Karakteristik Tanah dan Vegetasi di Hutan Kerangas dan Lahan Pasca Tambang Timah di Kabupaten Belitung Timur

KARAKTERISTIK TANAH DAN VEGETASI
DI HUTAN KERANGAS DAN LAHAN PASCA TAMBANG
TIMAH DI KABUPATEN BELITUNG TIMUR

DINA OKTAVIA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakteristik Tanah dan
Vegetasi di Hutan Kerangas dan Lahan Pasca Tambang Timah di Kabupaten
Belitung Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2014
Dina Oktavia
NIM E451124021

RINGKASAN
DINA OKTAVIA. Karakteristik Tanah dan Vegetasi di Hutan Kerangas dan
Lahan Pasca Tambang Timah di Kabupaten Belitung Timur. Dibimbing oleh
YADI SETIADI dan IWAN HILWAN.
Pulau Belitung yang dikenal sebagai pulau penghasil timah terbesar kedua
di Indonesia, terancam kelestarian ekosistem hutannya akibat kegiatan
penambangan timah yang tidak ramah lingkungan. Hutan kerangas merupakan
salah satu tipe ekosistem di Belitung yang sangat rentan terhadap gangguan.
Tujuan penelitian ini adalah memperoleh data dan informasi mengenai
karakteristik tanah dan vegetasi di hutan kerangas dan lahan pasca tambang timah.
Sampel tanah diambil secara komposit di hutan sekunder tua (Rimba), hutan
sekunder muda (Bebak), vegetasi padang (Padang) dan dua lokasi lahan pasca
tambang timah umur kurang dari 100 tahun dan lebih dari 100 tahun yang
kemudian terbagi lagi menjadi beberapa cluster berdasarkan umur tailing.
Vegetasi dianalisis dengan menggunakan modifikasi teknik kuadrat Oosting 1942.

Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa tanah tailing umur 3, 5, 15 dan 50 tahun
masih mengandung pasir diatas 80%, sedangkan kandungan pasir pada tanah
tailing umur 130 tahun sudah menurun dan mendekati tekstur tanah di hutan.
Kandungan bahan organik yang rendah (< 2%) serta nilai KTK sangat rendah di
tailing 3, 5, 15 dan 50 tahun menyebabkan pertumbuhan vegetasi menjadi sangat
lambat. Kondisi ini juga didukung oleh komposisi mineral liat yang dominan yaitu
kaolinit. Konsentrasi logam berat yang diukur masih dibawah ambang
pencemaran lingkungan.
Hasil analisis vegetasi diperoleh nilai keanekaragaman tertinggi tingkat
semai di Bebak, untuk pancang dan pohon yaitu di Rimba, sedangkan tingkat
tumbuhan bawah di lahan pasca tambang kurang dari 100 tahun. Kondisi ini
menunjukkan bahwa pada lahan pasca tambang masih dalam tahap suskesi di
tingkat tumbuhan bawah, khususnya herba dan semak. Kesamaan komunitas
antara dua lokasi lahan pasca tambang paling tinggi yaitu pada tingkat pancang
(41.38%), sedangkan nilai IS tertinggi yaitu pada tingkat pancang di Rimba dan
Bebak sebesar 54.54%. Beberapa spesies pionir yang berpotensi sebagai anakan
alami untuk kegiatan restorasi, termasuk dalam famili Myrtaceae.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah karakteristik tanah di lahan pasca
tambang timah bertekstur pasir, rendah unsur hara dan pertumbuhan vegetasi yang
sangat lambat. Keanekaragaman tumbuhan di lahan pasca tambang lebih rendah

dibandingkan di hutan. Penambahan bahan organik dan penanaman jenis pionir
lokal yang bersifat katalitik perlu dilakukan pada kegiatan restorasi untuk
mendukung suksesi alami.
Kata kunci: hutan kerangas, karakteristik tanah, restorasi, spesies pionir

SUMMARY
DINA OKTAVIA. The Characteristic of Soil and Vegetation on Heath Forest and
Post Tin Mined Land in East Belitung District. Supervised by YADI SETIADI
and IWAN HILWAN.
Belitung Island known as the second biggest tin producer in Indonesia, the
forest ecosystem is now under immense of tin mining activity. Heath forest
(kerangas forest) is one of forest ecosystem in Belitung which very fragile and
vulnerable. The objectives of this research are to obtain the characteristic of soil
properties and vegetation in heath forest and post tin minedland. Compossite soil
sample was collected from old secondary heath forest (Rimba), young secondary
heath forest (Bebak), padang vegetation (Padang), and two post tin minedlands
(less than 100 years and more than 100 years) which devided into clusteres based
on tailing age. Vegetation was analyzed by modification of square method
Oosting 1942. The results show that in tailing 3, 5, 15 and 50 years still containt
high amount of sand (>80%), meanwhile sand fraction in the tailing 130 years is

quite decline and approaching to soil texture in the forest. The organic matter
content and cation exchange capacity in tailing 3, 5, 15 and 50 years were very
low which hindered the plant growth. This condition also supported from kaolinite
as the dominant mineral composition. The concentration of heavy metal show the
low amount and still less than ecological hazardous threshold.
The results vegetation analysis obtained the highest species diversity index
for seedling is in Bebak, sapling and tree are in Rimba, meanwhile for herbs is in
post tin minedland less than 100 years. It shows that in the minedland is still under
early succession stage which covered by herbs and shrubs. The highest similarity
index among locations each others is between Rimba and Bebak for sapling
(54.54%), between two post tin minedland also on sapling (41.38%). Some
potential pioneers species were found as natural seedlings for restoration are
Myrtaceae.
The soil characteristic in post tin minedlands are sandy texture, low nutrient
and slow rate of plant growth. The species diversity in post tin minedlands were
lower than forest. Adding organic material and selecting native pioneer catalitic
species would be better to improve the post tin minedland through restoration
activity by natural succession approach.
Keywords: kerangas forest, pioneer species, restoration, soil characteristic


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KARAKTERISTIK TANAH DAN VEGETASI
DI HUTAN KERANGAS DAN LAHAN PASCA TAMBANG
TIMAH DI KABUPATEN BELITUNG TIMUR

DINA OKTAVIA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada

Program Studi Silvikultur Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi Pembimbing pada Ujian: Dr Ir Basuki Wasis MS

Judul Tesis : Karakteristik Tanah dan Vegetasi di Hutan Kerangas dan Lahan
Pasca Tambang Timah di Kabupaten Belitung Timur
Nama
: Dina Oktavia
NIM
: E451124021

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Yadi Setiadi, MSc

Ketua

Dr Ir Iwan Hilwan, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi S2
Silvikultur Tropika

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:11 Desember 2014

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah
restorasi hutan kerangas, dengan judul Karakteristik Tanah dan Vegetasi di Hutan
Kerangas dan Lahan Pasca Tambang Timah di Kabupaten Belitung Timur.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Yadi Setiadi dan Bapak
Dr Ir Iwan Hilwan selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Prof Shinya Funakawa, Assc Prof Hitoshi Shinjo dan Asst Prof
Tetsuhiro Watanabe dari Laboratory of Soil Science dan Laboratory of Terrestrial
Ecosystem Management, Universitas Kyoto Jepang, yang telah mendukung
selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah,
ibu, serta seluruh keluarga dan rekan-rekan atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2014
Dina Oktavia

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


xii

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xiii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
2
3

4
4

2 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Alat dan Bahan
Prosedur Penelitian
Prosedur Analisis Data

4
4
5
5
7

3 HASIL
Deskripsi Lokasi Penelitian
Sifat Fisika Tanah
Sifat Kimia Tanah
Komposisi dan Struktur Vegetasi


10
10
13
13
16

4. PEMBAHASAN
Karakteristik Tanah
Komposisi dan Struktur Vegetasi
Vegetasi Pionir Lokal Potensial
Teknik Pembenahan Tanah Lahan Pasca Tambang Timah

22
22
30
34
41

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

43
43
44

DAFTAR PUSTAKA

44

LAMPIRAN

48

RIWAYAT HIDUP

56

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.

Lokasi penelitian
Metode modifikasi BCR dengan tiga tahapan ekstraksi bertingkat
Kriteria kondisi tanah
Kriteria kondisi tanah bermasalah
Batas minimum konsentrasi logam berat terhadap lingkungan
ekologi
6. Tekstur tanah di setiap lokasi pengambilan contoh tanah
7. Hasil analisis beberapa sifat kimia tanah
8. Hasil analisis kandungan logam berat
9. Hasil analisis mineral liat di setiap lokasi
10. Potensi mikoriza di beberapa spesies di lokasi penelitian
11. Kerapatan individu di setiap lokasi penelitian
12. Indeks nilai penting tumbuhan di Rimba
13. Indeks nilai penting tumbuhan di Bebak
14. Indeks nilai penting tumbuhan di Padang
15. Indeks nilai penting tumbuhan di LPT < 100 tahun
16. Indeks nilai penting tumbuhan di LPT > 100 tahun
17. Nilai indeks kesamaan spesies antar komunitas

4
6
7
7
8
13
14
14
15
15
16
17
18
19
19
20
22

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Peta lokasi penelitian.
Ekosistem Rimba.
Ekosistem Bebak.
Ekosistem Padang.
Lahan pasca tambang < 100 tahun.
Lahan pasca tambang > 100 tahun.
Jumlah spesies tumbuhan di setiap lokasi penelitian.
Nilai H' setiap habitus dan tingkat pertumbuhan pohon di setiap
lokasi.
9. Nilai R setiap habitus dan tingkat pertumbuhan pohon di setiap
lokasi.
10. Nilai E setiap habitus dan tingkat pertumbuhan pohon di setiap
lokasi.
11. Lapisan tanah warna hitam sebagai mineral augit.
12. Akar M. leucadendron yang tumbuh di atas permukaan tanah.
13. Beruta (D. linearis).
14. Keremuntingan (R. tomentosa)
15. Keletaan (M. malabathricum).
16. Gelam (M. leucadendron).
17. Sekudong pelandok (S. buxifolium).
18. Sapu padang (B. frutescens).
19. Arang-arang (S. napiforme).
20. Batang kayu pelawan (T. obovata).
21. Simpor bini (D. suffruticosa).

5
10
11
11
12
12
16
20
21
21
29
29
35
36
36
37
38
38
39
39
40

22. Batang pohon seru (S. wallichii).

40

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.

Daftar nama spesies tumbuhan bawah di setiap lokasi penelitian
Daftar nama spesies tingkat semai di setiap lokasi penelitian
Daftar nama spesies tingkat pancang di setiap lokasi penelitian
Daftar nama spesies tingkat pohon di setiap lokasi penelitian

48
50
52
55

1 PENDAHULUAN
Kabupaten Belitung Timur merupakan salah satu kabupaten pemekaran
yang terbentuk pada tahun 2003 berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bangka Selatan, Bangka Tengah, Bangka
Barat dan Belitung Timur di Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Secara geografis terletak antara 107°45’ BT – 108°18’ BT dan 02°30’ LS – 03°15’
LS. Luas Kabupaten Belitung Timur yaitu 2.506,91 km2 atau berkisar 250.691
hektar, terdiri dari 39 desa dari 7 kecamatan dengan jumlah penduduk 110.315
jiwa. Mayoritas masyarakat lokal bermata pencaharian di sektor pertanian,
perkebunan dan pertambangan (BAPPEDAL 2011).
Pulau Belitung merupakan salah satu pulau penghasil timah terbesar kedua
di dunia setelah Pulau Bangka. Kedua pulau ini berada di jalur timah dunia (Van
Bemmelen 1970). Deposit timah di Bangka dan Belitung merupakan deposit
timah terbaik di dunia (Hess & Hess 1912) dengan deposit timah primer terbanyak
yaitu di Pulau Belitung (Marheni 2008). Sejarah pertambangan timah di Pulau
Belitung sudah dimulai sejak tahun 1800-an oleh pemerintah Belanda dengan
teknik eksplorasi open tin mining. Lapisan tanah digali terlebih dahulu, kemudian
pengupasan menggunakan pompa semprot bertenaga listrik dan bijih timah akan
terendapkan karena perbedaan berat jenis. Pemisahan antara tailing dan bijih
timah dilakukan dengan menggunakan sakhan (Widhiyatna et al. 2006).
Penambangan timah dengan teknik tersebut berdampak pada lingkungan
dan kelestarian ekosistem, diantaranya perubahan bentang alam, penurunan
keanekaragaman hayati, pencemaran air dan sedimentasi. Cerukan-cerukan berisi
air (kolong) bekas penambangan timah berpotensi mengandung kontaminan
logam berat (Henny 2011). Tailing pasir pada lahan bekas tambang timah juga
berpotensi meradiasikan unsur-unsur radioaktif yang berbahaya bagi kesehatan
manusia (Wahyudi 2003). Menurut Pratiwi (2010) berdasarkan analisis satuan
kemampuan lahan kesuburan tanah di Belitung Timur, yaitu seluas 218.101 hektar
lahan di Belitung Timur dalam kondisi buruk. Hal ini disebabkan oleh kegiatan
penambangan timah yang tidak ramah lingkungan. Di sisi lain, kegiatan tersebut
juga akan mengancam kelestarian 224 spesies tumbuhan di hutan kerangas yang
101 diantaranya berkhasiat sebagai obat (Oktavia 2012).
Di sisi lain, masyarakat Melayu Belitung memiliki suatu sistem lansekap
tradisional dalam mengelola ekosistem. Menurut Fakhrurrazi (2001), terdapat
beberapa tipe ekosistem berdasarkan kearifan tradisional mereka antara lain
ekosistem alami (Rimba, Padang, Ai’), ekosistem suksesi (Bebak, Bebak usang,
Kelekak, Kelekak usang). Masyarakat juga membagi beberapa ekosistem yang
dilarang untuk diolah karena berbahaya bagi keseimbangan ekosistem. Selain
lansekap, masyarakat lokal juga membagi kondisi tanah ke dalam beberapa tipe
seperti tana teraja (tanah podsolik yang banyak mengandung kuarsa), tana darat
(tanah podsolik merah-kuning), tana amau (lahan basah, rawa atau daerah tepian
sungai), tana kepo (tanah peralihan antara tana amau dan tana darat berwarna
cokelat pucat), dan tana malangen (tanah peralihan yang berbatasan dengan tana
teraja).
Secara umum ekosistem hutan yang tumbuh di daratan Pulau Belitung
dikenal dengan nama hutan kerangas. Hutan kerangas tumbuh di atas tanah

2
podsol, tanah pasir kuarsa miskin hara dan memiliki pH rendah (Brunig 1974;
Whitmore 1984; Whitten et al. 1984; MacKinnon et al. 1992), dalam jumlah yang
cukup luas dapat dijumpai di Pulau Bangka dan Belitung (Whitten et al. 1984).
Konsorsium Revisi High Conservation Value (HCV) Toolkit Indonesia (2008)
menegaskan bahwa hutan kerangas harus dipertahankan dalam kondisi alami
dengan ditambah zona penyangga minimal satu kilometer, dimana kegiatan
pemanfaatan harus seminimal mungkin dilakukan. Peran hutan kerangas sebagai
kawasan hutan lindung dinilai dari jenis tanahnya dan fungsinya sebagai resapan
air perlu dipertahankan sesuai dengan Keputusan Presiden No 32 tahun 1990
tentang pengelolaan kawasan lindung.
Hutan kerangas sebagai suatu ekosistem yang sangat rentan terhadap
gangguan ini, membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun dalam suksesi
alami mendekati kondisi ekosistem semula (Whitten et al. 1984). Elfis (1998)
diacu dalam Nurtjahya (2008) meyebutkan bahwa diperlukan waktu 150 tahun
bagi lahan pasca tambang timah untuk kembali menjadi hutan kerangas. Oleh
karena itu perlu adanya campur tangan manusia dalam mengembalikan komposisi
vegetasi hutan kerangas dan fungsi ekosistem hutan kerangas melalui kegiatan
restorasi. Pendekatan suksesi alami dalam restorasi dapat meningkatkan
keanekargaman hayati dan memperbaiki kualitas tanah serta mendukung
keberlanjutan ekosistem (Bradshaw 1997; Aronson & Alexander 2013). Setiadi
(2012) menjelaskan bahwa dalam restorasi perlu mempertimbangkan aspek tanah
dan vegetasi sebagai suatu informasi dasar dalam menentukan teknik pembenahan
tanah yang tepat dan memilih spesies pionir yang menjadi katalisator dalam
kolonisasi alami. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menerangkan kondisi
tanah dan vegetasi di hutan kerangas dan lahan pasca tambang timah sehingga
dapat merumuskan teknik rehabilitasi lahan pasca tambang timah dengan
pendekatan suksesi berdasarkan data lapangan.

Latar Belakang
Belitung Timur merupakan salah satu kabupaten pemekaran yang masih
banyak membutuhkan ruang untuk pembangunan infrastruktur dan lahan-lahan
untuk perkembangan sektor pertanian/ perkebunan dan pertambangan untuk
menggerakkan perekonomian daerah. Ekosistem hutan kerangas di Belitung
Timur terancam oleh beberapa intervensi manusia membangun perkebunan kelapa
sawit, karet dan juga pertambangan timah, pasir kuarsa, bijih besi, dan kaolin.
Pertambangan timah merupakan salah satu bentuk intervensi manusia yang sudah
berlangsung ratusan tahun dengan mengeksploitasi sumberdaya timah di daratan.
Desa Kelubi merupakan salah satu desa di Kabupaten Belitung Timur yang
kondisi lansekapnya terdiri dari pemukiman, ekosistem hutan, perkebunan karet,
kelapa sawit, lada, dan penambangan timah. Masyarakat lokal masih memegang
kearifan lokal dalam mengolah lahan. Namun, dengan adanya intervensi dari luar,
beberapa perusahaan perkebunan skala besar dapat masuk dan mengusahakan
lahan hutan untuk dijadikan perkebunan dan pertambangan. Dampak dari kegiatan
eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan ini telah dirasakan oleh masyarakat
lokal khususnya dalam hal ketersediaan sumber air bersih yang sudah sulit
dipenuhi.

3
Interaksi masyarakat Desa Kelubi dengan ekosistem hutan dapat dilihat dari
pemanfaatan tumbuhan obat tradisional yang berasal dari dalam hutan. Ketua adat
atau dukun kampung dan beberapa peramu obat tradisional khususnya memiliki
interaksi yang erat terhadap ekosistem hutan. Namun kerusakan hutan akibat
kegiatan penambangan timah telah menyisakan beberapa lahan marginal yang
tidak produktif serta berkurangnya sumberdaya hutan. Untuk mendukung
kelestarian eksosistem hutan kerangas yang merupakan salah satu ekosistem hutan
dalam status rawan (vulnerable) di dunia (WWF 2014) dan mendukung interaksi
masyarakat terhadap sumberdaya hutan, maka perlu adanya upaya restorasi hutan
kerangas di lahan pasca tambang timah. Informasi mengenai kondisi tanah dan
vegetasi merupakan dua aspek penting dalam menentukan teknik restorasi yang
tepat, sehingga penting dilakukan sebuah penelitian dasar tentang karakteristik
tanah dan vegetasi di hutan kerangas dan lahan pasca tambang timah. Dengan
adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam penelitian
selanjutnya terkait percobaan tanam untuk tujuan restorasi di lahan pasca tambang
timah.

Perumusan Masalah
Kondisi lahan pasca tambang timah di Bangka dan Singkep yang berumur
kurang dari 100 tahun yang dibiarkan mengalami suksesi alami tidak
menunjukkan adanya perubahan yang signifikan dalam beberapa aspek fisika
maupun kimia tanah dan juga kondisi vegetasinya (Badri 2004; Nurtjahya 2008).
Penelitian ini mengambil dua lokasi lahan pasca tambang yang berumur kurang
dari 100 tahun dan lebih dari 100 tahun. Perbedaan lokasi diduga dapat menjadi
sebuah kemungkinan terjadinya perbedaan kondisi sifat tanah dan vegetasi
meskipun memiliki permasalahan yang sama akibat kegiatan penambangan timah,
sehingga perlu dilakukan kajian terkait karakteristik tanah di lahan pasca tambang
timah di Belitung.
Ekosistem hutan kerangas menjadi suatu standar kualitatif dari kondisi yang
belum terganggu oleh kegiatan penambangan timah. Dikarenakan sulitnya
ditemukan ekosistem hutan yang masih primer maka dipilihlah tiga tipe ekosistem
hutan kerangas yang menjadi bagian dari lansekap tradisional masyarakat lokal
yaitu Rimba (hutan kerangas sekunder campuran), Bebak (hutan bekas ladang)
dan Padang (ekosistem disklimaks hutan kerangas yang berupa padang rumput
dan beberapa semak). Kajian karakteristik tanah dan vegetasi di tiga lokasi ini
dapat menjadi bahan pembanding terhadap ekosistem lahan pasca tambang timah
dari sifat tanah dan komposisi vegetasinya. Berkaitan dengan penjelasan di atas,
adapun pertanyaan yang ingin dijawab oleh penulis yaitu: 1) bagaimana
karakteristik tanah di hutan kerangas dan lahan pasca tambang timah ditinjau dari
sifat fisika dan kimia tanahnya, 2) bagaimana komposisi vegetasi di hutan
kerangas dan lahan pasca tambang timah, 3) apa saja spesies yang berpotensi
menjadi pionir dan bersifat katalitik untuk mendukung proses suksesi alami dan 4)
bagaimana teknik pembenahan tanah yang dapat direkomendasikan untuk
kegiatan restorasi.

4
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan karakteristik tanah di
hutan kerangas dan lahan pasca tambang timah, 2) mengidentifikasi komposisi
vegetasi di hutan kerangas dan lahan pasca tambang timah, 3) mengidentifikasi
spesies pionir potensial dan 4) merekomendasikan teknik pembenahan tanah yang
dapat dilakukan.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan acuan dalam mengambil
tindakan teknik restorasi yang tepat di lahan pasca tambang timah di kabupaten
Belitung Timur. Selain itu juga menjadi informasi dasar dalam menentukan teknik
rehabilitasi atau revegetasi di lahan pasca tambang timah baik untuk tujuan
konservasi maupun produksi.

2 METODE
Penelitian ini bersifat survei lapangan yang dirancang untuk mengeksplorasi
dan mendeskripsikan setiap lokasi berdasarkan kriteria yang ditentukan. Penelitian
menggunakan metode kualitatif dengan menetapkan konsep suksesi alami dan
restorasi sebagai pendekatan dalam pembahasan kondisi tanah dan vegetasi di
lokasi penelitian.

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2013 – Agustus 2014. Pengambilan
sampel tanah dan analisis vegetasi dilakukan di Desa Kelubi Kecamatan Manggar
Kabupaten Belitung Timur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dipilih lima
lokasi, antara lain: 1) hutan kerangas sekunder tua (Rimba), 2) hutan kerangas
sekunder muda (Bebak), 3) vegetasi padang (Padang), 4) lahan pasca tambang
timah (LPT) kurang dari 100 tahun (area KP PT Timah) dan 5) lahan pasca
tambang timah (LPT) lebih dari 100 tahun (area Wilayah Pertambangan Rakyat
(WPR)). Semua lokasi berada dalam status area penggunaan lain (APL) (Tabel 1).
Daerah penelitian disajikan pada Gambar 1.
Tabel 1 Lokasi penelitian
No
1
2
3
4
5

Lokasi
Rimba
Bebak
Padang
KP PT Timah (LPT100 th)

Posisi Geografis
02º48’1,60” LS dan 108º08’16,5” BT
02º50’10,9” LS dan 108º09’20,8” BT
02º52’53,0” LS dan 108º09’52,9” BT
02º49’20,1” LS dan 108º11’35,3” BT
02º52’41,3” LS dan 108º08’16,1” BT

Status
APL
APL
APL
APL
APL

5

Gambar 1 Peta lokasi penelitian.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam pengambilan sampel tanah dan vegetasi di
lapangan meliputi: 1) peralatan pengambilan sampel tanah komposit (bor tanah,
plastik sampel, label, spidol), 2) peralatan analisis vegetasi dan pembuatan
herbarium (meteran 20 m, meteran jahit, tali rafia, parang, plastik sampel
herbarium, label, spidol, alkohol) dan 3) peralatan dokumentasi (Global Position
System (GPS), kamera, buku catatan dan alat tulis). Peralatan untuk analisis logam
berat dilakukan dengan menggunakan mesin Inductively Coupled Plasma–Atomic
Emission Spectrometry (ICP-AES) ICPE-9000. Analisis mineral liat dilakukan
dengan menggunakan mesin X-Ray Diffraction MiniFlex 600.

Prosedur Penelitian
Pengambilan sampel tanah komposit
Contoh tanah komposit diambil dengan menggunakan teknik cluster
sampling (Suganda et al. 2006). Contoh cluster dipilih secara purposive,
dikarenakan kondisi lahan di setiap lokasi lahan pasca tambang tidak homogen,
maka pada setiap LPT dibagi ke dalam beberapa cluster. Adanya penambangan
ulang di lokasi lahan pasca tambang, sehingga memengaruhi umur suksesi setiap
cluster. Pembagian cluster berdasarkan tutupan vegetasi dominan di atasnya. Di
LPT < 100 tahun dibagi menjadi dua cluster yaitu pasir (tailing 5 tahun) dan
semak (tailing 50 tahun). Pada LPT > 100 tahun dibagi menjadi tiga cluster yaitu
pasir (tailing 3 tahun), semak (tailing 15 tahun) dan hutan (tailing 130 tahun).
Pada lokasi Rimba, Bebak dan Padang hanya terdapat satu cluster karena relatif
homogen dalam satu hamparan. Contoh tanah berupa contoh tanah komposit
seberat 600 gram yang diambil dari lima sub contoh tanah di setiap cluster di

6
setiap lokasi. Kedalaman pengambilan sampel tanah yaitu 0–20 cm (1) dan 20–40
cm (2).
Pengambilan contoh akar dan rizosfir
Pengambilan contoh akar untuk megetahui ada tidaknya asosiasi antara
fungi mikoriza arbuskula (FMA) dengan akar tumbuhan. Contoh tanah yang
berada di sekitar rambut akar (rizosfer) diambil untuk dianalisis potensi FMA di
sekitar vegetasi tersebut. Contoh akar diambil dari tiga vegetasi dominan di dalam
plot analisis vegetasi pada kedalaman 0–20 cm. Total panjang akar yang diambil
yaitu 10–20 cm setiap jenisnya. Contoh tanah komposit dari sekitar akar tiga
vegetasi dominan dan 4 titik rizosfir. Jumlah tanah yang diambil sebanyak 300–
500 g setelah dikompositkan.
Analisis tanah
Analisis tanah meliputi tekstur tanah (proporsi pasir, debu dan liat), pH, C
organik (Walkley & Black), N total (Kjeldhal), P tersedia (Bray l), P total (HCl
25%), Kapasitas Tukar Kation (KTK), Ca, Mg, Na,K (N NH4OAc pH 7,0),
Kejenuhan Basa (KB), Al, H (N KCl), Fe, Mn (0.05 N HCl) dilakukan di
Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB. Analisis logam berat (Cd, Cr,
Cu, Ni, Pb, Zn) dan analisis mineral liat dilakukan di Laboratory of Soil Science,
Kyoto University.
Analisis logam berat dan mineral liat menggunakan sampel tanah 0–20
cm. Analisis logam berat dilakukan dengan metode modifikasi BCR tiga tahapan
ekstraksi bertingkat (Rauret et al. 1999) (Tabel 2). Analisis mineral liat dilakukan
dengan teknik X-Ray Diffraction (Whittig & Allardice 1986).
Tabel 2 Metode modifikasi BCR dengan tiga tahapan ekstraksi bertingkat
Step
1

Target
Spesies yang mudah larut,
karbonat, pertukaran kation

Pelarut
Acetic Acid 0.11 M

2

Fraksi
Dapat dipertukarkan,
larut dalam air dan
asam
Dapat tereduksi

Besi oksida dan Mangan oksida

3

Dapat teroksidasi

Bahan organik dan sulfida

Hydroxylammonium
Chloride 0.5 M
Hydrogen Peroxyde 8.8
M dikuti oleh
Ammonium Acetate 1 M

Analisis kolonisasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) menggunakan metode
Wet Sieving Decanting atau penyaringan basah (Brundrett et al. 1996) yang telah
dimodifikasi. Taksonomi genus FMA dilakukan berdasar performa morfologi
spora dan merujuk http:invam.caf.wvu.edu. Analisis FMA dilakukan di
Laboratorium Bioteknologi Hutan PPSHB IPB.
Pengambilan data vegetasi
Analisis vegetasi dilakukan di lima lokasi (Rimba, Bebak dan Padang,
LPT < 100 tahun dan LPT > 100 tahun) dengan menggunakan modifikasi teknik
pengambilan contoh kuadrat oleh Oosting 1942 (Soerianegara & Indrawan 2008)
dengan ukuran petak contoh 10 m × 10 m sebanyak 20 petak contoh (Nurtjahya
2008) dan jarak antar petak contoh 20 m. Perisalahan komposisi vegetasi

7
dilakukan terhadap tiga fase pertumbuhan (semai, pancang dan pohon) dan
habitus tumbuhan bawah (herba, semak, perdu, liana) dengan kriteria sebagai
berikut;
a. Petak ukur semai 1 m × 1 m, yaitu anakan dengan tinggi ≤ 1.5 m semai dan
tumbuhan bawah (herba, semak, perdu, liana).
b. Petak ukur pancang 5 m × 5 m, yaitu anakan dengan tinggi > 1.5 m dan
diameter setinggi dada < 10 cm.
c. Petak ukur pohon 10 m × 10 m, batang berdiameter ≥ 10 cm.
Prosedur Analisis Data
Tanah
Hasil analisis tanah dinilai berdasarkan kriteria kondisi tanah (Landon 1986)
(Tabel 3). Permasalahan tanah dinilai menurut kriteria penilaian tanah bermasalah
(Setiadi 2012) (Tabel 4). Kandungan logam berat dinilai berdasarkan standar
Ecological Investigation Level yang disajikan pada Tabel 5 (DEC 2010).
Tabel 3 Kriteria kondisi tanah
Komponen
C-Organik
N-Total
P-Bray 1
K
Ca
Mg
Fe
Cu
Mn
Zn
Al
Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Kejenuhan Basa
pH

Satuan
%
%
ppm
mek 100 g-1
mek 100 g-1
mek 100 g-1
ppm
ppm
ppm
ppm
%
mek 100 g-1
%
-

Tinggi
Sedang
Rendah
≥ 10
>4
≤4
> 0.5
> 0.2
≤ 0.2
> 20
>7
< 7
> 0.5
≥ 0.25
< 0.25
≥ 10
>4
≤4
≥ 1.5
> 0.8
≤ 0.4
Kekurangan pada 2
Kekurangan pada 0.2
Kekurangan pada 5 – 9
Kekurangan pada 1 – 7.5
> 60
≤ 60
< 40
≥ 25
> 15
≤ 15
> 60
> 20
≤ 20
> 7.0
≥ 5.5
< 5.5

Sangat rendah
75% ditutupi oleh vegetasi
dan dalam kategori tidak kritis (Distanhut 2012).

Gambar 2 Ekosistem Rimba.
Hutan kerangas sekunder muda (Bebak)
Bebak merupakan ekosistem hutan kerangas sekunder muda yang tumbuh di
lahan bekas perladangan yang berumur 10 tahun di atas tanah milik masyarakat
dan berbatasan dengan lahan perkebunan karet (Gambar 3). Secara geologi,
termasuk dalam formasi Kelapa Kampit. Tanah berasal dari hasil pelapukan
batuan batupasir, batuserpih, batulempung dan batulumpur (Pratiwi 2010).
Berdasarkan data atribut peta kawasan hutan di Kabupaten Belitung Timur, Bebak
berada pada daerah dataran dengan batuan induk batuan sedimen kasar masam
dan kelerengan < 8%. Bebak termasuk dalam kelas penutupan lahan sebagai
semak belukar dengan 26–50% ditutupi oleh vegetasi dan dalam kategori agak
kritis (Distanhut 2012).

11

Gambar 3 Ekosistem Bebak.
Vegetasi padang (Padang)
Padang merupakan ekosistem hutan kerangas yang mengalami disklimaks,
sehingga berupa hamparan padang rumput yang sulit untuk tumbuh menjadi hutan
kembali (Gambar 4). Lokasi padang berbatasan dengan lahan perkebunan karet
dan kelapa sawit. Secara geologi, kawasan termasuk dalam formasi Kelapa
Kampit. Tanah berasal dari hasil pelapukan batuan batupasir kuarsa (Pratiwi
2010). Berdasarkan data atribut peta kawasan hutan di Kabupaten Belitung Timur,
Padang beradapada daerah dataran dengan batuan induk batuan sedimen kasar
masam dan kelerengan < 8%. Padang termasuk dalam kelas penutupan lahan
sebagai semak belukar dengan 26–50% ditutupi oleh vegetasi dan dalam kategori
agak kritis (Distanhut 2012).

Gambar 4 Ekosistem Padang.
Lahan pasca tambang timah kurang dari 100 tahun (LPT < 100 tahun)
Pada lokasi LPT < 100 tahun terdapat dua cluster tanah dilihat dari tingkat
suksesinya antara lain cluster pasir (tailing umur 5 tahun) dan cluster vegetasi
semak (tailing umur 50 tahun) (Gambar 5). Secara geologi, kawasan termasuk
dalam formasi Diorit Kuarsa Batubesi. Tanah berasal dari hasil pelapukan batuan
diorit kuarsa batubesi (Pratiwi 2010). Berdasarkan data atribut peta kawasan hutan
di Kabupaten Belitung Timur, LPT < 100 tahun berada pada daerah dataran
dengan batuan induk batuan sedimen kasar masam dan kelerengan < 8%. LPT <

12
100 tahun termasuk dalam kelas penutupan lahan sebagai lahan terbuka dengan
0% penutupan vegetasi dan dalam kategori kritis (Distanhut 2012).

Gambar 5 Lahan pasca tambang < 100 tahun.
Lahan pasca tambang timah lebih dari 100 tahun (LPT > 100 th)
Pada lokasi LPT > 100 tahun terdapat tiga cluster tanah dilihat dari tingkat
suksesinya antara lain cluster pasir (tailing umur 3 tahun), cluster vegetasi semak
(tailing umur 15 tahun) dan cluster vegetasi hutan (tailing umur 130 tahun)
(Gambar 6). Secara geologi, kawasan termasuk dalam formasi Kelapa Kampit.
Tanah berasal dari hasil pelapukan batuan batupasir (Pratiwi 2010). Berdasarkan
data atribut peta kawasan hutan di Kabupaten Belitung Timur, LPT > 100 tahun
berada pada daerah dataran dengan batuan induk batuan sedimen kasar masam
dan kelerengan < 8%. LPT > 100 tahun termasuk dalam kelas penutupan lahan
sebagai lahan terbuka dengan 0% penutupan vegetasi dan dalam kategori kritis
(Distanhut 2012).

Gambar 6 Lahan pasca tambang > 100 tahun.

13
Sifat Fisika Tanah
Tekstur tanah
Hasil analisis tekstur tanah di setiap cluster tanah di lokasi penelitian
disajikan pada Tabel 6. Tekstur tanah di tailing 130 th yaitu lempung berpasir (0–
20 cm) dan lempung liat berpasir (20–40 cm). Perkembangan tanah telah terjadi
sehingga menghasilkan jumlah liat yang lebih tinggi dibandingkan tailing lainnya.
Tekstur tanah di tailing 130 tahun (20–40 cm) sama dengan tekstur tanah di hutan
(0–20 cm) yaitu lempung liat berpasir.
Tabel 6 Tekstur tanah di setiap lokasi pengambilan contoh tanah
Cluster
Rimba
Bebak
Padang
TL 3 tahun
TL 5 tahun
TL 15 tahun
TL 50 tahun
TL 130 tahun

Kedalaman (cm)
0–20
20–40
0–20
20–40
0–20
20–40
0–20
20–40
0–20
20–40
0–20
20–40
0–20
20–40
0–20
20–40

Pasir
52.94
48.02
77.94
73.80
91.12
91.42
96.96
95.72
93.31
80.03
91.69
94.01
88.36
78.73
70.85
71.08

Fraksi (%)
Debu
10.19
1.99
4.28
3.75
5.04
2.40
1.32
2.45
3.71
13.33
7.09
3.97
7.13
13.96
17.80
21.56

Liat
36.87
49.99
17.78
28.45
3.84
6.18
1.72
1.83
2.98
6.64
1.22
2.02
4.51
7.31
11.35
7.36

TL : Tailing

Sifat Kimia Tanah
Hasil analisis sifat kimia tanah di setiap cluster tanah di lokasi penelitian
disajikan pada Tabel 7. Secara umum, nilai pH dalam kisaran 4–6.3, kandungan
ahan organik ≤ 2 , kand ngan nitrogen ≤0.2 , kand ngan fo for ter edia
berkisar 4.3–9.5 ppm, kandungan Ca, Mg, K dan Na masing-ma ing ≤ 0.5 me/100
g, nilai KTK berkisar 0.6–8.05 me/100 g, nilai KB berkisar 8.07–71.7%,
kandungan Al dari tidak terdeteksi hingga kisaran 0.2-1.4 me/100 g dan
kandungan Fe (2.12–54.80 ppm) dan Mn (0.11–3.13 ppm). Hasil analisis logam
berat di setiap cluster tanah di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 8.
Kandungan logam berat tertinggi dari semua lokasi yaitu unsur Cr (3.615 mg/kg)
di Rimba. Unsur Cd tidak terukur pada sampel tanah, sedangkan unsur Pb hanya
terukur pada lokasi Padang. Hasil analisis komposisi mineral liat disajikan pada
Tabel 9. Mineral kaolinit mendominasi di antara mineral lainnya di setiap lokasi.
Pada lokasi Padang tidak dapat dilakukan pengambilan contoh liat sehingga tidak
dilakukan analisis mineral liat.

14

H2O

P

(%)
0.2

0.05 N HCl

N

N KCl

HCl 25%

C

Bray I

Kjeldhal

pH
1:1

W. & B.

Kedalaman (cm)

Lokasi Penelitian

Tabel 7 Hasil analisis beberapa sifat kimia tanah

NNH4OAc pH 7.0
KB

Ca

Mg

K

Na

(ppm)
7.8 76.2

0.5

(mek 100 g-1)
0.2
0.2 0.5

KTK

Al

H

Fe

5.8

(%)
23.8

(mek 100 g-1)
1.4
0.4

22

Zn

Mn

Rimba

0–20

4.7

(%)
2.0

Rimba

20–40

5.2

1.1

0.1

4.3

44.6

0.5

0.2

0.1

0.2

6.8

13.2

0.8

0.2

20

1.1

3.1

Bebak

0–20

4.9

1.2

0.1

6.2

59.5

0.4

0.2

0.1

0.1

5.6

14.2

1.4

0.4

9

1.1

1.5

Bebak

20–40

5.0

1.1

0.1

4.5

44.6

0.4

0.1

0.1

0.1

8.0

8.1

1.1

0.2

23

1.1

1.8

Padang

0–20

5.1

0.4

0.0

6.0

59.5

0.3

0.1

0.1

0.1

1.2

47.1

0.2

0.2

3

1.2

0.1

Padang

20–40

5.0

0.1

0.0

5.2

51.2

0.3

0.1

0.0

0.1

2.0

24.4

tr

0.2

2

1.3

0.3

TL 3 tahun

0–20

6.0

0.1

0.0

9.0

89.4

0.3

0.1

0.0

0.1

0.6

71.7

tr

0.2

54

1.3

0.1

TL 3 tahun

20–40

6.3

0.1

0.0

6.9

67.8

0.3

0.1

0.0

0.1

0.8

55.0

tr

0.2

30

0.9

0.1

TL 5 tahun

0–20

6.1

0.2

0.0

5.2

50.5

0.3

0.1

0.0

0.1

2.0

24.4

tr

0.2

8

0.8

0.2

TL 5 tahun

20–40

5.0

0.1

0.0

4.3

42.9

0.3

0.1

0.1

0.1

2.4

22.4

tr

0.2

26

0.9

0.7

TL 15 tahun

0–20

5.2

0.2

0.0

9.5

92.5

0.3

0.1

0.0

0.0

2.0

22.9

0.2

0.2

7

0.9

0.4

TL 15 tahun

20–40

5.4

0.3

0.0

7.4

71.1

0.4

0.1

0.0

0.1

0.8

64.3

0.2

0.2

10

1.1

0.4

TL 50 tahun

0–20

5.4

0.2

0.0

8.9

89.4

0.5

0.1

0.0

0.1

2.4

27.0

0.2

0.2

2

1.1

0.5

TL 50 tahun

20–40

5.3

0.4

0.0

6.0

59.5

0.3

0.1

0.0

0.1

2.8

15.2

0.6

0.4

3

1.0

0.2

TL 130 tahun

0–20

4.5

1.2

0.1

5.7

54.5

0.4

0.2

0.1

0.1

6.0

11.6

1.4

0.4

8

1.2

0.4

TL 130 tahun

20–40

4.0

1.8

0.2

4.5

44.6

0.3

0.1

0.3

0.3

5.4

19.7

1.0

0.4

7

1.0

0.2

TL : Tailing, tr: tidak terukur

Tabel 8 Hasil analisis kandungan logam berat
Lokasi

Cd
Cr
Rimba
tr
3.615 (3)
Bebak
tr
2.235 (3)
Padang
tr
0.06 (3)
TL 3 tahun
tr
0.255 (3)
TL 5 tahun
tr
0.525 (3)
TL 15 tahun
tr
0.39 (3)
TL 50 tahun
tr
0.705 (3)
TL 130 tahun
tr
0.45 (3)
tr : tidak terukur
(1) : terukur pada step 1 (fraksi mobile)
(2) : terukur pada step 2 (fraksi oksida)
(3) : terukur pada step 3 (fraksi organik)

Konsentrasi (mg kg-1)
Cu
Ni
2.728 (2)
0.372 (1)
0.592 (1)
0.628 (1)
1.008 (1)
0.06 (1)
2.524 (2)
0.76 (1)
1.12 (1)
0.268 (1)
1.236 (1)
0.348 (1)
1.064 (2)
0.236 (1)
1.452 (2)
0.428 (1)

Pb
tr
tr
0.988 (1)
tr
tr
tr
tr
tr

Zn
1.616(1)
0.83 (3)
0.38(1)
0.175 (3)
0.248 (1)
0.365 (3)
0.4 (3)
0.46 (1)

(ppm)
1.1 2.7

15
Tabel 9 Hasil analisis mineral liat di setiap lokasi
Mineral

Lokasi

Kuarsa

Ortoklas

Microkline

Vermikulit

Illit

Kaolinit

Gibsit

Hutan

-

-

-

+

+

++

++

Bebak

-

-

-

+

-

++

++

TL 3 tahun

±

+

±

-

++

++

+

TL 5 tahun

-

-

-

±

+

++

+

TL 15 tahun

±

±

±

+

+

++

+

TL 50 tahun

±

-

-

+

+

++

+

TL 130 tahun

+

+

+

+

++

++

±

++ : sangat jelas, + : jelas, ± : tidak jelas, - : tidak terukur

Potensi fungi mikoriza arbuskula (FMA)
Hasil analisis fungi mikoriza arbuskula pada beberapa tumbuhan pionir
yang dominan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 10. Kolonisasi FMA pada
sampel akar hanya ditemukan di beberapa spesies antara lain pada B. frutescens di
Padang terdapat 29.1% kolonisasi Glomus sp.3, pada Fimbristylis sp. di Padang
terdapat 25.8% kolonisasi Glomus sp.2 dan Glomus sp.5 dan pada Rhodamnia
cinerea di Bebak terdapat 60% kolonisasi Glomus sp.6.
Tabel 10 Potensi mikoriza di beberapa spesies di lokasi penelitian
No
1

Nama ilmiah
Dillenia
suffruticosa
Baeckea
frutescens
Melastoma
malabathricum
Rhodomyrtus
tomentosa

Rimba

5

Tristaniopsis
obovata

Glomus sp.1
Glomus sp.7

6

Calophyllum
lanigerum

Glomus sp.2

7

Fimbristylis sp.

8

Rhodamnia
cinerea

2
3
4

Bebak

Padang

LPT100 tahun
Glomus sp.3

16
Komposisi dan Struktur Vegetasi

jumlah spesies

Jumlah spesies
Jumlah spesies tumbuhan yang teridentifikasi disajikan pada Gambar 7.
Jumlah spesies tumbuhan bawah tertinggi yaitu di LPT < 100 tahun (17 spesies).
Jumlah spesies semai tertinggi yaitu di Bebak (29 spesies). Jumlah spesies
pancang tertinggi yaitu di Rimba dan Bebak (42 spesies). Jumlah spesies pohon
tertinggi yaitu di Rimba (24 spesies).
42

45
40
35
30
25
20
15
10
5
0

42

29
25

24
12

14

13
9

8

5

Rimba

18 19

17

Bebak

Tumbuhan bawah

3

2 1

Padang
Lokasi
Semai

14

11

0

LPT < 100 th LPT > 100 th

Pancang

Pohon

Gambar 7 Jumlah spesies tumbuhan di setiap lokasi penelitian.

Kerapatan individu
Nilai kerapatan individu tumbuhan di setiap lokasi disajikan pada Tabel 10.
Ekosistem Rimba relatif lebih rapat dibandingkan ekosistem lainnya, sehingga
kehadiran tumbuhan bawah tidak sebanyak di ekosistem yang relatif terbuka.
Tabel 11 Kerapatan individu di setiap lokasi penelitian
Lokasi

Kerapatan individu (ind/ha)
Tumbuhan bawah

Semai

Pancang

Pohon

Hutan

31.000

288.000

18.900

470

Bebak

57.000

165.000

21.880

340

Padang

462.500

93.000

1.400

10

LPT < 100 tahun

256.000

30.500

1.680

30

LPT > 100 tahun

205.500

45.600

4.600

0

17
Dominansi spesies
Rimba
Indeks nilai penting (INP) tumbuhan bawah tertinggi yaitu Syzygium
buxifolium (57.53%) dari habitus semak, kemudian diikuti oleh tiga jenis liana
yaitu Uvaria hirsuta, Ancistrocladus tectorius dan Salacia korthalsiana. Lima INP
tertinggi tumbuhan bawah, tingkat semai, pancang dan pohon disajikan pada Tabel
11. Famili yang mendominasi yaitu Myrtaceae dan dari genus Syzygium.
Tabel 12 Indeks nilai penting tumbuhan di Rimba
Habitus/ tingkat
pertumbuhan

No

Nama Lokal

Nama Ilmiah

1
2

Sekudong pelandok
Akar larak

Syzygium buxifolium
Uvaria hirsuta

57.53
36.02

Tumbuhan bawah

3
4
5

Akar terong bulus
Akar mencirian
Lepang

Ancistrocladus tectorius
Salacia korthalsiana
Alpinia oxymitra

30.47
27.24
20.79

Semai

1
2
3
4
5

Betor padi
Samak
Betor belulang
Kelinsutan
Sisilan

Calophyllum depressinervosum
Syzygium lepidocarpa
Calophyllum lanigerum
Syzygium decipiens
Syzygium rostratum

55.97
39.80
21.57
16.52
6.43

Pancang

1
2

Samak
Betor belulang

Syzygium lepidocarpa
Calophyllum lanigerum

25.03
23.60

3
4
5

Meleman
Kelebantuian
Jemang

Psychotria malayana
Syzygium eunera
Rhodamnia cinerea

21.27
13.65
12.70

1

Samak

Syzygium lepidocarpa

61.07

2
3
4
5

Seru
Subalan
Betor padi
Medang miang

Schima wallichii
Elaeocarpus petiolatus
Calophyllum depressinervosum
Litsea firma

58.24
25.01
21.34
14.74

Pohon

INP (%)

Bebak
Pada ekosistem Bebak, tingkat pertumbuhan pancang lebih dominan
dibandingkan ekosistem lainnya. Nilai INP tertinggi yaitu Calophyllum lanigerum
(18.2%). Tumbuhan bawah masih lebih tinggi jumlah dan kerapatannya
dibandingkan Rimba, dengan jenis tumbuhan bawah yang paling dominan yaitu
Alpinia oxymitra (64.11%). Nilai INP tumbuhan bawah dan setiap tingkat
pertumbuhan pohon disajikan pada Tabel 12.

18
Tabel 13 Indeks nilai penting tumbuhan di Bebak
Habitus/ tingkat
pertumbuhan
Tumbuhan bawah

Semai

Pancang

Pohon

No

Nama Lokal

Nama Ilmiah

INP (%)

1
2
3

Lepang
Sengkelut
Keremuntingan

Alpinia oxymitra
Lycopodium cernuum
Rhodomyrtus tomentosa

64.11
34.66
23.71

4

Sekudong pelandok

Syzygium buxifolium

18.22

5

Akar ijau

Hypserpa sp.

12.96

1

Pulas

Guioa pleuropteris

32.95

2

Kelebantuian

Syzygium eunera

23.68

3

Samak

Syzygium lepidocarpa

18.05

4

Tenam

Psychotria viridiflora

16.84

5

Seru

Schima wallichii

11.39

1

Betor belulang

Calophyllum lanigerum

18.20

2

Jemang

Rhodamnia cinerea

16.26

3

Sesalah

Eurya nitida

14.46

4

Kiras

Garcinia hombroniana

13.72

5

Samak

Syzygium lepidocarpa

12.05

1

Seru

Schima wallichii

2

Samak

Syzygium lepidocarpa

49.88

3

Kabal

Lithocarpus blumeanus

27.96

4

Pelawan kiring

Tristaniopsis obovata

23.53

5

Jering

Archidendron pauciflorum

17.30

115.41

Padang
Pada ekosistem Padang sangat didominasi oleh tumbuhan bawah, khususnya
dari habitus herba (rumput-rumputan) dan hanya ditemukan satu spesies tingkat
pohon. Selain rumput-rumputan juga ditemukan dua insektivora yang umum
dijumpai di padang kerangas yaitu Nepenthes gracilis dan Drosera burmanni.
Nilai INP tertinggi tumbuhan dan setiap tingkat pertumbuhan disajikan pada
Tabel 13.
Lahan pasca tambang < 100 tahun
Pada ekosistem LPT < 100 tahun, jenis tumbuhan bawah yang mendominasi
yaitu Fimbristylis sp (48.86%). Pada tingkat pancang jenis pionir Mallotus
barbatus termasuk dalam lima INP tertinggi (Tabel 14).

19
Tabel 14 Indeks nilai penting tumbuhan di Padang
Habitus/ tingkat
pertumbuhan pohon

Tumbuhan bawah

Semai

Pancang
Pohon

No

Nama Lokal

Nama Ilmiah

INP (%)

1

Kerembun

Paspalum vaginatum

41.84

2
3

Kucai Padang
Akar segendai

Fimbristylis sp.
Coptosapelta tomentosa

40.12
22.21

4

Sapu padang

Baeckea frutescens

21.13

5

Kembang taru

Bromheadia finlaysoniana

18.33

1

Arang-arang

Syzygium napiforme

86.44

2

Betor belulang

Calophyllum lanigerum

61.35

3

Bebeti

Syzygium zeylanicum

35.66

4

Pelawan kiring

Tristaniopsis obovata

11.77

5

Gelam

Malaleuca leucadendron

1

Pelawan kiring

Tristaniopsis obovata

2

Gelam

Malaleuca leucadendron

1

Perepat

Combretocarpus rotundatus

4.78
146.43
53.57
300

Tabel 15 Indeks nilai penting tumbuhan di LPT < 100 tahun
Habitus/ tingkat
pertumbuhan pohon

Tumbuhan bawah

Semai

Pancang

Pohon

No

Nama Lokal

Nama Ilmiah

INP (%)

1
2
3

Kucai Padang
Kerembun
Keletaan

Fimbristylis sp.
Paspalum vaginatum
Melastoma malabathricum

4

Beruta

Dicranopteris linearis

8.96

5

Mensayat

Scleria multifoliata

9.51

1

Gelam

Malaleuca leucadendron

18.18

2

Bali adap

Melodinus sp.

18.18

3

Sesalah

Eurya nitida

9.09

4

Kelebantuian

Syzygium eunera

9.09

5

Abu-abu

Syzygium palembanicum.

9.09

1

Gelam

Malaleuca leucadendron

42.14

2

Akasia

Acacia mangium

35.48

3

Menteno

Commersonia bartramia

24.52

4

Balik angin

Mallotus barbatus

19.52

5

Bebeti

Syzygium zeylanicum

19.52

1

Mentepongan

Vernonia arborea

80.90

2

Akasia

Acacia mangium

78.50

3

Jambu mete

Anacardium occidentale

48.86
32.51
27.94

140.61

20
Lahan pasca tambang > 100 tahun
Pada ekosistem LPT > 100 tahun, jenis tumbuhan bawah yang mendominasi
yaitu semak Melastoma malabathricum (54.82%), kemudian jenis paku-pakuan
Dicranopteris linearis (30.05%). Malaleuca leucadendron mendominasi di
tingkat semai dan tingkat pancang (Tabel 15).
Tabel 16 Indeks nilai penting tumbuhan di LPT > 100 tahun
Habitus/ tingkat
pertumbuhan pohon

Tumbuhan bawah

Semai

Pancang

Pohon

No

Nama Lokal

Nama Ilmiah

INP (%)

1
2
3

Keletaan
Beruta
Kerembun

Melastoma malabathricum
Dicranopteris linearis
Paspalum vaginatum

54.82
30.05
28.42

4

Kucai Padang

Fimbristylis sp.

25.15

5

Sengkelut

Lycopodium cernuum

13.41

1

Gelam

Malaleuca leucadendron

51.58

2

Pelawan kiring

Tristaniopsis obovata

33.42

3

Renggadaian

Ploiarium alternifolium

27.37

4

Simpor bini

Dillenia suffruticosa

12.32

5

Arang-arang

Syzygium napiforme

11.45

1

Gelam

Malaleuca leucadendron

50.82

2

Pelawan kiring

Tristaniopsis obovata

32.90

3

Renggadaian

Ploiarium alternifolium

27.05

4

Simpor bini

Dillenia suffruticosa

12.10

5

Arang-arang

Syzygium napiforme

11.23

Tidak ada data

Indeks keanekaragaman spesies (H’)
Indeks keanekaragaman spesies tumbuhan bawah tertinggi yaitu di LPT <
100 tahun. Pada tingkat semai yaitu LPT > 100 tahun, tingkat pancang di Bebak
dan tingkat pohon di Rimba (Gambar 8).

Nilai H'

3,5
3
2,5
2
1,5
1
0,5
0

2.