Pengaruh Penambahan Berbagai Jenis Pati dan Tepung terhadap Mutu Batter yang Diaplikasikan pada Tempe yang Digoreng dengan Metode Deep Frying.

PENGARUH PENAMBAHAN BERBAGAI JENIS PATI
DAN TEPUNG TERHADAP MUTU BATTER YANG
DIAPLIKASIKAN PADA TEMPE YANG DIGORENG
DENGAN METODE DEEP FRYING

DIANA PUSPITA SARI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh
Penambahan Berbagai Jenis Pati dan Tepung terhadap Mutu Batter yang
Diaplikasikan pada Tempe yang Digoreng dengan Metode Deep Frying
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus2015
Diana Puspita Sari
NIM F24110016

ABSTRAK
DIANA PUSPITA SARI. Pengaruh Penambahan Berbagai Jenis Pati dan Tepung
terhadap Mutu Batter yang Diaplikasikan pada Tempe yang Digoreng dengan
Metode Deep Frying. Dibimbing oleh MUHAMMAD ARPAH.
Batter digunakan untuk memperbaiki mutu produk yang melalui proses
penggorengan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari aspek-aspek
reologi batter terhadap penambahan berbagai pati dan tepung (sagu aren, tepung
beras, dekstrin, tapioka dan pati kentang) ke dalam formulasi batter serta
mempelajari pengaruh penambahan berbagai pati dan tepung ke dalam formulasi
batter terhadap mutu tempe batter yang meliputi coating pick-up, cooking yield,
tekstur, warna, kadar air, kadar lemak dan preferensi panelis. Perlakuan

penambahan tepung beras dan tapioka dapat meningkatkan viskositas batter.
Viskositas batter yang tinggi memiliki daya pelapisan yang baik karena dapat
meningkatkan persentase coating pick-up dan cooking yield, sehingga penguapan
air dan penyerapan minyak pada produk dapat dikendalikan. Persentase coating
pick-up batter dengan perlakuan pati dan tepung berkisar antara 1-2%, sedangkan
persentase cooking yield berkisar antara 22.74-42.85%. Daya pelapisan batter
yang baik ditunjukkan dengan kadar lemak tempe batter yang rendah. Tempe
batter dengan perlakuan penambahan tepung beras memiliki kadar lemak terendah
dibandingkan dengan sampel lainnya yaitu sebesar 14.49% pada produk yang
digoreng selama 15 menit. Secara keseluruhan, baik tekstur, warna, aroma dan
rasa, tempe batter dengan perlakuan penambahan pati kentang adalah tempe batter
yang paling disukai panelis karena memiliki skala rating hedonik tertinggi.
Kata kunci: batter, reologi batter, coating pick-up, cooking yield, kadar air, kadar
lemak, tekstur, warna, preferensi panelis

ABSTRACT
DIANA PUSPITA SARI. Effects of Different Flours and Starches Addition for
Batter Quality for Deep-Fried Battered Tempeh Application. Supervised by
MUHAMMAD ARPAH.
Batters are used to improve fried battered product quality. The objectives

of this research are to study the rheological properties of batter with different
flours and starches addition (sagoo, rice flour, dextrine, tapioca and potato starch)
into batter formulation and to study the effects of different flours and starches
addition for battered tempeh quality included coating pick-up, cooking yield,
texture, color, moisture content, oil content and panelist preferences. Addition of
rice flour and tapioca into batter formulation, can increase the viscosity of the
batter. Coating pick-up and cooking yield tend to increase with the increment of
the viscosity, so it can control the movement of cooking oils into food product and
prevent the water evaporation. Coating pick-up of the batters with different flours
and starches addition ranged from 1-2 %, and cooking yield of the batters ranged
from 22.74-42.85%. The batters with good barrier ability are showed with low oil
content of the products, for example battered tempeh with rice flour addition has
the lowest oil content between others, it has 14.49% oil content of the product that

fried for 15 minutes. Over all, included texture, color, aroma and taste, battered
tempeh with potato starch addition is the most preferred by panelists because it
has the highest rating hedonic scale.
Keywords: batters, rheology of batters, coating pick-up, cooking yield, moisture
content, oil content, texture, color, panelist preferences


PENGARUH PENAMBAHAN BERBAGAI JENIS PATI
DAN TEPUNG TERHADAP MUTU BATTER YANG
DIAPLIKASIKAN PADA TEMPE YANG DIGORENG
DENGAN METODE DEEP FRYING

DIANA PUSPITA SARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan secara dua tahap, untuk tahap pertama
dilaksanakan sejak bulan Juni sampai Juli 2014 dan tahap kedua pada bulan
Februari sampai Mei 2015 ini ialah formulasi batter, dengan judul Pengaruh
Penambahan Berbagai Jenis Pati dan Tepung terhadap Mutu Batter yang
Diaplikasikan pada Tempe yang Digoreng dengan Metode Deep Frying.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Muhammad Arpah,
M.Si selaku pembimbing yang senantiasa membimbing dan memberikan saran
yang berguna selama studi, penyelesaian penelitian hingga penyusunan skripsi,
serta terima kasih pula penulis ucapkan untuk Dr. Elvira Syamsir, STP, Msi dan
Dr. Ir. Sukarno, MSc atas kesediaannya menjadi dosen penguji dalam ujian akhir
penulis. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Pak Nur dan Bu Sri
sebagai teknisi Laboratorium Pilot Plant dan Laboratorium Evaluasi Sensori
Seafast, Pak Gatot, Ibu Antin sebagai teknisi Laboratorium L2 dan Pengolahan
Departemen ITP serta Pak Yahya selaku teknisi Laboratorium Kimia Pangan
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang memberi banyak bantuan dan saran
selama pelaksanaan penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada Ibunda, Ayahanda dan Kakak-Kakak atas segala dukungan, doa dan kasih
sayang yang tiada henti. Serta tak lupa, ungkapan terima kasih juga penulis

sampaikan untuk segenap teman-teman ITP 48.
Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015
Diana Puspita Sari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xiii

PENDAHULUAN


1

Perumusan Masalah

4

Tujuan Penelitian

4

Manfaat Penelitian

4

METODE

4

Waktu dan Tempat Penelitian


4

Alat

5

Bahan

5

Metodologi Penelitian

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

12

Pengukuran Steady Shear


12

Viskositas Batter

14

Kadar Air Tempe Batter

18

Kadar Lemak Tempe Batter

18

Pengukuran Coating Pick-Up Batter

20

Pengukuran Cooking Yield Batter


20

Pengukuran Tekstur Tempe Batter

21

Analisis Warna Tempe Batter

24

Evaluasi Sensori Tempe Batter

26

SIMPULAN DAN SARAN

29

Simpulan


29

Saran

30

DAFTAR PUSTAKA

31

LAMPIRAN

33

RIWAYAT HIDUP

82

DAFTAR TABEL

1.
2.
3.

4.

Komposisi Kimia dalam 100 gram Tempe Kedelai (Direktorat Gizi
Depkes RI 1992)
Formulasi Batter
Parameters Power-Law (K = consistency coefficient, n = flow
behaviour index) batter yang dibuat dari campuran tepung pada
rentang shear rate 0.3 sampai 60 s-1 pada suhu 10, 15, 20, 25 dan
30°C.
Data Analisis Proksimat Tempe Batter dengan Perlakuan Penambahan
Pati Kentang ke dalam Formulasi Batter.

3
7

17
29

DAFTAR GAMBAR

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

13.

Tahapan Penelitian Tempe Batter
Reogram Batter yang Terbuat dari Campuran Berbagai Tepung pada
Suhu: (a) 30°C; (b) 25°C; (c) 20°C; (d) 15°C dan (e) 10°C.
Viskositas Batter yang Terbuat dari Campuran Tepung pada Suhu: (a)
30°C; (b) 25°C; (c) 20°C; (d) 15°C dan (e) 10°C.
Kadar Air Tempe Batter dengan Perlakuan Penambahan Pati dan
Tepung pada Waktu Penggorengan 3, 6, 9, 12 dan 15 menit.
Kadar Lemak Tempe Batter dengan Perlakuan Penambahan Pati dan
Tepung pada Waktu Penggorengan 3, 6, 9, 12 dan 15 menit.
Persentase Coating Pick-Up Batter dengan Berbagai Perlakuan
Penambahan Pati dan Tepung pada Formulasinya.
Persentase Cooking Yield Batter dengan Perlakuan Penambahan Pati
dan Tepung pada Formulasinya.
Tekstur Kerapuhan Tempe Batter dengan Perlakuan Penambahan Pati
dan Tepung ke dalam Formulasinya.
Tekstur Kekerasan Tempe Batter dengan Perlakuan Penambahan Pati
dan Tepung ke dalam Formulasinya.
Tekstur Elastisitas Tempe Batter dengan Perlakuan Penambahan Pati
dan Tepung ke dalam Formulasinya.
Tekstur Cohessiveness Tempe Batter dengan Perlakuan Penambahan
Pati dan Tepung ke dalam Formulasinya.
Nilai L (Skala Hunter Lab) pada Pengukuran Warna Tempe Batter
dengan Semua Perlakuan Penambahan Pati dan Tepung ke dalam
Formulasinya.
Nilai a (Skala Hunter Lab) pada Pengukuran Warna Tempe Batter
dengan Semua Perlakuan Penambahan Pati dan Tepung ke dalam
Formulasinya.

6
13
16
18
19
20
21
23
23
23
24

25

25

14.

15.
16.
17.
18.
19.

Nilai b (Skala Hunter Lab) pada Pengukuran Warna Tempe Batter
dengan Semua Perlakuan Penambahan Pati dan Tepung ke dalam
Formulasinya.
Data Hasil Evaluasi Sensori Atribut Warna Tempe Batter
Menggunakan Uji Rating Hedonik.
Data Hasil Evaluasi Sensori Atribut Kerapuhan Tempe Batter
Menggunakan Uji Rating Hedonik.
Data Hasil Evaluasi Sensori Atribut Kekerasan Tempe Batter
Menggunakan Uji Rating Hedonik.
Data Hasil Evaluasi Sensori Atribut “Oily Taste” Tempe Batter
Menggunakan Uji Rating Hedonik.
Data Hasil Evaluasi Sensori untuk Preferensi Kesukaan Panelis secara
Keseluruhan Tempe Batter Menggunakan Uji Rating Hedonik.

25
27
27
28
28
28

DAFTAR LAMPIRAN

1.
2.
3.
4.
5.

Grafik TPA Tempe Batter
Gambar Produk Tempe Batter
Form Kuesioner Sensori Uji Rating Hedonik terhadap Sampel Tempe
Batter
Output ANOVA dan Uji Lanjut Duncan
Data Kadar Lemak dan Kadar Air Tempe Batter

33
35
37
38
76

PENDAHULUAN
Metode penggorengan terendam atau deep fat frying merupakan metode
penggorengan dimana bahan terendam sempurna oleh minyak yang berfungsi
sebagai media penghantar panas pada suhu tinggi (antara 160-180oC) pada waktu
tertentu (Mir-Bel et al 2012). Metode penggorengan deep fat frying dapat lebih
menjaga kandungan nutrisi dibanding dengan proses perebusan dan
pemanggangan, namun proses tersebut tetap memengaruhi kandungan nutrisi
(vitamin dan mineral) pada bahan (Shirai dan Ramirez 2011). Suhu dan waktu
proses penggorengan dapat diatur dan dikontrol sesuai dengan mutu produk akhir
yang diinginkan, misalnya untuk menghasilkan produk yang renyah seperti
keripik, produk yang kering atau produk yang kering di bagian luar tapi bertekstur
lembut di bagian dalam. Namun, produk hasil proses penggorengan dapat
menurunkan aspek mouthfeel serta menurunkan beberapa atribut sensori seperti
warna, aroma dan tekstur. Produk yang diinginkan dalam penelitian ini adalah
produk yang kering di bagian luar, sedangkan di bagian dalam produk masih
memiliki kandungan air yang agak tinggi ( juicy).
Perpindahan panas yang terdapat pada proses penggorengan terjadi secara
konveksi (perpindahan panas dari minyak panas ke dalam produk pangan) dan
secara konduksi (perpindahan panas dari permukaan produk ke bagian dalam
produk). Ketika minyak panas berpenetrasi ke dalam produk, maka air yang
berada pada produk pangan secara alami akan mengalami penguapan dan
menyisakan rongga pada produk yang kemudian akan diisi oleh minyak panas
tersebut (Dogan 2004). Air yang terdapat pada produk pangan tersebut mengalami
proses evaporasi. Air yang berada di bagian dalam produk akan bergerak menuju
bagian luar produk, fenomena ini disebut sebagai pumping (Lydersen 1983).
Pembentukan uap yang terjadi selama proses penggorengan disebabkan oleh
adanya tekanan bagian dalam produk pangan yang lebih besar daripada tekanan
minyak goreng, sehingga terjadi keterbatasan penetrasi minyak goreng ke dalam
produk pangan. Peningkatan oil uptake terjadi dengan penurunan tekanan bagian
dalam produk yang disebabkan oleh kehilangan air pada produk selama proses
pendinginan yang akan menyebabkan efek vakum (Rice dan Gamble 1989).
Perubahan yang terjadi selama proses penggorengan meliputi perubahan
karakteristik kimia dan fisik produk pangan, seperti adanya proses gelatinisasi pati,
pelunakan jaringan, inaktivasi enzim dan terjadinya reaksi antar komponen yang
terdapat dalam produk pangan. Crust atau kerak pada permukaan produk pangan
terbentuk karena proses dehidrasi selama proses penggorengan. Proses dehidrasi
ini akan menurunkan kadar air produk karena suhu penggorengan di atas 100oC,
menghasilkan struktur yang poros dan tekstur yang renyah (Moreira et al 1999).
Batter adalah campuran bahan-bahan berwujud cair yang tersusun dari
berbagai konsentrasi tepung dan air. Batter diaplikasikan untuk produk goreng
yang dilapisi atau direndam sebelum dilakukan proses penggorengan (Sahin et al
2005). Batter dapat menjadi solusi untuk meminimalisir menurunnya aspek
sensori pada produk dengan cara melapisi produk pangan tersebut karena lapisan
batter dapat mencegah produk mengalami kehilangan air berlebih selama proses
penggorengan yang dapat menyebabkan tekstur bagian dalam produk menjadi
terlalu kering, serta lapisan batter juga dapat menurunkan penyerapan minyak

2
berlebih ke dalam produk selama proses penggorengan (Wills et al 1981). Selain
itu, batter yang melapisi permukaan luar produk pangan juga dapat memberikan
nilai tambah bagi produk pangan goreng karena lapisan batter dapat memperbaiki
penampakan produk, tekstur, flavor, berat dan volume produk dengan cara
mengurangi proses dehidrasi pada produk, menambah efek kecoklatan yang akan
memperbaiki warna produk dan memberikan tekstur yang baik pada produk
(Cunningham dan Suderman 1981).
Batter diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu batter tempura atau
adhesion dan batter interface atau puff (Loewe 1993). Batter tempura atau
adhesion digunakan bersama dengan tepung panir (breading), dan digunakan
sebagai lapisan pelekat atau adhesif utama antara permukaan produk dan
permukaan tepung panir (breading). Batter tempura atau adhesion tidak
menggunakan bahan kimia pengembang pada formulasinya. Batter interface atau
puff mengandung bahan pengembang dalam formulasinya dan digunakan sebagai
lapisan luar produk pangan. Formulasi batter dapat ditentukan berdasarkan
substrat pangan dan penampakan lapisan yang diinginkan, sehingga formulasi
batter sangat fleksibel untuk diterapkan secara maksimal pada pengembangan
produk (Loewe 1990). Tepung terigu dan pati jagung memiliki peranan yang
penting dalam formulasi batter interface. Tepung terigu mengandung protein
gluten dan pati. Protein gluten pada tepung terigu ini berperan untuk menahan
retensi gas yang dihasilkan dari bahan kimia pengembang, sehingga dapat
menghasilkan tekstur yang baik. Pati jagung berfungsi untuk membentuk tekstur
yang crispy. Batter interface terdiri dari tepung terigu, pati jagung dan bahan
pengembang sebagai bahan penyusun utama, serta tepung-tepungan lain, pati-pati
lain, gum (hidrokoloid), protein, pewarna pangan dan flavor dapat ditambahkan
sebagai bahan opsional (Loewe 1990). Penambahan jenis pati dan hidrokoloid ke
dalam formulasi batter dapat memengaruhi sifat reologi batter (Hsia et al 1992)
serta berfungsi untuk meningkatkan viskositas batter karena hidrokoloid
merupakan oligosakarida dan dapat mengenkapsulasi gas yang dihasilkan oleh
bahan pengembang berdasarkan kemampuannya membentuk ikatan dengan air
(water bonding capacity). Penambahan pati pada formulasi batter dapat dilakukan
dengan konsentrasi 0 hingga 5% (Loewe 1990). Hidrokoloid yang digunakan pada
penelitian ini adalah CMC (Carbon Metile Cellulose), sedangkan untuk
penambahan pati dan tepung yang digunakan adalah tapioka, kentang, sagu aren,
beras dan dekstrin.
Sifat reologi dari formulasi batter yang berbeda penting untuk dipelajari.
Sifat reologi dari pangan cair sangat kompleks dan tergantung pada banyak faktor
seperti komposisi, shear rate, durasi shearing, previous thermal, dan shear
histories (Rao 1977). Viskositas batter ditentukan berdasarkan aliran batter pada
produk sebelum masuk ke penggorengan. Viskositas batter berkorelasi dengan
coating pick-up (Altunakar 2003). Viskositas batter yang diaplikasikan pada
produk pangan yang digoreng dengan teknik deep-fat merupakan karakteristik
yang sangat menentukan (kritis) lapisan karena dapat memengaruhi kuantitas dan
kualitas dari batter pick-up, penampakan produk, tekstur dan penanganan produk
yang dilapisi (Mukprasit et al 2000). Keseragaman batter dan ketebalan serta
beberapa karakter kritis lapisan seperti penampakan, warna, kerenyahan dan
flavor menentukan penerimaan produk akhir (Loewe 1990).

3
Efek dari penambahan lima jenis pati dan tepung (tapioka, kentang, sagu
aren, beras dan dekstrin), pengaruh suhu pada sifat reologi dan viskositas dari
batter berbahan dasar tepung terigu-pati jagung akan dipelajari pada penelitian ini.
Aplikasi dari batter yang megandung komposisi tepung yang berbeda akan
menghasilkan flavor dan tekstur yang unik pada produk pangan goreng.
Keseragaman dan ketebalan batter pada permukaan pangan ditentukan oleh
viskositas dan suhu batter yang akan menentukan kualitas dan penerimaan produk
pangan goreng (Moreira et al 1999). Oleh sebab itu, viskositas batter menjadi
karakteristik kritis yang akan memengaruhi kuantitas dan kualitas batter pick-up,
penampakan, tekstur dan penanganan produk yang dilapisi batter. Pengukuran
sifat reologi digunakan untuk menentukan dan memantau perubahan sifat fisik
selama pelapisan batter dan proses penggorengan (Chang et al 1996). Faktorfaktor yang dapat memengaruhi sifat reologi batter adalah komposisi dan proporsi
bahan penyusun, perbandingan bahan solid dan air, serta suhu (Fiszman dan
Salvador 2003).
Tempe digunakan sebagai substrat karena tempe memiliki banyak manfaat
bagi tubuh manusia, diantaranya dapat menurunkan flatulensi dan diare,
menghambat biosintesis kolesterol dalam hati, mencegah oksidasi LDL,
menurunkan total kolesterol dan triasilgliserol, meningkatkan enzim antioksidan
SOD, dan menurunkan risiko kanker recta, prostat, payudara, dan kolon (Astuti et
al 2000). Selain itu, tempe mudah diperoleh karena Indonesia merupakan negara
produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia.
Jumlah produsen tempe di Indonesia hingga tahun 2011 yang telah terdaftar di
KOPTI telah mencapai lebih dari 100.000 produsen yang tersebar di beberapa
daerah seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, NTB, Aceh, dan
Lampung. Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia adalah
sekitar 8.50 kg (SUSENAS 2009). Kandungan gizi pada tempe dapat dilihat pada
tabel 1. Produk tempe akan dilapisi dengan batter kemudian digoreng dengan
menggunakan metode deep fat frying dan dianalisis karakter fisik maupun
kimianya pada penelitian ini.
Tabel 1 Komposisi Kimia dalam 100 gram Tempe Kedelai (Direktorat Gizi
Depkes RI 1992)
Komposisi
Kalori (kal)
Air (g)
Protein kasar (g)
Lemak (g)
Vitamin A (SI)
Karbohidrat (g)
Kalsium (g)
Fosfor (mg)
Vitamin B1 (mg)
Besi (mg)

Jumlah
149,00
64,00
18,30
4,00
50,00
12,70
129,00
154,00
0,17
10,00

4
Perumusan Masalah
Formulasi batter yang berbeda akan memengaruhi sifat reologi batter.
Viskositas batter akan memengaruhi coating pick up dan mutu produk akhir
lainnya seperti penampakan, tekstur, warna, flavor, berat dan volume. Batter
diaplikasikan untuk melapisi produk atau substrat sebelum melalui proses
penggorengan dengan menggunakan metode penggorengan deep fat frying pada
suhu 180oC.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mempelajari pengaruh
penambahan lima jenis pati dan tepung yang berbeda (tapioka, kentang, sagu aren,
tepung beras dan dekstrin), pengaruh suhu pada sifat reologi dan viskositas dari
batter berbahan dasar tepung terigu-pati jagung, serta mengetahui dan
mempelajari kualitas dari tempe goreng yang telah dilapisi batter.

Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini bermanfaat untuk memperbaiki mutu produk goreng.
Formulasi yang terbaik dan dapat diterima oleh panelis diharapkan dapat
diperoleh dari hasil penelitian ini. Selain itu, diharapkan dari hasil penelitian ini
diperoleh formulasi batter standar dengan perlakuan substitusi pati dan tepung
sehingga dapat diterapkan dalam skala yang lebih besar seperti skala industri.

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara dua tahap. Tahap pertama dilakukan pada
bulan Juni-Juli 2014 untuk menguji dan mengambil data sifat reologi batter
berbahan dasar tepung terigu-pati jagung di laboratorium L2 untuk preparasi
sampel dan di laboratorium Pengolahan Pangan untuk pengukuran shear rate,
shear stress dan viskositas. Tahap kedua dimulai pada bulan Februari-Mei 2015
untuk mengambil data tentang aplikasi batter pada produk tempe yang digoreng
dengan metode penggorengan deep fat frying.
Tahap-tahap yang dilakukan adalah pengukuran coating pick up, cooking
yield, evaluasi sensori menggunakan metode rating hedonik sembilan skala (70
panelis), analisis proksimat produk tempe batter formulasi terbaik berdasarkan
evaluasi sensori, serta pengukuran kadar air dan kadar lemak tempe batter dengan
lima formulasi berbeda dan kontrol yang digoreng pada suhu 180oC, masing-

5
masing pada lima perlakuan waktu penggorengan yang berbeda (3 menit, 6 menit,
9 menit, 12 menit dan 15 menit). Pengukuran coating pick up dan cooking yield
dilakukan di laboratorium Pilot Plant PAU, Seafast. Pelakasanaan evaluasi sensori
dilakukan di laboratorium Evaluasi Sensori PAU, Seafast. Analisis proksimat,
pengukuran kadar air dan kadar lemak dilakukan di laboratorium L3 dan Kimia
Pangan, Departemen ITP (FATETA, IPB).

Alat
Alat yang digunakan untuk pembuatan dan analisis sifat reologi batter
adalah wadah plastik, timbangan Shimadzu BX 62005, hand mixer Philip, gelas
ukur, viskometer brookfield dengan spindle nomor 3. Alat yang digunakan untuk
analisis tempe batter adalah oven, tanur, neraca analitik, kertas saring, kapas bebas
lemak, desikator, termometer, penjepit cawan (gegep), perangkat soxhlet, labu
lemak, perangkat kjeldahl, labu destilasi, kromameter Konica Minolta CR-310,
deep fat fryer Model EF-88, termometer 200oC dan Texture Profile Analyzer TAXT2i dengan probe silinder nomor 6.

Bahan
Bahan yang digunakan untuk membuat batter dan tempe batter adalah
tepung terigu segitiga biru Bogasari, pati jagung atau maizena Maizenaku, garam
Dolphin, CMC, baking powder, pati kentang dari supermarket Grand, dekstrin
dari toko Setia Guna, tepung tapioka cap Nilasari, tepung Beras Rose Brand, sagu
aren dari supermarket Grand, akuades, tempe Super Tempe, minyak goreng Sania.
Bahan yang digunakan untuk analisis sampel adalah heksana, H2SO4 pekat, HgO,
K2SO4, larutan 60% NaOH-5% Na2S2O3, H2BO3 jenuh, HCl 0.02 N, batu didih,
air destilata dan indikator phenoftalein 1% (1 gram phenoftalein dalam 100 mL
etanol).

Metodologi Penelitian
Penelitian dibagi menjadi dua tahap (Gambar 1). Tahap pertama yaitu
tahap analisis sifat reologi batter. Batter yang digunakan untuk analisis sifat
reologi diperoleh dari formulasi standar dan formulasi perlakuan pati dan tepung
(Tabel 2). Tahap kedua yaitu menganalisis karakteristik fisik dan kimia batter
yang diaplikasikan pada tempe yang kemudian digoreng dengan metode deep fat
frying pada suhu 180oC.

6

Tapung terigu, maizena, garam, CMC, baking powder,
tapioka, tepung beras, dekstrin, pati kentang, aren.

Formulasi Batter

Analisis sifat reologi batter

Aplikasi batter pada tempe
(digoreng dengan metode
deep fat frying)

Analisis karakter fisik dan
kimia tempe batter:
Coating Pick Up
Cooking Yield
Evaluasi Sensori
Analisis Warna
Analisis Tekstur
Analisis Proksimat
Analisis Kadar Air
Analisis Kadar Lemak
Analisis Statistik

Gambar 1 Tahapan Penelitian Tempe Batter

7
Pembuatan Batter
Formulasi batter diperoleh dengan perbandingan padatan dan air sebesar
3:5. Padatan pada formulasi batter terdiri dari tepung terigu dan maizena dengan
perbandingan jumlah yang sama (masing-masing 48.75%), CMC atau hidrokoloid
sebesar 1.0%, garam sebesar 1.0%, bahan pengembang atau baking powder
sebanyak 0.5%. Penambahan pati atau tepung lain pada formulasi adalah
sebanyak 5.0% (dimana sebesar 2.5% untuk menggantikan tepung terigu dan
2.5% lagi untuk menggantikan maizena). Batter yang tidak menggunakan
penambahan pati atau tepung lain digunakan sebagai kontrol. Bahan kering
dicampur dengan air pada suhu ruang 30oC 1oC dengan menggunakan hand
mixer kecepatan terendah selama 30 detik untuk memastikan semua bahan sudah
tercampur sempurna.
Tabel 2 Formulasi Batter
Tepung
Beras
Tepung Terigu 46.25 %

Pati
Kentang
46.25 %

Tapioka

Dextrin

Aren

Kontrol

46.25 %

46.25 %

46.25 % 48.75 %
46.25 % 48.75 %

Pati Jagung/
maizena

46.25 %

46.25 %

46.25 %

46.25 %

CMC
(Hidrokoloid)

1%

1%

1%

1%

1%

1%

Garam
Bahan
Pengembang
(Baking
Powder)
Pati atau
tepung lain
Jumlah

1%
0.5 %

1%
0.5 %

1%
0.5 %

1%
0.5 %

1%
0.5 %

1%
0.5 %

5.0 %

5.0 %

5.0 %

5.0 %

5.0 %

-

100 %

100 %

100 %

100 %

100 %

100 %

Persiapan Tempe
Tempe digunakan sebagai produk yang akan dilapisi dengan batter. Tempe
dipotong dengan ukuran 4x4 cm dan ketebalan 1.5 cm menggunakan pisau.
Ketebalan tempe diseragamkan dengan menggunakan mikrometer (Mitutoya,
Japan). Setiap tempe ditimbang sebelum dilapisi dengan batter.
Pelapisan dengan Batter
Tempe direndam di suspensi batter selama 10 detik kemudian ditiriskan
selama 30 detik.

8
Proses Penggorengan
Sampel tempe yang telah dilapisi batter digoreng dengan menggunakan
metode penggorengan terendam atau deep fat frying pada suhu 180oC.
Analisis Sampel
Sifat aliran dan time dependency batter dievaluasi dengan menggunakan
viskometer Brookfield. Sifat aliran batter dievaluasi dengan mengukur perubahan
shear stressseiring meningkatnya shear rate dari 0.3-60 1/s selama 300 detik.
Time dependency batter dievaluasi dengan mengukur viskositas pada shear rate
yang konstan (30 s-1 ) selama 300 detik. Selain itu, pengaruh suhu pada batter juga
dievaluasi dengan menetapkan suhu analisis batter pada 10, 15, 20, 25 dan 30oC.
Analisis pengaruh suhu pada batter dilakukan 1 jam setelah preparasi.
Setelah sampel tempe yang dilapisi dengan batter melalui proses
penggorengan, minyak yang masih tersisa di permukaan sampel dikurangi dengan
menggunakan paper towel dan ditiriskan sampai suhu ambien sebelum dilakukan
analisis.
1.Coating Pick-Up
Coating Pick-Up adalah jumlah batter atau adonan yang melekat pada
sampel setelah proses perendaman sampel pada batter (Dogan 2004). Tempe yang
telah dilapisi batter masing-masing digoreng pada waktu 3, 6, 9, 12, dan 15 menit
dan kemudian dihitung besar Coating Pick-Up. Perhitungan coating pick-up dapat
dilakukan dengan rumus:
x 100
% Coating Pick-Up=
Keterangan:
C = Berat tempe yang dilapisi dengan batter (gram)
I = Berat tempe awal sebelum dilapisi batter (gram)

2. Cooking Yield
Cooking Yield dinyatakan sebagain indikator adhesi selama proses
penggorengan terendam atau deep fat frying. Tempe yang telah dilapisi batter
masing-masing digoreng pada waktu 3, 6, 9, 12, dan 15 menit dan kemudian
dihitung besar Cooking yield dengan menggunakan rumus:
% Cooking Yield =
x 100
Keterangan:
CW= Berat tempe batter yang sudah digoreng (gram)
C= Berat tempe yang dilapisi batter sebelum digoreng (gram)
3. Analisis Sensori(BSN 2006) (Meilgard et al 2007)
Evaluasi sensori terhadap produk tempe batter dilakukan dengan
menggunakan uji rating hedonik dengan menggunakan 70 orang panelis dan 9

9
skala. Data dari hasil evaluasi sensori dianalsis dengan menggunakan analisa
perbandingan jamak (Multiple Comparation) kemudian dilakukan uji lanjut
dengan menggunakan Duncan’s Multiple Comparison. Sampel tempe batter yang
dievaluasi sensori adalah tempe batter yang matang sempurna (proses
penggorengan selama 15 menit).
4. Analisis Warna(Hutching 1999)
Sampel tempe batter dilakukan pengukuran warna dengan menggunakan
kromameter Minolta CR-10 Japan menggunakan skala warna hunter L, a, b. Nilai
L menyatakan lightness atau kecerahan dengan rentang nilai dari 0 (hitam) sampai
100 (putih). Nilai a menyatakan redness atau greenness dengan rentang nilai dari
+60 sampai -60. Nilai b menyatakan yellowness atau blueness dengan rentang
nilai dari +60 sampai -60. Analisis warna dilakukan terhadap sampel tempe batter
yang digoreng sempurna (proses penggorengan selama 15 menit).
5. Analisis Tekstur
Analisis tekstur dilakukan terhadap sampel tempe batter yang digoreng
sempurna (proses penggorengan selama 15 menit) dengan menggunakan TPA
(Texture Profile Analyzer) TA-XT2i dengan probe silinder nomor 6. Parameter
yang diperoleh dari hasil pengukuran adalah hardness, fracturability, elasticity
dancohessiveness.
6. Analisis Kadar Air Metode Oven (AOAC 2005)
Sampel yang dianalisis kadar airnya adalah sampel tempe batter dengan
semua perlakuan pati dan tepung yang masing-masing digoreng selama 3, 6, 9, 12,
15 menit. Langkah pertama untuk analisis kadar air adalah dengan mengeringkan
cawan alumunium dalam oven selama 15 menit kemudian didinginkan dalam
desikator selama 10 menit dan ditimbang (A). Sebanyak 1-2 gram sampel (B)
ditempatkan ke dalam cawan kemudian dikeringkan dalam oven suhu 105oC
selama 6 jam. Setlah di oven selama 6 jam, cawan dipindahkan ke dalam desikator
dan didinginkan selama 15 menit kemudian ditimbang. Kadar air contoh dapat
dihitung dengan persamaan berikut :
Kadar Air (%bb)=
Kadar Air (%bk)=
Keterangan :
bb = basis basah
bk = basis kering
A= Bobot wadah setelah dioven (gram)
B= Bobot sampel awal (gram)
C= Bobot sampel+cawan porselen setelah dioven (gram)

10
7. Analisis Kadar Lemak(AOAC 2005)
Sampel yang dianalisis kadar lemaknya adalah sampel tempe batter
dengan semua perlakuan pati dan tepung yang masing-masing digoreng selama 3,
6, 9. 12, 15 menit. Langkah analasis lemak adalah dengan menimbang sebanyak
2-5 gram sampel dimasukkan ke dalam kertas saring kemudian dikeringkan dalam
oven bersuhu 105°C hingga kering. Kertas saring yang telah dikeringkan
dimasukkan ke dalam selongsong dengan sumbat kapas. Selongsong kemudian
dimasukan ke dalam alat ekstraksi soxhlet dan dihubungkan dengan kondensor
dan labu lemak. Alat kondensor diletakkan di atasnya dan labu lemak yang telah
ditimbang beratnya diletakkan di bawahnya. Pelarut hexana dimasukan ke dalam
labu lemak secukupnya. Kemudian, dilakukan ekstraksi selama 6 jam. Pelarut
yang ada dalam labu lemak didestilasi dan ditampung kembali. Labu lemak yang
berisi lemak hasil ekstraksi dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC,
didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Pengeringan diulangi hingga
mencapai berat tetap. Kadar lemak dapat diperoleh dengan persamaan berikut :
Kadar Lemak (%bb)=
Kadar Lemak (%bk)=
Keterangan:
W : Bobot sampel (gram)
W1: Bobot labu+ lemak (gram)
W2: Bobot labu (gram)
8. Analisis Proksimat
Analisis proksimat terdiri dari analisis kadar air metode oven (AOAC
2005) seperti yang dijelaskan pada point 6 di atas, analisis kadar lemak (AOAC)
seperti yang dijelaskan pada point 7 di atas, analisis kadar abu (AOAC 2005),
analisis protein dengan metode Kjeldahl (AOAC 2005) dan analisis karbohidrat
menggunakan metode by difference. Sampel tempe batter yang diuji proksimat
adalah tempe batter dengan formulasi yang paling diterima oleh panelis
berdasarkan uji sensori.
Analisis kadar abu menggunakan metode AOAC 2005. Pertama-tama,
cawan porselen dan tutupnya dikeringkan di dalam oven selama 15 menit, lalu
didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sebanyak 2-3 gram sampel (B)
dimasukkan ke dalam cawan, kemudian dibakar hingga tidak berasap. Kemudian,
dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600oC selama 4-6 jam
hingga terbentuk abu berwarna putih dan memiliki bobot konstan. Abu berserta
cawan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang (C).
Kadar abu contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut:
Kadar Abu (%bb)=
Kadar Abu (%bk)=
Keterangan:
A= Bobot cawan porselen (gram)

11
B= Bobot sampel awal (gram)
C= Bobot sampel+cawan porselen setelah ditanur (gram)
Analisis protein dilakukan dengan menggunakan metode Kjeldahl (AOAC
2005). Analisis kadar protein dilakukan dengan 3 tahap, yaitu penghancuran,
destilasi dan titrasi.Tahap penghancuran dilakukan dengan menimbang sebanyak
0,1-0.25 gram sampel kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl, lalu
ditambahkan 1.0 ± 0.1 gram K2SO4, 40 ± 10 ml HgO, 2.0 ± 0.1 ml H2SO4dan 2-3
butir batu didih. Sampel didihkan dengan kenaikan suhu bertahap sampai cairan
jernih kemudian didinginkan.
Tahap selanjutnya adalah tahap destilasi, pada tahap ini air destilata
ditambahkan dalam jumlah kecil secara perlahan melalui dinding labu dan
digoyang perlahan agar kristal yang terbentuk dapat larut kembali. Kemudian,isi
labu dipindahkan ke dalam alat destilasi dan labu dibilas sebanyak lima sampai
enam kali dengan 1-2 ml air destilata. Air bilasan labu dipindahkan ke labu
destilasi dan ditambahkan 8-10 ml larutan 60% NaOH- 5% Na2SO3. Erlenmeyer
250 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator red-metilen blue,
diletakkan dibawah kondensor. Sampel didestilasi sampai diperoleh sekitar 15 ml
destilat dan dilanjutkan pada tahap titrasi.
Tahap ketiga dalam analisis protein dengan metode Kjeldahl adalah tahap
titrasi, pada tahap ini dilakukan standarisasi larutan HCl 0.02 N terlebih dahulu.
Larutan HCl 0.02 N sebanyak 25 ml dipipet kedalam erlenmeyer 250 ml, lalu
ditambahkan 2-3 tetes indikator fenolftalein 1%. Larutan HCl 0.02 N dititrasi
dengan NaOH 0.02 N yang telah distandarisasi, sehingga dapat diketahui volume
NaOH yang diperlukan untuk titrasi hingga menyebabkan perubahan warna
larutan menjadi merah muda. Normalitas (N) larutan HCl dapat dihitung
menggunakan rumus:
N HCl = (ml NaOH) x (N NaOH)
ml HCl
Setelah dilakukan standarisasi larutan HCl 0.02 N, destilat diencerkan
hingga kira- kira 50 ml, kemudian dipindah ke dalam erlenmeyer. Destilat dititrasi
dengan HCl 0.02 N yang telah distandarisasi sampai terjadi perubahan warna
menjadi abu-abu sehingga diperoleh volume HCl 0.02 N yang diperlukan untuk
titrasi. Selain itu, dengan prosedur yang sama juga dilakukan penetapan volume
HCl standar yang digunakan untuk titrasi blanko. Kadar protein contoh dapat
dihitung menggunkaan rumus berikut:
% N = (ml HCl contoh – ml HCl blanko) x N HCl x 14,007 x 100
mg contoh
Kadar protein (% bb) = % N x Faktor konversi
9. Analisis Statistik
Data yang diperoleh dari masing-masing analisis diolah dengan
menggunakan ANOVA untuk menentukan perbedaan kualitas yang signifikan
antar sampel yang menggunakan batter dengan perlakuan penambahan jenis pati

12
dan tepung yang berbeda pada formulasinya. Rancangan percobaan yang
digunakan adalah rancangan faktorial. Jika terdapat data yang berbeda nyata antar
perlakuan, maka dilakukan uji lanjut Duncan’s Multiple Comparison Test (p
0.05) (SAS 1988).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengukuran Steady Shear

Shear Stress (Pa)

Sifat aliran batter dapat diketahui dengan berubahnya shear stress dan
shear rate pada suhu yang tetap. Batter tergolong ke dalam cairan non-Newtonian.
Reogram batter dengan perlakuan penambahan pati dan tepung (tepung beras, pati
kentang, tapioka, sagu aren dan dekstrin) pada formula dasar batter dapat dilihat
pada gambar 2a-2e. Formula batter yang digunakan sebagai kontrol hanya
berbahan dasar tepung terigu dan pati jagung tanpa penambahan pati atau tepung
lain. Pengukuran steady shear batter dilakukan dengan menyiapkan batter yang
terdiri dari campuran tepung terigu dan pati jagung pada suhu 10, 15, 20, 25 dan
30oC, setelah satu jam persiapan sampel untuk memastikan pengembangan
sempurna dari granula pati. Data reogram pengukuran steady shear batter
diplotkan menjadi shear stress dan shear rate (0.3 sampai 60 s-1) seperti yang
terdapat pada gambar 2a-2e. Berdasarkan hasil pengukuran, semua batter dari
masing-masing formulasi menunjukkan sifat pseudoplastik. Substitusi tepung atau
pati lain sebanyak 5% terhadap tepung terigu dan pati jagung akan menyebabkan
peningkatan ataupun penurunan shear stress pada shear rate dan suhu yang sama.
Pengukuran shear stress batter dengan penambahan pati dan tepung pada suhu
rendah yaitu pada suhu 10oC menunjukkan bahwa batter tersebut memiliki shear
stress yang lebih tinggi dari kontrol, kecuali batter dengan penambahan pati sagu
aren dan dekstrin. Batter dengan penambahan tepung beras selalu meningkatkan
nilai shear stress pada setiap perlakuan suhu.
50
RICE
POTATO
40
TAPIOCA
30
DEXTRIN
20
SAGO
CONTROL
10
0
0
20
40
60
80
Shear Rate (1/s)

(a) Flow Behaviour: Shear rate and shear rate 30oC

Shear Stress (Pa)

13
50

CONTROL

40

RICE
POTATO

30

TAPIOCA

20

DEXTRIN

10

SAGO

0
0

20

40
Shear Rate (1/s)

60

80

Shear Stress (Pa)

(b) Flow Behaviour: Shear rate and shear rate 25oC
50
CONTROL

40

RICE
POTATO

30

TAPIOCA

20

DEXTRIN
SAGO

10
0
0

10

20

30

40

50

60

70

Shear Rate (1/s)

(c) Flow Behaviour: Shear rate and shear rate 20oC
Shear Stress (Pa)

60

CONTROL
RICE

40

POTATO
TAPIOCA
DEXTRIN

20

SAGO

0
0

20

40

60

80

Shear Stress (1/s)

Shear Stress (Pa)

(d) Flow Behaviour: Shear rate dan shear rate 15oC
60

CONTROL
RICE
POTATO

40

TAPIOCA
DEXTRIN

20

SAGO

0
0

20

40

60

80

Shear Stress (1/s)

Gambar

(e) Flow Behaviour: Shear rate and shear rate 10oC
2 Reogram Batter yang Terbuat dari Campuran Berbagai
Tepung pada Suhu: (a) 30°C; (b) 25°C; (c) 20°C; (d) 15°C
dan (e) 10°C.

Berdasarkan data di atas, shear stress akan meningkat seiring dengan
meningkatnya shear rate. Batter dengan formulasi penambahan pati dan tepung
pada suhu 30oC menunjukkan bahwa batter dengan penambahan tepung beras

14
memiliki nilai shear stress tertinggi, sedangkan pada suhu 25oC batter dengan
penambahan tapioka memiliki nilai shear stress tertinggi, begitu pula pada suhu
20oC, 15oC dan 10oC batter dengan penambahan tapioka memiliki nilai shear
stress tertinggi.

Viskositas Batter
Viskositas semua jenis batter yang diplotkan pada masing-masing
perlakuan suhu menunjukkan semakin tinggi suhu, maka viskositas batter semakin
rendah (Gambar 3a-3e). Viskositas menurun dengan meningkatnya suhu dan
shear rate. Penurunan viskositas dengan meningkatnya shear rate menunjukkan
bahwa batter mengalami fenomena shear-thinning, sehingga sifat aliran batter
dapat dimodelkan dengan menggunakan rumus Power Law, yaitu σ = K (γ)n,
dimana σ = shear stress (Pa), γ = shear rate (s-1), K = consistency coefficient
(Pa.sn), dan n = flow behaviour index. Batter dengan semua perlakuan
penambahan pati dan tepung dapat dimodelkan dengan menggunakan rumus
Power Law (r2 = 0.967 – 0.999). Nilai koefisien konsistensi batter berbahan dasar
tepung terigu dan pati jagung tanpa penambahan pati dan tepung lain pada suhu
30oC memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan batter yang dilakukan
penambahan pati dan tepung lain ke dalam formulasinya (Tabel 3). Berdasarkan
hasil yang diperoleh, batter dengan penambahan pati dan tepung lain
menunjukkan hasil yang lebih mendekati sifat Newtonian karena nilai n
(behaviour index) mendekati 1, seperti pada batter dengan formulasi penambahan
tepung beras (n=0.607).
Viskositas batter dipengaruhi oleh water bonding capacity dari ingredieningredien kering penyusunnya. Contohnya adalah tepung beras yang mampu
mengikat air lebih banyak dibandingkan dengan pati dan tepung lainnya. Hal
tersebut ditunjukkan dengan viskositas batter dengan penambahan tepung beras
memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan batter lainnya. Penyerapan air yang
tinggi sangat dipengaruhi oleh kandungan amilosa-amilopektinnya. Semakin
tinggi penyerapan air, maka semakin tinggi pula kandungan protein terlarut pada
tepung (Mc Watters 1978). Penambahan sagu aren dan dekstrin tidak mengubah
viskositas (Tabel 3). Selain itu, hal-hal yang dapat memengaruhi viskositas batter
adalah kelarutan dari ingredien kering dan berat molekul serta asosiasi struktur
molekul (Meyers 1989). Secara alami, dekstrin tidak memiliki granula, sehingga
daya serap air yang dihasilkan oleh dekstrin lebih rendah dibandingkan dengan
pati dan tepung lainnya, sehingga formulasi batter dengan penambahan dekstrin
memiliki lebih banyak air bebas yang menyebabkan viskositas batter memiliki
nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan viskositas batter dengan perlakuan
lainnya.

15
Apparent Viscosity
(mPa.s)

10000

RICE
POTATO
TAPIOCA

5000

DEXTRIN
SAGO
CONTROL

0
0

20

40

60

80

Shear Rate (1/s)

(a) Flow Behaviour: Shear rate and apparent viscosity
30oC
Apparent Viscosity
(mPa.s)

10000

RICE
POTATO
TAPIOCA

5000

DEXTRIN
SAGO
CONTROL

0
0

20

40

60

80

Shear Rate (1/s)

(b): Flow Behaviour: Shear rate and apparent viscosity
25oC
Apparenrt Viscosity
(mPa.s)

10000

RICE
POTATO
TAPIOCA

5000

DEXTRIN
SAGO
CONTROL

0
0

20

40

60

80

Shear Rate (1/s)

(c) Flow Behaviour: Shear rate and apparent viscosity
20oC
Apparent Viscosity
(mPa.s)

10000

RICE
POTATO
TAPIOCA
DEXTRIN
SAGO
CONTROL

5000
0
0

20

40

60

Shear Rate (1/s)

(d) Flow Behaviour: Shear rate and apparent
viscosity15oC

80

16
Apparent Viscosity
(mPa.s)

10000
RICE
POTATO
TAPIOCA

5000

DEXTRIN
SAGO
CONTROL

0
0

20

40

60

80

Shear Rate (1/s)

(e) Flow Behaviour: Shear rate and apparent viscosity
10oC
Gambar 3 Viskositas Batter yang Terbuat dari Campuran Tepung pada
Suhu: (a) 30°C; (b) 25°C; (c) 20°C; (d) 15°C dan (e) 10°C.
Berdasarkan hasil di atas, viskositas batter menurun dengan meningkatnya
shear rate. Pengukuran pada suhu yang berbeda memberikan hasil yang berbeda
pula. Viskositas batter dengan berbagai formulasi tidak jauh berbeda pada suhu
30oC, sedangkan pada suhu 25oC dan 20oC batter dengan formulasi penambahan
tapioka memiliki nilai viskositas tertinggi dibandingkan dengan batter lainnya.
Batter dengan perlakuan penambahan tepung beras pada suhu 15oC dan 10oC
memiliki nilai viskositas yang tidak jauh berbeda dengan batter yang
menggunakan perlakuan penambahan tapioka, kedua batter dengan perlakuan
penambahan pati dan tepung tersebut memiliki nilai viskositas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan batter lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa batter
dengan penambahan tapioka dan tepung beras memiliki viskositas yang lebih
stabil pada pengukuran diberbagai perlakuan suhu. Semua batter menunjukkan
sifat aliran pseudoplastik karena viskositas menurun dengan meningkatnya shear
rate. Fenomena ini disebut dengan fenomena shear-thinning.
Power-Law model merupakan model yang tepat untuk mengetahui sifat
aliran dari batter. Ketika rumus Power-Law dilinearkan serta Ln σ dan Ln γ
diplotkan, maka nilai n (flow behavior index) dan nilai K (indeks konsistensi) dari
batter dapat diketahui dari slope (kemiringan) dan intersep. Nilai konsistensi (K)
dan flow behaviour (n) adalah parameter yang diperlukan untuk
mengklasifikasikan jenis aliran, dimana viskositas memiliki nilai yang berbeda
(khususnya cairan Non-Newtonian) pada shear stress dan shear rate yang berbeda.
Nilai n yang semakin kecil menunjukkan bahwa cairan tersebut bersifat
pseudoplastik, sedangkan nilai n yang semakin besar menunjukan bahwa cairan
semakin bersifat dilatan. Viskositas aliran dari cairan non-Newtonian dapat dilihat
berdasarkan nilai K, dimana semakin besar nilai K menunjukkan bahwa semakin
tinggi nilai viskositasnya.

17
Tabel 3 Parameters Power-Law (K = consistency coefficient, n = flow behaviour
index) Batter yang dibuat dari Campuran Tepung pada Rentang Shear
Rate 0.3 sampai 60 s-1 pada Suhu 10, 15, 20, 25 dan 30°C.
Perlakuan Penambahan
Pati dan Tepung Lain
Tepung Beras

Pati Kentang

Tapioka

Dekstrin

Sagu Aren

Kontrol

Suhu (°C)
30
25
20
15
10
30
25
20
15
10
30
25
20
15
10
30
25
20
15
10
30
25
20
15
10
30
25
20
15
10

K(Pa.sn)
2.86
2.86
2.63
3.43
3.39
2.69
1.34
1.41
1.35
1.74
2.68
2.94
2.99
3.30
3.31
1.79
1.41
1.42
2.08
2.10
2.11
1.30
1.40
1.33
1.29
3.64
1.29
1.24
1.24
1.62

N
0.595
0.574
0.607
0.595
0.596
0.614
0.505
0.511
0.559
0.488
0.59
0.639
0.643
0.653
0.648
0.606
0.655
0.657
0.565
0.56
0.582
0.524
0.537
0.575
0.532
0.518
0.591
0.587
0.633
0.563

r2
0.986
0.988
0.996
0.991
0.987
0.996
0.981
0.996
0.994
0.976
0.990
0.990
0.995
0.992
0.992
0.994
0.997
0.999
0.987
0.986
0.989
0.972
0.984
0.995
0.967
0.995
0.990
0.978
0.990
0.971

18
Kadar Air Tempe Batter
Proses penggorengan menyebabkan penurunan kadar air produk pangan
karena air yang berada pada permukaan maupun bagian dalam produk mengalami
proses evaporasi. Pengukuran kadar air dilakukan pada tempe batter dengan
perlakuan penambahan pati dan tepung, masing-masing pada waktu penggorengan
3, 6, 9, 12, dan 15 menit. Semakin lama waktu penggorengan, maka kadar air
produk pangan akan semakin menurun (Gambar 4). Kadar air tempe yang dilapisi
oleh batter dengan formulasi dasar atau kontrol memiliki nilai yang paling kecil
dibandingkan dengan sampel lainnya, sedangkan tempe yang dilapisi oleh batter
dengan perlakuan penambahan dekstrin memiliki kadar air yang paling tinggi di
antara semua sampel. Target produk akhir yang diinginkan adalah produk yang
bagian dalamnya tidak terlalu kering agar menghasilkan tekstur dalam produk
yang juicy, jadi produk yang terlalu kering atau terlalu basah tidak diinginkan.
Kadar air tempe batter dengan perlakuan penambahan tepung beras, tapioka, sagu
aren dan pati kentang memiliki kadar air produk akhir yang nilainya sama, yaitu
lebih tinggi dari kontrol dan lebih rendah dari perlakuan penambahan dekstrin.
Tempe batter kontrol mengalami kehilangan air paling besar diantara tempe batter
lainnya, hal ini berarti bahwa batter dengan formulasi kontrol memiliki
kemampuan melapisi produk yang kurang baik. Penambahan pati dan tepung
dapat meningkatkan daya pelapisan batter terhadap produk dan dapat menurunkan
kehilangan air berlebih pada produk. Hal ini dapat berhubungan dengan viskositas
batter dengan perlakuan penambahan tepung beras dan tapioka memiliki nilai
yang lebih tinggi dibandingkan dengan batter kontrol, sehingga batter dengan
penambahan tapioka dan tepung beras memiliki daya pelapisan yang lebih baik
terhadap produk.

Gambar 4 Kadar Air Tempe Batter dengan Perlakuan Penambahan Pati dan
Tepung pada Waktu Penggorengan 3, 6, 9, 12 dan 15 menit.
Kadar air tempe batter dengan berbagai formulasi belum menunjukkan
perbedaan yang signifikan karena penambahan pati atau tepung ke dalam
formulasi batter hanya sebesar 5%. Selain itu, perlu juga untuk menambahkan
ingredien lain ke dalam formulasi untuk mendapatkan hasil yang berbeda secara
signifikan, misalnya dengan menambahkan beberapa jenis protein seperti protein
albumin telur dan isolat protein kedelai. Protein dapat menurunkan migrasi atau
perpindahan uap air karena protein mampu mengikat air dan memiliki

19
kemampuan emulsifikasi yang dihasilkan dari sisi hidrofilik dan lipofilik dari
rantai protein (Mohamed et al 1998).

Kadar Lemak Tempe Batter
Pengukuran kadar lemak dilakukan pada tempe batter dengan perlakuan
penambahan pati dan tepung, masing-masing pada waktu penggorengan 3, 6, 9,
12, dan 15 menit. Semakin lama waktu penggorengan, maka penyerapan minyak
goreng ke dalam produk pangan akan semakin meningkat. Penyerapan minyak
goreng ke dalam produk dapat dilihat dari kadar lemaknya. Kadar lemak yang
rendah menunjukkan kemampuan batter dalam mencegah penyerapan minyak
berlebih ke dalam produk selama proses penggorengan. Jika penyerapan minyak
berlebih ke dalam produk dapat dicegah, kadar air bahan pangan dapat
dipertahankan, sehingga produk tidak terlalu kering. Penambahan tepung beras ke
dalam formulasi batter mampu menurunkan penyerapan minyak goreng selama
proses penggorengan. Hal ini ditunjukkan oleh kadar lemaknya yang lebih rendah
dibandingkan tempe dengan formulasi batter lainnya (Gambar 5). Penambahan
tepung beras pada batter mampu membentuk crust yang dapat menjadi pembatas
atau barrier untuk mencegah kehilangan air, sehingga dapat mencegah
penyerapan minyak ke dalam produk (Shih dan Daigle 1999). Tepung beras
memiliki kemampuan untuk mengikat air yang tinggi sehingga dapat
mengendalikan kehilangan air pada produk. Oleh sebab itu, penyerapan minyak
ke dalam produk dapat dicegah. Viskositas tepung beras yang tinggi juga efektif
untuk mencegah penyerapan minyak berlebih ke dalam produk (Saguy 2003).
Tempe yang dilapisi batter dengan penambahan pati kentang memiliki
kadar lemak tertinggi dibandingkan semua tempe dengan formulasi batter lainnya
(Gambar 5). Hal ini dapat disebabkan oleh granula pati kentang yang berukuran
besar sehingga sulit larut dalam suspensi batter yang menyebabkan viskositas
batter dengan penambahan pati kentang ini memiliki nilai yang rendah, dengan
demikian persentase coating pick-up juga rendah. Oleh sebab itu, batter dengan
penambahan pati kentang tidak mampu melapisi produk dengan baik atau menjadi
barrier yang baik bagi produk, sehingga produk kehilangan banyak air dan
meningkatkan penyerapan minyak.

Gambar 5 Kadar Lemak Tempe Batter dengan Perlakuan Penambahan
Pati dan Tepung pada Waktu Penggorengan 3, 6, 9, 12 dan
15 menit.

20
Pengukuran Coating Pick-Up Batter

Coating Pick Up (%)

Jumlah batter yang melekat pada sampel setelah proses perendaman
sampel pada batter dinyatakan sebagai coating pick-up yang dinyatakan dalam
persen (%). Persentase coating pick-up batter dengan berbagai perlakuan
penambahan pati dan tepung yang digoreng selama 3, 6, 9, 12 dan 15 menit tidak
berbeda secara signifikan, yaitu berada dikisaran 1-2% (Gambar 6). Coating pickup erat kaitannya dengan viskositas batter. Semakin rendah viskositas batter,
maka persentase coating pick-up akan semakin rendah. Peresentase coating pickup yang rendah, akan menyebabkan menurunnya kemampuan batter untuk
mencegah oil uptake berebih selama proses penggorengan. Batter dengan
viskositas yang tinggi diharapkan memiliki coating pick-up yang tinggi pula,
sehingga dapat mencegah penyerapan minyak berlebih ke dalam produk (Sahin et
al 2005). Viskositas batter yang tertinggi adalah batter dengan perlakuan
penambahan tepung beras dan t