Penguatan Pengelolaan Taman Nasional Melalui Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pengembangan Peternakan Ruminansia

PENGUATAN PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL
MELALUI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BERBASIS
PENGEMBANGAN PETERNAKAN RUMINANSIA

AHMAD SAHAB

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penguatan Pengelolaan
Taman Nasional Melalui Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pengembangan
Peternakan Ruminansia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Ahmad Sahab
NIM E151110111

RINGKASAN
AHMAD SAHAB. Penguatan Pengelolaan Taman Nasional Melalui
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pengembangan Peternakan Ruminansia.
Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN dan MULADNO.
Diperlukan pemberdayaan masyarakat dalam upaya pengelolaan TNGHS
secara kolaboratif untuk mencapai tujuan kelestarian hutan dan kesejahteraan
masyarakat lokal. Tujuan dari penelitian ini yaitu: 1) mengukur potensi tumbuhan
pakan ternak di kawasan TNGHS; 2) mengkaji potensi sumber daya manusia
masyarakat lokal dalam pengelolaan taman nasional dan pengembangan
peternakan ruminansia; 3) mengkaji pemanfaatan tumbuhan pakan ternak oleh
masyarakat di TNGHS; 4) merumuskan strategi pemberdayaan masyarakat yang
mengintegrasikan antara pengelolaan taman nasional bersama masyarakat dengan
pengembangan usaha ternak masyarakat secara profesional. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Februari–Mei 2015 di kawaan TNGHS Resort Kawah
Ratu wilayah administrasi Kecamatan Cicurug Kabupaten Sukabumi dan 4

kampung yang berbatasan dengan TNGHS wilayah Resort Kawah Ratu yaitu:
Kampung Kuta Desa Kutajaya, Kampung Cikurutug Desa Pasawahan, Kampung
Cipari Girang Desa Tenjolaya, dan Kampung Cileeur Desa Cisaat Kecamatan
Cicurug Kabupaten Sukabumi. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara
semi-terstruktur, FGD, serta pengamatan dan pengukuran di lapangan.
Wawancara dilakukan terhadap 30 orang peternak yang dipilih secara purpossive.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas wilayah TNGHS Resort Kawah
Ratu Kecamatan Cicurug yang menjadi sumber pakan ternak masyarakat sekitar
adalah 201.95 ha. Tutupan lahan berupa hutan sekunder, tegakan agathis, tegakan
kaliandra, dan semak belukar. Areal tersebut berada di zona rimba, zona
tradisional, dan zona rehabilitasi. Total potensi pakan pada areal tersebut adalah
5880.42 ton/tahun dengan daya tampung sebesar 938.20 satuan ternak per tahun
dan nilai ekonomi sebesar Rp12.196.639.702 per tahun. Sebagian besar peternak
memiliki karakteristik usia produktif, pendidikan rendah, tingkat penghasilan di
bawah UMK Sukabumi, pengalaman beternak lebih dari 10 tahun. Modal sosial
masyarakat di lokasi penelitian tergolong sedang. Tingkat kesediaan berpartisipasi
dalam pengelolaan TNGHS dan pengembangan peternakan ruminansia tinggi.
Ketergantungan terhadap sumber daya TNGHS tinggi, terutama sebagai sumber
air. Volume pakan ternak yang dimanfaatkan masyarakat saat ini mencapai
24.20% dari total potensi yang ada. Strategi yang paling tepat dalam

pemberdayaan masyarakat berbasis pengembangan peternakan ruminansia adalah
strategi Strength-Opportunity, yaitu menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk
memanfaatkan peluang yang ada secara optimal. Integrasi antara konsep Model
Kampung Konservasi dan Sekolah Peternakan Rakyat dapat menjadi alternatif
konsep pemberdayaan masyarakat sekitar taman nasional berbasis pengembangan
peternakan ruminansia di desa-desa sekitar TNGHS.
Kata kunci: Gunung Halimun Salak National Park, pemberdayaan masyarakat,
potensi tumbuhan pakan ternak, peternakan ruminansia

SUMMARY
AHMAD SAHAB. Strengthening National Park Management through Ruminant
Husbandry based–Community Empowerment. Supervised by DUDUNG
DARUSMAN and MULADNO
It is necessary to empower local community in Gunung Halimun Salak
National Park (GHSNP) management to obtain the goals of national park
sustainability and community’s welfare. This study was aimed to: 1) measure the
potency of forage in GHSNP; 2) to analyze the potency of local community
resources in GHSNP management and ruminant husbandry; 3) to analyze the
utility of foreges by local community; 4) to formulate strategy of local community
empowerment in GHSNP management based on the development of ruminant

husbandry. This study was conducted in February – May 2015 in four sub-villages
that adjoin with GHSNP namely Kuta, Cikurutug, Cipari Girang, and . The data
collected were the potency of forage in GHSNP, characteristics of breeders,
forages utilized by local communitCileueur. The method used was interview,
focus group discussion, field observation and measurement.
The result shows that the area where local community utilized fodder plant
in GHSNP is 201.95 ha with land cover consist of secondary forest, agathist
stands, calliandra stands, and shrubs. The area covers rimba zone, traditional zone,
and rehabilitation zone. The total of forage potency is 5880.42 ton/year with
carrying capacity of 938.20 livestock unit per year and economic value IDR
12.196.639.702 per year. Most of breeders have characteristic of productive age,
low education level, low income, and more than 10 years of farming experience.
The total of forage currently utilized by local community is 24.20% of the total
potency. The SWOT analysis shows that the most appropriate strategy for the
local community empowerment is SO strategy e.g. increasing the strength to reach
the opportunity. The local community has middle social capital. Level of
willingness to participate is high. The dependency to GHSNP is high particularly
for water resources. The total of forage currently utilized is 24.20% of the total
potency. Based on SWOT analisys the most appropriate strategy for local
community empowerment is Strength-Opportunity e.g to use the power to obtain

the opportunity. Integration of Model Kampung Konservasi and Sekolah
Peternakan Rakyat may be an alternative strategy for ruminant husbandy basedlocal community empowerment.
Keywords:

Gunung Halimun Salak National Park, local community
empowerment, potency of natural forage, ruminant husbandry

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGUATAN PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL
MELALUI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BERBASIS
PENGEMBANGAN PETERNAKAN RUMINANSIA


AHMAD SAHAB

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Nandi Kosmaryandi, MScF

Judul Tesis : Penguatan Pengelolaan Taman Nasional Melalui Pemberdayaan
Masyarakat Berbasis Pengembangan Peternakan Ruminansia
Nama
: Ahmad Sahab

NIM
: E151110111

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Dudung Darusman, MA
Ketua

Prof Dr Ir Muladno, MSA
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi S2
Ilmu Pengelolaan Hutan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Tatang Tiryana, S Hut, MSc


Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:
15 Agustus 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2015 ini ialah
pemberdayaan masyarakat, dengan judul Penguatan Pengelolaan Taman Nasional
Melalui Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pengembangan Peternakan
Ruminansia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Dudung Darusman,
MA dan Bapak Dr Ir Muladno, MSA selaku dosen pembimbing, serta Bapak Dr Ir
Nandi Koesmaryandi, MScF yang telah banyak memberi saran. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Balai TNGHS beserta staf, Kepala
Desa Kutajaya, Desa Pasawahan, Desa Tenjolaya, dan Desa Cisaat Kecamatan

Cicurug Kabupaten Sukabumi beserta masyarakat yang telah membantu selama
pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu,
mertua, istri serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015
Ahmad Sahab

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

viii


1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Kerangka Pemikiran
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
3
4
6
6

2 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Jenis Data dan Instrumen Penelitian
Analisis data kuantitatif

Analisis data kualitatif

8
8
8
9
9
10

3 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Desa Kajian

13
13
16

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi Tumbuhan Pakan Ternak
Karakteristik Peternak
Modal Sosial
Ketergantungan masyarakat terhadap TNGHS
Kesediaan berpartisipasi
Pemanfaatan tumbuhan pakan ternak
Strategi pemberdayaan masyarakat sekitar TNGHS

19
19
23
28
35
37
39
40

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

44
44
45

DAFTAR PUSTAKA

45

LAMPIRAN

50

RIWAYAT HIDUP

58

DAFTAR TABEL
1
2

Nilai kelas masing-masing variabel penelitian
Sejarah pengelolaan TNGHS

11
14

3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

26
27
28

Nama kampung dan jaraknya ke TNGHS
Jumlah penduduk dan persentase suku di masing-masing desa
Jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaan
Populasi ternak di desa lokasi penelitian
Jumlah spesies tumbuhan pakan ternak pada berbagai tutupan lahan
Luas dan produktivitas HMT tutupan lahan TNGHS yang menjadi
sumber pakan ternak masyarakat
Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin, agama, dan suku
Jumlah peternak berdasarkan kelompok usia
Jumlah responden berdasarkan tingkat pendidikan
Jumlah responden berdasarkan asal penduduk
Jumlah responden berdasarkan lama menetap di kampung
Jumlah responden berdasarkan penghasilan per bulan
Jumlah responden berdasarkan pengalaman beternak ruminansia
Jumlah responden berdasarkan jenis ternak yang dipelihara
Skor dan tingkat kepercayaan masyarakat di masing-masing lokasi
penelitian
Skor unsur jaringan sosial masyarakat di kampung-kampung sekitar
TNGHS
Skor unsur norma sosial masyarakat di kampung-kampung sekitar
TNGHS
Skor unsur tindakan proaktif masyarakat di kampung-kampung sekitar
TNGHS
Skor unsur kepedulian terhadap lingkungan masyarakat di kampungkampung sekitar TNGHS
Skor unsur kepedulian terhadap sesama masyarakat di kampungkampung sekitar TNGHS
Tingkat modal sosial masyarakat di sekitar TNGHS
Jumlah responden berdasarkan hasil hutan dan produk jasa lingkungan
TNGHS yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar
Kesediaan masyarakat berpartisipasi dalam pengelolaan TNGHS
kolaboratif dan pengembangan peternakan ruminansia di kampung
sekitar TNGHS
Jumlah peternak yang mengambil pakan ternak dan total volume pakan
yang dimanfaatkan dari TNGHS
Faktor internal dan nilai pengaruhnya
Faktor-faktor ekternal dan nilai pengaruhnya

16
17
17
18
22
23
24
24
25
25
26
27
27
28
29
30
31
32
33
34
35
35

38
40
41
43

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

Kerangka pemikiran penelitian
Peta lokasi penelitian
Petak contoh analisis vegetasi
Diagram SWOT strategi pengembangan silvopastura di TNGHS
Peta batas administratif Kecamatan Cicurug
Sistem pemeliharaan ternak secara intensif

7
8
10
13
17
19

7

Tutupan lahan di area pemanfaatan tumbuhan pakan ternak: hutan
sekunder (a), tegakan agathis (b), semak belukar (c), tegakan kaliandra
(d)
8 Lokasi pemanfaatan tumbuhan pakan ternak dalam zonasi TNGHS
9 Grafik jenis pekerjaan yang dijalankan oleh masyarakat
10 Bak penampungan air yang digunakan oleh masyarakat sekitar TNGHS
11 Pohon agathis yang rusak akibat disadap dengan cara sembarangan
12 Posisi nilai faktor internal dan eksternal dalam diagram strategi

20
21
26
36
37
44

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Konversi satuan ternak (Rohani et. al 2011)
Variabel, indikator, dan kategori modal sosial
Jenis tumbuhan yang digunakan sebagai pakan ternak
Jenis tumbuhan yang digunakan sebagai pakan ternak (lanjutan)
Jenis tumbuhan yang digunakan sebagai pakan ternak (lanjutan)
Matriks strategi SO dan WO hasil analisis SWOT
Matriks strategi ST dan WT hasil analisis SWOT

51
52
53
54
55
56
57

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Luasnya kawasan hutan Indonesia disertai juga dengan tingginya populasi
penduduk yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Hasil identifikasi desa
hutan yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan dan Badan Pusat Statistik
tahun 2007 dan 2009 menunjukkan bahwa terdapat 25.863 desa yang berada di
dalam dan sekitar kawasan hutan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia
selain DKI Jakarta. Jumlah penduduk yang tinggal di desa-desa tersebut adalah
sekitar 37.7 juta jiwa atau sekitar 16.31% dari total penduduk Indonesia.
Sebanyak 10.2 juta jiwa di antaranya merupakan masyarakat miskin/tertinggal
(Kemenhut 2010). Sunderlin (2000) memperkirakan terdapat sekitar 20 juta jiwa
penduduk yang tinggal di desa-desa sekitar hutan. Dari jumlah tersebut, sekitar 6
juta jiwa menggantungkan sebagian besar penghidupannya pada sumber daya
hutan.
Letak desa yang terisolir, sulitnya akses transportasi, serta rendahnya
tingkat pendidikan dan perekonomian mendorong masyarakat memanfaatkan
sumber daya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kondisi tersebut
menyebabkan masyarakat menjadi kelompok yang paling tinggi interaksinya
dengan hutan sehingga berpotensi menjadi pelestari hutan atau sebaliknya,
pemanfaatan yang berlebihan dan tak terkendali dapat mengakibatkan deforestasi
dan degradasi hutan. Beberapa contoh masyarakat desa hutan yang mampu
mengelola sumber daya hutan dengan baik yaitu: repong damar di Lampung
(Wijayanto 2002), simpukng (Mulyoutami et al. 2009), Dayak Benuaq di
Kalimantan Timur (Hendra 2009), masyarakat adat Toro di Sulawesi Tengah
(Golar 2007); Nambluong di Papua (Krey 2012); hutan rakyat di Jawa (Marwoto
2012; Anen 2012; Ulfa 2014), Kampung dengan Tujuan Konservasi dan Model
Kampung Konservasi di TNGHS (Hendarti 2008; Putro et al. 2012) dan lain-lain.
Faktor-faktor yang menjadi pendorong masyarakat mampu mengelola hutan
dengan baik yaitu: kearifan lokal, kesadaran akan pentingnya fungsi hutan, modal
sosial, pemberdayaan masyarakat, peningkatan kapasitas masyarakat, serta
pengelolaan hutan kolaboratif yang melibatkan masyarakat. Selain itu, adanya
manfaat baik langsung maupun tidak langsung yang diperoleh juga merupakan
faktor yang mendorong masyarakat lokal menjaga hutan (Darusman 2000).
Namun demikian, tidak selalu masyarakat desa hutan memiliki pengetahuan dan
kemampuan dalam mengelola sumber daya hutan. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa aktivitas masyarakat sekitar hutan juga menjadi penyebab
terjadinya deforestasi dan degradasi hutan (Rosmardi 2004; Yatap 2008;
Nurrochmat et al. 2012; Ilyas 2014). Desakan kebutuhan ekonomi dan lemahnya
penegakan hukum merupakan faktor utama yang mendorong masyarakat
melakukan perambahan, pembakaran, penebangan liar, penambangan liar, dan
aktivitas perusakan hutan lainnya.
Tindakan represif dan koersif dinilai belum cukup ampuh untuk
penanganan upaya perusakan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Relokasi
penduduk menjauh dari hutan juga merupakan upaya yang sulit dilakukan
mengingat besarnya jumlah penduduk yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan

2
hutan. Oleh karena itu diperlukan juga upaya-upaya preventif untuk menangani
permasalahan sosial kehutanan melalui pemberdayaan masyarakat dalam
pengelolaan hutan kolaboratif. Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu
cara untuk menjaga dan/atau mengarahkan peran masyarakat sebagai pelestari
hutan. Menurut Nurrochmat et al. (2012) secara umum permasalahan mendasar
yang dihadapi masyarakat sekitar hutan yaitu: (1) kepastian hak penguasaan
sumber daya hutan (forest tenure security) untuk memperoleh manfaat dari
sumber daya hutan (lahan dan hasil hutan); dan (2) kapasitas masyarakat desa
hutan untuk membangun diri secara terus menerus. Oleh karena itu pemberdayaan
masyarakat desa hutan dapat dilakukan dengan dua pendekatan utama yaitu
penguatan kepastian hak masyarakat untuk memperoleh manfaat sumber daya
hutan dan peningkatan kapasitas untuk beradaptasi terhadap perubahan sosialekonomi.
Kepastian hak pemanfaatan sumber daya hutan dapat diberikan melalui
kerjasama pengelolaan hutan. Beberapa contoh program penguatan kepastian hak
pemanfaatan hutan yang telah/sedang dilaksanakan antara lain yaitu: hutan
kemasyarakatan, hutan desa, hutan rakyat, hutan adat, pengelolaan hutan
berbasis/bersama masyarakat (PHBM), serta pengelolaan kolaboratif taman
nasional (PKTN). Hutan kemasyarakatan (HKm) dan hutan desa merupakan hutan
negara berupa hutan produksi dan hutan lindung yang dikelola oleh masyarakat
berdasarkan izin dari Pemerintah (Permenhut No. 37/2007; Permenhut No.
49/2008). Hutan rakyat merupakan hutan yang berada di atas tanah yang dibebani
hak milik, tanah adat, atau lahan di luar kawasan hutan yang sesuai dengan
persyaratan yang diperlukan (Permenhut No. 3 tahun 2004). Hutan adat
merupakan hutan yang berada di wilayah masyarakat hukum adat (Putusan MK
No. 35/PUU-X/2012). Adapun PHBM dan PKTN merupakan pengelolaan hutan
yang melibatkan masyarakat sebagai salah satu stakeholder baik dalam
pengambilan keputusan maupun pelaksanaan teknis (Suhardjito 2005).
Peningkatan kapasitas masyarakat dapat dilakukan melalui pendidikan, pelatihan,
pendampingan, fasilitasi, serta berbagi pengetahuan dan pengalaman baik individu
maupun kelompok masyarakat secara kolektif. Kapasitas masyarakat sering
disebut dengan istilah modal sosial. Modal sosial didefinisikan sebagai segala hal
yang berkaitan dengan kerjasama dalam masyarakat, yang memberikan manfaat
bersama untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik dan ditopang oleh unsurunsur seperti kepercayaan, jaringan sosial, norma sosial, tindakan yang proaktif
dan kepedulian (Hasbullah 2006). Modal sosial memiliki kaitan erat dengan
kemampuan masyarakat dalam mengelola hutan. Semakin tinggi modal sosial
masyarakat, maka pengelolaan hutan akan semakin baik (Marwoto 2012; Anen
2012; Adalina 2014).
Penelitian ini fokus pada pengelolaan hutan berkolaborasi dengan
masyarakat di taman nasional. Dalam PP No. 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dijelaskan bahwa
pemanfaatan hasil hutan di taman nasional terbatas pada hasil hutan bukan kayu
(HHBK). Dalam hal pengembangan HHBK, Kementerian Kehutanan menetapkan
5 jenis HHBK unggulan yaitu: rotan, bambu, sutera alam, nyamplung, madu, dan
gaharu (Kementerian Kehutanan 2013). Namun demikian, bagi masyarakat sekitar
hutan pengembangan produk-produk HHBK tersebut seringkali terkendala oleh

3
kurangnya keterampilan, kurangnya modal, serta pemasaran yang cukup
kompleks.
Pakan ternak merupakan HHBK yang memiliki potensi cukup besar,
bernilai ekonomis namun relatif mudah dikembangkan. Pada umumnya,
masyarakat di sekitar hutan terbiasa mengembangbiakkan ternak ruminansia
seperti kambing, sapi, dan kerbau dengan memanfaatkan tumbuhan dari hutan
sebagai pakan ternak (Bahrudin 1999; Widada 2004; Harada 2005; Sitepu 2006).
Selain mudah didapat, tumbuhan pakan ternak juga tidak memerlukan pengolahan
lanjutan dan dapat digunakan langsung sehingga nilai ekonomi dapat diperoleh
dengan lebih cepat. Namun demikian, sebagian besar masyarakat menjalankan
usaha peternakan dalam skala kecil dan tidak profesional sehingga belum mampu
menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi (Muladno 2013). Akibatnya, berbagai
aktivitas pemenuhan kebutuhan yang berdampak merusak hutan tidak dapat
ditinggalkan.

Rumusan Masalah
Penelitian ini mengambil contoh kasus di Taman Nasional Gunung
Halimun Salak (TNGHS). TNGHS merupakan salah satu kawasan hutan
konservasi yang berada di wilayah Provinsi Jawa Barat terdiri atas Kabupaten
Sukabumi dan Bogor serta Provinsi Banten di wilayah Kabupaten Lebak dengan
populasi masyarakat lokal yang tinggi. Menurut hasil survey kampung yang
dilaksanakan oleh Japan International Corporation Agency (JICA) dan Balai
TNGHS tahun 2005 terdapat sekitar 348 kampung yang berada di dalam dan
sekitar kawasan TNGHS. Dari jumlah tersebut sebanyak 314 kampung berada di
dalam kawasan TNGHS dengan jumlah penduduk sekitar 99.782 jiwa. Sebagian
besar dari penduduk tersebut termasuk dalam kategori rumah tangga miskin yang
menggantungkan kehidupannya pada sumber daya hutan. Rendahnya ekonomi
masyarakat disinyalir menjadi salah satu penyebab degradasi hutan TNGHS. Hal
itu ditandai dengan kerusakan hutan yang banyak terjadi di desa-desa yang berada
di dalam dan sekitar kawasan hutan (BTNGHS 2007). Menurut Bahrudin (1999)
dan Widada (2004) kondisi sosial ekonomi masyarakat yang memprihatinkan
menyebabkan sebagian masyarakat melakukan aktivitas-aktivitas perusakan hutan
seperti pencurian kayu, perambahan hutan, dan penambangan emas tanpa izin.
Selama periode tahun 2000–2010 luas hutan TNGHS mengalami penurunan
sebesar 5.5% yang diikuti dengan peningkatan luas kawasan ladang, sawah, kebun
campuran, dan lahan terbangun masing-masing sebesar 2.2%, 1.64%, 0.60%, dan
0.34%. Kepadatan penduduk dan kepadatan tenaga pertanian merupakan faktorfaktor manusia yang menjadi pemicu deforestasi (Ilyas et al. 2014).
TNGHS memiliki keanekaragaman dan potensi tumbuhan pakan ternak
yang tinggi. Dari beberapa penelitian (Priyadi et al. 2010; Sahab et al. 2012)
diketahui terdapat 48 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar
sebagai pakan ternak. Akan tetapi penelitian-penelitian tersebut hanya
mengidentifikasi jenis tumbuhan pakan ternak. Sampai saat ini belum ada
penelitian yang mengukur berapa potensi produktivitas dan daya tampung
kawasan TNGHS terhadap jumlah ternak. Pengukuran potensi tumbuhan pakan

4
ternak diperlukan agar pemanfaatannya tidak berlebihan dan menyebabkan
kerusakan hutan.
Sebagian besar masyarakat di sekitar TNGHS terbiasa mengembangbiakkan
ternak ruminansia seperti kambing, sapi, dan kerbau baik yang dilakukan sendiri
maupun difasilitasi oleh Balai TNGHS, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
pemerintah daerah, maupun perusahaan swasta dengan mengambil tumbuhan
pakan ternak dari hutan (Bahrudin 1999; Widada 2004; Harada 2005; Sitepu
2006). Beberapa peternakan yang dikembangkan mampu berjalan dengan baik.
Namun demikian, tidak sedikit juga peternakan yang tidak berkembang. Kurang
berkembangnya peternakan ruminansia masyarakat disinyalir karena kurangnya
kapasitas masyarakat dalam mengelola usaha ternak secara profesional.

Kerangka Pemikiran
Tingginya populasi dan kemiskinan penduduk di sekitar TNGHS telah
memicu terjadinya deforestasi di beberapa wilayah TNGHS. Pemberdayaan
masyarakat merupakan hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi tekanan
penduduk terhadap sumber daya hutan melalui pelibatan masyarakat dalam
pengelolaan taman nasional dan pengembangan usaha-usaha alternatif yang tidak
berdampak negatif terhadap kelestarian sumber daya hutan guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Kementerian Kehutanan melalui Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (DJPHKA) mengembangkan konsep
Model Desa Konservasi (MDK) sebagai upaya pemberdayaan masyarakat sekitar
hutan dalam pengelolaan kawasan konservasi (DJPHKA 2006). MDK adalah desa
yang dijadikan model dalam upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan
hutan konservasi, dengan memperhatikan aspek konservasi, sosial, ekonomi, dan
budaya. Desa Konservasi merupakan pendekatan model konservasi yang memberi
peluang kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi untuk
terlibat aktif dalam upaya pengelolaan kawasan konservasi. Tujuan dari MDK
adalah untuk menciptakan dan meningkatkan kapasitas masyarakat agar
ketergantungan mereka terhadap Kawasan Konservasi menjadi berkurang. MDK
diharapkan dapat berdampak positif terhadap perlindungan, pengawetan serta
pemanfaatan kawasan konservasi. Dalam MDK masyarakat berpeluang untuk
mendapatkan akses yang aman untuk pemanfaatan kawasan sehingga dapat
menjamin komitmen jangka panjang mereka untuk mendukung konservasi
kawasan hutan. Selain itu juga memberi peluang kepada masyarakat yang tinggal
di sekitar kawasan konservasi untuk terlibat aktif dalam upaya pengelolaan
kawasan konservasi serta pemanfaatan sumber daya hutan.
Sebagai implementasi dari konsep MDK, Balai TNGHS mengembangkan
konsep model kampung konservasi (MKK). Kampung Konservasi adalah
Kampung yang di dalamnya masyarakat bisa melakukan aktifitas perlindungan
secara mandiri, mampu menjaga ekosistem dan secara ekonomi bisa memberikan
kesejahteraan bagi masyarakat. Tujuan MKK yaitu: a) tindakan konservasi dengan
partisipasi masyarakat terdorong; b) pemanfaatan sumberdaya alam yang
berkelanjutan di area TNGHS yang strategis terdorong; c) memperkenalkan
pengalaman tersebut ke desa lain baik di dalam TNGHS atau luar TNGHS. Tiga
kegiatan utama dalam MKK yaitu: a) pelestarian dan rehabilitasi taman nasional;

5
b) penjagaan keamanan taman nasional; dan c) pengembangan ekonomi
masyarakat (Harmita 2007).
Sebagian besar masyarakat di sekitar TNGHS terbiasa memelihara ternak
ruminansia seperti sapi, kerbau, dan kambing dengan memanfaatkan beberapa
jenis tumbuhan dari dalam kawasan TNGHS sebagai pakan ternak. Akan tetapi
usaha tersebut masih serbatas usaha sampingan dan dijalankan secara perorangan
sehingga belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara
signifikan. Pengembangan usaha ternak ruminansia secara kolektif dan
profesional diduga dapat menjadi usaha alternatif yang potensial dalam
meningkatkan pendapatan masyarakat dan mendorong partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan TNGHS. Salah satu model pemberdayaan masyarakat dalam
bidang peternakan adalah Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) yang dikembangkan
oleh Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. SPR merupakan suatu program
pengembangan kapasitas kapasitas peternak skala kecil dengan mengoptimalkan
potensi sumber daya alam, potensi sumber daya manusia, penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi, pengelolaan usaha peternakan secara professional,
serta menghimpun dukungan dari berbagai pihak baik pemerintah, swasta,
maupun pihak lainnya (Muladno 2014, komunikasi pribadi). SPR adalah
pembelajaran terus menerus bagi peternak dalam suatu kawasan untuk
membentuk perusahaan kolektif di bidang peternakan (Muladno 2015,
komunikasi pribadi). SPR didirikan dengan tujuan memberi ilmu pengetahuan
kepada peternak berskala kecil tentang berbagai aspek teknis peternakan dan
nonteknis yang melandasi terwujudnya perusahaan kolektif dalam satu
manajemen yang dikelola oleh satu manajer dalam rangka meningkatkan daya
saing usahanya untuk meningkatkan pendapatannya serta kesejahteraannya. Hasil
yang diharapkan dari SPR yaitu:
 Berdirinya perusahaan kolektif peternakan berbadanhukum milik peternak
berskala kecil yang dikelola secara profesional dan proporsional;
 Ternak pedaging atau ternak perah atau ternak unggas yang berkualitas
dalam memenuhi kebutuhan bahan pangan bagi masyarakat Indonesia;
 Ternak bibit bersertifikat (pedaging, perah, atau unggas) untuk memenuhi
kebutuhan peternak lainnya; dan
 Kedaulatan peternak berskala kecil dan posisi tawar yang lebih tinggi.
 Produk berupa ternak bakalan, ternak calon indukan, pupuk kandang; dan
hasil bumi lainnya.
Beberapa ketentuan dalam SPR yaitu:
 Terdapat 1000 ekor sapi/kambing;
 Terdapat 100 ekor pejantan berkualitas baik. Jika tidak terdapat pejantan di
lokasi tersebut maka pejantan didatangkan dari daerah lain atau diterapkan
perkawinan melalui inseminasi buatan;
 Terdapat peternak yang berpengalaman;
 Terdapat sumber daya kebutuhan ternak;
 Periode pembelajaran maksimal 4 tahun
 Materi pembelajaran terdiri atas materi teknis dan non-teknis peternakan;
Untuk menjamin keberhasilan pencapaian tujuan SPR, diberlakukan syarat
yang harus dipenuhi oleh peternak peserta SPR, yaitu:

6





Satu orang peternak memiliki paling sedikit 2 ekor indukan baik yang
dimiliki sendiri maupun bagi hasil;
Peternak wajib mengasuransikan ternak indukan dan pejantan
Peternak tidak diperkenankan mengeluarkan induk dari kawasan, terlebih
lagi menyembelihnya;
Jantan yang tidak produktif sebaiknya dikebiri agar dapat meningkatkan
produksi daging.

Integrasi antara konsep MKK dengan SPR dapat menjadi alternatif konsep
pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan taman nasional secara
kolaboratif dan pengembangan ekonomi masyarakat berdasarkan potensi sumber
daya alam dan sumber daya manusia yang ada untuk mencapai tujuan kelestarian
hutan dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
Kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Dari
kerangka pemikiran tersebut muncul dua pertanyaan secara garis besar yang ingin
dijawab melalui penelitian ini, yaitu:
1. Apakah potensi tumbuhan pakan ternak yang ada di dalam kawasan TNGHS
dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui
pengembangan peternakan ruminansia?
2. Apakah pemanfaatan tumbuhan pakan ternak dapat dijadikan sarana
membangun kerjasama antara Balai TNGHS dengan masyarakat dalam
pengelolaan TNGHS?

Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk merumuskan strategi
pengelolaan TNGHS kolaboratif dan pengembangan peternakan ruminansia
berbasis masyarakat. Adapun secara rinci tujuan penelitian ini adalah:
1. Memperoleh data potensi tumbuhan pakan ternak di kawasan TNGHS.
2. Mengkaji potensi sumber daya manusia masyarakat lokal dalam
pengelolaan taman nasional dan pengembangan peternakan ruminansia.
3. Mengkaji pemanfaatan tumbuhan pakan ternak oleh masyarakat di
TNGHS.
4. Merumuskan strategi pemberdayaan masyarakat yang mengintegrasikan
antara pengelolaan taman nasional bersama masyarakat dengan
pengembangan usaha ternak masyarakat secara profesional.

Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini yaitu:
1. Menghasilkan data potensi tumbuhan pakan ternak di TNGHS
2. Memberikan gambaran tentang karakteristik sosial, ekonomi dan budaya
masyarakat, dan pemanfaatan tumbuhan pakan ternak oleh masyarakat di
sekitar TNGHS.
3. Sebagai bahan masukan dalam pemberdayaan masyarakat sekitar taman
nasional.

7
4. Sebagai bahan masukan dalam pengembangan peternakan ruminansia berbasis
masyarakat di sekitar hutan.

Deforestasi
Taman Nasional

Kemiskinan Masyarakat
Lokal

Pemberdayaan
Masyarakat

Pengelolaan TN
Kolaboratif

Pengembangan
Ekonomi berbasis SDH

Potensi SDM
Potensi Kelembagaan

Potensi SDH
Tumbuhan Pakan Ternak

Bentuk Kelembagaan
Masyarakat

Peternakan Ruminansia

MKK

SPR

Maysrakat Lokal

Balai TNGHS

Perusahaan Swasta

Pemerintah
Pusat/Daerah
Perguruan Tinggi

Pelaku usaha peternakan

Hutan Lestari
Masyarakat Sejahtera

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

8

2 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan bulan pada bulan Februari–Mei 2015. Lokasi
penelitian adalah 4 kampung yang berada di sekitar TNGHS Resort Kawah Ratu
Kecamatan Cicurug Kabupaten Sukabumi, yaitu: Kampung Kuta Desa Kutajaya,
Kampung Cikurutug Desa Pasawahan, Kampung Cipari Girang Desa Tenjolaya,
dan Kampung Cileueur Desa Cisaat. Pengukuran potensi tumbuhan pakan ternak
dilakukan pada kawasan TNGHS yang menjadi sumber pakan ternak masyarakat
sekitar. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara semi-terstruktur, FGD,
serta pengamatan dan pengukuran di lapangan. Wawancara dilakukan terhadap 30
orang peternak yang dipilih secara purpossive. Data yang dikumpulkan terdiri atas
data primer dan data sekunder. Data primer yaitu potensi tumbuhan pakan ternak,
karakteristik responden, modal sosial, kesediaan masyarakat dalam pengelolaan
TNGHS, pemanfaatan tumbuhan pakan ternak, dan faktor-faktor dalam analisis
SWOT. Adapun data sekunder yaitu data monografi desa kondisi umum TNGHS,
dan produktivitas pakan pohon agathis dan kaliandra. Analisis data terdiri atas
analisis kuantitatif dan analisis kualitatif.

Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian deskriptif, yaitu penelitian
yang digunakan untuk meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, kondisi,

9
sistem pemilikiran ataupun kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari
penelitian deskriptif adalah untuk memperoleh deskripsi, gambaran atau lukisan
secara sistematis, aktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta
hubungan antar fenomena yang diteliti (Nazir 2009).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dan
pengamatan lapang. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui: 1) Pengamatan
dan pengukuran langsung di lapangan; 2) Wawancara langsung dengan responden
dengan berpedoman pada kuesioner yang telah disusun; 3) Studi pustaka dengan
mengumpulkan data sekunder dari berbagai instansi dan hasil-hasil penelitian
yang terkait.

Jenis Data dan Instrumen Penelitian
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan
data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari obyek
penelitian yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden,
pengamatan, serta pengukuran di lapangan. Data sekunder merupakan data yang
diperoleh dari studi pustaka dan dokumen-dokumen terkait.
1.
2.
3.
4.
1.
2.

Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi:
Potensi tumbuhan pakan ternak,
Karakteristik responden, modal sosial, kesediaan masyarakat
pengelolaan TNGHS, ketergantungan masyarakat terhadap TNGHS
Pemanfaatan tumbuhan pakan ternak,
Faktor-faktor dalam analisis SWOT.
Adapun data sekunder yang dikumpulkan yaitu:
Kondisi umum lokasi penelitian
Peta kawasan TNGHS dan peta terkait lainnya

dalam

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas kuesioner
pengukuran modal sosial dan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity,
Threat). Modal sosial masyarakat diukur menggunakan modifikasi metode Sosial
Capital Asessment Tool (SCAT) dengan Measuring Sosial Capital and Integrated
Qusetionnaire (SC-IQ). SCAT merupakan intrumen pengukuran modal sosial
pada level komunitas, rumah tangga, dan organisasi dengan variabel yang
berhubungan dengan modal sosial yang mungkin diciptakan dan diakses oleh
individu (Krisna dan Shrader 1999). Adapun SC-IQ bertujuan untuk memperoleh
data kuantitatif pada berbagai dimensi modal sosial dengan unit analisis pada
tingkat rumah tangga. Indikator yang digunakan dalam model ini yaitu: a)
kelompok dan jejaring kerja; b) kepercayaan dan solidaritas; c) aksi kolektif dan
kerjasama; d) informasi dan komunikasi; e) kohesi dan inklusivitas sosial, dan f)
pemberdayaan dan tindakan politik (Grootaert et al. 2004).

Analisis data kuantitatif
Potensi tumbuhan pakan ternak yang dikaji terdiri atas produktivitas
hijauan makanan ternak (HMT), daya tampung kawasan, dan jenis tumbuhan.

10
Produktivitas HMT tumbuhan bawah diukur dengan cara memangkas bagian
tumbuhan pada ketinggian 5 cm di atas permukaan tanah dan dibiarkan tumbuh
kembali selama 30 hari. Setelah 30 hari tumbuhan dipangkas kembali dan bagian
yang dipangkas tersebut ditimbang. Ukuran petak contoh adalah 2 x 2 m 2 dengan
jumlah 10 petak pada masing-masing tutupan lahan. Untuk tumbuhan tingkat
pohon (agathis dan kaliandra) data produktivitas HMT bersumber dari penelitian
Nilamsari (2000) dan Mulyana (2006). Daya tampung kawasan dihitung dengan
rumus yang dikembangkan oleh Susetyo (1980):
Keterangan:
K = Jumlah hewan ternak yang dapat ditampung (satuan ternak)
P = Produktivitas pakan per satuan waktu (kg/th)
C = Jumlah konsumsi setiap individu (kg/th)


=


Daftar konversi satuan ternak dapat dilihat pada Lampiran 1. Jenis
tumbuhan yang digunakan sebagai pakan ternak diketahui berdasarkan informasi
dari masyarakat kemudian dilakukan analisis vegetasi dengan metode kombinasi
jalur dan garis berpetak (Kusmana 1997) dengan ukuran petak contoh: a) 2 x 2 m2
untuk tumbuhan bawah dan permudaan pohon tingkat semai; b) 5 x 5 m2 untuk
permudaan pohon tingkat pancang; c) 10 x 10 m2 untuk permudaan pohon tingkat
tiang; d) 20 x 20 m2 untuk tumbuhan tingkat pohon. Jumlah petak contoh
sebanyak 12 jalur. Bentuk petak dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Petak contoh analisis vegetasi
Analisis data kualitatif
Data kualitatif diperoleh melalui wawancara semi-terstruktur kepada
responden menggunakan kuesioner. Data dibuat kuantitatif dengan Skala Likert
untuk memperoleh tingkatan kelas minimum, rendah, sedang, tinggi untuk unsurunsur modal sosial dan total skor modal sosial. Untuk kesediaan berpartisipasi
tingkat kelas dibagi atas sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi.
Nilai kelas masing-masing variabel dapat dilihat pada Tabel 1. Selang nilai kelas
diperoleh dengan rumus sebagai berikut (Supranto 2000).
=









11
Tabel 1 Nilai kelas masing-masing variabel penelitian
No Variabel

Nilai observasi

1

Modal sosial
unsur
kepercayaan

Maks.
52

Min.
13

2

Modal sosial
unsur jaringan
sosial

32

3

Modal sosial
unsur norma
sosial

4

5

6

7

8

Jumlah
kelas

Lebar
kelas

4

9.75

8

4

6

24

6

4

4.5

Modal sosial
unsur tindakan
proaktif

32

8

4

6

Modal sosial
unsur
kepedulian
lingkungan
Modal sosial
unsur
kepedulian
sesama
Modal sosial

32

8

4

6

32

8

4

6

172

51

4

30.25

150

30

5

24

Kesediaan
berpartisipasi

Nilai kelas


































Minimum: 13–22.75
Rendah: 22.75–32.50
Sedang: 32.50–42.25
Tinggi: 42.25–52
Minimum: 8–14
Rendah: 14–20
Sedang: 20–26
Tinggi: 26–32
Minimum: 6–10.50
Rendah: 10.50–15
Sedang: 15–19.50
Tinggi: 19.50–24
Minimum: 8–14
Rendah: 14–20
Sedang: 20–26
Tinggi: 26–32
Minimum: 8–14
Rendah: 14–20
Sedang: 20–26
Tinggi: 26–32
Minimum: 8–14
Rendah: 14–20
Sedang: 20–26
Tinggi: 26–32
Minimum: 51–81.25
Rendah: 81.25–111.50
Sedang: 111.50–141.75
Tinggi: 141.75–172
Sangat rendah: 30–54
Rendah: 55–78
Sedang: 79–102
Tinggi: 103–126
Sangat tinggi: 127–150

Modal Sosial Masyarakat
Unsur-unsur modal sosial dalam penelitian ini mengadopsi unsur modal
sosial Hasbullah (2006), yaitu segala hal yang berkaitan dengan kerjasama dalam
masyarakat untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik dan ditopang oleh
unsur-unsur seperti jaringan, nilai, norma, kepercayaan, tindakan yang proaktif
dan kepedulian. Modal sosial masyarakat diukur menggunakan modifikasi metode
Sosial Capital Asessment Tool (SCAT) dengan Measuring Social Capital and
Integrated Qusetionnaire (SC-IQ). SCAT merupakan intrumen pengukuran modal
sosial pada level komunitas, rumah tangga, dan organisasi dengan variabel yang
berhubungan dengan modal sosial yang mungkin diciptakan dan diakses oleh
individu (Krisna dan Shrader 1999). Adapun SC-IQ bertujuan untuk memperoleh
data kuantitatif pada berbagai dimensi modal sosial dengan unit analisis pada
tingkat rumah tangga. Indikator yang digunakan dalam model ini yaitu: a)

12
kelompok dan jejaring kerja; b) kepercayaan dan solidaritas; c) aksi kolektif dan
kerjasama; d) informasi dan komunikasi; e) kohesi dan inklusivitas sosial, dan f)
pemberdayaan dan tindakan politik (Grootaert et al. 2004). Tingkat modal sosial
masyarakat dikategorikan berdasarkan konsep modal sosial Uphoff (2000) yang
membagi modal sosial ke dalam 4 tingkat, yaitu: minimum, rendah, sedang dan
tinggi. Variabel, indikator, dan kategori modal sosial yang digunakan dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 2.

Analisis strategi pemberdayaan masyarakat sekitar TNGHS
Proses penyusunan perencanaan strategis menurut Rangkuti (2008)
melalui tiga tahapan analisis yaitu (1) tahap pengumpulan data, (2) tahap analisis
dan (3) tahap pengambilan keputusan, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Tahap Pengumpulan data
Pada tahapan ini dilakukan pengumpulan data, pengklasifikasian dan praanalisis data. Data yang dikumpulkan terbagi menjadi dua kategori yaitu data
internal dan data eksternal. Tahapan ini juga disebut sebagai tahapan masukan
(input stage) yaitu menyimpulkan informasi dasar yang diperlukan untuk
merumuskan strategi dengan menyimpulkan matrik Internal Factor Evaluation
(IFE) dan External Factor Evaluation (EFE). Faktor IFE berguna untuk
meringkas faktor-faktor internal yang berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan
yang dihadapi masyarakat/petani dihadapi oleh masyarakat/petani dalam
pembangunan hutan rakyat. Sedangkan matrik EFE digunakan untuk meringkas
faktor-faktor ekternal yang berkaitan dengan peluang dan ancaman yang berasal
dari luar komunitas dalam pembangunan hutan rakyat. Langkah-langkah
penyusunan IFE dan EFE meliputi:
1. Menyusun kolom 1 yang berisi peluang dan ancaman (5 s.d 10 kolom)
2. Memberikan bobot masing-masing faktor tersebut dalam kolom 2 dengan
skala 0.0 (tidak penting) sampai 1.0 (sangat penting)
3. Menghitung rating dalam kolom 3 dengan skala 0 (poor) sampai 4
(outstanding)
4. Menghitung skor pembobotan pada kolom 4 dengan mengalikan kolom 2
dengan kolom 3
5. Menggunakan kolom 5 untuk memberikan komentar atau catatan mengapa
faktor-faktor tersebut dipilih dan bagaimana mendapatkan bobot
perhitungannya.
6. Menjumlahkan skor pembobotan total pada kolom 4. Skor ini menunjukan
bagaimana reaksi msyarakat terhadap faktor-faktor eksternal.
2. Tahap Analisis
Tahapan analisis ini memanfaatkan semua informasi yang terkumpul
dalam model-model kuantitatif dalam perumusan strategi. Alat analisis yang
dipakai adalah matrik SWOT. Matrik ini menggambarkan secara jelas bagaimana
peluang dan ancaman eksternal disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan
internal (Rangkuti 2008). Matrik analisis ini menghasilkan 4 kemungkinan
strategi yaitu (Gambar 4):

13
a. Strategi kekuatan-peluang
Strategi ini berusaha memanfaatkan kekuatan yang ada untuk merebut dan
memanfaatkan peluang secara optimal.
b. Strategi kekuatan-ancaman
Strategi ini berusaha untuk memanfaatkan kekuatan yang ada untuk
menghadapai ancaman yang datang.
c. Strategi kelemahan-peluang
Strategi ini digunakan untuk memanfaatkan peluang yang ada untuk
meminimalkan kelemahan yang dimiliki.
d. Strategi kelemahan-ancaman
Strategi ini merupakan strategi defensif yang berusaha untuk meminimalkan
kelemahan dan menghindari ancaman.

Gambar 4 Diagram SWOT strategi pengembangan silvopastura di TNGHS

3 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Sejarah kawasan TNGHS
Pengelolaan kawasan hutan gunung halimun dimulai sejak zaman kolonial
Belanda. Pada tahun 1924–1934 Pemerintah Hindia Belanda menetapkan kawasan
hutan di gunung halimun sebagai hutan lindung dengan luas 39.941 ha. Status
hutan lindung kemudian diubah menjadi cagar alam pada tahun 1935. Setelah
Indonesia merdeka di tahun 1945 Pemerintah Republik Indonesia mengambil alih
pengelolaan cagar alam gunung halimun dengan membentuk Jawatan Kehutanan
sebagai pengelola cagar alam. Tahun 1961–1978 Jawatan Kehutanan diganti

14
menjadi perusahaan milik Negara yang bernama Perum Perhutani. Pada tahun
1979 pengelolaan hutan dialihkan kepada BKSDA III Sub BKSDA Jawa Barat I.
pada tahun 1990–1992 status kawasan yang masih berupa cagar alam dikelola
oleh Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Taman Nasional Gunung
Halimun baru berdiri pada tahun 1992 melalui SK Menteri Kehutanan No.
185/Kpts-II/1997) dengan luas area + 40000 ha. Sejak tahun 2003 wilayah TNGH
diperluas meliputi kawasan hutan lindung dan hutan produksi gunung salak dan
gunung endut melalui SK Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 sehingga total
luasan menjadi 113.357 ha dan nama TNGH menjadi TNGHS. Sejarah
pengelolaan TNGHS sejak awal pengelolaannya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Sejarah pengelolaan TNGHS
Tahun
1924 – 1934
1935 – 1945
1945 – 1961

Status
Hutan lindung
Cagar Alam
Cagar Alam

Luas (Ha)
39.941
39.941
39.941

1961 – 1978
1979 – 1990

Cagar Alam
Cagar Alam

39.941
39.941

1990 – 1992
1992 – 1997

Cagar Alam
Taman Nasional

39.941
39.941

1997 – 2003

Taman Nasional

40.000

2003 sekarang

Taman Nasional
(ditambah kawasan
hutan Gunung Salak
Jawa Barat dan
Gunung Endut Lebak
Banten
Sumber: Balai TNGHS 2007

113.357

Pengelola
Pemerintah Hindia Belanda
Pemerintah Hindia Belanda
Pemerintah RI (Jawatan Kehutanan
Jawa Barat)
Perum Perhutani
BKSDA III Sub BKSDA Jawa Barat
I
TN Gunung Gede Pangrango
TN Gunung Gede Pangrango (SK
Menhut No. 282/Kpts-II/1992)
Balai Taman Nasional Gunung
Halimun (SK Menhut No. 185/KptsII/1997)
Balai Taman Nasional Gunung
Halimun Salak (SK Menhut No.
175/Kpts-II/2003)

Letak dan luas
Secara geografis kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
terletak antara 106° 13'–106° 46' BT dan 06° 32'–06° 55' LS. Secara administratif
TNGHS terletak di tiga wilayah kabupaten daerah tingkat II, yaitu Kabupaten
Lebak Provinsi Banten, dan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi Provinsi
Jawa Barat. yang seluruhnya mencakup 28 kecamatan. Pada tingkat kecamatan
dan desa terdapat 26 kecamatan (9 kecamatan berada di Kabupaten Bogor, 8
Kecamatan di Kabupaten Sukabumi, dan 9 Kecamatan di Kabupaten Lebak) dan
108 desa dan 348 kampung yang sebagian/seluruh wilayahnya berada di dalam
dan/atau berbatasan langsung dengan wilayah TNGHS. Peta wilayah administrasi
TNGHS dapat dilihat pada Gambar 2. Luas kawasan TNGHS mencapai + 113.357
ha (BTNGHS 2007).
Batas-batas wilayah TNGHS berdasarkan administrasi pemerintah adalah :
1. Sebelah utara, dibatasi oleh Kecamatan Nanggung, Kecamatan
Jasinga di Kabupaten Bogor dan Kecamatan Cipanas di Kabupaten Lebak.
2. Sebelah barat, dibatasi oleh Kecamatan Leuwiliang di Kabupaten Bogor
dan Kecamatan Kabandungan di Kabupaten Sukabumi.

15
3. Sebelah selatan, dibatasi oleh Kecamatan Cikidang dan Kecamatan
Cisolok di Kabupaten Sukabumi dan Kecamatan Bayah di Kabupaten
Lebak.
4. Sebelah timur, dibatasi oleh Kecamatan Cibeber di Kabupaten Lebak
Keanekaragaman hayati
Flora
Terdapat lebih dari 1000 jenis tumbuhan terdapat di kawasan TNGHS.
Berdasarkan ketinggiannya di atas permukaan laut (dpl), ekosistem hutan
pegunungan TNGHS dapat diklasifikasikan dalam tiga zona, yaitu Zona Colline,
pada ketinggian 500–1000 mdpl yang didominasi oleh jenis-jenis rasamala
(Altingia excelsa), puspa (Schima wallichii), saninten (Castanopsis
acuminatissima), dan pasang (Quercus sundaicus); Zona Sub Montana berada
pada ketinggian 1000–1500 mdpl, didominasi oleh jenis-jenis ganitri
(Elaeocarpus ganitrus), ki leho (Saurauia pendula), dan kimerak (Weinmania
blumei). Pada Zona Montana yang berada pada ketinggian 1500–2211 mdpl,
didominasi oleh jenis-jenis jamuju (Dacriocarpus imbricatus), ki putri
(Podocarpus nerifolia), dan ki bima (Podocarpus imbricatus). Selain itu juga
tercatat 258 jenis anggrek, 12 jenis bambu, 13 jenis rotan, jenis-jenis tanaman
pangan, hias dan tanaman obat seperti Kantung Semar (Nepenthes sp.) dan
palahlar (Dipterocarpus hasseltii) yang merupakan jenis tumbuhan unik dan
langka yang terdapat di TNGHS. Khusus di sekitar puncak Gunung Salak juga
terdapat jenis-jenis tumbuhan kawah dan hutan lumut (BTNGHS 2007).
Fauna
Kawasan TNGHS memiliki berbagai tipe ekosistem yang merupakan habitat
dari berbagai jenis satwa langka dan dilindungi. Mamalia primata yang terdapat di
dalamnya antara lain adalah owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis
comata), lutung (Trachypithecus auratus), dan monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis). Satwa ungulata yang ada antara lain kijang (Muntiacus muntjak),
kancil (Tragulus javanicus) dan babi hutan (Sus scrofa), sedangkan untuk satwa
karnivora yang ada antara lain macan tutul (Panthera pardus) dan kucing hutan
(Felis bengalensis). Kawasan TNGHS juga merupakan surga bagi berbagai
jenis serangga yang unik dan indah seperti kupu-kupu, kumbang, dan burung. Saat
ini di TNGHS juga tercatat ada 244 jenis burung di kawasan ini dan 32 di
antaranya adalah endemik pulau Jawa, seperti elang jawa (Spizaetus bartelsi),
ciung-mungkal Jawa (Cochoa azurea), celepuk jawa (Otus angelinae), luntur
gunung (Harpactes reinwardtii), dan rangkong badak (Bucheros rhinoceros) yang
merupakan jenis langka dan terancam punah (BTNGHS 2007).
Iklim, topografi dan jenis tanah
Variasi curah hujan rata-rata di kawasan TNGHS berkisar 4.000–6000
mm/tahun mm/tahun. Musim hujan terjadi antara bulan Oktober sampai dengan
April dengan curah hujan berkisar antara 400 mm – 600 mm per bulan. Musim
kemarau terjadi antara bulan Mei sampai dengan bulan September dengan curah
hujan sekitar 200 mm/bulan. Curah hujan maksimum 392 mm/tahun, dengan hari
hujan rata-rata 145 hari/tahun. Menurut Schmidt dan Ferguson (1951) kawasan
TNGHS termasuk tipe iklim B dimana 1.5 – 3 bulan kering. Suhu udara rata-rata

16
31.5ºC dengan suhu terendah 19.7ºC dan suhu tertinggi 31.8ºC. Kelembaban
udara rata-rata 88% (Hartono et al. 2007).
Secara umum TNGHS memiliki bentang alam bervariasi dari dataran ke
pegunungan, yang sebagian besar berbukit dan bergunung. Keadaan topografi
TNGHS sebagian besar berupa perbukitan dengan variasi kelerengan lebih dari
45%, bergelombang 50% dan bentuk curam berbatu 35% dan pegunungan.
Ketinggian bervariasi dari 500 meter di atas permukaan laut (m dpl) sampai
dengan 2211 m dpl. Sebagian besar kawasan (75.70%) terletak pada ketinggian di
bawah 1400 m dpl dengan kelerengan di atas 45.0%. Beberapa titik tinggi yang
merupakan puncak-puncak gunung yang ada dalam kawasan TNGHS adalah
Gunung Halimun (1929 m dpl), Gunung Sanggabuana (1919 m dpl), Gunung
Botol (1720 m dpl) dan Gunung Halimun Selatan (1744 m dpl). Daerah landau
berada pada ketinggian 500 m sampai dengan 1929 m dpl. Terdapat 12 tip