Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Petani Padi Sawah terhadap Penerapan Pertanian Organik

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SIKAP
PETANI PADI SAWAH TERHADAP PENERAPAN
PERTANIAN ORGANIK

CINTYA ARISTY DEBY

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Sikap Petani Padi Sawah terhadap Penerapan Pertanian Organik
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Cintya Aristy Deby
NIM I34090093

ABSTRAK
CINTYA ARISTY DEBY. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Petani Padi
Sawah terhadap Penerapan Pertanian Organik. Dibimbing oleh RATRI
VIRIANITA.
Pertanian organik salah satu alternatif solusi bagi kerusakan lingkungan
pertanian akibat penggunaan bahan-bahan input sintetis. Oleh karenanya, tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan sikap petani padi sawah,
menganalisis perbedaan sikap antara petani non, semi, dan organik, dan
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi sikap petani padi sawah terhadap
penerapan pertanian organik. Penelitian ini menggunakan metode survei yang
dilakukan pada bulan April di Kabupaten Magelang, di dua kecamatan. Terdapat
105 responden terpilih dengan menggunakan pengambilan sampel sensus dan
snowball sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani di Kabupaten
Magelang memiliki sikap yang cenderung positif terhadap penerapan pertanian

organik. Terdapat perbedaan sikap di antara petani organik, semi organik, dan non
organik. Faktor-faktor yang memiliki pengaruh nyata terhadap sikap petani,
adalah pendidikan non formal, pengalaman bertani, kepemilikan modal, akses
sarana produksi dan nilai-nilai kelompok.
Kata kunci: penerapan, pertanian organik, sikap

ABSTRACT
CINTYA ARISTY DEBY. Factors Influences of Rice Field Farmers Attitudes
Towards Organic Farming. Supervised by RATRI VIRIANITA.
Organic farming is one of the alternative solutions for environmental
damage due to the use of synthetic materials input. Therefore, the objective of the
study is to describe ricefield farmers attitude, to analyze attitudinal differences
between non, semi, and organik ricefield farmers, to analyze the influencing
factors on ricefield farmers attitude toward the implementation of organic
farming. The study was conducted by survey methods on April 2013 in Magelang
Subregency. 105 respondets was selected through sensus sampling and snowball
sampling technique. The results shows that the ricefield farmers in Magelang
Subregency are tends to have positive attitude towards the implementation of
organic farming. Also, there is attitudinal differences among farmers. Non formal
education, farming ecperience, capital ownership, acces to agricultural input

material, and the values of the group has effect on the ricefield farmers attitude.
Keywords: attitude, implementation, organic farming

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SIKAP
PETANI PADI SAWAH TERHADAP PENERAPAN
PERTANIAN ORGANIK

CINTYA ARISTY DEBY

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan masyarakat
pada
Fakultas Ekologi Manusia

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014


Judul Skripsi : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Petani Padi Sawah
terhadap Penerapan Pertanian Organik
Nama
: Cintya Aristy Deby
NIM
: I34090093

Disetujui oleh

Ratri Virianita, S.Sos, M.Si
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Petani Padi Sawah terhadap Penerapan
Pertanian Organik” ini dengan baik. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk
memenuhi persyaratan kelulusan di Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi
penelitian ini. Terimakasih kepada Ibu Ratri Virianita S.Sos, M.Si selaku dosen
pembimbing skripsi yang telah memberikan waktu dan bimbingannya selama
proses penulisan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian dengan
baik. Terimakasih kepada Prof. Dr.Endriatmo Soetarto, MA selaku penguji utama,
serta bapak Ir. Hadiyanto, MSi selaku dosen penguji perwakilan departemen atas
saran dan kritik yang membangun guna kesempurnaan skripsi. Terimakasih
kepada Bapak Widagdo beserta keluarga, Bapak Udih, dan Mas Nungki selaku
tokoh desa. Terimakasih kepada keluarga baru di Magelang, Mba Siwi, Mas
Dodo, Bopy, Andre yang telah membantu penulis dalam mencari dan
mengumpulkan data. Terimakasih kepada warga Desa Mangunsari dan Desa

Madugondo yang telah membantu penulis mengumpulkan data. Terimakasih juga
disampaikan kepada ayah, Herry Hairudin, ibu, Euis Jamilah, kaka, Putri Haditya,
Ifi Maya, adik, Dicki Chandra, dan keluarga yang telah memberikan doa, kasih
sayang, dan dukungannya. Tak lupa terimakasih kepada Wahyuni Latifah Sari,
Yeni Agustien Harahap, Indah Permata Sari, Amatul Jalieli, Rizki Budi Utami dan
Rizki Amela sahabat-sahabat yang selalu memberikan bantuan dan motivasi
kepada penulis, beserta teman-teman SKPM lainnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2014
Cintya Aristy Deby

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xii


DAFTAR LAMPIRAN

xii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

4

Tujuan Penelitian

5


Manfaat Penelitian

5

TINJAUAN PUSTAKA

7

Pertanian Organik

7

Penerapan Pertanian Organik

9

Petani Pertanian Organik

11


Sikap

12

Faktor-Faktor Pembentuk Sikap

14

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Petani terhadap
Penerapan Pertanian Organik

15

Kerangka Pemikiran

19

Hipotesis Penelitian

20


Definisi Operasional

21

METODE

25

Lokasi dan Waktu

25

Teknik Pengumpulan Data

25

Teknik Sampling

26


Teknik Pengolahan dan Analisis Data

26

GAMBARAN UMUM PENELITIAN

29

Kabupaten Magelang

29

Kecamatan Sawangan

30

Kegiatan Pertanian di Desa Mangunsari

31

Kecamatan Kajoran

32

Kegiatan Pertanian di Desa Madugondo

33

Karakteristik Responden

34

SIKAP PETANI TERHADAP PENERAPAN PERTANIAN ORGANIK

45

Tingkat Kognisi Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik

46

Tingkat Afeksi Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik

47

Tingkat Konasi Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik

49

PERBEDAAN SIKAP PETANI TERHADAP PENERAPAN
PERTANIAN OGANIK

51

Perbedaan Tingkat Kognisi Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik

52

Perbedaan Tingkat Afeksi Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik

55

Perbedaan Tingkat Konasi Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik

57

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SIKAP PETANI
TERHADAP PENERAPAN PERTANIAN ORGANIK

61

Pengaruh Pendidikan Formal terhadap Sikap

61

Pengaruh Pendidikan Non Formal terhadap Sikap

62

Pengaruh Pengalaman Bertani terhadap Sikap

63

Pengaruh Kekosmopolitan terhadap Sikap

65

Pengaruh Kepemilikan Modal terhadap Sikap

66

Pengaruh Akses Sarana Produksi terhadap Sikap

66

Pengaruh Nilai-Nilai Kelompok terhadap Sikap

68

SIMPULAN DAN SARAN

71

Simpulan

71

Saran

71

DAFTAR PUSTAKA

73

LAMPIRAN

75

RIWAYAT HIDUP

96

DAFTAR TABEL
1 Perbandingan anatomi konsep pertanian organik dan konvensional

9

2 Luas panen, rata-rata produksi dan produksi tanaman bahan makanan
utama menurut kecamatan 2011

30

3 Luas tanam dan luas panen tanaman pangan Kecamatan Kajoran
tahun 2011

33

4 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat
umur

35

5 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan jenis
kelamin

35

6 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat
pendidikan formal

36

7 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat
pendidikan non formal

37

8 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat
pengalaman bertani

38

9 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat
kekosmopolitan

39

10 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat
kepemilikan modal

40

11 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat
akses sarana produksi

41

12 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat
nilai- nilai kelompok

42

13 Hasil uji regresi pengaruh faktor-faktor yang mempengaruhi sikap
petani terhadap penerapan pertanian organik

61

14 Sikap petani menurut pendidikan formal

62

15 Sikap petani menurut pendidikan non formal

63

16 Sikap petani menurut pengalaman bertani

64

17 Sikap petani menurut kekosmopolitan

65

18 Sikap petani menurut tingkat kepemilikan modal

66

19 Sikap petani menurut tingkat akses sarana produksi

67

20 Sikap petani menurut tingkat nilai-nilai kelompok

68

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka analisis faktor-faktor yang diduga mempengaruhi sikap petani
terhadap penerapan pertanian organik
20
2 Sikap petani terhadap penerapan pertanian organik

45

3 Tingkat kognisi petani terhadap penerapan pertanian organik

47

4 Tingkat afeksi petani terhadap penerapan pertanian organik

48

5 Tingkat konasi petani terhadap penerapan pertanian organik

49

6 Perbedaan sikap petani terhadap penerapan pertanian organik

51

7 Perbedaan tingkat kognisi petani terhadap penerapan pertanian organik

52

8 Perbedaan tingkat afeksi petani terhadap penerapan pertanian organik

55

DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta lokasi Kabupaten Magelang

75

2 Dokumentasi Penelitian

76

3 Hasil reduksi data

78

4 Hasil pengolahan data uji Chi Square

81

5 Hasil pengolahan data uji Regresi Linear Sederhana

84

6 Kuesioner Penelitian

91

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan jumlah penduduk sejalan dengan peningkatan kebutuhan
pangan karena pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang paling dasar.
Setiap negara berkewajiban untuk menciptakan ketahanan pangan bagi warga
negaranya. Untuk mencukupi kebutuhan pangan, maka kegiatan produksi tanaman
pangan perlu ditingkatkan. Upaya untuk meningkatkan hasil produksi tanaman
pangan semakin mudah tercapai apabila terdapat teknologi pendukung di sektor
pertanian. Oleh karenanya, kebutuhan input teknologi tinggi pada sektor pertanian
berupa pupuk makin meningkat, demikian juga kebutuhan pestisida akan lebih
besar daripada yang diperlukan sekarang. Dengan makin meningkatnya kebutuhan
input yang tinggi, maka biaya produksi yang diperlukan akan semakin besar
(Sutanto 2000).
Sehubungan dengan itu, pemerintah menggalakkan teknologi Revolusi
Hijau pada tahun 1984. Tujuan dari diadakannya Revolusi Hijau adalah untuk
mengatasi krisis pangan yang sempat terjadi pada masa itu dengan cara
meningkatkan hasil produksi pangan, terutama padi. Teknologi Revolusi Hijau ini
menerapkan tiga komponen inti, yaitu penggunaan bahan-bahan kimia sintetis,
seperti pupuk kimia, pestisida kimia, dan bibit rekayasa. Melalui penerapan
teknologi Revolusi Hijau, Indonesia mampu berswasembada beras pada tahun
1984-1989. Akan tetapi, pada tahun-tahun berikutnya hasil produksi pangan
mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh penggunaan tiga komponen inti
dari Revolusi Hijau yang mengakibatkan berbagai krisis lingkungan.
Suhartini et al. (2006) berpendapat bahwa sistem pertanian intensif yang
selama puluhan tahun dilakukan menimbulkan dampak negatif dari pemakaian
pupuk kimia dan pestisida kimia. Dampak negatif yang ditimbulkan
mengakibatkan terjadinya krisis lingkungan di bidang pertanian. Sejalan dengan
ini, Tata (2000) mengemukakan beberapa krisis yang dialami akibat Revolusi
Hijau. Pertama, terjadinya degradasi lingkungan di lahan pertanian dan
berkurangnya pendapatan serta menurunnya kualitas hidup terutama yang dialami
oleh petani kecil. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan yang dilakukan petani dalam
pemakaian pupuk kimia yang berlebihan tanpa diimbangi pemberian bahan
organik yang cukup ke dalam tanah menyebabkan kerusakan tanah. Kerusakan
tanah yang terjadi, seperti tanah menjadi lebih keras, kandungan hara yang
semakin berkurang, dan menurunnya fauna makro dan mikro, seperti belut, cacing,
dan juga kepiting (Wibowo dalam Suhartini et al. 2006). Selain itu, penggunaan
pestisida kimia berdampak negatif terhadap lingkungan karena zat racun yang
terkandung di dalamnya. Zat racun tersebut telah mencemari lingkungan fisik
seperti tanah dan air, matinya serangga berpengaruh negatif terhadap kehidupan
fauna di lahan pertanian, serta berbahaya bagi kesehatan manusia baik secara
langsung melalui kontak fisik saat melakukan penyemprotan maupun secara tidak
langsung melalui residu zat racun tersebut di dalam hasil pertanian (Suhartini et al.
2006)
Kedua, teknologi Revolusi Hijau yang menggunakan pupuk kimia, pestisida
kimia dan benih rekayasa menimbulkan ketergantungan pada tiga komponen

2
tersebut. Menurut Salikin (2003), petani telah meyakini dengan menggunakan
pupuk buatan dan input buatan pabrik yang lainnya cenderung meningkatkan hasil
produksi secara signifikan. Oleh karenanya, proses produksi pun menjadi sangat
tergantung kepada ketersediaan dan pemakaian bahan-bahan kimia tersebut.
Ketiga, krisis-kirisis sebelumnya menimbulkan pengaruh lanjutan terhadap sikap,
pola tanam, dan cara pandang petani terhadap lingkungannya. Pertanian non
organik yang berfokus pada komoditas tunggal dengan pola tanam yang seragam
atau monocultur menekankan pada maksimalisasi komoditas tertentu dan bukan
pada produksi pertanian secara keseluruhan. Hal ini dapat menyebabkan
tumbuhan saling bersaing dengan tanaman lain yang dibudidayakan, untuk
mendapatkan air, unsur hara, dan cahaya, yang juga dianggap sebagai gulma.
Selain itu, pertanian non organik menitikberatkan petani pada produktivitas
jangka pendek yang menyebabkan petani menggunakan bahan-bahan kimia untuk
mempercepat produksi dan pada akhirnya mengesampingkan dampak lingkungan
dalam jangka panjang (Reijntjes et al. 1994).
Dari berbagai krisis yang terjadi menuntut petani untuk menciptakan sistem
pertanian yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan untuk mengatasi
permasalahan yang diakibatkan oleh teknologi Revolusi Hijau. Salah satu upaya
yang dapat dilakukan adalah menuju pertanian yang berkelanjutan, yaitu melalui
sistem pertanian organik. Pertanian berkelanjutan lebih dikenal dengan istilah
LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) atau LISA (Low Input
Sustainable Agriculture), yaitu sistem pertanian yang berupaya meminimalkan
penggunaan input (benih, pupuk kimia, pestisida, dan bahan bakar) dari luar
ekosistem, yang dalam jangka panjang dapat membahayakan kelangsungan hidup
sistem pertanian (Salikin 2003).
Sutanto (2000) mengungkapkan dalam bukunya bahwa istilah pertanian
organik menghimpun seluruh pengertian yang dimiliki petani dan masyarakat
yang secara serius dan bertanggung jawab menghindarkan bahan kimia dan pupuk
yang bersifat meracuni lingkungan dengan tujuan memperoleh kondisi lingkungan
yang sehat. Mereka juga berusaha untuk menghasilkan produksi tanaman yang
berkelanjutan dengan cara memperbaiki kesuburan tanah menggunakan sumber
daya alami seperti mendaur ulang limbah pertanian. Dengan demikian pertanian
organik merupakan suatu gerakan “kembali ke alam”. Lebih jauh lagi Sutanto
(2000) mengemukakan bahwa apabila pertanian organik dilaksanakan dengan
baik maka dengan cepat akan memulihkan tanah yang sakit akibat penggunaan
bahan kimia pertanian. Hal ini terjadi apabila fauna tanah dan mikroorganisme
yang bermanfaat dipulihkan kehidupannya, dan kualitas tanah ditingkatkan
dengan pemberian bahan organik karena akan terjadi perubahan sifat fisik, kimia
dan biologi tanah.
Penerapan pertanian organik hanya menggunakan bahan-bahan input lokal,
seperti pupuk organik, pengendali hama alami, dan bibit lokal, serta menerapkan
pola tanam beragam dengan rotasi tanam. Penggunaan pupuk organik dapat
memperbaiki kualitas lahan pertanian yang sudah terdegradasi kualitasnya akibat
eksploitasi lahan pertanian selama puluhan tahun dalam penerapan pertanian non
organik yang sarat dengan penggunaan pupuk kimia secara berlebihan. Demikian
juga penggunaan pengendali hama yang menghindari bahan kimia sangat baik
dalam mengatasi persoalan pencemaran lingkungan.

3
Hasil penelitian terdahulu menunjukkan adanya perbaikan kualitas lahan
pertanian setelah menerapkan pertanian organik. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Putri (2011) menunjukkan bahwa secara ekonomi, hasil
produksi padi menjadi lebih meningkat dan memiliki harga jual lebih tinggi
dibandingkan dengan hasil produksi non organik. Secara ekologis, petani merasa
dapat menjaga kesuburan tanah, dapat mencegah terjadinya polusi udara karena
tidak menggunakan pestisida kimia, mengurangi pencemaran air di lingkungan
sekitar, serta tidak membunuh tanaman atau hewan di sekitarnya. Dalam
lingkungan sosial, setelah bertani organik, petani merasa bangga karena mampu
meningkatkan prestige diri mereka dari yang sebelumnya hanya petani yang
dikenal miskin dan bodoh. Sekarang, dapat menjadi petani yang dikenal sebagai
sosok yang sangat berperan dalam menjaga kelestarian lingkungan dan menjaga
keamanan pangan konsumen. Kemudian, Widiarta (2011) menambahkan bahwa
meskipun usahatani organik membutuhkan biaya input produksi rata-rata per
musim yang lebih besar daripada usahatani non organik, tetapi penerimaan
usahatani organik jauh lebih besar daripada usahatani non organik, sehingga
keuntungan rata-rata usahatani organik per musim pun lebih besar dibandingkan
usahatani non organik.
Pertanian organik bisa dikatakan bahwa secara ekologis bersifat sustainable
atau berkelanjutan. Namun demikian, untuk mengembangkan pertanian organik
secara luas tidaklah mudah. Dalam pemupukan misalnya, sulit untuk mengubah
kebiasaan petani yang sudah terbiasa selama puluhan tahun menggunakan pupuk
kimia yang praktis dan bereaksi cepat terhadap pertumbuhan tanaman. Demikian
juga dalam pengendalian hama, petani sudah terbiasa memusnahkan hama dengan
cara menyemprot dengan pestisida kimia yang bereaksi cepat dalam membunuh
hama. Suatu hal yang tidak mudah bagi petani untuk sama sekali tidak
menggunakan pestisida kimia dalam pengendalian hama dan beralih ke
pengendalian hama secara hayati tanpa pestisida kimia (Suhartini et al. 2006).
Masih sedikitnya petani yang mau beralih ke pertanian organik dapat
ditunjukkan dari hasil penelitian-penelitian terdahulu. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Widiarta (2011) di Desa Ketapang menunjukkan bahwa
meskipun pertanian organik terbukti lebih menguntungkan secara ekonomi,
namun dari 372 petani hanya 14 orang petani yang menerapkan pertanian organik.
Begitu pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Khairina (2006) di Desa Citeko.
Dari 100 petani, hanya 10 orang petani yang menerapkan pertanian organik.
Berbagai hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa masih sedikit petani yang
mau beralih dari sistem pertanian non organik ke sistem pertanian organik.
Untuk menerapkan pertanian organik dipengaruhi oleh banyak faktor,
diantaranya adalah sikap. Sarwono S (2010) menjabarkan bahwa sikap adalah
pencerminan rasa senang, tidak senang atau perasaan biasa-biasa saja (netral) dari
seseorang bisa terhadap benda, kejadian, situasi orang atau kelompok. Sikap
bukan perilaku, tetapi kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu
terhadap objek sikap. Objek sikap boleh berupa benda, orang, tempat, gagasan
atau situasi, atau kelompok. Jadi, pada kenyataannya tidak ada istilah sikap yang
berdiri sendiri. Menurut Rakhmat (2005) sikap mempunyai daya pendorong atau
motivasi. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rukka (2003) mencoba
menjelaskan bahwa petani yang mau beralih ke pertanian organik lebih
dipengaruhi oleh faktor motivasi intrinsik dibandingkan motivasi ekstrinsik.

4
Motivasi intrinsik adalah dorongan yang berasal dari dalam diri seseorang.
Mengingat sikap merupakan proses yang terbentuk dari dalam diri individu, maka
diduga bahwa sikap mempengaruhi perilaku petani dalam menerapkan pertanian
organik.
Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa sikap mempengaruhi perilaku
petani dalam menerapkan pertanian organik adalah dari penelitian yang dilakukan
oleh Karami et al. (2008). Dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa, petani
yang memiliki sikap yang tinggi cenderung menerapkan sistem pertanian yang
lebih berkelanjutan. Dengan mengkaji apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi
sikap petani terhadap penerapan pertanian organik, dapat membantu
menumbuhkan sikap petani yang lain agar mau menerapkan pertanian organik
karena sikap dapat diperteguh atau dirubah. Akan tetapi, masih sedikit penelitianpenelitian sebelumnya yang meneliti faktor-faktor sikap yang mempengaruhi
petani dalam penerapan pertanian organik. Sehubungan dengan itu maka dirasa
perlu untuk melakukan penelitian untuk melihat faktor-faktor apa sajakah yang
mempengaruhi sikap petani dalam menerapkan pertanian organik.
Perumusan Masalah
Munculnya pertanian organik sebenarnya bukanlah hal yang baru di
kalangan petani. Pertanian organik atau pertanian tradisional sebenarnya sudah
dikenal oleh petani jauh sebelum penerapan pertanian modern yang sarat dengan
bahan-bahan kimia. Penggunaan bahan-bahan kimia di kalangan petani diketahui
meningkatkan hasil produksi dan membunuh hama lebih cepat. Petani cenderung
hanya mengejar hasil yang bersifat jangka pendek saja tanpa memperhitungkan
dampak jangka panjang. Hal ini mempengarui sikap petani terhadap alam
sekitarnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rukka (2003) di
Desa Purwasari menunjukkan bahwa terdapat 74 persen dari 50 responden yang
masih menggunakan pupuk kimia murni dengan anggapan produksi akan
menurun jika tidak diberi pupuk kimia. Anggapan bahwa bahan-bahan kimia
sangat mempengaruhi peningkatan produksi hasil pertanian mengenyampingkan
akan dampak negatif dari penggunaan bahan-bahan kimia tersebut. Jika petani
terus mempertahankan sikap yang positif terhadap pemakaian bahan-bahan kimia,
sedangkan kerusakan lingkungan yang diakibatkan pemakaian bahan-bahan kimia
semakin kritis maka dampak yang akan terjadi di masa yang akan datang akan
semakin parah dan semakin tidak mudah untuk memperbaiki alam yang telah
rusak.
Sikap mempengaruhi tingkah laku seseorang. Sikap timbul dari pengalaman.
Tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Karena itu sikap dapat
diperteguh atau diubah (Sears et al. 1985). Apabila sikap mempengaruhi tingkah
laku seseorang, menjadi sangat menarik untuk meneliti faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi sikap yang dimiliki oleh petani terhadap penerapan organik.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sikap petani terhadap penerapan pertanian organik?
2. Apakah ada perbedaan sikap terhadap penerapan pertanian organik antara
petani organik, semi organik, dan non organik?

5
3. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi sikap petani terhadap penerapan
pertanian organik?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan sikap petani terhadap penerapan pertanian organik.
2. Menganalisis perbedaan sikap terhadap penerapan pertanian organik pada
petani organik, petani semi organik, dan petani non organik.
3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi sikap petani terhadap
penerapan pertanian organik.
Manfaat Penelitian
Penulisan penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi seluruh kalangan
baik bagi sivitas akademika, masyarakat umum, maupun bagi pemerintah. Adapun
manfaat yang diperoleh dari masing-masing pihak adalah sebagai berikut:
1. Sivitas akademik
Bagi sivitas akademik, penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah
pengetahuan tentang pertanian organik. Lebih jauh, peneltian ini berupaya
memaparkan pengaruh sikap terhadap penerapan pertanian organik pada perilaku
petani dalam menerapkan pertanian organik. Penelitian ini diharapkan dapat
menjadi tambahan literatur dan menjadi landasan bagi penelitian lebih lanjut
mengenai sikap dan perilaku petani dalam menerapkan pertanian organik.
2. Petani
Bagi petani, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan petani
mengenai pertanian organik.
3. Pemerintah
Bagi pemerintah, penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan
pertimbangan dalam penentuan kebijakan yang berhubungan dengan penerapan
pertanian organik.

TINJAUAN PUSTAKA
Pertanian Organik
Sutanto (2000) mengemukakan bahwa pertanian organik ialah sistem
produksi pertanaman yang berasaskan daur ulang hara secara hayati. Pakar
pertanian Barat menyebutkan bahwa sistem pertanian organik merupakan “hukum
pengembalian (low of return)” yang berarti suatu sistem yang berusaha untuk
mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk
residu dan limbah pertanaman maupun ternak yang selanjutnya bertujuan
memberi makan pada tanaman. Sutanto menjelaskan lebih jauh lagi bahwa filosofi
yang melandasi pertanian organik adalah mengembangkan prinsip-prinsip
memberi makan pada tanah yang selanjutnya tanah menyediakan makanan untuk
tanaman (feeding the soil that feeds the plans), dan bukan memberi makan
langsung pada tanaman.
Menurut Departemen Pertanian dan Kehutanan (2002) yang dikutip oleh
Khairina (2006) pertanian organik adalah sebagai usaha budidaya pertanian yang
hanya menggunakan bahan-bahan alami, baik yang diberikan melalui tanah
maupun yang langsung kepada tanaman budidaya. Praktek pertanian organik
dilakukan dengan cara: (1) menghindari penggunaan benih atau bibit hasil
rekayasa genetika; (2) menghindari penggunaan pestisida sintetis; (3) menghindari
penggunaan zat pengatur tumbuh; (4) menghindari penggunaan hormon tumbuh
dan bahan aditif sintetis dalam makanan ternak.
Widiarta (2011) mendefinisikan bahwa pertanian organik merupakan suatu
sistem usahatani yang mengelola sumber daya alam secara bijaksana dan holistik
untuk memenuhi kebutuhan manusia khususnya pangan, dengan memanfaatkan
bahan-bahan organik secara alami sebagai input dalam pertanian tanpa input luar
tinggi yang bersifat kimiawi, dan dikembangkan sesuai budaya lokal setempat,
sehingga mampu menjaga keseimbangan aspek lingkungan, ekonomi, sosial
budaya, serta mendorong terwujudnya fair trade bagi petani secara berkelanjutan.
Widiarta menambahkan, filosofi pertanian organik adalah siklus kehidupan
menurut hukum alam, kembali ke alam, selaras dengan alam, melayani alam
secara ikhlas, utuh, holistik, sehingga alam pun akan memberikan hasil peroduksi
pertanian yang maksimal kepada manusia. Jadi, hubungan ini bersifat timbal balik.
Kemudian Khairina (2006) menyatakan bahwa konsep awal pertanian
organik yang ideal adalah menggunakan seluruh input yang berasal dari dalam
pertanian organik itu sendiri, dan membatasi input dari luar. Sementara itu,
Indriana (2010) yang berpendapat bahwa sistem pertanian organik meliputi cara
produksi yang didasarkan pada prasyarat yakni meminimalisasi penggunaan input
eksternal atau zat-zat kimia sintetis, menghindari penggunaan benih atau bibit
rekayasa genetik, menggunakan input yang dapat didaur ulang dan memanfaatkan
pengetahuan lokal setempat.
Berdasarkan hasil penelitian Fuady (2011) yang mengemukakan bahwa
sistem budidaya pertanian organik merupakan suatu sistem pertanian yang
memperhatikan aspek-aspek keseimbangan ekosistem dengan melakukan praktekpraktek budidaya yang memanfaatkan sumberdaya lokal dengan input sintetis
yang rendah. Kemudian Reijntjes et al. (1994) mengemukakan bahwa perubahan

8
dari sistem usaha tani konvensional ke sistem usaha tani yang seimbang secara
ekonomis, ekologis, dan sosial memerlukan suatu proses transisi, yaitu
penyesuaian terhadap perubahan yang dilakukan secara sadar untuk membuat
sistem usaha tani lebih seimbang dan berkelanjutan. Transisi berhubungan dengan
tenaga kerja, lahan atau uang dan pengambilan resiko, sehingga dibutuhkan
strategi yang sesuai dengan kondisi lahan pertaniannya. Dukungan, kepercayaan
diri, dan imaginasi, serta perbaikan pemasaran dan kebijakan harga yang cocok
sangat diperlukan petani di dalam proses transis ini.
Adapun prinsip-prinsip pertanian organik menurut IFOAM dalam Indriana
(2010) didasarkan pada: (1) Prinsip Kesehatan, (2) Prinsip Ekologi, (3) Prinsip
Keadilan, (4) Prinsip Perlindungan. Prinsip-prinsip ini harus digunakan secara
menyeluruh dan dibuat sebagai prinsip-prinsip etis yang mengilhami tindakan.
Lebih lanjut lagi IFOAM mengemukakan bahwa pertanian organik bertujuan
untuk: (1) menghasilkan produk pertanian yang berkualitas dengan kuantitas
memadai, (2) membudidayakan tanaman secara alami, (3) mendorong dan
meningkatkan siklus hidup biologis dalam ekosistem pertanian, (4) memelihara
dan meningkatkan kesuburan tanah jangka panjang, (5) menghindarkan seluruh
bentuk cemaran yang diakibatkan penerapan teknik pertanian, (6) memeliharan
keragaman genetik sistem pertanian dan sekitarnya, dan (7) mempertimbangkan
dampak sosial dan ekologis yang lebih luas dalam sistem usaha tani.
Pertanian organik memiliki beberapa keungguluan seperti menjamin
kelangsungan ekosistem pertanian, biaya produksi lebih hemat dengan harga jual
yang lebih tinggi, produknya lebih sehat, menjamin keberlanjutan, turut
membangun kemandirian petani, dan berperspektif gender. Jadi, pertanian organik
memberi manfaat baik dari aspek ekologi, sosial, budaya, dan ekonomi (Indriana
2010). Sementara itu, Salikin (2003) mengemukakan bahwa sistem pertanian
organik paling tidak memiliki tujuh keunggulan dan keutamaan sebagai berikut:
Orisinil, rasional, global, aman, netral, internal, kontinuitas.
Kegunaan budidaya organik pada dasarnya ialah meniadakan atau
membatasi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan oleh budidaya
kimiawi. Pupuk organik dan pupuk hayati mempunyai berbagai keunggulan nyata
dibanding dengan pupuk kimia. Pupuk organik dengan sendirinya merupakan
keluaran setiap budidaya pertanian, sehingga merupakan sumber unsur hara
makro dan mikro yang dapat dikatakan cuma-cuma. Pupuk organik dan pupuk
hayati berdaya ameliorasi ganda dengan bermacam-macam proses yang saling
mendukung bekerja menyuburkan tanah dan sekaligus mengkonversikan dan
menyehatkan ekosistem tanah serta menghindarkan kemungkinan terjadinya
pencemaran lingkungan (Rukka 2003). Tabel 1 menyajikan perbandingan konsep
penerapan pertanian organik dengan penerapan pertanian konvensional.
Dari berbagai definisi yang telah diuraikan sebelumnya, penulis menarik
kesimpulan bahwa pertanian organik adalah cara berocok tanam yang dilakukan
secara bertahap dalam cara produksinya dengan meminimalisir penggunaan bahan
kimia sintetis hingga tidak menggunakannya sama sekali dan beralih
menggunakan bahan-bahan input, seperti pupuk, pengendali hama, dan benih
yang berasal dari sumber daya lokal.

9
Tabel 1 Perbandingan anatomi konsep pertanian organik dan konvensional
Uraian
Perlakuan Pra
produksi sampai
Pasca produksi
Bibit

Pertanian Organik
Dilakukan secara tradisional tanpa
menggunakan alat-alat mekanisasi
yang dapat merusak kesuburan
tanah
Berasal dari varietas bibit-bibit
lokal

Pertanian Konvensional
Menggunakan alat-alat semi
sampai full mekanis dalam
setiap tahap pekerjaan

Berasal dari bibit unggu,
hibrida, dan transgenik
(transformasi gen)
Pola tanam
Ditanam secara tumpangsari, Monokultur (satu jenis tanaman
pergiliran
tanaman,
dan pada satu hampar lahan)
sebagainya (mix cropping)
Pengairan
Sederhana dan berkelanjutan
Mekanis, Sehingga
mempercepat pengurasan air
yang tersedia pada lahan
Bentuk fisik
kokoh, tidak mengandung banyak Lemah, mengandung banyak
tanaman
air
air, sehingga mudah diserang
hama dan penyakit
Umur tanaman
Panjang
Pendek
Pertumbuhan
Agak lambat, karena tumbuh cepat tumbuh
secara alami
Resistensi hama
Tahan hama dan penyakit
Mudah diserang hama dan
penyakit
penyakit
Pemupukan
Menggunakan bahan-bahan kimia kimia non-organis (sintetis,
organis (asli dan mudah terurai sehingga sulit terurai dan
secara alami)
menimbulkan timbunan
senyawa baru yang merusak
keseimbangan biokhemis tanah
Hasil/kualitas
Beraneka
ragam,
berkualitas Sejenis, kurang berkualitas,
produksi
tinggi, bebas residu kimia beracun, mengandung resdu kimia
mengandung gizi yang seimbang, berbahaya, kandungan gizi tidak
tahan disimpan
lama,
dan berimbang, dan tidak tahan
sebagainya
untuk disimpan lama
Rasa
Enak (aromatik)
Kurang enak (tawar)
Sumber: Data perbandingan antara pertanian organik dan konvensional berdasarkan pada
pengalaman dari petani-petani organik yang menjadi rekan PAN Indonesia. Jakarta, 15
Maret 2000, dalam Widiarta (2011)

Penerapan Pertanian Organik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991) penerapan adalah suatu
proses, cara, atau perbuatan menerapkan. Dalam kaitannya dengan fokus
penelitian ini, yaitu penerapan pertanian organik, beberapa prinsip dalam
budidaya pertanian organik dengan pola System Rice Intensification (SRI)
diantaranya (Sutanto 2000):
1. Penyiapan lahan, merupakan kegiatan yang dilakukan dua minggu sebelum
masa tanam dan dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu pembajakan, penggaruan,
dan perataan tanah. Setelah pembajakan selesai, pupuk organik ditaburkan
secara merata dengan dosis rata-rata 7.000 kg/ha atau sesuai dengan kebutuhan.
Pupuk organik yang digunakan adalah pupuk bokasi (hasil fermentasi bahan
organik). Keadaan air macak-macak harus dipertahankan dengan cara menutup

10
pintu masuk dan keluarnya air agar tanah dan unsur hara tidak terbawa hanyut.
Setelah perataan tanah selesai, dibuat saluran air tengah dan saluran air di
pinggir di sekeliling pematang.
2. Persiapan benih/persemaian, merupakan kegiatan yang disesuaikan dengan
kebutuhan dan pola tanam yang akan digunakan seperti:
a) Persemaian dilakukan pada baki/pipiti/bak kecil yang terbuat dari kayu.
b) Benih = 10-15 kg/ha, benih bukan berasal dari hasil rekayasa dan tidak
diperlakukan dengan bahan kimia sintetik ataupun zat pengatur tumbuh dan
bahan lain yang mengandung zat aditif.
c) Media = campuran tanah dengan pupuk organik dengan perbandingan 1:1.
d) Umur persemaian = 8-10 Hari Setelah Semai (HSS).
3. Penanaman, merupakan kegiatan dimana benih padi di tanam di lokasi dengan
rincian sebagai berikut:
a) Umur benih = 8-10 Hari Setelah Semai (HSS).
b) Jumlah tanam/lubang = 1 batang/tunas.
c) Jarak tanam yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat (20 cm × 20 cm,
22,5 cm × 22,5 cm, 25 cm × 25 cm).
d) Dianjurkan untuk menggunakan tanam sistem legowo 2:1, 3:1, atau 4:1.
4. Pengendalian hama dan penyakit tanaman, merupakan kegiatan untuk menekan
kerusakan dan kehilangan hasil, dengan rincian sebagai berikut:
a) Program rotasi tanaman yang sesuai.
b) Perlindungan musuh alami hama melalui penyediaan habitat yang cocok
(yang bertujuan agar hama tersebut tidak memakan tanaman padi petani,
namun akan memakan tanaman lainnya), seperti pembuatan pagar hidup dan
tempat sarang, zona penyangga ekologi yang menjaga vegetasi asli dari
hama predator setempat.
c) Pemberian musuh alami, termasuk pelepasan predator dan parasit.
d) Penggunaan pestisida nabati dan bahan alami lainnya.
e) Pengendalian mekanis, seperti penggunaan perangkap, penghalang cahaya
dan suara.
5. Pemeliharaan tanaman merupakan kegiatan mempertahankan kelembaban
tanah, yaitu dengan mengatur pemberian air dengan menggunakan saluran
pengairan keliling pematang dan saluran bedengan, sehingga keadaan tanah
tidak tergenang. Serta, pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)
yang tidak menggunakan bahan kimia sintetik, tetapi berupa pengaturan sistem
budidaya, pestisida nabati dan bahan alami lainnya.
6. Panen merupakan kegiatan dimana pengelolaan produk harus dipisah dari
produk non organik (jika di sekitar produk organik terdapat produk non
organik) dan tidak menggunakan bahan yang mengandung zat aditif.
Widiarta (2011) menjelaskan bahwa praktik pertanian organik secara umum,
tidak jauh berbeda dengan praktik pertanian konvensional. Namun, ada beberapa
variabel yang menjadi perhatian utama apakah sistem pertanian tersebut
dikategorigakan sebagai pertanian organik atau bukan, yaitu:
1. Lahan pertanian harus dikonversi dari lahan non organik menjadi organik tanpa
tercemar bahan kimia sintetik selama ≥ 3 tahun.
2. Menggunakan pupuk organik.
3. Menggunakan bibit padi varietas lokal

11
4. Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida
organik
5. Lahan dan sumber air irigasi untuk pertanian organik harus dipisahkan dari
pertanian konvensional.
Lebih jauh lagi Widiarta dalam hasil penelitiannya mengungkapkan beberapa
variabel diatas merupakan variabel sensitif yang telah banyak disyaratkan dalam
pertanian organik dan telah dilaksanakan oleh petani organik di Desa Ketapang.
Sementara itu, Putri (2011) mengemukakan bahwa terdapat beberapa
unsur teknologi pada penerapan inovasi pertanian organik, seperti:
1. Penggunaan pupuk organik dengan dosis rata-rata 7 000 kg/ha,
2. Keadaan air yang macak-macak
3. Media tanam yang menggunakan campuran tanah dan pupuk organik dengan
perbandingan 1:1
4. Benih padi yang bukan hasil rekayasa dan tidak mengandung bahan kimiawi
sebanyak 10-15 kg/ha
5. Umur benih muda (8-10 Hari Setelah Semai/HSS),
6. Jumlah tanam= 1 batang/tunas, jarak tanam yang dianjurkan (20 cm X 20 cm;
22.5 cm X 22.5 cm; atau 25 cm X 25 cm),
7. Sistem tanam legowo (2:1, 3:1, atau 4:1),
8. Penggunaan pestistida nabati,
9. Memisahkan hasil produk organik dan non organik.
Semakin petani menerapkan beberapa prinsip penting di atas, maka penerapan
pertanian yang dilakukan akan makin mengarah pada penerapan pertanian organik.
Dari berbagai definisi yang telah diuraikan, maka penerapan pertanian
organik dalam penelitian ini adalah cara bercocok tanam yang dilakukan dengan
cara bertahap. Tahap pertama, dalam proses pemupukkan dan pengendalian hama
masih dicampur dengan bahan-bahan kimia dalam jumlah yang sedikit. Pada
tahap kedua, proses pemupukkan dan pengendaluan hama hanya menggunakan
bahan-bahan yang berasal dari bahan-bahan organik tanpa dicampur bahan-bahan
kimia. Serta, dalam pembibitan hanya menggunakan bibit padi varietas lokal.
Petani Pertanian Organik
Menurut Shinta (2011), petani adalah setiap orang yang melakukan usaha
untuk memenuhi sebagian atau seluruh kebutuhan hidupnya di bidang pertanian
dalam arti luas yang meliputi usahatani pertanian, peternakan, perikanan dan
pemungutan hasil laut. Sehingga secara umum petani adalah mereka yang
bercocok tanam dan tinggal di pedesaan.
Lebih lanjut lagi, Rukka (2003) mengungkapkan bahwa petani pertanian
organik ialah petani yang dalam upaya bercocok tanam padi sawahnya dilakukan
dengan cara tidak menggunakan bahan-bahan kimia atau mengurangi pupuk dan
pestisida kimia pada lahannya. Fuady (2010) berpendapat bahwa petani pertanian
organik ialah petani yang dalam mempraktekan usahataninya dilakukan dengan
cara mempraktekan penanaman polikultur, rotasi tanaman, penggunaan bibit lokal,
pemanfaatan pupuk organik, pengendalian hama dengan pestisida organik,
pemanenan dan penangan pascapanen menggunakan bahan-bahan organik.
Suhartini et al. (2006) beranggapan bahwa petani yang menerapkan
pertanian organik dapat memulainya secara bertahap karena untuk menuju kepada

12
pertanian organik yang murni diperlukan waktu yang cukup sebagai masa transisi
atau masa konversi. Pada awalnya dimulai dengan cara pengurangan penggunaan
pupuk kimia dan pestisida kimia yang disertai dengan penambahn bahan organik
ke dalam tanah. Selanjutanya pemupukan masih tetap menggunakan pupuk kimia
dengan jumlah yang semakin sedikit namun tanpa pestisida kimia sama sekali atau
bisa disebut sebagai pertanian semi organik. Tahap selanjutnya adalah organik
murni yaitu tanpa pupuk kimia dan pestisida kimia. Sedangkan Indriana (2010)
mengemukakan bahwa tahapan-tahapan yang dilakukan petani dalam budidaya
organik ialah meliputi aktivitas pengadaan benih, perlakuan benih, pembuatan
persemaian, pengolahan/persiapan lahan, penanaman, pengaturan air,
pemeliharaan tanaman, pengendalian hama dan penyakit tanaman, panen. Dimana
kesemua tahapan dalam prosesnya menggunakan bahan-bahan organik.
Kemudian Rukka (2003) berpendapat bahwa usahatani organik yang
dilakukan oleh petani dengan cara tidak menggunakan bahan-bahan kimia atau
mengurangi pupuk dan pestisida kimia pada lahan usahataninya. Kemudian
Fuady (2011) mengemukakan bahwa dalam mempraktekkan budidaya organik
petani hanya memanfaatkan sumberdaya lokal dalam proses penanaman polikultur,
rotasi tanaman, pembibitan, pemupukkan, penyiraman dan penyiangan,
pengendalian hama penyakit, dan pemanenan. Sedangkan Khairina (2006)
menyatakan bahwa yang dapat membedakan petani organik dengan petani
konvensional dilihat dari faktor produksi yang digunakan, seperti pembibitan,
penggunaan pupuk, obat-obatan, dan tenaga. Dimana petani organik
menggunakan bahan-bahan input yang berasal dari pertanian organik itu sendiri
dan membatasi input dari luar. Begitu pula dengan yang disampakan oleh Karami
et al. (2007) yang berpendapat bahwa praktek yang dilakukan oleh petani ekologis
mencakup penggunaan pupuk hijau, rotasi tanaman, pengendalian gulma secara
non-kimia, dan pengendalian hama secara alami.
Dari berbagai definisi yang telah diurakan, penulis merumuskan bahwa
petani pertanian organik adalah petani yang dalam cara berocok tanamnya
dilakukan secara bertahap dalam cara produksinya dengan meminimalisir
penggunaan bahan kimia sintetis hingga tidak menggunakannya sama sekali dan
beralih menggunakan bahan-bahan input, seperti pupuk, pengendali hama, dan
benih yang berasal dari sumber daya lokal.
Sikap
Sarwono (2010) mengemukakan dalam bukunya bahwa sikap adalah
pencerminan rasa senang, tidak senang atau perasaan biasa-biasa saja (netral) dari
seseorang bisa terhadap benda, kejadian, situasi orang atau kelompok. Adapun
Rahmat (2005) mengemukakan lima hal yang berkaitan dengan sikap, yaitu:
1. Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa
dalam menghadapi objek, ide situasi atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi
kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek
sikap. Objek sikap boleh berupa benda, orang, tempat, gagasan atau situasi,
atau kelompok.
2. Sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Sikap bukan sekedar
rekaman masa lalu, tetapi juga menentukan apakah orang harus pro atau kontra

13
terhadap sesuatu; menentukan apa yang disukai, diharapkan, dan diinginkan,
mengesampingkan apa yang tidak diinginkan, apa yang harus dihindari.
3. Sikap lebih menetap. Berbagai studi menunjukkan sikap politik kelompok
cenderung dipertahankan dan jarang mengalami perubahan.
4. Sikap mengandung aspek evaluatif: artinya mengandung nilai menyenangkan
atau tidak menyenangkan.
5. Sikap timbul dari pengalaman: tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil
belajar. Karena itu sikap dapat diperteguh atau diubah.
Kemudian Gerungan (2004) mengungkapkan bahwa Sikap dapat juga
diterjemahkan sebagai sikap terhadap objek tertentu yang dapat merupakan sikap
pandangan atau sikap perasaan tetapi sikap tersebut disertai dengan
kecenderungan untuk bertindak sesuai sikap objek itu. Jadi, sikap bisa
diterjemahkan dengan tepat sebagai sikap dan kesediaan beraksi terhadap suatu
hal. Sikap senantiasa terarahkan kepada sesuatu hal, objek. Tidak ada sikap tanpa
ada objeknya
Atkinson et al. (1983) menyatakan bahwa sikap meliputi rasa suka dan tidak
suka, mendekati atau menghindari situasi, benda, orang, kelompok, dan aspek
lingkungan yang dapat dikenal lainnya, termasuk gagasan abstrak dan kebijakan
sosial. Selain itu, Sears et al. (1985) mengungkapkan bahwa sikap terhadap objek,
gagasan atau orang tertentu merupakan orientasi yang bersifat menetap dengan
komponen-komponen kognitif, afektif, dan perilaku. Di dalam bukunya, Walgito
memaparkan sikap sebagai organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai
objek atau situasi yang relative ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan
memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respons atau berperilaku
dalam cara yang tertentu yang dipilihnya. Sementara itu, Sarwono (2010)
berpendapat bahwa sikap dinyatakan dalam tiga domain ABC, yaitu Affect,
Behaviour, dan Cognitif. Affect adalah perasaan yang timbul(senang, tidak
senang), Behaviour adalah perilaku yang mengikuti perasaan itu (mendekat,
menghindar), dan Cognitif adalah penilaian terhadap objek sikap (bagus, tidak
bagus).
Menurut Azwar (2003), ketiga komponen sikap itu disebut sebagai struktur
sikap. Ketiga komponen itu yaitu:
1. Komponen kognitif
Aspek sikap yang berkenaan dengan penilaian individu terhadap obyek atau
subyek. Informasi yang masuk ke dalam otak manusia, melalui proses analisis,
sintesis, dan evaluasi akan menghasilkan nilai baru yang akan diakomodasi atau
diasimilasikan dengan pengetahuan yang telah ada di dalam otak manusia. Nilai –
nilai baru yang diyakini benar, baik, indah, dan sebagainya, pada akhirnya akan
mempengaruhi emosi atau komponen afektif dari sikap individu.
2. Komponen Afektif
Merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional
inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan
merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang
mungkin adalah mengubah sikap seseorang komponen afektif disamakan dengan
perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu.
3. Komponen Konatif

14
Merupakan kecenderungan untuk bertindak atau untuk bereaksi terhadap
sesuatu dengan cara-cara tertentu. Kecenderungan berperilaku secara konsisten,
selaras dengan kepercayaan dan perasaan ini akan membentuk sikap individual.
Ketiga komponen tersebut mengorganisasikan sikap secara bersamaan.
Apabila salah satu saja di antara ketiga komponen sikap tersebut tidak konsisten
satu sama lain, maka akan terjadi ketidak–selarasan yang menyebabkan timbulnya
mekanisme perubahan sikap hingga konsistensi tersebut kembali tercapai. Sikap
individu muncul akibat adanya proses tertentu yang bisa muncul dari dalam dan
luar lingkungannya. Sikap terbentuk dari adanya interaksi dengan lingkungan
sosialnya. Begitu banyak faktor-faktor internal dan eksternal dari dimensi masa
lalu, saat ini, dan masa datang yang ikut mempengaruhi perilaku manusia.
Dari berbagai definisi sikap yang telah dikemukakan, penulis
menyimpulkan bahwa sikap adalah penilaian suka atau tidak suka, setuju atau
tidak setuju pada objek tertentu, seperti orang, kelompok, kejadian, situasi, benda,
dan memiliki komponen kognisi, afeksi, dan konasi.
Faktor-Faktor Pembentuk Sikap
Baron dan Byrne (2003) mengemukakan dalam bukunya Psikologi Sosial
bahwa pembentukan sikap melalui proses pembelajaran sosial. Pembelajaran
tersebut melibatkan classical conditioning, instrumental conditioning, atau
pembelajaran melalui observasi (observational learnging). Sikap juga terbentuk
berdasar pada perbandingan sosial (social comparison) dalam rangka menyerupai
pandangan orang lain dan sering kali mempengaruhi sikap yang dimiliki.
Penelitian yang dilakukan terhadap kembar identik menunjukkan bahwa sikap
juga dipengaruhi oleh faktor genetik, walaupun besarnya pengaruh tersebut
bervariasi untuk sikap yang berbeda.
Selain itu, Azwar (2003) berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang dapat
membentuk dan merubah sikap, diantaranya:
1.Pengalaman Pribadi
Pengalaman pribadi dapat menjadi dasar pembentukan sikap apabila
pengalaman tersebut meninggalkan kesan yang kuat. Sikap akan lebih mudah
terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang
melibatkan faktor emosional.
2.Kebudayaan
Kebudayaan dapat memberi corak pengalaman individu-individu
masyarakat asuhannya. Sebagai akibatnya, tanpa disadari kebudayaan telah
menanamkan garis pengaruh sikap kita terhadap berbagai masalah.
3.Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Individu pada umumnya cenderung untuk memiliki sikap yang konformis
atau searah dengan sikap seseorang yang dianggap penting. Kecenderungan ini
antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan untuk menghindari
konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.
4.Media Massa
Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media komunikasi
lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara obyektif berpengaruh
terhadap sikap konsumennya.
5.Lembaga pendidikan dan lembaga agama

15
Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama
sangat menentukan sistem kepercayaan. Tidaklah mengherankan apabila pada
gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap.
6.Faktor emosional
Kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari emosi
yang berfungsi sebagai sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan
bentuk mekanisme pertahanan ego.
Sementara itu, Sarwono S (2010) berpendapat bahwa pembentukan sikap
terjadi melalui suatu proses tertentu, melalui kontak sosial terus-menerus
antarindividu-individu lain di sekitarnya. Dalam hubungan ini, faktor-faktor yang
mempengaruhi terbentuknya sikap adalah:
1.Faktor internal
Faktor-faktor yang terdapat dalam diri orang yang bersangkutan, seperti
faktor pilihan. Pilihan ini ditentukan oleh motif-motif dan kecenderungankecenderungan dalam diri seseorang. Karena harus memilih, seseorang harus
menyusun sikap positif terhadap suatu hal dan membentuk sikap negatif terhadap
hal lain.
2.Faktor eksternal
Pembentukan sikap yang tentukan oleh faktor-faktor yang berada di luar diri
seseorang, yaitu:
a) Sifat objek, sikap itu sendiri, bagus, atau jelek dan sebagainya.
b) Kewibawaan
c) Sifat orang-orang atau kelompok yang mendukung sikap tersebut
d) Media komunikasi yang digunakan dalam menyampaikan sikap
e) Situasi pada saat sikap itu dibentuk
Tidak semua faktor harus dipenuhi untuk membentuk suatu sikap. Satu atau dua
faktor sudah cukup.