu lembab untuk bisa terbakar. Sehingga daerah-daerah dengan ketinggian di atas 1 500 m tidak rawan terbakar (Miller dan Urban 1999).

Terkait dengan waktu, periode kritis terjadinya kebakaran adalah Pukul 10.00 sampai 18.00, setelah jam 10.00 penyinaran matahari menyebabkan temperatur meningkat sehingga kelembaban turun dan kecepatan angin meningkat sehingga menyebabkan kadar air bahan bakar menurun (Sumantri 2007).

3.2 Sistem Informasi Geografis (SIG) Kebakaran Hutan dan Lahan

Morisette et al. (2005) dalam Prasad et al. (2008) menyebutkan bahwa penginderaan jauh yang menggunakan multi waktu, multispektral, cakupan dan pola kejadian berulang dapat memberikan informasi tentang jumlah kebakaran, luas area dan jenis ekosistem yang terbakar.Untuk menghitung daerah yang terbakar dengan penginderaan jauh umumnya menggunakan 2 cara :

a. Deteksi kebakaran aktif b. Deteksi pasca kebakaran

GIS sangat bermanfaat dalam pengolahan data digital citra satelit untuk membuat peta sebaran bahan bakar, pemodelan spasial resiko kebakaran serta pemodelan spasial peluang kejadian kebakaran. Informasi yang dihasilkan dari GIS tersebut dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pengelola kawasan untuk melakukan pencegahan, perencanaan dan penanganan kebakaran (Bonazountas et al. 2007).

Pemakaian GIS dan regresi logistik multivariat memberikan hasil yang cukup baik untuk mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi terjadinya kebakaran. Faktor yang digunakan sebagai prediktor dalam proses tersebut mencakup demografi, sosial ekonomi, fisik, geografi dan bahan bakar kayu. GIS digunakan untuk mengkombinasikan data spasial hasil inventarisasi hutan dan data hasil sensus, serta bermanfaat untuk menghitung jarak setiap plot dalam kegiatan inventarisasi hutan terhadap lokasi aksesibilitas penduduk (Zhai et al. 2003).


(1)

114

Lampiran 21 (lanjutan)

No Faktor Strategi Eksternal Strategi 4

Strategi 5

Strategi 6 Peluang (Opportunities) : Bobot AS TAS AS TAS AS TAS 1 Tersedianya peraturan, arahan dan

petunjuk teknis pengelolaan kawasan dan pengendalian kebakaran hutan

0.08 3 0.23 3 0.23 2 0.15

2 Peran serta lembaga pendidikan/ sekolah di sekitar kawasan TNRAW

0.06 2 0.11 2 0.11 2 0.11

3 Pengetahuan dan teknologi deteksi kebakaran hutan telah berkembang

0.05 2 0.09 2 0.09 2.5 0.12

4 Kebijakan pemerintah pusat dalam pengendalian kebakaran hutan

0.08 2.5 0.19 2.5 0.19 2 0.15

5 Peran serta media massa lokal, LSM, kelompok pecinta alam dan komunitas konservasi di desa penyangga

0.07 3 0.20 2.5 0.17 2 0.13

6 Perekonomian daerah makin membaik, angka kemiskinan menurun

0.06 2 0.12 3 0.18 2.5 0.15

7 Modal sosial masyarakat dengan ciri gotong-royong masih ada

0.05 2 0.10 2 0.10 2.5 0.13

8 Peran serta perguruan tinggi dalam pengembangan ilmu pengetahuan

0.07 2 0.14 2 0.14 2 0.14

Ancaman (Threats) :

9 Aktivitas masyarakat di dalam kawasan tinggi, terutama untuk pemenuhan kebutuhan hidup

0.06 3 0.17 3 0.17 3.5 0.20

10 Persepsi masyarakat dan Pemda tentang kawasan TNRAW beragam

0.05 2 0.11 3 0.16 2.5 0.14

11 Masyarakat daerah penyangga didominasi kelompok menengah ke bawah

0.05 2.5 0.13 2.5 0.13 3 0.15

12 Aksesibilitas masyarakat ke dalam kawasan mudah

0.08 3 0.23 2 0.15 4 0.31

13 Pertumbuhan penduduk dan

kebutuhan lapangan kerja

0.07 3 0.22 3 0.22 3.5 0.26

14 Perkembangan usaha pertambangan

di sekitar TNRAW

0.07 2.5 0.17 3 0.20 3 0.20

15 Kondisi cuaca yang kering dan intensitas hujan yang rendah

0.05 2 0.11 2 0.11 2.5 0.13

16 Pengendalian kebakaran hutan bukan merupakan kebijakan prioritas Pemerintah Daerah

0.07 2.5 0.17 2.5 0.17 2.5 0.17

Total Sum of Attractiveness

Score

5.18 5.22 5.27


(2)

kebakaran

Zona Kelas

Rawan

Skor resiko

Arahan pengembangan sarana prasarana Resiko area

Media Informasi

Jalur hijau Jalur pengunjung

Jalur mobil Dalkarhut

Jalur patroli Menara pengamatan

Embung air

Inti

Tinggi 16 Penting ,

jumlahnya dibatasi

Penting, jumlahnya dibatasi *

Dilarang Dibatasi atau

dilarang Perlu, jumlahnya dibatasi Perlu, jumlahnya dibatasi* Perlu, jumlahnya dibatasi* Tinggi

Sedang 12 Perlu,

jumlahnya dibatasi

Perlu, jumlahnya dibatasi *

Dilarang Dibatasi atau

dilarang Perlu, jumlahnya dibatasi Perlu, jumlahnya dibatasi * Perlu, jumlahnya dibatasi * Tinggi

Rendah 4 Dilarang** Dilarang Dilarang Dilarang Dibatasi Dilarang Dilarang Sedang

Rimba

Tinggi 8 Penting Penting Dibatasi atau

dilarang

Penting Penting Penting Penting Tinggi

Sedang 6 Penting Perlu,

jumlahnya dibatasi Dibatasi atau dilarang Perlu, jumlahnya dibatasi

Penting Perlu,

jumlahnya dibatasi Perlu, jumlahnya dibatasi Sedang

Rendah 2 Perlu Bukan

prioritas Perlu, jumlahnya dibatasi Bukan prioritas

Perlu Bukan

prioritas

Bukan prioritas

Rendah

Pemanfaatan

Tinggi 4 Penting Penting Jumlahnya

dibatasi

Penting Penting Penting Penting Sedang

Sedang 3 Penting Perlu Jumlahnya

dibatasi

Perlu Penting Perlu Perlu Rendah

Rendah 1 Perlu Bukan

prioritas

Penting Bukan

prioritas

Perlu Perlu Bukan

prioritas

Rendah


(3)

116

Lampiran 22 (lanjutan)

Zona Kelas

Rawan

Skor resiko

Arahan pengembangan sarana prasarana Resiko

area Media

Informasi

Jalur hijau Jalur pengunjung

Jalur mobil Dalkarhut

Jalur patroli Menara pengamatan

Embung air

Tradisional

Tinggi - - - - -

Sedang 3 Penting Bukan

prioritas

Bukan prioritas

Bukan prioritas

Penting Bukan

prioritas

Bukan prioritas

Rendah

Rendah 1 Perlu Bukan

prioritas

Bukan prioritas

Bukan prioritas

Perlu Bukan

prioritas

Bukan prioritas

Rendah

Rehabilitasi

Tinggi 4 Penting Perlu Bukan

prioritas

Penting Penting Bukan

prioritas

Penting Rendah

Sedang 3 Penting Bukan

prioritas

Bukan prioritas

Perlu Penting Bukan

prioritas

Perlu Rendah

Rendah 1 Perlu Bukan

prioritas

Bukan prioritas

Bukan prioritas

Perlu Bukan

prioritas

Bukan prioritas

Rendah

Khusus

Tinggi 4 Penting Bukan

prioritas

Bukan prioritas

Penting*** Penting Penting*** Penting Rendah

Sedang 3 Penting Bukan

prioritas

Bukan prioritas

Penting*** Penting Penting*** Penting*** Rendah

Rendah 1 Penting Bukan

prioritas

Perlu Penting*** Perlu Penting*** Penting*** Rendah

Keterangan :

* : dibangun di luar zona inti

** : pengecualian, perlu media informasi untuk zona inti akibat keterlanjuran terdapat aksesibilitas jalan masyarakat *** : dimanfaatkan untuk mendukung pengendalian kebakaran hutan di zona khusus dan zona-zona lainnya


(4)

Lampiran 23 Data intensitas curah hujan tahun 2007-2011 pada stasiun penakar

hujan Bandara Haluoleo

Bulan Intensitas Curah Hujan Bulanan (mm)

2007 2008 2009 2010 2011

Januari 238 42.6 246.6 186.6 208.2

Februari 130 81.3 203.3 262.4 206.2

Maret 339 155.4 224.5 250.3 154.7

April 325 200.4 216.7 208.2 121.2

Mei 200 459.7 30.6 224.1 466.4

Juni 326 320.2 35.9 343.7 172.5

Juli 81 215.8 148.8 395 153.8

Agustus 202 327.9 1 385.1 140.9

September 360 102.3 4 121 130.9

Oktober 62 159.4 1.5 224.9 148.9

November 57 161.4 72.1 110.6 233.1

Desember 147 74.4 234.1 147.4 190.2

Sumber : BPS Sultra (2008, 2009, 2010, 2011, 2012)

Lampiran 24 Keluaran analisis regresi logistik biner pada

software

SPSS 16

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 971.201 22 .000

Block 971.201 22 .000

Model 971.201 22 .000

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square

1 2 848.217a .233 .360

a. Estimation terminated at iteration number 7 because parameter estimates changed by less than .001.

Hosmer and Lemeshow Test

Step Chi-square df Sig.

9.989 8 .266

Classification Tablea

Observed

Predicted

Log_biner Percentage

Correct

0 1

Step 1 Log_biner 0 2736 143 95.0

1 457 332 42.1

Overall Percentage 83.6


(5)

118

Lampiran 24 (lanjutan)

Variabel in equation

Variabel Kelas B S.E. Wald df Sig. Exp (B)

95.0% C.I.for EXP (B) Lower Upper Jarak dari

kota kecamatan

14-23 km 38.198 2 .000

0-7 km -.069 .199 .122 1 .727 .933 .632 1.378

7-14 km .563 .183 9.470 1 .002 1.756 1.227 2.513 Suhu

rata-rata bulanan

22-24 ºC 11.762 2 .003

24-26 ºC 1.486 1.023 2.113 1 .146 4.420 .596 32.798

26-28 ºC 2.352 1.052 4.995 1 .025 10.502 1.336 82.578 Jarak dari

sungai

0-1 km 34.550 3 .000

7-19 km -.114 .192 .352 1 .553 .892 .613 1.300

1-4 km .106 .187 .319 1 .572 1.112 .770 1.605

4-7 km .590 .191 9.537 1 .002 1.803 1.240 2.621 PDRB per

kapita

6-10 juta/th 27.101 2 .000

3-6 juta/th .454 .131 12.050 1 .001 1.574 1.218 2.033 0-3 juta/th .704 .140 25.425 1 .000 2.021 1.537 2.657 Jarak dari

mangrove

> 3 km 44.081 2 .000

0 -.311 .425 .534 1 .465 .733 .318 1.687

0-3 km 1.242 .193 41.592 1 .000 3.461 2.373 5.047 Kepadatan

penduduk

> 75 org / km² 89.217 2 .000

25-75 org/km² 1.229 .172 50.889 1 .000 3.417 2.438 4.788 0-25 org/km² 1.660 .176 89.214 1 .000 5.258 3.726 7.419

Tipe penutupan lahan

H. mangrove 197.091 5 .000

H. rawa -1.229 .632 3.781 1 .052 .293 .085 1.010

H. peg. dat. rendah

.418 .515 .658 1 .417 1.518 .554 4.164

Kaw. budidaya -.041 .513 .006 1 .936 .960 .351 2.620

Badan air -.412 .492 .702 1 .402 .662 .253 1.736

Savana 1.786 .510 12.249 1 .000 5.967 2.194 16.227 Slope

> 30 % 3.814 2 .148

8-30 % .456 .346 1.737 1 .187 1.578 .801 3.110

0-8 % .632 .354 3.200 1 .074 1.882 .941 3.763

Elevasi

>200 m 4.725 2 .094

100-200 m .204 .284 .515 1 .473 1.226 .703 2.140

0-100 m .478 .305 2.460 1 .117 1.613 .888 2.930


(6)

Lampiran 25 Keluaran uji normalitas data dan analisis regresi linier antara

intensitas curah hujan bulanan terhadap kepadatan

hotspot

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Intensitas Curah Hujan bulanan

.096 60 .200* .968 60 .116

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance. Model Summary

Model R R Square

Adjusted R

Square Std. Error of the Estimate

1 .430a .185 .171 13.162

a. Predictors: (Constant), Intensitas Curah Hujan bulanan ANOVAb

Model

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 2 274.778 1 2 274.778 13.131 .001a

Residual 10 047.622 58 173.235

Total 12 322.400 59

a. Predictors: (Constant), Intensitas Curah Hujan bulanan b. Dependent Variable: Hotspot

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

T Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 20.338 3.416 5.954 .000

Intensitas Curah

Hujan bulanan -.057 .016 -.430 -3.624 .001