Pemberdayaan Masyarakat Miskin Sekitar Hutan Melalui Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

(1)

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN SEKITAR HUTAN

MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN

PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT

(Studi Kasus di Desa Tonjong Kecamatan Tonjong Kabupaten Brebes

Provinsi Jawa Tengah)

TRIYOGO WIDODO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir kajian pengembangan masyarakat dengan judul “Pemberdayaan Masyarakat Miskin Sekitar Hutan Melalui Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Studi Kasus di Desa Tonjong Kecamatan Tonjong Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah”, adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian tugas akhir ini.

Bogor, Nopember 2006

TRIYOGO WIDODO


(3)

TRIYOGO WIDODO, Pemberdayaan Masyarakat Miskin Sekitar Hutan Melalui Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO dan PUDJI MULJONO.

Desa Tonjong termasuk dalam tipologi desa sekitar hutan dengan sebagian besar penduduknya berada dalam kondisi miskin. Kondisi masyarakat miskin di Desa Tonjong digambarkan dengan tidak memiliki faktor produksi sendiri serta tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri, tingkat pendidikan dan keterampilan pada umumnya rendah dan tidak memiliki fasilitas. Dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka dilakukan upaya pemberdayaan masyarakat miskin sekitar hutan melalui Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).

Tujuan yang ingin dicapai dari kajian ini adalah dapat mengetahui dan menganalisis kapasitas Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan kapasitas individu masyarakat miskin sekitar hutan, mengkaji performa kelembagaan PHBM, menganalisis dan menggali potensi lokal dan modal sosial, serta merumuskan strategi dan program yang tepat dalam upaya pengembangan kelembagaan PHBM di Desa Tonjong.

Hasil penelitian menunjukkan kondisi masih rendahnya kapasitas LMDH. Rendahnya kapasitas LMDH ditunjukkan dari tidak aktifnya kepengurusan, kepemimpinan (ketua LMDH) yang tidak dapat menjalankan perannya, belum diterapkannya AD/ART menjadi panduan dan peraturan bagi pengurus dan anggota, serta jaringan kerjasama yang belum dimanfaatkan secara optimal. Sementara itu, kapasitas individu masyarakat miskin sekitar hutan juga tergolong rendah, yang ditandai dengan rendahnya pengetahuan dan keterampilan, minimnya sumber pendapatan dan terbatasnya kepemilikan aset.

Hasil penelitian juga menunjukkan performa kelembagaan PHBM yang digambarkan dengan tidak terrealisasinya program kerja yang telah disusun bersama antara masyarakat (LMDH) dan Perum Perhutani serta masih rendahnya tingkat partisipasi pengurus dan jaringan mitra kerja LMDH. Sementara itu, partisipasi masyarakat tergo long tinggi dalam bentuk ikut mengolah lahan sekitar hutan serta memelihara dan mengamankan tanaman pokok hutan (jati).

Potensi lokal yang ada di Desa Tonjong yaitu adanya lahan hutan dan tersedianya tenaga kerja. Sedangkan perwujudan modal sosial ditunjukkan dari adanya solidaritas diantara warga masyarakat miskin sekitar hutan, adanya kepercayaan (trust) Perum Perhutani kepada masyarakat, serta adanya hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara masyarakat dan Perum Perhutani.

Berdasarkan ident ifikasi masalah bersama disimpulkan bahwa permasalahan pokok yang dihadapi adalah rendahnya kapasitas kepengurusan LMDH dan rendahnya kapasitas individu masyarakat miskin sekitar hutan. Melalui kegiatan

Focus Group Discussion (FGD) dilakukan penyusunan program secara partisipatif yang melibatkan unsur masyarakat (LMDH), aparat desa dan Perum Perhutani. Dari kegiatan tersebut dapat disusun Program Aksi Pengembangan Kelembagaan PHBM di Desa Tonjong, yaitu Penguatan Kapasitas LMDH dan Penguatan Kapasitas Individu Masyarakat Miskin Sekitar Hutan.


(4)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya


(5)

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN SEKITAR HUTAN MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN

PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT

(Studi Kasus di Desa Tonjong Kecamatan Tonjong Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah)

TRIYOGO WIDODO

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(6)

Judul Tugas Akhir : Pemberdayaan Masyarakat Miskin Sekitar Hutan Melalui Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

Nama : Triyogo Widodo

NIM : A154050025

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Endriatmo Soetarto, MA. Ketua

Dr. Ir. Pudji Muljono, M.Si. Anggota

Diketahui Ketua Program Studi Magister

Profesional Pengembangan Masyarakat

Dr. Djuara P. Lubis, MS.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.


(7)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Mahaesa karena atas berkat dan rahmat-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir kajian pengembangan masyarakat sebagai salah satu persyaratan menyelesaikan studi pada Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Judul kajian pengembangan masyarakat ini adalah “Pemberdayaan Masyarakat Miskin Sekitar Hutan Melalui Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Studi Kasus di Desa Tonjong Kecamatan Tonjong Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi- tingginya kepada :

1. Dr. Endriatmo Soetarto, MA. selaku Ketua Komisi Pembimbing. 2. Dr. Ir. Pudji Muljono, M.Si. selaku Anggota Komisi Pembimbing.

3. Dr. Marjuki, M.Sc. selaku Kepala Badan Pendidikan dan Penelitian Sosial Departemen Sosial RI.

4. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS. selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).

5. Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS. selaku Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB).

6. Ir. Fredian Tonny, MS. selaku Penguji Luar Komisi Pembimbing.

7. Dra. Neni Kusumawardhani, MS. selaku Ketua Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung.

8. Dosen-dosen Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dan STKS Bandung. 9. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Magister Profesional Pengembangan

Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) Angkatan III Tahun 2005-2006.

10.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan kontribusi bagi penyelesaian tugas akhir ini.

Atas segala perhatian, bantuan dan kerjasamanya sekali lagi penulis mengucapkan banyak terima kasih, semoga kebaikan Bapak dan Ibu memperoleh imbalan yang berlipat ganda dari Tuhan Yang Mahaesa.

Penulis dengan senang hati menerima saran dan masukan dari para pembaca, dalam upaya penyempurnaan tugas akhir ini. Akhirnya, semoga kajian ini bermanfaat.

Bogor, Nopember 2006

Triyogo Widodo


(8)

Penulis dilahirkan di Brebes pada tanggal 13 Agustus 1974, sebagai anak ketiga dari pasangan Mashoedoen dan Djuriyah.

Pendidikan yang ditempuh oleh penulis adalah SD Negeri IX Brebes lulus tahun 1987, SMP Negeri II Brebes lulus tahun 1990, SMA Negeri I Brebes lulus tahun 1993 dan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung lulus tahun 1999.

Pada tahun 1999 penulis diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) ditempatkan di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung. Selanjutnya, pada tahun 2005 penulis diberi kesempatan untuk mengikuti tugas belajar pada Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).


(9)

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 6

Tujuan Kajian ... 7

Kegunaan Kajian ... 7

KERANGKA KAJIAN ... 9

Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Pekerjaan Sosial ... 9

Kemiskinan ... 12

Pengembangan Kelembagaan dan Modal Sosial ... 15

Penguatan Kapasitas dalam Pengembangan Kelembagaan ... 17

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat ... 19

Kerangka Pemikiran ... 21

Definisi Operasional ... 24

METODOLOGI KAJIAN ... 26

Metode Kajian ... 26

Lokasi dan Waktu Kajian ... 26

Teknik Kajian ... 28

Teknik Analisis Data ... 32

Disain Program Pengembangan Masyarakat ... 32

PETA SOSIAL KOMUNITAS ... 33

Data Geografis, Demografis, dan Kondisi Kemiskinan ... 33

Sistem Ekonomi ... 37

Struktur Komunitas ... 41

Kelembagaan dan Organisasi Sosial ... 44

Sumberdaya Lokal ... 45

LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS ... 47

Deskripsi Program Pengembangan Kecamatan (PPK) ... 47


(10)

BERBASIS MASYARAKAT (PHBM) ... 54

Kapasitas Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) ... 54

Kapasitas Individu Masyarakat Miskin ... 69

Performa Kelembagaan PHBM ... 76

Potensi Lokal ... 84

Modal Sosial ... 86

PROGRAM PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT (PHBM) ... 90

Proses Penyusunan Rencana Program ... 90

Identifikasi Masalah, Penyebab dan Potensi ... 91

Alternatif Pemecahan Masalah ... 93

Program Aksi ... 99

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 104

Kesimpulan ... 104

Rekomendasi ... 106

DAFTAR PUSTAKA ... 108


(11)

Halaman

1 Jadwal Pelaksanaan Kegiatan Kajian Pengembangan Masyarakat ... 27

2 Jenis Data, Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data ... 29

3 Sumber Data, Tipe dan Jumlah Responden/Informan ... 30

4 Jenis Data, Indikator dan Sub Indikator Kajian ... 30

5 Penduduk Desa Tonjong Menurut Umur dan Jenis Kelamin ... 34

6 Penduduk Desa Tonjong Menurut Tingkat Pendidikan ... 36

7 Distribusi Jumlah Keluarga Miskin di Desa Tonjong ... 36

8 Penduduk Desa Tonjong Menurut Jenis Mata Pencaharian ... 38

9 Matrik Kapasitas Individu Masyarakat Miskin Sekitar Hutan Di Desa Tonjong Kecamatan Tonjong Kabupaten Brebes ... 72

10 Rencana Kerjasama Pengelolaan Hutan LMDH “Wana Bhakti” Desa Tonjong Tahun 2005-2009 ... 77

11 Data Luas dan Potensi Hutan Pangkuan LMDH “Wana Bhakti” Desa Tonjong ... 85

12 Identifikasi Masalah, Penyebab, Potensi dan Alternatif Pemecahan Masalah Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Desa Tonjong ... 98 13 Program Aksi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Desa Tonjong ... 103


(12)

Halaman

1 Pendekatan Dualistik Pekerjaan Sosial dalam Pemberdayaan ... 11

2 Skema Kerangka Pemikiran Pengembangan Masyarakat Miskin Sekitar Hutan di Desa Tonjong ... 23

3 Piramida Penduduk Desa Tonjong ... 35

4 Sistem Pelapisan Sosial Penduduk Desa Tonjong ... 42


(13)

Halaman 1 Peta Desa Tonjong ... 111 2 Pedoman Pengumpulan Data (Wawancara, FGD dan Observasi) ... 112 3 Dokumentasi Kegiatan Penelitian ... 129


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Krisis ekonomi dan politik yang terjadi sejak akhir tahun 1997 telah menghancurkan struktur bangunan ekonomi dan pencapaian hasil pembangunan di bidang kesejahteraan sosial selama rezim Orde Baru (1967-1998). Salah satu penyebab terjadinya krisis tersebut adalah kenyataan bahwa meningkatnya angka-angka statistik pertumbuhan ekonomi selama orde baru tidak benar-benar merefleksikan terjadinya pemerataan kesempatan dan perolehan kesejahteraan secara bermakna. Pembangunan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan hanya melahirkan peningkatan kesejahteraan semu (pada sekelompok kecil orang yang sangat kaya), daripada yang secara riil dirasakan oleh mayoritas penduduk (penduduk miskin).

Kondisi kesejahteraan sosial dewasa ini dibuktikan dengan tingginya angka kemiskinan, angka pengangguran, angka putus sekolah, dan meningkatnya jumlah anak kekurangan gizi. Pada tahun 2004, sekitar 30 sampai 40 juta angkatan kerja menganggur atau bekerja secara tidak teratur. Laporan Biro Pusat Statistik (Desember 2004) menunjukkan bahwa 37,4 % Warga Negara Indonesia mengalami kemiskinan absolut (dibawah garis kemiskinan) dan sebanyak 20 % yang lain sangat rentan jatuh kebawah garis kemiskinan. Semua bukti tersebut menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi di Indonesia selama ini ternyata mengalami distorsi (distorted development). Menurut Midgley (2005), pembangunan yang terdistorsi adalah ketika pembangunan ekonomi tidak sejalan dengan, atau kurang berdampak pada, peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat secara luas. Dengan kata lain, usaha pembangunan mengalami distorsi apabila keuntungan yang dicapai tidak mampu atau tidak diciptakan agar menyentuh dan meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh dan menurunkan jumlah orang miskin secara bermakna.

Kedudukan manusia dalam proses pembangunan, terutama pembangunan di pedesaan, adalah sumberdaya yang diunggulkan, mengingat sumber daya alam dan jumlah penduduk desa yang potensial. Wilayah pedesaan umumnya ditandai


(15)

oleh karakteristik penduduk yang berpendapatan, produktifitas, tingkat pendidikan, kesehatan, gizi serta kesejahteraan hidup yang lemah. Keadaan inilah yang menjadi sasaran pembangunan, karenanya kehidupan mereka perlu ditingkatkan, terutama untuk mengatasi kemiskinan masyarakat di pedesaan. Pengentasan kemiskinan merupakan kegiatan multidimensi, tidak hanya terkait dengan sasaran bidang pendidikan, tetapi juga sasaran pemenuhan kebutuhan dasar manusia (human basic needs) yang harus ditangani secara terpadu.

Ada tiga faktor kritis yang mempengaruhi terjadinya kemiskinan di pedesaan, yaitu cepatnya laju pertumbuhan penduduk, semakin sempitnya lahan pertanian, dan semakin sempitnya kesempatan kerja yang ada dan terbuka. Terjadinya ketimpangan antara tenaga kerja dan faktor tanah disebabkan oleh tekanan pertambahan penduduk yang tinggi dengan sumberdaya alam yang terbatas. Hal ini dapat mengakibatkan menurunnya pemerataan pendapatan dan pembagian kekayaan di pedesaan. Selanjutnya akan terjadi kecenderungan polarisasi komunitas petani, yaitu petani terbagi atas petani komersial yang luas dan petani yang tidak memiliki tanah.

Emil Salim dalam Supriatna (1997), mengemukakan lima karakteristik penduduk miskin. Kelima karakteristik penduduk miskin tersebut adalah : 1) tidak memiliki faktor produksi sendiri, 2) tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri, 3) tingkat pendidikan pada umumnya rendah, 4) banyak diantara mereka yang tidak memiliki fasilitas, 5) diantara mereka berusia relatif muda dan tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan yang memadai.

Berdasarkan konsep diatas, maka kondisi masyarakat miskin di Desa Tonjong dapat digolongkan dalam penduduk miskin. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi bahwa sebagian besar penduduk tidak memiliki faktor produksi sendiri serta tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri. Berdasarkan data dalam buku “Kecamatan Tonjong dalam Angka 2004” yang didasarkan pada laporan monografi desa-desa di seluruh Kecamatan Tonjong, maka luas lahan Desa Tonjong yaitu + 672 hektar. Komposisi penggunaan lahan tersebut secara umum dapat dibagi atas lahan sawah seluas 301 hektar (44,79 %), tanah tegalan/ladang seluas 125 hektar (18,60 %),


(16)

pemukiman seluas 98 hektar (14,58 %), tanah hutan (hutan produksi) seluas 115 hektar (17,11 %), lain- lain (fasilitas umum, kantor desa, Puskesmas, sekolah, lapangan olah raga) seluas 33 hektar (4,91 %).

Berdasarkan komposisi penggunaan lahan tersebut, maka sebagian besar wilayah Desa Tonjong dimanfaatkan sebagai lahan sawah. Akan tetapi, sebagian lahan tersebut hanya dimiliki oleh sebagian masyarakat kaya (pemilik lahan). Para pemilik lahan tersebut menyewakan kepada para petani (buruh tani) untuk menggarap lahan sawahnya dengan dengan sistem “mertelu” (hasil pertanian 2/3 untuk pemilik sawah, 1/3 untuk penggarap/buruh tani). Dengan sistem pembagian hasil tersebut, mengakibatkan rendahnya kondisi penghasilan buruh tani, sehingga mengakibatkan mereka semakin miskin.

Semakin rendahnya hasil pendapatan dari usaha pertanian dan kurang baiknya saluran irigasi, mengakibatkan pemilik lahan menjual sawahnya dan beralih fungsi menjadi bangunan/pemukiman penduduk. Kondisi ini mengakibatkan hilangnya sumber penghasilan para buruh tani yang miskin. Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah desa mengambil kebijakan kepada para buruh tani untuk mengolah/menggarap ”tanah bengkok” dengan sistem sewa Rp. 400.000,00/hektar/pertahun. Sementara untuk masyarakat miskin di sekitar wilayah hutan (Dukuh Pecangakan, Dukuh Karang Anjog, Dukuh Mingkrik), mereka diberi kesempatan untuk mengolah lahan disekitar hutan sebagai sumber penghasilan mereka.

Kondisi masyarakat miskin di Desa Tonjong juga ditunjukkan dengan tingkat pendidikan dan keterampilan mereka yang pada umumnya rendah. Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap perilaku, kemampuan berpikir dan usaha dalam memperoleh pekerjaan. Data yang diperoleh dari hasil Pemetaan Sosial, menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Tonjong Tidak/Belum Tamat SD sebanyak 2.187 jiwa (50,50 %) dan sebanyak 1.480 jiwa (34,17 %) penduduk Desa Tonjong hanya berpendidikan tamat SD. Hal ini berpengaruh pada jenis mata pencaharian penduduk, dimana karena tingkat pendidikan dan keterampilan rendah sebagian besar penduduk hanya bekerja sebagai petani (buruh tani) dan buruh bangunan. Rendahnya penghasilan penduduk yang bekerja


(17)

sebagai petani serta buruh tani dan bangunan juga menjadi salah satu penyebab tingginya jumlah masyarakat miskin di Desa Tonjong.

Salah satu karakteristik yang menunjukkan Desa Tonjong sebagai wilayah pedesaan adalah sebagian besar mata pencaharian penduduk tergantung pada sektor pertanian. Hal ini ditunjukkan dari data yang menjelaskan bahwa jumlah penduduk yang bekerja sebagai petani sebanyak 803 orang (28,66 %) dan buruh tani sebesar 1.413 orang (50,43 %). Petani yang berjumlah tersebut pada kenyataannya bukan pemilik lahan pertanian, mereka sebagai penyewa atau penyawah dari para pemilik tanah. Sebagian dari mereka juga merupakan penyewa atau penyawah dari tanah Bengkok dan lahan- lahan kosong di sekitar hutan.

Kondisi penduduk Desa Tonjong yang bermata pencaharian sebagai buruh tani sebagian besar berada pada kondisi miskin. Hal ini diakibatkan rendahnya penghasilan dari sektor pertanian yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Semakin sempitnya lahan pertanian juga mengakibatkan makin rendahnya penghasilan mereka.

Akibat semakin sempitnya lahan pertanian dan sedikitnya penghasilan/ pendapatan dari sektor pertanian, menyebabkan sebagian penduduk berupaya untuk mencari pekerjaan lain di kota-kota besar. Di antaranya menjadi buruh bangunan sebanyak 448 jiwa (15,98 %) dan buruh pabrik/industri sebanyak 81 orang (2,89 %). Sebagian penduduk ada juga yang bekerja menjadi Tenaga Kerja di Luar Negeri (TKI) sebanyak 15 orang (0,53 %). Bahkan, kecenderungannya akan semakin banyak penduduk yang ingin menjadi TKI.

Kondisi masyarakat miskin di Desa Tonjong juga ditunjukkan dengan kurang tersedianya fasilitas- fasilitas (transportasi serta pelayanan pemerintahan dan kesehatan) bagi masyarakat. Berdasarkan gambaran dalam peta Desa Tonjong terlihat bahwa akses untuk menuju wilayah dukuh di pusat desa sangat terjangkau karena dilalui jalan raya dengan sarana transportasi berupa bus, mobil, motor dan dokar/andong. Akan tetapi untuk menuju dukuh-dukuh yang jauh dari pusat desa hanya dapat dilalui dengan kendaraan bermotor (ojeg) melalui jalan desa yang sempit. Sementara untuk menuju wilayah Dukuh Pecangakan, Karang Anjog dan Dukuh Mingkrik (kondisi wilayahnya termasuk wilayah sekitar hutan) hanya


(18)

dapat dilalui dengan jalan kaki karena kondisi jalan yang berbatu dan sulit dilalui dengan kendaraan bermotor. Kondisi yang terpencil dan tidak terjangkau sarana transportasi mengakibatkan rendahnya kondisi perekonomian masyarakat di wilayah tersebut, karena barang-barang kebutuhan pokok dan hasil pertanian sulit untuk diangkut menuju atau keluar wilayah tersebut. Sehingga kondisi masyarakat di 3 dukuh tersebut sebagian besar miskin, dengan kondisi wilayah berupa kebun dan lahan hutan.

Disamping akses sarana jalan, kondisi masyarakat miskin di 3 dukuh (Dukuh Pecangakan, Dukuh Karang Anjog dan Dukuh Mingkrik) juga jauh dari sarana/fasilitas perekonomin seperti : pasar dan pertokoan yang menyediakan bahan kebutuhan pokok bagi masyarakat. Kondisi ini mengakibatkan masyarakat miskin di wilayah tersebut kesulitan untuk mendapatkan kebutuhan pokok. Pemenuhan kebutuhan pokok sebagian besar diperoleh dari hasil ladang/pekarangan penduduk. Disamping itu, kondisi wilayah yang jauh dari pusat desa mengakibatkan masyarakat kurang mendapatkan pelayanan pemerintahan dan kesehatan. Karena, sarana/fasilitas pemerintaha n dan kesehatan berada di pusat desa.

Upaya pengembangan masyarakat di pedesaan didasarkan pada kebijakan pembangunan daerah/pedesaan ya ng menggunakan sumber daya lokal (sumber daya alam, fisik dan lingkungan) serta kelembagaan dan modal sosial yang ada ditingkat lokal/pedesaan. Permasalahan yang dihadapi dalam proses pengembangan masyarakat di pedesaan adalah rendahnya tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan masyakarat. Hal ini menyebabkan rendahnya kemampuan masyarakat untuk memperoleh dan memanfaatkan akses sumber daya yang tersedia.

Adi (2001), mengemukakan bahwa strategi pemberdayaan masyarakat merupakan upaya mengembangkan partisipasi aktif dan meningkatkan prakarsa masyarakat dalam menentukan arah tujuan yang dicapai dalam kelembagaan yang dibentuk bersama oleh masyarakat, dan pengembangan masyarakat merupakan suatu gerakan untuk meningkatkan taraf hidup yang meliputi berbagai kegiatan pembangunan tingkat lokal baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun non pemerintah.


(19)

Dengan demikian, pengembangan masyarakat merupakan suatu aktivitas pembangunan yang berorientasi pada kerakyatan. Syarat pembangunan kerakyatan menurut Corten (1990) adalah tersentuhnya aspek-aspek keadilan, keseimbangan sumber daya alam dan adanya partisipasi masyarakat. Dalam konteks seperti ini maka pembangunan adalah proses dimana anggota-anggota suatu masyarakat meningkatkan kapasitas perorangan dan institusional mereka untuk memobilisasi dan mengelola sumber daya untuk menghasilkan perbaikan-perbaikan yang berkelanjutan dan merata dalam kualitas hidup sesuai aspirasi mereka sendiri.

Rumusan Masalah

Dalam rangka mengentaskan masyarakat miskin di sekitar hutan di Desa Tonjong dari kondisi kemiskinan, maka diperlukan upaya pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan melalui upaya pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Oleh karena itu pertanyaan kajian ini adalah : “Bagaimana langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam upaya Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Sekitar Hutan Melalui Upaya Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat”.

Upaya pengembangan kelembagaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) didukung oleh adanya unsur Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang menjadi perwakilan masyarakat miskin di sekitar hutan dalam kelembagaan tersebut. Namun demikian, kendala yang dihadapi adalah adanya permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan kapasitas LMDH dan kapasitas masyarakat miskin di sekitar hutan.

Permasalahan lainnya adalah berkaitan dengan performa kelembagaan PHBM, dimana selama ini aktifitas dan program kerja yang dijalankan belum menyentuh tujuan utamanya yaitu pemberdayaan masyarakat miskin di sekitar hutan. Kurangnya peranserta LMDH dan masih lemahnya jaringan kerjasama dalam kelembagaan tersebut juga mempengaruhi performa kelembagaan PHBM.


(20)

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan upaya untuk menggali dan mengembangkan potensi lokal dan modal sosial di tingkat lokal yang dapat mendukung upaya pengembangan kelembagaan PHBM. Selain itu, strategi dan program yang tepat juga perlu disusun dan dirumuskan bersama dalam upaya pencapaian tujuan pengembangan kelembagaan PHBM yaitu pemberdayaan masyarakat miskin di sekitar hutan.

Tujuan Kajian

Secara umum tujuan kajian ini adalah mengkaji dan merumuskan strategi yang tepat dalam upaya Pemberdayaan Masyarakat Miskin Sekitar Hutan Melalui Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM). Secara khusus, tujuan kajian adalah :

1. Mengetahui dan menganalisis kapasitas Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan kapasitas individu masyarakat miskin di sekitar hutan di Desa Tonjong Kecamatan Tonjong ?

2. Mengkaji performa kelembagaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) di Desa Tonjong Kecamatan Tonjong ?

3. Menganalisis dan menggali potensi lokal dan modal sosial yang ada di masyarakat yang dapat mendukung upaya pengembangan kelembagaan PHBM di Desa Tonjong Kecamatan Tonjong ?

4. Merumuskan strategi dan program yang tepat dalam upaya pengembangan kelembagaan PHBM di Desa Tonjong Kecamatan Tonjong ?

Kegunaan Kajian

1. Kegunaan praktis, diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Daerah dan Dinas Kehutanan Kabupaten Brebes dalam upaya Pemberdayaan Masyarakat Miskin Sekitar Hutan Melalui Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat.


(21)

2. Kegunaan strategis, diharapkan dapat memberikan kontribusi atas penyusunan program dan strategi Pemberdayaan Masyarakat Miskin Sekitar Hutan Melalui Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat.

3. Kegunaan akademis, diharapkan dapat memperkaya tentang praktek-praktek Pemberdayaan Masyarakat Miskin Sekitar Hutan Melalui Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat.


(22)

Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Pekerjaan Sosial

Konsep pemberdayaan dalam wacana pengembangan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Pada dasarnya pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan sosial (komunitas). Menurut Rappaport dalam Hikmat (2004), pemberdayaan diartikan sebagai pemahaman secara psikologis pengaruh kontrol individu terhadap keadaan sosial, kekuatan politik dan hak- haknya menurut undang-undang. Sementara itu, Mc Ardle dalam Hikmat (2004) mengartikan pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang secara konsekwen melaksanakan keputusan tersebut. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriaannya, bahkan merupakan keharusan untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan mereka tanpa bergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal.

Gunardi dkk (2003) mendefinisikan makna pemberdayaan sebagai upaya untuk memberikan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kapasitas atau kemampuan untuk menentukan masa depan sendiri dan untuk berpartisipasi dalam mempengaruhi kehidupan komunitasnya. Dalam kaitanya dengan pengembangan masyarakat, pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan.

Ciri-ciri masyarakat yang telah berdaya menurut Sumarjo dkk (2004) adalah sebagai berikut : a) mampu memahami diri dan potensinya, b) mampu merencana-kan (mengantisipasi kondisi perubahan kedepan) dan mengarahmerencana-kan dirinya sendiri, c) memiliki kekuatan untuk berunding dan bekerjasama secara saling menguntungkan dengan ”bargaining power” yang memadai, d) bertanggung jawab atas tindakan sendiri.

Menurut Brokensha dan Hodge dalam Adi (2001), pengembangan masyarakat adalah suatu gerakan yang dirancang guna meningkatkan taraf hidup keseluruhan masyarakat melalui partisipasi aktif dan inisiatif dari masyarakat.


(23)

Dalam pengembangan masyarakat, menurut Ife (2002) pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu prinsip yang juga harus menjadi tujuan dari pengembangan masyarakat. Dengan demikian jelaslah bahwa pengembangan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Dalam terminologi pekerjaan sosial, menurut Dubois-Milley (1992) pemberdayaan masyarakat merupakan suatu strategi dalam mengatasi masalah yang berkaitan dengan keberfungsian sosial. Keberfungsian sosial diartikan sebagai suatu situasi dimana orang bisa melaksanakan peran sesuai dengan status yang dimilikinya untuk melaksanakan tugas-tugas kehidupannya sebagai individu, anggota kelompok maupun anggota masyarakat secara luas. Salah satu upaya untuk mengatasi disfungsi sosial adalah melalui strategi pemberdayaan.

Menurut Kartasasmita (1996) pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk membangun daya saing dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan aksi yang dimiliki masyarakat serta berupaya untuk mengembangkannya. Suharto (1997) juga mengungkapkan bahwa pemberdayaan juga menunjuk pada kemampuan orang/kelompok/masyarakat yang rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam : a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, kebodohan dan kesakitan, b) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan, c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.

Manurut Siporin (1975), pekerjaan sosial menganggap kliennya adalah subyek dan bukan obyek dalam pemecahan masalah. Selain itu pekerjaan sosial juga menganggap bahwa masalah bukanlah atribut dari klien melainkan situasi dan kondisi yang mempengaruhi dan menimpa klien : “Problem in living generally are caused by many systemic factors : therefore blaming, faulting and scapegoating of people are unhelpful and are to be avoid”. Berdasarkan asumsi tersebut, dapat digunakan pendekatan dualistik (yaitu dengan merubah klien dan juga merubah lingkungan dalam pemecahan masalah klien) dalam pemberdayaan masyarakat miskin di pedesaan, khususnya masyarakat miskin di sekitar hutan.


(24)

Pendekatan dualistik pekerjaan sosial dalam pemberdayaan masyarakat miskin dilaksanakan seperti gambar di bawah ini :

Gambar 1 : Pendekatan Dualistik Pekerjaan Sosial dalam Pemberdayaan

Berdasarkan konsep-konsep diatas, dari berbagai pengertian yang ada mengenai pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Masya rakat miskin (khususnya masyarakat miskin di sekitar hutan di Desa Tonjong) merupakan kelompok masyarakat yang rentan dan lemah serta tidak memiliki kekuatan dan kemampuan untuk berdaya. Melalui upaya pemberdayaan masyarakat, diharapkan mereka dapat memiliki kemampuan dan kekuatan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi mereka dan keluarganya sehingga terbebas dari kemiskinan (kondisi kebodohan, kelaparan dan kesakitan). Melalui upaya pemberdayaan diharapkan mereka juga dapat menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan bagi mereka untuk meningkatkan pendapatan, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, serta ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan.

Kapasitas Individual

Kapasitas Komunitas

Kapasitas Organisasi

Pemerintah Desa Masyarakat

Lainnya

Perguruan Tinggi

Lembaga Swasta


(25)

Kemiskinan

Kemiskinan merupakan suatu masalah dalam pembangunan yang ditandai oleh pengangguran dan keterbelakangan, yang kemudian menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin pada umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi yang lebih tinggi. Menurut SMERU dalam Suharto (2005), kemiskinan memiliki beberapa ciri : 1) ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan dan papan), 2) ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi), 3) ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga), 4) kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal, 5) rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber daya alam, 6) ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, 7) ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan, 8) ketidakmampuan untuk berusaha, 9) ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial.

Selanjutnya dalam Suharto (2005), Friedman mendefinisikan kemiskinan dalam kaitannya dengan ketidaksamaan kesempatan dalam mengakumulasi basis kekuatan sosial yang meliputi : (a) modal produktif atau aset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan), (b) sumber keuangan (pekerjaan, kredit), (c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial), (d) jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang dan jasa, (e) pengetahuan dan keterampilan, (f) informasi yang berguna untuk kemajuan hidup.

Menurut Schiller dalam Ala (1996), kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial yang terbatas. Dan oleh Salim, dikatakan bahwa, kemiskinan biasanya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk meningkatkan kebutuhan hidup yang pokok. Lebih lanjut Salim menyatakan bahwa aktor kemiskinan atau mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan memiliki lima ciri, yaitu :


(26)

1. Mereka umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri, seperti tanah yang cukup, modal ataupun keterampilan. Faktor produksi yang dimiliki sedikit sekali sehingga kemampuan memperoleh pendapatan menjadi sangat terbatas. 2. Mereka tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan

kekuatan sendiri. Pendapatan tidak cukup untuk memperoleh tanah garapan ataupun modal usaha. Sedangkan syarat yang terpenuhi untuk memperoleh kredit perbankan, seperti adanya jaminan kredit dan lain- lain, sehingga mereka yang perlu kredit terpaksa berpaling kepada “lintah darat” yang biasanya meminta syarat pelunasan yang berat dan memungut bunga yang tinggi.

3. Tingkat pendidikan mereka masih rendah, tak sampai tamat sekolah dasar. Waktu mereka tersisa habis untuk mencari nafkah sehingga secara turun temurun mereka terjerat dalam keterbelakangan di bawah garis kemiskinan. 4. Kebanyakan mereka tinggal di pedesaan. Banyak diantara mereka tidak

memiliki tanah, kalaupun ada maka kecil sekali. Umumnya mereka menjadi buruh tani atau pekerja kasar di luar pertanian. Karena pertanian bekerja secara musiman maka kesinambungan kerja kurang terjamin, sehingga banyak diantara mereka lalu menjadi “pekerja bebas” (self employed) dengan berusaha apa saja.

5. Banyak diantara mereka yang hidup di kota masih berusia muda dan tidak mempunyai ketrampilan (skill) dan pendidikan, sedangkan kota dibanyak negara sedang berkembang tidak siap menampung gerak urbanisasi penduduk desa ini.

Sharp dkk dalam Kuncoro (1997) mengidentifikasi penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi, antara lain :

a. Secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah terbatas dan kualitas yang rendah.

b. Kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia yang rendah berarti produktifitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya


(27)

manusia ini disebabkan karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi atau karena keturunan.

c. Kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.

Ketiga penyebab kemiskinan tersebut bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty). Adanya keterbelakangan, ketidak-sempurnaan pasar dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktifitas. Rendahnya produktifitas mengakibatkan rendahnya pendapatan. Rendahnya pendapatan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan, dan seterusnya.

Menurut Ala (1996), kemiskinan pada masyarakat di pedesaan merupakan fenomena yang multi-dimensional karena banyak sekali nilai- nilai yang dibutuh-kan atau kebutuhan manusia itu bermacam- macam, maka kemiskinanpun memiliki banyak aspek. Menurut Friedman (1992), bila dilihat dari segi public policy maka terdapat dua aspek kemiskinan, yakni : 1) aspek primer terdiri dari : aset-aset, organisasi sosial dan politik, dan pengetahuan dan keterampilan; 2) aspek sekunder, terdiri dari : jaringan sosial, sumber-sumber keuangan, dan informasi.

Kemiskinan merupakan fenomena multi dimensional, disamping karena tingkat pendapatan yang rendah, juga dikarenakan dimensi-dimensi lain, yaitu : 1. Kurang atau tidak adanya kesempatan : rendahnya tingkat

konsumsi/pen-dapatan, biasanya bersifat relatif terhadap garis kemiskinan. Hal ini secara umum berkaitan dengan tingkat dan distribusi aset fisik (lahan, modal manusia dan sosial), serta peluang/kesempatan pasar.

2. Kemampuan atau kapabilitas yang rendah : sedikit atau hampir tidak ada perbaikan dalam indikator kesehatan dan pendidikan diantara kelompok sosial ekonomi tertentu.

3. Tingkat jaminan keamanan yang rendah : terhadap resiko dan bencana yang muncul di tingkat nasional, lokal maupun rumah tangga dan individu.

4. Kurangnya pemberdayaan : kapasitas golongan masyarakat miskin atau akses untuk memberikan pengaruh terhadap lembaga pemerintah dan proses sosial, yang membentuk alokasi sumberdaya dan pilihan kebijakan umum.


(28)

Pengembangan Kelembagaan dan Modal Sosial

Kelembagaan sosial merupakan terjemahan langsung dari istilah “social institution”. Akan tetapi ada pula yang menggunakan istilah pranata sosial untuk istilah “social institution” tersebut, yang menunjuk pada adanya unsur-unsur yang mengatur perilaku warga masyarakat. Koentjaraningrat (1997) menyatakan bahwa kelembagaan sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya Polak dalam Tonny (2005) mengungkapkan bahwa kelembagaan sosial merupakan suatu kompleks atau sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai- nilai yang penting. Kelembagaan itu memiliki tujuan untuk mengatur antar hubungan yang diadakan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang paling penting.

Menurut Wiriatmaja (1978) secara ringkas lembaga merupakan pola-pola aktifitas yang sudah tersusun dengan baik. Suatu masyarakat telah menyusun pola-pola untuk pemenuhan kebutuhan dasar ekonominya (seperti : makanan, pakaian, perumahan dan lain- lainnya). Uphoff (1993) juga menegaskan bahwa

institutions, whether organizations or not, are complexs of norms and behaviors that persist by serving collectively valued purposed. Sedangkan organisasi adalah

structures of recognized and accepted roles. Meskipun kedua batasan tersebut berbeda, namun keduanya merupakan suatu yang stabil, mantap dan berpola serta berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat.

Kelembagaan sosial pada dasarnya menyangkut seperangkat norma atau tata laku. Sejalan dengan konsep tersebut, maka kelembagaan sosial memiliki fungsi antara lain :

a. Memberi pedoman berperilaku pada individu/masyarakat : bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah- masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan,

b. Menjaga keutuhan : dengan adanya pedoman yang diterima bersama, maka kesatuan dalam masyarakat dapat dipelihara,


(29)

c. Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial (social control) : artinya, sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya,

d. Memenuhi kebutuhan pokok manusia (masyarakat).

Syahyuti (2003) berpendapat bahwa kelembagaan berisikan dua aspek penting yaitu “aspek kelembagaan” dan “aspek keorganisasian”. Aspek kelembagaan meliputi perilaku atau perilaku sosial, dimana inti kajiannya asalah tentang value, norm, custom, mores, folksway, usage, kepercayaan, moral, ide, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi dan lain- lain. Sementara dalam aspek keorganisasian meliputi struktur atau struktur sosial dengan inti kajiannya terletak pada aspek peran (role).

Konsepsi modal sosial merupakan konsepsi yang cukup luas. Colleta-Cullen (2000) mendefinisikan modal sosial sebagai suatu sistem yang mengacu kepada atau hasil organisasi sosial dan ekonomi, seperti pandangan umum, kepercayaan, pertukaran timbal balik, petukaran ekonomi dan informasi, kelompok-kelompok formal dan informal serta asosiasi-asosiasi yang melengkapi modal- modal lainnya (fisik, manusiawi, budaya) sehingga memudahkan terjadinya tindakan kolektif, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan.

Modal sosial memiliki empat dimensi, yaitu : 1) integrasi (integration) yaitu ikatan yang kuat antar anggota keluarga, keluarga dengan tetangga sekitarnya dan ikatan- ikatan berdasarkan kekerabatan, etnik dan agama; 2) pertalian (linkage) yaitu ikatan dengan komunitas lain di luar komunitas asal dalam bentuk jejaring

(network) dan asosiasi-asosiasi bersifat kewargaan (civic associations); 3) integritas organisasional (organizational integrity) yaitu keefektifan dan

kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya, termasuk menciptakan kepastian hukum dan menegakkan peraturan; 4) sinergi (sinergy) yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan komunitas (state-community relations).

Konsepsi modal sosial merupakan konsep yang luas. Putnan dalam Tonny (2005) mendefinisikan modal sosial sebagai elemen-elemen dalam masyarakat yang digunakan untuk memudahkan tindakan kolektif. Elemen-elemen tersebut berupa kepercayaan (trust), norma (norm), dan jaringan (network). Hal ini senada


(30)

dengan Fedderke (1999) yang menyatakan bahwa modal sosial berarti ciri-ciri dari organisasi sosial seperti jaringan, norma dan kepercayaan sosial yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan bersama.

Komunitas membangun modal sosial melalui pengembangan hubungan-hubungan aktif, partisipasi demokrasi dan penguatan pemilikan komunitas dan kepercayaan. Sumber-sumber modal sosial itu muncul dalam bentuk tangung jawab dan harapan-harapan yang tergantung pada kepercayaan dari lingkungan sosial, kemampuan aliran informasi dalam struktur sosial dan norma-norma yang disertai sanksi.

Dasgupta dan Serageldin (1999) menjelaskan bahwa wujud modal sosial belum sejelas wujud modal manusia atau modal fisik, pemahamannya lebih ditekankan pada hubungan timbal balik antara modal sosial dan sifat sosial. Sifat sosial dalam modal sosial adalah : 1) adanya saling menguntungkan paling kurang antara dua orang, kelompok, kolektifitas, atau manusia pada umumnya, 2) di-peroleh melalui proses sosial, 3) menunjuk pada hubungan sosial, instritusi, struktur sosial, 4) semua sifat berhubungan dengan rasa percaya (trust), hubungan timbal balik (resiprositas), hak dan kewajiban, dan jejaring sosial.

Penguatan Kapasitas dalam Pengembangan Kelembagaan

Penguatan kapasitas merupakan suatu pendekatan pembangunan dimana semua orang (pihak) memiliki hak yang sama terhadap sumber daya, dan menjadi perencana pembangunan bagi diri mereka. Menurut Eade dalam Tonny (2005), pengembangan kapasitas terfokus pada lima isu pokok sebagai berikut :

1. Penguatan kapasitas sering digunakan secara sederhana untuk menjadikan suatu lembaga lebih efektif mengimplementasikan proyek pembangunan. Kelembagaan merupakan instrumen untuk mencapai tujuan tertentu.

2. Penguatan kapasitas dapat juga menunjuk pada upaya yang mendukung organisasi untuk menjadi katalis dialog dan atau memberikan kontribusi dalam mencapai alternatif pembangunan. Pandangan ini menekankan peran mendemokratisasikan organisasi pemerintah dan organisasi berbasis masyarakat dalam masyarakat madani.


(31)

3. Jika penguatan kapasitas adalah suatu cara untuk mencapai tujuan, kemudian tujuan yang dimaksudkan oleh lembaga- lembaga yang ikut serta, maka harus dinyatakan secara eksplisit agar dapat membandingkan berbagai pilihan atau mengevaluasi kemajuannya. Fokusnya adalah mengembangkan hubungan antara struktur, proses dan kegiatan organisasi yang menerima dukungan dan kualitas dan jumlah dari hasilnya dan efeknya. Kriteria efektifitas terkonsentrasi pada dampaknya di tingkat lokal.

4. Jika penguatan kapasitas merupakan tujuan akhir (misalnya memperkuat kualitas suatu pengambilan keputusan), maka pilihan tersebut membutuhkan tujuan yang jelas dan analisis kontektual terhadap unsur-unsur kelembagaan. Fokusnya adalah misi organisasi yang berimbang, dan keterkaitannya dengan lingkungan eksternal, struktur dan aktifitasnya. Kriteria efektifitasnya akan berhubungan dengan faktor luar dimana misi itu dirasakan tepat, masuk akal dan terpenuhi.

5. Jika penguatan kapasitas adalah suatu proses penyesuaian untuk merubah dan proses penegasan terhadap sumber daya untuk mengatasi tantangan maupun keinginan untuk aksi berkelanjutan. Fokusnya adalah membantu mitra kerja untuk menjadi lebih mandiri dalam hubungan jangka panjang.

Menurut Sumpeno (2002), penguatan kapasitas adalah suatu proses peningkatan atau perubahan perilaku individu, organisasi dan sistem masyarakat dalam mencapai tujuan yang terleh ditetapkan secara efektif dan efisien. Penguatan kapasitas adalah perubahan perilaku untuk : 1) meningkatkan kemampuan individu dalam pengetahuan, keterampilan dan sikap; 2) meningkat-kan kemampuan kelembagaan dalam organisasi dan manajemen, finansial dan kultur; 3) meningkatkan kemampuan masyarakat dalam kemandirian, keswadaya-an dkeswadaya-an mengkeswadaya-antisipasi perubahkeswadaya-an.

Menurut Sumpeno (2002), hasil yang diharapkan dengan adanya penguatan kapasitas adalah : 1) penguatan individu, organisasi dan masyarakat; 2) terbentuk-nya model pengembangan kapasitas dan program; 3) terbangunterbentuk-nya sinergisitas pelaku dan kelembagaan.


(32)

Mengacu berbagai pendapat diatas, terdapat dua fokus dalam penguatan kapasitas, yaitu : 1) perubahan perilaku, 2) strategi dalam penguatan kelembagaan untuk mengatasi masalah dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Dengan adanya strategi penguatan kapasitas kelembagaan diharapkan pemberdayaan masyarakat secara institusional maupun individual dapat terwujud.

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

Sejalan dengan perubahan paradigma pengelolaan hutan dari “Timber Management” menjadi “Forest Resources Management” dan “State Based Forest Management” dan kemudian menjadi “Community Based Management” serta se-jalan dengan visi dan misi perusahaan, Perum Perhutani kemudian mensosialisasi-kan Program “Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM)” pada semua lapisan masyarakat dan instansi terkait.

Sebenarnya model- model PHBM telah dilaksanakan Perhutani dan berjalan sejak berdirinya Perum Perhutani tahun 1972, bahkan sebelum itu, dengan melibatkan dan mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan, antara lain dengan Program Perhutanan Sosial, Agroforestry, Sylofishery, Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH), Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Terpadu (PMDH-T) yang implementasinya dilaksanakan pada kegiatan tumpangsari, insus tumpangsari, penanaman di bawah tegakan, Perhutanan Sosial, tebangan, pemasaran, pembangunan sarana dan prasarana dan lain- lain. Kegiatan tersebut berkelanjutan dan sudah menjadi budaya dan ladang kesempatan bekerja dan berusaha bagi masyarakat dan stakeholders, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemandirian melalui peningkatan pendapatan dan produksi pangan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.01/Menhut-II/2004, Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara dan atau hutan hak, yang memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan terwujudnya pengelolaan hutan yang lestari. PHBM dilaksanakan berdasarkan pengelolaan hutan berbasis


(33)

pember-dayaan masyarakat dengan memperhatikan prinsip-prinsip : manfaat dan lestari, swadaya, kebersamaan dan kemitraan, keterpaduan antar sektor, bertahap, berkelanjutan, spesifik lokal dan adaptif.

Pengembangan PHBM dilaksanakan dalam kerangka pengelolaan hutan lestari melalui strategi pokok yaitu :

1. Kelola kawasan merupakan rangkaian kegiatan prakondisi yang dilakukan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan social forestry dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumber daya hutan,

2. Kelola Kelembagaan merupakan rangkaian upaya dalam rangka optimalisasi pelaksanaan social forestry melalui penguatan organisasi, penetapan aturan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia,

3. Kelola usaha merupakan rangkaian kegiatan yang mendukung tumbuh dan berkembangnya usaha di areal kerja social forestry melalui kemitraan dengan perimbangan hak dan tanggung jawab.

Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah (2005) menyatakan bahwa jiwa dalam Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) adalah berbagi yang meliputi berbagi dalam pemanfaatan lahan dan atau ruang, pemanfaatan waktu, pemanfaatan hasil dalam pengelolaan sumberdaya hutan dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling mendukung. PHBM dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek-aspek ekonomi, ekologi dan sosial secara proporsional. Tujuannya adalah : a. Meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup, kemampuan dan kapasitas

ekonomi dan sosial masyarakat.

b. Meningkatkan peran dan tanggung jawab Perum Perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumber daya hutan.

c. Meningkatkan mutu sumber daya hutan, produktifitas dan keamanan hutan. d. Mendorong dan menyelaraskan pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan


(34)

Sedangkan menurut WARSI (2002) Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat diartikan sebagai Community Based Forest Management (CBFM) atau sistem hutan kerakyatan yang merupakan sistem pengelolaan sumber daya alam hutan yang dikembangkan oleh masyarakat di lingkungannya bagi kesejahteraannya. Dimana hutan bukan sekedar tegakan pohon melainkan suatu sistem pengelolaan kawasan wilayah hukum adat yang ele mennya terdiri atas hutan alam, hutan sekunder, sungai, danau, ladang, kebun, pemukiman, tanah keramata dan komunitas serta sistem ekologinya. Sistem ini memberikan syarat bagi berlangsungnya kehidupan. Misalnya sebagai penyedia air, menjaga kesuburan tana h, penyedia bahan makanan, papan, sandang, obat-obatan dan religi.

Dalam pengembangan konsep CBFM, masyarakat terlibat secara aktif, berakar di masyarakat dan bersendikan adat istiadat maupun norma- norma yang berlaku di masyarakat pula. Dimana penguasaan lahan, distribusi, pemanfaatan dan pengusahaannya tidak terlepas dari adat dan kebiasaan setempat. Bahkan dikontrol oleh pranata sosial dan budaya lokal. Artinya pengembangan CBFM bukan untuk tujuan ekonomi semata, karena sistem ini secara tegas menekan bahwa aktor utamanya adalah rakyat yang berada pada komunitas-komunitas lokal.

Kerangka Pemikiran

Upaya pemberdayaan masyarakat miskin di sekitar hutan didasari dari adanya kondisi bahwa masyarakat miskin (khususnya masyarakat miskin di sekitar hutan di Desa Tonjong) merupakan kelompok masyarakat yang rentan dan lemah serta tidak memiliki kekuatan dan kemampuan untuk berdaya. Melalui upaya pemberdayaan masyarakat, diharapkan mereka dapat memiliki kemampuan dan kekuatan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi mereka dan keluarganya sehingga terbebas dari kemiskinan. Melalui upaya pemberdayaan diharapkan mereka juga dapat menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan bagi mereka untuk meningkatkan pendapatan, pengetahuan dan keterampilan serta ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan.


(35)

Pemberdayaan masyarakat miskin di sekitar hutan dilaksanakan melalui pengembangan kelembagaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM). Aktifitas (program kerja) PHBM adalah melakukan pengelolaan hutan secara lestari dengan melibatkan masyarakat miskin (melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan/LMDH) dan mengembangkan jaringan kerjasama dengan berbagai pihak yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan tersebut.

Performa kelembagaan PHBM antara lain didukung oleh komponen masyarakat miskin dan LMDH sebagai target sasaran dari upaya pemberdayaan masyarakat. Namun, permasalahan utama dalam upaya pengembangan kelembagaan PHBM adalah masih rendahnya kapasitas masyarakat miskin dan LMDH itu sendiri. Rendahnya kapasitas masyarakat miskin disebabkan rendahnya pengetahuan dan keterampilan, sumber pendapatan serta kepemilikan aset. Demikian pula, LMDH sebagai representasi masyarakat miskin dalam kelembagaan PHBM menghadapi kendala-kendala yang berkaitan dengan kepengurusan, kepemimpinan, norma/aturan dan jaringan mitra kerja.

Pengembangan kelembagaan PHBM dilakukan dengan menggali dan memanfaatkan potensi lokal dan modal sosial yang ada di tingkat lokal. Potensi yang ada di tingkat lokal antara lain lahan hutan dan tenaga kerja. Sedangkan modal sosial yang ada di tingkat lokal antara laian : solidaritas, kepercayaan, dan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan diantara pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan kelembagaan PHBM.

Strategi pengembangan kelembagaan PHBM yang dapat dilakukan antara lain adalah : penguatan kapasitas individu, penguatan kapasitas LMDH dan pengembangan program. Sehingga diharapkan dapat tercapai tujuan dari upaya pemberdayaan masyarakat miskin di sekitar hutan, yaitu : peningkatan pendapatan, peningkatan pengetahuan dan keterampilan, serta partisipasi masyarakat dalam program.


(36)

(37)

Definisi Operasional

1. Pemberdayaan adalah upaya pemberdayaan yang dilakukan pihak Perum Perhutani melalui upaya pengelolaan sumberdaya hutan secara bersama-sama dengan masyarakat miskin sekitar hutan (LMDH) dalam Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Melalui program ini diharapkan masyarakat miskin sekitar hutan dapat mewujudkan kemandirian, partisipasi dan jaringan kerjasama baik dengan Perum Perhutani, LMDH-LMDH desa lain dan pihak berkepentingan lainnya.

2. Masyarakat Miskin Sekitar Hutan adalah orang-orang yang berdomisili di sekitar kawasan hutan yang termasuk wilayah administrasi Desa Tonjong dan melakukan kegiatan yang berinteraksi dengan sumberdaya hutan untuk mendukung kehidupannya.

3. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama dengan jiwa berbagi antara Perum Perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional.

4. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) adalah lembaga masyarakat desa yang menjadi perwakilan masyarakat miskin sekitar hutan yang berkepentingan dalam kerjasama pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat yang anggotanya berasal dari unsur lembaga desa dan atau unsur masyarakat desa sekitar hutan yang mempunyai kepedulian terhadap sumberdaya hutan.

5. Kapasitas Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) merupakan gambaran kondisi LMDH Desa Tonjong yang dilihat dari kondisi kepengurusan, kepemimpinan, jaringan mitra kerja dan kapasitas individu masyarakat miskin.

6. Kapasitas Individu Masyarakat Miskin merupakan gambaran kondisi individu masyarakat miskin sekitar hutan di Desa Tonjong yang dilihat dari pengetahuan dan keterampilan, sumber pendapatan, kepemilikan aset.


(38)

7. Performa Kelembagaan PHBM merupakan gambaran kondisi kelembagaan PHBM yang menunjukkan aktifitas (program kerja), peranserta LMDH (masyarakat miskin sekitar hutan) dan jaringan kerjasama yang dimiliki kelembagaan PHBM.

8. Potensi Lokal adalah potensi-potensi yang terdapat di wilayah Desa Tonjong yang dapat dikembangkan bagi upaya pemberdayaan masyarakat miskin sekitar hutan di Desa To njong. Potensi lokal tersebut meliputi potensi lahan hutan dan tenaga kerja.

9. Modal Sosial adalah modal sosial yang terdapat dalam masyarakat di Desa Tonjong yang dapat dikembangkan bagi upaya pemberdayaan masyarakat miskin sekitar hutan di Desa Tonjong. Modal sosial tersebut meliputi solidaritas, kepercayaan (trust) dan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan.

10.Pengembangan Kelembagaan PHBM adalah upaya pengembangan kelembagaan PHBM yang dilakukan bersama-sama antara masyarakat (LMDH) dan Perum Perhutani dengan merumuskan program-program bersama untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi yaitu rendahnya kapasitas LMDH dan kapasitas individu masyarakat miskin. Program yang dirumuskan bersama masyarakat dengan Perum Perhutani yaitu Program Penguatan kapasitas LMDH dan Program Penguatan Kapasitas Individu Masyarakat Miskin.


(39)

Gambar 2 : Skema Kerangka Pemikiran Pengembangan Masyarakat Miskin Sekitar Hutan di Desa Tonjong. KAPASITAS LMDH

§ Kepengurusan

§ Kepemimpinan

§ Norma/aturan

§ Jaringan mitra kerja

§ Kapasitas individu

masya-rakat miskin (pengetahuan dan keterampilan, sumber pendapatan, kepemilikan asset

PERFORMA KELEMBAGAAN PHBM

§ Aktivitas (program kerja)

§ Peranserta LMDH

(masyarakat miskin) dalam pengambilan keputusan secara partisipatif (dari tahap perencanaan sd. pelaporan)

§ Jaringan kerjasama

PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PHBM

§Penguatan kapasitas individu

§Penguatan kapasitas LMDH

POTENSI LOKAL

§Lahan hutan

§Tenaga kerja

MODAL SOSIAL

§Solidaritas

§Kepercayaan (trust)

§Hubungan timbal balik yang

saling menguntungkan

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN

SEKITAR HUTAN

§ Peningkatan pendapatan

§ Peningkatan pengetahuan dan

keterampilan


(40)

Matrik Kapasitas Individu Masyarakat Miskin Sekitar Hutan Di Desa Tonjong Kecamatan Tonjong Kabupaten Brebes

Identitas Responden Keterampilan Sumber Pendapatan Kepemilikan Aset No

Nama Umur

(Thn) Pekerjaan

Tanggungan keluarga

(jiwa)

Pendidikan

Pokok Tambahan Utama Tambahan Rumah Lahan Aset lain 1. Walim 49 Buruh tani 5 SD Pertanian Peternakan Usaha tani Serabutan 1 ) Ada 2 ) - Ada 3) 2. Sachroni 53 Buruh tani 4 SD Pertanian Pertukangan Usaha tani Buruh bangunan Ada 2 ) - Ada 3) 3. Miun 39 Buruh tani 3 SMP Pertanian Perdagangan Usaha tani Dagang (istri) Ada 2 ) - Ada 3) 4. Daryatun 42 Buruh bangunan 4 SD Bangunan Pertanian Buruh bangunan Buruh tani Ada 2 ) - Ada 3) 5. Suryo 38 Buruh tani 4 SD Pertanian Peternakan Usaha tani Ternak kambing Ada 2 ) - Ada 3) 6. Kasim 55 Buruh tani 4 SD Pertanian - Usaha tani Serabutan 1 ) Ada 2 ) - Ada 3) 7. Mujahid 50 Buruh tani 5 SD Pertanian - Usaha tani Serabutan 1 ) Ada 2 ) - Ada 3) 8. M. Arifin 48 Buruh tani 5 SD Pertanian Peternakan Usaha tani Ternak ayam Ada 2 ) - Ada 3) 9. Tasdik 40 Beternak 5 SMP Peternakan - Usaha ternak - Ada 2 ) - Ada 3) 10. Sail 51 Buruh tani 4 SMP Pertanian Perkebunan Usaha tani Buruh perkebunan Ada 2 ) - Ada 3)

Sumber : Hasil wawancara dengan responden.

Keterangan :

1) Pekerjaan serabutan oleh responden dilakukan antara lain mengumpulkan ranting kayu dan daun jati untuk dijual kepasar atau juga

menjadi buruh tanam Perum Perhutani.

2) Kondisi rumah responden sebagian besar masih semi permanen.


(41)

No. Masalah yang dihadapi Faktor penyebab Potensi yang dimiliki Alternatif pemecahan masalah

1. Kondisi kepengurusan LMDH

yang tidak aktif

§Kurangnya komitmen ketua

dalam memajukan LMDH dan ketidakaktifan yang di-sebabkan kesibukan dalam melakukan aktivitas pekerja -an d-an kepengurus-an koperasi.

§Kepengurusan melibatkan

berbagai unsur yaitu aparat desa, organisasi lokal (LPM, BPD) dan perwakilan masyarakat di sekitar hutan.

§Reorganisasi kepengurusan

(pemilihan ketua baru).

§Bimbingan dan pendampingan

pengurus LMDH oleh KSS PHBM-Binling dan PLPS/LSM Pendamping.

§Program kerja tidak dapat

terrealisasikan sebagaimana mestinya.

§Tersusunnya program kerja

dalam renstra yang melibat-kan kerjasama kedua belah pihak (pengurus LMDH dan Perum Perhutani).

§Pembahasan ulang program

kerja dan komitmen kerjasama kedua belah pihak dalam merealisasikan program.

§Belum adanya penerapan

AD/ART sebagaimana mestinya.

§Sudah tersedianya AD/ART. §Sosialisasi, pembahasan dan

penerapan AD/ART bagi pengurus dan anggota.

§Adanya jaringan mitra kerja

belum dimanfaatkan secara optimal.

§Mitra kerja Perum Perhutani

§Forum Komunikasi LMDH §

Optimalisasi jaringan mitra kerja dengan studi banding dan kerjasama dengan LMDH lain. 2. Rendahnya kapasitas individu

masyarakat miskin

§Rendahnya pengetahuan dan

keterampilan

§Solidaritas diantara warga

masyarakat

§Adanya LMDH

§Adanya Program PHBM

§Pemberian pelatihan

keterampilan usaha tani dan pemeliharaan hutan.

§Rendahnya kepemilikan aset

dan sumber pendapatan

§Potensi lahan hutan

§Program UEP LMDH

§Kebijakan memberikan

kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola lahan sekitar hutan.

§Pengembangan progrm UEP


(42)

No Strategi Program/Langkah-langkah kegiatan

Tujuan Indikator Sasaran

Pelaksana

Pendukung Rencana Biaya

Waktu

Pemilihan ketua baru

Terpilihnya ketua yg meme -nuhi kriteria, berkualitas & memiliki komitmen pada pengembangan LMDH.

Kepemimpinan & dukungan dlm menggerakkan LMDH.

- Pengurus - Anggota

- Aparat desa - Perhutani

Perhutani 1 bln

Pertemuan rutin pengurus & anggota

Mempererat hubungan keke rabatan, kerjasama & me -nyusun langkah pelaksanaan program kerja bersama.

Meningkatnya kerjasama & ke-berhasilan pelak-sanaan program kerja.

- Pengurus - Anggota

- Aparat desa - Perhutani

LMDH 1 bln sekali secara ber-kelanjutan 1. Penguatan

Kapasitas LMDH

Bimbingan dan pen-dampingan oleh pihak terkait

Meningkatkan kemampuan & kemandirian LMDH dalam mengembangkan LMDH serta menyusun dan merealisasikan program.

Meningkatnya Kemandirian LMDH

- Pengurus - KSS PHB Bin ling/LSM Pendamping

- Aparat desa - Perhutani

Perhutani 3 bln sekali

Pelatihan

keterampilan usaha tani & pengolahan hasil

Meningkatkan pengetahuan & keterampilan masyarakat mengenai usahatani & peng -olahan hasil usahataninya sehingga lebih bernilai.

Meningkatnya pengetahuan, ketrampilan dan pendapatan masyarakat - Pengurus - Anggota

- Aparat desa - Perhutani - Instanasi terkait - LMDH - Perhutani 1 bln 2. Penguatan

kapasitas individu masyarakat miskin

Pemberian modal bergulir bagi kegiat-an usaha ekonomis produktif

Memberikan kesempatan & peluang usaha bagi masya-rakat.

Meningkatnya modal & kepe-milikan aset masyarakat.

- Pengurus - Anggota

- Aparat desa - Perhutani - Instanasi terkait - LMDH - Perhutani secara ber-kelanjutan


(43)

Metode Kajian

Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif, sehingga jumlah responden dan informan bukan menjadi pertimbangan pokok, namun lebih ditekankan pada pendalaman serta kedalaman dan kecukupan informasi (representatif). Alasan menggunaan penelitian kualitatif adalah karena studi ini membahas aspek perilaku dan dinamika kelompok yang sangat kompleks.

Kajian ini menggunakan strategi studi kasus. Para ahli penelitian menyatakan bahwa studi kasus adalah penelitian terhadap kesatuan sosial yang dipilih sebagai bahan kajian terhadap agregat sosial yang lebih luas, tetapi hubungan antara kesatuan sosial tersebut dengan total populasi tidak dapat ditaksir.

Kesimpulan yang dihasilkan dalam kajian ini hanya akan berlaku pada komunitas desa yang dikaji atau lokasi yang memiliki kondisi yang sama dengan lokasi kajian. Walaupun demikian diharapkan kesimpulan-kesimpulan yang akan dihasilkan dapat memberikan arti penting dalam pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan berbasis masyarakat baik bagi pemerintah daerah maupun masyarakat.

Unit analisis dalam kajian ini berada pada aras subjektif- mikro yaitu individu kepala keluarga rumah tangga miskin di sekitar hutan yang merupakan sasaran upaya pemberdayaaan dalam kelembagaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM). Individu kepala keluarga rumah tangga miskin adalah kepala keluarga rumah tangga miskin di lokasi kajian yang melakukan usaha pengelolaan lahan sekitar hutan.

Lokasi dan Waktu Kajian

Lokasi kajian dilakukan di Desa Tonjong Kecamatan Tonjong Kabupaten Brebes Propinsi Jawa Tengah. Pemilihan terhadap desa tersebut dilakukan secara ”purposive” yakni pemilihan secara sengaja dengan maksud menemukan desa


(44)

yang relevan dengan tujuan penelitian. Sedangkan komunitas yang dipilih didasarkan alasan ketertarikan penulis kepada program pengembangan masyarakat yang telah ada dalam masyarakat yaitu Program PHBM dan alasan-alasan lain :

§ Merupakan kategori desa yang berada di sekitar wilayah hutan.

§ Merupakan lokasi pelaksanaan Praktek Lapangan 1 dan 2.

§ Telah banyak mengenal warga desa, tokoh masyarakat dan aparat pemerintah desa.

§ Adanya masyarakat (komunitas) yang tergolong masyarakat miskin, khususnya lebih banyak terdapat di wilayah-wilayah desa yang berada di sekitar hutan.

Kajian pengembangan masyarakat dilakukan dalam serangkaian kegiatan yang terdiri dari 3 (tiga) tahap. Tahap pertama dilakukan pada saat Praktek Lapangan I (Pemetaan Sosial), tahap kedua dilakukan pada saat Praktek Lapangan II (Evaluasi Program Pengembangan Masyarakat), dan tahap ketiga berupa kegiatan Kajian Pengembangan Masyarakat. Jadwal kegiatan pelaksanaan Kajian Pengembangan Masyarakat dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1

Jadwal Pelaksanaan Kegiatan Kajian Pengembangan Masyarakat

2005 2006

NO. JENIS KEGIATAN

11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

1. Pemetaan Sosial Desa (PL 1) 2. Evaluassi Program (PL 2) 3. Penyusunan Proposal Kajian 4. Seminar Proposal Kajian/ Kolokium 5. Penulisan Laporan

6. Pengumpulan Data di Lapangan 7. Analisis Data

8. Bimbingan Penulisan 9. Seminar dan Ujian 10. Perbaikan Laporan


(45)

Teknik Kajian

Data yang akan dipergunakan dalam kajian adalah menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh peneliti dari (responden dan informan) dan hasil pengamatan lapangan. Data sekunder, ialah data yang diperoleh dari data statistik, litetarur dan laporan yang diperoleh dari instansi terkait dan data pendukung yang ada di tingkat desa maupun kecamatan.

Data primer bersumber dari responden, yaitu kepala keluarga rumah tangga miskin sekitar hutan di Desa Tonjong dan juga bersumber dari informan baik formal maupun informal. Informan formal seperti kepala desa dan perangkatnya, Ketua dan pengurus Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), Perum Perhutani. Sedangkan informan yang berupa informal adalah tokoh masyarakat, pelaku sektor usaha dan masyarakat setempat.

Teknik yang dipergunakan untuk mengumpulkan data primer, dilakukan dengan menggunakan metode :

1. Wawancara Mendalam (WM)

Merupakan cara pengumpulan data yang berkaitan dengan permasalahan kajian melalui kegiatan temu muka dilakukan pengkaji dengan responden. Pertanyaan yang diajukan tidak berstruktur tetapi terpusat pada satu pokok. 2. Observasi (OB)

Merupakan metode perolehan informasi yang menggandalkan pengamatan langsung dilapangan, baik yang menyangkut obyek, kejadian, proses, hubungan maupun kondisi masyarakat.

3. Diskusi Kelompok (DK)

Merupakan metode pengumpulan data yang biasa terbuka, meluas dan tidak terkontrol, dimana hasil dari kegiatan diskusi kelompok digunakan untuk mengevaluasi dan melengkapi data sebelumnya.

4. Focus Group Discussion (FGD)

Merupakan suatu forum yang dibentuk untuk saling memb agi informasi dan pengalaman diantara para peserta diskusi dalam satu kelompok untuk membahas satu masalah khusus yang telah terdefinisikan sebelumnya.


(46)

Data sekunder diperoleh dari melakukan kegiatan studi kepustakaan atau dokumentasi yang bersumber dari instansi- instansi terkait serta data pendukung dari data desa.

Tabel 2 : Jenis Data, Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data Kajian Lapangan di Desa Tonjong, Kecamatan Tonjong, Kabupaten Brebes.

Teknik Pengumpulan Data

No. Jenis Data Sumber Data

WM OB DK FGD SD 1. Kapasitas LMDH (Lembaga

Masyarakat Desa Hutan) :

- Kepengurusan Pengurus LMDH, masyarakat miskin, Perum Perhutani

V V V - Kepemimpinan Pengurus LMDH, masyarakat

miskin, Perum Perhutani

V V - Norma/aturan Pengurus LMDH, masyarakat

miskin, Perum Perhutani

V V V - Jaringan mitra kerja Pengurus LMDH, masyarakat

miskin, Perum Perhutani

V V

Kapasitas individu (masyarakat Miskin) :

- Pengetahuan & keterampilan Masyarakat miskin V - Sumber pendapatan Mas yarakat miskin V V - Kepemilikan aset Masyarakat miskin V V

2. Performa Kelembagaan PHBM :

- Aktifitas (program kerja) Pengurus LMDH, Perum Perhutani

V V V - Peranserta LMDH & Masyarakat Pengurus LMDH, masyarakat

miskin, Perum Perhutani

V V - Jaringan kerjasama Pengurus LMDH, Perum

Perhutani

V V

3. Potensi lokal :

- Lahan hutan Perum Perhutani, aparat desa V V V - Tenaga kerja Perum Perhutani, aparat desa V

Modal Sosial :

- Solidaritas Masyarakat miskin, pengurus V V - Kepercayaan LMDH, aparat desa, Perum V V - Hubungan saling menguntungkan Perhutani V V

4. Strategi dan Program

- Penguatan kapasitas individu Masyarakat miskin, pengurus V - Penguatan kapasitas LMDH LMDH, aparat desa, Perum V - Pengembangan program Perhutani V

Keterangan :

1. WM = Wawancara Mendalam 2. OB = Observasi

3. DK = Diskusi Kelompok 4. FGD = Focus Group Discussion 5. SD = Studi Dokumentasi


(47)

Penentuan mengenai sumber data, tipe responden/informan dan jumlah responden/informan, dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3 : Sumber data, tipe dan jumlah responden/informan

Sumber data Tipe Responden/Informan Jumlah Responden/ Informan

Masyarakat Masyarakat miskin di sekitar hutan yang

mengolah lahan hutan (dari 3 Dukuh : Mingkrik, Pecangakan, Karang Anjog)

10 orang

Pengurus LMDH

Ketua dan Sekretaris LMDH serta pengurus lainnya

6 orang

Aparat Desa Kepala Desa dan Sekretaris Desa 2 orang

Perum Perhutani Administratur Perhutani (ASPER) BKPH Pengarasan, Matri Kehutanan (RPH) Tonjong dan Petugas Penyuluh Lapangan Perhutanan Sosial (PLPS)

3 orang

Untuk mempermudah mendapatkan data-data yang lengkah, maka disusun jenis data, indiktor dan sub indikator kajian yang digambarkan pada tabel berikut :

Tabel 4 : Jenis Data, Indikator dan Sub Indikator Kajian

No. Jenis Data Indikator Sub Indikator

1 2 3 4

1. Kapasitas LMDH § Kepengurusan • Struktur kepengurusan

• Unsur-unsur kepengurusan

• Kondisi kepengurusan

• Peran dan tanggung jawab pengurus

§ Kepemimpinan • Tipe kepemimpinan

• Pemilihan pemimpin

• Peran & tanggung jawab pemimpin

§ Norma/aturan • Aturan organisasi

• Aturan keanggotaan

§ Jaringan mitra kerja • Kerjasama dengan Perum Perhutani

• Kerjasama dengan aparat desa

• Kerjasama dengan LMDH lainnya

Kapasitas Individu (masyarakat miskin)

§ Pengetahuan & Keterampilan

• Pendidikan terakhir

• Keterampilan yang dimiliki (peng-olahan lahan pertanian)

• Keterampilan lain

§ Sumber pendapatan • Sumber pandapatan utama

• Sumber pendapatan tambahan

§ Kepemilikan aset • Aset fasilitas perumahan

• Aset lahan


(48)

1 2 3 4

2. Performa Kelembagaan PHBM

§Program kerja • Proses penyusunan program kerja

• Program kerja

§Peranserta LMDH & masyarakat miskin

• Peranserta pada setiap tahap (Perencanaan, Pembiayaan, Pengorganisasian, Pelaksanaan, Pemantauan dan Evaluasi, Pelaporan)

• Bentuk-bentuk peranserta LMDH dan masyarakat miskin

§Jaringan kerjasama • Kerjasama dengan pihak pemerintah

• Kerjasama dengan swasta dan stakeholder lainnya

3. Potensi Lokal §Lahan hutan • Luas lahan hutan

• Kepemilikan lahan hutan

• Pengelolaan lahan hutan

§Tenaga kerja • Kwantitas dan kwalitas tenaga kerja

• Pemanfaatan tenaga kerja lokal Modal Sosial §Solidaritas • Bentuk/tipe solidaritas

• Tingkat solidaritas

§Kepercayaan (trust) • Trust diantara pihak-pihak dalam LMDH (pengurus dan masyarakat miskin sekitar hutan)

Trust diantara unsur-unsur dalam kelembagaan PHBM (masyarakat miskin/LMDH, aparat desa, perum perhutani)

§Hubungan saling menguntungkan

• Hubungan saling menguntungkan diantara unsur-unsur dalam kelem-bagaan PHBM (masyarakat miskin/ LMDH, aparat desa, perum per-hutani)

• Hubungan saling menguntungkan dengan swasta dan stakeholder lain. 4. Strategi dan Program §Penguatan kapasitas

Individu

• Program Peningkatan Pengetahuan dan Ketrampilan

• Program Peningkatan Partisipasi

§Penguatan kapasitas LMDH

• Program Pelatihan Manajemen Keorganisasian

• Reorganisasi LMDH

• Program Pengembangan Jaringan Mitra Kerja


(49)

Teknik Analisa Data

Data yang telah diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif diperoleh dari wawancara mendalam, diskusi dan observasi, diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode analisis isi yang kemudian disajikan secara deskriptif. Sedangkan data kuantitatif yang diperoleh dari penelusuran data sekunder diolah dan disusun dalam bentuk matriks, grafik, bagan maupun tabel.

Disain Program Pengembangan Masyarakat

Disain program pengembangan masyarakat dilakukan dengan menggunakan metode PRA (Participatory Ru ral Appraisal), dengan langkah- langkah kegiatan sebagai berikut :

1. Identifikasi masalah, potensi dan kebutuhan yang dihadapi masyarakat miskin sekiar hutan di Desa Tonjong melalui wawancara, pengamatan dan penelusuran data sekunder.

2. Hasil identifikasi tersebut dikonfirmasikan melalui diskusi kelompok terfokus untuk menentukan dan menganalisis prioritas masalah.

3. Setelah terpilih prioritas masalah, selanjutnya masalah didiskusikan dengan menganalisis faktor penyebab dan potensi yang dimiliki serta alternatif pemecahan masalah.

4. Penyusunan rencana program aksi dengan menentukan strategi, program/ langkah kegiatan, tujuan, indikator, sasaran pelaksana kegiatan dan pendukung, rencana biaya dan waktu kegiatan.


(50)

Pada kegiatan Praktek Lapangan 1 telah dilakukan di Desa Tonjong, penulis telah melakukan pemetaan sosial dan masalah sosial yang penting dan sangat dirasakan oleh masyarakat sehingga perlu dicari jalan pemecahannya. Masalah sosial ya ng dominan terjadi di Desa Tonjong adalah masalah kemiskinan di pedesaan khususnya kemiskinan para komunitas masyarakat desa yang bermukim di sekitar wilayah hutan.

Data Geografis, Demografis dan Kondisi Kemiskinan

Desa Tonjong termasuk dalam wilayah Kecamatan Tonjong Kabupaten Brebes. Jarak terdekat ke ibukota kecamatan adalah 2 kilometer dengan waktu tempuh + 30 menit dengan menggunakan ojeg dengan biaya + Rp. 2.500,-. Jarak terdekat ke ibukota kabupaten sejauh 60 kilometer dengan waktu + 120 menit dengan menggunakan kendaraan umum (bus) dengan biaya + Rp. 12.000,-. Desa Tonjong termasuk dalam tipologi desa sekitar hutan yang memiliki luas lahan yaitu + 672 hektar, dengan topografi dan bentang wilayah berbukit dan suhu udara rata-rata harian 30-32 derajat celsius.

Batas Desa Tonjong meliputi, sebelah Utara berbatasan dengan Desa Karang Jongkeng Kecamatan Tonjong, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Galuh Timur Kecamatan Tonjong, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kutamendala Kecamatan Tonjong dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Linggapura Kecamatan Tonjong. Secara administratif, Desa Tonjong terbagi dalam 10 dusun/dukuh (meliputi : Dukuh Mingkrik, Dukuh Karang Anjog, Dukuh Pecangakan, Dukuh Timbang, Dukuh Tonjong Lebak, Dukuh Tonjong Timur, Dukuh Kauman, Dukuh Tonjong Krajan, Dukuh Karangjati Timur, Dukuh Karangjati Barat) dan terbagi dalam 10 wilayah RW dan 42 RT.

Jumlah penduduk Desa Tonjong berdasarkan Kecamatan Tonjong dalam Angka 2004 sebanyak 8.625 jiwa yang terdiri dari 2.004 KK, dengan komposisi jumlah penduduk laki- laki sebanyak 4.280 jiwa (49,62 %) dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 4.345 jiwa (50,38 %) dengan perbandingan sex ratio sebesar


(51)

98. Ini berarti bahwa setiap 100 orang penduduk perempuan terdapat 98 orang penduduk laki- laki. Artinya, kemungkinan mortalitas penduduk laki- laki lebih tinggi daripada penduduk perempuan, atau bisa juga karena faktor migrasi penduduk laki- laki lebih tinggi dari penduduk perempuan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 5

Penduduk Desa Tonjong Menurut Umur dan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin No. Komposisi Umur

L P Jumlah Sex Ratio

1 0 – 4 405 379 784 106

2 5 – 9 513 518 1.031 99

3 10 – 14 596 519 1.115 114

4 15 – 19 497 428 925 116

5 20 – 24 289 278 567 103

6 25 – 29 254 344 598 73

7 30 – 34 273 277 550 98

8 35 – 39 248 286 534 86

9 40 – 44 224 249 473 89

10 45 – 49 220 259 479 84

11 50 – 54 245 204 449 120

12 55 – 59 156 143 299 109

13 60 – 64 144 165 309 87

14 65 tahun keatas 216 296 512 72

Jumlah 4.280 4.345 8.625 98 Sumber : Kecamatan Tonjong dalam Angka 2004.

Berdasarkan data di atas, maka Tingkat Rasio Beban Ketergantungan (RBT) penduduk pada masyarakat Desa Tonjong yaitu sebesar 66,41 %, artinya tiap 100 orang yang produktif menanggung 66 orang yang tidak produktif. Tinggi rendahnya rasio beban ketergantungan penduduk akan sangat menentukan terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan, apalagi bila usia produktif tersebut mempunyai tingkat penghasilan rendah, maka akan sangat sulit bagi pemerintahan desa dalam memperoleh partisipasi yang optimal dari masyarakat desa.

Kondisi tersebut dapat pula merupakan indikasi dari beratnya beban tanggungan penduduk yang produktif untuk menanggung yang tidak produktif. Berdasarkan indikator rasio beban tanggungan ini, maka penduduk Desa Tonjong dapat digambarkan struktur penduduknya masih merupakan beban pembangunan.


(52)

Apabila digambarkan dalam bentuk piramida penduduk, maka jumlah penduduk Desa Tonjong berdasarkan umur dan jenis kelamin adalah sebagai berikut:

Laki-laki Perempuan Usia

65+ 60-64 55-59 50-54 45-49 40-44 35-39 30-34 25-29 20-24 15-19 10-14

5-9 0-4

6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6

Keterangan : Penduduk dalam 100 Jiwa

Gambar 3 : Piramida Penduduk Desa Tonjong

Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap perilaku, kemampuan berpikir dan usaha dalam memperoleh pekerjaan. Data yang diperoleh dari hasil Pemetaan Sosial, menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Tonjong Tidak/Belum Tamat SD sebanyak 2.187 jiwa (50,50 %) dan sebanyak 1.480 jiwa (34,17 %) penduduk Desa Tonjong hanya berpendidik-kan tamat SD. Hal ini berpengaruh pada jenis mata pencaharian penduduk, dimana karena tingkat pendidikan dan keterampilan rendah sebagian besar penduduk hanya bekerja sebagai petani (buruh tani) dan buruh bangunan. Rendahnya penghasilan penduduk yang bekerja sebagai petani serta buruh tani


(53)

dan bangunan juga menjadi salah satu penyebab tingginya jumlah masyarakat miskin di Desa Tonjong.

Komposisi penduduk Desa Tonjong menurut tingkat pendidikan dapat di lihat pada tabel berikut ini :

Tabel 6

Penduduk Desa Tonjong Menurut Tingkat Pendidikan

No. Tingkat Pendidikan Jumlah Prosentase (%)

1. 2. 3. 4. 5.

Tidak/belum tamat SD Tamat SD

Tamat SLTP Tamat SLTA

Tamat Diploma/Sarjana

2.187 1.480 411 125 128 50,50 34,17 9,49 2,89 2,96

Jumlah 4.331 100,00 Sumber : Kecamatan Tonjong dalam Angka 2004.

Masyarakat miskin di pedesaan merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang penting untuk diberdayakan, sebab mereka mempunyai banyak keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara maksimal. Desa Tonjong Kecamatan Tonjong Kabupaten Brebes merupakan desa miskin dengan jumlah penduduk 8.625 jiwa ya ng terdiri dari 2.004 KK. Dari 2.004 jumlah KK yang ada tersebut 69,96 % (1.402 KK) tergolong dalam keluarga miskin. Gambaran distribusi jumlah keluarga miskin di 10 dusun di Desa Tonjong dapat digambarkan dalam tabel berikut :

Tabel 7

Distribusi Jumlah Ke luarga Miskin di Desa Tonjong

No. Wilayah/Dukuh Jumlah Persentase

1. Mingkrik 224 15,98

2. Karanganjok 210 14,98

3. Pecangakan 196 13,98

4. Timbang 168 11,98

5. Tonjong Lebak 154 10,98

6. Tonjong Timur 140 9,99

7. Kauman 84 5,99

8. Tonjong Kraja n 42 3,00

9. Karangjati Timur 86 6,13

10. Karangjati Barat 98 6,99

Jumlah 1.402 100,00 Sumber : Kantor Balai Desa Tonjong


(54)

Dari tabel tersebut terlihat jelas begitu banyaknya penduduk miskin di Desa Tonjong. Dari distribusi jumlah keluarga miskin tersebut terlihat 3 wilayah Desa Tonjong memiliki jumlah penduduk miskin terbesar di antara wilayah lain yaitu wilayah Dukuh Mingkrik, Karanganjog dan Pecangakan (yaitu sebanyak 630 KK dari 1.402 KK atau 44,94%). Ketiga wilayah tersebut merupakan wilayah Desa Tonjong yang merupakan wilayah-wilayah yang berada di sekitar hutan. Dengan kata lain, dapat dijelaskan bahwa sebagian besar jumlah penduduk miskin di Desa Tonjong merupakan masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar wilayah hutan.

Sistem Ekonomi

Berdasarkan hasil wawancara dan studi literatur, bahwa penduduk Desa Tonjong sebagian besar memiliki mata pencaharian pokok adalah pertanian. Pertanian disini dapat dikategorikan sebagai buruh tani, karena para petani di Desa Tonjong adalah petani pengarap. Akan tetapi, dikarenakan makin tidak berfungsinya irigasi desa dan kurangnya penghasilan di bidang pertanian, maka sebagian penduduk yang bekerja sebagai petani (buruh tani) banyak yang beralih pekerjaan menjadi pedagang serta buruh pabrik dan bangunan di kota-kota besar seperti Jakarta dan Semarang dan kota-kota kabupaten seperti Tegal dan Purwokerto. Lahan yang mereka miliki dijual dan beralih fungsi menjadi pemukiman penduduk.

Sebagian petani yang telah menjual lahannya dan tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk bekerja di kota, akhirnya diberi kesempatan oleh perangkat desa untuk mengolah tanah bengkok seluas 22 hektar berdasarkan sistem sewa dengan harga sewa Rp. 400.000,00/hektar/pertahun. Selain itu, masyarakat juga diberi kesempatan untuk mengo lah lahan di sela-sela tanaman hutan untuk menambah penghasilan mereka. Mereka diperbolehkan mengolah lahan sekitar hutan, dengan catatan mereka juga harus ikut merawat dan menjaga tanaman hutan.

Komposisi jumlah penduduk Desa Tonjong berdasarkan berdasarkan pekerjaan/mata pencaharian, dapat digambarkan dalam tabel berikut :


(55)

Tabel 8

Penduduk Desa Tonjong Menurut Jenis Mata Pencaharian

No. Mata Pencaharian Jumlah Prosentase (%)

1. Petani 803 28,66

2. Buruh Tani dan bangunan 1.413 50,43

3. Pengusaha 74 2,64

4. Buruh Industri 81 2,89

5. Pedagang 155 5,53

6. Jasa Transportasi 45 1,61

7. PNS/TNI/POLRI 171 6,10

8. Pensiunan 45 1,61

9. Lain-Lain 15 0,54

Jumlah 2.802 100,00 Sumber : Kecamatan Tonjong dalam Angka 2004.

Dari tabel di atas jelas mengambarkan bahwa mata pencaharian penduduk tergantung kepada sektor pertanian, dengan jumlah petani sebanyak 803 orang (28,66 %) dan buruh tani sebesar 1.413 orang (50,43 %). Petani yang berjumlah tersebut pada kenyataanya bukan pemilik lahan pertanian, mereka sebagai penyewa atau panyawah dari para pemilik tanah. Sebagian dari mereka juga merupakan penyewa atau penyawah dari tanah Bengkok dan lahan- lahan kosong di sekitar hutan.

Berdasarkan Tabel 4 disebutkan bahwa mata pencaharian pokok masyarakat Desa Tonjong adalah petani (buruh tani). Oleh karena itu, hasil pertanian menjadi sangat dominan pada masyarakat Desa Tonjong. Hasil pertanian Desa Tonjong antara lain : padi, jagung, ubi kayu (singkong) dan kacang tanah. Hasil pertanian tersebut hanya dipasarkan di pasar Desa Tonjong dan pasar-pasar di desa tetangga. Hasil pertanian tersebut dijual melalui pedagang dan tengkulak dengan harga yang rendah, sehingga pendapatan petani (buruh tani) tersebut sangatlah rendah.

Selain hasil pertanian di atas, masyarakat Desa Tonjong juga menanam komoditas buah-buahan (seperti : pepaya, sawo, pisang dan nangka), tanaman obat-obatan (seperti : kunyit, lengkuas dan mengkudu), dan perkebunan kelapa. Akan tetapi, komoditas tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal dan desa tetangga dan pemasarannya juga dilakukan oleh para pedagang dan tengkulak.


(1)

135

Kondisi rumah warga masyarakat miskin sekitar hutan di Desa Tonjong


(2)

136

Kondisi rumah warga masyarakat miskin sekitar hutan di Desa Tonjong


(3)

137

Kegiatan wawancara dengan masyarakat miskin sekitar hutan di Desa Tonjong


(4)

138

Kegiatan wawancara dengan masyarakat miskin sekitar hutan di Desa Tonjong


(5)

139

Kegiatan FGD 1 dengan peserta masyarakat miskin sekitar hutan di Desa Tonjong.


(6)

140

Kegiatan FGD II dengan peserta pengurus LMDH dan perwakilan masyarakat miskin sekitar hutan.