Kerentanan Plutella xylostella dari Garut, Jawa Barat, terhadap Lima Jenis Insektisida Komersial dan Ekstrak Tephrosia vogelii

KERENTANAN Plutella xylostella DARI GARUT, JAWA
BARAT, TERHADAP LIMA JENIS INSEKTISIDA
KOMERSIAL DAN EKSTRAK Tephrosia vogelii

MASAIDAH CARDI

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kerentanan Plutella
xylostella dari Garut, Jawa Barat, terhadap Lima Jenis Insektisida Komersial dan
Ekstrak Tephrosia vogelii adalah benar karya saya dengan arahan dari
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan di dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2014
Masaidah cardi
NIM A34100027

ABSTRAK
MASAIDAH CARDI. Kerentanan Plutella xylostella dari Garut, Jawa Barat,
terhadap Lima Jenis Insektisida Komersial dan Ekstrak Tephrosia vogelii.
Dibimbing oleh DJOKO PRIJONO.
Plutella xylostella merupakan hama penting pada kubis yang dapat
menurunkan produksi secara nyata. Petani sering mengendalikan hama tersebut
menggunakan insektisida sintetik secara intensif sehingga dapat menyebabkan
resistensi hama terhadap insektisida. Penelitian ini bertujuan menentukan
kerentanan larva P. xylostella asal Garut, Jawa Barat, terhadap 5 jenis insektisida
komersial, yaitu deltametrin, emamektin benzoat, klorantraniliprol, profenofos,
dan spinetoram serta ekstrak Tephrosia vogelii. Formulasi 5 jenis insektisia
komersial tersebut dan ekstrak etil asetat daun T. vogelii diuji terhadap larva instar
II P. xylostella menggunakan metode celup daun dengan pemberian daun kubis

perlakuan selama 48 jam. Jumlah larva yang mati dihitung setiap hari sampai 96
jam setelah perlakuan (JSP), kemudian data mortalitas larva diolah dengan
analisis probit. Berdasarkan LC95 pada 96 JSP, deltametrin dan profenofos
memiliki toksisitas yang rendah terhadap larva P. xylostella, sementara
klorantraniliprol memiliki toksisitas sedang. LC95 tiga jenis insektisida tersebut
berturut-turut 3677.09, 10872.00, dan 362.36 mg b.a./l yang masing-masing
367.7, 14.5, dan 9.2 kali lipat lebih tinggi daripada konsentrasi anjuran masingmasing. Sementara itu, larva P. xylostella masih rentan terhadap emamektin
benzoat, spinetoram, dan ekstrak T. vogelii. LC95 emamektin benzoat (9.28 mg
b.a./l), dan spinetoram (3.63 mg b.a./l) masing-masing 1.1 dan 3.3 kali lebih
rendah daripada konsentrasi anjuran masing-masing. Selain itu, LC95 ekstrak T.
vogelii (2907 mg/l) lebih rendah daripada LC95 deltametrin dan profenofos. Selain
mengakibatkan kematian, insektisida emamektin benzoat dan spinetoram dapat
menghambat perkembangan pembentukan pupa, sedangkan deltametrin,
emamektin benzoat, dan profenofos mengakibatkan penghambatan kemunculan
imago.
Kata kunci: hama kubis, insektisida komersial, insektisida nabati, kerentanan.

ABSTRACT
MASAIDAH CARDI. Susceptibility of Plutella xylostella from Garut, West Java,
to Five Commercial Insecticides and Tephrosia vogelii Extract. Supervised by

DJOKO PRIJONO.
Plutella xylostella is a major pest of cabbage worldwide which can reduce
cabbage yield significantly. Farmers often use insecticides to control the pest, but
intensive insecticide use can lead to the development of pest resistance to
insecticides. This study was conducted to determine the susceptibility of P.
xylostella from Garut, West Java, to five commercial insecticides, i.e.
chloranthraniliprole, deltamethrin, emamectin benzoat, profenofos, and
spinetoram, as well as to Tephrosia vogelii extract. The commercial formulations
of those five insecticides and ethyl acetate T. vogelii leaf extract were tested
against second instar larvae P. xylostella with a leaf-dip feeding method in which
the feeding treatment was given for 48 hours. The number of dead larvae was
counted daily until 96 hours after treatment (HAP), then larval mortality data were
analyzed by the probit method. Based on LC95 at 96 JSP, deltamethrin and
profenofos had low toxicity on P. xylostella larvae, while chloranthraniliprole was
moderately toxic. LC95 of these insecticides were 3677.09, 10872.00, and 362.36
mg a.i./l, respectively, which were 367.7, 14.5, and 9.2-fold higher than their
respective recommended field rates. On the other hand, P. xylostella larvae were
still susceptible to emamectin benzoat, spinetoram, and T. vogelii extract. LC95 of
emamectin benzoate and spinetoram were 9.28 and 3.63 mg a.i./l, respectively,
which were 1.1 and 3.3-fold lower that their respective recommended field rate.

Meanwhile, LC95 of T. vogelii extract was 2907 mg/l which was lower than that of
deltamethrin and profenofos. In addition to lethal effect, emamectin benzoate and
spinetoram could inhibit the formation of pupal development, whereas
deltamethrin, emamectin benzoate, and profenofos caused in inhibition of adult
emergence.
Keywords: botanical insecticide, cabbage pest, commercial insecticides,
susceptibility.

©Hak Cipta Milik IPB, tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

KERENTANAN Plutella xylostella DARI GARUT, JAWA
BARAT, TERHADAP LIMA JENIS INSEKTISIDA

KOMERSIAL DAN EKSTRAK Tephrosia vogelii

MASAIDAH CARDI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

: Kerentanan Plutella xylostella dari Garut, Jawa Barat,
terhadap Lima Jenis Insektisida Komersial dan Ekstrak
Tephrosia vogelii
Nama Mahasiswa : Masaidah Cardi
NIM

: A34100027

Judul Skripsi

Disetujui oleh

Ir. Djoko Prijono, MAgrSc.
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi.
Ketua Departemen Proteksi Tanaman

Tanggal disetujui:

PRAKATA
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah mernberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Kerentanan Plutella xylostella dari Garut, Jawa Barat, terhadap Lima Jenis

Insektisida Komersial dan Ekstrak Tephrosia vogelii”. Penelitian dan penulisan
skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
(IPB). Penelitian dilaksanakan di laboratorium Departemen Proteksi Tanaman
IPB dari Januari sampai Maret 2014 dengan dukungan dana sebagian dari
Program Kreativitas Mahasiswa, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
1. Ir. Djoko Prijono, MAgrSc. selaku dosen pembimbing akademik dan skripsi
yang senantiasa memberikan bimbingan, pengetahuan, saran, masukan, dan
arahan kepada penulis.
2. Dr. Ir. Gede Suastika, MSc. selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan
saran dan motivasi kepada penulis.
3. Bapak Didi Cardi, Ibu Lilis Mulyasaroh, Asep S, Sufi N, Nurarifin, nenek Hj.
Enok, beserta keluarga lainnya yang selalu memberi semangat, doa, dan
dukungan dalam belajar.
4. Rekan-rekan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, khususnya
kepada Wirathazia Enbya L. Chenta, Aulia Rakhman, Muhammad Sigit
Susanto SP., Trijanti A. Widinni, SP., dan Annisa Nurfajrina SP. yang telah
memberikan saran dan semangat.
5. Teman-teman di Departemen Proteksi Tanaman angkatan 47 yang telah

menjadi teman seperjuangan dan Nurohmat yang telah memberikan motivasi
dan perhatian.
6. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan atas beasiswa Bidik Misi yang diberikan kepada penulis melalui
IPB.
7. Sahabat pemondokan Jaika khususnya Cucu Cahyati, Elin Tasliah, Ari Sukma
Kinanti, Sarah Soraya, Cholila Widya H, Ivanya Meisya, dan Avilia P yang
telah memberikan semangat dalam pelaksanaan tugas akhir.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan tentang
pestisida dan bagi pembaca yang memerlukan.

Bogor, Mei 2014
Masaidah cardi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Bahan Insektisida Komersial
Bahan Tumbuhan Sumber Ekstrak
Perbanyakan Tanaman Pakan
Pembiakan Serangga Uji
Ekstraksi T. vogelii
Uji Toksisitas di Laboratorium
Uji Pendahuluan
Uji Lanjutan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Toksisitas Insektisida Uji terhadap Larva P. xylostella
Pengaruh Insektisida Uji terhadap Perkembangan P. xylostella
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP


viii
viii
ix
1
1
4
4
5
5
5
5
5
5
6
6
6
7
8
8
13

15
16
19
28

DAFTAR TABEL
1 Toksisitas lima jenis insektisida komersial dan ekstrak T. vogelii
terhadap larva P. xylostella
2 Pengaruh perlakuan lima jenis insektisida komersial dan ekstrak T. vogelii
terhadap persentase pupa yang terbentuk dan imago P. xylostella yang
muncul

11

14

DAFTAR GAMBAR

1 Struktur kimia rotenolon, tefrosin, rotenon, dan deguelin
2 Perkembangan tingkat mortalitas larva P. xylostella pada perlakuan
deltametrin, emamektin benzoat, klorantraniliprol, profenofos, spinetoram,
dan ekstrak T. vogelii

3

9

DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta lokasi pengambilan sampel daun T. vogelii di Kawasan Agropolitan,
Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat
2 Peta lokasi pengambilan sampel larva P. xylostella di Desa Sukahurip,
Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut, Jawa Barat
3 Mortalitas larva P. xylostella pada perlakuan uji pendahuluan deltametrin
4 Mortalitas larva P. xylostella pada perlakuan uji pendahuluan emamektin
benzoat
5 Mortalitas larva P. xylostella pada perlakuan uji pendahuluan
klorantraniliprol
6 Mortalitas larva P. xylostella pada perlakuan uji pendahuluan profenofos
7 Mortalitas larva P. xylostella pada perlakuan uji pendahuluan spinetoram
8 Mortalitas larva P. xylostella pada perlakuan uji pendahuluan ekstrak T.
vogelii
9 Mortalitas larva P. xylostella pada perlakuan uji lanjutan deltametrin
10 Mortalitas larva P. xylostella pada perlakuan uji lanjutan emamektin
benzoat
11 Mortalitas larva P. xylostella pada perlakuan uji lanjutan klorantraniliprol
12 Mortalitas larva P. xylostella pada perlakuan uji lanjutan profenofos
13 Mortalitas larva P. xylostella pada perlakuan uji lanjutan spinetoram
14 Mortalitas larva P. xylostella pada perlakuan uji lanjutan ekstrak
T. vogelii
15 Sidik ragam persentase pupa P. xylostella yang terbentuk pada perlakuan
.deltametrin
16 Sidik ragam persentase imago P. xylostella yang muncul pada perlakuan
.deltametrin
17 Sidik ragam persentase pupa P. xylostella yang terbentuk pada perlakuan
.emamektin .benzoat
18 Sidik ragam persentase imago P. xylostella yang muncul pada perlakuan
.emamektin benzoat
19 Sidik ragam persentase pupa P. xylostella yang terbentuk pada perlakuan
klorantraniliprol
20 Sidik ragam persentase imago P. xylostella yang muncul pada perlakuan
klorantraniliprol
21 Sidik ragam persentase pupa P. xylostella yang terbentuk pada perlakuan
.profenofos
22 Sidik ragam persentase imago P. xylostella yang muncul pada perlakuan
.profenofos
23 Sidik ragam persentase pupa P. xylostella yang terbentuk pada perlakuan
.spinetoram
24 Sidik ragam persentase imago P. xylostella yang muncul pada perlakuan
.spinetoram
25 Sidik ragam persentase pupa P. xylostella yang terbentuk pada perlakuan
.ekstrak T. vogelii
26 Sidik ragam persentase imago P. xylostella yang muncul pada perlakuan
.ekstrak T. vogelii

20
21
22
22
22
22
23
23
23
23
24
24
24
24
25
25
25
25
25
26
26
26
26
26
27
27

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kubis (Brassica oleracea var. capitata) merupakan salah satu tanaman
sayuran utama yang banyak dibudidayakan di daerah dataran tinggi. Budi daya
kubis dihadapkan pada berbagai kendala, di antaranya serangan hama dan
penyakit. Salah satu hama utama pada kubis yaitu Plutella xylostella (L.)
(Lepidoptera: Yponomeutidae). Hama tersebut biasanya menyerang tanaman
kubis yang belum membentuk krop, namun dapat menyerang krop jika populasi
tinggi dan hama pesaingnya yaitu Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera:
Crambidae) tidak ada (Sastrosiswojo dan Setiawati 1993).
Serangan hama P. xylostella dapat mengakibatkan kerusakaan ringan
sampai berat. Kerusakan berat pada daun akan terjadi apabila populasi larva P.
xylostella tinggi. Larva tersebut akan memakan seluruh daun dan hanya
menyisakan tulang-tulang daun. Kerusakan ringan dapat mengakibatkan
penurunan kualitas kubis, sedangkan kerusakan berat menyebabkan tanaman tidak
dapat dipanen sama sekali (Sastrosiswojo dan Setiawati 1993).
Petani sering melakukan pengendalian hama P. xylostella dengan
menggunakan insektisida sintetik. Hal ini karena petani menganggap bahwa
aplikasi pestisida dapat memberikan hasil cepat dan nyata, serta tidak memerlukan
banyak tenaga (Djojosumarto 2008). Namun demikian, penggunaan insektisida
sintetik yang intensif dapat mengakibatkan penurunan kerentanan hama sasaran
terhadap insektisida yang sering digunakan. Bila kepekaan hama sasaran terhadap
insektisida berkurang, insektisida tersebut tidak akan efektif lagi dalam
mengendalikan hama sasaran. Hama yang telah mengalami penurunan kerentanan
terhadap insektisida hingga tingkat tertentu dikategorikan sudah resisten
(Georghiou dan Mellon 1983).
Resistensi merupakan fenomena evolusi terjadinya seleksi gen resisten pada
serangga oleh aplikasi insektisida (Denholm dan Horowitz 2001). Gen tersebut
menyandikan berbagai mekanisme, terutama peningkatan detoksifikasi insektisida
atau penurunan kepekaan bagian sasaran di dalam tubuh serangga. Penyemprotan
yang dilakukan secara intensif dapat menyebabkan proses resistensi serangga
berkembang dengan cepat sehingga mengakibatkan penurunan efikasi insektisida
(Denholm dan Horowitz 2001). Akibatnya jumlah serangga yang mati sedikit atau
tidak ada sama sekali, meskipun telah dilakukan penyemprotan dengan
menggunakan dosis normal atau dosis yang lebih tinggi (Djojosumarto 2008; Yu
2008).
P. xylostella merupakan serangga hama yang cepat berkembang menjadi
resisten terhadap insektisida komersial. Kasus resistensi hama P. xylostella
terhadap insektisida dilaporkan pertama kali oleh Ankersmith (1953), yaitu
resistensi P. xylostella strain Lembang terhadap DDT dengan dosis penggunaan
meningkat sebesar 9 kali dibandingkan dengan dosis normal. Hama tersebut juga
telah dilaporkan resisten terhadap beberapa jenis insektisida lain. Moekasan et al.
(2004) melaporkan bahwa P. xylostella asal Lembang, Pangalengan,
Kejajar/Dieng dan Batu sangat resisten terhadap deltametrin, profenofos, dan
Bacillus thuringiensis kustaki, P. xylostella strain Kejajar/Dieng dan Batu agak
resisten terhadap abamektin sementara P. xylostella asal Lembang dan

2
Pangalengan masih cukup rentan terhadap insektisida tersebut. Udiarto dan
Setiawati (2007) juga melaporkan bahwa P. xylostella dari daerah Lembang,
Pangalengan, Garut, dan Buleleng telah resisten terhadap deltametrin dan
profenofos tetapi masih cukup rentan terhadap spinosad. Lebih lanjut dilaporkan
bahwa P. xylostella asal Lembang, Pangalengan, dan Garut telah resisten terhadap
abamektin.
Resistensi P. xylostella terhadap insektisida komersial juga telah sering
dilaporkan di negara lain. Sebagai contoh, di Korea P. xylostella dilaporkan
resisten terhadap organofosfat dan karbamat dengan nisbah resistensi (NR) 2.5-4.3
(Kim et al. 1990), di Jepang resisten terhadap piretroid dengan NR 5.6 (Hama
1990), di Hawaii agak resisten terhadap spinosad dengan NR 0.9-3.2 (Sparks et al.
2011), di Brazil resisten terhadap abamektin dengan NR 61.7 (Santos et al. 2011),
dan di Tiongkok, populasi larva P. xylostella dari 6 lokasi di Provinsi
Guangddong dilaporkan resisten terhadap klorantraniliprol dengan NR 2.6–2000
(Troczka et al. 2012).
Dalam rangka mengembangkan strategi pengelolaan resistensi hama
terhadap insektisida perlu dilakukan pemantauan kerentanan hama terhadap
insektisida secara rutin (Brent 1986). Strategi pengelolaan resistensi yang dapat
dilakukan antara lain menggunakan insektisida hanya jika benar-benar diperlukan
sehingga dapat mencegah atau menunda terjadinya resistensi, tidak menggunakan
insektisida yang golongan kimia atau cara kerjanya sama secara terus menerus
atau melakukan pergiliran (rotasi) penggunaan insektisida, memerhatikan
rekomendasi dosis penggunaan dengan saksama, dan menggunakan campuran
insektisida yang tepat untuk menghindarkan atau menunda resistensi (Denholm et
al. 1998; Djojosumarto 2008).
Lima jenis insektisida komersial yang akan diuji toksisitasnya terhadap
larva P. xylostella dalam penelitian ini ialah deltametrin, emamektin benzoat,
klorantraniliprol, profenofos, dan spinetoram. Deltametrin merupakan insektisida
yang termasuk golongan piretroid yang bersifat racun kontak dan racun perut,
serta memiliki efek knockdown yang kuat (Khambay dan Jewess 2010).
Emamektin benzoat merupakan analog sintetik dari avermektin B1, yaitu senyawa
makrolida yang dihasilkan dari fermentasi bakteri tanah Streptomyces avermitilis,
bersifat racun kontak, racun perut dan translaminar (Pitterna 2007).
Klorantraniliprol termasuk golongan senyawa antranilik diamida yang bersifat
sebagai racun perut dan racun kontak (Cordova et al. 2006). Profenofos
merupakan insektisida golongan organofosfat yang bersifat racun perut dan racun
kontak berspektrum luas yang biasa digunakan sebagai insektisida dan akarisida
nonsistemik (Yu 2008). Spinetoram merupakan turunan semisintetik dari spinosin
J dan spinosin L, (golongan makrolida) yang bersifat racun kontak dan racun perut
(Crouse et al. 2007).
Salah satu golongan insektisida yang dapat digunakan dalam rotasi
insektisida dalam kaitan dengan pengelolaan resistensi ialah insektisida nabati
yang bahan aktifnya memiliki cara kerja yang berbeda dengan insektisida yang
sering digunakan. Insektisida nabati memiliki keunggulan lain yaitu cukup aman
terhadap musuh alami hama sehingga dapat dipadukan dengan komponen lain
pengendalian hama terpadu serta mudah terurai di lingkungan sehingga tidak akan
mencemari hasil panen dan lingkungan (Dadang dan Prijono 2008).

3
Daun kacang babi Tephrosia vogelii (Leguminosae) merupakan salah satu
bahan insektisida nabati yang potensial. Morallo-Rejesus (1986) melaporkan
bahwa ekstrak T. vogelii yang diaplikasikan secara kontak dengan dosis 11 mg/g
bobot tubuh larva menyebabkan kematian larva P. xylostella sebesar 50%. Wulan
(2010) melaporkan bahwa ekstrak heksana daun T. vogelii memiliki aktivitas
insektisida yang kuat terhadap larva C. pavonana dengan LC50 0.14%. Abizar dan
Prijono (2010) melaporkan bahwa ekstrak etil asetat daun T. vogelii juga memiliki
aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva C. pavonana dengan LC50 0.091%.
Hasil serupa dilaporkan oleh Nailufar (2011) yang menunjukkan bahwa LC50
ekstrak etil asetat daun T. vogelii terhadap serangga hama tersebut adalah 0.11%.
Daun T. vogelii mengandung bahan aktif rotenon, deguelin, tefrosin, dan
rotenolon (Gambar 1) (Delfel et al. 1970; Lambert et al. 1993; Caboni et al.
2005). Rotenon bersifat sebagai racun perut dengan efek racun kontak lebih
terbatas, tidak sistemik, dan bersifat selektif (Matsumura 1985; Djojosumarto
2008). Insektisida nabati tersebut bekerja lambat dalam membunuh serangga
dengan cara menghambat proses respirasi sel di dalam mitokondria, yaitu
menghambat transfer elektron antara NADH dehidrogenase dan koenzim Q pada
kompleks I dari rantai transpor elektron di dalam mitokondria sehingga
menurunkan produksi ATP dan sel akan kekurangan energi. Hal tersebut lambat
laun akan mengakibatkan terjadinya kelumpuhan berbagai sistem otot dan
jaringan tubuh lainnya, yang akhirnya menyebabkan kematian (Hollingworth
2001).

Gambar 1 Struktur kimia rotenolon (a), tefrosin (b), rotenon (c), dan deguelin (d).
Sumber: Lambert et al. (1993) dan Caboni et al. (2005).

4
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menentukan kerentanan larva P. xylostella yang
berasal dari Garut Jawa Barat, terhadap lima jenis insektisida komersial, yaitu
deltametrin, emamektin benzoat, klorantraniliprol, profenofos, dan spinetoram
serta ekstrak daun T. vogelii. Sebagai data penunjang, larva P. xylostella yang
bertahan hidup pada perlakuan 3 taraf konsentrasi terendah setiap insektisida uji
tetap diperlihara untuk menentukan persentase pembentukan pupa dan
kemunculan imago.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang tingkat
kerentanan larva P. xylostella terhadap lima jenis insektisida komersial tersebut di
atas dan ekstrak daun T. vogelii sebagai landasan dalam mengembangkan strategi
pengelolaan insektisida di lapangan.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi
Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor (IPB), dari Januari sampai Maret 2014.
Bahan Insektisida Komersial
Insektisida komersial yang diuji ialah deltametrin (Decis 25 EC, bahan aktif
[b.a.] 25 g/l), emamektin benzoat (Proclaim 19 EC, b.a. 19 g/l), klorantraniliprol
(Prevathon 50 SC, b.a. 50 g/l), profenofos (Curacron 500 EC, b. a. 500 g/l), dan
spinetoram (Endure 120 SC, b. a. 120 g/l), yang diperoleh dari salah satu kios
pertanian di Bogor. Konsentrasi anjuran deltametrin, emamektin benzoat,
klorantraniliprol, dan profenofos terhadap hama P. xylostella masing-masing
setara dengan 10, 10, 40, dan 750 mg b.a./l cairan semprot. Konsentrasi anjuran
emamektin benzoat didasarkan pada konsentrasi anjuran formulasi Proclaim 5 SG
(b.a. emamektin benzoat 50 g/l). Endure 120 SC belum terdaftar untuk
mengendalikan hama P. xylostella pada kubis di Indonesia sehingga sebagai acuan
digunakan konsentrasi anjuran spinosad yang merupakan senyawa induk dari
spinetoram, yaitu 12 mg b.a./l.
Bahan Tumbuhan Sumber Ekstrak
Bahan tumbuhan yang digunakan sebagai sumber ekstrak adalah daun T.
vogelii yang berasal dari Kawasan Agropolitan, Kecamatan Pacet, Kabupaten
Cianjur, Jawa Barat (Lampiran 1).
Perbanyakan Tanaman Pakan
Benih kubis ‘KK Cross’ disemai pada nampan semai 50-lubang yang berisi
media tanah dan pupuk kandang. Pada saat penyemaian dilakukan pemupukan
dengan pupuk majemuk ‘Dekastar’ (NPK 18-9-10+TE). Setelah berumur 4
minggu, bibit kubis dipindahkan ke dalam polybag berkapasitas 5 L yang berisi
campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 3:1 (v/v). Pada tiap
polybag ditanam 1 bibit kubis. Pemeliharaan yang dilakukan meliputi pemupukan,
penyiraman, penyulaman, penyiangan gulma, dan pengendalian hama secara
mekanis. Daun dari tanaman kubis yang berumur 2 bulan digunakan sebagai
pakan larva P. xylostella dan untuk pengujian (Abizar dan Prijono 2010).
Pembiakan Serangga Uji
Serangga P. xylostella yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
keturunan dari koloni larva yang diambil dari pertanaman kubis di Kampung
Cirata, Desa Sukahurip, Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut, Jawa Barat
(Lampiran 2) pada tanggal 7 Januari dan 1 Maret 2014. Imago P. xylostella dari
lapangan dipelihara di laboratorium dalam kurungan kasa berbingkai besi (50 cm
x 50 cm x 50 cm). Di dalam kurungan dimasukkan pakan larutan madu 10% yang
diserapkan pada kapas. Di dalam kurungan kasa diletakkan bibit daun sawi yang
berumur 4 hari setelah semai sebagai tempat peletakan telur oleh imago betina P.
xylostella. Telur yang diletakkan pada daun sawi dikumpulkan setiap hari. Setelah

6
telur menetas, larva dipindahkan ke dalam wadah plastik (35 cm x 25 cm x 6 cm)
yang dialasi kertas stensil dan bagian tutup wadah diberi jendela kasa. Larva
diberi pakan daun kubis bebas pestisida dan alas kertas stensil diganti setiap hari.
Setelah larva membentuk pupa, pupa dimasukkan ke dalam kurungan kasa sampai
imago muncul. Pemeliharaan imago dan pengumpulan telur dilakukan dengan
cara seperti yang dijelaskan sebelumnya. Larva instar II dari keturunan generasi II
digunakan untuk pengujian.
Ekstraksi T. vogelii
Daun T. vogelii yang diambil dari Kawasan Agropolitan, Kecamatan Pacet,
Kabupaten Cianjur, langsung dipotong kecil-kecil menggunakan gunting,
kemudian dikeringkan di dalam kamar asap selama 7 hari. Potongan daun T.
vogelii yang sudah kering digiling menggunakan blender hingga menjadi serbuk,
kemudian diayak dengan menggunakan pengayak kawat kasa berjalinan 0.5 mm.
Hasil pengayakan sebanyak 200 gram direndam dalam 1600 ml pelarut etil asetat
menggunakan labu erlenmeyer 2000 ml. Perendaman dilakukan sekurangkurangnya selama 24 jam dan diulang sebanyak 3 kali (Nailufar 2011). Cairan
hasil rendaman disaring dengan menggunakan corong kaca bertingkat yang setiap
corong dialasi dengan kertas saring Whatman No. 41 diameter 185 mm. Pelarut
dalam cairan hasil penyaringan diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator
pada suhu 50 ºC dan tekanan 240 mbar sehingga diperoleh ekstrak kasar daun T.
vogelii. Sebelum digunakan untuk pengujian, ekstrak disimpan di dalam lemari es
pada suhu ± 4 ºC.
Uji Toksisitas di Laboratorium
Pengujian toksisitas insektisida dilakukan melalui dua tahap, yaitu uji
pendahuluan dan uji lanjutan. Larva instar II P. xylostella yang digunakan pada uji
pendahuluan dan uji lanjutan merupakan keturunan dari larva yang diambil dari
pertanaman kubis di Kampung Cirata, Desa Sukahurip, Kecamatan Cigedug,
Kabupaten Garut, Jawa Barat masing-masing pada tanggal 7 Januari dan 1 Maret
2014.
Uji Pendahuluan
Formulasi insektisida komersial berbahan aktif deltametrin, emamektin
benzoat, klorantraniliprol, profenofos, dan spinetoram masing-masing diuji pada
konsentrasi formulasi 0.05%, 0.1% dan 0.2% (v/v). Konsentrasi tertinggi
merupakan konsentrasi anjuran yang tertera pada label kemasan masing-masing
insektisida. Kelima formulasi insektisida komersial tersebut diencerkan dengan
akuades yang mengandung 0.2 ml/l bahan perekat Agristick (bahan aktif alkilaril
poliglikol eter 400 g/L). Akuades yang mengandung Agristick 0.2 ml/l digunakan
sebagai larutan kontrol. Uji pendahuluan lebih lanjut dilakukan pada konsentrasi
yang lebih rendah (emamektin benzoat dan spinetoram) atau lebih tinggi
(deltametrin, klorantraniliprol, dan profenofos) sesuai dengan hasil uji
pendahuluan pertama (Lampiran 1 sampai 5). Semua pengujian dilakukan
menggunakan metode pencelupan daun (dipping) dengan 3 ulangan.
Potongan daun kubis 4 cm x 4 cm dicelupkan satu per satu dalam sediaan
insektisida komersial yang telah disiapkan di atas. Setelah lapisan cairan
insektisida pada daun mengering, satu potong daun perlakuan atau daun kontrol

7
dimasukkan ke dalam cawan petri yang dialasi tisu kemudian ke dalam setiap
cawan dimasukkan 10 larva instar II P. xylostella. Pemberian daun perlakuan
dilakukan selama 24 jam. Pada 24 jam berikutnya ditambahkan daun perlakuan
atau daun kontrol secukupnya, kemudian ditambahkan daun tanpa perlakuan pada
48 jam berikutnya. Jumlah larva yang mati dicatat setiap hari dari 24 sampai 96
jam setelah perlakuan (JSP).
Uji pendahuluan ekstrak daun T. vogelii dilakukan pada konsentrasi 0.05%,
0.1%, dan 0.2% berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (Nailufar 2011). Ekstrak
tersebut dicampur dengan pelarut metanol dan pengemulsi Tween 80 dengan
perbandingan 5:1 (v/v) (konsentrasi akhir 1.2%), kemudian ditambahkan akuades
sehingga didapatkan suspensi dengan konsentrasi yang diinginkan. Daun kontrol
dicelup dalam akuades yang mengandung metanol dan Tween 80 dengan
perbandingan dan konsentrasi akhir yang sama seperti pada sediaan ekstrak uji.
Suspensi ekstrak T. vogelii dikocok dengan menggunakan pengocok ultrasonik
untuk mencampurkan secara merata ekstrak tersebut di dalam air (Abizar dan
Prijono 2010). Tahapan pengujian selanjutnya sama seperti pada uji pendahuluan
lima insektisida komersial di atas.
Uji Lanjutan
Hasil uji pendahuluan setiap insektisida uji digunakan untuk menentukan 5
taraf konsentrasi yang diharapkan dapat mengakibatkan kematian serangga uji
antara 15% dan 95%. Konsentrasi deltametrin yang dijuji ialah 375, 525, 750, 115
dan 1500 mg b.a./l; konsentrasi uji emamektin benzoat 0.95, 1.52, 1.9, 3.8, 6.6 mg
b.a/l; konsentrasi uji klorantraniliprol 20, 30, 50, 75 dan 120 mg b.a./l; konsentrasi
uji profenofos 250, 450, 800, 1500 dan 2500 mg b.a./l; konsentrasi uji spinetoram
0.24, 0.36, 0.6, 1.08 dan 1.8 mg b.a./l, sedangkan konsentrasi ekstrak T. vogelii
yang diuji ialah 250, 400, 700, 1000, dan 2000 mg ekstrak/l.
Cara perlakuan dan pengamatan pada uji lanjutan sama seperti uji
pendahuluan, tetapi pada uji lanjutan setiap perlakuan diulang 5 kali. Data
mortalitas kumulatif pada 48, dan 96 JSP diolah dengan analisis probit
menggunakan program POLO-PC (LeOra 1987). LC95 setiap insektisida
komersial yang diuji dibandingkan dengan konsentrasi anjuran yang tertera pada
label produk insektisida untuk menentukan tingkat kerentanan relatif hama P.
xylostella terhadap insektisida tersebut.
Sebagai data penunjang, larva P. xylostella yang bertahan hidup pada
perlakuan 3 taraf konsentrasi terendah tetap diperlihara. Jumlah pupa yang
terbentuk dan imago yang muncul dicatat kemudian data persentase pembentukan
pupa dan kemunculan imago diolah dengan analisis ragam menggunakan SAS 9.1
(SAS Institute 2002). Pembandingan nilai tengah antarperlakuan dilakukan
dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

Toksisitas Insektisida Uji terhadap Larva Plutella xylostella
Perlakuan dengan lima jenis insektisida komersial, yaitu deltametrin,
emamektin benzoat, klorantraniliprol, profenofos, dan spinetoram, mengakibatkan
mortalitas larva P. xylostella yang secara umum meningkat seiring dengan
bertambahnya waktu dan semakin besarnya konsentrasi insektisida (Gambar 1).
Perkembangan mortalitas larva P. xylostella dari 24 sampai 96 JSP akibat
perlakuan dengan 5 jenis insektisida tersebut pada kisaran konsentrasi yang diuji
menunjukkan pola yang agak beragam.
Perlakuan dengan deltametrin 375–1500 mg b.a./l mengakibatkan kematian
larva P. xylostella yang rendah pada 24 JSP kemudian meningkat nyata antara 24
dan 48 JSP serta meningkat lebih tajam antara 48 dan 72 JSP, dan selanjutnya
peningkatan kematian larva melandai antara 72 dan 96 JSP (Gambar 1A).
Deltametrin merupakan insektisida piretroid yang bekerja sebagai racun saraf,
yaitu menunda penutupan saluran ion natrium pada akson saraf sehingga
mengganggu transmisi impuls saraf dan mengakibatkan gejala hipereksitasi,
gemetaran, kejang-kejang, kelumpuhan otot dan berbagai organ tubuh, dan
akhirnya menyebabkan kematian (Yu 2008; Khambay dan Jewess 2010). Bagian
sasaran pada sistem saraf larva P. xylostella tampaknya sudah tidak peka terhadap
deltametrin sehingga kematian serangga uji yang seharusnya berlangsung cepat,
pada penelitian ini tingkat kematian larva P. xylostella masih rendah pada 24 JSP.
Kematian larva P. xylostella akibat perlakuan dengan emamektin benzoat
0.95-6.6 mg b.a./l sudah cukup tinggi pada 24 JSP, kemudian masih meningkat
dalam proporsi yang lebih rendah antara 24 dan 48 JSP sedangkan antara 48 dan
96 JSP peningkatan kematian larva melandai (Gambar 1B). Emamektin benzoat
merupakan turunan semisintetik dari avermektin B1a dan B1b (makrolida) yang
berasal dari aktinomiset tanah Streptomyces avermitilis (Pitterna 2007).
Avermektin merupakan racun saraf yang menyebabkan pembukaan saluran ion
klorida pada membran pascasinapsis sel saraf yang menyebabkan terjadinya
peningkatan pemasukan ion klorida ke dalam sel saraf sehingga mengakibatkan
gejala kelumpuhan dan kematian serangga (Pitterna 2007; Casida dan Durkin
2013). Insektisida tersebut bekerja cepat dan bagian sasaran larva P. xylostella
tampaknya masih peka terhadap insektisida tersebut sehingga perlakuan dengan
emamektin benzoat sudah mengakibatkan kematian serangga uji yang cukup
tinggi pada 24 JSP dan setelah itu hanya terjadi peningkatan kematian serangga
uji yang rendah.
Perlakuan dengan klorantraniliprol 20–120 mg b.a./l, profenofos 250–2500
mg b.a./l, dan spinetoram 0.24–1.8 mg b.a./l mengakibatkan pola peningkatan
kematian serangga uji yang hampir serupa, yaitu kematian larva sudah cukup
tinggi pada 24 JSP, kemudian meningkat cukup tajam antara 24 dan 48 JSP,
sementara antara 48 dan 96 JSP masih terjadi kematian larva dengan proporsi
yang lebih rendah (Gambar 1C-E).

9

A

B

D

E

Waktu pengamatan (JSP)

F

Waktu pengamatan (JSP)

Gambar 2 .Perkembangan tingkat mortalitas larva P. xylostella pada perlakuan
deltametrin (A); emamektin benzoat (B); klorantraniliprol (C);
profenofos (D); spinetoram (E); ekstrak T. vogelii (F). Satuan
konsentrasi pada legenda adalah mg b.a./l untuk insektisida komersial
dan mg ekstrak/l untuk ekstrak T. vogelii.
Klorantraniliprol termasuk dalam golongan diamida antranilat yang bekerja
mengaktifkan reseptor rianodin sehingga membuka saluran ion kalsium di dalam
retikulum sarkoplasma sel otot yang menyebabkan pelepasan ion kalsium secara
berlebihan. Akibatnya ion kalsium di dalam sel otot berkurang dan pengaturan
kontraksi otot terganggu, yang selanjutnya menyebabkan terjadinya kelumpuhan
dan kematian serangga (Cordova et al. 2006). Klorantraniliprol bekerja lebih
lambat dibandingkan dengan racun saraf yang bekerja cepat dan kepekaan bagian
sasaran tampaknya sudah menurun sehingga kematian serangga uji pada 24 JSP
lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan emamektin benzoat, tetapi

10
meningkat cukup tajam antara 24 dan 48 JSP, yang selanjutnya antara 48 dan 96
JSP masih terjadi peningkatan kematian larva dengan proporsi yang lebih rendah.
Profenofos merupakan insektisida organofosfat yang menyebabkan
kematian pada serangga akibat terjadinya penghambatan kerja enzim
asetilkolinesterase pada celah sinapsis saraf (Casida dan Durkin 2013). Hal ini
menyebabkan terjadinya penumpukan asetilkolin pada membran pascasinapsis sel
saraf yang mengakibatkan gejala hipereksitasi, gemetaran, kejang-kejang,
kelumpuhan, dan kematian (Yu 2008). Insektisida organofosfat merupakan racun
saraf yang bekerja cepat tetapi kepekaan bagian sasaran tampaknya sudah
menurun sehingga kematian larva P. xylostella pada 24 JSP lebih rendah
dibandingkan dengan perlakuan klorantraniliprol.
Spinetoram merupakan campuran turunan semisintetik dari spinosin J dan L
(makrolida) yang berasal dari aktinomiset tanah Saccharopolyspora spinosa
(Crouse et al. 2007). Spinosin bekerja sebagai agonis reseptor asetilkolin pada
membran pascasinapsis saraf sehingga saluran ion Na+ terbuka dan menimbulkan
rangsangan terus-menerus sehingga akan terjadi gejala hipereksitasi, kejangkejang, kelumpuhan dan kematian (Salgado dan Sparks 2010). Spinetoram bekerja
relatif cepat dan bagian sasaran tampaknya masih peka terhadap insektisida
tersebut sehingga perlakuan dengan spinetoram sudah mengakibatkan kematian
serangga uji yang cukup tinggi pada 24 JSP, kemudian antara 24 dan 48 JSP
masih terjadi peningkatan kematian larva yang cukup tajam, dan antara 48 dan 96
JSP masih terjadi kematian larva dengan proporsi yang lebih rendah.
Perlakuan dengan ekstrak T. vogelii 250–2000 mg/l juga mengakibatkan
kematian larva yang cukup tinggi pada 24 JSP kemudian kematian larva
meningkat secara bertahap antara 24 dan 96 JSP, kecuali pada perlakuan dengan
konsentrasi tertinggi yang meningkat cukup tajam antara 72 dan 96 JSP (Gambar
1F). Senyawa aktif dalam daun T. vogelii, yaitu rotenon dan beberapa senyawa
rotenoid lain (Delfel et al. 1970), bukan racun saraf tetapi racun respirasi sel yang
menghambat transfer elektron dalam kompleks I dari rantai transpor elektron di
dalam mitokondria sehingga menurunkan produksi ATP yang lambat laun
mengakibatkan kematian serangga (Hollingworth 2001). Insektisida nabati ini
bekerja relatif lambat, yaitu peningkatan kematian serangga uji antara 24 dan 96
JSP lebih tinggi daripada tingkat kematian pada 24 JSP.
Pada pengamatan terakhir (96 JSP), perlakuan dengan deltametrin 375–1500
mg b.a./l, emamektin benzoat 0.95–6.6 mg b.a./l, klorantraniliprol 20–120 mg
b.a./l, profenofos 250–2500 mg b.a./l, dan spinetoram 0.24–1.8 mg b.a./l
mengakibatkan kematian larva P. xylostella berturut-turut 14%-76%, 34%-96%,
22%-82%, 20%-80%, dan 32%-92% (Gambar 1). LC50 dan LC95 semua
insektisida uji pada 96 JSP lebih kecil dibandingkan dengan LC50 dan LC95 pada
48 JSP (Tabel 1). Hal ini sesuai dengan pola peningkatan kematian serangga uji
dari 48 JSP ke 96 JSP (Gambar 1).
Berdasarkan hasil analisis probit data kematian serangga uji pada 96 JSP,
LC50 dan LC95 deltametrin masing-masing 928.40 dan 3677.09 mg b.a./l,
emamektin benzoat 1.61 dan 9.28 mg b.a./l, klorantraniliprol 53.83 dan 362.36 mg
b.a./l, profenofos 999.15 dan 10872 mg b.a./l, serta spinetoram 0.46 dan 3.63 mg
b.a./l (Tabel 1).

11

Tabel 1 Toksisitas lima jenis insektisida komersial dan ekstrak T. vogelii terhadap larva P. xylostella
Insektisida

Konsentrasi
anjuran (mg
b.a./l)

Waktu
pengamatan
(JSP)a

a ± GBb

b ± GBb

LC50 (SK 95%)
(mg b.a./l)b

Deltametrin

10

48
96

-7.211 ± 0.724
-8.116 ± 0.704

2.089 ± 0.513
2.752 ± 0.407

2827.30 (1879.00-8349.40)
928.40 (807.29-1097.94)

Emamektin
benzoat

10

48
96

-0.401 ± 0.129
-0.449 ± 0.132

1.528 ± 0.288
2.164 ± 0.322

Klorantraniliprol

40

48

-3.420 ± 0.560

1.762 ± 0.320

87.29 (68.88-127.61)

96

-3.438 ± 0.541

1.986 ± 0.316

53.83 (44.38-66.55)

48

-4.279 ± 0.749

1.286 ± 0.251

2122.57 (1491.51-4007.89)

96

-4.759 ± 0.723

1.586 ± 0.246

999.15 (785.79-1316.99)

Profenofos

750

Spinetoram

12

48
96

0.278 ± 0.990
0.611 ± 0.108

1.545 ± 0.269
1.844 ± 0.285

Ekstrak T.
vogeliic

-

48
96

-5.259 ± 0.844
-6.733 ± 0.875

1.667 ± 0.291
2.419 ± 0.311

1.83 (1.34-2.33)
1.61 (0.83-2.36)

0.66 (0.51-0.85)
0.46 (0.27-0.66)
1430.00 (1098.47-219.41)
607.48 (375.21-952.48)

LC95 (SK 95%)
(mg b.a./l)b
17322.00 (6566.20-0.13)
3677.09 (2552.387013.49)
21.79 (11.34-86.61)
9.28 (4.86-102.28)
748.62 (364.813311.94)
362.36 (219.17-920.21)
40312.00 (13772.000.42)
10872.00 (5769.6034521.00)
7.66 (3.91-29.16)
3.63 (1.82-27.93)
1387 (6471.80-6387.00)
2907 (1528.00-2708.00)

a

JSP: jam setelah perlakuan.
a: intersep. b: kemiringan garis regresi. GB: galat baku, SK: selang kepercayaan.
c
: satuan ekstrak T. vogelii yaitu mg ekstrak/l.
b

11

12
Konsentrasi anjuran deltametrin, emamektin benzoat, klorantraniliprol, dan
profenofos berturut-turut 10, 10, 40, dan 750 mg b.a./l, sedangkan konsentrasi
anjuran spinetoram disamakan dengan konsentrasi anjuran spinosad (campuran
spinosin A dan D) yaitu 12 mg b.a./l karena di Indonesia formulasi spinetoram
belum terdaftar untuk mengendalikan P. xylostella. LC95 pada 96 JSP untuk
deltametrin, klorantraniliprol, dan profenofos berturut-turut 367.7, 9.1, dan 14.5
kali lebih tinggi daripada konsentrasi anjuran masing-masing, sedangkan LC95
pada 96 JSP untuk emamektin benzoat dan spinetoram masing-masing 1.1 dan 3.3
kali lebih rendah daripada konsentrasi anjuran insektisida tersebut. Dengan
demikian, larva P. xylostella asal Garut, Jawa Barat, sudah tidak rentan terhadap
deltametrin, klorantraniliprol, dan profenofos, tetapi masih rentan terhadap
emamektin benzoat dan spinetoram.
Hasil analisis probit data kematian serangga uji pada perlakuan dengan
ekstrak T. vogelii menunjukkan bahwa LC50 dan LC95 pada 96 JSP masing-masing
607.48 dan 2907 mg/l (Tabel 1). LC95 ekstrak tersebut lebih rendah daripada LC95
deltametrin dan profenofos sehingga ekstrak T. vogelii berpotensi untuk
digunakan sebagai alternatif dalam pengendalian hama P. xylostella yang resisten
terhadap insektisida sintetik, khususnya deltametrin dan profenofos.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Moekasan et al. (2004)
yang melaporkan bahwa larva P. xylostella dari Lembang dan Pangalengan
(Bandung, Jawa Barat) sudah resisten terhadap deltametrin dengan LC90 masingmasing sekitar 15 000 kali dan lebih dari 1800 kali dibandingkan dengan
konsentrasi anjuran insektisida tersebut serta resisten terhadap profenofos dengan
LC90 masing-masing lebih dari 172 000 kali dan sekitar 315 kali dibandingkan
dengan konsentrasi anjuran insektisida tersebut. Moekasan et al. (2004) juga
melaporkan bahwa larva P. xylostella dari Kejajar-Dieng (Wonosobo, Jawa
Tengah) dan Batu (Jawa Timur) sudah resisten terhadap abamektin dengan L90
masing-masing sekitar 15 dan 18 kali dibandingkan dengan konsentrasi anjuran
insektisida tersebut.
Di luar negeri, resistensi hama P. xylostella terhadap insektisida piretroid
dan organofosfat juga telah sering dilaporkan (Furlong et al. 2013). Berdasarkan
mekanismenya, resistensi serangga hama terhadap insektisida piretroid dapat
disebabkan oleh penurunan laju penetrasi insektisida melalui kutikula, penurunan
kepekaan bagian sasaran (perubahan saluran ion natrium pada akson saraf), serta
peningkatan detoksifikasi insektisida oleh enzim sitokrom P450 dan esterase
(Khambay dan Jewess 2010). Sementara itu, resistensi serangga hama terhadap
insektisida organofosfat dapat disebabkan oleh penurunan kepekaan bagian
sasaran (perubahan enzim asetilkolinesterase) serta peningkatan detoksifikasi
insektisida oleh enzim sitokrom P450, esterase, dan glutation-S-transferase (Yu
2008).
Klorantraniliprol (golongan diamida antranilat) merupakan insektisida yang
relatif baru, tetapi penggunaannya yang intensif selama beberapa tahun terakhir
menyebabkan P. xylostella cepat resisten terhadap insektisida tersebut. Di
Tiongkok, populasi larva P. xylostella dari 6 lokasi di Provinsi Guangddong
dilaporkan resisten terhadap klorantraniliprol dengan nisbah resistensi (NR) 2.6–
2000. Resistensi P. xylostella terhadap klorantraniliprol disebabkan oleh
penurunan kepekaan bagian sasaran akibat mutasi tunggal pada bagian gen yang
menyandi reseptor rianodin (Troczka et al. 2012).

13
Emamektin benzoat dan spinetoram merupakan insektisida semisintetik
yang masih relatif baru dan tampaknya masih jarang digunakan oleh petani di
lokasi tempat pengambilan larva P. xylostella yang digunakan dalam penelitian
ini. Di Brasil, P. xylostella telah dilaporkan resisten terhadap abamektin
(campuran avermektin B1a dan B1b dengan NR 61.7 (Santos et al. 2011). Di
Amerika Serikat, seleksi resistensi larva P. xylostella terhadap spinetoram dapat
dilakukan di laboratorium dengan NR 629 sampai 10 000 (Sparks et al. 2012).
Lima insektisida komersial yang diuji merupakan racun saraf, sedangkan
ekstrak T. vogelii mengandung rotenon yang bekerja sebagai racun respirasi sel.
Larva P. xylostella yang resisten terhadap insektisida racun saraf tampaknya tidak
menunjukkan resistensi silang terhadap rotenon yang bekerja sebagai racun
respirasi sel sehingga ekstrak T. vogelii efektif terhadap serangga hama tersebut.
Pengaruh Insektisida Uji terhadap Perkembangan P. xylostella
Faktor lain yang tidak kalah penting dalam penelitian ini yaitu pengamatan
perkembangan larva P. xylostella yang bertahan hidup. Pengamatan tersebut
dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh insektisida yang digunakan dalam
menghambat perkembangan larva P. xylostella. Pengamatan dilakukan pada
semua perlakuan dan dilakukan hanya pada 3 taraf konsentrasi terendah dan
kontrol. Jumlah pupa yang terbentuk dan imago yang muncul dicatat dan diolah
dengan menggunakan analisis ragam menggunakan program SAS 9.1 (SAS
Institute 2002).
Perlakuan dengan deltametrin 375-750 mg b.a./l, klorantraniliprol 20-50 mg
b.a./l, profenofos 250-800 mg b.a./l, dan ekstrak T. vogelii 250-700 mg/l tidak
berpengaruh nyata terhadap perkembangan larva P. xylostella yang bertahan
hidup menjadi pupa (Tabel 2). Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh
insektisida tersebut tidak berlanjut setelah larva uji diberi daun tanpa perlakuan.
Sementara itu, pada perlakuan dengan emamektin benzoat 1.90 mg b.a./l dan
spinetoram 0.6 mg b.a./l, persentase pupa yang terbentuk lebih rendah secara
nyata dibandingkan dengan kontrol. Tampaknya kerja emamektin benzoat dan
spinetoram sebagai racun saraf dapat memengaruhi proses fisiologi yang
mengatur perkembangan serangga.
Perlakuan dengan klorantraniliprol dan ekstrak T. vogelii juga tidak
berpengaruh nyata terhadap persentase kemunculan imago P. xylostella. Pengaruh
nyata terhadap persentase kemunculan imago terjadi pada perlakuan deltametrin
750 mg b.a./l, emamektin benzoat 1.9 mg b.a./l, dan profenofos 250-800 mg b.a./l.
Sifat racun saraf yang kuat dari ketiga insektisida tersebut tampaknya dapat
menyebabkan pengaruh jangka panjang terhadap perkembangan P. xylostella
sampai menjadi imago.

14
Tabel 2

Pengaruh perlakuan lima jenis insektisida komersial dan ekstrak T.
vogelii terhadap persentase pupa yang terbentuk dan imago P. xylostella
yang muncul

Perlakuan

Konsentrasi
(mg b.a./l)

Jumlah larva
yang hidup pada
96 JSP

Pupa
terbentuk
(%)a

Imago
muncul
(%)a

Deltametrin

Kontrol
375
525
750

50
42
38
31

92.0a
88.3a
86.4a
80.3a

88.0a
79.1a
76.4ab
63.4b

Emamektin
benzoat

Kontrol
0.95
1.52
1.90

50
33
31
28

100.0a
100.0a
90.5ab
88.6b

98.0a
90.9ab
90.9ab
80.6b

Klorantraniliprol

Kontrol
20
30
50

49
39
34
28

92.0a
90.0a
88.5a
81.9a

88.6a
86.0a
82.5a
78.6a

Profenofos

Kontrol
250
450
800

50
40
35
31

88.0a
86.6a
85.0a
82.8a

88.0a
73.7b
71.4bc
60.0c

Spinetoram

Kontrol
0.24
0.36
0.60

50
34
28
23

100.0a
97.1ab
89.3ab
87.0b

94.0a
88.6a
85.9a
83.0a

Ekstrak T.
vogeliib

Kontrol
250
400
700

50
38
34
27

92.0a
92.0a
89.6a
88.1a

88.0a
88.0a
82.4a
81.8a

a

Angka dalam lajur yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan
uji Duncan pada taraf nyata 5%. Persentase pupa yang terbentuk dan imago yang muncul
dihitung relatif terhadap jumlah larva yang bertahan hidup pada 96 JSP.
b
Satuan ekstrak T. vogelii adalah mg ekstrak/l.

15

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Larva P. xylostella asal Garut, Jawa Barat, sudah tidak rentan terhadap
deltametrin, klorantraniliprol, dan profenofos dengan LC95 berturut-turut 367.7,
9.1, dan 14.5 kali lebih tinggi daripada konsentrasi anjuran masing-masing, tetapi
masih rentan terhadap emamektin benzoat dan spinetoram dengan LC95 1.1 dan
3.3 kali lebih rendah daripada konsentrasi anjuran masing-masing. LC95 ekstrak T.
vogelii, yaitu 2907 mg ekstrak/l, lebih rendah daripada LC95 deltametrin (3677.1
mg b.a./l) dan profenofos (10872.0 mg b.a./l). Berdasarkan hasil penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa ekstrak T. vogelii layak digunakan sebagai insektisida
alternatif untuk mengendalikan hama P. xylostella, termasuk yang sudah resisten
terhadap deltametrin dan profenofos. Selain mengakibatkan kematian, insektisida
emamektin benzoat dan spinetoram dapat menghambat perkembangan
pembentukan pupa, sedangkan deltametrin, emamektin benzoat, dan profenofos
mengakibatkan penghambatan kemunculan imago.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan terhadap insektisida spinetoram,
emamektin benzoat, dan ekstrak T. vogelii di lapangan untuk mengetahui
keefektifannya terhadap hama sasaran dan keamanannya terhadap organisme
bukan sasaran.

16

DAFTAR PUSTAKA
Abizar M, Prijono D. 2010. Aktivitas insektisida ekstrak daun dan biji Tephrosia
vogelii J.D. Hooker (Leguminosae) dan ekstrak buah Piper cubeba L.
(Piperaceae) terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera:
Crambidae). JHPT Trop. 10(1):1-12.
Ankersmith Gw. 1953. DDT resistance in Plutella xylostella (Curt.) in Java. Bull
Entomol Res. 44(3):421-425.
Brent KJ. 1986. Detection and monitoring of resistant forms: an overview. Di
dalam: Committee on Strategies for the Management of Pesticide Resistant
Pest Populations. Pesticide Resistance: Strategies and Tactics for
Management. Washington DC (US): National Academic Press. hlm 298312.
Casida JE, Durkin KA. 2013. Neuroactive insecticides: targets, selectivity,
resistance, and secondary effects. Annu Rev Entomol. 58:99-117. doi:
10.1146/annurev-ento-120811-153645
Caboni P, Sarais G, Angioni A, Garau VL, Cabras P. 2005. Fast and versatile
multi residue method for the analysis of botanical insecticides on fruits and
vegetables by HPLC/DAD/MS. J Agric Food Chem. 53(22):8644-8649.
Cordova D, Benner EA, Sacher MD, Rauh JJ, Sopa GP, et al. 2006. Anthranilic
diamides: A new class of insecticides with novel mode of action, ryanodine
receptor activation. Pestic Biochem Physiol. 84(3):196-124.
Crouse GD, Dripps JE, Orr N, Sparks TC, Waldron C. 2007. DE-175
(spinetoram), a new semi-synthetic spinosyn in development. Di dalam:
Krämer W, Schirmer U, editor. Modern Crop Protection Compounds.
Weinheim (DE): Wiley-VCH. hlm 1013-1031.
Dadang, Prijono D. 2008. Insektisida Nabati: Prinsip, Pemanfaatan, dan Pengembangan. Bogor (ID): Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian
Bogor.
Delfel NE, Tallent WH, Carlson DG, Wolff IA. 1970. Distribution of rotenone
and deguelin in Tephrosia vogelii and separation of rotenoid-rich fractions.
J Agric Food Chem. 18(3):385−390.
Denholm I, Horowitz RA. 2001. Impact of insecticide resistance mechanisms on
management strategies. Di dalam: Ishaaya I, editor. Biochemical Sites of
Insecticide Action and Resistance. New York (US): Springer-Verlag. hlm
323-335.
Denholm I, Horowitz RA, Cahill M, Ishaaya I. 1998. Management of resistance to
novel insecticides. Di dalam: Ishaaya I, Degheele D, editor. Insecticides
with Novel Modes of Action. New York (US): Springer-Verlag. hlm 339341.
Djojosumarto P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. Jakarta (ID): Agromedia
Pustaka.
Furlong MJ, Wright DJ, Dosdall LM. 2013. Diamondback moth ecology and
management: problems, progress and prospects. Annu Rev Entomol. 58:517541. doi:10.1146/annurev-ento-120811-153605.

17
Georghiou GP, Mellon RB. 1983. Pesticide resistance in time and space. Di
dalam: Georghiou GP, Saito T, editor. Pest Resistance to Pesticides. New
York (US): Plenum Press. hlm 1-46.
Hollingworth RM. 2001. Inhibitors and uncouplers of mitochondrial oxidative
phosphorylation. Di dalam: Krieger R, editor. Handbook of Pesticide
Toxicology. Vol 2. San Diego

Dokumen yang terkait

JI TOKSISITAS INSEKTISIDA BERBAHAN AKTIF KLORANTRANILIPROL TERHADAP Plutella xylostella L.

0 15 16

Penapisan Ekstrak Daging Buah Picung (Pangium edule Reinw) Sebagai Insektisida Botani Terhadap Plutella xylostella.

0 7 1

Aktivitas Insektisida Ekstrak Daun Tephrosia vogelii (Leguminosae) dan Buah Piper aduncum (Piperaceae) terhadap Larva Crocidolomia pavonana

0 4 87

Aktivitas insektisida ekstrak biji annona squamosa, minyak atsiri daun cinnamomum multiflorum, ekstrak daun tephrosia vogelii, dan campuran ketiganya terhadap larva Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae)

1 8 64

Perbandingan kandungan senyawa rotenoid dan aktivitas insektisida ekstrak Tephrosia vogelii terhadap hama kubis Crocidolomia pavonana

0 5 50

Keefektifan ekstrak lima spesies piper (PIPERACEAE) untuk meningkatkan toksisitas ekstrak tephrosia vogelii terhadap hama kubis crocidolomia pavonana

0 3 11

Keefektifan ekstrak tephrosia vogelii, piper aduncum, dan campurannya untuk mengatasi hama plutella xylostella yang resisten terhadap insektisida komersial

0 3 18

Akivitas insektisida ekstrak piper retrofractum Vahl. dan Tephrosia vogelii Hook. f. terhadap Crocidolomia pavonana dan Plutella xylostella serta Keamanan Ekstrak tersebut terhadap Diadegma semiclausum

1 7 84

Kerentanan Plutella xylostella dari Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat terhadap Lima Jenis Insektisida Komersial, Ekstrak Piper aduncum, serta Campuran ekstrak P. aduncum dan Tephrosia vogelii

0 4 37

Kerentanan Plutella xylostella dari Kejajar Dieng, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah lterhadap Lima Jenis Insektisida Komersial dan Ekstrak Buah Piper aduncum

0 16 42